Anda di halaman 1dari 113

BAB I

INFORMASI UMUM

A. Nama Blok : Keperawatan Medikal Bedah I


B. Nama Modul : Keperawatan Medikal Bedah I
C. SKS : 4 SKS (3 SKS Teori, 1 SKS Praktikum)
D. Tujuan Modul
Setelah mempelajari modul ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami konsep
kebutuhan oksigenasi, asuhan keperawatan pada pasien dengan masalah oksigenasi
serta ketrampilan pemenuhan kebutuhan oksigenasi secara komprehensif dan sistematis.

E. Deskripsi Modul
Pada blok ini mahasiswa akan mempelajari tentang pemenuhan kebutuhan klien dewasa
dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi, sirkulasi dan hematologi.
Pemberian asuhan keperawatan pada kasus gangguan pernapasan, kardiovaskuler, dan
hematologi berdasarkan proses keperawatan dengan mengaplikasikan ilmu biomedik
seperti biologi, histologi, biokimia, anatomi, fisiologi, patofisiologi, ilmu keperawatan
medikal bedah, ilmu penyakit dalam, farmakologi,nutrisi, bedah dan rehabilitasi.
Gangguan sistem tersebut meliputi gangguan peradangan, kelainan degenerative,
keganasan dan trauma, yang termasuk dalam 10 kasus terbesar baik lokal, regional,
nasional dan internasional. Lingkup bahasan mulai dari pengkajian sampai dengan
evaluasi asuhan terhadap klien. Intervensi keperawatan meliputi terapi Modalitas
Keperawatan pada berbagai kondisi termasuk terapi komplementer.

F. Metode Pembelajaran:
Proses pembelajaran dilakukan melalui kuliah pakar, collaborative learning (CL) dan
Belajar Berdasarkan Masalah (BDM),dan praktik laboratorium.

G. Kegiatan Mahasiswa
Pada awal pembelajaran dengan menggunakan modul ini, mahasiswa akan diberikan
kuliah pengantar (introduction lecturer) di kelas besar oleh koordinator blok yang
memberikan gambaran secara komprehensif pada mahasiswa mengenai modul yang akan
dipelajari, kompetensi, tujuan pembelajaran yang diharapkan, serta metode pembelajaran
yang digunakan.

1
Selanjutnya 2 mahasiswa akan mengikuti pembelajaran sesuai dengan metode
pembelajaran yang telah direncanakan pada modul. Proses pembelajaran dilanjutkan
melalui kegiatan praktikum dilaboratorium agar pemahaman konsep keperawatan medikal
bedah I dapat lebih baik. Pada praktikum ini, pembelajaran mahasiswa dimulai dengan
kasus pemicu yang bertujuan untuk menstimulasi kemampuan berfikir kritis dan melatih
kemampuan mahasiswa dalam menyelesaikan masalah pasien melalui tahapan proses
keperawatan. Hal ini dimulai dengan pengkajian, penetapan diagnosa, perencanaan,
implementasi dan evaluasi. Setiap langkah prosedur intervensi keperawatan yang
diperlukan telah diuraikan secara komplit dalam modul ini untuk melatih kompetensi
kognitif, afektif dan psikomotor mahasiswa secara utuh. Namun, hal ini tidak mengabaikan
kompetensi soft skill dalam melaksanakan prosedur tindakan keperawatan yang dilakukan
pada phantom/maneukin. Semua prosedur ini akan didampingi oleh masing-masing tutor
yang telah ditetapkan.

H. Kegiatan Tutor
1. Tutor diharapkan membaca, memahami dan menganalisa isi modul dengan baik.
2. Tutor diharapkan dapat memotivasi dan memfasilitasi mahasiswa agar lebih aktif
dalam proses pembelajaran.
3. Memahami sasaran belajar dan kompetensi yang diharapkan dengan baik pada
setiap kasus pemicu dengan berbagai metode pembelajaran.
4. Mengarahkan mahasiswa untuk berfikir kritis dalam menyelesaikan masalah
keperawatan sesuai dengan tahapan proses keperawatan dari kasus pemicu yang
diberikan.
5. Mengarahkan mahasiswa untuk menjaga ketertiban, inventaris ruang belajar dan
laboratorium.
6. Mengisi seluruh format evaluasi yang disiapkan untuk proses penilaian
pelaksanaan modul.
7. Apabila mengalami kesulitan dalam memahami isi modul ini, silahkan menghubungi
tim penyusun modul.

2
BAB II
PENDAHULUAN

A. Professional Profil
Mahasiswa setelah mengikuti proses pembelajaran ini mampu menerapkan pemenuhan
kebutuhan klien dewasa dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigenasi, sirkulasi
dan hematologi.

B. KOMPETENSI
HARD SKILLS
SOFT SKILLS
No KNOWLEDGE PSIKOMOTOR
KONSEP KEBUTUHAN OKSIGENASI
Mampu memahami anatomi 1. Berpikir kritis
dan fisiologi sistem respiratori 2. Inovatif dan
1.
kardiovaskuler dan kreatif
hematologi.
Mampu memahami asuhan
2. keperawatan pada pasien
dengan TB Paru
Mampu memahami asuhan
3. keperawatan pada pasien
dengan PPOK
Mampu memahami asuhan
4. keperawatan pada pasien
dengan Asma
Mampu memahami asuhan
5. keperawatan pada pasien
dengan kanker Paru
Mampu memahami asuhan
6. keperawatan pada pasien
dengan Pneumonia
Mampu memahami anatomi
7. dan fisiologi sistem
kardiovaskuler
Mampu memahami asuhan
keperawatan pada pasien
8.
dengan penyakit jantung
koroner
Mampu memahami asuhan
9. keperawatan pada pasien
dengan hipertensi
Mampu memahami asuhan
10. keperawatan pada pasien
dengan gagal jantung

3
Mampu memahami asuhan
11. keperawatan pada pasien
dengan anemia
Mampu memahami asuhan
12. keperawatan pada pasien
dengan leukemia
Mampu memahami asuhan
13 keperawatan pada pasien
dengan Demam Berdarah
Memahami trend dan issue
terkait gangguan sistem
14.
respiratori, kardiovakuler,
hematologi.
Melakukan simulasi
pendidikan
kesehatan dengan kasus
15. gangguan sistem pernafasan,
kardiovaskuler dan hematologi
pada klien dewasa dengan
memperhatikan aspek legal
dan etis
Mengintegrasikan hasil-hasil
penelitian kedalam asuhan
keperawatan dalam
16.
mengatasi masalah sistem
pernafasan, kardiovaskuler
dan hematologi

PRAKTIKUM KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

17. Menjelaskan asuhan Melakukan asuhan


keperawatan pasien dengan keperawatan pada pasien
gangguan oksigenasi yang dengan gangguan
meliputi: pengkajian, diagnosa oksigenasi yang meliputi:
keperawatan, intervensi pengkajian, diagnosa
mandiri, dan kolaborasi, keperawatan, intervnsi
implementasi serta evaluasi mandiri, dan kolaborasi,
implementasi serta
evaluasi
18. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan
tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur pengkajian dan
pengkajian dan pemeriksaan pemeriksaan sistem
fisik sistem pernapasan dan pernapasan dan
kardiovaskular kardiovaskular
19. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan
tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur fisioterapi dada
fisioterapi dada (postural (postural drainage,
drainage, perkusi, dan vibrasi) perkusi, dan vibrasi)

4
20. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan
tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur pemberian terapi
pemberian terapi nebulizer nebulizer

21. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan


tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur pemberian
pemberian oksigen oksigen
22. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan
tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur suctioning
suctioning (pengisapan) pada (pengisapan) pada
dewasa dan anak dewasa dan anak

23. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan


tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur perawatan
perawatan trakeostomi yang trakeostomi yang meliputi :
meliputi : perawatan luka dan perawatan luka dan
pembersihan pipa pembersihan pipa

24. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan


tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur perawatan water
perawatan water sealed sealed drainage (WSD)
drainage (WSD) yang meliputi yang meliputi perawatan
perawatan selang dan selang dan penggantian
penggantian botol WSD botol WSD

25. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan


tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur penyadapan dan
penyadapan dan interpretasi interpretasi EKG dasar
EKG dasar

26. Menjelaskan pengertian, Mempersiapkan alat dan


tujuan, manfaat, indikasi, alat bahan dan melakukan
dan bahan serta prosedur prosedur pemasangan
transfusi darah, tourniket transfusi darah dan
test/Rumple Leede tourniket test

5
C. JADWAL PERKULIAHAN
Hari/Tanggal Pukul Pertemuan Kompetensi Metode

13.30-14.20 1, 2, 3, Kuliah Introduksi


14.20-15.10 4,5,6,7,8
Rabu
6 Sept 2017 15.10-16.00 1 1 TCL: Anatomi Fisiologi
16.00-16.50 Sistem Kardiovaskuler

13.30-16.00 2 TCL: Anatomi Fisiologi


Sistem Repiratori,
Kamis
hematologi
7 Sept 2017
Pembagian TIK ISS
13.30-16.00 3 Konsultasi ISS 1
Senin
16.00-18.30
11 Sept 2017
Pembagian TIK ISS
13.30-16.00 4,5 Presentasi ISS 1
Kamis 16.00-18.30
12 Sept 2017

13.30-16.00 6,7 Presentasi ISS 2


Senin
13 Sept 2017

Selasa 13.30-16.00 8 Konsultasi ISS


14 Sept 2017 16.00-18.30
Rabu 13.30-16.00 9,10 Presentasi ISS 1
15 Sept 2017 16.00-18.30
Kamis 13.30-16.00 11,12 Presentasi ISS 2
18 Sept 2017 16.00-18.30
Selasa 13.30-16.00 Kuliah Pakar
19 Sept 2017 16.00-18.30
Selasa 13.30-16.00 Lab Mandiri
27 Sept 2017
Rabu 13.30-16.00 Ujian Tulis dan
28 Sept 2017 16.00-18.30 Responsi
Kamis 13.30-16.00 Ujian OSPE
29 Sept 2017 16.00-18.30

D. Jadwal Praktikum
No Hari/Tanggal PT Sesi Kasus Tutor

1 Rabu 13 Kasus I Ns. Devi Darliana, M.Kep.,


20 Sept 2017 I Sp.MB
13.30-15.10 Ns. Cut Husna, MNS
Ns. Anda Kamal, MNS

6
No Hari/Tanggal PT Sesi Kasus Tutor

Teuku Samsul Bahri, MNSc


II Ns. Rini Minar Melati, MNg
15.10-16.50 Ns. Ahyana, MNS

2 Kamis 14 Kasus II Teuku Samsul Bahri, MNSc


21 Sept 2017 I Ns. Rini Minar Melati, MNg
15.10-16.50 Ns. Ahyana, MNS

Ns. Devi Darliana, M.Kep.,


II Sp.MB
15.10-16.50 Ns. Cut Husna, MNS
Ns. Anda Kamal, MNS
3 Senin 15 Kasus III Ns. Devi Darliana, M.Kep.,
25 Sept 2017 I Sp.MB
13.30-15.10 Ns. Cut Husna, MNS
Ns. Anda Kamal, MNS
Teuku Samsul Bahri, MNSc
II Ns. Rini Minar Melati, MNg
15.10-16.50 Ns. Ahyana, MNS

4 Selasa 16 Kasus IV Teuku Samsul Bahri, MNSc


26 Sept 2017 I Ns. Rini Minar Melati, MNg
13.30-15.10 Ns. Ahyana, MNS

Ns. Devi Darliana, M.Kep.,


II Sp.MB
15.10-16.50 Ns. Cut Husna, MNS
Ns. Anda Kamal, MNS

KETERANGAN MATERI PRAKTIKUM

No PRAKTIKUM TINDAKAN KEPERAWATAN TUTOR

1 Kasus I Pemasangan infuse, Transfusi Darah, Ns. Rini Minar Melati, MNg
Tourniket test Ns. Nani Safuni, MNg
2 Kasus II Perawatan WSD (Water Seal Ns. Cut Husna, MNS
Drainage), Nebulisasi/inhalasi, Teuku Samsul Bahri, S.Kp.,
Fisioterapi dada/ postural drainage MNSc
3 Kasus III Penyadapan dan Interpretasi EKG, Ns. Devi Darliana, M.Kep.,
Terapi O2 Sp.MB
4 Kasus IV Analisa Gas Darah, Suctioning, Ns. Anda Kamal, MNS
Perawatan Trakheostomi Ns. Ahyana, MNS

7
D. METODE EVALUASI
1. Diskusi/presentasi individu :7%
2. Soft skills : 6%
3. Tugas Individu/kelompok * : 7%
4. Ujian Responsi** : 10%
5. Ujian tulis/final : 35%
6. Pratikum *** : 30%
7. Absensi : 5%
Keterangan:
* Tugas Individu :Tugas kelompok : 60%, 40%
** Evaluasi anatomi dan fisiologi : 5%
*** Presentase penilaian pratikum :
Prestes 10%, Proses Tindakan 20%, Ospe 65%

E. TUTOR
1. Ns. Devi Darliana, M.Kep. Sp.MB
2. Ns. Cut Husna, MNS
3. Teuku Samsul Bahri, SKp, MNSc
4. Ns. Anda Kamal, MNS,
5. Ns. Nani Safuni, MNg
6. Ns. Ahyana, MNS
7. Ns. Rini Minar Melati, MNg

8
BAB III
KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I

Banyak pasien yang mengalami gangguan pada sistem respiratori, kardiovaskuler dan
hematologi. Untuk dapat melakukan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan
oksigenasi maka perlu mempelajari tentang sistem tubuh yang mensuplai kebutuhan oksigen
tubuh yaitu anatomi fisiologi sistem respiratori dan sistem kardiovaskular serta penyakit yang
timbul akibat gangguan oksigenasi.

A. ANATOMI FISIOLOGI PERNAFASAN


1. Anotomi Jalan Nafas
Anatomi jalan nafas te rdiri dari: hidung, faring, tonsil dan adenoid, laring, trachea,
bronchus, bronkhiolus, paru-paru, alveoli.

2. Fisiologi Pernapasan
Fisioligi pernafasan terdiri dari: saluran udara, bronkus dan persarafannya.

3. Mekanisme pernapasan
Tujuan dari pernapasan adalah untuk menyediakan oksigen bagi jaringan dan
membuang karbon dioksida. Untuk mencapai tujuan ini, pernapasan dapat di bagi menjadi
empat peristiwa fungsional utama: (1) Ventilasi paru, yang berarti masuk dan keluarnya
udara antara atmosfer dan alveoli paru, (2) Difusi oksigen dan karbon dioksida antara
alveoli dan darah, (3) Transpor oksigen dan karbon dioksida dalam darah dan cairan tubuh
ke dan dari sel, (4) Pengaturan ventilasi dan hal-hal lain dari pernapasan.

Mekanisme ventilasi
Paru-paru dapat dikembang kempiskan melalui dua cara:
1) Diafragma bergerak turun naik untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada
2) Depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter
anteroposterior rongga dada.
Yang mencerminkan mekanisme ventilasi disebut dengan istilah volume paru
dan kapasitas paru. Volume paru terbagi menjadi 4 bagian, yaitu:
1) Volume Tidal adalah volume udara yang diinspirasi atau diekspirasi pada setiap kali
pernapasan normal. Besarnya ± 500 ml pada rata-rata orang dewasa.

9
2) Volume Cadangan Inspirasi adalah volume udara ekstra yang diinspirasi setelah volume
tidal, dan biasanya mencapai ± 3000 ml.
3) Volume Cadangan Eskpirasi adalah jumlah udara yang masih dapat dikeluarkan dengan
ekspirasi kuat pada akhir ekspirasi normal, pada keadaan normal besarnya ± 1100 ml.
4) Volume Residu, yaitu volume udara yang masih tetap berada dalam paru-paru setelah
ekspirasi kuat. Besarnya ± 1200 ml.
Kapasitas paru merupakan gabungan dari beberapa volume paru dan dibagi
menjadi empat bagian, yaitu:
1) Kapasitas Inspirasi, sama dengan volume tidal + volume cadangan inspirasi. Besarnya ±
3500 ml, dan merupakan jumlah udara yang dapat dihirup seseorang mulai pada tingkat
ekspirasi normal dan mengembangkan paru sampai jumlah maksimum.
2) Kapasitas Residu Fungsional, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume
residu. Besarnya ± 2300 ml, dan merupakan besarnya udara yang tersisa dalam paru
pada akhir eskpirasi normal.
3) Kapasitas Vital, sama dengan volume cadangan inspirasi + volume tidal + volume
cadangan ekspirasi. Besarnya ± 4600 ml, dan merupakan jumlah udara maksimal yang
dapat dikeluarkan dari paru, setelah terlebih dahulu mengisi paru secara maksimal dan
kemudian mengeluarkannya sebanyak-banyaknya.
4) Kapasitas Paru Total, sama dengan kapasitas vital + volume residu. Besarnya ± 5800
ml, adalah volume maksimal di mana paru dikembangkan sebesar mungkin dengan
inspirasi paksa.
Faktor utama yang mempengaruhi kapasitas vital adalah bentuk anatomi tubuh,
posisi selama pengukuran kapasitas vital, kekuatan otot pernapasan dan pengembangan
paru dan rangka dada (compliance paru).
Penurunan kapasitas paru dapat disebabkan oleh kelumpuhan otot pernapasan,
misalnya pada penyakit poliomyelitis atau cedera saraf spinal, berkurangnya compliance
paru, misalnya pada pasien asma kronik, tuberkulosa, bronchitis kronik, kanker paru dan
pleuritis fibrosa dan pada pasien penyakit bendungan paru, misalnya pada gagal jantung
kiri.

Difusi dan perfusi


Difusi adalah proses dimana terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida pada
tempat pertemuan udara-darah. Membran alveolar-kapiler merupakan tempat yang ideal
untuk difusi karena membran ini mempunyai permukaan yang luas dan tipis. Pada orang

10
dewasa normal, oksigen dan karbondioksida mengalir menembus membran alveoli-kapiler
tanpa mengalami kesulitan.
Perfusi pulmonal adalah aliran darah aktual melalui sirkulasi pulmonal. Darah
dipompakan kedalam paru-paru oleh ventrikel kanan melalui arteri pulmonal. Arteri
pulmonal terbagi menjadi cabang kanan dan kiri untuk mensuplai kedua paru. Normalnya
20% darah dipompa oleh ventrikel kanan tidak berperfusi melalui kapiler pulmonal. Darah
tersebut ini mengalir ke dalam jantung sebelah kiri tanpa ikut serta dalam pertukaran gas
alveolar.
Sirkulasi pulmonal dianggap sistem tekanan darah rendah karena tekanan darah
sistolik dalam arteri pulmonalis adalah 20-30 mmHg dan tekanan sistolik adalah 5-15
mmHg. Karena tekanan yang rendah ini, vaskulator pulmonal normalnya dapat
menyamakan kapasitasnya untuk mengakomodasi aliran darah yang diterimanya. Namun
demikian ketika seseorang dalam posisi tegak, tekanan arteri pulmonal tidak cukup besar
untuk mensuplai darah ke bagian apeks paru terhadap kekuatan gaya gravitasi. Dengan
demikian, ketika individu dalam posisi tegak, paru dapat dianggap terbagi menjadi tiga
bagian : bagian atas dengan suplai darah yang buruk, bagian bawah dengan suplai darah
maksimal dan bagian di antara keduanya dengan suplai darah sedang. Ketika seseorang
berbaring ke salah satu sisi, lebih banyak darah yang melewati paru terendah.

B. ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM KARDIOVASKULAR


Jantung terletak di ruang mediastinum diantara kedua paru-paru. Jantung
merupakan organ tubuh vital, karena bila fungsinya mengalami gangguan maka sangat
besar pengaruhnya terhadap organ-organ tubuh lainnya. Fungsi utama jantung adalah
memompa darah ke seluruh tubuh sehingga mampu memenuhi kebutuhan oksigenasi dan
nutrisi untuk metabolisme sel-sel tubuh.

1. Struktur jantung
Jantung terdiri atas 3 lapis yaitu:
a. Epikardium (pericardium visceral) yaitu lapisan luar jantung yang terbagi atas 2
lapisan yaitu:
1) Lapisan parietal adalah lapisan luar yang melekat pada dinding dada dan
selaput paru
2) Lapisan visceral, lapisan jantung itu sendiri

11
Diantara kedua lapisan tersebut terdapat cairan pericardium ± 20 ml yang
berfungsi sebagai pelumas untuk mengurangi gesekan saat jantung
berkontraksi.
b. Miokardium, yaitu jaringan utama otot jantung yang bertanggung jawab atas
kemampuan kontraksi jantung.
c. Endokardium, yaitu lapisan tipis bagian dalam otot jantung yang berhubungan
langsung dengan darah dan juga membentuk katup jantung.

2. Ruang Jantung
Jantung dibagi menjadi 4 ruang, yaitu: 2 ruang atrium (serambi) dan 2 ruang ventrikel.
a. Atrium (serambi)
Atrium memompakan darah dengan jarak yang pendek, yaitu ke ventrikel,
Oleh karena itu otot atrium lebih tipis dibandingkan dengan otot ventrikel. Ruang
atrium dibagi menjadi 2, yaitu atrium kanan dan atrium kiri. Ada beberapa ostium
atau muara pembuluh darah besar yang terdapat di kedua atrium, yaitu:
1) Ostium Superior vena cava, yaitu muara atau lubang yang terdapat diruang
atrium kanan yang menghubungkan vena cava superior dengan atrium kanan.
2) Ostium Inferior vena cava, yaitu muara atau lubang yang terdapat di atrium
kanan yang menghubungkan vena cava inferior dengan atrium kanan.
3) Ostium coronary atau sinus coronarius, yaitu muara atau lubang yang terdapat
di atrium kanan yang menghubungkan sistem vena jantung dengan atrium
kanan.
4) Ostium vena pulmonalis, yaitu muara atau lubang yang terdapat di atrium kiri
yang menghubungkan antara vena pulmonalis dengan atrium kiri yang
mempunyai 4 muara.

b. Ventrikel (ventrikel)
Fungsi ventrikel secara umum adalah memompakan darah ke sistem sirkulasi
sistemik dan pulmonal. Tekanan jantung sebelah kiri lebih besar dibandingkan
dengan tekanan jantung sebelah kanan, hal ini terjadi karena jantung kiri
menghadapi aliran darah sistemik atau sirkulasi sistemik yang terdiri dari beberapa
organ tubuh sehingga dibutuhkan tekanan yang besar dibandingkan dengan jantung
kanan yang hanya bertanggung jawab pada organ paru-paru saja, sehingga otot

12
jantung sebelah kiri khususnya otot ventrikel sebelah kiri lebih tebal dibandingkan
otot ventrikel kanan.

