Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH PATOFISIOLOGI KASUS KEBIDANAN

“Patofisiologi Ca Serviks, Myoma Uteri dan Perdarahan Antepartum”

Disusun Oleh

Kelompok 6

DENA AYU DHEA P0 1740522002

ROSMALADEWI P0 1740522016

Dosen Pembimbing : Dwie Ynita Baska, M.Keb

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLTEKKES KEMENKES BENGKULU

PRODI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN

TA. 2022/2023

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang karena anugerah dari-Nya kami

dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Patofisiologi Ca serviks, Myoma

uteri dan Perdarahan Antepartum”. Shalawat dan salam semoga senantiasa

tercurahkan kepada junjungan besar kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah

menunjukan kepada kita jalan yang lurus berupa ajaran agama islam yang

sempurna dan menjadi anugerah serta rahmat bagi seluruh alam semesta.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari bahwa dalam makalah ini

masih terdapat banyak kesalahan dan kekeliruan serta jauh dari kesempurnaan

sebagaimana yang kita harapkan. Oleh karena itu, dengan senang hati kami

senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi

kesempurnaan makalah ini di kemudian hari.

Demikianlah makalah ini disusun, semoga dapat bermanfaat bagi kita

semua dan semoga jerih payah kita mendapat berkat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Aamiin.

Bengkulu, Juli 2022

Penulis

DAFTAR ISI

ii
COVER

DAFTAR ISI........................................................................................................ii

KATA PENGANTAR........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.....................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................1

1.3 Tujuan.................................................................................................2

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1. Pengertian Ca Serviks.........................................................................3

2.2. Etiologi................................................................................................3

2.3. Manifeestasi Klinis.............................................................................4

2.4. Patofisiologi........................................................................................4

2.5. Langka Penapisan...............................................................................5

2.6. Tata Laksana terhadap Kmplikasi .....................................................6

2,7. Pengertian Myoma Uteri....................................................................8

2.8. Etilogi.................................................................................................8

2.9. Langka Penapisan.............................................................................11

2.10. Manifestasi Klinis...........................................................................11

2.11. Patofisiologi....................................................................................13

2.12. Tata laksana komplikasi................................................................. 13

2.13. Klasifikasi.......................................................................................14

2.14. Pengertian Haemaragia Antepartum...............................................16

2.15. Etiologi...........................................................................................16

iii
2.16. Manifestasi Klinis..........................................................................18

2.17. Pengertan Solusio Plasenta............................................................19

2.18. Klasifikasi......................................................................................19

2.19. Patofisiologi...................................................................................20

2.20. Manifestasi Klinis..........................................................................21

2.21 Tata Laksana Kompliasi..................................................................21

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan........................................................................................23

3.2 Saran..................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Mioma uteri merupakan salah satu penyakit yang tumbuh di bagian

organ reproduksi wanita. Mioma uteri ialah neoplasma jinak yang berasal dari

otot uterus dan jaringan ikat (Mansjoer, dkk., 2009). Mioma sendiri dibagi

menjadi dua bagian yaitu mioma ringan dan mioma ganas, dimana jika sudah

pada tahap ganas maka penderita akan mengalami pengangkatan rahim.

Mioma uteri merupakan tumor terbanyak yang menyerang organ reproduksi

wanita (Tulandi, 2018). Mioma uteri seringkali disangkut pautkan dengan

kista dan kanker serviks,. Mioma uteri sendiri berisi gumpalan daging yang

terus tumbuh dan hanya berada pada daerah sekitar rahim maupun dalam

rahim, sedangkan kista umumnya berupa cairan yang akan terus membesar.

Kanker serviks ialah kanker yang berada pada dinding leher rahim dan

termasuk dalam kategori ganas dan mematikan. Mioma uteri dapat

dipengaruhi dari faktor usia.. Kasus mioma uteri paling banyak ditemukan

pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun. Mioma uteri memiliki tingkat

keparahan dan memiliki bentuk seperti benjolan di rahim seorang wanita,

dimana jika dibiarkan dapat membesar menyerupai orang yang sedang hamil.

(Burt & Hendrick, 2018). Wanita penderita mioma uteri umumnya akan

menghadapi operasi, dikarenakan operasi merupakan salah satu alternatif bagi

mereka untuk dapat sembuh. Dampak lain dari pengangkatan rahim akibat

mioma uteri selain menopause dini adalah rasa nyeri saat mengangkat beban

1
berat. Dewasa madya merupakan tahap perkembangan yang dimasuki

seseorang saat mencapai usia antara 40 hingga 60 tahun. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa kasus mioma uteri terjadi paling sering pada wanita

dengan rentang usia 35-40 tahun (Wiknjosastro dkk, 2017).Kondisi yang

kurang baik dikarenakan melakukan pengangkatan rahim akibat mioma uteri

tersebut, maka dimensi kesehatan wanita pasca pengangkatan rahim akan

terganggu, mioma dan mengalami pengangkatan rahim, maka diperlukan

kemampuan diri agar seorang individu bisa bangkit dari keterpurukan serta

cobaan hidup yang dialami. Kemampuan untuk mengatasi berbagai kesedihan

dan tekanan dalam kehidupan serta memahami kondisi diri dan lingkungan.

Penderita kanker serviks, kista dan mioma uteri menjadi masalah serius.

