Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK LAKI-LAKI DENGAN DEMAM TYPOID

Pembimbing:

dr. Rachmat Hadi Santoso, Sp.A

Oleh :

Tiara Muslimawaty

Pembimbing
dr. Frans Johannis Huwae, M.Si.Med, Sp. A

ILMU KESEHATAN ANAK


RS PROVONSI KARSA HUSADA MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala karena atas

berkat dan rahmat-Nya, laporan kasus Ilmu Kesehatan Anak yang berjudul

Seorang Anak Laki-Laki dengan Demam Typoid dapat saya selesaikan. Laporan

kasus ini disusun sebagai bagian dari program dokter internship dan saya

menyadari bahwa laporan kasus ini tidaklah sempurna. Untuk itu saya mohon

maaf atas segala kesalahan dalam pembuatan laporan kasus ini.

Saya berterima kasih kepada dokter pembimbing, dr. Frans Johannis

Huwae, M.Si.Med, Sp. A. atas bimbingan dan bantuannya dalam penyusunan

laporan kasus ini. Saya sangat menghargai segala kritik dan saran sehingga

laporan kasus ini bisa menjadi lebih baik dan dapat lebih berguna bagi pihak-

pihak yang membacanya di kemudian hari.

Batu, Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB 1 Pendahuluan .......................................................................................... 4

1.

2.

BAB 2 Tinjauan Pustaka .................................................................................. 6

2.1 Definisi .......................................................................................................... 6

2.2 Etiologi........................................................................................................... 6

2.3 Patogenesis..................................................................................................... 6

2.4 Patofisiologi .................................................................................................. 8

2.5 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik....................................................... 9

2.6 Laboratorium.................................................................................................. 10

2.7 Diagnosis........................................................................................................ 15

2.8 Diagnosis Banding………...............................................................................15

2.9 Terapi ………..................................................................................................16

2.10 Komplikasi ………........................................................................................18

2.11 Prognosis ………...........................................................................................18

BAB 3 Laporan Kasus ....................................................................................... 20

BAB 4 KESIMPULAN ...................................................................................... 30

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 31

3
BAB 1

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut pada saluran pencernaan yang

masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

demam tifoid di dunia diperkirakan sebanyak 21 juta kasus dan sekitar 220.000

orang meninggal setiap tahun (WHO, 2014). Demam tifoid termasuk penyakit

menular pada manusia pada semua kelompok umur baik laki-laki maupun wanita.

Penyakit ini secara luas banyak terjadi di daerah tropis dan subtropis dengan

kualitas sumber air yang tidak memadai, standar higienitas dan sanitasi buruk

yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemik (Kepmenkes, 2006).

Angka kejadian demam tifoid di Indonesia diperkirakan sekitar 350-810

per100.000 penduduk dan morbiditas yang cenderung meningkat setiap tahun

sekitar 500-100.000 penduduk dengan angka kematian sekitar 0,6-5 %. Angka

kejadian demam tifoid berbeda di setiap daerah, seperti di Kota Semarang tahun

2014 mencapai 9721 kasus dan tahun 2015 mencapai 9748 kasus (Dinkes 2014;

Dinkes 2015). Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa angka kejadian

demam tifoid masih tinggi, sehingga dibutuhkan penegakan diagnosis yang tepat

dengan cara melihat manifestasi klinis pasien yang diperkuat oleh pemeriksaan

laboratorium. Sehingga pemeriksaan laboratorium sangat penting dalam

menegakkan diagnosis demam tifoid (Permenkes 2006).

