Anda di halaman 1dari 12

PENDAHULUAN

Gangguan cemas panik adalah salah satu


gangguan jiwa yang paling sering ditemukan
pada populasi umum. Lebih dari 30 juta orang
di Amerika Serikat menderita kondisi ini. Data
epidemiologi menunjukkan prevalensinya
pada wanita lebih besar dua sampai tiga kali
daripada pria.
Gangguan cemas panik diawali serangan panik
yang terjadi beberapa kali dalam satu hari.
Kondisi lebih lanjut gangguan ini dapat mengarah
ke agorafobia, suatu kondisi kecemasan
berada di tempat terbuka karena ketakutan
akan ditinggalkan, tidak berdaya atau merasa
tidak ada yang menolong bila serangan panik
datang.1
Kondisi gangguan cemas panik sering disalahartikan
sebagai suatu kondisi sakit fi sik karena
gejala-gejalanya adalah gejala fi sik terutama
yang melibatkan sistem saraf autonom, baik
simpatis dan parasimpatis. Tidak heran biasanya
pasien dengan gangguan ini akan terlebih
dahulu datang ke dokter non-spesialis psikiatri.
Pada makalah ini, akan dibahas secara menyeluruh
suatu contoh kasus gangguan panik
beserta tata laksananya dalam bentuk laporan
kasus lengkap.1
ILUSTRASI KASUS
Pasien Tn. A, usia 37 tahun, suku Batak, agama
Islam, pendidikan terakhir tamat SMA, pekerjaan
saat itu pedagang kelontong, tinggal di
Jatinegara, sudah menikah dan mempunyai
dua orang anak; datang dengan keluhan jantung
berdebar-debar sejak 2 minggu. Dua
minggu yang lalu saat berada di pasar tibatiba
jantung pasien berdebar-debar disertai
sesak napas, keluar keringat dingin, perut
kembung, gemetaran, dan perasaan takut
mati. Hal itu membuat pasien ingin segera
pulang ke rumah. Selama dua minggu sudah
lebih dari tiga kali pasien mengalami kejadian
seperti ini. Keluhan yang datang tiba-tiba

itu berlangsung biasanya tidak lebih dari 15


menit. Pasien menjadi takut keluar rumah
dan berada di keramaian, terutama jika tidak
ditemani. Dia takut bila nanti terjadi sesuatu
di jalan dan tidak ada yang membantu. Pasien
mengatakan sekarang dia merasa “was-was”
bila memikirkan kejadian tersebut akan datang
kembali.
Sebelum dua minggu ini pasien merasa sehat.
Riwayat sakit yang sama lima tahun yang lalu,
berobat tidak teratur hanya jika kejadian. Dua
tahun belakangan keadaan membaik. Tidak
ditemukan riwayat penggunaan zat psikoaktif.
Tidak ditemukan riwayat penyakit medis bermakna
yang mendahului atau ada hubungannya
dengan gangguan mental saat ini.
Pada status mental ditemukan mood eutimik,
tidak terdapat gangguan persepsi, isi pikir
tidak terdapat waham, ada anticipatory anxiety,
proses pikir koheren, tidak ditemukan kelainan
status internus dan neurologis.
FORMULASI DIAGNOSIS
Pada pasien ini ditemukan pola perilaku atau
psikologis yang klinis bermakna dan khas
berkaitan dengan suatu gejala yang menimbulkan
penderitaan (distress) dan hendaya
(disabilitas) berbagai fungsi psikososial dan
pekerjaan. Pasien ini mengalami suatu gangguan
mental.
Pada pemeriksaan status internus dan neurologis,
tidak ditemukan kelainan/gangguan
medis umum yang secara fi siologis menimbulkan
disfungsi otak serta mengakibatkan
gangguan mental yang diderita saat ini; gangguan
mental organik dapat disingkirkan.
Pada anamnesis tidak ditemukan riwayat
penggunaan dan gangguan zat psikoaktif beserta
gejala ketergantungan atau putus obat.
Dengan demikian, gangguan mental akibat
zat psikoaktif dapat disingkirkan .