Kanker serviks merupakan salah satu kanker ganas yang hanya diderita oleh

wanita seperti halnya mioma uteri dan kista. Kanker serviks, kista, dan

mioma uteri termasuk kedalam bidang ginekologi. Penyakit Ginekologi

merupakan penyakit yang sering terjadi pada wanita yang juga dapat

menyebabkan kematian. Kandaou Manado ditahun 2018 penderita penyakit

ginekologi yang terbanyak antara lain kanker serviks 237 kasus, mioma uteri

90 kasus, kista ovarium 122 kasus (Data rekam medis RSUP Prof. Dr. R.D

Kandou Manado). Dari data diatas dapat dilihat bahwa kanker serviks

memiliki kasus tertinggi dengan jumlah 237 kasus dimana kanker serviks

terletak pada leher rahim yang menyebabkan seseorang yang menderita

kanker serviks dapat mengalami kematian.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Pengertian dan penyebab Ca Serviks

2. Manifestasi Ca Serviks

3. Patofisiologi Ca Serviks

4. Pengertian dan penyebab Myoma Uteri

5. Patofisiologi Myoma Uteri

6. Tata laksana Myoma Uteri

7. Pengertian dan penyebab Haemoragia Antepartum

8. Klasifikasi dan macam- macam Haemoragia Antepartum

12. Tujuan

1. Mengetahui Pengertian dan penyebab Ca Serviks

2. Mengetahui Manifestasi Ca Serviks

3. Mengetahui Patofisiologi Ca Serviks

4. Mengetahui Pengertian dan penyebab Myoma Uteri

5. Mengetahui Patofisiologi Myoma Uteri

6. Mengetahui Tata laksana Myoma Uteri

7. Mengetahui Pengertian dan penyebab Haemoragia Antepartum

8. Mengetahui Klasifikasi dan macam- macam Haemoragia Antepartum

3
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian kanker serviks

Kanker serviks adalah kanker dengan angka kejadian nomor empat

terbanyak yang terjadi pada wanita diseluruh dunia dan kanker yang paling

sering pada negara berpenghasilan rendah (Mustafa dkk, 2016). Kanker

serviks merupakan suatu keganasan yang disebabkan oleh adanya

pertumbuhan sel-sel epitel serviks yang tidak terkontrol (Mirayashi, 2013).

Menurut Setiawati (2014) kanker serviks 99,7% disebabkan oleh Human

Papiloma Virus (HPV) onkogenik yang menyerang rahim. Kanker serviks

merupakan tumor ganas yang tumbuh di dalam leher rahim (serviks), yaitu

bagian terendah dari rahim yang menempel pada puncak vagina (Hartati dkk.,

2014). Berdasarkan pemaparan tersebut kanker serviks atau yang dikenal juga

dengan sebutan kanker leher rahim merupakan kanker ganas yang tumbuh

dileher rahim yang disebabkan oleh Human Papiloma Virus.

2.2 Etiologi

Penyebab utama kanker serviks adalah Human Papilloma Virus

(HPV). Lebih dari 90% kanker leher rahim adalah jenis skuamosa yang

mengandung DNA virus Human Papilloma Virus (HPV) dan 50% kanker

servik berhubungan dengan Human Papilloma Virus tipe 16. Virus HPV

dapat menyebar melalui hubungan seksual terutama pada hubungan seksual

yang tidak aman. Virus HPV menyerang selaput pada mulut dan

4
kerongkongan serta anus dan akan menyebabkan terbentunya sel-sel pra-

kanker dalam jangka waktu yang panjang (Ridayani, 2016).

Virus HPV akan menempel pada reseptor permukaan sel dengan

perantara virus attachment yang tersebar pada permukaan virus. HPV yang

menempel pada reseptor permukaan sel akan melakukan penetrasi, adanya

luka mempermudah virus memasuki sel. Virus masuk dan mengeluarkan

genom setelah itu kapsid dihancurkan. Setelah virus masuk ke dalam inti sel,

virus melakukan transkripsi dengan DNA-nya berubah menjadi MRNA

(Yanti, 2013).

2.3 Manifestasi klinis

Pada tahap awal dan pra kanker biasanya tidak akan mengalami

gejala. Gejala akan muncul setelah kanker menjadi kanker invasif. Secara

umum gejala kanker serviks yang sering timbul (Malehere, 2019) adalah :

a. Perdarahan pervagina abnormal

Perdarahan dapat terjadi setelah berhubungan seks, perdarahan

setelah menopause, perdarahan dan bercak diantara periode menstruasi,

dan periode menstruasi yang lebih lama atau lebih banyak dari biasanya

serta perdarahan setelah douching atau setelah pemeriksaan panggul.

b. Keputihan

Cairan yang keluar mungkin mengandung darah, berbau busuk dan

mungkin terjadi antara periode menstruasi atau setelah menopause.

c. Nyeri panggul

Nyeri panggul saat berhubungan seks atau saat pemeriksaan panggul.

5
2.4 Patofisiologi

Mekanisme terjadinya kanker serviks berhubungan dengan siklus sel

yang diekspresikan oleh HPV. Protein utama yang terkait dengan karsinogen

adalah E6 dan E7. Bentuk genom HPV sirkuler jika terintegrasi akan menjadi

linier dan terpotong diantara gen E2 dan E1. Integrasi antara genom HPV

dengan DNA manusia menyebabkan gen E2 tidak berfungsi sehingga akan

merangsang E6 berikatan dengan p53 dan E7 berikatan dengan pRb (Yanti,

2013).