Gambar 6. Ruang-ruang jantung dan katup jantung

3. Katup Jantung
Jantung dipisahkan menjadi dua bagian yaitu: kanan dan kiri oleh septum, sebuah
partisi yang mengandung myocardium yang dilapisi oleh endocardium. Tiap sisi dipisahkan
oleh katup atrioventrikular sehingga atrium pada ruang yang atas dan ventrikel pada ruang
yang bawah. Katup atrioventrikular tersusun oleh double folds endocardium yang diperkuat
dengan sedikit jaringan fibrosa. Katup atrioventrikular kanan (katup trikuspid) memliki 3
flaps/cusps/daun. Katup atrioventrikular kiri (katup mitral) memiliki 2 flaps/cusps/daun.
Aliran darah jantung adalah aliran searah, darah memasuki jantung melalui atrium dan
keluar melewati ventrikel di bawahnya.
Katup antara atrium dan ventrikel membuka dan menutup secara pasif tergantung
pada perubahan tekanan dalam ruangan. Katup terbuka ketika tekanan atrium lebih besar
dari tekanan ventrikel. Selama ventrikel benkontaksi (sistol) tekanan pada ventrikel
meningkat di atas atrium dan katup tertutup, untuk mencagah aliran backward.
Jantung terdiri atas 4 ruang yaitu atrium kanan, ventrikel kanan, atrium kiri, dan
ventrikel kiri. Jantung juga memiliki beberapa katup yang berfungsi untuk mencegah
refluks/aliran balik darah. Aliran darah dari seluruh tubuh memasuki jantung melalui vena
cava superior (bagian tubuh atas) dan vena cava inferior ke dalam atrium kanan. Kemudian
darah dari atrium kanan mengalir ke dalam ventrikel kanan. Setelah memenuhi ventrikel
kanan, darah akan dipompakan ke arteri pulmonalis dan saat inilah katup antara atrium

13
kanan dan ventrikel kanan (trikuspidalis) menutup sehingga mencegah refluks darah dari
ventrikel kanan ke atrium kanan. Darah yang telah memasuki arteri pulmonalis dialirkan ke
paru-paru dan dicegah agar tidak refluks ke ventrikel kanan oleh katup pulmonalis
Setelah darah memasuki paru-paru, darah akan melepaskan karbondioksida dan
mengikat oksigen. Darah yang kaya oksigen ini dibawa menuju atrium kiri melalui vena
pulmonalis. Darah yang telah memenuhi atrium kiri, mengalir ke ventrikel kiri. Dari ventrikel
kiri, darah akan dialirkan ke seluruh tubuh melalui aorta. Pencegahan aliran balik dari
ventrikel kiri ke atrium kiri dilakukan oleh katup bikuspid/katup mitral (terletak antara atrium
kiri dan ventrikel kiri). Kemudian dari aorta darah akan dialirkan ke seluruh tubuh. Katup
aorta berfungsi untuk menjaga darah yang telah memasuki aorta tidak kembali ke ventrikel
kiri.

4. Arteri Koroner
Aliran darah melalui atrium dan ventrikel tidak menyuplai oksigen dan nutrien untuk
miokardium itu sendiri. Sirkulasi koroner merupakan cabang sirkulasi sistemik yang
menyuplai oksigen dan nutrien ke miokardium dan membuang sampah dari miokardium.
Arteri koroner muncul dari aorta tepat di atas dan di belakang katup aorta melalui muara,
yang disebut ostium koroner. Suplai darah yang paling banyak ini mengaliri miokardium
ventrikular kiri, yang mengandung lebih banyak otot dan yang paling banyak melakukan
kerja jantung. Arteri koroner diisi selama diastole ventikular. Apabila suplai darah ke
jantung berkurang (ischemia), maka akan menyebabkan terganggunya fungsi jantung.
Apalagi bila arteri koroner mengalami sumbatan total atau yang disebut dengan infark
miokard maka dapat menyebabkan kematian.
Arteri koroner dibagi dua, yaitu:
a. Arteri koroner kiri
Arteri koroner kiri mempunyai 2 cabang yaitu LAD (Left Anterior Desenden) dan
arteri cirkumflex. Kedua arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk anatomis
eksterna, yaitu sulcus coronary atau sulcus atrioventrikuler yang melingkari jantung
diantara atrium dan ventrikel, yang kedua yaitu sulcus interventrikuler yang
memisahkan kedua ventrikel. Pertemuan kedua lekuk ini dibagian permukaan posterior
jantung yang merupakan bagian dari jantung yang sangat penting yaitu kruks jantung.
Nodus AV node berada pada titik ini.
LAD arteri bertanggung jawab untuk mensuplai darah untuk otot ventrikel kiri
dan kanan, serta bagian interventrikuler septum. Sirkumflex arteri bertanggung jawab

14
untuk mensuplai 45% darah untuk atrium kiri dan ventrikel kiri, 10% bertanggung jawab
mensuplai SA node.

b. Arteri Koroner Kanan


Arteri koroner kanan bertanggung jawab mensuplai darah ke atrium kanan,
ventrikel kanan, permukaan bawah dan belakang ventrikel kiri, 90% mensuplai AV
Node,dan 55% mensuplai SA node.

Gambar 7. Arteri dan vena jantung.

Faktor-faktor yang mempengaruhi aliran darah koroner


a. Tekanan perfusi koroner (tekanan diastolic aorta - tekanan sinus koroner/Right Atrium
pressure)
Pada orang dewasa normal, tekanan yang dapat mengalirkan darah ke sirkulasi
koroner sebesar 90 mmHg. Aliran darah koroner menurun ketika tekanan < 5o
mmHg. Aliran darah benar-benar berhenti bila tekanan perfusi koroner < 20 mmHg
yang disebut critical closing pressure.

15
b. Resistensi vascular koroner
Resistensi terhadap aliran darah dipengaruhi oleh diameter arteri koroner.
Apabila arteri menyempit, resistensi meningkat sehingga laju dan volume aliran darah
menurun. Apabila terjadi dilatasi arteri, resistensi menurun sehingga laju dan volume
darah meningkat. Diameter pembuluh darah diatur secara otomatis (autoregulated)
oleh kebutuhan metabolic miokard. Apabila terjadi peningkatan kebutuhan oksigen
miokard (mis. Olahraga), maka arteri koroner mengalami dilatasi untuk meningkatkan
aliran darah ke miokard 4-5 kali normal (istirahat).

c. Obstruksi arteri koroner


Obstruksi dapat disebabkan oleh spasme, plak atherosclerosis dan atau adanya
thrombus.

5. Sirkulasi Darah
Sistem kardiovaskuler mendistribusikan darah ke seluruh tubuh melalui sistem
peredaran darah (sirkulasi darah). Sirkulasi darah terbagi menjadi 2 bagian yaitu: sirkulasi
sistemik (sistem peredaran darah besar) dan sirkulasi pulmonal (sistem peredaran kecil).
b. Sirkulasi pulmonal
Sirkulasi pulmonal atau disebut juga sistem peredaran darah kecil adalah
sirkulasi darah antara jantung dan paru-paru. Darah dari jantung (ventrikel kanan)
dialirkan ke paru-paru melalui arteri pulmonalis. Darah ini banyak mengandung
karbondioksida sebagai sisa metabolisme untuk dibuang melalui paru-paru ke
atmosfer. Selanjutnya darah akan teroksigenasi pada kapiler paru dan kembali ke
jantung (atrium kiri) melalui vena pulmonalis.

c. Sirkulasi sistemik
Sirkulasi sistemik adalah sirkulasi darah dari jantung (ventrikel kiri) ke seluruh
tubuh (kecuali paru-paru). Darah masuk ke atrium kiri dari vena pulmonaris. Darah di
atrium kiri mengalir ke ventrikel kiri melalui katup atrioventrikular (AV), yang terletak
di sambungan atrium dan ventrikel (katup mitralis). Darah dari ventrikel kiri menuju
ke aorta melalui katup aorta. Darah di aorta diteruskan ke seluruh sirkulasi sistemik
melalui arteri, arteriol dan kapiler yang kemudiaan menyatu kembali untuk
membentuk vena-vena. Vena-vena dari bagian bawah tubuh mengembalikan darah
ke vena terbesar, vena kava inferior, sedangkan vena dari bagian atas tubuh

16
mengembalikan darah ke vena kava superior. Kedua vena bermuara ke atrium
kanan.
Darah dari ventrikel kiri dipompakan ke seluruh tubuh melalui aorta,
kemudian aorta bercabang-cabang menjadi arteri-arteri yang lebih kecil yang
tersebar ke seluruh tubuh. Selanjutnya darah dikembalikan ke jantung (atrium
kanan) melalui vena cava. Sirkulasi darah antara jantung dan seluruh tubuh berjalan
satu arah. Darah dari ventrikel kanan dialirkan ke paru-paru kemudian kembali ke
jantung dan diedarkan ke seluruh tubuh dari ventrikel kiri melalui aorta. Aorta akan
bercabang-cabang menjadi arteri, arteriola dan kapiler. Selanjutnya dikembalikan ke
jantung melalui vena (pembuluh balik).

Semua katup jantung membuka ketika tekanan dalam ruang jantung atau
pembuluh yang berada di atasnya melebihi tekanan di dalam ruang atau pembuluh
yang ada di bawah. Gambar 9. System peredarah darah

6. Pompa Miokard
Kerja pompa jantung sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi jaringan.
Efektifitas pompa jantung yang menurun, seperti yang terjadi pada penyakit arteri
koroner (coronary arteri disease) dan kondisi kardiomiopati, menyebabkan volume curah
jantung menurun, serta volume darah yang dikeluarkan dari ventrikel juga menurun.
Perdarahan dan dehidrasi dapat menurunkan keefektifan pompa jantung, hal ini terjadi
karena berkurangnya volume darah yang bersirkulasi, sehingga menurunkan jumlah
darah yang dikeluarkan dari ventrikel.

17
Ruang-ruang jantung diisi selama diastole dan dikosongkan selama sistole.
Keefektifan keadaan diastolik dan sistolik dalam siklus jantung dapat dikaji dengan
memantau tekanan darah klien. Serabut otot jantung memiliki kontraktil yang
memungkinkan akan meregang selama proses pengisian darah. Pada jantung yang
sehat, regangan ini secara proporsional berhubungan dengan kekuatan kontraksi. Saat
miokard merengang, maka kekuatan kontraksi berikutnya akan meningkat. Peristiwa ini
dikenal dengan dengan hukum jantung Frank-Starling.
Pada jantung yang mengalami ganguan, hukum Frank Starling tidak berlaku
karena tegangan miokard di luar batas fisiologis jantung. Respons kontraktil yang
berikutnya mengakibatkan insufisiensi pengosongan ventrikular (volume) dan darah
mulai terkumpul di paru-paru sehingga menyebabkan gagal jantung kiri atau terkimpul
ke sirkulasi sistemik sehingga menyebabkan gagal jantung kanan.

7. Sistem Konduksi Jantung


Jantung mempunyai keistimewaan dibandingkan organ–organ lain dalam
aktivitasnya, hal ini disebabkan karena didalam otot jantung terdapat pacemaker
sehingga jantung mempunyai 4 sifat istimewa, yaitu :
a. Automaticity.
Sifat spontanitas jantung yang dapat berdenyut secara teratur (Rhytm) dan
independen tanpa harus menunggu perintah dari otak, hal ini disebabkan karena sel-
sel pacemaker secara automatis mengeluarkan impuls secara teratur.
b. Excitability.
Apabila terjadi ketidakseimbangan pada unsur-unsur yang berperan dalam proses
elektrofisiologi sel jantung, maka sel-sel jantung akan berespon secara fisiologis
untuk mempertahankan hemostastis.
c. Conductivity.
Adanya jaringan neuromuskular yang membentuk lintasan penghantar bioelektrik
secara normal dimulai dari SA node, AV node, Bundle of his, fiber furkinje hingga ke
sel-sel otot jantung sehingga menimbulkan kontraktilitas jantung.
d. Contractility.
Secara fisiologis mampu merespon impuls yang masuk ke sel-sel otot jantung
dengan berkontraksi dan berelaksasi.

Dalam keadaan normal, terdapat nodus pada sel miokardium yang


berdepolarisasi secara spontan, menyebarkan impuls listrik ke seluruh sel

18
miokardium. Kontraksi atrium dan ventrikel dikoordinasikan oleh suatu jaringan
anatomik yang dinamakan sistem konduksi jantung.

Gambar 10. sistem konduksi jantung.

Sistem konduksi jantung terdiri dari:


1. Sinoatrial Node (SA Node)
SA node terletak antara sambungan vena kava superior dan atrium kanan. SA
node berfungsi sebagai pacu jantung ke seluruh miokardium dengan mengeluarkan
impuls 60-100x/menit pada saat istirahat, tetapi dapat berubah frekuensinya bila
dipengaruhi oleh saraf simpatis dan saraf parasimpatis.

2. Atrioventrikular Node (AV Node)


Terletak diatas sinus coronarius pada dinding posterior atrium kanan dekat katup
trikuspidalis. Menghasilkan impuls 40-60x/menit. AV node berkoordinasi dengan impuls
listrik yang dating dari atrium dan menghantarkannya ke ventrikel melalui bundle his.

3. Bundle His
Bundle his menembus jaringan pemisah miokardium atrium dan ventrikel . Pada
septum ventrikel bercabang menjadi 2 yaitu right bundle branch (RBB) dan left bundle
branch (LBB). RBB dan LBB kemudian menuju endokardium ventrikel kanan dan kiri
dan bercabang yang disebut serabut purkinje.

19
4. Serabut Purkinje
Menghantarkan impuls menuju lapisan subendokardial pada kedua ventrikel,
sehingga terjadi depolarisasi yang diikuti kontraksi ventrikel. Mengeluarkan impuls
dengan frekuensi 20-40x/menit. Pemacu cadangan ini berfungsi untuk mencegah
berhentinya denyut jantung pada saat SA node tidak berfungsi.
Frekuensi jantung ditentukan oleh SA node, namun bila SA node tidak berfungsi
maka AV node akan mengambil alih fungsinya. Bila keduanya tidak berfungsi maka
miokardium akan terus berdenyut dengan kecepatan kurang dari 40x/menit, yang
merupakan kecepatan pacu jantung intrinsik sel-sel miokard ventrikel.
Aktivitas listrik sistem konduksi direfleksikan dengan elektrokardiogram (EKG).
EKG memantau keteraturan dan alur impuls listrik melalui sistem konduksi, namun EKG
tidak merefleksikan kerja otot jantung.
Gelombang P merupakan konduksi listrik melalui atrium. Dalam kondisi normal,
kontraksi atrium mengikuti gelombang P. Interval PR mewakili waktu perjalanan impuls
melalui nodus AV, berkas His, dan ke serat Purkinje. Panjang interval PR yang normal
adalah 0,12 hingga 0,20 detik. Peningkatan waktu mengindikasikan bahwa terdapat
hambatan pada transmisi impuls melalui nodus AV, sedangkan penurunan waktu
mengindikasikan dimulainya impuls listrik dari suatu sumber lain selain nodus SA.
Kompleks QRS mengindikasikan impuls listriks telah berjalan melalui ventrikel.
Durasi QRS normal adalah 0,6 sampai 0,12 detik. Peningkatan durasi QRS
mengindikasikan suatu penundaan waktu konduksi melalui ventrikel. Kontraksi
ventrikular biasanya terjadi setelah komplek QRS.
Interval QT mewakili waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi dan repolarisasi
ventrikular. Perubahan nilai elektrolit, seperti hipokalsemia atau terapi dengan obat-
obatan, seperti quinodaron, dan teofilin dapat meningkatkan interval QT. Pemendekan
interval QT akan terjadi, jika diberikan terapi digitalis, hiperkalemia, dan hiperkalsemia.

20
Gambar 11. Sistem konduksi jantung direfleksikan dengan EKG.

8. Siklus Jantung
Darah mengalir secara terus-menerus kedalam atrium dari vena sistemik dan
pulmonal. Pengisian dan pengosongan atrium merupakan suatu siklus yang
berkesinambungan. Mekanisme pengisian (diastole) dan pengosongan (diastole) untuk
kedua ventrikel terbagi menjadi beberapa fase.
a. Fase diastole ventrikel
1) Fase I: protodiastole
Merupakan fase paling awal (merupakan fase diastole), dimana ventrikel
mengalami relaksasi, katup aorta dan pulmonal menutup, sedangkan katup
mitral dan katup tricuspid tetap tertutup. Atrium terisi oleh darah yang mengalir
ke ventrikel.
2) Fase II: Isovolumetric relaxation
Ventrikel terus mengalami relaksasi dan tekanan di ventrikel menurun.
Pengisian atrial yang terus berlangsung meningkatkan tekanan atrium. Pada fase
ini masih belum ada darah yang mengalir ke ventrikel.
3) Fase III: Passive filling
Ketika tekanan di atrium melebihi tekanan di ventrikel, katup
atrioventrikuler membuka dan darah mengalir ke ventrikel sekitar 70-90%.
Pengisian ventrikel terjadi pada fase passive filling.
4) Fase IV: Atrial contraction (atrial click)

21
Peningkatan kecil pada tekanan di atrium disebabkan oleh kontraksi
atrium (atrial click) pada akhir diastole, menyebabkan augmented ventricular end
diastolic filling (pengisian yang diperkuat pada akhir diastolic ventrikel).

b. Fase sistol ventrikel


1) Fase I: isovolumetric contraction
Ejeksi ventrikel terjadi ketika katup semilunar terbuka dan tekanan di
ventrikel meningkat sehingga darah mengalir keluar ventrikel menuju aorta
hingga tekanan di aorta sama dengan tekanan di ventrikel.
Ketika ventrikel berhenti berkontraksi dan mulai relaksasi maka tekanan
di ventrikel sama dengan di aorta. Ventrikel tidak mengeluarkan atau memompa
seluruh darah ke aorta, sehingga ventrikel terdapat darah sisa. Darah yang
tersisa di ventrikel itu disebut End Systolic Volume (ESV).

2) Fase II dan III: Rapid dan Slowed ventricular ejection


Ketika tekanan intraventrikular meningkat sampai pada level yang lebih
tinggi dari tekanan diastolic arteri besar, katup semilunar membuka. Kontraksi
ventrikel menyebabkan peningkatan tekanan. Tekanan sistolik ventrikel kiri
menghantarkan darah ke sirkulasi sitemik dan tekanan sistolik ventrikel kanan
menghantarkan darah ke sirkulasi pulmonal.

Gambar 12. Siklus Jantung

22
9. Elektrofisiologi jantung
Aktifitas listrik jantung terjadi akibat ion (partikel bermuatan seperti natrium,
kalium dan kalsium) bergerak menembus membrane sel. Perbedaan muatan listrik yang
tercatat dalam sebuah sel mengakibatkan terjadinya potensial aksi jantung.
Pada keadaan istirahat, otot jantung berada dalam kondisi terdepolarisasi yaitu
terdapat perbedaan muatan listrik antara bagian dalam membran yang bermuatan
negatif dan bagian luar yang bermuatan positif. Siklus jantung bermula saat saat
dilepaskannya impuls listrik, sehingga mulailah fase depolarisasi. Permeabilitas
membran berubah dan ion bergerak melintasinya. Bergeraknya ion ke dalam sel maka
bagian dalam sel akan menjadi positif. Repolarisasi terjadi saat sel kembali ke keadaan
dasar (menjadi lebih negatif) dan sesuai dengan relaksasi otot miokardium.
Setelah influk natrium cepat ke dalam sel selama depolarisasi, permeabilitas
membran sel terhadap kalsium akan berubah, sehingga memungkinkan ambilan
kalsium ke dalam sel. Influk kalsium, yang terjadi selama masa plateu repolarisasi, jauh
lebih lambat disbanding natrium dan berlangsung lebih lama. Interaksi antara
perubahan voltase membran dan kontraksi otot dinamakan kopling elektromekanikal.
Kopling mekanikal dan kontraksi jantung yang normal tergantung pada
komposisi cairan interstisial sekitar otot jantung. Perubahan konsentrasi kalsium darah
dapat mempengaruhi kontraksi serabut otot jantung. Perubahan konsentrasi kalium
darah akan mempengaruhi voltase listrik normal sel.

10. Pengaturan aliran darah


Jumlah darah yang dipompa keluar dari ventrikel kiri setiap menit disebut curah
jantung. Curah jantung normal adalah 4 sampai 6 liter permenit pada orang dewasa
yang sehat dengan berat badan 70 kg saat beristirahat. Volume darah yang bersirkulasi
berubah sesuai kebutuhan oksigen dan metabolik tubuh. Misalnya, selama latihan,
kehamilan, dan demam, curah jantung meningkat, tetapi selama tidur curah jantung
menurun. Curah jantung disajikan dengan rumus berikut:

Curah jantung (CJ) = volume sekuncup (VS) x frekuensi denyut jantung (FDJ).

Curah jantung pada lansia dapat dipengaruhi tegangan dinding arteri yang
meningkat dan hipertrofi miokard yang sedang akibat peningkatan tekanan darah
sistolik.

23
Indeks jantung (IJ) merupakan keadekuatan curah jantung untuk seseorang. IJ
ditentukan dengan membagi Curah Jantung dengan luas permukaan tubuh (BSA). Nilai
normal IJ ialah 2,5 sampai 4 liter/menit/m3 .
Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dikeluarkan dari ventrikel kiri pada
setiap kontraksi. Volume ini dipengaruhi oleh jumlah darah di ventrikel diri pada akhir
diastole (preload), tahanan terhadap semprotan ventrikular kiri (afterload), dan kontrak-
tilitas miokard.
Preload pada hakikatnya merupakan akhir volume diastolik. Saat ventrikel terisi
darah, maka ventrikel merenggang. Semakin besar rengangan pada ventrikel, semakin
besar pula kontraksi dan semakin besar volume sekuncup (hukum starling). Pada situasi
klinik, preload dan volume stroke berikutnya dapat dimanipulasi dengan mengubah
jumlah volume darah yang bersirkulasi. Misalnya, pada klien yang mengalami syok
hemoragik, terapi cairan dan penggantian darah meningkatkan volume, sehingga
meningkatkan preload dan curah jantung. Apabila volume tidak diganti, maka preload
berkurang, curah jantung menurun, dan lebih lanjut akan menurunkan preload dan curah
jantung.
Afterload merupakan tahanan terhadap semprotan ventrikular kiri, kerja jantung
harus total sehingga dapat mengeluarkan seluruh darah dari ventrikel kiri. Tekanan
aorta diastolik merupakan alat ukur afterload klinik yang baik. Pada klien yang
mengalami krisis hipertensi akut, maka afterload meningkat, sehingga meningkatkan
beban kerja jantung, afterload pada situasi ini dapat dimanipulasi dengan menurunkan
tekanan darah sistemik.
Kontraktilitas miokard juga mempengaruhi volume sekuncup dan curah
jantung. Kontraksi yang buruk menurunkan jumlah darah yang dikeluarkan ventrikel
pada setiap kontraksi. Kontraktilitas miokard dapat ditingkatkan dengan menggunakan
obat-obatan yang meningkatkan kekuatan kontraksi, seperti preparat digitalis, epinefrin,
dan obat-obatan simpatomimetik (obat yang menyamai efek sistem saraf simpatik).
Kontraktilitas miokard dapat menurun, jika terjadi cedera pada otot jantung, seperti pada
infark miokard akut. Miokardium pada lansia bersifat lebih kaku dan lebih lambat dalam
proses penyembuhan kontraktilitasnya.
Frekuensi denyut jantung mempengaruhi aliran darah karena interaksi antara
frekuensi dan waktu pengisian diastolik. Dengan frekuensi denyut jantung yang lebih
besar dari 160 denyut/menit yang terus-menerus, waktu pengisian diastolik menurun,
mengurangi volume sekuncup dan curah jantung. Frekuensi denyut jantung pada lansia

24
akan lambat untuk meningkat saat individu mengalami stres. Untuk mengopensasi hal
ini, maka volume sekuncup dapat meningkat untuk meningkatkan curah jantung dan
tekanan darah.

C. TRANSPOR GAS ANTARA PARU-PARU DAN JARINGAN


Proses respirasi merupakan proses pertukaran gas yang masuk dan keluar melalui
kerjasama dengan sistem kardiovaskuler dan kondisi hematologis. Oksigen di atmosfir
mengandung konsentrasi sebesar 20,9 % akan masuk ke alveoli melalui mekanisme
ventilasi kemudian terjadi proses pertukaran gas yang disebut proses difusi. Difusi adalah
suatu perpindahan/ peralihan O2 dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah dimana
konsentrasi O2 yang tinggi di alveoli akan beralih ke kapiler paru. selanjutnya didistribusikan
lewat darah dalam 2 (dua) bentuk yaitu : (1) 1,34 ml O2 terikat dengan 1 gram Hemoglobin
(Hb) dengan persentasi kejenuhan yang disebut dengan “Saturasi O2” (SaO2), (2) 0,003 ml
O2 terlarut dalam 100 ml plasma mmHg.