4
Pemeriksaan laboratorium yang sering dilakukan pada diagnosis demam

tifoid yaitu uji serologi Widal. Kultur bakteri S. typhi atau S. paratyphi dapat

dilakukan dengan sampel darah, sumsum tulang, feses, atau urin. Bila laporan

hasil biakan ‘basil Salmonella tumbuh”, maka penderita sudah pasti mengidap

demam tifoid. Namun, waktu untuk kultur bakteri mencapai 3 hari dan harus

memiliki sarana laboratorium.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Demam tifoid disebut juga Typus abdominalis atau typoid fever. Demam

tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan

(usus halus) dengan gejala demam satu minggu ataulebih disertai gangguan pada

saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran

2.2 Etiologi

Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae. Salmonella

berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan hampir selalu

motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang menimbulkan dua atau lebih

bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi dikenal sebagai Salmonella enterica,

subspesies enterica. Selain antigen H, ada 2 polisakarida antigen permukaan yang

membantu mengkarakteristikan S. enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O

somatik yang terlibat dalam serogrouping (S. typhi termasuk serogrouping D) dan

antigen yang satu lagi adalah antigen Vi (virulen) capsular yang berhubungan

dengan resistensi terhadap lisis yang dimediasi oleh komplemen dan resistensi

terhadap aktivasi komplemen oleh jalur yang lain. / melindungi O antigen

terhadap fagositosis. Etiologi lainnya : Salmonella paratyphi A, B, C.

6
2.3 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 5 proses kompleks yang mengikuti

ingestiorganism, yaitu : 1. Penempelan dan invasi sel-sel pada Peyer Patch, 2.

Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus

limfatikus mesenterica, dan organ-organ extra intestinal sistem retikuloendotelial,

3. Bakteri bertahan hidup didalam aliran darah, 4. Produksi enterotoksin yang

meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas

membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam

intestinal.

Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonela paratyphi kedalam

tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi nkuman. Sebagian

kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam dilambung (ph<2)

banyak yang mati namun sebagian lolos masuk kedalam usus dan berkembang

biak dalam peyer patch dalam usus.

1. Bakteriemi I (1-7 hari)

Melalui mulut makanan dan air yang tercemar Salmonella typhi

(106-109) masuk ke dalam tubuh manusia  melalui esofagus, kuman

masuk ke dalam lambung dan sebagian lagi kuman masuk ke dalam usus

halus  Di usus halus, kuman mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di

ileum terminalis yang sudah mengalami hipertrofi (ditempat ini sering

terjadi perdarahan dan perforasi)  Kuman menembus lamina propia,

kemudian masuk ke dalam aliran limfe dan mencapai kelenjar mesenterial

yang mengalami hipertrofi  melalui ductus thoracicus, sebagian kuman

7
masuk ke dalam aliran darah yang menimbulkan bakteriemi I dan melalui

sirkulasi portal dari usus halus, dan masuk kembali ke dalam hati.

2. Bakteriemi II (6 hari – 6 minggu)

Melalui sirkulasi portal dan usus halus, sebagian lagi masuk ke

dalam hati  kuman ditangkap dan bersarang di bagian RES : plaque

peyeri di ileum terminalis, hati, lien, bagian lain sistem RES  kemudian

masuk kembali ke aliran darah  menimbulkan bakteriemia II  dan

menyebar ke seluruh tubuh.

Penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam

tifoid adalah disebabkan oleh endotoksin Salmonella typhi yang berperan

pada patogenesis demam tifoid karena Salmonella typhi membantu

terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan tempat Salmonella typhi

berkembang biak dan endotoksin Salmonella typhi merangsang sintesis dan

pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

2.4 Patofisiologi

Kuman Salmonella typhi yang masuk kesaluran gastrointestinal

akan di telan oleh sel-sel fagosit ketika masuk melewati mukosa oleh

makrofag yang ada didalam laminaprophia. Sebagian dan Salmonella

typhi ada yang dapat masuk ke usus halus menginvaginasi kejaringan

limfoid usus halus dan jaringan limfoid mesenterika. Kemudian

Salmonella typhi masuk melalui folikel limfa kesaluran limphatik dan

saluran darah sistemik sehingga terjadi bakteremia. Bakteremia pertama

menyerang sistem retikuloendothelial (RES) yaitu : hati, limpa, dan tulang,

8
kemudian selanjutnya mengenai seluruh organ di dalam tubuh antara lain

sistem saraf pusat, ginjal dan jaringan limpa. Pada minggu kedua akan

terjadi nekrosis plak Peyeri, dan dalam minggu ketiga akan terjadi

ulserasi, lalu selanjutnya di minggu keempat akan dimulai penyembuhan

ulkus-ulkus dengan meninggalkan sikatriks. Demikian juga ginjal dapat

mengandung basil dalam waktu lama sehingga menjadi karier. Adapun

tempat-tempat yang menyimpan basil ini, memungkinkan penderita

mengalami kekambuhan (relaps).