Ikatan antara protein E6 dan gen p53 akan menyebabkan p53 tidak

berfungsi sebagai gen supresi tumor yang bekerja di fase G1. Gen p53 akan

menghentikan siklus sel di fase G1 dengan tujuan penghentian siklus sel yaitu

agar sel dapat memperbaiki kerusakan sebelum berlanjut ke fase S.

Mekanisme kerja p53 adalah dengan menghambat kompleks cdk-cyclin yang

akan merangsang sel memasuki fase selanjutnya jika E6 berikatan dengan p53

maka sel terus bekerja sehingga sel akan terus membelah dan menjadi

abnormal (Yanti, 2013).

Protein retinoblastoma (pRb) dan gen lain yang menyerupai pRb (p130

dan p107) berfungsi mengkontrol ekspresi sel yang diperantarai oleh E2F.

Ikatan pRb dengan E2F akan menghambat gen yang mengatur sel keluar dari

fase G1, jika pRb berikatan dengan protein E7 dari HPV maka E2F tidak

terikat sehingga menstimulasi proliferasi sel yang melebihi batas normal

sehingga sel tersebut menjadi sel karsinoma (Yanti, 2013).

6
2.5 LANGKAH PENAPISAN/SCREENING CA SERVIKS

1. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA)

Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) adalah sebuah tes visual

yang dilakukan menggunakan larutan asam cuka (asam asetat 3-5%) dan

larutan iodoium lugol pada serviks dan melihat perubahan warna putih

yang terjadi setelah olesan (Septianingrum, 2017). Menurut Primawasti

(2015) Inspeksi Visual Asam Asetat adalah screening kanker serviks

dengan melihat secara langsung perubahan pada serviks yang dipulas

dengan asam asetat 3-5%.

Pengolesan asam asetat 3-5% pada serviks pada epitel abnormal akan

memberikan gambaran bercak putih yang disebut acetowhite. Gambaran

ini muncul oleh karena tingginya tingkat kepadatan inti dan konsentrasi

protein. Wanita dengan lesi acetowhite yang jelas dan berbeda disebut

sebagai IVA positif (memiliki tanda-tanda lesi pra-kanker serviks) dan

mereka yang tidak memiliki lesi acetowhite sebagai IVA negatif (Katanga

dkk., 2019).

Berdasarkan pemaparan tersebut IVA adalah sebuah metode deteksi ini

(screening) kanker serviks dengan menggunakan larutan asam asetat 3-5%.

2.6 PENCEGAHAN TATALAKSANA

Kanker serviks 100% dapat dicegah dengan vaksinasi HPV, menggunakan

kondom, menghindari konsumsi tembakau, serta deteksi dini dan pengobatan

lesi pra kanker (Malehere, 2019). Upaya pencegahan kanker serviks dibagi

atas pencegahan primer, sekunder dan tersier yang meliputi:

7
a. Pencegahan primer ( Pencegahan dilkuan sebelum terjadi )

Pencegahan primer adalah pencegahan yang dilakukan

sebelum terjadi penyakit dengan menggunakan vaksin. Vaksin adalah

zat yang dimasukkan ke dalam tubuh, yang berfungsi untuk

mengaktifkan sistem kekebalan tubuh secara spesifik terhadap suatu

penyakit. Artinya, vaksin kanker serviks ini spesifik melindungi

tubuh terhadap virus HPV - agar apabila kita terpapar, tubuh kita

sudah dapat mengenali virus tersebut dan melawannya dengan kuat.

Vaksin HPV akan bekerja paling baik jika diberikan sebelum terjadi

paparan terhadap HPV atau paparan terhadap kontak seksual yang

berisiko, yaitu pada usia 9-14 tahun. Karena vaksin bukan sebuah

obat, vaksin hanya dapat mencegah, tapi tidak dapat menyembuhkan

infeksi HPV, atau kanker serviks. Pencegahan primer yang dilakukan

melalui vaksinasi Human Papilloma Virus (HPV) untuk mencegah infeksi

HPV dan pengendalian faktor resiko. Pengendalian faktor resiko dengan

menghindari rokok, tidak melakukan hubungan seks dengan berganti-ganti

pasangan, tidak menggunakan kontrasepsi oral jangka panjang >5 tahun,

serta menjalani diet sehat (Malehere, 2019).

b. Pencegahan sekunder (Pencegahan yang di lakukan setelah terjadi )

Pencegahan sekunder adalah pencegahan yang dilakukan

setelah terjadi penyakit, agar penyakit tidak berkembang menjadi

lebih parah. Dalam hal ini, infeksi sudah terjadi - mungkin lesi pra-

8
kanker sudah muncul, karenanya perlu dicegah agar tidak

berkembang, yaitu melalui skrining dan tata laksana awal .

Skrining dapat dilakukan dengan 3 metode yang telah

dijelaskan sebelumnya, yaitu HPV DNA, tes IVA, dan Pap smear.

Pencegahan sekunder melalui deteksi dini prekursor kanker serviks dengan

tujuan memperlambat atau menghentikan kanker pada stadium awal

(Kemenkes, 2016). Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan tes DNA

HPV, Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA), tes pap smear, pemeriksaan

sitology, colposcopy dan biopsy. Pemeriksaan IVA direkomendasikan

untuk daerah dengan sumber daya rendah dan diikuti dengan cryotherapy

untuk hasil IVA positif (Malehere, 2019).

c. Pencegahan tersier ( Penecegahan apabila seseorang sudah mengalami

penyakit beserta komplkasi)

Pencegahan tersier adalah pencegahan perburukan kondisi,

apabila seseorang sudah mengalami penyakit beserta komplikasinya,

yaitu dengan menangani kanker pada usia berapapun dengan: bedah,

radioterapi, kemoterapi, dan tata laksana paliatif (manajemen gejala,

kebutuhan sosial, dan spiritual) (Kemenkes, 2016).