1. Transport Oksigen
a. Pengangkutan oksigen ke jaringan
b. Reaksi Hb dan oksigen
c. Faktor-faktor yang mempengaruhi afinitas hemoglobin terhadap oksigen
Terdapat tiga keadaan penting yang mempengaruhi kurva disosiasi hemoglobin-
oksegen: PH, suhu, dan kadar 2,3 difosfogliserat (DPG; 2,3-DPG). Peningkatan suhu
atau penurunan Ph mengeser kurva ke kanan.
d. Mioglobin
e. Bufer didalam darah
2. Transport karbondioksida
a. Keadaan karbondioksida didalam darah
b. Pergeseran klorida

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI OKSIGENASI


Keadekuatan sirkulasi, ventilasi, perfusi dan transpor gas pernafasan ke jaringan
dipengaruhi oleh empat faktor yaitu faktor fisiologi, perkembangan, perilaku, dan
lingkungan.
1. Faktor Fisiologi

25
Setiap kondisi yang di pengaruhi fungsi kardiopulmonar secara langsung akan
mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memenuhi kebutuhan oksigen. Klasifikasi
umum gangguan jantung meliputi ketidakseimbangan konduksi, kerusakan fungsi
valvular, hipoksia miokard, kondisi-kondisi kadiomiopati dan hipoksia jaringan perifer.
Gangguan pernapasan meliputi hiperventilasi, hipoventilasi dan hipoksia.
Proses fisiologi lain yang mempengaruhi proses oksigenasi pada klien
termasuk perubahan yang mempengaruhi kapasitas darah untuk membawa oksigen,
seperti anemia; peningkatan kebutuhan metabolisme, seperti kehamilan dan infeksi;
serta perubahan yang mempengaruhi gerakan dinding dada atau sistem saraf pusat.

Tabel 2. Proses fisiologi yang mempengaruhi oksigenasi


No Proses Pengaruh pada oksigen
1 Anemia 1. Menurunkan kapasitas darah yang
membawa oksigen
2 Racun inhalasi 2. Menurunkan kapasitas darah yang
membawa oksigen
3 Obstruksi jalan nafas 3. Membatasi pengiriman oksigen yang
diinspirasi ke alveoli
4 Tempat yang tinggi 4. Menurunkan konsentrasi oksigen
inspirator karena konsentrasi oksigen
atmosfir yang rendah

5 Deman 5. Meningkatkan frekuensi metabolisme


dan kebutuhan oksigen di jaringan
6
Penurunan gerakan dinding dada 6. Mencegah penurunan diafragma dan
(mis. kerusakan musculoskeletal) menurunkan diameter
anteroposterior thoraks pada saat
inspirasi, menurunkan volume udara
yang di inspirasi.

2. Penurunan kapasitas pembawa oksigen


Hemoglobin membawa 97% oksigen yang telah berdifusi ke jaringan. Setiap
proses, yang menurunkan atau mengubah hemoglobin, seperti anemia dan inhalasi
substansi beracun, menurunkan kapasitas darah yang membawa oksigen. Anemia
ditandai dengan kadar hemoglobin di bawah normal. Anemia adalah suatu kondisi
akibat penurun produksi hemoglobin di bawah normal. Anemia adalah suatu
kondisi akibat penurunan produksi hemoglobin, peningkatan kerusakan sel darah
merah, dan/atau akibat kehilangan darah. Manifestasi klinis kondisi ini meliputi
keletihan, penurunan toleransi aktivitas, peningkatan sesak napas, tampak pucat
dan peningkatan frekuensi denyut jantung.

26
Karbon monoksida merupakan toksik inhalasi paling sering di jumpai. Zat ini
menurunkan kapasitas darah yang membawa oksigen. Afinitas hemoglobin untuk
terikat dengan karbon monoksida 210 kali lebih besar dari pada afinitasnya untuk
terikat dengan oksigen. Kondisi ini menyebabkan anemia fungsional. Karena
kekuatan ikatan yang dimiliki, karbon monoksida tidak mudah berpisah dari
hemoglobin, sehingga hemoglobin tidak dapat mentraspor oksigen.

3. Penurunan konsentrasi oksigen yang diinspirasi


Saat oksigen yang diinspirasi menurun, maka kapasitas darah yang
membawa oksigen juga menurun. Penurunan fraksi konsentrasi oksigen yang
diinspirasi (FiO2) dapat disebabkan obstruksi jalan nafas bagian bawah dan atas yang
membatasi transport oksigen inspirasi ke alveoli, penurunan oksigen dilingkungan
(seperti yang terjadi pada tempat yang tinggi), atau oleh penurunan inspirasi akibat
konsentrasi oksigen yang tidak tepat pada peralatan terapi pernapasan.

4. Hipovolemia
Hipovolemia merupakan suatu kondisi penurunan volume darah sirkulasi yang
diakibatkan kehilangan cairan ekstraseluler yang terjadi pada kondisi syok dan
dehidrasi berat. Apabila individu mengalami kehilangan cairan yang bermakna, maka
tubuh akan berusaha beradaptasi dengan meningkatkan frekuensi denyut jantung
dan melakukan vasokontriksi perifer untuk meningkatkan volume darah yang kembali
ke jantung dan meningkatkan curah jantung.

5. Peningkatan laju metabolisme


Peningkatan aktifitas metabolisme tubuh menyebabkan peningkatan
kebutuhan oksigen. Saat sistem tubuh tidak mampu memenuhi peningkatan
kebutuhan tubuh ini, maka kadar oksigen menurun. Peningkatan laju metabolisme
merupakan respon normal tubuh pada kehamilan, proses penyembuhan luka dan
latihan fisik karena dalam kondisi-kondisi ini tubuh melakukan pembagunan jaringan.
Kebayakan individu dapat memenuhi kebutuhan oksigen yang meningkat dan tidak
memperlihatkan tanda-tanda kekurangan oksigenasi.
Demam meningkatkan kebutuhan jaringan akan oksigen, akibatnya produksi
karbondioksida juga meningkat. Apabila individu tetap mengalami febris, maka laju
metabolisme tetap tinggi sehingga tubuh mulai memecah simpanan protein akibat

27
otot yang lemah dan mengurangi massa otot. Otot-otot pernapasan seperti otot
diafragma dan otot interkostal juga menjadi lemah. Tubuh berusaha beradaptasi
terhadap peningkatan kadar karbon dioksida dengan meningkatkan frekuensi dan
kedalaman pernapasan dengan tujuan mengeliminasi karbon dioksida yang berlebih.
Kerja pernapasan klien meningkat dan pada akhirnya klien akan memperlihat tanda
dan gejala hipoksemia. Klien-klien yang mengalami penyakit paru ini beresiko tinggi
mengalami hipoksemia dan hiperkapnea. Dari hasil pengkajian diperoleh data-data;
frekuensi dan kedalaman pernapasan meningkat, terdapat penggunaan otot-otot
bantu pernapasan, bernafas dengan mulut dan penurunan toleransi aktivitas.

6. Kondisi yang mempengaruhi gerakan dinding dada


Setiap kondisi yang mempengaruhi dinding dada akan menyebabkan
penurunan ventilasi. Apabila diafragma tidak dapat sepenuhnya menurun seiring
gerakan nafas, maka volume udara yang di inspirasi akan menurun sehingga
oksigen yang di transport ke alveoli dan sesudah itu ke jaringan akan menurun.
a. Kehamilan
Ketika fetus mengalami perkembangan selama kehamilan, maka uterus
yang berukuran besar akan mendorong isi abdomen kea rah diafragma. Pada
kehamilan trimester akhir terdapat penurunan kapasitas inspirasi, yang
menyebabkan dispnea dan meningkatkan kelemahan.
b. Obesitas
Klien yang obesitas mengalami penurunan volume paru. Hal ini di karenakan
thorak dan abdomen bagian bawah yang berat. Khususnya ketika individu berada
pada posisi telentang dan posisi rekumben. Klien gemuk mengalami penurunan
kompliensi paru akibat penurunan abdomen kedalam dada, peningkatan kerja
pernapasan, penurunan volume paru, dan klien tersebut mungkin mengalami
keletihan dan retensi karbondioksida.
Pada beberapa klien, sindrom obesitas-hipoventilasi terjadi saat oksigenasi
yang menurun dan karbondioksida yang ditahan. Kondisi ini menyebabkan individu
merasa mengantuk pada siang hari. Klien yang gemuk juga mengalami apnea
obstruksi saat sedang tidur (obstructive sleep apnea). Kondisi ini ditandai dengan
samnolen yang berlebihan pada siang hari dan suara mendengkur serta periode
apnea saat individu sedang tidur. Klien yang gemuk ini juga rentan terhadap
pneumoni setelah mengalami infeksi saluran pernapasan atas karena paru-paru

28
tidak dapat mengembang sepenuhnya sehingga sekresi pulmonal tidak di mobilisasi
pada lobus paru bagian bawah.

c. Kelainan musculoskeletal
Kerusakan musculoskeletal di regio thoraks menyebabkan penurunan
oksigenasi. Kerusakan ini dapat di akibatkan konfigurasi struktur yang tidak normal,
trauma, penyakit otot, dan penyakit sistem saraf.

d. Konfigurasi struktural yang abnormal.


Konfigurasi struktural yang abnormal merusak oksigenasi termasuk
konfigurasi yang mempengaruhi rangka iga. Seperti pektus ekskavatum, dan
konfigurasi yang mempengaruhi kolumna vertebrae, seperti kifosis. Pektus
ekskavatum adalah depresi sternum yang mengganggu ekspansi paru. Kifosis
adalah suatu kondisi abnormal pada kolumna vertebral yang ditandai dengan
peningkatan konvektisitas tulang belakang thoraks. Kondisi ini menghasilkan barier
struktural pada ekspansi paru. Sudut lengkung yang terbentuk dapat semakin
melengkung seiring perjalanan waktu, sehingga mengakibatkan hipoventilasi dan
hipoksemia yang berat.

e. Trauma
Trauma pada dinding dada juga menghambat inspirasi. Individu yang
mengalami trauma rangka multipel dapat mengalami flail chest, suatu kondisi fraktur
yang mengakibatkan ketidakstabilan disebagian dinding dada, dan individu tersebut
mengalami pernapasan paradoksal. Para individu tersebut mengalami pernapasan
paradoksal, paru-paru di bawah area yang mengalami cedera berkontraksi saat
inspirasi dan menonjol pada saat ekspirasi, sehingga menyebabkan hipoksia.
Insisi dinding dada atau abdomen bagian atas juga dapat menurunkan
gerakan dinding dada. Klien menggunakan pernapasan dangkal untuk
meminimalkan gerakan dinding dada dalam upaya menghindari nyeri. Pemberian
analgesik narkotik dalam dosis tinggi atau berlebihan dapat menyebabkan depresi
pusat pernapasan, sehingga mneurunkan frekuensi pernapasan dan ekspansi
dinding dada.

29
f. Penyakit otot
Penyakit otot, seperti distrofi otot mempengaruhi oksigenasi jaringan dengan
menurunkan kemampuan klien untuk ekspansi dan kontraksi dada. Ventilasi
menjadi rusak sehingga menimbulkan atelaktasis, hiperkapnea, dan hipoksemia.

g. Penyakit sistem saraf


Miastenia gravis, suatu sindrom Guillain-Barre, dan poliomyelitis
merupakan contoh-contoh penyakit saraf yang mempengaruhi fungsi pernapasan
dan menyebabkan hipoventilasi. Miastenia gravis mengganggu transmisi impuls
yang normal dari saraf ke otot, melibatkan keseluruh tubuh, termasuk otot-otot
pernapasan.
Sindrom Guillain-Barre dan poliomielitis menyebabkan inflamasi dan
paralisis kelompok otot. Sindrom Guillain-Barre biasanya menyebabkan pola
paralisis asenden. Otot pernapasan menjadi lumpuh seperti paralisis asenden ke
region thoraks. Poliomielitis dapat menyebabkan paralisis lokal atau paralisis
keseluruhan. Kedua paralisis tersebut dapat kembali pulih, tetapi poliomyelitis
biasanya mengakibatkan lebih banyak paralisis yang sisa.

h. Perubahan system saraf pusat


Penyakit atau trauma yang mengenai medulla oblongata dan medulla
spinalis mengakibatkan kerusakan pernapasan. Apabila medulla oblongata terkena,
maka pengaturan pernapasan di saraf menjadi rusak sehingga dapat
mengakibatkan pola pernapasan yang abnormal. Kerusakan pada medulla spinalis
dapat mempengaruhi pernapasan dengan dua cara. Apabila saraf frenik rusak,
diafragma tidak dapat turun, sehingga volume inspirasi menurun dan akhirnya
terjadilah hipoksemia. Trauma servikal pada C3 sampai C5 dapat menyebabkan
paralisis pada saraf frenik. Trauma pada medulla spinalis di bawah vertebra servikal
kelima biasanya meninggalkan saraf frenik tetap utuh, tetapi menyababkan
kerusakan pada saraf-saraf yang mempersarafi otot-otot interkosta, sehingga
menyebabkan ekspansi dada anteroposterior.

i. Pengaruh penyakit kronik


Oksigenasi dapat menurun sebagai akibat langsung dari penyakit kronik.
Oksigenasi juga dapat menurun sebagai efek sekunder, seperti yang terjadi pada

30
anemia. Respons fisiologi tubuh terhadap hipoksemia kronik yaitu terjadinya
polisitemia sekunder. Respon adaptif ini merupakan upaya tubuh untuk
meningkatkan jumlah hemoglobin yang bersirkulasi untuk meningkatkan tempat
ikatan-oksigen yang tersedia.

2. Faktor perkembangan
Tahap perkembangan klien dan proses penuaan yang normal mempengaruhi
oksigenasi jaringan. Saat lahir terjadi perubahan respirasi yang besar yaitu paru-paru
yang sebelumnya berisi cairan menjadi berisi udara. Bayi memiliki dada yang kecil dan
jalan nafas yang pendek. Bentuk dada bulat pada waktu bayi dan masa kanak-kanak,
diameter dari depan ke belakang berkurang dengan proporsi terhadap diameter
transversal. Pada orang dewasa thorak diasumsikan berbentuk oval. Pada lanjut usia
juga terjadi perubahan pada bentuk thorak dan pola napas.
a. Bayi prematur
Bayi prematur berisiko terkena penyakit membran hialin, yang di duga
disebabkan oleh defisiensi surfaktan. Kemampuan paru untuk mensintesa
surfaktan berkembang lambat pada masa kehamilan, yakni pada sekitar bulan
ketujuh dan dengan demikian bayi preterm tidak memiliki surfaktan.
b. Bayi dan toddler
Bayi dan toddler beresiko mengalami infeksi saluran nafas atas sebagai
hasil pemaparan yang sering pada anak-anak lain dan pemaparan asap dari
rokok yang diisap orang lain. Selain itu, proses pertumbuhan gigi, beberapa bayi
berkembang kongesti nasal, yang memungkinkan pertumbuhan bakteri dan
meningkatnya potensi terjadinya infeksi saluran pernapasan. Infeksi pernapasan
atas biasanya tidak berbahaya dan bayi atau toddler sembuh dengan kesulitan
yang sedikit. Infeksi jalan nafas yang umum adalah nasofaringitis (mis. Rinovirus,
virus sinsitial pernapasan, dan adenovirus), faringitis (mis. Virus dan beta-
hemolitikus streptokokus), hemofilus influenza, dan tonsililis. Obstruksi nafas juga
dapat terjadi, jika benda asing teraspirasi, seperti makanan, kancing dan permen.

c. Anak usia sekolah dan remaja


Anak usia sekolah dan remaja terpapar pada infeksi pernapasan dan
faktor-faktor risiko pernapasan, misalnya menghisap asap rokok dan merokok.
Individu yang mulai merokok pada usia remaja dan meneruskannya sampai usia

31
dewasa pertengahan mengalami peningkatan risiko penyakit kardiopulmonar dan
kanker paru.

d. Dewasa muda dan dewasa pertengahan


Individu dewasa muda dan dewasa pertengahan terpapar pada faktor
risiko kardiopulmonar, seperti; diet yang tidak sehat, kurang latihan fisik, obat-
obatan dan merokok. Dengan mengurangi faktor yang dapat di modifikasi ini,
akan menurunkan risiko menderita penyakit jantung dan pulmonari.

e. Lansia
Pada sistem arterial lansia terjadi plak aterosklerosis sehingga tekanan
darah sistemik meningkat, kompliensi dinding dada menurun akibat osteoporosis
dan otot-otot pernapasan melemah serta sirkulasi pembuluh darah pulmonary
menjadi kurang dapat berdistensi. Trachea, bronkus dan alveoli membesar
sehingga menurunkan daerah permukaan yang tersedia untuk pertukaran gas.
Selain itu, jumlah silia fungsional mengalami pengurangan sehingga
menyebabkan penurunan mekanisme batuk efektif yang menyebabkan lansia
berisiko mengalami infeksi pernapasan.

3. Faktor Prilaku
Prilaku atau gaya hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung
mempengaruhi kemampuan tubuh dalam memenuhi kebutuhan oksigen. Faktor-faktor
gaya hidup yang mempengaruhi fungsi pernapasan meliputi nutrisi, latihan fisik,
merokok, penyalahgunaan substansi dan stress.
a. Nutrisi
Nutrisi mempengaru fungsi kardiopulmonar dalam beberapa cara. Obesitas
yang berat menyebabkan penurunan ekspansi paru, dan peningkatan berat badan
meningkatkan kebutuhan oksigen untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Klien yang mengalami kekurangan gizi mengalami kelemahan otot pernapasan.
Efisiensi batuk menurun akibat kelemahan otot pernapasan, menyebabkan klien
berisiko mengalami retensi sekresi paru. Diet tinggi lemak meningkatkan kolesterol
dan pembentukan aterogenesis di arteri koroner. Klien yang obesitas dan/atau
kurang gizi mengalami anemia. Diet tinggi karbohidrat berperan penting dalam
peningkatan beban karbondioksida dalam proses metabolisme.

32
b. Latihan fisik
Latihan fisik meningkatkan aktivitas metabolisme tubuh dan kebutuhan
oksigen. Frekuensi dan kedalaman pernapasan meningkat, kemampuan individu
untuk menghirup lebih banyak oksigen dan mengeluarkan kelebihan
karbondioksida.
Individu yang melakukan latihan fisik 3 sampai 4 kali dalam satu minggu
selama 20-40 menit memiliki frekuensi nadi dan tekanan darah yang lebih rendah
dan mengalami penurunan kolesterol serta mengalami peningkatan aliran darah
dan menggunakan lebih banyak oksigen akibat kerja otot. Individu yang melakukan
latihan fisik sepenuhnya akan meningkatkan konsumsi oksigen sebesar 10 - 20%
karena latihan fisik menyebabkan peningkatan curah jantung dan efisiensi otot
miokard.

c. Merokok
Merokok dapat memperburuk penyakit arteri koroner dan pembuluh darah
perifer. Nikotin yang diinhalasi menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah perifer
dan pembuluh darah koroner, meningkatkan tekanan darah dan menurunkan aliran
darah ke pembuluh darah perifer. Pemaparan pada asap rokok meningkatkan risiko
kanker paru pada kelompok bukan perokok. Risiko kanker paru 10 kali lebih kuat
pada individu yang tidak merokok. Pemaparan pada asap rokok meningkatkan
risiko kanker paru pada kelompok bukan perokok.

d. Penyalah gunaan substansi


Penyalahgunaan alkohol dan obat-obatan lain secara berlebih akan
menggangu oksigenasi jaringan dengan dua cara. Pertama, individu yang kronis
menyalahgunakan substansi. Kondisi ini seringkali memiliki asupan nutrisi yang
buruk yang menyebabkan penurunan asupan makanan kaya besi yang kemudian
menyebabkan penurunan produksi hemoglobin. Kedua, penyalahgunaan alkohol
dan obat-obatan tertentu secara berlebihan. Kondisi ini mendepresikan pusat
pernapasan, menurunkan frekuensi dan kedalaman pernapasan dan jumlah
oksigen yang diinhalasi, misalnya substansi berupa bongkahan kakain atau uap
yang berasal dari cat atau kaleng lem, mengakibatkan cedera langsung pada
jaringan sehingga menyenbabkan kerusakan paru maupun kerusakan oksigenasi
yang permanen.

33
4. Faktor Lingkungan
Ketinggian, panas, dingin dan polusi mempengaruhi oksigenasi. Makin tinggi
daratan, makin rendah PaO2, sehingga makin sedikit O2 yang dapat dihirup individu.
Sebagai akibatnya individu pada daerah ketinggian memiliki laju pernapasan dan
jantung yang meningkat, juga kedalaman pernapasan yang meningkat. Sebagai
respon terhadap panas, pembuluh darah perifer akan berdilatasi, sehingga darah
akan mengalir ke kulit. Meningkatnya jumlah panas yang hilang dari permukaan tubuh
akan mengakibatkan curah jantung meningkat sehingga kebutuhan oksigen juga akan
meningkat. Pada lingkungan yang dingin sebaliknya terjadi kontriksi pembuluh darah
perifer, akibatnya meningkatkan tekanan darah yang akan menurunkan kegiatan-
kegiatan jantung sehingga mengurangi kebutuhan akan oksigen. Keadaan yang terus
menerus pada ansietas berat akan meningkatkan laju metabolisme tubuh dan
kebutuhan akan oksigen. Tubuh berespon terhadap ansietas dengan meningkatkan
frekuensi dan kedalaman pernapasan.

5. Status kesehatan
Pada orang yang sehat sistem kardiovaskular dan pernapasan dapat
menyediakan oksigen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Akan tetapi
penyakit pada sistem kardiovaskular kadang berakibat pada terganggunya pengiriman
oksigen ke sel-sel tubuh. Selain itu penyakit-penyakit pada sistem pernapasan dapat
mempunyai efek sebaliknya terhadap oksigen darah. Salah satu contoh kondisi
kardiovaskular yang mempengaruhi oksigen adalah anemia, karena hemoglobin
berfungsi membawa oksigen dan karbon dioksida maka anemia dapat mempengaruhi
transportasi gas-gas tersebut ke dan dari sel dapat mempengaruhi transportasi gas-
gas tersebut ke dan dari sel.

E. PERUBAHAN/GANGGUAN PADA FUNGSI PERNAPASAN


1. Hiperventilasi
Hiperventilasi merupakan suatu kondisi ventilasi yang berlebih, yang dibutuhkan
untuk mengeliminasi karbondioksida normal di vena, yang diproduksi melalui
metabolisme seluler. Hiperventilasi dapat disebabkan oleh ansietas, infeksi, obat-
obatan, ketidakseimbangan asam basa dan hipoksia yang dikaitkan dengan embolus
paru atau syok.

34
Hiperventilasi juga disebabkan bahan kimiawi, seperti keracunan salisilat
(aspirin) menyebabkan kelebihan stimulasi pada pusat pernapasan karena tubuh
berusaha mengkompensasi kelebihan karbondioksida. Hiperventilasi juga dapat terjadi
ketika tubuh berusaha mengkompensasi asidosis metabolik dengan memproduksi
alkalosis respiratorik. Ventilasi meningkat untuk menurunkan jumlah karbon dioksida
yang tersedia untuk membentuk karbonat.
Tanda dan gejala hiperventilasi alveolar yaitu takikardi, nafas pendek, nyeri
dada, pusing, sakit kepala ringan, disorientasi, parestesia, baal pada ekstremitas, tinitus
dan penglihatan kabur.