Pada pasien tidak ditemukan gangguan


persepsi, gangguan proses pikir, dan gangguan
menilai realita sehingga gangguan
skizofrenia dan gangguan waham menetap
dapat disingkirkan.
Pada pasien, tidak ditemukan gangguan suasana
perasaan dan afektif yang mengarah ke
depresi dan/atau elasi sehingga gangguan bipolar,
gangguan depresi, dan gangguan afektif
berkepanjangan dapat disingkirkan.
Pada pasien ini, ditemukan:
a. Keluhan jantung berdebar disertai napas
terasa pendek, keringat dingin,
gemetaran, perasaan tidak enak pada
perut, dan perasaan takut mati.
b. Gejala tersebut datang tiba-tiba dan dalam
dua minggu terakhir sudah 3 kali terjadi.
c. Gejala tersebut menimbulkan kekhawatiran
pasien akan datang kembali
d. Gejala tersebut menimbulkan hendaya
fungsi, pasien tidak dapat berbelanja ke
pasar sendiri. Pasien juga menjadi takut
berada di keramaian karena khawatir gejalanya
akan datang lagi dan tidak ada
yang membantu.

Dari keterangan di atas, kemungkinan diagnosis


(DSM IV) aksis I yang paling mendekati
adalah suatu gangguan panik dengan agorafobia.
Untuk aksis II, pada pasien ini ditemukan suatu
perilaku yang selalu mencari kesempurnaan.
Pasien sejak sekolah mempunyai keinginan
kuat untuk selalu menjadi yang terbaik. Saat
dewasa pun, pasien berkeinginan maju dalam
usahanya. Pasien mengeluhkan adanya saingan
dalam usaha dagangnya sehingga pernah
tercetus keinginan pasien untuk pulang ke
kampung saja untuk bertani dan beternak
ikan karena tidak ada saingan. Dalam kehidupannya,
pasien sulit sekali menerima kritik

atas dirinya. Pasien juga selalu mengartikan


apa yang diucapkan teman-temannya sebagai
kritikan yang membuat pasien merasa
kesal dan kadang terluka perasaannya. Pada
pasien, ditemukan suatu ciri kepribadian
narsikistik.
Untuk aksis III, saat ini tidak ditemukan diagnosis
yang bermakna. Sakit maag (dispepsia)
yang biasanya bersamaan terjadinya dengan
serangan panik mungkin merupakan bagian
dari gejala serangan paniknya, walaupun kemungkinan
adanya dispepsia yang berdiri
sendiri masih ada.
Dukungan keluarga untuk kesembuhan
pasien cukup besar. Istri pasien memahami
keadaan pasien saat ini. Masalah pekerjaan
pasien cukup menimbulkan beban pikiran
pasien. Pasien mengatakan dirinya masih dalam
keadaan sulit di bidang ekonomi. Walaupun
kenyataannya pasien dapat memenuhi
kebutuhan sehari-hari dengan baik, pasien
masih terus merasa kekurangan. Hal ini bisa
menjadi faktor pencetus kecemasan pasien.
Untuk itu, dapat dimasukkan ke dalam diagnosis
aksis IV, yaitu masalah ekonomi.
Selama sakit, pasien dapat terus menjalani
fungsinya sebagai kepala rumah tangga.
Walaupun dengan perasaan cemas, pasien
masih bisa jalan ke pasar untuk berbelanja.
Pasien memang terkadang harus ditemani
bila pergi ke tempat ramai dan tidak ada yang
dikenal pasien, tetapi terkadang masih dapat
pergi sendiri. Untuk itulah, untuk Aksis V global
assesment function (GAF) saat ini 70-80
dan GAF setahun terakhir 80-90.2

FORMULASI PSIKODINAMIK
Sejak kecil pasien hidup berkecukupan.
Orang tua cukup memberikan kasih sayang
kepada pasien walaupun jumlah anggota keluarga
sangat besar. Meskipun begitu, pasien
tidak pernah merasakan kekurangan cinta
dari orang tuanya. Walaupun terkadang ibu
pasien sibuk, pasien juga diasuh oleh kakak
perempuannya (substitute mother) sehingga
tidak pernah kekurangan kasih sayang dan
perkembangannya dapat dilewati dengan
baik. Namun pada usia 16 tahun, pasien mengalami
hambatan dalam kehidupannya (fase
late adolescent), yaitu ketika pasien harus tinggal
bersama dengan sepupu dan istrinya. Di
rumah sepupunya ini, pasien tidak bebas bergaul
dengan teman sebayanya padahal pada