9
2.14. Myoma Uteri

A. Pengertian

Mioma merupakan suatu pertumbuhan massa atau daging di dalam

rahim atau di luar rahim yang tidak bersifat ganas. Mioma berasal dari sel

otot polos yang terdapat di rahim dan pada beberapa kasus juga berasal dari

otot polos pembuluh darah rahim. Jumlah dan ukuran mioma bervariasi,

terkadang ditemukan satu atau lebih dari satu.

B. Penyebab

Menurut Aspiani ada beberapa faktor yang di duga kuat merupakan faktor

penyebab terjadina mioma uteri, yaitu :

1. Umur

Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia produktif dan sekitar

40%-50% pada wanita usia di atas 40 tahun. Mioma uteri jarang

ditemukan sebelum menarche (sebelum mendapatkan haid).

2. Hormon

Konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih tinggi dari pada

jaringan miometrium normal.

10
a. Estrogen

Mioma uteri dijumpai setelah menarke. Sering kali, pertumbuhan tumor

yang cepat selama kehamilan terjadi dan dilakukan terapi estrogen

eksogen. Mioma uteri akan mengecil pada saat menopouse dan oleh

pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak ditemukan bersamaan

dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas. Enzim

hidrxydesidrogenase mengungbah estradiol (sebuah estrogen kuat)

menjadi estrogen (estrogen lemah). Aktivitas enzim ini berkurang pada

jaringan miomatous, yang juga mempunyai jumlah reseptor estrogen

yang lebih banyak dari pada miometrium normal.

b. Progesteron

Progesteron merupakan antogonis natural dari estrogen. Progesteron

menghambat pertumbuhan tumor dengan dua cara, yaitu mengaktifkan

hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor estrogen pada

tumor.

3. Makanan

Makanan di laporkan bahwah daging sapi, daging setengah matang (red

meat), dan daging babi meningkatkan insiden mioma uteri, namun sayuran

hijau menurunkan insiden menurunkan mioma uteri.

11
4. Paritas

Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita multipara dibandingkan

dengan wanita yang mempunyai riwayat melahirkan 1 (satu) kali atau 2

(2) kali Faktor terbentuknya tomor:

a. Faktor internal

Faktor internal adalah faktor yang terjadinya reflikasi pada saat sel-sel

yang mati diganti oleh sel yang baru merupakan kesalahan genetika

yang diturunkan dari orang tua. Kesalahan ini biasanya mengakibatkan

kanker pada usia dini. Jika seorang ibu mengidap kanker payudara,

tidak serta merta semua anak gandisnya akan mengalami hal yang

sama, karena sel yang mengalami kesalahan genetik harus mengalami

kerusakan terlebih dahulu sebelum berubah menjadi sel kanker. Secara

internal, tidak dapat dicegah namun faktor eksternal dapat dicegah.

Menurut WHO, 10% – 15% kanker, disebabkan oleh faktor internal

dan 85%, disebabkan oleh faktor eksternal (Apiani, 2017).

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal yang dapat merusak sel adalah virus, polusi

udara, makanan, radiasi dan berasala dari bahan kimia, baik bahan

kimia yang ditam,bahkan pada makanan, ataupun bahan makanan

yang bersal dari polusi. Bahan kimia yang ditambahkan dalam

makanan seperti pengawet dan pewarna makanan cara memasak juga

12
dapat mengubah makanan menjadi senyawa kimia yang berbahaya.

Kuman yang hidup dalam makanan juga dapat menyebarkan racun,

misalnya aflatoksin pada kacang-kacangan, sangat erat hubungannya

dengan kanker hati. Makin sering tubuh terserang virus makin besar

kemungkinan sel normal menjadi sel kanker. Proses detoksifikasi

yang dilakukan oleh tubuh, dalam prosesnya sering menghasilkan

senyawa yang lebih berbahaya bagi tubuh,yaitu senyawa yang bersifat

radikal atau korsinogenik. Zat korsinogenik dapat menyebabkan

kerusakan pada sel. Berikut faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan tumor pada mioma, disamping faktor predisposisi

genetik.

C. Langkah Penapisan/Screening awal

Beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk mencegah mioma, antara lain:

 Melakukan olahraga dan aktivitas fisik secara rutin dan teratur.

 Menggunakan alat kontrasepsi hormonal di bawah pengawasan dokter.

 Menghindari kebiasaan merokok dan minum minuman beralkohol.

 Menjaga berat badan tetap ideal.

 Menjalani pola makan sehat yang tinggi serat dari sayur dan buah, serta

menghindari pola makan yang tinggi lemak dan tinggi gula.

13
D.  Manifestasi klinis / Gejala Mioma Uteri

Umumnya, mioma tidak menimbulkan gejala yang disadari pengidapnya.

Beberapa gejala umum yang dapat dirasakan, antara lain:

1. Menstruasi dalam jumlah banyak.

2. Perut terasa penuh dan membesar.

3. Gangguan berkemih akibat ukuran mioma yang menekan saluran kemih.

4. Keluarnya mioma melalui leher rahim yang umumnya disertai nyeri hebat,

sehingga menyebabkan luka dan terjadinya infeksi sekunder.