2.5 Gambaran Klinis dan Pemeriksaan Fisik

 Gambaran Klinis

1. Demam

2. Gangguan saluran pencernaan

3. Gangguan Kesadaran

4. Hepatosplenomegali

5. Bradikardia relative

 Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik ditemukan :

1. Demam yang tinggi.

Kelainan makulopapular berupa roseola (rose spot)

berdiameter 2-5 mm terdapat pada kulit perut bagian atas dan

dada bagian bawah. Rose spot tersebut agak meninggi dan

dapat menghilang jika ditekan. Kelainan yang berjumlah

kurang lebih 20 buah ini hanya tampak selama dua sampai

empat hari pada minggu pertama. Bintik merah muda juga

9
dapat berubah menjadi perdarahan kecil yang tidak mudah

menghilang yang sulit dilihat pada pasien berkulit gelap (jarang

ditemukan pada orang Indonesia).

2. Perut distensi disertai dengan nyeri tekan perut.

3. Bradikardia relatif.

4. Hepatosplenomegali.

5. Jantung membesar dan lunak.

6. Bila sudah terjadi perforasi maka akan didapatkan tekanan

sistolik yang menurun, kesadaran menurun, suhu badan naik,

nyeri perut dan defens muskuler akibat rangsangan

peritoneum.

7. Perdarahan usus sering muncul sebagai anemia. Pada

perdarahan hebat mungkin terjadi syok hipovolemik. Kadang

ada pengeluaran melena atau darah segar.

8. Bila telah ada peritonitis difusa akibat perforasi usus, perut

tampak distensi, bising usus hilang, pekak hati hilang dan

perkusi daerah hati menjadi timpani. Selain itu, pada colok

dubur terasa sfingter yang lemah dan ampulanya kosong.

Penderita biasanya mengeluh nyeri perut, muntah dan kurva

suhu-denyut nadi menunjukkan tanda salib maut (Gambar 1-

12).

9. Pemeriksaan radiologi menunjukkan adanya udara bebas

di bawah diafragma, sering disertai gambaran ileus paralitik.

2.6 Laboratorium

10
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia

normokromik, leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan

jumlah sel polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah

putih normal, walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat

demam. Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang

sekali. Pada kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis

sekunder dapat terjadi. Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin

pada tinja biasanya positif pada minggu ketiga dan keempat.

Kultur Salmonella typhi dari darah pada minggu pertama positif pada

90% penderita, sedangkan pada akhir minggu ketiga positif pada 50%

penderita. Terkadang pembiakan tetap positif sehingga ia menjadi pembawa

kuman. Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa daripada anak dan

pria lebih banyak daripada wanita.

Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif untuk

basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi perforasi yang

diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil anaerob (B.

fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar dengan grafik

demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya kadang sulit karena

ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau karena titer yang tetap

meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat ditemukan bahkan pada titer yang

lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya yang luas maka sulit untuk ditafsirkan.

Peninggian antibodi empat kali lipat pada sediaan berpasangan adalah kriteria

yang baik tetapi sedikit kegunaannya pada pasien yang sakit akut dan dapat

menjadi tidak bermanfaat akibat pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini

11
sediaan awal diambil, maka semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata.

Antibodi Vi secara khas meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit,

dan kurang berguna pada diagnosis dini infeksi.

1. Leukosit.

Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena

kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-batas

normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi kadang-

kadang dapat ditemukan leukositosis.

