yang memiliki jasmani dan rohani, apabila dikaitkan dengan berbagai ragam
hubungan manusia dalam kehidupannya, di setiap hubungan tersebut ada hubungan
antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam, manusia dengan manusia lain
atau masyarakat, dan manuisa dengan dirinya sendiri. Untuk memenuhi kebutuhan
rohaninya manusia melaksanakan nilai spiritual dalam kehidupannya.
Agama sebagai keyakinan dapat menjadi bagian dan inti dari system-sistem nilai
yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan, dan menjadi
pendorong dan penggerak serta pengontrol bagi tindakan-tindakan para anggota
masayarakat tersebut tetap berjalan sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran-ajaran
agamanya.
Pengaruh ajaran agama itu sangat kuat terhadap sistem-sistem nilai dari
kebudayaan masyarakat bersangkutan, maka sistem-sistem nilai dari kebudayaan
tersebut terwujud sebagai symbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada
ajaran-ajaran agama yang menjadi acuannya. Dalam keadaan demikian secara
langsung atau tidak langsung, etos yang menjadi pedoman dari eksistensi dan
kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat dipengaruhi, digerakkan dan
diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah pada agama yang
dianutnya dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para warga masyarakatnya sebagai
tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci.
Rasa yakin memiliki peranan penting dalam beragama dan menjalani
kehidupan. Seberapa besar keyakinan kita menentukan seberapa besar ketaatan
kepada Allah dan bagaimana kita menjalani hidup. Orang yang tak meyakini akhirat
terkadang bisa bosan dengan hidup karena merasa apa yang dijalani akan lenyap tak
berbekas. Orang yang tak meyakini keberadaan Tuhan bisa saja terjatuh ketika
terkena himpitan kesulitan hidup karena ia tak memiliki pegangan yang ia yakini
akan menyelamatkannya. Begitu besarnya peranan keyakinan hingga Rasulullah Saw.
pernah bersabda, “Yakin adalah iman keseluruhannya (HR. Al-Baihaqi dan Khathib
Al-baghdadi).
Yakin sendiri memiliki dua arti. Pertama rasa percaya dan mantap dalam hati
tanpa disertai keraguan dan tak dapat digoyahkan. Sedang makna kedua adalah
kemantapan dan rasa percaya yang telah meresap dalam jiwa sehingga berpengaruh
secara psikologis dan menjadi penggerak aktifitas perilaku orang yang memilikinya.
Hal-hal yang harus diyakini terkait agama adalah segala hal yang disampaikan oleh
Rasulullah Saw baik berupa Al-Quran maupun hadis dan segala kandungan di
dalamnya. semua orang Islam tentu meyakini hal tersebut dengan arti yakin yang
pertama. Ia percaya sepenuhnya bahwa apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw. tentu
benar dan bersumber dari Allah.
Walau begitu belum tentu setiap orang bisa meyakini dengan yakin arti kedua
karena itu terkait erat dengan pencerapan yang berbeda-beda. Kualitas keagamaan
seseorang sangat tergantung kepada kuat lemahnya yakin dengan makna kedua ini.
Dari sekian banyak hal yang dibawa Rasulullah Saw. dan wajib diyakini, setidaknya
ada empat hal yang harus mendapat perhatian khusus. Hal ini karena empat hal
tersebut merupakan pokok dan inti dari keseluruhan ajaran. Empat hal tersebut juga
inti pedoman seseorang dalam menjalani hidup. Keempat hal tersebut sebagaimana
keterangan Imam Ghazali sebagai berikut:
Kedua, meyakini jaminan Allah atas rejeki yang termaktub dalam firman-Nya,
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang
memberi rezekinya.” (QS Hûd:6), yakin bahwa rizki yang telah ditakdirkan
kepadanya tentu akan datang kepadanya. Seseorang yang hatinya telah terpenuhi oleh
keyakinan ini akan selalu hati-hati dan berbuat lurus dalam usaha menngais rejeki, ia
tak akan tamak sehingga mencederai hak orang lain. Ia juga tak akan terlalu berusah
hati atas lenyapnya rizki yang telah didapatkan atau diperhitungkan olehnya.
Meyakini jaminan Allah bukan berarti tak berusaha karena usaha merupakan langkah
mengetuk pintu rizki sekaligus perintah dari-Nya. Namun ia tak menggantungkan diri
pada usahanya tersebut karena meyakini itu hanya sarana sedang pemberi rizki yang
sesungguhnya adalah Sang Pencipta. Terkadang Allah tak memberi karena itu adalah
yang terbaik baginya sebab bila diberi lebih justru ia akan melupakan kewajiban-
kewajiban seperti zakat, memperhatikan tetangga yang kekurangan. Di situlah al-
ma’u ‘ainul ‘atha`, tak memberi sebenarnya adalah penyelamatan kepada dirinya.
Ketiga, meyakini sepenuh hati bahwa siapa yang berbuat kebaikan tentu ia
akan melihat balasannya, begitu pula siapa berbuat keburukan tentu juga akan
mendapat balasannya. Ia meyakini bahwa hubungan perbuatan baik dengan pahala
seperti hubungan makan dengan kenyang dan hubungan perbuatan buruk dengan
siksa seperti hubungan racun dengan kematian. Karena itu ia akan berusaha terus
berbuat baik agar mendapat pahala sebagaimana ia berusaha mencari sesuap nasi
untuk mengenyangkan tubuh. Begitu pula ia akan menjauhi maksiat karena khawatir
siksa sebagaimana ia berusaha keras menghindari racun agar tidak binasa. Keyakinan
akan hal ini yang telah meresap dalam jiwa dan selalu diingat dalam setiap perilaku
akan membuahkan kehati-hatian dalam bertindak. Ia akan selalu berusaha untuk
bertakwa dan menjauhi segala keburukan. Ketika keyakinan itu semakin kuat maka ia
akan semakin menjauhi dosa dan semakin tekun beribadah dan berbuat baik.