5. Konstipasi akibat mioma menekan bagian bawah usus besar.

6. Nyeri panggul berkepanjangan dan tak kunjung sembuh, yang dapat

dirasakan saat menstruasi, setelah berhubungan seksual, atau saat terjadi

penekanan pada panggul.

E. Faktor Risiko Mioma Uteri

Beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan risiko seseorang terserang

mioma, antara lain:

 Sudah berusia lebih dari 40 tahun.

 Riwayat keluarga mengidap mioma.

 Menstruasi pertama sebelum usia 10 tahun.

14
 Belum pernah hamil sebelumnya (wanita yang sudah pernah memiliki

anak cenderung lebih jarang mengalami mioma).

 Berat badan berlebih atau obesitas.

 Diet tinggi konsumsi daging merah, tetapi rendah sayuran hijau.

 Kebiasaan konsumsi minuman beralkohol.

 Kebiasaan merokok.

 Penggunaan alat kontrasepsi hormonal yang tinggi estrogen. 

 Keturunan Afrika-Amerika mempunyai kemungkinan 2,9 kali lebih tinggi

dibandingkan ras Kaukasia.

F. Patofisiologis

Mioma uteri sebagai tumor monoklonal yang tumbuh dari jaringan otot

halus di uterus yaitu pada lapisan miometrium. Tumor ini tergolong dalam

tumor jinak yang terdiri dari miofibroblas-miofibroblas tidak beraturan yang

terkubur dalam matriks ekstraseluler yang berjumlah besar. Matriks

ekstraseluler ini sendiri berkontribusi cukup besar pada volume tumor.

Kejadian yang mencetuskan tumor ini sendiri masih belum diketahui secara

pasti. [1-4]

G. Penatalaksanaan mioma uteri

Analgesik dapat diberikan untuk manajemen nyeri pasien. Umumnya

analgesik yang digunakan adalah golongan antiinflamasi nonsteroid, misalnya

15
naproxen 500 mg dua kali sehari, bila dibutuhkan.Pada pasien yang

mengalami gejala perdarahan uterus abnormal, pilihan obat berikut dapat

diberikan:

 Mifepristone 5-50 mg per oral sekali sehari selama 3-6 bulan

 Sistem levonorgestrel intrauterine (LNG-IUS) menunjukkan hasil yang

baik sebagai pilihan terapi mioma. Sediaan yang digunakan adalah 52 mg

dan dilepaskan setelah 5 tahun atau bila dibutuhkan

 Asam traneksamat merupakan obat prokoagulan yang terbukti memiliki

hasil baik dalam menurunkan perdarahan menstruasi. Dosis yang

digunakan adalah 1-1.5 gram 3-4 kali sehari (maksimal 4 gram per hari)

selama 4 hari dalam 1 siklus menstruasi

Penanganan Etiologis

Penanganan etiologis bertujuan untuk mengecilkan ukuran mioma uteri.

 Agonis gonadotropin-releasing hormone (GnRHa) dahulu digunakan

untuk mengecilkan mioma uteri namun kurang disukai karena efek

sampingnya berupa flushes dan osteopenia. Obat yang dapat digunakan

yaitu leuprolide 3.75 mg intramuskular tiap bulan hingga 3 bulan, atau

11.25 mg intramuskular dosis tunggal

 Baru-baru ini selective progesterone receptor agonist (sRPM) seperti

ulipristal asetat (UPA) mulai digunakan sebagai penanganan baru dalam

mioma uteri [21,24]

 Intervensi pembedahan masih menjadi strategi utama dalam penanganan

mioma uteri. Tindakan-tindakan yang paling sering dilakukan di antaranya

16
yaitu histerektomi, miomektomi laparaskopik, dan miomektomi

histeroskopik. Selain itu, metode minimal invasif menggunakan

embolisasi arteri uteri dan ablasi mioma uterus juga mulai dikembangkan

sebagai tata laksana mioma uteri.

 Histerektomi merupakan penanganan radikal dan definitif, khususnya

untuk pasien yang sudah tidak berharap memiliki anak, atau wanita-wanita

berusia 40-50 tahun.

 Eksisi mioma dan rekonstruksi anatomis uterus menjadi satu-satunya

teknik yang tersedia bagi wanita yang ingin mempertahankan uterusnya.

H. Klasifikasi mioma

Mioma uteri terdapat pada daerah korpus. Sesuai dengan lokasinya,

mioma ini dibagi menjadi tiga jenis.

1. Mioma Uteri Intramural

Mioma uteri merupakan yang paling banyak ditemukan. Sebagian besar

tumbuh diantara lapisan uterus yang paling tebal dan paling tengah

(miometrium). Pertumbuhan tumor dapat menekan otot disekitarnya dan

terbentuk sampai mengelilingi tumor sehingga akan membentuk tonjolan

dengan konsistensi padat. Mioma yaang terletak pada dinding depan uterus

dalam pertumbuhannya akan menekan dan mendorong kandung kemih ke

atas, sehingga dapat menimbulkan

keluhan miksi.