2. SGOT dan SGPT.

SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah

demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.

3. Biakan darah.

Biakan darah (+) dapat memastikan demam tifoid, tetapi biakan darah ()

tidak menyingkirkan demam tifoid. Hal ini disebabkan karena hasil biakan

darah tergantung pada beberapa faktor, yaitu :

a. Teknik pemeriksaan laboratorium.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

c. Vaksinasi di masa lampau.

d. Pengobatan dengan obat antimikroba.

4. Uji Widal.

12
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin) dan antigen

yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu aglutinin dalam

serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.

Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella yang

sudah dimatikan dan diolah di laboratorium.

Antibodi (aglutinin) yang spesifik terhadap Salmonella akan positif dalam

serum pada :

a. Pasien demam tifoid.

b. Orang yang pernah tertular Salmonella.

c. Orang yang pernah divaksinasi terhadap demam tifoid.

Akibat infeksi oleh Salmonella typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat

antibodi (aglutinin), yaitu :

a. Aglutinin O.

Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen O

yang berasal dari tubuh kuman.

b. Aglutinin H.

Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen H

yang berasal dari flagela kuman.

c. Aglutinin Vi.

Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen

Vi yang berasal dari simpai kuman.

13
Dari ketiga aglutinin di atas, hanya aglutinin O dan aglutinin H yang

ditentukan titernya untuk menegakkan diagnosis.

Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal, yaitu :

a. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien.

- Keadaan umum pasien.

- Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.

- Pengobatan dini dengan antibiotik.

- Penyakit-penyakit tertentu.

- Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroid.

- Vaksinasi dengan kotipa atau tipa.

- Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.

- Reaksi anamnestik.

b. Faktor-faktor yang berhubungan dengan teknis.

- Aglutinasi silang.

- Konsentrasi suspensi antigen.

- Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.

Interprestasi uji Widal, yaitu :

• Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita

demam tifoid.

• Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer uji Widal yang mempunyai

nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid.

14
• Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan

diagnosis demam tifoid.

• Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella lain.

• Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan

kesembuhan pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari demam

tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang lama.

• Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab

demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung

antigen O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi aglutinasi

yang sama pula.

5. Kultur Gall (Gall Culture).

2.7 Diagnosis

Diagnosis biasanya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan gejala

klinik serta pemeriksaan laboratorium serologi. Bila didapati titer O yang tinggi

tanpa imunisasi sebelumnya, maka diagnosis demam tifoid dapat dianggap positif.

Diagnosis dapat dipastikan bila biakan dari darah, tinja, urin, sumsum tulang,

sputum atau eksudat purulen positif.

a. Titer uji Widal meningkat 4 kali lipat selama 2 – 3 minggu.

- Titer antibodi (aglutinin) O = 1 : 320  4 x (1 : 80)

- Titer antibodi (aglutinin) H = 1 : 640  4 x (1 : 160)

Demam tinggi dengan atau tanpa bronkitis, disertai keluhan sakit kepala dan

nyeri samar-samar di perut dapat disebabkan banyak penyakit seperti salmonelosis

15
pada umumnya, tuberkulosis diseminatus, malaria, demam dengue, bronkitits

akut, influenza dan pneumonia.

2.8 Diagnosis banding

1. TBC milier.

2. TBC paru.

3. Meningitis TBC.

4. Efusi pleura.

5. Ricketsiosis (tifus)

2.9 Terapi

 Kloramfenikol yang merupakan standar emas

Reaksinya nyata dalam 24 sampai 48 jam setelah dimulainya

pengobatan dalam dosis yang sesuai (3 sampai 4 g/hari pada orang dewasa

atau 50 sampai 75 mg/kgBB per hari pada anak yang lebih muda). Obat

diberikan per os selama 2 minggu, dan dosis dapat dikurangi sampai 2

g/hari atau 30 mg/hari jika pasien menjadi tidak demam, yang biasanya

terjadi setelah hari kelima pengobatan.