2. Hipoventilasi
Hipoventilasi terjadi ketika ventilasi alveolar tidak adekuat untuk memenuhi
kebutuhan oksigen tubuh atau mengeliminasi karbondioksida secara adekuat. Apabila
ventilasi alveolar menurun, maka paCO2 akan meningkat. Atelektasis akan
menyebabkan hipoventilasi yaitu suatu keadaan di mana terjadi kolaps alveoli yang
mencegah pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam pernapasan. Karena alveoli
kolaps maka paru yang diventilasi lebih sedikit.
Tanda dan gejala hipoventilasi alveolar adalah pusing, nyeri kepala di bagian
oksipital, latergi, disorientasi, penurunan kemampuan mengikuti instruksi, disritmia
jantung, ketidakseimbangan elektrolit, konvulsi, koma dan henti jantung.

3. Hipoksia
Hipoksia adalah oksigen jaringan yang tidak adekuat. Hipoksia dapat disebabkan
oleh: (1) penurunan kadar hemoglobin dan penurunan kapasitas darah yang membawa
oksigen, (2) penurunan konsentrasi oksigen yang diinspirasi, (3) ketidakmampuan
jaringan untuk mengambil oksigen dari darah, (4) penurunan difusi oksigen dari alveoli
ke darah, (5) perfusi darah yang mengandung oksigen di jaringan yang buruk, dan (6)
kerusakan ventilasi.
Tanda dan gejala hipoksia yaitu gelisah, ansietas, disorientasi, penurunan
kemampuan berkonsentrasi, penurunan tingkat kesadaran, peningkatan keletihan,
pusing, perubahan perilaku, peningkatan frekuensi nadi, peningkatan frekuensi dan
kedalaman pernapasan, peningkatan tekanan darah, disritmia jantung, pucat, sianosis,
clubbing, dan dispnea.

35
F. PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN OKSIGENASI
1. Asuhan Keperawatan Pada Tuberkulosis Paru
2. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Asma
3. Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik
4. Asuhan Keperawatan Pasien Dengan Kanker Paru
5. Asuhan Keperwatan pada pasien Pneumonia

G. PENYAKIT GANGGUAN PADA SISTEM KARDIOVASKULAR


1. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gagal Jantung
2. Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan ST Elevasi Miokardial Infark
3. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Angina Pectoris
4. Asuhan Keperawatan pada pasien hipertensi

I. PENYAKIT YANG BERHUBUNGAN DENGAN DARAH


1. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Anemia
2. Asuhan keperawatan pada pasien dengan Leukemia

Kompetensi pada ISS pertama

1. Konsep Dasar Penyakit jantung koroner (STEMI, NSTEMI, UAP, APS) (Pengertian,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang.
2. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan penyakit jantung koroner (Pengkajian,
diagnosa, intervensi dan evaluasi)
3. Konsep dasar penyakit gagal Jantung (Pengkajian, diagnosa, intervensi dan evaluasi)
4. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Gagal Jantung (Pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa,
intervensi dan evaluasi)
5. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Hipertensi (Pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa, intervensi dan
evaluasi)
6. Konsep Dasar penyakit TB Paru (Pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang)
7. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan TB Paru (Pengkajian, diagnosa, intervensi
dan evaluasi)

36
Kompetensi ISS 2
1. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Asma (Pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa, intervensi dan
evaluasi)
2. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Kanker Paru (Pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa,
intervensi dan evaluasi)
3. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan PPOK (Pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa, intervensi dan
evaluasi).
4. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Pneumonia (Pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa,
intervensi dan evaluasi).
5. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Demam Berdarah (Pengertian, etiologi,
patofisiologi, manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa,
intervensi dan evaluasi).
6. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Anemia (Pengkajian, diagnosa, intervensi
dan evaluasi)
7. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Leukemia (Pengertian, etiologi, patofisiologi,
manifestasi klinis, pemeriksaan penunjang, Pengkajian, diagnosa, intervensi dan
evaluasi)

Tugas Kelompok

Membuat media pendidikan kesehatan dalam bentuk Lembar balik tentang Pencegahan
primer, sekunder dan tersier pada masalah gangguan sistem pernafasan, kardiovaskular
dan hematologi, persiapan, pelaksanaan dan paska pemeriksaan diagnostik dan
laboratorium.
1. Discharge Planning Pasien Gangguan sistem Kardiovaskuler
2. Discharge Planning Pasien Gangguan sistem respiratory
3. Discharge Planning Pasien Gangguan sistem Hematologi

37
BAB IV
PRAKTIKUM KEBUTUHAN OKSIGENASI

A. PENGATURAN POSISI SEMI FOWLER (ELEVASI 30°), FISIOTERAPI DADA


(POSTURAL DRAINAGE, PERKUSI, VIBRASI), DAN NEBULIZER
1. Posisi Fowler (Setengah Duduk) atau Posisi Elevasi 30°
a. Pengertian
Posisi Fowler adalah posisi setengah duduk dimana bagian kepala tempat tidur di
tinggikan 300 dan lutut pasien sedikit ditinggikan tanpa tekanan untuk membatasi
sirkulasi di tungkai bawah.

b. Tujuan
1) Mengurangi komplikasi akibat immobilisasi.
2) Meningkatkan rasa nyaman.
3) Meningkatkan dorongan pada diafrgama sehingga meningkatnya ekspansi
dada dan ventilasi paru.
4) Mengurangi kemungkinan tekanan pada tubuh akibat posisi yang menetap.

c. Indikasi
Pasien dengan kesulitan pernapasan dan masalah jantung.

d. Persiapan alat
1) Bantal
2) Papan kaki
3) Bantal kecil atau gulungan

e. Prosedur tindakan
a) Kaji kesejajaran tubuh dan tingkat kenyamanan selama pasien berbaring.
b) Persiapkan peralatan dan dekatkan dengan pasien.
c) Naikkan tempat tidur pada ketinggian yang nyaman untuk bekerja, pindahkan
bantal dan alat bantu yang digunakan pada posisi awal.
d) Minta bantuan bila di perlukan.
e) Jelaskan prosedur pada pasien.
f) Cuci tangan.

38
g) Jaga privasi pasien.
h) Tempatkan tempat tidur pada posisi datar dan pindahkan pasien ke bagian kepala
tempat tidur.
i) Tinggikan kepala tempat tidur pada 300.
j) Letakkan kepala pada kasur /matras atau bantal kecil.
k) Gunakan bantal untuk menyokong lengan dan tangan jika pasien tidak mempunyai
kontrol volunter atau menggunakan tangan dan lengan.
l) Berikan bantal pada bagian bawah punggung pasien.
m) Letakkan bantal kecil atau gulungan di bawah paha.
n) Letakkan bantal kecil atau gulungan di pergelangan kaki.
o) Letakkan papan kaki pad telapak kaki pasien.
p) Rapikan pasien dan dokumentasikan.

Gambar 29. Posisi semi fowler

2. FISIOTERAPI DADA (POSTURAL DRAINAGE, PERKUSI DAN VIBRASI)


a. Fisioterapi Dada
1) Pengertian
Fisioterapi dada (FTD) merupakan kelompok terapi yang digunakan dengan
kombinasi untuk memobilisasi sekresi pulmonar. Terapi ini terdiri dari postural
drainage, perkusi dada, dan vibrasi. Melakukan perkusi dan fibrasi dada untuk
membantu mengembalikan fungsi paru-paru agar kembali normal dan mencegah
infeksi pada pasien yang bedrest/ tirah baring lama.

2) Tujuan
a) Mengembalikan dan memelihara fungsi optimal paru-paru (otot-otot
pernapasan)
b) Membantu membersihkan sekret dari bronkus dan untuk mencegah
penumpukan sekret serta memperbaiki pergerakan dan aliran sekret

39
c) Mencegah infeksi dada pada pasien bedrest lama

3) Indikasi
Direkomendasikan untuk pasien-pasien yang memproduksi sputum dengan jumlah lebih
dari 30 cc per hari atau menunjukkan bukti atelektasis dengan sinar X-dada.

4) Persiapan alat
1. Handuk
2. Masker oksigen jika perlu
3. Penghisap lender
4. Kertas tissue
5. Sarung tangan
6. Suction jika diperlukan

5) Prosedur tindakan
a) Mengucapkan salam
b) Menjelaskan maksud dan tujuan
c) Perawat mencuci tangan
d) Berikan posisi miring kiri/ kanan, telentang atau telungkup
e) Tutup bagian dada yang akan diperkusi dengan handuk
f) Lakukan perkusi dada dengan tangan yang membentuk piala dimulai dari lobus bawah
kelobus atas
g) Angkat handuk dan letakkan tangan anda pada pasien saat pasien menghembuskan
napas dari paru-paru, lakukan tehnik vibrasi untuk melepaskan secret dari paru –paru
h) Bantu pasien untuk mengeluarkan sputum dari paru-paru, anjurkan pasien untuk batuk
efektif
i) Evaluasi hasil fisioterapi dada dan catat hasilnya
j) Perawat mencuci tangan
k) Dokumentasi
l) Terminasi

40
b. POSTURAL DRAINAGE
a. Pengertian
Postural Drainage (PD) adalah pembersihan berdasarkan gravitasi secret jalan
napas dari segmen bronkus khususnya.tindakan ini menggunakan posisi spesifik
sekresi mengalir dari bronkiolus yang terkena didalam bronki dan trakea dan
membuangnya dengan membatukkan atau pengisapan.
Karena pasien biasanya duduk dalam posisi duduk tegak, sekresi sepertinya
akan menumpuk pada bagian yang lebih rendah dari paru–paru. Jika tindakan ini
digunakan posisi pasien dibaringkan secara bergantian dalam posisi yang berbeda.
Sehingga gaya gravitasi membantu untuk mengalirkan sekresi dari jalan napas
bronchial yang lebih kecil ke bronchi yang besar dan trakea.
Postural Drainage dilakukan 2 – 4 kali sehari, sebelum makan (untuk mencegah mual
dan muntah dan aspirasi) dan saat menjelang tidur.

b. Tujuan
Untuk menghilangkan atau mencegah obstruksi bronkial yang disebabkan oleh
akumulasi sekresi.

c. Indikasi
Pasien dengan penumpukan sekresi di bagian yang lebih rendah dari paru-paru. Untuk
tujuan mencegah akumulasi sekret, Postural Drainage dapat dilakukan pada pasien-
pasien berikut :
a) Yang melakukan tirah baring yang lama, khususnya pada mereka yang tergolong
"high risk" yaitu pasien penyakit paru kronik, pasien pasca bedah yang mengalami
imobilisasi dan mereka yang telah dilakukan sayatan pada toraks dan abdomen.
b) Yang sputumnya banyak, seperti bronkhoektasis atau fibrosis kistik
c) Yang merasakan sakit waktu napas. Pada pasien yang batuknya tidak efektif
karena sakit. Penepukan dan vibrasi pada kasus seperti ini tidak dilakukan.
Untuk tujuan mengeluarkan sekret, Postural Drainage dapat dilakukan pada pasien-
pasien sebagai berikut :
a) yang mengalami atelektasis akibat sumbatan sekret yang mengakibatkan kolaps
paru.
b) yang mengalami proses supurasi, dimana diperlukan drainage yang baik dan
cepat, seperti pada abses paru.

41
c) yang tidak sadar seperti misalnya karena dosis obat yang berlebih, tumor otak
atau koma.
d) pada mereka yang akan dilakukan pembedahan dimana pengeluaran sekret akan
memperbaiki faal paru, khususnya pada pasien penyakit paru dengan faal paru
yang sudah berkurang atau perokok berat

d. Persiapan pasien
1) Jelaskan prosedur pada pasien
2) Berikan posisi yang nyaman pada pasien

e. Persiapan alat
a) Sarung tangan sekali pakai
b) Wadah dengan ukurannya ( kom )
c) Tisu
d) Kantung kertas atau plastic
e) air minum dan tempatnya ( teko )
f) Kursi (untuk drainage lobus atas)
g) Papan miring untuk menyangga badan
h) Tempat tidur rumah sakit dapat ditempatkan jika pasien tidak dapat beraktivitas

6) Prosedur tindakan
Untuk melakukan Postural Drainage (PD), tidak ada persiapan khusus dari pasien.
Yang penting adalah perlu diketahui lokasi kelainan pada paru serta keadaan umum
pasien.
Untuk mengetahui dengan cepat perubahan klinik pasien yang mungkin terjadi
selama dilakukan PD maka sebaiknya kita yang mengerjakan PD berada di muka pasien.
PD dilakukan dengan mengatur pasien pada posisi tertentu yaitu pada posisi
supaya terjadi pengeluaran (drainage) sputum yang cepat karena pengaruh gaya beratnya
disertai pengaruh perkusi dan vibrasi dada. Posisi pasien yang diharapkan terjadi drainage
sesuai dengan lokasi kelainan paru adalah sebagai berikut :
1) Tidur dengan beberapa bantal, kepala letak tinggi untuk drainage kedua lobus atas dari
segmen apikal (Gambar 1).

42
Gb. 1 Kedua lobus atas -- segmen apikal

2) Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan satu bantal bawah lutut untuk drainage
lobus atas kanan segmen anterior (Gambar 2), dan beberapa bantal tanpa bantal
bawah lutut untuk drainage lobus atas kiri segmen anterior (Gambar 3)

Gb.2 Lobus atas kanan – segmen anterior. Perhatikan : paha dalam rotasi eksternal,
bantal kecil di bawah lutut untuk menyangga sendi-sendi dan agar enak

Gb.3 Lobus atas kiri – segmen anterior.

3) Tidur menelungkup pada bantal untuk drainage lobus atas segmen posterior (Gambar 4A
dan B, serta 5A dan B).

A B

43
Gb. 4 A) Lobus atas kanan – segmen posterior (dipandang dari depan),
B) Dipandang dari belakang.

Gb. 5 A) Lobus atas kiri -- segmen posterior, B) Lobus atas kiri segmen posterior (posisi
Lain)

4) Tidur pada sisi kiri dengan ¾ bagian badan tidur, untuk drainage lobus tengah kanan dan
lobus bawah kanan segmen anterior. Kepala lebih bawah dari bagian tubuh lainnya
(Gambar 6).

Gb. 6 Lobus tengah kanan. Perhatikan : pasien ¾ bagian badan terlentang

5) Tidur pada sisi kanan dengan ¾ bagian badan tidur, untuk drainage lingula dan lobus
bawah kiri segmen anterior (Gambar 7). Letak kepala sama seperti No. 4.

Gb. 7-- Lingula (dipandang dari belakang)

44
6) Tidur dengan satu bantal bawah kepala dan satu bantal bawah lutut dengan letak kepala
seperti no. 4, untuk drainage kedua lobus bawah segmen anterior (Gambar 8).

Gb. 8 Kedua lobus bawah - segmen anterior.

7) Tidur pada sisi kiri, letak kepala sama seperti no. 4, untuk drainage lobus bawah kanan
segmen lateral (Gambar 9).

Gb. 9 Lobus bawah kanan - segmen lateral

8) Tidur pada sisi kanan dengan letak kepala sama seperti no. 4, untuk drainage lobus bawah
kiri segmen lateral dan lobus bawah kanan segmen kardiak (Gambar 10).

Gb.10 Lobus bawah kiri - semen lateral, dan lobus bawah kanan segmen kardiak (medial)

9) Tidur menelungkup dengan satu bantal dibawah perut dengan letak kepala sama seperti
no. 4 (Gambar 11) atau beberapa bantal di bawah perut (Gambar 13) untuk drainage kedua
lobus bawah.

45
Gb. 11 Kedua lobus bawah - segmen posterior. Perhatikan bantal di bawah perut dan lutut,
kepala tanpa bantal

Gb. 12 Kedua lobus bawah - segmen posterior (dengan beberapa bantal atau buku di
bawah perut).
10) Tidur pada sisi kiri dengan ¾ bagian badan miring, letak kepala sama seperti no. 4, untuk
drainage lobus bawah kanan segmen posterior (Gambar 12)

Gb. 13 Lobus bawah kanan - segmen posterior (posisi dimodifikasi untuk penekanan
khusus)

c. PERKUSI
a. Pengertian
Perkusi dilakukan dengan membentuk mangkuk pada telapak tangan dan dengan
ringan ditepukkan pada dinding dada dalam gerakan berirama di atas segmen paru
yang akan dialirkan (Smeltzer & Bare, 2002).

b. Tujuan
Membantu melepaskan mukus yang melekat pada bronkiolus dan bronki.

46
c. Indikasi
Pada pasien yang sulit mengeluarkan mukus/sekret

d. Kontra indikasi
a) Hindari perkusi diatas selang drainage dada, sternum, tulang belakang, ginjal,
limpah, atau payudara (pada wanita)
b) Perkusi dilakukan hati-hati pada lansia karena peningkatan osteoporosis dan
resiko fraktur iga.
c) Bila perkusi dilakukan dengan benar, tindakan ini tidak akan menyakiti pasien atau
menyebabkan kulit pasien menjadi teriritasi atau kemerahan seperti ditampar
akibat kontak langsung dengan kulit.

e. Persiapan
a) Jelaskan prosedur kepada pasien
b) Berikan posisi yang nyaman dan aman bagi pasien pada saat prosedur dilakukan.
c) Siapkan handuk untuk menutupi bagian tubuh pasien yang terbuka pada saat
perkusi atau anjurkan pasien untuk menggunakan kaos tipis sehingga tangan
anda tidak langsung menyentuh kulit pasien.
d) Pasien dianjurkan menggunakan pernapasan diafragmatik selama prosedur
perkusi dilakukan.

f. Prosedur tindakan
a) Posisikan pasien pada posisi drainage
b) Posisikan tangan anda seperti ketika menampung cairan atau bedak kemudian
balikkan atau membentuk mangkuk pada tangan.
c) Tepukkan tangan anda dengan ringan pada dinding dada pasien dalam gerakan
berirama di atas segmen paru yang akan dialirkan.
d) Keseluruhan lengkung tangan anda harus menyentuh dada pasien.
e) Tangan ditungkupkan selama kira-kira 1 menit pada setiap posisi.
f) Pergelangan tangan secara bergantian fleksi dan ekstensi sehingga dada dipukul
atau ditepuk dalam cara yang tidak menimbulkan nyeri.

47
g) Anjurkan pasien untuk menggunakan pernapasan diafragmatik selama prosedur
untuk meningkatkan relaksasi.
h) Perkusi bergantian dengan vibrasi, dilakukan selama 3 sampai 5 menit untuk
setiap posisi.

d. VIBRASI
1) Pengertian
Adalah teknik memberikan kompresi dan getaran manual pada dinding dada selama
phase ekhalasi pernapasan.

2) Tujuan
Untuk meningkatkan verositas (pengeluaran) udara yang di ekpirasikan dari jalan
napas yang kecil, dengan demikian akan membebaskan mucus

3) Indikasi
Pada pasien yang batuk dan sulit mengeluarkan secret

4) Persiapan alat
a) Sputum pot
b) Tissue
c) Underdug

5) Prosedur tindakan
a) Pergelangan tangan dan siku di jaga agar tetap kaku dan gerakan memvibrasi di
lakukan oleh otot-otot bahu
b) Setelah 3-4 kali vibrasi pasien didorong untuk batuk dengan menggunakan otot-
otot abdomen

48
Gambar 31. Perkusi dan vibrasi dada

B. TERAPI NEBULIZER
a. Pengertian
Nebulizer adalah :
1) Memberikan campuran zat aerosol dalam partikel udara dengan tekanan udara.
2) Alat yang menyemburkan medikasi atau agens pelembab, seperti agens
bronkodilator / mukolitik menjadi partikel mikroskopik dan mengirimkannya
kedalam paru – paru ketika pasien menghirup napas.
3) Alat yang bertenaga udara dengan cara komperior melalui selang penghubung

b. Tujuan
untuk memberikan obat melalui napas spontan pasien.
c. Persiapan
1) Alat dan obat
a) Motor nebulizer
b) Aquades
c) Obat-obatan yang diperlukan
d) Nacl
e) tisu Tisu
f) Handscoon

49
2) Sputum pot
3) Lingkungan : Bersih dan nyaman
4) Petugas/perawat : 1 orang

d. Prosedur tindakan
1) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pengobatan khususnya pada pasien
yang menggunakan bronkodilator.
2) Jelaskan prosedur pada pasien. Atur posisi pasien senyaman mungkin paling
sering dalam posisi semifowler, jaga privasi.
3) Petugas mencuci tangan.
4) Nebulizes diisi obat (sesuai program pengobatan) dan cairan normal salin ± 4-
6cc.
5) Hidupkan nebulizer kemudian hubungkan nebulizer dan selangnya ke flow
meter oksigen dan set aliran pada 4-5 liter/menit, atau ke kompresor udara.
6) Instruksikan pasien untuk buang napas.
7) Minta pasien untuk mengambil napas dalam melalui mouth piece, tahan napas
beberapa saat kemudian
8) Buang napas melalui hidung.
9) Observasi pengembangan paru / dada pasien.
10) Minta pasien untuk bernapas perlahan-lahan dan dalam setelah seluruh obat
diuapkan.
11) Selesai tindakan, anjurkan pasien untuk batuk setelah tarik napas dalam
beberapa kali (teknik batuk efektif).
12) Pasien dirapikan.
13) Alat dirapikan.
14) Petugas mencuci tangan.
15) Catat respon pasien dan tindakan yang telah dilakukan.

50
C. PEMASANGAN OKSIGEN
1. Pengertian
Pemberian terapi oxygen adalah suatu tata cara pemberian bantuan gas oksigen pada
pasien yang mengalami gangguan pernapasan ke dalam paru melalui saluran
pernapasan dengan menggunakan alat khusus.