17
2. Mioma Uteri Subserosa

Mioma uteri ini tumbuh keluar dari lapisan uterus yang paling luar yaitu

serosa dan tumbuh ke arah peritonium. Jenis mioma ini bertangkai atau

memiliki dasar lebar. Apa bila mioma tumbuh keluar dinding uterus

sehingga menonjol kepermukaan uterus diliputi oleh serosa. Mioma serosa

dapat tumbuh di antara kedua lapisan ligamentum latum menjadi mioma

intraligamenter. Mioma subserosa yang tumbuh menempel pada jaringan

lain, misalnya ke ligamentum atau omentum kemudian membebaskan diri

dari uterus sehingga disebut wandering parasitis fibroid.

3. Mioma Uteri Submukosa

Mioma ini terletak di dinding uterus yang paling dalam sehingga menonjol

ke dalam uterus. Jenis ini juga dapat bertangkai atau berdasarkan lebar.

Dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian di keluarkan melalui

saluran seviks yang disebut mioma geburt. Mioma jenis lain meskipun

besar mungkin belum memberikan keluhan perdarahan, tetapi mioma

submukosa walaupun kecil sering

memberikan keluhan gangguan perdarahan. Tumor jenis ini sering

mengalami infeksi, terutama pada mioma submukosa pedinkulata. Mioma

submukosa pedinkulata adalah jenis mioma submukosa yang mempunyai

tangkai. Tumor ini dapat keluar dari rongga rahim ke vagina, dikenal

dengan nama mioma geburt atau mioma yang dilahirkan.

18
2.17. Haemoragia Ante Partum

A. Pengertian

Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah minggu ke 28

masa kehamilan.

B. Etiologi

Para ahli medis terus melakukan penelitian untuk mencari tahu

penyebab pasti pemicu terjadinya perdarahan antepartum. Namun hingga

kini, dari keseluruhan kasus perdarahan antepartum, sebagian didiagnosis

akibat robekan plasenta dan plasenta previa.

1. Plasenta previa

Plasenta previa merupakan penyebab utama perdarahan antepartum.1

Perdarahan akibat plasenta previa terjadi secara progresif dan berulang

karena proses pembentukan segmen bawah rahim.16 Sampai saat ini

belum terdapat definisi yang tetap mengenai keparahan derajat perdarahan

antepartum. Seringkali jumlah darah yang keluar dari jalan lahir tidak

sebanding dengan jumlah 8 perdarahan sebenarnya sehingga sangat

penting untuk membandingkan jumlah perdarahan dengan keadaan klinis

pasien.

Terdapat beberapa definisi yang dapat digunakan untuk

menggambarkan perdarahan antepartum:

a. Spotting – terdapat bercak darah pada pakaian dalam

19
b. Perdarahan minor – kehilangan darah < 50 mL

c. Perdarahan mayor – kehilangan darah 50–1000 mL tanpa tanda klinis

syok

d. Perdarahan masif – kehilangan darah > 1000 mL dengan/tanpa tanda

klinis syok.

1) Klasifikasi Plasenta Previa

Terdapat beberapa kemungkinan implantasi plasenta pada plasenta

previa:

a). Plasenta previa totalis atau komplit Plasenta yang menutupi

seluruh ostium uteri internum

b) Plasenta previa parsialis Plasenta yang menutupi sebagian ostium

uteri internum 10

c) Plasenta previa marginalis Plasenta yang tepinya berada pada

pinggir ostium uteri internum

d) Plasenta letak rendah Plasenta yang berimplantasi pada segmen

bawah rahim dimana tepi plasenta berjarak < 2 cm dari ostium

uteri internum. Apabila tepi plasenta berjarak > 2 cm dari ostium

uteri internum maka dianggap plasenta letak normal.

2) Patofisiologi

Penyebab plasenta melekat pada segmen bawah rahim belum

diketahui secara pasti. Ada teori menyebutkan bahwa vaskularisasi

20
desidua yang tidak memadahi yang mungkin diakibatkan oleh proses

radang atau atrofi dapat menyebabkan plasenta berimplantasi pada

segmen bawah rahim. Plasenta yang terlalu besar dapat tumbuh melebar

ke segmen bawah rahim dan menutupi ostium uteri internum. Pada saat

segmen bawah rahim terbentuk sekitar trisemester III atau lebih awal

tapak plasenta akan mengalami pelepasan dan menyebabkan plasenta

yang berimplantasi pada segmen bawah rahim akan mengalami laserasi.

Selain itu, laserasi plasenta juga disebabkan oleh serviks yang mendatar

dan membuka. Hal ini menyebabkan perdarahan pada tempat laserasi.

Perdarahan akan dipermudah dan diperbanyak oleh segmen bawah

rahim dan serviks yang tidak bisa berkontraksi secara adekuat.

Pembentukan segmen bawah rahim akan berlangsung secara progresif,

hal tersebut menyebabkan terjadi laserasi dan perdarahan berulang pada

plasenta previa. Pada plasenta previa totalis perdarahan terjadi lebih

awal dalam kehamilan bila dibandingankan dengan plasenta previa

parsialis ataupun plasenta letak rendah karena pembentukan segmen

bawah rahim dimulai dari ostium uteri internum. Segmen bawah rahim

mempunyai dinding yang tipis sehingga mudah diinvasi oleh

pertumbuhan vili trofoblas yang mengakibatkan terjadinya plasenta

akreta dan inkreta. Selain itu segmen bawah rahim dan serviks

mempunyai elemen otot yang sedikit dan rapuh sehingga dapat

menyebabkan perdarahan postpartum pada plasenta previa.