 Amoksisilin (4 sampai 6 g/hari dalam empat dosis terbagi pada orang

dewasa atau 100 mg/kg per hari pada anak).

 Trimetoprim-sulfametoksazol (640 dan 3200 mg, berurutan, dalam

dua dosis harian terbagi pada orang dewasa atau 185 mg/m2 luas

permukaan tubuh per hari dari komponen trimetoprim pada anak-

anak).

16
 4-fluorokuinolon seperti siprofloksasin atau oflosaksin pada individu

yang berusia lebih dari 17 tahun.

Berbagai obat intravena juga efektif, dan baik kloramfenikol maupun

trimetoprim-sulfametoksazol dapat diberikan secara intravena pada individu yang

tidak mampu menelan obat per os. Antimikroba parenteral efektif lainnya adalah

ampisilin dosis tinggi, sefotaksim, aztreonam, dan 4-fluorokuinolon. Walaupun

demikian, tidak ada satupun yang aksinya begitu cepat atau begitu efektifnya

dibandingkan dengan seftriakson, yang dapat menandingi atau lebih baik daripada

kloramfenikol dalam hal kecepatan penurunan panas. Sejak itu, rekomendasi awal

pemberian 7 hari tidak diturunkan menjadi 3 hari, 3-4 g sekali sehari pada orang

dewasa atau 80 mg/kgBB sekali sehari, selama 5 hari pada anak, tanpa kehilangan

daya gunanya (efikasi). Lagi pula, dibandingkan dengan angka kekambuhan yang

berhubungan dengan obat lainnya, angka kekambuhan tampak lebih rendah pada

orang dewasa atau anak-anak yang sedikit diberi seftriakson; namun, jumlah

pasien yang dilaporkan masih sedikit.

Prevalensi S.typhi yang resisten terhadap obat oral garis pertahanan pertama

telah meningkat pada negara sedang berkembang, kadang secara menyolok,

karena kemahiran plasmid menjadikan β-laktamase yang tidak aktif dan enzim

kloramfenikol asetil transferase.

Di daerah dengan resistensi banyak obat ini merupakan masalah, seftiakson

atau 4-fluorokuinolon sebaiknya digunakan pada permulaan untuk orang dewasa

yang berusia lebih dari 17 tahun, dengan seftriakson sebagai pilihan terbaik untuk

anak-anak, sekurang-kurangnya sampai kuinolon baru dibuktikan aman untuk

anak-anak yang lebih muda.

17
Pemberian kortikosteroid, dapat dilakukan atas indikasi pasien demam tifoid

toksik, dengan dosis dan cara pemberian : oral atau perenteral dalam dosis yang

menurun secara bertahap (tapering - off) selama 5 hari : Deksametason 3

mg/KgBB/x (initial), selanjutnya 1 mg/KgBB/ 8 jam (maintenance). Efek

samping : dapat menyebabkan perdarahan intestinal dan relaps.

2.10 Komplikasi

1. Komplikasi Intestinal

- Perdarahan usus (bila gawat harus dilakukan pembedahan

- Perforasi usus (harus dilakukan pembedahan)

- Ileus paralitik

2. Komplikasi Ekstra-Intestinal

1. Darah : Anemia hemolitik, trombositopenia, DIC, Sindroma uremia

hemolitik

2. Kadiovaskular : Syok septik, miokarditis, trombosis, tromboflebitis

3. Paru-paru : Empiema, pneumonia, pleuritis, bronkhitis

4. Hati dan kandung empedu : Hepatitis, kholesistitis

5. Ginjal : Glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis

6. Tulang : Osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis

7. Neuropsikiatrik : Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer

18
2.11 Prognosis

Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh,

jumlah / virulensi kuman, saat dimulainya pengobatan (cepat dan tepatnya

pengobatan), keadaan sosio-ekonomi dan gizi penderita. Angka kematian di

rumah sakit tipe A berkisar antara lima sampai sepuluh persen. Pada operasi atas

alasan perforasi, angka kematian berkisar antara 15 dan 25%. Kematian pada

demam tifoid disebabkan oleh keadaan toksik, perforasi, perdarahan atau

pneumonia

19
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Penderita

Nama : An . RA

Jenis kelamin : Laki Laki

Umur : 3tahun 4bulan

BB/PB : 11 kg/88 cm

Nama Ayah / Umur : Tn. S / 32 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Swasta