Keempat, yakin bahwa Allah selalu melihatnya dalam kondisi apapun, selalu
mengetahui gerak geriknya hingga apapun yang terlintas dalam hati dan pikirannya.
Buah dari keyakinan ini ia akan selalu menjaga adab lahir maupun batin setiap waktu
karena ia merasa selalu berada di hadapan-Nya. Ia kan selalu menjaga hati dan
pikirannya sebagaimana ia menjaga perbuatan lahirnya karena tahu bahwa bagi Allah
semua akan terlihat. Kelanjutannya akan timbul rasa malu kepada Allah, rasa rendah,
dan rasa ingin selalu mendekat kepada-Nya. Dengan begitu, perasaan ini akan
menumbuhkan ketaatan dan upaya untuk menghadirkan ibadah yang berkualitas lahir
batin.
Iman adalah energi yang kuat yang terus mendorong orang-orang beriman
untuk terus beribadah, beramal, berdakwah dan berjihad kemudian memberi manfaat
sebesar-besarnya kepada umat manusia sesuai dengan tingkatan orang beriman dan
sesuai dengan asupan ruhiyah imaniyah yang dicapainya.
َع ِم ْن ُك ْمBBِال فَ َم ْن تَب َ َض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأنَا قِ صاِئ ًما قَا َل َأبُو بَ ْك ٍر َر َ صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َم ْن َأصْ بَ َح ِم ْن ُك ْم ْاليَوْ َم
َ ِ قَا َل َرسُو ُل هَّللا
الBَ Bَا قBBَهُ َأنB َي هَّللا ُ َع ْنBض ِ ر َرB ْ ض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأنَا قَا َل فَ َم ْن َأ
ٍ Bط َع َم ِم ْن ُك ْم ْاليَوْ َم ِم ْس ِكينًا قَا َل َأبُو بَ ْك ِ ْاليَوْ َم َجنَا َزةً قَا َل َأبُو بَ ْك ٍر َر
صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم
َ ِ ال َرسُو ُل هَّللا َ َض َي هَّللا ُ َع ْنهُ َأنَا فَق
ِ فَ َم ْن عَا َد ِم ْن ُك ْم ْاليَوْ َم َم ِريضًا قَا َل َأبُو بَ ْك ٍر َر
ََما اجْ تَ َم ْعنَ فِي ا ْم ِرٍئ ِإاَّل َدخَ َل ْال َجنَّة
Rasulullah saw. Bersabda, “Siapa yang pagi ini puasa?” Abu Bakar ra. menjawab,
“Saya, Rasul bertanya, “Siapa yang pagi ini sudah mengantar jenazah ke kuburan?”
Abu Bakar ra. menjawab, “Saya, Rasul saw. bertanya, “Siapa yang pagi hari ini
telah memberi makan orang miskin? “Abu Bakar ra. menjawab, “Saya, Rasul saw.
bertanya, “Siapa yang pagi hari ini menengok orang sakit?” Abu Bakar ra.
menjawab, “Saya”. Maka Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah (semua perbuatan
baik itu) terkumpul pada seseorang pasti dia akan masuk surga”. (HR Muslim)
Mereka ibarat pohon berbuah yang dilempari batu oleh sang pelempar, tetapi
pohon itu melempari buahnya bagi manusia. “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana
Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik,
akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit, pohon itu memberikan buahnya
pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-
perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”. (Ibrahim 24-25)
Berkata Imam Hasan Al-Bashri, “Keimanan bukanlah angan-angan tetapi
keyakinan yang kokoh dalam hati dan dibuktikan oleh amal”. Keimanan merupakan
daya dorong atau motivasi internal yang senantiasa menggerakkan orang yang
beriman untuk senantiasa beramal dan beramal. Segala produktifitas kebaikan
dilahirkan oleh orang-orang beriman, sesuai dengan kekuatan keimanan tersebut.
Puncaknya terjadi pada diri Rasulullah saw., sahabat, tabiin dan tabiit tabiin.
Merekalah generasi terbaik dari umat ini. Rasul saw. Bersabda,
اس قَرْ نِي ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَهُ ْم ثُ َّم الَّ ِذينَ يَلُونَهُ ْم
ِ َّخَ ْي ُر الن
Apa yang dicontohkan oleh sahabat mulia Abu Bakar ra adalah bukti nyata
betapa produktifnya beliau dalam waktu yang masih relatif pagi telah memborong
amal shalih, puasa sunnah, mengantar jenazah, memberi makan orang miskin dan
menengok saudaranya seiman yang sakit. Dan itu dilakukan diluar Ramadhan. Orang-
orang beriman adalah orang-orang yang memahami tugas dan risalahnya kemudian
melaksanakan tugas dan risalah atau misinya tersebut. Mereka mengetahui bahwa
hidup di dunia ini sementara dan kemudian seluruh perbuatannya akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Taala, sebagaimana yang disebutkan dalam
surat Al-Zalzalah 6-8:
“Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-
macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka.
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan
melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat
dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula”.
Sumber:
Masruhan, Muhammad. 2017. Empat Hal Pokok tentang Keyakinan dalam Beragama.
https://islami.co/empat-hal-pokok-tentang-keyakinan-dalam-beragama/ (diakses
tanggal 27 November 2019).