21
3) Manajemen Klinis

Gambaran Klinik Setiap wanita dengan perdarahan vaginam

setelah usia kehamilan lebih dari 20 minggu harus dicurigai sebagai

plasenta previa. Selain itu dapat ditemukan perdarahan tanpa rasa nyeri,

posisi abnormal dan presentasi letak tinggi. Diagnosis klinis sangat

penting untuk mencurigai dan penatalaksanaan plasenta previa, namun

diagnosis pasti tergantung dari hasil pemeriksanaan USG. Perdarahan

tanpa nyeri biasanya mulai terjadi pada akhir trisemester II ke atas.

Namun, perdarahan dapat terjadi sebelumnya dan dapat mengakibatkan

aborsi akibat lokasi abnormal plasenta. Pada umumnya perdarahan akan

berhenti akibat proses koagulasi dan akan berulang karena proses

pembentukan segmen bawah rahim. Pada setiap pengulangan akan

terjadi perdarahan yang lebih hebat. Pada plasenta previa totalis

perdarahan biasanya terjadi lebih awal. Sedangkan pada plasenta previa

parsialis dan plasenta letak rendah perdarahan terjadi mendekati atau

saat persalinan dimulai. Pada plasenta previa jarang terjadi koagulopati

karena tempat perdarahan dekat dengan ostium uteri sehingga darah

mudah mengalir ke luar uterus dan tidak membentuk hematoma

retroplasenta yang menyebabkan kerusakan jaringan dan pelepasan

tromboplastik ke dalam sirkulasi maternal.

2. Solusio Plasenta

22
Solusio Plasenta biasanya terjadi pada usia kehamilan sekitar 20

minggu atau trimester ketiga. American Pregnancy Association melansir,

solusio plasenta merupakan kondisi medis di mana plasenta terlepas dari

lapisan rahim sebelum ibu melahirkan. Kondisi ini bisa menyebabkan

suplai oksigen ke janin berkurang, sehingga mengakibatkan perdarahan

pada ibu hamil.

Solusio plasenta hanya terjadi pada satu persen ibu hamil, namun, bila

tidak ditangani dengan tepat akan membahayakan kondisi bayi di dalam

kandungan. Beberapa hal bisa menjadi faktor risiko terjadinya solusio

plasenta seperti, ibu hamil yang merokok, berusia di atas 35 tahun,

mengalami preeklamsia, hamil bayi kembar, atau riwayat solusio plasenta

pada kehamilan sebelumnya.

a. Klasifikasi Solusio plasenta

Klasifikasi dari solusio plasenta adalah sebagai berikut :

1) Solusio plasenta parsialis : bila hanya sebagian saja plasenta terlepas

dari tempat perlengkatannya.

2) Solusio plasenta totalis (komplek) : bila seluruh plasenta sudah

terlepas dari tempat perlengketannya.

3) Prolapsus plasenta : kadang-kadang plasenta ini turun ke bawah dan

dapat teraba pada pemeriksaan dalam.

b. Patofisologi

23
Perdarahan dapat terjadi dari pembuluh darah plasenta atau uterus

yang membentuk hematoma pada desidua, sehingga plasenta terdesak

dan akhirnya terlepas. Apabila perdarahan sedikit, hematoma yang kecil

itu hanya akan mendesak jaringan plasenta, perdarahan darah antara

uterus dan plasenta belum terganggu, dan tanda serta gejala pun belum

jelas. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada

pemeriksaan didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan

bekuan darah yang berwarna kehitam-hitaman. Biasanya perdarahan

akan berlangsung terus-menerus karena otot uterus yang telah meregang

oleh kehamilan itu tidak mampu untuk lebih berkontraksi menghentikan

perdarahannya. Akibatnya hematoma retroplasenter akan bertambah

besar, sehingga sebagian dan seluruh plasenta lepas dari dinding uterus.

Sebagian darah akan menyelundup di bawah selaput ketuban keluar dari

vagina atau menembus selaput ketuban masuk ke dalam kantong

ketuban atau mengadakan ektravasasi di antara serabut-serabut otot

uterus. Apabila ektravasasinya berlangsung hebat, maka seluruh

permukaan uterus akan berbercak biru atau ungu. Hal ini disebut uterus

couvelaire (perut terasa sangat tegang dan nyeri). Akibat kerusakan

jaringan miometrium dan pembekuan retroplasenter, maka banyak

trombosit akan masuk ke dalam peredaran darah ibu, sehinga terjadi

pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan

sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya terjadi

hipofibrinogenemi yang menyebabkan gangguan pembekuan darah

24
tidak hanya di uterus tetapi juga pada alat-alat tubuh yang lainnya.

Keadaan janin tergantung dari luasnya plasenta yang terlepas dari

dinding uterus. Apabila sebagian besar atau seluruhnya terlepas, akan

terjadi anoksia sehingga mengakibatkan kematian janin.

c. Manajemen Klinis

Gambaran Klinik Gambaran klinik penderita solusio plasenta

bervariasi sesuai dengan berat ringannya atau luas permukaan maternal

plasenta yang terlepas. Gejala dan tanda klinisnya yang klasik dari

solusio plasenta:

1) terjadinya perdarahan yang berwarna tua keluar melalui vagina (80%

kasus)

2) rasa nyeri perut dan uterus tegang terus-menerus mirip his partus

prematurus.

3) gejala yang lahir mirip tanda persalinan prematur saja. Oleh karena

itu, kewaspadaan atau kecurigaan yang tinggi diperlukan dari pihak

pemeriksa.