Nama Ibu / Umur : Ny. S / 30 tahun

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Batu

MRS : 5 Juni 2020

20
Tanggal Pemeriksaan : 5 Juni 2020

3.2 Perjalanan Penyakit

3.2.1 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis ibu pasien pada tanggal

5 Juni 2020 pukul 13.15 WIB di RS Karsa Husada Batu.

Keluhan Utama : Demam

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RS Karsa

Husada Batu dengan keluhan demam sejak 7 hari SMRS (29/5/2020), suhu

badan meningkat saat malam hari dan makin hari makin meningkat, saat

pagi dan siang suhu badan tidak meningkat pasien belum diberi obat dan

diperiksakan sama sekali oleh ibunya, 1 hari SMRS pasien sudah dibawa

ke IGD tetapi ibu pasien memilih untuk dirawat dirumah saja dan minta

diberi obat minum saja dari IGD, namun demam tidak turun. Ibu pasien

juga mengatakan BAB anaknya lebih lembek dari biasanya dalam 1 hari

ini. Batuk (-), pilek (-), nafsu makan sudah berkurang. BAK terakhir jam

11.30. Keluar cairan dari telinga (-), gusi dan mulut (-), bercak merah di

badan (-), sesak (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :

 Tidak pernah sakit demam typus

 Diare (-)

 Riwayat Alergi (-)

21
Riwayat Penyakit Keluarga :

 Keluarga tidak ada yang demam typhus

 Riwayat asma (-)

Riwayat Antenatal :

 Saat hamil ANC rutin di bidan, tidak pernah sakit saat hamil.

 Riwayat tekanan darah tinggi saat hamil (-)

 Konsumsi obat-obatan selama hamil (-)

 Konsumsi jamu (-).

Riwayat Persalinan :

Anak pertama / aterm / normal / ditolong dokter / 3100g / Langsung

menangis / asfiksia (-) / cyanosis (-) / ikterik (-) /

Riwayat Imunisasi: imunisasi lengkap  HB 1-4, polio 0-3, BCG, DTP

1-3, Hib 1-3, PCV 1-3, rotavirus 1-3, campak (-)

Riwayat Tumbuh Kembang :

 Usia 10 bulan sudah bisa berjalan dengan pegangan dan bisa

gerakan daa-daa dengan tangan

 Status Gizi

BB/U : 0

TB/U : 0

Riwayat Gizi :

22
 Pasien minum ASI sampai saat ini ditambah susu formula

 Saat umur 6 bulan pasien mulai makan bubur halus, umur 8 bulan

mulai makan nasi tim, umur 10 bulan makan nasi tim kasar.

Riwayat Sosial:

 Pasien tinggal dengan kedua orang tuanya

 Rumah dengan ventilasi dan kebersihan yang cukup dan lantai

sudah semen

 Ayah bukan perokok

 MCK di dalam rumah

3.2.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : cukup, tampak rewel, malayse

Kesadaran : Compos Mentis; GCS : 4-5-6

Status Gizi : baik

Tanda Vital :

 Nadi : 140 x/min

 RR : 30 x/min

 Suhu Aksila : 37.6 oC

 BB/PB : 11 kg/88cm

Kepala :

A/I/C/D : -/-/-/-, Normochepalli, Otot wajah kaku (-), Paralisis (-).