fase ini teman-teman menjadi lebih bermakna


dalam kehidupan seseorang. Keinginan pasien
untuk belajar giat supaya dapat menembus
UMPTN juga terhambat oleh istri sepupunya.
Hal ini merupakan ancaman terhadap neurotic
pride yang sedang dibangun pasien yang
saat ini ingin dicapai dengan cara menjadi
mahasiswa universitas negeri (idealized image).
Pasien akhirnya dapat bebas dari kondisi
ini dengan indekos. Saat indekos, pasien kemudian
berhasil melanjutkan kembali tugas
fase perkembangannya, yaitu mencari identitas
diri. Pasien sejak awal memutuskan untuk
melanjutkan sekolah jauh dari rumah karena
ingin sekolah di SMU favorit. Hal ini karena impian
pasien untuk dapat kuliah di universitas
negeri (idealized image). Menjadi mahasiswa
universitas negeri merupakan idealized image
yang dapat membantu pasien membangun
neurotic pride.3-5
Pada kenyataannya, pasien tidak diterima di
universitas negeri. Kejadian ini tidak sesuai
dengan idealized image dan juga merupakan
ancaman terhadap neurotic pride yang ingin
dibentuk. Akhirnya, pasien mengalihkan ke
bentuk idealized image lain, yaitu pedagang
sukses. Hal ini disebabkan karena pasien melihat
banyak orang di kampungnya yang sukses
merantau ke Jakarta.4,5
Namun, setelah mengalami masa-masa yang
panjang idealized image yang sudah bergabung
dengan self menjadi idealized self belum tercapai
juga. Dalam benak pasien, dengan merantau
ke Jakarta seharusnya pasien juga sukses,
apalagi kakak perempuannya yang lain sudah
terlebih dahulu sukses. Kenyataannya, walau
sudah sepuluh tahun berdagang, pasien belum
mencapai sukses yang dia impikan. Pasien
masih tetap mengontrak rumah dan warungnya
tidak berkembang (the real self).2
Posisi pasien sebagai anak laki-laki dalam adat
Batak membantu pasien mengembangkan
neurotic pride-nya. Pasien diperhatikan oleh
keluarga dan sejak kecil dipenuhi kasih sayang
yang menjaga neurotic pride-nya. Saat dewasa,
pada kenyataannya pasien tidak sesukses
saudara perempuannya, meskipun dalam
adat dia tetap mendapatkan tempat istimewa.
Pasien terlihat menikmati segala bantuan
dari adik perempuannya, tetapi menyalahkan
kakak perempuan yang selalu mengkritik dia.
Hal ini dilakukan untuk tetap menyokong
idealized self-nya sebagai pedagang sukses

dan mampu secara ekonomi. Di lain pihak,


kata-kata kakak yang sering mengkritik pasien
untuk bekerja lebih giat sering kali melukai
neurotic pride-nya.6-8
Awalnya, pasien menggunakan mekanisme
pertahanan represi untuk mengatasi perasaan
cemas akibat idealized self yang berlawanan
dengan real self. Namun setelah berlangsung
lama, mekanisme ini tidak berhasil sehingga
kecemasan makin menumpuk dan akhirnya
“pecah” dalam bentuk serangan panik
berulang.6,8

RENCANA TERAPI
Psikofarmaka
• Fluoksetin 1 x 10 mg
• Alprazolam 2 x 0,25 mg
Psikoterapi
Pendekatan psikoterapi sesuai dengan
pendekatan dinamik (Karen Horney) berupa
reorganizing dan redirecting menuju real self.
Caranya dengan menggunakan pendekatan
terapi perilaku dan kognitif.
Psikoterapi dengan teknik terapi kognitif dan
perilaku terbagi atas berbagai langkah:
• Membangun dan membina rapport dan
empati.
• Mempersiapkan pasien dalam terapi:
menilai motivasi pasien, menjelaskan tujuan
terapi dan cara pendekatan terapi,
membuat kontrak terapi.
o Identifi kasi masalah.
o Tentukan target terapi sesuai masalahnya.
o Penilaian dan tentukan konsekuensi
emosi dan perilaku (consequences of
emotion and behaviour = C).
o Penilaian dan tentukan suatu keadaan
sebagai pencetus bagi pasien (activating
event = A).
o Penilaian dan tentukan adanya persepsi,
asumsi, dan kepercayaan (beliefs = B).
o Cari hubungan antara B yang irasional
dan C.
o Berikan pertanyaan dan argumentasi untuk
mengoyahkan B yang irasional.
o Siapkan pasien untuk selalu memakai B
yang rasional.
o Meminta pasien menerapkan B yang
baru dalam kehidupan sehari-hari.
o Berikan pekerjaan rumah (tugas dan latihan)
melakukan hal di atas.