C. Tata Laksana

Jangan anggap sepele meski darah yang keluar hanya sedikit. Sebab

ada kemungkinan terdapat perdarahan parah yang belum sepenuhnya keluar.

25
Saat terjadi perdarahan hebat, keselamatan ibu akan selalu menjadi prioritas

utama. Keputusan terkait dengan kelahiran bayi pun harus menunggu sampai

kondisi ibu stabil.

Mengenai kategori besar atau kecilnya perdarahan, Anda dapat melihat

gambaran ini untuk mengetahuinya:

 Perdarahan besar, yaitu apabila tubuh kehilangan darah lebih dari

1.000 ml dengan atau tanpa tanda-tanda syok.

 Perdarahan sedang, yaitu apabila tubuh kehilangan darah sebanyak 50

- 1.000 ml dan tidak disertai tanda-tanda syok.

 Perdarahan kecil, yaitu apabila tubuh kehilangan darah kurang dari 50

ml dan sudah berhenti.

Lain halnya apabila terjadi gawat janin. Timbulnya kondisi ini merupakan

indikasi adanya pengurangan volume darah. Hal tersebut merupakan situasi

mendesak, di mana bayi harus dikeluarkan tanpa perlu lagi

mempertimbangkan usia janin.

Perdarahan antepartum merupakan kondisi serius yang perlu mendapat

penanganan secepat mungkin oleh dokter. Untuk mengganti darah dan cairan

tubuh yang keluar dari perdarahan, ibu perlu mendapat terapi cairan

dan transfusi darah.

26
Pada tahap selanjutnya, penanganan lebih lanjut sangat bergantung pada

penyebab perdarahan antepartum itu sendiri, tingkat perdarahan, keadaan

gawat janin, kondisi dan usia kehamilan, serta riwayat kesehatan Anda.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Mioma Uteri adalah salah satu penyakit yang tumbuh di bagian organ

reproduksi wanita. Mi0ma uteri merupakan tumor terbanyak yang menyerang

organ reproduksi wanita dan mioma in sering kali di sangkut pautkan dengan

kista dan kanker serviks, sedangkan Mioma uteri sendiri berisi gumpalan

daging yang terus tumbuh dan hanya berada pada daerah sekitar rahim

maupun dalam rahim, sedangkan kista umumnya berupa cairan yang akan

terus membesar dan Kanker serviks ialah kanker yang berada pada dinding

leher rahim dan termasuk dalam kategori ganas dan mematikan. Mioma uteri

dapat dipengaruhi dari faktor usia.. Kasus mioma uteri paling banyak

ditemukan pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun.. Perdarahan

antepartum adalah perdarahan yang terjadi setelah minggu ke 28 masa

kehamilan. Untuk mencari tahu penyebab pasti pemicu terjadinya perdarahan

antepartum. Namun hingga kini, dari keseluruhan kasus perdarahan

27
antepartum, sebagian didiagnosis akibat robekan plasenta atau solusio

plasenta dan plasenta previa.

3.2 Saran

Dari pemaparan materi di atas kami memberikan saran kepada

pembaca agar bisa memperoleh informasi mengenai Ca Seriks, Myoma

Uteri, Perdarahan Antepartum yang meliputi Solusio Plasenta dan Plasenta

Previa, dan kepada pemakalah semoga nanti kami bisa menambah refensi-

referensi terbaru.

28
DAFTAR PUSTAKA

1. Mansjoer, Arif. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media

Aesculapius

2. Tulandi, G. C., Sri, S., Widya, A. L., Validasi Metode Analisis untuk

Penetapan Kadar Parasetamol dalam Sediaan Tablet Secara

Spektrofotometri Ultraviolet, Jurnal Ilmiah Farmasi, 2018, 4(4):168–

178.

3. Burt B.A. 2018.The Use of Xylitol and Sorbitol Sweetened Chewing

Gum in Caries Control, J Am Dent Assoc137: 190.

4. Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2017; 523 – 529.

5. Musthafa. 2016. Manajemen Keuangan. CV. Andi Offset : Yogyakarta.

6. Setiawati, A., Dermawan.(2014). Media Pembelajaran Kesehatan. Gala

Ilmu Semesta.Yogyakarta

7. Ridayani, M. S. 2016. Analisis Implementasi Program Deteksi Dini

Kanker Servik dengan Metode Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA) di

Puskesmas Kota Semarang Tahun 2016. Skripsi. Semarang.

29
8. Yanti. (2014). Buku Ajar Kebidanan Persalinan. Yogyakarta: Pustaka

Rihama.

9. Septianingrum, Y., Tri Juwono, H., Triharini, M., Universitas

Nahdlatul Ulama Surabaya, F., Obsgyn Rsud Soetomo Surabaya, S., &

Keperawatan Universitas Airlangga Surabaya, F. (2017). Effect Of

Music Therapy On Pain, Anxiety And Cortisol Level In Primigravida

During Active Phase Based On Kolcaba’s Theory. The Proceeding Of

7th International Nursing Conference: Global Nursing Challenges In

The Free Trade Era.

10. Kementerian Kesehatan RI. 2016. INFODATIN Pusat Data dan

Informasi Kementerian Kesehatan RI Situasi Balita Pendek. Jakarta

Selatan.

11. Aspiani, Reni Yuli. (2017). Buku Ajar Asuhan Keperawatan

Maternitas. Jakarta:

30

Anda mungkin juga menyukai