 Rambut : hitam

23
 Mata : mata cowong (-)

 Hidung : sekret (-), darah (-), Pernafasan cuping hidung (-), deviasi

septum(-)

 Mulut : Mukosa bibir basah kemerahan, Lidah kotor (-), Gusi berdarah

(-), Pharynx hyperemi (-), Tonsil Hiperemi (-),

 Telinga : sekret (-), darah (-)

 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening : (-) , deviasi trakea (-)

Thorax : normochest

 Pulmo:

I: Bentuk simetris, gerak dinding dada simetris, retraksi subcostal (-)

P: Ekspansi dinding dada simetris

P: Sonor di semua lapang paru

A: suara nafas vesikuler, rh kasar -/-, wh -/-

 Cor :

I: Ictus cordis tidak tampak

P: Ictus tidak kuat angkat, thrill (-)

P: Batas jantung dalam batas normal

A: S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :

24
I : Flat, simetris, distensi (-)

P : Supel, Nyeri tekan (-), turgor normal

P : Tympani di seluruh lapang abdomen, meteorismus (-)

A : Bising Usus normal

Ekstremitas : Akral Hangat + + Oedem - -

+ + - -

CRT < 2 detik

Genetalia : dbn.

3.2.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium (Tgl : 4 Juni 2020)

Hb : 11,4 g/Dl

Leukosit : 6.53 10^3/UL

Hematokrit : 33.5%

Eritrosit : 4.350.000 jt/Ul

Trombosit : 241.000/mm3

Salmonella typhi IgM: Positif

Pemeriksaan Laboratorium (Tgl : 5 Juni 2020)

Hb : 11,4 g/dL

25
Leukosit : 7.24 10^3/UL

Hematokrit : 34,9 %

Eritrosit : 4.530.000 jt/uL

Trombosit : 161.000 /mm3

Rapid test covid : Non Reaktif

3.3 Resume

 An. RA, laki laki usia 3tahun 4bulan

 Demam 7hari

 BAB lembek

 Pemeriksaan fisik : 37,6

 Pemeriksaan penunjang : salmonella typhi IgG : positif

3.4 Problem List

 Febris

 BAB lembek

3.5 Diagnosis

Demam Typhoid

3.6 Diagnosa Banding

 Dengue fever

3.7 Planning

 Diagnosis

 DL, Salmonela

 Terapi

26
 InfusDS ¼ NS 1200cc/24jam

 Inf. Paracetamol 3x150mg

 Inj. Ceftriaxone 2x350mg

 PO : Lacto B 2x1 sachet

3.8 Monitoring

 Keluhan pasien dan gejala

 Vital sign

3.9 Edukasi

 Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai diagnosis, etiologi,

perjalanan penyakit, pemeriksaan, terapi, komplikasi, dan prognosis

pada pasien.

 Menjelaskan kepada orang tua pasien mengenai tindakan yang akan

dilakukan (memasang infus, pemberian obat, pengambilan darah, dll).

 Edukasi kepada orang tua bahwa batuk yang diderita oleh pasien

disebabkan oleh adanya infeksi dari bakteri salmonella sehingga bisa

menyebabkan demam.

 Edukasi bahwa pencegahan yang dilakukan adalah menjaga kebersihan

makanan dan lingkungan

3.10 PROGNOSIS

Dubia ad bonam

27
3.11 SOAP Harian

Tg 6 Juni 2020 (1) 10/04/2019 (2) 11/04/2019 (3)

S Demam (+) Demam berkurang Demam –

Bab/bak +/+ Bab/bak +/+ Bab/bak +/+

Makan minum baik

O KU: cukup KU: cukup KU: baik

TTV: N 110; RR 22 ; TTV:; N 106 ; RR 20 ; TTV: N 110; RR 22 ; T

T 37.6 T 36.6 36.5

K/L: A/I/C/D -/-/-/- K/L: A/I/C/D -/-/-/- K/L: A/I/C/D -/-/-/-

Tho: S1S2 tunggal, Tho: S1S2 tunggal, Tho: S1S2 tunggal,

ves/ves, Rhonki -/-, ves/ves, Rhonki -/-, ves/ves, Rhonki-/-,

Wheezing -/-, retraksi Wheezing -/-, retraksi Wheezing -/-, retraksi

(+), Palpasi : ekspansi (-), Palpasi : ekspansi (-), Palpasi : ekspansi

dinding dada simetris, dinding dada simetris, dinding dada simetris,

Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor Perkusi : sonor/sonor

Abd: soefl, BU (+) Abd: soefl, BU (+) Abd: soefl, BU (+)