2. Tujuan pemberian oksigen


a. Memenuhi kekurangan oksigen
b. Membantu kelancaran metabolisme sebagai tindakan pengobatan
c. Mencegah hipoksia
d. Mengurangi beban kerja alat napas dan jantung

3. Indikasi
Terapi ini dilakukan pada pasien :
a. Dengan anoksia atau hipoksia
b. Dengan kelumpuhan alat-alat pernapasan
c. Selama dan sesudah dilakukan narcose umum
d. Mendapat trauma paru
e. Tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda , dispneu, cyanosis, apnea
f. Dalam keadaan coma

4. Persiapan Alat dan Pasien


a. Persiapan Alat :
a) Tabung oksigen beserta isinya
b) Regulator dan flow meter
c) Handscoon non steril
d) Botol pelembab (humidifier)
e) Masker atau nasal prong
f) Slang penghubung
g) Kapas
h) Aqua/Nacl
i) Tanda “DILARANG MEROKOK atau AWAS API!!!”
b. Persiapan Pasien
1) Pasien diberi penjelasan tentang tindakan yang kan dilakukan

51
2) Pasien ditempatkan pada posisi yang sesuai

5. Prosedur pemberian oksigen


1. Mengucapkan salam
2. Menjelaskan tujuan
3. Menjaga privasi
4. Perawat mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan
5. Masukkan flow meter ke outlet didinding atau tabung oksigen didekat pasien.
6. Siapkan humidifier, tambahkan air sampai batas.
7. Sambungkan flow meter ke humidifier.
8. Sambungkan humidifier ke nasal kanul atau masker
9. Buka oksigen flow meter sampai terlihat gelembung air pada humidifier. Jika tidak ada
gelembung air cek apakah flow meter sudah benar-benar masuk, humidifier telah
tepat, dan sambungan telah benar. Hubungi technicians atau supervisor apabila ada
masalah.
10. Atur kecepatan oksigen sesuai dengan permintaan atau sesuaikan dengan kondisi
pasien
11. Cek aliran oksigen dan sesuaikan dengan order dokter setiap 8 jam.
12. Gunakan sarung tangan
13. Pasang oksigen kanul atau oksigen masker pada pasien.
14. Bersihkan nares dari sekret dengan kapas.
15. Sambungkan kanul dengan nares pasien atau masker pada pasien
16. Lilitkan selang mengitari telinga lalu ke bawah dagu pasien (memasang kapas diantara
telinga dengan selang akan menambah kenyamanan pasien).
17. Kencangkan selang dan yakinkan pasien merasa nyaman
18. Atur kembali selang setiap shift atau 6 jam sekali untuk memeriksa keadaan kulit
pasien, berikan petroleum jelly pada nares dan bersihkan sekret yang ada.
19. Atur posisi pasien semi fowler apabila tidak ada kontraindikasi.
20. Singkirkan alat-alat yang tidak diperlukan untuk menghindari kontaminasi.
21. Pasang tanda “DILARANG MEROKOK atau AWAS API!!!”.
22. Evaluasi pernapasan pasien.
23. Setelah pemberian tidak dibutuhkan lagi lepas nasal prong atau masker dari pasien,
tabung oksigen ditutup.
24. Pasien dirapikan kembali

52
25. Peralatan dibereskan
26. Cuci tangan
27. Mengucapkan salam
28. Mendokumentasikan

Gambar 33. Pemberian O2

6. Metode pemberian O2 dapat dibagi atas 2 tehnik, yaitu :


a. Sistem aliran rendah
Contoh sistem aliran rendah ini adalah :
1) kateter nasal,
2) kanula nasal,
3) sungkup muka sederhana,
4) sungkup muka dengan kantong rebreathing
5) sungkup muka dengan kantong non rebreathing.
Keuntungan dan kerugian dari masing-masing sistem sebagai berikut :
a) Kateter nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 secara kontinu
dengan aliran 1 – 6 L/mnt dengan konsentrasi 24% - 44%.
a) Keuntungan
Pemberian O2 stabil, pasien bebas bergerak, makan dan berbicara, murah
dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai kateter penghisap.

53
b) Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 yang lebih dari 45%, tehnik memasuk
kateter nasal lebih sulit dari pada kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung,
dapat terjadi iritasi selaput lender nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 L/mnt
dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa hidung, kateter
mudah tersumbat.

b) Kanula nasal
Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan O2 kontinu dengan aliran 2– 6
L/mnt dengan konsentrasi O2 sama dengan kateter nasal (24 – 44 %). Digunakan ketika
pasien membutuhkan kosentrasi O2 aliran rendah sampai sedang.
1) Keuntungan
Pemberian O2 stabil dengan volume tidal dan laju pernapasan teratur, mudah
memasukkan kanul dibanding kateter, pasien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih
mudah ditolerir pasien dan nyaman.

2) Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 lebih dari 44%, suplai O2 berkurang bila
pasien bernapas lewat mulut, mudah lepas karena kedalam kanul hanya 1 cm,
mengiritasi selaput lender. Jika aliran oksigen O2 diberikan diatas 6 L/menit, ada
kemungkinan pasien menelan udara dan mukosa faring serta nassal menjadi teriritasi.
Selain itu, FiO2 tidak meningkat.

Gambar 34. Nassal Kanul

54
c) Sungkup muka sederhana
Merupakan alat pemberian O2 kontinu atau selang seling 5 – 8 L/mnt dengan konsentrasi
O2 40 – 60%.
1) Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan lebih tinggi dari kateter atau kanula nasal, sistem
humidifikasi dapat ditingkatkan melalui pemilihan sungkup berlubang besar, dapat
digunakan dalam pemberian terapi aerosol.

2) Kerugian
Tidak dapat memberikan konsentrasi O2 kurang dari 40%, dapat menyebabkan
penumpukan CO2 jika aliran rendah.

Gambar 35. Simple Mask

d) Sungkup muka dengan kantong rebreathing


Suatu tehnik pemberian O2 dengan konsentrasi tinggi yaitu 60 – 80% dengan aliran 8 – 12
L/mnt
1) Keuntungan
Konsentrasi O2 lebih tinggi dari sungkup muka sederhana, tidak mengeringkan selaput
lendir

2) Kerugian
Tidak dapat memberikan O2 konsentrasi rendah, jika aliran lebih rendah dapat
menyebabkan penumpukan CO2, kantong O2 bisa terlipat.

55
Gambar 36. Sungkup muka dengan kantong rebreathing

e) Sungkup muka dengan kantong non rebreathing


Merupakan tehnik pemberian O2 dengan Konsentrasi O2 tertinggi selain intubasi atau
ventilasi mekanis yaitu mencapai 95 - 100% dengan aliran 10 – 15 L/mnt dimana udara
inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi. Dengan menggunakan masker ini,
pasien hanya bernapas dengan gas yang bersumber dari kantong. Katup satu arah pada
kantung dan di antara kantung reservoir dan masker mencegah udara ruangan dan udara
yang diekshalasikan pasien masuk ke kantong. Untuk mencegah bertambahnya CO2,
kantong nonrebreather tidak boleh mengempis seluruhnya selama inspirasi. Bila hal ini
terjadi, perawat dapat mengatasinya dengan meningkatkan aliran O2.
1) Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diperoleh dapat mencapai 100%, tidak mengeringkan selaput
lendir.

2) Kerugian
Kantong O2 bisa terlipat.

56
Gambar 37. Sungkup muka dengan kantong non rebreathing

b. Sistem aliran tinggi


Suatu tehnik pemberian O2 dimana FiO2 lebih stabil dan tidak dipengaruhi oleh tipe
pernapasan, sehingga dengan tehnik ini dapat menambahkan konsentrasi O2 yang lebih
tepat dan teratur.
Adapun contoh tehnik sistem aliran tinggi yaitu sungkup muka dengan ventury.
Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang dialirkan dari tabung akan menuju ke
sungkup yang kemudian akan dihimpit untuk mengatur suplai O2 sehingga tercipta tekanan
negatif, akibatnya udara luar dapat diisap dan aliran udara yang dihasilkan lebih banyak.
Aliran udara pada alat ini sekitar 4 – 14 L/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.
1) Keuntungan
Konsentrasi O2 yang diberikan konstan sesuai dengan petunjuk pada alat dan tidak
dipengaruhi perubahan pola napas terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat
dikontrol serta tidak terjadi penumpukan CO2

2) Kerugian
Kerugian sistem ini pada umumnya hampir sama dengan sungkup muka yang lain
pada aliran rendah.

57
Gambar 38. Ventury Mask

D. SUCTIONING
a. Pengertian
Suctioning atau penghisapan merupakan tindakan untuk mempertahankan
jalan napas sehingga memungkinkan terjadinya proses pertukaran gas yang adekuat
dengan cara mengeluarkan secret pada pasien yang tidak mampu mengeluarkannya
sendiri ( Ignativicius, 2003 ).
Pengisapan lendir adalah tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien
yang tidak mampu mengeluarkan sekret atau lendir secara mandiri dengan
menggunakan alat penghisap. Metode ini digunakan untuk melepaskan sekresi yang
berlebihan pada jalan napas. Pengisapan lendir (suctioning) dapat diterapkan pada
oral, nasofaringeal tracheal, serta endotrakheal atau trakheostomi Tube.

b. Tujuan
1) Membantu mengeluarkan sekret dijalan napas
2) Membantu pengembangan paru
3) Mencegah infeksi yang diakibatkan oleh akumulasi sekret

c. Indikasi
Indikasi dilakukannya penghisapan adalah adanya atau banyaknya secret yang
menyumbat jalan napas, ditandai dengan:
a. Adanya tanda distres jalan napas pada pasien atau tanda bahwa pasien tidak dapat
membatukkan dan mengeluarkan sekret/ sputum.

58
b. Terdengar adanya suara pada jalan napas, seperti dispnea, suara napas seperti
gelembung (bubbling), atau derik (rattling).
c. Kulit pucat (sianosis)
d. Hasil auskultasi : ditemukan suara crackels atau ronkhi
e. Penurunan kadar SaO2 (juga disebut saturasi O2)
f. Kelelahan
g. Nadi dan laju pernapasan meningkat
h. Ditemukannya mukus pada alat bantu napas
i. Permintaan dari pasien sendiri untuk disuction
j. Meningkatnya peak airway pressure pada mesin ventilator

d. Jenis – jenis suctioning


a. Oral suctioning atau orofaring suctioning
b. Nasofaringeal suctioning
c. Nasotracheal suctioning
d. Endotrakea suctioning

e. Persiapan alat
a. Mesin suction, gunakan alat penghisap dengan tekanan 110 - 150 mmHg untuk
dewasa, 95 - 110 mmHg untuk anak-anak, dan 50 - 95mmHg untuk bayi, dan kontainer
tempat pengumpul sekret dan cairan.
b. Disposible suction tray atau sterile suction cateter : (ukuran #12 - #18 Fr untuk dewasa;
#8 - #10 Fr untuk anak-anak, dan ukuran #5 - #8 Fr untuk bayi); bila orofaring dan
nasofaring akan dihisap, satu kateter steril untuk masing-masing penghisapan.
c. Handscoon steril (untuk tracheal dan tracheostomi suctioning)
d. Masker
e. Kom steril atau kotak steril (tempat steril untuk irigasi)
f. Spuit berisi cairan NaCl steril untuk irigasi trachea jika diindikasikan
g. 2 meter selang plastik bening untuk penyambung
h. Tonsilar suction tip
i. Jelli steril/ pelumas larut air (untuk penghisapan nasofaring)
j. Tissue
k. Kasa steril
l. Handuk atau bantalan tahan lembab

59
m. Botol pengumpul lendir
n. Manometer untuk mengukur jumlah kekuatan vakum
o. Kantung sampah tahan lembab

f. Prosedur tindakan
1. Mengucapkan salam
2. Menjelaskan kepada pasien apa yang akan Anda lakukan, mengapa hal tersebut perlu
dilakukan dan bagaimana pasien dapat bekerja sama. Kaji adanya kebutuhan untuk
dilakukannya tindakan penghisapan (usahakan tidak rutin melakukan penghisapan
karena menyebabkan penurunan saturasi oksigen ke otak, kerusakan mukosa,
perdarahan, dan bronkospasme)
3. Lakukan cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan, gunakan alat pelindung diri
(masker dan handscoon).
4. Menjaga privasi pasien dengan menutup gordyn dan tutup pintu kamar
5. Siapkan alat-alat
6. Persiapkan pasien.
1) Atur posisi tidur pasien sadar yang masih memiliki refleks muntah pada posisi semi
fowler dengan kepala dihadapkan ke samping untuk pengisapan oral atau dengan
leher hiperekstensi untuk pengisapan hidung.
Posisi tersebut akan memudahkan pemasangan kateter dan membantu mencegah
aspirasi sekret.
2) Atur posisi pasien tidak sadar pada posisi miring, menghadap ke Anda.
Posisi ini memungkinkan lidah jatuh ke depan, sehingga lidah tidak akan
menyumbat kateter pada saat dimasukkan. Posisi miring juga memudahkan
pengakiran sekret dari faring dan mencegah kemungkinan aspirasi.
7. Letakkan handuk atau disposable pad (bantalan tahan lembab) di sekitar bahu diatas
dada pasien
8. Beri informasi kepada pasien bahwa pengisapan akan menghilangkan kesulitan
bernapas dan prosedur tersebut tidak menimbulkan rasa sakit, tetapi dapat
menimbulkan ketidaknyamanan serta menstimulasi refleks batuk, muntah (gag) atau
bersin.
Dengan mengetahui bahwa prosedur tersebut akan menghilangkan masalah napas sering
kali menerangkan pasien dan mendapatkan kerja sama dari pasien.
9. Persiapkan perlengkapan.

60
1) Atur tekanan pada pengukur pengisap, dan nyalakan pengisap. Kebanyakan alat
pengisap di kalibrasi dalam tiga rentang tekanan.
Unit dinding → Dewasa : 100 – 120 mmHg
Anak : 95 – 100 mmHg
Bayi : 50 – 95 mmHg

Unit Portabel → Dewasa : 10 -15 mmHg


Anak : 5 - 10 mmHg
Bayi : 2 -5 mmHg
Siapkan tekanan mesin suction pada level 80 – 120 mmHg untuk menghindari hipoksia
dan trauma mukosa.
2) Buka pelumas atau jelli steril diatas tempat tidur bila akan melakukan pengisapan
nasofaring
3) Buka penutup cairan steril atau normal saline letakkan botol diatas meja tempat tidur
4) Buka set steril selang suction perhatikan tehnik steril letakkan pada area steril diatas
meja tempat tidur
a) Atur cangkir atau kom steril untuk tempat irigasi, pegang hanya bagian luarnya
saja
b) Tuangkan cairan steril 100cc kedalam kom steril gunakan tangan yang non
dominan. Tangan ini dianggap tangan non bersih sekarang.
c) Pakai sarung tangan steril, atau pasang sarung tangan tidak steril pada tangan
yang tidak dominan dan sarung tangan steril pada tangan yang dominan. Tangan
yang memakai sarung tangan steril akan menjaga sterilitas kateter pengisap, dan
sarung tangan tidak steril atau bersih mencegah penyebaran mikroorganisme
kepada perawat.
5) Dengan tangan yang memakai sarung tangan steril, ambil kateter, dan sambungkan ke
unit pengisap.

10. Buat perkiraan ukuran kedalaman kateter yang akan dimasukkan dan periksa peralatan.
1) Ukur jarak antara ujung hidung pasien dan cuping telinga, sekitar 13 cm untuk dewasa.
2) Tandai jarak tersebut pada slang dengan jari tangan yang memakai sarung tangan steril.
3) Periksa tekanan pengisap dan kepatenan kateter dengan menekan jari atau ibu jari yang
memakai sarung tangan steril ke port atau cabang terbuka dari konektor Y (kontrol
pengisap) untuk menimbulkan isapan.

61
11. Lumasi dan masukkan kateter
1) Keluarkan jelli sedikit dari tempatnya taruh di tray dengan menggunakan tangan bersih
2) Ambil kateter dengan tangan steril dan lilitkan pada tangan sehingga ujung kateter
dipegang dengan ibu jari dan jari-jari
3) Ambil selang penyambung dengan tangan bersih dan sambungkan dengan kateter
yang berada ditangan steril, oleskan jelli pada ujung kateter
4) Untuk pengisapan nasofaring, lumasi ujung kateter dengan air steril, salin, atau
pelumas larut air; untuk pengisapan orofaring, lembabkan ujung kateter dengan air
steril atau salin. Tindakan ini akan mengurangi gesekan dan memudahkan kateter saat
dimasukkan.
12. Nyalakan suction dengan tangan bersih
13. Ujung kateter letakkan pada pot cairan steril
14. Observasi cairan saline terisap disepanjang kateter dan selang penyambung serta masuk
ke botol kontainer. Observasi keakuratan tekanan negatif
15. Lakukan preoksigenasi dengan O2 100% selama 30 detik sampai 3 menit untuk mencegah
terjadinya hipoksemia.

Untuk Pengisapan Orofaring


1) Tarik lidah ke depan, bila perlu dengan menggunakan kasa
2) Jangan lakukan pengisapan (yaitu, jangan tutup lubangkontrol suction) ketika
memasukkan kateter. Melakukan pengisapan ketika memasukkan kateter akan
menyebabkan trauma membran mukosa.
3) Secara cepat dan gentle masukkan ujung selang suction atau kateter yang steril
sekitar 10 – 15 cm di sepanjang satu sisi mulut hingga ke dalam orofaring, dengan
hati-hati (± 2 detik ujung selang suction berada didalam pernapasan dengan cara
diputar sehingga semua rongga saluran pernapasan terhisap lendirnya), jangan
lakukan suction saat selang sedang dimasukkan. Mengatur masuknya kateter di
sepanjang satu sisi mulut akan mencegah timbulnya keinginan muntah.

Untuk Pengisapan Nasofaringeal dan Nasotracheal


1) Tanpa melakukan pengisapan, masukkan kateter sedalam jarak yang telah diukur atau
direkomendasikan ke salah satu lubang hidung dan terus masukkan di sepanjang
dasar rongga hidung. Tindakan ini menghindari konka nasalis.
2) Jangan memaksa memasukkan kateter melawan sumbatan. Bila salah satu lubang
hidung tersumbat, coba lubang hidung lainnya.

62
3) Untuk pengisapan nasotracheal, posisikan kepala pasien agak ekstensi

Gambar 42. Nasofaringeal suctioning

Gambar 43. Nasotracheal suctioning


16. Lakukan pengisapan.
1) Letakkan jari Anda pada lubang kontrol suction untuk memulai pengisapan, dan dengan
perlahan-lahan putar kateter (gerakan memutar). Memutar kateter secara perlahan akan
memastikan bahwa seluruh permukaan dapat dicapai dan mencegah trauma pada salah
satu daerah mukosa saluran pernapasan karena pengisapan dalam waktu lama.
2) Lakukan pengisapan selama 5 – 10 detik sambil menarik kateter secara perlahan,
kemudian lepaskan jari Anda dari alat kontrol, dan lepaskan kateter.
3) Tindakan pengisapan hanya berlangsung selama 5 – 10 detik. Selama waktu itu, kateter
dimasukkan, pengisapan dilakukan dan dihentikan, dan kateter dilepas.
4) Selama pengisapan orofaring mungkin diperlukan pengisapan sekret yang terkumpul di
vestibulmu mulut dan di bawah lidah.
17. Bersihkan kateter dengan cara melakukan pembilasan dengan cairan steril, dan ulangi
pengisapan seperti di atas bila diperlukan ( maksimal 3 x suction dalam 1 waktu ):

63
1) Bersihkan kateter dengan menggunakan kasa steril bila sekret yang menempel kental.
Buang kasa yang sudah digunakan ke dalam kantong tahan lembap.
2) Bilas kateter dengan air steril atau salin
3) Lumasi kembali kateter, dan ulangi pengisapan sampai jalan udara bersih
4) Berikan jeda 20 – 30 detik di antara setiap pengisapan dan batasi waktu pengisapan
total sampai 5 menit. Pengisapan yang terlalu lama dapat memperbanyak sekret atau
mengurangi suplai oksigen pasien.
5) Hiperoksigenasi selama 1-5 menit atau bila nadi dan SaO2 pasien normal
6) Ganti lubang hidung untuk pengisapan selanjutnya
7) Dorong pasien untuk napas dalam dan batuk di antara pengisapan. Batuk dan napas
dalam membantu membawa sekret dari trakea dan bronkus ke dalam faring, tempat
dapat dijangkau oleh kateter pengisap.
18. Ambil spesimen bila diperlukan. Gunakan wadah pengumpul sputum sebagai berikut:
1) Hubungkan kateter pengisap ke slang karet di wadah pengumpul sputum.
2) Hubungkan slang pengisap ke ventilasi wadah pengumpul sputum
3) Lakukan pengisapan nasofaring atau orofaring pasien. Wadah pengumpul sputum
akan mengumpulkan mukus selama pengisapan.
4) Lepaskan kateter dari pasien. Lepaskan slang karet wadah pengumpul sputum dari
kateter pengisap. Lepaskan slang suction dari ventilasi udara wadah pengumpul.
5) Hubungkan slang karet di wadah pengumpul sputum ke ventilasi udara. Tindakan ini
akan menahan mikroorganisme di dalam wadah pengumpul sputum.
6) Sambungkan kateter pengisap ke slanh
7) Bilas kateter untuk membersihkan sekret dari slang.
19. Tingkatkan kenyamanan pasien.
1) Tawarkan bantuan kepada pasien untuk melakukan higiene mulut atau hidung
2) Bantu pasien ke posisi yang memfasilitasi bernapas.
20. Matikan sumber suction dengan tangan bersih, jika suction tidak dilakukan lagi
21. Buang peralatan dan pastikan tersedianya alat untuk tindakan pengisapan selanjutnya
1) Buang kateter, sarung tangan, air, dan wadah sampah. Bungkus kateter dengan
tangan Anda yang bersarung tangan steril dan pegang kateter sambil melepaskan
sarung tangan tersebut, buang keduanya.
2) Bilas slang pengisap sesuai keperluan dengan memasukkan ujung slang ke dalam
wadah air yang sudah terpakai. Kosongkan dan cuci wadah pengumpul sputum sesuai
kebutuhan atau protokol. Ganti slang pengisap dan wadah setiap hari.

64
Pastikan terdapat suplai alat untuk pengisapan selanjutnya (set pengisap, sarung
tangan, air atau salin normal)
22. Rapikan alat
23. Cuci tangan
24. Evaluasi perasaan pasien terhadap tindakan yang sudah dilakukan
25. Kaji keefektifan pengisapan
Auskultasi suara napas pasien untuk memastikan suara napas bersih dari sekret.
Observasi warna kulit, dispnea, dan tingkat kecemasan.
26. Dokumentasikan data yang relevan.
1) Catat prosedur: jumlah, konsistensi, warna dan bau sputum (mis., berbusa, mukosa
putih; mukus tebal, kehijauan; atau mukus berbercak darah) dan status pernapasan
pasien sebelum dan sesudah prosedur.
2) Bila teknik ini sering dilakukan (misalnya setiap jam), teknik ini dapat dicatat hanya
satu kali, yaitu pada akhir shift jaga; namun frekuensi pengisapan harus dicatat.

g. Pengisapan Trakea (Selang Trakeostomi atau endotrakea)


Saat selang trakeostomi atau endotrakea terpasang, biasanya diperlukan pengisapan
sekresi pasien karena keefektifan mekanisme batuk menurun. Pengisapan trakea dilakukan
ketika bunyi napas tambahan terdeteksi atau ketika terdapat sangat banyak sekresi.
Pengisapan yang tidak diperlukan menyebabkan bronkospasme dan menyebabkan trauma
pada mukosa trakea.
Semua peralatan yang kontak langsung dengan jalan napas bawah pasien harus steril
untuk mencegah infeksi paru dan sistemik yang membahayakan.