o Periksa hasil dan apa yang dirasakan serta


apa yang menjadi penghalang pada pertemuan
berikutnya.
Pendekatan direncanakan 8-10 kali dengan
jarak 1 minggu; evaluasi kemajuan pasien diakhir
proses terapi dan tentukan kembali rencana
langkah selanjutnya.2

PROSES TERAPI
Pertemuan Pertama:
Terapis mengumpulkan gejala-gejala pasien.
Terapis juga mengkonfi rmasi beberapa data
pada status lama; pasien dikatakan mengalami
fobia ereksi. Setelah dikonfi rmasi, kejadian
jantung berdebar-debarnya dulu itu sama
dengan saat ini. Lebih jauh pasien mengatakan
bila ia sedang dalam kondisi berdebardebar,
dia menjadi takut berhubungan badan
dengan istri karena takut berdebar-debar dan
dapat membuatnya meninggal. Perasaan takut
berhubungan badan ini karena mendengar
saran teman bahwa orang berpenyakit
jantung tidak boleh berhubungan badan karena
bisa kambuh dan meninggal saat berhubungan
badan. Gejala paling menonjol saat
ini adalah jantung berdebar-debar yang datang
tiba-tiba, perut terasa kembung, keluar
keringat dingin, rasa tidak enak badan, seperti
melayang, napas terasa sesak. Pasien juga merasa
takut akan akibat serangan paniknya dan
khawatir serangan itu akan datang kembali.
Perencanaan terapi psikofarmaka adalah alprazolam
2 x 0,5 mg dan fl uoksetin 1 x 10 mg.
Alprazolam diberikan untuk menghilangkan
segera gangguan paniknya sedangkan fl uoksetin
digunakan sebagai terapi kecemasan jangka
panjang mengingat alprazolam sebagaimana
golongan benzodiazepin lain tidak dapat digunakan
jangka lama dan harus mulai dilakukan
taper off setelah tercapai dosis optimal.9
Psikoterapi pasien menggunakan terapi perilaku
dan kognitif. Pada saat wawancara,
pasien dijelaskan tentang gangguan panik
yang dialami dan bahwa hal tersebut tidak
akan menyebabkan pasien meninggal seperti
yang selama ini ditakutkan. Pasien juga diminta
melakukan relaksasi yang diajarkan dengan
cara duduk. Pada saat ini, juga direncanakan
terapi untuk mengatasi kesulitan berhubungan
badan dengan istri akibat ketakutan
datangnya serangan panik. Pasien diminta
melakukan hubungan badan dengan istri secara
bertahap. Awalnya dapat menggunakan

imaginary situation (desensitisasi) dan jika sudah


dirasa siap dapat dengan direct exposure
(fl ooding). Sebelumnya tentu terapi psikofarmaka
sudah harus dimulai.
Target terapi saat ini:
1. Gejala cemas pasien dapat berkurang,
ditandai dengan berkurangnya perasaan
takut/cemas serangan akan datang lagi.
2. Serangan panik dapat dikurangi menjadi
kurang dari 3 kali dalam seminggu ini.
3. Pasien dapat melakukan hubungan badan
dengan istri.
Cara:
1. Alprazolam 2 x 0,25 mg dan Fluoksetin 1
x 10 mg.
2. Cara relaksasi.
3. CBT dengan cara konstruksi kognitif
tentang apa yang dimaksud dengan
serangan panik dan gejala yang timbul.
Intinya, hal tersebut tidak akan membuat
pasien mati. Pada wawancara, terapis bisa
langsung membantah false belief pasien.
Psikoterapi akan diberikan minimal 8 kali
dengan jarak antara maksimal 1 minggu.
4. Memberikan tugas kepada pasien untuk
menuliskan keadaan apa saja yang
dapat mencetuskan cemasnya, derajat
kecemasannya (skor 1-100), apa yang
dipikirkan pasien saat itu, dan bagaimana
pasien keluar dari keadaan itu.

FOLLOW UP
Pertemuan Kedua
S : Pasien merasa lebih enak. Perasaan cemasnya
sudah tidak terlalu sering dan kalau muncul
tidak seberat seperti sebelum berobat.
Pasien mencoba melakukan relaksasi setiap
hari, terutama jika keluhan datang. Pasien
dapat melakukan hubungan badan dengan
istri walaupun awalnya agak sedikit cemas.
Jantung saat berhubungan badan memang
berdetak lebih cepat, tetapi pasien bisa mengatasinya
dengan berpikir bahwa ini tidak
akan membuat ia mati. Pasien mengeluh obat
membuat dia mengantuk. Fluoksetin tidak dibeli
oleh pasien minggu lalu karena uangnya
tidak cukup.