normal normal normal

Ekst: akral hangat, Ekst: akral hangat, Ekst: akral hangat,

CRT < 2 detik CRT < 2 detik CRT < 2 detik

28
A Typoid Typoid Typoid

P -InfusDS ¼ NS -InfusDS ¼ NS -InfusDS ¼ NS

1200cc/24jam 1200cc/24jam 1200cc/24jam

-Inf. Paracetamol -Inf. Paracetamol -Inf. Paracetamol

3x150mg 3x150mg 3x150mg

-Inj. Ceftriaxone -Inj. Ceftriaxone -Inj. Ceftriaxone

2x350mg 2x350mg 2x350mg

-PO : Lacto B 2x1 -PO : Lacto B 2x1 -PO : Lacto B 2x1

sachet sachet sachet

-Kompres Hangat -Diet tktp -Diet tktp

-Diet tktp

29
BAB 4

KESIMPULAN

Demam tifoid, atau typhoid adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri

Salmonella enterica, khususnya turunannya yaitu Salmonella Typhosa. Penyakit

ini dapat ditemukan di seluruh dunia, dan disebarkan melalui makanan dan

minuman yang telah tercemar oleh tinja. Demam ini dapat berlangsung lebih dari

7 hari, seprti kasus yang dibahas, pasien mengalami demam lebih dari 7hari

dengan hasil laboratorium Salmonella typhi IgM: Positif yang menandakan

adanya infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella. Sehingga pasien tersebut

perlu di rawat dan diberikan terapi sesuai dengan literature yang ada. Pada kasus

ini diberikan antibiotik clorampeicol serta memperbaiki keadaan umum dan

nutrisi. Pada pasien ini dilakukan pengecekan laboratorium secara berkala sampai

dengan hasil laboratorium menunjukkan Salmonella typhi Negatif dan pasien

dapat dipulangkan. Saat pasien sudah boleh di pulangkan dari rumah sakit pasien

harus di edukasi mengenai PHBS (Perilaku Hidup Sehat dan Bersih) untuk

pencegahan awal.

Prognosis pada kasus tipoid tergantung pada umur, keadaan umum, derajat

kekebalan tubuh, jumlah / virulensi kuman, saat dimulainya pengobatan (cepat

dan tepatnya pengobatan), keadaan sosio-ekonomi dan gizi penderita. Angka

kematian di rumah sakit tipe A berkisar antara lima sampai sepuluh persen. Pada

operasi atas alasan perforasi, angka kematian berkisar antara 15 dan 25%.

Kematian pada demam tifoid disebabkan oleh keadaan toksik, perforasi,

perdarahan atau pneumonia.

30
DAFTAR PUSTAKA

Almatsier, Sunita Dr. M.Sc. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Behrman, RE; Vaughan, VC: Nelson Textbook of Pediatrics. WB Saunders

Philadelphia 2002, 540

Braunwald, Eugene, MD., et al. 2004. Harrison’s Principles of Internal Medicine

16th Edition. New York : McGraw – Hill Medical Publishing Division.Shils,

Maurice. M. D. Sc.d. 1994. Modern Nutritional in Health and Disease 9 th

Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.

Pedoman Pengendalian Demam Tipoid, Mentri Kesehatan Indonesia, 2006.

Rampengan TH, Laurentz IR. 1993. Penyakit infeksi tropik pada anak. Jakarta :

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Shils, Maurice. M. D. Sc.d. 2006. Modern Nutritional in Health and Disease 10th

Edition. Philadelphia : Lippincott Williams & Watkins.

Sjamsuhidayat, R. de Jong, Wim. 1997. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta : Penerbit

Buku Kedokteran EGC.

31

Anda mungkin juga menyukai