Berikut prosedur untuk pengisapan trakeostomi:


1. Peralatan
a. Kateter penghisap
b. Sarung tangan
c. Goggles untuk pelindung mata
d. Spuit 5 – 19 ml
e. Normal salin steril yang dituangkan ke dalam cangkir untuk irigasi
f. Bag yang dapat mengembang sendiri milik pasien (resusitator tangan) dengan
oksigen suplemental (kantung diganti setiap hari untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya infeksi)
g. Mesin pengisap (suction)

65
2. Prosedur atau Prosedur tindakan
2.1) Jelaskan prosedur pada pasien sebelum memulai dan berikan ketenangan selama
pengisapan, karena pasien mungkin gelisah berkenaan dengan tersedak dan
ketidakmampuan untuk berkomunikasi.
2.2) Mulai dengan mencuci tangan secara menyeluruh dan observasi pengendalian
infeksi lainnya (mis. Sarung tangan, googles)
2.3) Jaga privasi pasien
2.4) Persiapkan pasien.
a) Bila tidak dikontraindikasikan karena alasan kesehatan, tempatkan pasien
pada posisi semi fowler untuk meningkatkan napas dalam, ekspansi paru
yang maksimal, dan batuk produktif. Napas dalam akan mengoksigenasi paru,
menghilangkan efek hipoksia karena pengisapan, dan dapat menginduksi
batuk. Batuk dapat membantu melepaskan dan mengeluarkan sekret.
b) Bila diperlukan berikan analgesik sebelum melakukan pengisapan.
Pengisapan endotrakea dapat menstimulasi refleks batuk, yang dapat
menyebabkan nyeri bagi pasien yang baru menjalani pembedahan.
Pemberian obat sebelum tindakan dapat meningkatkan kenyamanan pasien
selama pengisapan.
5) Persiapkan alat
a) Buka kit kateter pengisap
b) Pasang peralatan resusitasi ke sumber oksigen. Sesuaikan aliran oksigen ke
“aliran 100%”
c) Isi basin/ cangkir dengan noermal salin steril
d) Buka suplai steril siap pakai
e) Letakkan handuk steril, bila digunakan, di atas dada pasien di bawah
trakeostomi
f) Nyalakan alat penghisap, dan atur tekanan sesuai kebijakan institusi (tekanan
tidak boleh melebihi 120 mmHg)
g) Pakai googles, masker, gaun bila diperlukan
h) Pasang sarung tangan steril. Beberapa institusi merekomendasikan pemasangan
sarung tangan steril pada tangan yang dominan dan sarung tangan tidak steril pada
tangan yang tidak dominan untuk melindungi perawat.
6) bilas dan lumasi kateter
a) gunakan tangan dominan, letakkan ujung kateter dalam cairan salin steril

66
b) gunakan ibu jari tangan yang tidak dominan, tutup kontrol pengisap dengan inu jari
dan isap sejumlah kecil larutan steril melalui kateter.
Tindakan ini memastikan bahwa alat pengisap bekerja denganbaik dan melumasi
bagian luar serta lumen kateter. pelumasan memudahkan dalam memasukkan
kateter dan mengurangi trauma jaringan selama memasukkan kateter. pelumahan
lumen juga membantu mencegah sekret melekat di bagian dalam kateter.
7) bila pasien tidak memiliki sekret yang banyak, lakukan hiperventilasi paru pasien dengan
bag resusitasi manual dan aliran oksigen yang tinggi sebelum dilakukan pengisapan.
a) minta seorang asisten, bila tersedia, untuk tahap ini
b) gunakan tangan anda yang tidak dominan, alirkan oksigen 12 – 15 L/menit
c) bila pasien sedang mendapatkan oksigen, lepaskan sumber oksigen dari selang
trakeostomi dengan menggunakan tangan non dominan.
d) pasang alat resusitasi ke selang endotrakea atau trakeostomi
e) tekan ambu bag tiga hingga lima kali saat pasien melakukan inhalasi. tindakan ini
paling baik dilakukan oleh orang kedua yang dapat menggunakan tangannya untuk
menekan ambu bag sehingga akan meningkatkan volume pemompaan.
f) observasi naik dan turunnya dada pasien untuk mengkaji keadekuatan setiap ventilasi.
g) lepaskan alat resusitasi den letakkan alat di atas tempat tidur atatu di atas dada pasien
dengan konektor yang menghadap ke atas.

Gambar 59. Membilas dan melumasi kateter pengisap dengan ibu jari pada kontrol
pengisap

2.2) Hiperinflasi atau hiperoksigenasikan paru-paru pasien selama beberapa kali napas dalam
dengan kantung yang dapat mengembang sendiri.
2.3) bila pasien memiliki sekret yang banyak, jangan lakukan hiperventilasi dengan alat
resusitasi. sebagai gantinya:

67
a) tetap nyalakan alat penghantar oksigen reguler dan tingkatkan aliran atau sesuaikan
FiO2 ke 100% untukbeberapa kali napas sebelum pengisapan.
melakukan hiperventilasi kepada pasien yang memiliki sekret banyak dapat
mendorong sekret lebih dalam ke saluran napas.
2.4) Masukkan kateter secara cepat namun hati-hati tanpa melakukan pengisapan.
2.5) dengan ibu jari tangan non dominan yang tidak menutup port kontrol pengisap, secara
cepat dan hati-hati masukkan kateter ke dalam trakea melalui selang trakeostomi. untuk
mencegah trauma jaringan dan kehilangan oksigen, pengisapan tidak dilakukan ketika
memasukkan kateter
2.6) masukkan kateter sekitar 12,5 cm pada orang dewasa, untuk anak-anak kurang dari itu,
atau sampai pasien batuk atau anda merasakan tahanan.

Gambar 60. Memasukkan kateter trakeostomi di selang trakeostomi dengan ibu jari tidak
pada kontrol pengisap. Kateter dimasukkan tidak lebih dari 0,5 cm dari
panjang selang

2.7) untuk mencegah kerusakan membran mukosa pada percabangan, tarik kateter
sekitar 1 – 2 cm sebelum melakukan pengisapan.
2.8) Beri isapan intermiten selama 5 – 10 detik dengan meletakkan ibu jari yang tidak
dominan di atas port kontrol pengisap, sambil menarik kateter, memutar kateter
dengan perlahan 360 derajat (tidak lebih dari 10 detik sampai 15 detik, karena pasien
dapat menjadi hipoksik dan disritmia, yang dapat mengarah pada henti jantung)

68
Gambar 61. Memutar kateter sambil mengeluarkannya dari selang trakeostomi dengan ibu
jari pada kontrol pengisap.

2.9) Tarik kateter seluruhnya, dan akhiri pengisapan


2.10) Reoksigenasikan dan inflasikan paru-paru pasien selama beberapa kali napas
2.11) Masukkan 3 sampai 5 ml Normal Salin ke dalam jalan napas hanya jika refleks batuk
tertekan
2.12) lakukan pengisapan kembali. Ulangi empat langkah sebelumnya (langkah 10) sampai
13)) sampai jalan napas bersih
2.13) kaji kembali status oksigenasi pasien dan ulangi pengisapan
a) observasi pernapasan pasien dan warna kulit. periksa nadi bila diperlukan,
gunakan tangan non dominan
b) anjurkan pasien untuk bernapas dalam dan batu pada jeda pengisapan
c) beri jeda 2 – 3 menit di antara pengisapan bila mungkin.
2.14) Bilas kateter dalam basin dengan Normal Salin steril antara tindakan bila perlu
2.15) ulangi pengisapan sampai jalan napas bersih dsnbernapas relatif tanpa usaha dan
tanpa suara. Hisap kavitas orofaring setelah menyelesaikan pengisapan trakeal
2.16) setelah pengisapan, ambil kantong resusitasi dengan tangan yang non dominan dan
ventilasikah pasien tidak lebih dari tiga kali napas
2.17) Bilas kateter dan selang pengisap
2.18) matikan alat pengisap, dan lepaskan kateter dari selang pengisap
2.19) bungkus kateter dalam tangan steril anda, dan lepaskan sarung tangan sehingga
sarung tangan bagian dalam membungkus kateter.
2.20) buang sarung tangan dan kateter ke dalam kantong sampah tahan lembab
2.21) berikan kenyamanan dan keamanan kepada pasien, bantu pasien ke posisi yang
aman dan nyaman yang membantu pernapasan.
2.22) evaluasi perasaan pasien
2.23) terminasi dan dokumentasikan

69
h. Evaluasi
a. observasi jalan napas untuk tetap ditempatnya dengan plester atau ikatan aman dan
nyaman bagi pasien.
b. Ukur temperatur pasien; observasi stoma atau tanda dan gejala infeksi
c. observasi mukosa oral pasien
d. bandingkan pengkajian sebelum dan sesudah perawatan jalan napas artifisial.
Observasi tanda dari pecahnya jaringan atau sekresi kering yang persisten
e. observasi kerja pasien untuk mengetahui adanya keluhan dengan prosedur
f. biarkan pasien untuk memutuskan kapan perawatan trakeostomi diperlukan dan
demonstrasikan secara mandiri untuk perawatan trakeostomi.

F. SUCTION PADA PASIEN ANAK


a. Pengertian
Anak membutuhkan bantuan untuk menjaga agar hidung dan mulutnya tetap bebas
dari mukus. Untuk itu diperlukan alat-alat pengisapan, humidifier, dan bahan-bahan
lainnya. Bila anak berada dirumah sakit, anda harus menggunakan mesin penghisap.
Pedoman tertentu sangat bermanfaat untuk anak yang mempunyai masalah
pembersihan mukus dari belakang bagian hidung dan mulut (faring). Untuk menjaga
mukus tetap cair sehingga mudah untuk dikeluarkan lakukan pengisapan dan batuk,
tambahkan pelembab yang diperlukan. Dorong anaka untuk minum sedikitnya 1 liter air
sehari dan tempatkan humidifier uap dingin dimana anak tidur (Wong, 2003).

b. Tujuan
Pengisapan dilakukan untuk menjaga agar jalan napas (hidung dan mulut) tetap
bersih dari mukus agar anak dapat bernapas dengan lebih mudah.

c. Indikasi
a) Adanya mukus kuning atau hijau
b) Perubahan bau mukus
c) Peningkatan jumlah mukus
d) Anak sangat peka/ gelisah
e) Anak mengalami kesulitan bernapas
f) Anak mengalami kesulitan makan atau menghisap
g) Anak tampak pucat
h) Cuping hidung anak melebar (meregang)

70
i) Terdengar bunyi gelembung udara melewati mukus

d. Kontra indikasi
Iritasi mukosa hidung atau mulut

e. Peralatan
1) Mesin suction, gunakan alat penghisap dengan tekanan 95 - 110 mmHg untuk anak-
anak, dan 50 - 95mmHg untuk bayi, dan kontainer tempat pengumpul sekret dan
cairan.
2) Disposible suction tray atau sterile suction kateter : 12 Fr atau 14 Fr
3) Handscoon steril (untuk tracheal dan tracheostomi suctioning)
4) Masker
5) Kom steril atau kotak steril (tempat steril untuk irigasi)
6) Spuit berisi cairan NaCl steril untuk irigasi trachea jika diindikasikan
7) 2 meter selang plastik bening untuk penyambung
8) Tonsilar suction tip
9) Jelli steril
10) Tissue
11) Kasa steril
12) Handuk steril
13) Botol pengumpul lendir
14) Manometer untuk mengukur jumlah kekuatan vakum

f. Prosedur tindakan
1) Siapkan alat
2) Cuci tangan dengan sabun dan air. Hitung sampai 10 sambil mencuci tangan,
kemudian bilas dengan air bersih dan keringkan dengan handuk.
3) Buka kemasan kateter penghisap dan sambungkan dengan mesin penghisap.
4) Pastikan bahwa mesin penghisap sudah dipasang dan dapat berfungsi.
5) Ukur selang untuk jarak yang akan anda masukkan. Tempatkan ujung kateter pada
daun telinga anak dan tandai jaraknya sampai ujung hidung anak. Pegang kateter
sampai tanda yang telah diukur tadi.

71
Gambar 44. Mengukur panjang kateter yang akan dimasukkan

6) Tempatkan ujung kateter dalam salin steril dan tempatkan ibu jari anda di atas lubang
untuk mendapatkan pengisapan. Salin membasahi kateter

7) Beri tahu anak untuk menarik napas dalam.


8) Masukkan kateter penghisap pada salah satu lubang hidung untuk mengukur jarak dengan
ibu jari tidak menutupi lubang “(tidak ada pengisapan)

Gambar 46. Memasukkan kateter penghisap dengan ibu jari tidak diatas kontrol penghisap

9) Tempatkan ibu jari anda pada lubang pengisap untuk mendapatkan pengisapan.
10) Putar atau pilin kateter dengan gerakan perlahan atau stabil pada saat anda
melepaskannya

72
Gambar 47. mengeluarkan kateter dengan ibu jari diatas kontrol penghisap

Baik pemasukkan kateter maupun pengisapan tidak boleh lebih dari 5 detik. Ingat anak
mungkin akan bernapas saat anda mengisap atau pada saat dilakukan suction. Cobalah
untuk menhan napas anda pada saat ibu jari anda pada lubang penghisap. Hal ini akan
mengingatkan anda terhadap waktu.
11) Perhatikan mukus. Periksa adanya perubahan warna, bau, dan konsistensi.
12) Bilas kateter pengisap dengan larutan salin steril dengan ibu jari ada pada lubang
pengisap.
13) Biarkan anak menarik napas dalam beberapa kali.
14) Ulangi langkah 7) sampai 14) sebanyak 2 kali, bila perlu (untuk mukus yang jumlahnya
sangat banyak), kemudian ulangi untuk lubang hidung yang lainnya.
15) Setelah penghisapan hidung, anda dapat menggunakan kateter yang sama untuk
membersihkan mulut anak (oral suctioning).
16) Tempatkan ujung kateter dalam salin steril dan tempatkan ibu jari anda diatas lubang untuk
menghisap.
17) Beri tahu anak untuk menarik napas dalam.
18) Dengan ibu jari anda tidak pada lubang penghisap (tidak ada penghisapan), masukkan
kateter penghisap pada mulut anak sepanjang salah satu sisi mulut sampai selang
mencapai bagian belakang tenggorok.
19) Tempatkan ibu jari anda pada lubang penghisap untuk mendapatkan penghisapan.
20) Putar atau pilin kateter saat anda mengeluarkannya dengan gerakan mantap perlahan.
Pemasukkan kateter dengan penghisapan tidak boleh lebih dari 5 detik. Ingatkan anak
mungkin tidak dapt bernapas saat dilakukan suctioning. Cobalah menahan napas anda
pada saat ibu jari anda berada di lubang penghisap. Hal ini akan mengingatkan anda
terhadap waktu.
21) Perhatikan mukus.periksa adanya perubahan warna, bau, dan konsistensi.

73
22) Bilas kateter penghisap dengan larutan salin steril dengan ibu jari pada lubang penghisap.
23) Biarkan anak menarik napas dalam beberapa kali.
24) Ulangi langkah 17) sampai 23) sampai 3 kali.
25) Gendong dan nyamankan anak.
26) Puji anak atas kerjasamanya.
27) Setelah setiap penggunaan, buang larutan salin dan cuci wadah. Mesin penghisap
harus bersih dan siap pakai untuk digunakan di waktu yang akan datang.
28) Cuci tangan dengan sabun dan air bersih. Keringkan dengan handuk bersih.
29) Dokumentasi.

i. Evaluasi
a. Saluran pernapasan paten, tidak ada bunyi seperti kumur atau gelembung-gelembung
pada saat inspirasi atau ekspirasi, tidak ada bunyi crackles pada saat auskultasi paru-
paru, pulsa normal sesuai dengan usia dan sex pasien.
b. Pasien mengatakan tidak cemas baik secara verbal maupun non verbal.
c. Respons pasien secara verbal atau non verbal tidak ada tanda-tanda trauma, tidak ada
keluhan nyeri pada membran mukosa saluran pernapasan.

j. Dokumentasi
a. Dokumentasikan metoda, waktu, dan frekwensi suction.
b. Dokumentasikan status pernapasan pasien sebelum dan sesudah suction
c. Laporkan warna da kekentalan dari sputum.
d. Laporkan setiap respons pasien selama melakukan prosedur
e. Jika ada tanda peningkatan hypoksia selama atau setelah suction segera laporkan ke
dokter.
f. Siapkan nursing order untuk mempertahankan kepatenan jalan napas,
dokumentasikan pada catatan keperawatan.

74
G. PERAWATAN TRAKEOSTOMI
a. Pengertian
Trakeostomi adalah insisi operasi dimana memasukkan selang ke dalam trakea agar
pasien dapat bernapas dengan lebih mudah dan mengeluarkan sekretnya. Dalam
keadaan tertentu, trakeostomi adalah tindakan kritikal yang dilakukan pada pasien
yang sedang dalam keadaan terancam jiwa karena kesulitan bernapas.

b. Tujuan
a. Trakeostomi dilakukan agar sekret di dalam saluran pernapasan dapat
dipindahkan secara efektif sebelum pernapasan pasien rusak.
b. Untuk menurunkan jumlah ruang udara yang terperangkap di jalan napas dan
kemudian meningkatkan pola napas pasien.
c. Untuk memberikan jalan napas yang efektif ketika bengkak saluran napas terjadi,
misalnya setelah operasi pada leher.

c. Indikasi
1) Bila sekresi dapat terlihat atau suara sekresi yang terdengar dengan atau tanpa
menggunakan stetoskop
2) Setelah prosedur fisioterapi dada
3) Setelah prosedur pengobatan bronchodilator
4) Peningkatan atau poppingoff dari puncak tekanan jalan napas terhadap pasien yang
sedang menggunakan ventilasi mekanik

d. Komplikasi
a. Komplikasi dini yang terjadi segera setelah pemasangan trakeostomi dilakukan
mencakup; perdarahan, pneumotoraks, embolisme udara, aspirasi, emfisema
subkutan atau mediastinum, kerusakan saraf laring, atau penetrasi dinding trakea
posterior.
b. Komplikasi jangka panjang termasuk obstruksi jalan napas akibat akumulasi sekresi
atau prostusi cuff di atas lubang selang, infeksi, ruptur arteri inominata, disfagia, fistula
trakeoesofagus, dilatasi trakea, atau iskemia trakea dan nekrosis. Stenosis aorta
dapat terjadi setelah selang dilepaskan.

75
e. Peralatan
1) Perawatan trakeostomi
1) Sarung tangan steril
2) Kassa ukuran 4 x 4
3) Larutan pembersih (Hidrogen peroksida yang sudah diencerkan atau Normal
Saline)
4) Basin (ember)
5) Sikat trakeostomi (sikat nilon steril), pembersih pipa, atau swab untuk
membersihkan permukaan kanul.
6) Air steril. Jika kita juga akan mengganti balutan, siapkan sekalian agar tidak
menghabiskan waktu.
2) Ganti balutan trakeostomi
1) Meja trolley
2) Handuk
3) Suction tracheostomi
4) Hidrogen peroksida (H2O2)
5) NaCl
6) Set trakeostomi steril (3 kasa steril 4 x 4, lidi kapas steril, sikat steril, ikatan
trakeostomi – velcro)
7) Gunting
8) Satu pasang sarung tangan steril dan satu pasang sarung tangan bersih
9) Masker
10) Rubbish bag
11) Spuit 25 cc (2)

76
Gambar 52. Alat-alat trakeostomi

Gambar 53. Tempat pemasangan Trakeostomi


f. Pengkajian
a. Kaji tanda dan gejala mengenai kebutuhan perawatan trakeostomi; sekresi periostomal
yang berlebih, sekresi intratrakeal yang berlebihan, ikatan trakeostomi yang rusak,
perawatan trakeostomi yang tidak baik, berkurangnya aliran udara melalui selang
trakeostomi, atau tanda dan gejala dari obstruksi jalan napas yang memerlukan
tindakan suction.
b. Observasi mengenai faktor-faktor (misalnya: hidrasi, kelembapan, infeksi, nutrisi,
kemampuan pasien untuk batuk) dimana mempengaruhi fungsi jalan napas
trakeostomi.

77
c. Kaji pengertian pasien dan kemampuan untuk melakukan tindakan perawatan
trakeostomi secara mandiri.
d. Cek kapan perawatan trakeostomi terakhir dilakukan.

g. Perencanaan
Hasil yang diharapkan berfokus kepada mencegah infeksi dan kerusakan di sekitar jalan
napas buatan.

h. Kriteria hasil
a. Jalan napas buatan pasien berada dalam posisi yang tepat dan aman sepenuhnya
b. Pasien tetap berada dalam kondisi afebris tanpa tanda dan gejala infeksi
c. Membran mukosa oral pasien bebas dari pecahnya atau akumulasi sekret
d. Jalan napas buatan pasien utuh tanpa adanya sekret kering yang persisten
e. Pasien mengerti tujuan dan kooperatif selama perawatan
f. Pasien dapat mendemonstrasikan tehnik yang benar dari perawatan trakeostomi saat
dibutuhkan.

i. Prosedur tindakan
1) Identifikasi pasien untuk memastikan bahwa apakah prosedur ini tepat dilakukan pada
pasien yang tepat.
2) Mengucapkan salam
3) Menjelaskan kepada pasien apa yang akan perawat lakukan, mengapa hal tersebut
perlu dilakukan, dan bagaimana pasien dapat bekerja sama. Sediakan alat komunikasi,
seperti mengedipkan mata atau mengacungkan jari untuk mengindikasikan adanya
nyeri atau distres.
4) Cek trakeostomi dengan frekuensi yang berbeda bagi setiap orang. Karena masing-
masing pasien mempunyai sekresi yang berbeda. Perawatan trakeostomi dan ganti
balutan bisa dilakukan sekali per shift bagi sebagian pasien. Sedangkan bagi pasien
yang lain mungkin harus lebih sering.
5) Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi lainnya
6) Siapkan peralatan yang akan dibutuhkan
7) Menyediakan privasi bagi pasien
8) Sediakan pensil dan kertas sebagai alat berkomunikasi bagi pasien
9) Persiapkan pasien dan perlengkapan.

78
1) Posisikan pasien ke posisi fowler atau semi fowler. Untuk memberikan kenyamanan
dan meningkatkan ekspansi paru
2) Buka set peralatan trakeostomi atau kom steril. Tuangkan hidrogen peroksida dan
normal salin steril ke dalam wadah terpisah
3) Tetapkan daerah steril
4) Buka suplai alat steril lainnya yang diperlukan termasuk lidi kapas steril, set peralatan
steril dan balutan trakeostomi
10) Gunakan sarung tangan bersih
11) lakukan pengisapan selang trakeostomi
1) pasang sarung tangan bersih pada tangan yang tidak dominan dan sarung tangan
steril pada tangan yang dominan (atau kenakan sepasang sarung tangan steril)
2) lakukan pengisapan sepanjang selang trakeostomi untuk mengeluarkan sekret dan
memastikan kepatenan jalan napas
3) cuci kateter pengisap dan bungkus dengan tangan anda dan buka sarung tangan
sehingga bagian dalam berada diluar membungkus kateter.
4) dengan menggunakan tangan yang masih memakai sarung tangan, buka kunci kanula
dalam (bila ada) dan lepaskan kanula dengan menariknya keluar menuju anda secara
perlahan-lahan sesuai dengan lengkungnya. letakkan kanula dalam ke dalam larutan
hidrogen peroksida. tindakan ini melembapkan dan melepaskan sekret kering.
12) pasang sarung tangan steril. pertahankan tangan dominan tetap steril.
13) Untuk membersihkan trakeostomi dengan kanul:
a. Tahan kanul bagian luar dengan hati-hati pada tempatnya dengan satu tangan
bersamaan dengan membuka kuncinya searah dengan jarum jam.