O : Penampilan seorang pria sesuai usia, tenang,


bicara lancar dan spontan, mood eutimik
dan afek cukup luas, isi pikir tentang kecemasan
masih ada walaupun sudah berkurang,
anticipatory anxiety masih ada, perasaan diri
kurang berhasil dibandingkan dengan kakak
perempuannya, proses pikir koheren, status
mental lain masih dalam batas normal.
A : Gangguan panik dengan agorafobia.
P : Psikofarmaka: Alprazolam 2 x 0,25 mg, Fluoksetin
1 x10 mg.
Psikoterapi CBT:
• Pasien membawa pekerjaan rumah yang
diberikan pada pertemuan sebelumnya
• Pasien pada pertemuan ini juga mengungkapkan
masalah ekonomi dan
ketidakmampuan dirinya untuk berhasil
seperti kakak-kakak perempuan.

Pertemuan Ketiga
S : Pasien baru kontrol kembali setelah 2 minggu;
keluhannya sudah banyak berkurang. Saat
makan fl uoksetin pasien merasakan perutnya
tidak enak, kepala pusing dan lemas. Akhirnya
pasien menghentikan sendiri obat itu. Alprazolam
masih digunakan, pasien juga masih
tetap melakukan relaksasi setiap hari. Pasien
menambah kegiatannya dengan berjalan kaki
tiap hari. Selama dua minggu ini, terdapat 2
kali kejadian jantung berdebar yang dipicu
oleh pertengkaran dengan istri dan ketika
pasien pergi ke pasar.
O : Penampilan seorang pria cukup rapi, tenang,
bicara lancar dan spontan, mood eutim,
afek cukup luas, tidak ada gangguan persepsi,
isi pikir tentang kecemasan sudah jauh
berkurang, anticipatory anxiety berkurang,
kecemasan saat ini tentang efek obat, proses
pikir koheren.
A : Gangguan Panik dengan Agorafobia (remisi
sebagian).
P : Alprazolam 1 x 0,25 mg, Fluoksetin 1 x 10
mg.

DISKUSI
Diagnosis pasien ini ditegakkan karena adanya
gejala serangan panik berulang sehingga
dapat dikategorikan sebagai gangguan panik.
Gangguan cemas menyeluruh dipikirkan karena
pasien sering khawatir akan banyak hal;
kekhawatiran pasien karena ia tidak ingin
jantungnya berdebar-debar lagi sehingga hal
ini merupakan bagian dari gejala gangguan
paniknya, yaitu adanya kecemasan antisipasi
(anticipatory anxiety).1
Ciri kepribadian narsisistik pada pasien merupakan
ciri gangguan kepribadian narsisistik
tipe hypervigilant. Gabbard membagi kepribadian
narsisistik menjadi 2 tipe yaitu The Oblivious
Narcissist dan The Hypervigilant Narcissist.
Ciri Hypervigilant Narcissist adalah sensitif terhadap
reaksi orang lain terhadap dirinya, sangat
memperhatikan pendapat dan kritik orang
lain dan mudah sakit hati bila merasa dipermalukan
atau direndahkan. Ciri kepribadian ini
terlihat dari ketidakmampuan pasien bila dikritik
saudara perempuannya. Ia hampir selalu
menganggap bahwa kritikan tersebut tidak
seharusnya ditujukan kepada dirinya.2,3,6,7
Antidepresan merupakan standar terapi gangguan
panik saat ini. Antidepresan yang digunakan
bisa dari golongan SSRI atau TCA. Keduanya
memberikan efek terapetik setara walau SSRI