Gambar 54. Melepas selang trakeostomi dengan tangan kiri. Tangan kanan
memegang selang trakeostomi untuk dimasukkan

79
a. Keluarkan sedikit kanul dalam dengan membengkokkannya ke arah perawatan.
b. Letakkan kanul di dalam basin steril.
c. Rendam kanul dengan Normal Saline atau larutan pembersih selama beberapa menit
untuk melunakkan sekret yang mengering.
d. Sikat kanul dengan sikat trakeostomi, pipa pembersih, atau swab untuk memindahkan
residu yang lain
e. Bersihkan kanul dengan baik pada air steril dingin atau Normal Saline.
f. setelah pencucian, ketuk kanula secara lembut pada tepi dalam wadah salin steril.
g. Keringkan kanul secara keseluruhan dengan steril, kassa atau handuk. gunakan
sebuah pembersih pipa yang dilipat setengahnya untuk mengeringkan hanya bagian
dalam .
h. Jika sekret pasien sangat tebal atau jika pasien batuk saat perawat sedang
membersihkan kanul dalam (sehingga sekret kontak dengan permukaan dalam dari
kanul luar), pindahkan sekret, dan dengan keseluruhan keringkan.
i. Tahan kanul luar, dan ganti kanul dalam yang sudah dibersihkan
j. Kunci kembali dengan memutar berlawanan arah dengan jarum jam
k. Pastikan kanul dalam telah terkunci dengan sempurna dengan cara mencoba menarik
kanul dengan jari.
14) Jika trakeostomi tidak mempunyai kanul dalam, dengan hati-hati bersihkan permukaan
bagian dalam dengan pembersih pipa atau swab yang sudah diberikan cairan Normal
Saline untuk mencegah aspirasi.
15) Mengganti balutan trakeostomi. Masih dengan sarung tangan pindahkan balutan lama
dan buang pada tempatnya.
a. Tahan selang pada tempatnya saat perawat memindahkan balutan yang baru
b. Untuk melakukan hal ini, pegang satu tangan di sekeliling selang untuk menekannya
sementara tangan yang satu membuang balutan lama dengan hati-hati
c. angkat balutan trakeostomi yang kotor. letakkan balutan yang kotor pada tangan anda
dengan menggunakan sarung tangan dan buka sarung tangan sehingga bagian dalam
sarung tangan berada di luar membungkus balutan. buang sarung tangan dan balutan.
16) Buang sarung tangan yang sudah terkontaminasi. Cuci tangan kembali.
17) Siapkan peralatan steril, termasuk hidrogen peroksida, normal salin atau air steril, aplikator
berujung kapas, balutan.
18) Gunakan sarung tangan steril

80
19) bersihkan tempat insisi dan flange
1) dengan menggunakan lidi kapas atau kasa balut yang dilembabkan atau dengan swab
steril yang sudah diberikan Normal Saline atau larutan Hydrogen peroksida yang
sudah diencerkan, bersihkan luka dan lempeng trakeostomi sekitar ujung dari
pembukaan trakeostomi. pegang suplai steril dengan tangan anda yang dominan.
gunakan lidi kapas atau kasa balut hanya satu kali pakai dan kemudian buang.
Tindakan ini menghindari kontaminasi daerah bersih oleh kasa balut dan lidi kapas
yang kotor.
2) hidrogen peroksida dapat digunakan untuk mengangkat sekret yang mengeras.
3) bersihkan flange selang dengan cara yang sama
4) keringkan kulit pasien dan flange dengan kasa segi empat yang kering.
20) Perhatikan apakah ada kemerahan atau pembengkakan luka
21) Gunakan salep bakteriostatik pada pinggiran luka trakeostomi jika diresepkan
22) pasang balutan baru
Siapkan balutan yang baru. Gunakan kassa 4 x4
a. Buka lipatan pertama kassa 4 x 4
b. Lipat menjadi setengahnya
Lipat setiap ujungnya ke arah tengah. Model balutan seperti ini mengurangi perlunya
memotong material, dimana potongan kassa bisa menyebabkan kesulitan bernapas pasien

81
Gambar 58. Penggantian balutan dan plester selang trakeostomi.

23) Ganti tali ikat trakeostomi. Jika tali lama telah basah, letakkan tali twill dalam posisinya
untuk mengamankan selang trakeostomi.
Metode satu –setrip
1) gunting tali sepanjang 2,5 kali panjang yang diperlukan untuk mengelilingi leher pasien
dari satu sisi flange ke sisi lainnya
2) selipkan satu ujung tali ke celah yang terdapat di satu sisi flange
3) bawa kedua ujung tali mengelilingi leher leher pasien, jaga agar keduanya tetap datar
dan tidak melilit
4) selipkan ujng tali ke celah di sisi flange lain melalui dari belakang ke depan
5) minta pasien untuk memfleksikan lehernya. ikat kedua ujung yang lepas dengan simpul
kotak disamping leher pasien, kendurkan ikatan dengan meletakkan dua jari di bawah
tali. gunting ujung yang panjang.

Metode dua - setrip


a. gunting dua setrip tali dari kain kepar yang tidak sama ukurannya, tali yang satu
panjangnya sekitar 25 cm dan yang satunya lagi 50 cm. alasan pengguntingan satu tali
lebih panjang dari tali lainnya adalah agar kedua tali dapat diikat dengan mudah di
samping leher dan mencegah penekanan simpul pada kulit di bagian belakang leher.

82
b. gunting celah 1 cm secara memanjang, kira-kira 2,5 cm dari satu ujung masing-masing
tali. untuk melakukannya, lipat ujung tali ke belakang sekitar 2,5 cm, kemudian gunting
membentuk sebuah celah di tengah area sisi yang terlipat
c. tetap biarkan tali yang lama terpasang, sisipkan satu ujung tali bersih yang bercelah
melalui celah flange trakeostomi dari sisi bawah, kemudian sisipkan ujung tali yang
panjang melalui celah tali, tarik kencang sampai terikat dengan kuat pada flange. tali
dan leher pasien, dan ikat kedua tali tersebut disamping leher.
d. minta pasien untuk memfleksikan lehernya. sisipkan tali yang panjang ke bawah leher,
letakkan dua jari di antar

Gambar 55. Selang trakeostomi dengan tali. Pada contoh atas simpul diikat ke belakang,
pada contoh bawah simpul diikat ke samping

Gambar 57. Tali trakeostomi diikat sampai kencang hingga hanya satu jari saja yang
dapat diselipkan dibawahnya

24) Gunakan tekanan ringan di selang untuk mencegah selang berpindah, sementara perawat
memotong tali lama dan membuangnya.
25) plester dan beri bantalan pada simpul tali, letakkan lipatan kassa segi empat berukuran
4 x 4 cm di bawah simpul tali, dan pasang plester di atas simpul tersebut.
26) Letakkan kembali peralatan pada tempatnya
27) rapikan pasien

83
28) perawat mencuci tangan
29) evaliuasi perasaan pasien setelah dilakukan tindakan
30) terminasi dokumentasi

H. PERAWATAN WATER SEALED DRAINAGE (WSD)


a. Pengertian
Adalah suatu tindakan merawat luka dan selang WSD, agar alat tersebut tetap bersih
dan terawat dengan baik.
Mekanisme pernapasan normal bekerja atas prinsip tekanan negatif, yaitu tekanan
dalam rongga dada lebih rendah dari tekanan atmosfer sehingga udara dapat bergerak
ke paru selama inspirasi. Jika dada dibuka, untuk alasan apa saja, akan terjadi
kehilangan tekanan negatif, yang dapat mengakibatkan kolaps paru. Pemasangan
selang dada bertujuan untuk memulihkan tekanan negatif dalam ruang intrapleural.
Tujuan ini dicapai dengan membuang akumulasi udara atau cairan (mis.darah) dari
dalam ruang pleural. Akumulasi tersebut biasanya diakibatkan oleh trauma,penyakit
pernapasan kronis, atau bedah toraks. Selang dada dipasang ke dalam rongga torakik
pasien dan dihubungkan pada sistem WSD.

b. Tujuan
1. Mencegah infeksi
2. Memberikan rasa nyaman pada pasien
3. Mencegah udara masuk kembali ke dalam ruang pleural ketika akumulasi udara
atau cairan dialirkan dari ruang pleural

84
Gambar 62. Tempat atau lokasi pemasangan WSD
c. Indikasi
Pada pasien yang terpasang WSD

d. Jenis Drainage
1. Sistem satu botol
Ujung selang drainage dari dada pasien dicelupkan dalam air, yang memungkinkan
drainage udara dan cairan dari ruang pleural tetapi tidak memungkinkan udara untuk
mengalir kembali ke dalam dada. Secara fungsional, drainage hanya menggunakan
gaya gravitasi untuk mendorong drainase udara atau cairan dari ruang pleural dan
pada mekanisme pernapasan. Dengan ketinggian cairan dalam botol, maka menjadi
lebih sulit bagi udara dan cairan untuk keluar dari dada. Karenanya dapat ditambahkan
pengisap. Sistem satu botol biasanya digunakan untuk mengatasi Pneumotoraks
(Smeltzer & Bare, 2002).

Gambar 63. Sistem satu botol

2. Sistem dua botol


Sistem dua botol terdiri atas bilik water-seal yang sama ditambah dengan satu botol
pengumpul cairan. Drainage mirip dengan unit tunggal, kecuali bahwa ketika cairan pleura
terkumpul, sistem seal dibawah air tidak terpengaruh oleh volume drainage.
Drainage yang efektif tergantung pada gaya gravitasi atau pada jumlah isapan yang
ditambahkan kepada sistem. Ketika vakum (isapan) ditambahkan ke dalam sistem dari
sumber vakum, seperti pengisapan dinding, hubungan dibuat pada batang vent dari botor
underwater-seal. Jumlah isapan yang diterapkan pada sistem diatur oleh diameter dinding
(Smeltzer & Bare, 2002).

85
Botol pertama digunakan sebagai penampung cairan dan udara dan botol kedua digunakan
untuk mengatasi hemotoraks (darah), hemopneumotoraks (darah dan udara), dan efusi
pleural (cairan serosa)

Gambar 64. Sistem dua botol

3. Sistem tiga botol


Sistem tiga botol hampir sama dalam senua aspek dengan sistem dua botol, kecuali untuk
tambahan botol ketiga untuk mengontrol jumlah isapan yang diberikan. Jumlah isapan
ditentukan oleh kedalaman sampai mana ujung tabung kaca vent dicelupkan. (Sebagai
contoh, pencelupan sampai 10 cm dibawah permukaan air akan sama dengan 10 cm
isapan air yang diterpakan pada pasien).
Pada sistem tiga botol (seperti juga pada dua sistem lainnya), drainage tergantung pada
gaya gravitasi atau jumlah isapan yang diberikan. Jumlah isapan pada sistem ini
dikendalikan oleh botol manometer. Motor pengisap mekanis atau pengisap pada dinding
menciptakan dan mempertahankan tekanan negatif di seluruh tekana drainage tertutup.
Botol ketiga mengatur jumlah vakum dalam sistem. Hal ini tergantung pada kedalaman
sampai mana selang dicelupkan. Kedalaman yang lazim adalah 20 cm.
Bila vakum dalam sistem menjadi lebih besar dari kedalaman dimana selang dicelupkan,
udara luar kana terisap ke dalam sistem. Hal ini mengakibatkan penggembungan konstan
dalam botol manometer (atau pengatur tekanan), yang menunjukkan bahwa sistem
berfungsi dengan baik.
Catatan: bila vakum dinding dimatikan, sistem drainage harus terbuka ke atmosfer
sehingga udara intrapleural dapat keluar dari sistem. Hal ini dapat dilakukan dengan
melepaskan selang dari lubang pengisap ke vent yang tersedia (Smeltzer & Bare, 2002).

86
Fungsi dua botol pertama adalah sama seperti pada sistem drainase dua botol, dan botol
ketiga dihubungkan pada alat pengotrol suction. Sistem ini dapat digunakan untuk kondisi-
kondisi seperti yang disebutkan di atas.

Gambar 65. Sistem tiga botol

e. Persiapan alat
1. Botol steril
2. Selang steril
3. Pinset anatomis
4. Pincet sirurgis
5. Klem
6. Gunting heating
7. NaCl 0,9 %/ aguadest
8. Betadine
9. Alcohol 70%
10. Kapas
11. Kassa
12. Gunting verban
13. Plester
14. Neirrbekken
15. Handscoon
16. Bensin

f. Prosedur tindakan
1. Mengucapkan salam

87
2. jelaskan kepada pasien tentang maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
3. Jaga privasi pasien
4. Atur posisi yang menyenangkan pasien
5. kaji pasien.
1) tentukan kemudahan bernapas, suara napas, frekuensi pernapasan dan
kedalamannya, serta pergerakan dada.
2) observasi daerah balutan. inspeksi balutan untuk melihat adanya drainase yang
tidak normal dan berlebihan, seperti darah atau rabas yang berbau busuk. palpasi
daerah sekitar balutan, dan dengarkan apakah ada suara gemericik yang
mengindikasikan terjadinya emfisema subkutan.
3) tentukan tingkat ketidaknyamanan dengan dan tanpa aktivitas.
6. Perawat mencuci tangan
7. persiapkan alat.
8. Pasang handscoon
9. Buka plester dengan kapas basah/ bensin mulai yang tengah ( fiksasi) lalu yang atas
dan terakhir yang bawah
10. Bersihkan luka sekitar selang dengan kapas dengan betadin dari arah dalam kearah
luar, ulangi 2-3 x.
11. Siapkan kassa steril 3 lembar, belah ditengah 3-4 cm. beri salp kemitidine ditengahnya,
lalu tutupkan ke luka dengan posisi belahan menghadap keatas, pasang plester
12. Letakkan dua klem berujung karet yang memiliki panjang 15 – 18 cm dalam jangkauan
di samping tempat tidur, untuk mengklem selang dada pada saat keadaan darurat.
13. Buka klem dibagian sambungan, bersihkan konektor dengan alcohol, ganti konektor
bila perlu
14. Ganti botol lama dengan botol baru yang berisi NaCl 0,9 % 200cc atau aquadest 200cc
+ 10 cc betadine
15. Perhatikan apakah sambungan sudah tertutup rapat
16. Buka klem, lihat apakah undulasi ada atau tidak
17. Catat jumlah dan karakteristik cairan yang keluar jika ada
18. Rapikan pakaian pasien
19. Bereskan alat – alat
20. Perawat mencuci tangan
21. evaluasi perasaan pasien
22. Dokumentasi dan terminasi

88
I. PENYADAPAN EKG
a. Pendahuluan
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari aktivitas listrik jantung.
Elektrokardiogram (EKG) adalah suatu grafik yang menggambarkan rekaman listrik
jantung. Kegiatan listrik jantung dalam tubuh dapat dicatat dan direkam melalui
elektrode-elektroda yang dipasang pada permukaan tubuh.

b. Pengertian
Alat yang dipasang untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung

c. Tujuan
Untuk mengetahui adanya kelainan jantung serta untuk menilai fungsi pacu jantung.

d. Indikasi
Pasien yang mengalami kelainan/gangguan irama jantung (disritmia), hipertrofi atrium
danventrikel, iskemia/infark otot jntung, perikarditis, efek beberapa obat-obatan
terutama digitalis dan aritmia, dan kelainan elektrolit yang juga dapat menyebabkan
kelainan EKG.

Sebelum sampai dengan interpretasi EKG, berikut akan di bahas dulu mengenai:
a. SANDAPAN EKG
Untuk memperoleh rekaman EKG, dipasang elektrode-elektroda di kulit pada
tempat-tempat tertentu. Lokasi penempatan elektrode ini penting, karena
penempatan yang salah akan menghasilkan pencatatan yang berbeda.

Gambar 66. Penempatan elektrode EKG

89
b. Sandapan Bipolar
Dinamakan sandapan bipolar karena sandapan ini hanya merekam perbedaan potensial
dari 2 elektroda, sandapan ini ditandai dengan angka romawi I,II, dan III.
1) Sandapan I
Merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan tangan kiri (LA), dimana
tangan kanan bermuatan (-) dan tangan kiri bermuatan (+).
2) Sandapan II
Merekam beda potensial anatara tangan kanan (RA) dengan kaki kiri (F), dimana
tangan kanan bermuatan (-) dan kaki kiri bermuatan (+).
3) Sandapan III
Merekam beda potensial antara tangan kiri (LA) dengan kaki kiri (LF), dimana tangan
kiri bermuatan (-) dan kaki kiri bermuatan (+).
Ketiga sandapan ini dapat digambarkan sebagai sebuah segitiga sama sisi (segitiga
EINTHOVEN).

90
Ga
mbar 67. Sandapan baku bipolar

c. Sandapan Unipolar
Sandapan unipolar terdiri dari 2, yaitu: sandapan unipolar ekstremitas dan sandapan
unipolar prekordial.
1) Sandapan unipolar ekstremitas
Merekam beda potensial listrik pada satu ekstremitas, elektroda eksplorasi diletakkan
pada ekstremitas yang akan diukur. Gabungan elektroda pada ekstremitas lain
membentuk elektroda indiferen (potensial 0).
1.1) Sandapan aVR
Merekam potensial listrik pada tangan kanan (RA), dimana tangan kanan bermuatan
(+), tangan kiri dan kaki kiri membentuk elektrode indeferen.
1.2) Sandapan aVL
Merekam potensial listrik pada tangan kiri (LA), dimana tangan kiri bermuatan (+),
tangan kanan dan kaki kiri membentuk elektrode indeferen.
1.3) Sandapan aVF
Merekam potensial listrik pada kaki kiri (LF), dimana kaki kiri bermuatan (+), tangan
kanan dan tangan kiri membentuk elektrode indeferen.

91
Gambar 68. Sandapan unipolar ekstremitas

2) Sandapan unipolar prekordial


Merekam besar potensial listrik jantung dengan bantuan elektrode eksplorasi yang
ditempatkan di beberapa tempat pada dinding dada. Elektrode indeferen diperoleh dengan
menggabungkan ketiga elektrode ekstremitas.
a) Sandapan V1 : Ruang interkostal IV, Garis sternal kanan
b) Sandapan V2 : Ruang interkostal IV, Garis sternal kiri
c) Sandapan V3 : Pertengahan antara V2 dan V4
d) Sandapan V4 : Ruang interkostal V
Garis midklavikula kiri
e) Sandapan V5 : Sejajar V4 garis aksila depan
f) Sandapan V6 : Sejajar V4 garis aksila tengah
Umumnya perekaman EKG lengkap dibuat 12 sandapan (lead), akan tetapi pada
keadaan tertentu perekaman dibuat sampai V7, V8,V9, atau V3R, V4R.

Gambar 69. sandapan unipolar prekordial

92
d. KERTAS EKG
Kertas EKG merupakan kertas grafik yang terdiri dari garis horizontal dan vertikal
dengan jarak 1 mm. Garis yang lebih tebal terdapat pada setiap 5 mm. Garis horizontal
menggambarkan waktu dimana 1 mm = 0,04 detik; → 5 mm = 0,20 detik. Garis vertikal
menggambarkan voltase dimana 1 mm = 0,1 miliVolt (mV); → 10 mm = 1 milivolt.
Pada praktek sehari-hari perekaman dibuat dengan kecepatan 25 mm/detik.
Kalibrasi yang biasa dilakukan adalah 1 milivolt yang menghasilkan defleksi setinggi 10
mm. Pada keadaan tertentu kalibrasi dapat diperbesar yang akan menghasilkan defleksi
setinggi 5 mm. Hal ini harus dicatat pada kertas hasil rekaman, sehingga tidak
menimbulkan interpretasi yang salah bagi pembacanya.

Gambar 70. Kertas EKG


e. KURVA EKG
Kurva EKG menggambarkan proses listrik yang terjadi pada atrium dan ventrikel.
Proses listrik ini terjadi dari:
1) Depolarisasi atrium
2) Sepolarisasi atrium
3) Depolarisasi ventrikel
4) repolarisasi ventrikel

93
Sesuai dengan proses listrik jantung, setiap hantaran pada EKG normal memperlihatkan 3
proses listrik yaitu; depolarisasi atrium, depolarisasi ventrikel dan repolarisasi ventrikel.
Repolarisasi atrium umumnya tidak terlihat pada EKG karena disamping intensitasnya kecil
juga sepolarisasi atrium waktunya bersamaan dengan depolarisasi ventrikel yang
mempunyai intensitas yang jauh lebih besar.
Kurva EKG normal terdiri dari gelombang P, Q, R, S dan T serta kadang–kadang terlihat
gelombang U. Selain itu juga ada beberapa interval dan segmen EKG.

Gambar 71. Gambaran EKG Normal

a) Gelombang P
Merupakan gambaran proses depolarisasi atrium.
Nilai normal : - Lebar ≤ 0,12 detik
- Tinggi ≤ 0,3 mV
- Selalu (+) di Lead II
- Selalu (-) di Lead aVR

b) Gelombang QRS
Merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel
Nilai normal : - Lebar 0,06 – 0,12 detik
- Tinggi tergantung sandapan Lead
Gelombang QRS terdiri dari gelombang Q, R dan S.
Gelombang Q adalah defleksi negatif pertama pada gelombang QRS.
Nilai gelombang Q adalah: - Lebar < 0,04 detik
- Dalamnya < 1/3 tinggi R
Gelombang Q abnormal disebut gelombang Q pathologis.

94
Gelombang R adalah defleksi positif pertama pada gelombang QRS. Umumnya
gelombang QRS positif di L I, L II, V5 dan V6. Di Lead aVR, V1 dan V2 biasanya hanya
kecil atau tidak ada sama sekali.
Gelombang S adalah defleksi negatif setelah gelombang R. Di Lead aVR, V1, dan V2,
gelombang S terlihat lebih dalam, di Lead V4, V5 dan V6 semakin berkurang
dalamnya.
c) Gelombang T
Merupakan gambaran proses sepolarisasi ventrikel. Umumnya gelombang T positif, di
hampir semua Lead kecuali di aVR.
Nilai normal : - < 1 mV di Lead dada
- < 0,5 mV di Lead ekstremitas
- Minimal ada 0,1 mV
d) Gelombang U
Gelombang U adalah defleksi positif setelah gelombang T dan sebelum gelombang P
berikutnya.
Penyebab timbulnya gelombang U masih belum diketahui, namun di duga timbul akibat
repolarisasi lambat sistem konduksi interventrikuler.
e) Interval PR
Interval PR diukur dari permulaan gelombang P sampai permulaan gelombang QRS. Nilai
normal berkisar antara 0,12 – 0,20 detik. Ini merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
depolarisasi atrium dan jalannya impuls melalui berkas His sampai permulaan depolarisasi
ventrikel. Interval PR biasanya untuk melihat kelainan sistem konduksi.
f) Segmen ST
Segmen ST diukur dari akhir gelombang QRS sampai permulaan gelombang T. Segmen ini
normalnya isoelektris, tetapi pada lead prekordial dapat bervariasi dari -0,5 sampai +0,2
mm. Segmen ST yang naik di atas garis isoelektris disebut ST elevasi dan yang turun di
bawah garis isoelektri disebut ST depresi.

95
f. CARA MENILAI EKG STRIP

Gambar 76. EKG 1 Beat

1) Tentukan iramanya teratur atau tidak, dengan cara melihat jarak antara QRS satu
dengan QRS yang lain jaraknya sama atau tidak.
2) Tentukan frekuensi jantung (Heart Rate)
Menghitung frekuensi jantung (HR) melalui gambaran EKG dapat dilakukan dengan 3
cara:
300
a)
Jumlah kotak besar antara R – R’

1500
b)
Jumlah kotak kecil antara R – R’

c) Ambil EKG strip sepanjang 6 detik, hitung jumlah gelombang QRS dalam 6 detik
tersebut kemudian dikalikan dengan 10 atau ambil dalam 12 detik dan kalikan
dengan 5.

3) Tentukan gelombang P normal atau tidak, juga lihat apakah setiap gelombang P selalu
diikuti gelombang QRS? (P : QRS)?
4) Tentukan interval PR normal atau tidak?
5) Tentukan gelombang QRS normal atau tidak?
Irama EKG yang normal impuls (sumber listrik)nya berasal dari Nodus SA, maka
iramanya disebut dengan irama sinus (Sinus Rhythm).

96
Kriteria irama sinus normal adalah:
a) irama : teratur
b) frekuensi jantung (heart rate) : 60 – 100 kali/menit
c) gelombang P: normal, setiap gelombang P selalu diikuti gelombang QRS, T
d) Interval PR : normal (0,12 – 0,20 detik)
e) Gelombang QRS : normal (0,06 – 0,12 detik)
Irama yang tidak mempunyai kriteria tersebut diatas disebut ARITMIA atau
DISTRITMIA.
Aritmia terdiri dari aritmia yang disebabkan oleh terganggunya pembentukan impuls
atau aritmia dapat terjadi juga dikarenakan oleh gangguan penghantaran impuls.

g. PROSEDUR PEMASANGAN EKG


a) Persiapan alat
1. Alat perekam EKG
2. Pulpen untuk menulis
3. Tissue
4. Jelly
5. Kertas EKG
6. Handscoon

b) Prosedur tindakan
1. Mengucapkan salam
2. Menjelaskan maksud dan tujuan
3. Menjaga privasi pasien
4. Perawat memakai alat pelindung diri jika diperlukan
5. Pasang kabel pada stop kontak
6. Siapkan pasien
7. Buka baju bagian atas
8. Beri jelly pada manset, pasang pada:
(a) Kaki kiri kabel warna hijau
(b) Kaki kanan kabel warna hitam
(c) Tangan kiri kabel warna kuning
(d) Tangan kanan kabel warna merah

97
9. Beri jelly pada:
a) V1 pada sela iga ke 4 bagian kanan
b) V2 pada sela iga ke 4 bagian kiri
c) V3 pada pertengahan antara V2 dan V4
d) V4 pada sela iga ke 5 pada garis midklavikula ( Garis tengah Mamae)
e) V5 sejajar pada V 4 ( antara V4 dan V6)
f) V6 sejajar pada V5 pada garis midaksila ( garis tengah ketiak)
g) EKG diatas untuk batas normal (EKG 12 Lead). Bila terdapat kelainan EKG V7 sampai
dengan V9, V4R (kebalikannya dari atas sebelah belakang).