lebih unggul dalam profi l keamanan dan tolerabilitas


pasien. Yang perlu diperhatikan adalah
efek samping yang mungkin akibat pemakaian
zat tersebut karena pasien gangguan panik
terkadang sangat sensitif terhadap efek samping
obat walaupun minimal. Hal ini disebabkan
karena pasien gangguan panik secara umum
lebih banyak memandang keluhan fi siknya sebagai
sesuatu yang membahayakan, sehingga
efek samping obat yang kebanyakan merupakan
sensasi fi sik dapat dipandang sebagai
sesuatu yang mengancam. Dosis SSRI dapat
dimulai dengan dosis ringan, namun pada beberapa
pasien hal ini bisa menambah serangan
panik dan agitasi. Seperti pada pasien ini, pemberian
fl uoksetin bahkan pada dosis kecil (10
mg) membuatnya tidak nyaman. Hal ini dapat
berlangsung selama minggu pertama sampai
kedua pengobatan. Untuk itulah terkadang
pemberian SSRI ditambah dengan benzodiazepin
potensi tinggi seperti alprazolam.9
Alprazolam sebagai salah satu golongan obat
benzodiazepin onset cepat telah digunakan
dalam klinis untuk mengatasi panik. Penggunaan
untuk pengobatan gangguan panik telah
mendapat pengakuan Food and Drug Administration
(FDA). Dosis permulaan biasanya 0,25
mg sampai 0,5 mg tiga kali sehari. Pada kasus
ini dimulai dengan dosis dua kali sehari untuk
mengurangi efek ketergantungan yang mungkin

mungkin
timbul. Pengguna benzodiazepin perlu
memperhatikan efek sedasi yang mungkin
dirasakan beberapa pasien; dalam jangka panjang,
juga perlu diperhatikan potensi ketergantungan
dan penyalahgunaan. Pada pasien ini,
penggunaan benzodiazepin diharapkan dapat
diturunkan perlahan dalam waktu maksimal 4
minggu; dalam kepustakaan, penurunan dosis
ini dapat berlangsung 4-12 minggu secara
perlahan. Hal ini juga sambil menunggu efek
terapetik antidepresan SSRI yang biasanya mulai
timbul setelah 2 minggu.
Psikoterapi untuk pasien ini adalah terapi
perilaku dan kognitif (CBT). Terapi pertama
kali adalah dengan relaksasi dan terapi pernafasan.
Terapi kognitif bertujuan juga untuk
membangun kembali (restructuring) kognisi
yang baru. Hal pertama yang dapat dilakukan
adalah mengidentifi kasi gejala panik yang
timbul dan perasaan serta pikiran yang salah
berhubungan dengan gejala tersebut serta
edukasi tentang gangguan panik itu sendiri.
Biasanya pasien gangguan panik selalu
mengidentikkan sensasi tubuh yang ringan
sebagai awal gangguan paniknya; menyebabkan
pasien mengalami cemas antisipasi. Edukasi
bahwa serangan panik dibatasi waktu
dan tidak mengancam jiwa juga sangat perlu.
Sehubungan dengan psikodinamik yang
mendasari keadaannya saat ini, selama proses
psikoterapi juga dapat dilakukan reorganizing
dan redirecting menuju real self.6-8

SIMPULAN
Gangguan cemas panik adalah salah satu
gangguan jiwa yang memiliki gejala gangguan
fi sik. Gangguan ini sering terjadi di populasi
umum dengan kondisi agorafobia yang
biasanya didapatkani pada lebih dari 80% kasus.
Penatalaksanaan psikofarmaka yang tepat
dan psikoterapi sesuai dengan kepribadian
pasien akan menjamin perbaikan dan kesembuhan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock BJ, Sadock VA. Anxiety Disorder. In : Comprehensive Textbook of Psychiatry.
7th ed. 2000. hal.1465-95.
2. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV-TR, 4th ed, American
Psychiatric Ass, 2000.
3. Steger C. Cognitive Behavior Therapy Program. Department of Clinical Psychology
Austin Hospital, Australia.1994.
4. Gabbard GO. Psychodynamic Psychiatry in Clinical Practice, 3rd ed, American Psychiatric
Publ, 2000.
5. Spiegel DA, Heinrich N, Hoff mann SG. Panic Disorder with Agoraphobia. Bond FW,
Dryden W.eds. Handbook of Brief Cognitive Behaviour Therapy. John Wiley and Son Ltd.
2002 hal. 56-
63.
6. Paramita H. Psikodinamik “Karen Horney”. Referat. Departemen Psikiatri FKUI-RSCM,
2005.
7. Ham P, Waters DB, Oliver N. Treatment of Panic Disorder. J. Am. Fam. Physician.
2005;71(4).
8. Busch FN, Milod BL, Singer M. Theory and Technique in Psychodynamic Treatment of
Panic Disorder. J Psychotherapy Pract Res, 8:3,Summer 1999.
9. Shatzberg AF, Nemeroff CB. Textbook of Psychopharmacology.3rd ed. The American
Psychiatric Publ. Washington DC. 2004.

Anda mungkin juga menyukai