Gambar 104. Penempatan elektrode EKG


10. Putar knop untuk kalibrasi, selanjutnya putar sesuai lead hingga sesuai knop kembali,
untuk aritmia, buat lead 11 panjang ( pasien suruh tarik napas dan tahan napas).
Setelah semua lead dibuat tutp dengan kalibrasi
11. Pasien dirapihkan kembali
12. Alat-alat dibersihkan dan dirapikan
13. Perawat mencuci tangan
14. Dokumentasi

98
Gambar 105. Pemasangan EKG pada Pasien

J. PEMBERIAN CAIRAN INTRAVENA


1. Pengertian
Pemberian cairan intravena adalah memasukkan cairan ataupun obat langsung ke
pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu dengan menggunakan infus
set.

2. Tujuan
Tujuan pemberian cairan IV adalah untuk mengoreksi atau mencegah gangguan
cairan dan elektrolit. Misalnya, seorang Pasien menderita luka bakar derajat tiga
yang mengenai 40% permukaan tubuhnya, berada dalam kondisi sakit yang bkritis
dan membutuhkan pengaturan terapi IV yang diteliti karena adanya perubahan
keseimbangan cairan dan elektrolit yang terus menerus.

3. Indikasi
Tindakan ini dilakukan pada pasien dengan dehidrasi, sebelum transfusi darah, pra
dan pasca bedah sesuai program pengobatan, serta pasien yang tidak bisa makan
dan minum. Indikasi lain pemberian obat melalui jalur intravena adalah:
a. Pada seseorang dengan penyakit berat, pemberian obat melalui intravena
langsung masuk ke dalam jalur peredaran darah. Misalnya pada kasus infeksi
bakteri dalam peredaran darah (sepsis). Sehingga memberikan keuntungan lebih
dibandingkan memberikan obat oral. Namun sering terjadi, meskipun pemberian
antibiotika intravena hanya diindikasikan pada infeksi serius, rumah sakit
memberikan antibiotika jenis ini tanpa melihat derajat infeksi. Antibiotika oral

99
(dimakan biasa melalui mulut) pada kebanyakan pasien dirawat di RS dengan
infeksi bakteri, sama efektifnya dengan antibiotika intravena, dan lebih
menguntungkan dari segi kemudahan administrasi RS, biaya perawatan dan
lamanya perawatan
b. Obat tersebut memiliki bioavailabilitas oral (efektivitas dalam darah jika
dimasukkan melalui mulut) yang terbatas. Atau hanya tersedia dalam sediaan
intravena (sebagai obat suntik). Misalnya antibiotika golongan aminoglikosida
yang susunan kimiawinya “polications” dan sangat polar, sehingga tidak dapat
diserap melalui jalur gastrointestinal (diusus hingga sampai masuk ke dalam
darah). Maka harus dimasukkan ke dalam pembuluh darah langsung
c. Pasien tidak dapat minum obat karena muntah, atau memang tidak dapat
menelan obat (ada sumbatan di saluran cerna atas). Pada keadaan seperti ini,
perlu dipertimbangkan pemberian melalui jalur lain seperti rektal (anus),
sublingual (dibawah lidah), subkutan (dibawah kulit), dan intramuskular
(disuntikkan diotot)
d. Kesadaran menurun dan berisiko terjadi aspirasi (tersedakobat masuk ke
pernapasan), sehingga pemberian melalui jalur lain dipertimbangkan
e. Kadar puncak obat dalam darah perlu segera dicapai, sehingga diberikan melalui
injeksi bolus (suntikan langsung ke pembuluh balik/vena). Peningkatan cepat
konsentrasi obat dalam darah tercapai. Misalnya pada orang yang mengalami
hipoglikemia berat dan mengancam nyawa, pada penderita diabetes mellitus.
Alasan ini juga sering digunakan untuk pemberian antibiotika melalui
infus/suntikan, namun perlu diingat bahwa banyak antibiotika memiliki
bioavalaibilitas oral yang baik, dan mampu mencapai kadar adekuat dalam darah
untuk membunuh bakteri.

4. Pengkajian
a. Kaji pengalaman pasien sebelumnya mengenai terapi intravena dan posisi
tempat yang dipilih
b. Tentukan apakah pasien akan atau sedang dalam perencanaan akan operasi
c. Kaji aktivitas pasien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
d. Kaji jenis dan rentang penggunaan terapi intravena sesuai dengan order dokter
e. Kaji data laboratorium dan riwayat pasien dengan alergi
f. Kaji riwayat pasien untuk penyakit kronik dan semua pengobatan

100
g. Tentukan apakah ada faktor dari pasien atau alat infus yang mungkin
mengganggu tetesan infus (pasien bingung, kemampuan pasien untuk
bekerjasama, terapi diuretic, ketidakseimbangan elektrolit). Rasional:
menurunkan risiko dari komplikasi infus
h. Dapatkan informasi dan farmakolog mengenai beberapa infus yang memerlukan
obat-obatan melalui intravena, dicampur atau menggunakan alat. Rasional:
mendorong prinsip “5 benar“ dari pemberian medikasi, menentukan lamanya
waktu infus.

5. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan bagi pasien yang menerima terapi infus adalah risiko infeksi
berhubungan dengan adanya prosedur invasif ke dalam tubuh. Pasien yang
menerima terapi infus juga dalam risiko gangguan integritas kulit. Bagi pasien
yang menerima terapi infus untuk mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit diagnosa dari kelebihan volume cairan atau kekurangan volume cairan
dapat terjadi. Diagnosa kurang pengetahuan juga terlihat pada sebagian besar
pasien yang menerima infus, terutama bagi pasien yang baru mengalaminya.
6. Perencanaan
Kriteria hasil yang diharapkan berfokus pada komplikasi minimal dari terapi infus,
meminimalkan ketidaknyamanan pada pasien, pengembalian keseimbangan cairan
dan elektrolit dan kemampuan pasien untuk memverbalkan komplikasi dan
membutuhkan intervensi keperawatan yang secapatnya.
7. Alat dan Bahan
a. Seperangkat infus set steril
b. Cairan yang diperlukan
c. Kain kasa steril dalam tempatnya
d. Kapas alkohol dalam tempatnya
e. Kateter vena (abbocath)
f. Bethadine
g. Kain kasa steril
h. Plester
i. Gunting verban
j. Bengkok

101
k. Infus set lengkap dengan gantungan botol (kolf)
l. Perlak pengalas
m. Meja/trolly
n. Tali pembendung (tourniquet)
o. Spalk dalam keadaan siap pakai, bila perlu terutama pada anak-anak
p. Standar infus
q. Pencahayaan yang baik.
8. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Terapi Cairan dengan Kateter Vena
a. Jelaskan prosedur pelaksanaan pada pasien
b. Cuci tangan
c. Pasangkan pengalas di bawah area yang akan dipasang infus
d. Tusukkan selang infus ke tutup botol
e. Botol cairan digantungkan pada standar infus
f. Tutup jarum dibuka, cairan dialirkan sampai keluar hingga udara tidak ada lagi
dalam selang saluran infus. Selanjutnya diklem dan jarum ditutup kembali
g. Pilihlah area (vena) yang tempat untuk dilakukan penusukan

Gambar 28: Area untuk penusukan vena

h. Pasangkan tourniquet 6 cm di atas area penusukan, desinfeksi dengan kapas


alkohol dari arah dalam ke arah luar secara memutar
i. Tusukkan kateter vena dengan sudut 45 derajat secara perlahan-lahan dengan
lubang jarumnya menghadap ke atas

102
j. Apabila berhasil darah akan keluar dan terlihat melalui ujung indikator kateter
vena. Tourniquet dilonggarkan, sambungkan kateter vena dengan selang infus.
Kemudian lepaskan klem secara perlahan untuk melihat kelancaran tetesan
k. Apabila tetesan lancar, lakukan cara:
1) Pasang plester di bawah kateter vena dengan sisi yang lengket menghadap
ke atas dan silangkan plester di atas kateter vena (membentuk huruf V)

Gambar 29: Pemasangan plester dengan metode chevron

2) Letakkan kasa steril yang sudah dioleskan betadine dan tempatkan di atas
fungsi vena, kemudian direkatkan dengan plester
3) Pasangkan plester yang berikutnya untuk mengamankan selang infus dan
mencegah selang lepas.
l. Atur tetesan sesuai dengan kebutuhan pasien
m. Rapikan pasien dan alat-alat
n. Cuci tangan
o. Dokumentasikan tindakan, meliputi: tanggal pemasangan, waktu pemasangan,
kecepatan tetesan, dan lain-lain.

9. Prosedur Pelaksanaan Pemberian Terapi Cairan dengan Wing Needle


a. Cek program terapi medik
b. Mengucapkan salam terapeutik
c. Melakukan evaluasi/validasi
d. Melakukan kontrak (waktu, tempat, topik)
e. Jelaskan langkah-langkah kepada pasien
f. Cuci tangan
g. Persiapkan alat
h. Kembali ke pasien dan memasang sarung tangan bersih

103
i. Atur posisi pasien senyaman mungkin
j. Pilih tempat untuk penusukan vena. Periksa kedua lengan, lalu palpasi dan lihat
keadaan vena
k. Identifikasi kedalaman, vena mudah dipalpasi, cukup besar untuk tusukan jarum
dan aliran. Pilih area yang bebas dari lesi dan bekas luka dan area persendian.
Gunakan tempat yang distal, tempat yang lebih untuk infus selanjutnya. Gunakan
vena yang besar untuk cairan hipertonik, darah dan cairan pekat
l. Pakai tourniquet 6 inch diatas area, dapat juga menggunakan manset tekanan
darah. Untuk memakai tourniquet, angkat dan tarik, kemudian lipat ke bawah,
jaga ujung jauh dari area tusukan
m. Bersihkan area dengan povidone-iodine, jika pasien alergi gunakan alkohol.
Ketika alkohol digunakan pakai dengan digosok sampai 30 detik. Kemudian
bersihkan sampai benar benar kering untuk membunuh kuman
n. Lepaskan tutup pelindung wing
o. Tusuk vena dengan menggunakanibu jari pada tangan non dominan pada area
yang telah dipilih dan tekan serta tegangkan kulit
p. Lepaskan tourniquet, secara perlahan-lahan masukkan jarum ke wing. Periksa
adanya arus balik darah pada jarum. Pastikan ujung selang tertutup
q. Lindungi jarum dengan plaster ½ inch pada sisi bawah selang
r. Tempelkan plaster pada wing, lalu buat tanda V. Jangan mengikat langsung
pada tusukan. Sebagai alternatif, gunakan metode cherron. Letakkan plester
dibawah area, silangkan plester sampai menutup jarum, rekatkan pada kulit. Lalu
rekatkan ujung plester yang satu lagi secara berlawanan pada wing
s. Putar plester selang wing pada jarak pendek dengan area penusukan
t. Tempelkan pembalut transparan pada area infus
u. Lepaskan perekat pada pembalut lembut sebagai alternatif, tempelkan kasa steril
ukuran 2 x 2 dan plester sisinya
v. Untuk mengunci, bersihkan tutup injeksi dengan alcohol swab dan masukkan
cairan NaCL 1 ml. Berikan lebel pada balutan dengan menuliskan tanggal dan
jumlah tetesan yang diberikan
w. Melepaskan sarung tangan, merapikan alat dan mencuci tangan
x. Mengevalusi respon pasien dan merencanakan tindak lanjut
y. Melakukan kontrak yang akan datang (waktu, tempat, topik)
z. Melakukan dokumentasi tindakan dan hasil.

104
2. MENGHITUNG KECEPATAN INFUS
1. Tujuan
Menghitung kecepatan tetesan infus bertujuan untuk mencegah pemberian cairan
yang terlalu cepat atau terlalu lambat.

2. Indikasi
a. Kecepatan infus yang terlalu lambat dapat menyebabkan kolaps kardiovaskular
dan sirkulasi yang lebih lanjut pada pasien yang mengalami dehidrasi, syok atau
menderita penyakit kritis
b. Kecepatan infus yang terlalu cepat dapat menyebabkan beban cairan berlebihan,
yang sangat berbahaya lagi yaitu pada beberapa gangguan ginjal, kardiovaskular
dan neurologis.
3. Pengkajian
a. Perawat dapat mengkaji kepatenan IV dengan menurunkan kantung larutan IV
dibawah ketinggian tempat insersi dan mengobservasi adanya aliran balik darah
ke selang infus
b. Apabila tidak ada aliran balik darah dan cairan infus tidak mengalir dengan
mudah pada saat klem penggeser dibuka maka mungkin terdapat bekuan
diujung kateter.

4. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan bagi pasien yang menerima terapi infus adalah risiko infeksi
berhubungan dengan adanya prosedur invasif ke dalam tubuh. Pasien yang
menerima terapi infus juga dalam risiko gangguan integritas kulit. Bagi pasien
yang menerima terapi infus untuk mengoreksi gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit diagnosa dari kelebihan volume cairan atau kekurangan volume cairan
dapat terjadi. Diagnosa kurang pengetahuan juga terlihat pada sebagian besar
pasien yang menerima infus, terutama bagi pasien yang baru mengalaminya.

5. Prosedur Pelaksanaan
Penghitungan cairan infus
a. Observasi kepatenan selang dan jarum IV:

105
1) Buka pengatur tetesan dan observasi kecepatan aliran cairan dari larutan IV
ke dalam bilik tetesan dan kemudian tutup pengatur tetesan apabila
kecepatan tetesan telah sesuai dengan kecepatan yang diprogramkan
2) Apabila cairan tidak mengalir, rendahkan botol atau kantung cairan IV sampai
lebih rendah dari tempat masuknya infus dan observasi adanya aliran balik
darah.
b. Periksa catatan medis untuk pemberian larutan dan zat aditif yang tepat.
Program yang biasa diresepkan adalah pemberian larutan selama 24 jam,
biasanya dibagi ke dalam 2 sampai 3 L. Kadangkala, program pemberian IV
hanya berisi 1 L untuk mempertahankan vena tetap terbuka. Catatan juga
memperlihatkan waktu yang diperlukan untuk menginfuskan setiap liter cairan
c. Kenali faktor tetesan dalam bentuk banyaknya tetesan/ml (tts/ml) dari sebuah set
infus, misalnya:
Mikrodrip (tetes mikro): 60 tts/ml
Makrodrip (tetes makro) (Perry dan Potter, 1994):
Abbott Lab. 15 tts/ml
Travenol Lab. 10 tts/ml
McGaw Lab. 15 tts/ml
Baxter 10 tts/ml
d. Pilih salah satu formula berikut untuk menghitung kecepatan aliran (tts/mnt)
setelah menghitung jumlah ml/jam jika dibutuhkan (Perry dan Potter, 1994):
volume total (ml) ÷ jam pemberian infus = ml/jam.
ml/jam ÷ 60 menit = ml/mnt
ml/jam x faktor tetes ÷ 60 menit = tts/mnt
e. Apabila digunakan pompa infus atau peralatan pengontrol volume, tempatkan
alat tersebut disis tempat tidur
f. Tentukan kecepatan per jam dengan membagi volume dengan jam, misalnya:
1000 ml ÷ 8 jam = 125 ml/jam
Atau jika 4 L diprogramkan untuk 24 jam:
4000 ml ÷ 24 jam = 166,7 atau 167 ml/jam
g. Tempelkan label volume secara vertikal pada botol atau kantung IV disebelah
garis petunjuk volume. Beri tanda plester berdasarkan kecepatan aliran per jam.
Misalnya: jika seluruh volume cairan akan diinfuskan dalam 8, 10, atau 12 jam,
masing-masing ukuran tersebut akan ditandai dengan plester

106
h. Setelah kecepatan per jam ditetapkan, hitung kecepatan per menit berdasarkan
faktor tetes didalam set infus. Set infus minidrip ini memiliki faktor tetes 60 tts/ml.
Tetesan yang umum digunakan atau mikrodrip yang digunakan pada contoh ini
memiliki faktor tetes 15 tts/ml. Dengan menggunakan rumus, hitung kecepatan
aliran per menit:
Mikrodrip:
125 ml x 60 tts/mnt = 7500 = 125 tts/mnt
60 mnt 60
Makrodrip:
125 ml x 15 tts/mnt = 31 sampai 32 tts/mnt
60 mnt
i. Hitung kecepatan aliran dengan menghitung jumlah tetesan didalam bilik tetesan
selama satu menit dengan menggunakan jam tangan dan kemudian atur klem
penggeser untuk meningkatkan atau menurunkan kecepatan infus. Ulangi
sampai kecepatan aliran akurat
j. Ikuti prosedur ini untuk:
1) Tempatkan monitor elektronik pada tetesan dibawah asal tetesan dan diatas
tinggi cairan didalam bilik
2) Tempatkan selang infus IV dengan bagian atas kotak pengontrol searah
dengan aliran (mis: dibagian atas, bagian selang terdekat dengan kantung IV
dan dibagian bawah, selang yang terdekat dengan pasien). Pilih jumlah
tts/mnt atau volume per jam, pintu untuk mengontrol bilik ditutup, nyalakan
tombol daya dan tekan tombol strat untuk memulai
3) Pastikan bahwa alat pengukur kecepatan tetesan pada selang infus yang
berada pada posisi terbuka saat pompa infus digunakan
k. Observasi pasien setiap jam untuk menetukan respons terhadap terapi IV dan
upaya memperbaiki keseimbangan cairan dan elektrolit. Juga periksa daerah
pemasangan IV untuk melihat adanya tanda-tanda infiltrasi, inflamasi dan plebitis
l. Catat kecepatan infus, tts/mnt dan ml/jam, dicatatan pasien sesuai dengan yang
dibutuhkan.

107
3. MENGGANTI LARUTAN INTRAVENA
1. Pengertian
Prosedur mengganti larutan intravena yang telah habis dengan larutan yang baru.

2. Tujuan
a. Untuk mempertahankan keseimbangan dari pemasukan cairan ke dalam tubuh
b. Melanjutkan terapi cairan

3. Alat dan bahan


a. Sarung tangan bersih
b. Cairan intravena yang dibutuhkan
c. Nierbeken
d. Alcohol pad

4. Prosedur Pelaksanaan
a. Identifikasi pasien
b. Kaji kembali program atau kolaboratif dalam mempersiapkan larutan berikut
sekurang-kurangnya satu jam sebelum diperlukan. Apabila larutan sudah
disiapkan di bagian farmasi, pastikan bahwa larutan tersebut sudah dibawa ke
ruang perawatan. Periksa bahwa larutan benar dan diberi label yang sesuai
c. Siapkan untuk mengganti larutan jika sisa cairan di dalam botol kurang dari 50 ml
d. Pastikan bahwa bilik tetesan masih setengah penuh
e. Cuci tangan
f. Siapkan larutan baru untuk mengganti cairan yang lama. Apabila cairan IV
berada dalam wadah plastic, lepaskan pembungkus pelindung yang menutupi
tempat masuknya selang set infus. Apabila wadah IV menggunakan botol gelas,
lepaskan penutup logam, cakram logam dan cakram karet. Pertahankan steriltas
tempat masuknya selang set infus pada kantung atau botol
g. Geser klem penggeser untuk menurunkan kecepatan aliran
h. Lepaskan botol larutan lama dari penggantung botol IV
i. Dengan cepat lepaskan spike dari larutan IV yang lama dan pasangkan ke botol
larutan yang baru tanpa menyentuh ujungnya

108
j. Gantung kantung atau botol larutan yang baru. Buang kantong atau botol yang
kosong sesuai dengan kebijakan lembaga
k. Periksa adanya udara di selang, jika ada maka hilangkan udara tersebut dalam
selang
l. Pastikan bilik tetesan berisi larutan
m. Atur kecepatan aliran sesuai dengan kecepatan yang diprogramkan
n. Observasi sistem intravena untuk memeriksa kepatenan, tidak adanya infiltrasi,
flebitis dan inflamasi
o. Observasi respon terhadap terapi intravena

H. PEMBERIAN TRANSFUSI DARAH


1. Pengertian
Memasukkan darah yang berasal dari donor ke dalam tubuh pasien melalui vena.

2. Tujuan
Melaksanakan tindakan pengobatan dan memenuhi kebutuhan pasien terhadap
darah sesuai dengan program pengobatan.

3. Indikasi
a. Pasien yang banyak kehilangan darah
b. Pasien dengan penyakit kelainan darah (misalnya; anemia dan leukemia).

4. Alat dan Bahan


a. Transfusi set
b. Cairan NaCl
c. Persediaan darah sesuai dengan golongan darah dan kebutuhan
d. Sarung tangan bersih
e. Kapas alkohol
f. Plester
g. Gunting verban.

5. Prosedur Pelaksanaan
a. Jelaskan pada pasien dan keluarga mengenai pemberian transfusi darah
b. Perhatikan lingkungan dan jaga pripasi pasien

109
c. Cuci tangan
d. Kenakan sarung tangan bersih
e. Buat jalur intravena sebagaimana dilakukan pada prosedur pemberian infus
f. Gunakan selang infus yang memiliki filter dengan tipe-Y. Penggunaan infus set
tipe-Y memungkinkan untuk pemberian volume akspander dengan mudah dan
penginfusan segera NaCl 0,9% setelah penginfusan awal selesai
g. Berikan cairan NaCl terlebih dahulu, kemudian darahnya
h. Atur tetesan sesuai dengan program
i. Bereskan alat-alat
j. Lepaskan sarung tangan
k. Cuci tangan.

Gambar 30. Transfusi darah


6. Perhatian
a. Suhu darah dalam botol harus sesuai dengan suhu tubuh normal
b. Cocokkan label pada botol darah dengan identitas pasien
c. Perhatikan keadaan darah. Bila ada gumpalan darah, tidak boleh ditransfusi
d. Monitor reaksi pasien terhadap transfusi. Bila pasien tampak menggigil, sesak
nafas, suhu tubuh meningkat, transfusi darah dihentikan dulu
e. Dokumentasikan dengan baik mengenai tanggal, waktu pemberian, golongan
darah, jumlah darah yang diberikan, dan reaksi pasien.

110
I. PEMERIKSAAN TES RUMPLE LEEDE

1. Pengertian
Tes Rumple Leede (RL) atau yang dikenal juga dengan Percobaan
pembendungan/Uji Turniket adalah salah satu pemeriksaan untuk menguji ketahanan
kapiler dan fungsi trombosit sehingga merupakan upaya diagnostik untuk mengetahui
adanya kelainan dalam proses hemostasis primer.
Tes RL adalah prosedur hematologi yang merupakan uji diagnostik
terhadap ketahanan kapiler dan penurunan jumlah trombosit. Ketahanan kapiler dapat
menurun pada infeksi DHF, purpura, dan Scurvy. Tes RL dilakukan dengan cara
pembendungan vena memakai sfigmomanometer pada tekanan antara sistolik dan
diastolik (100 mmHg) selama 10 menit.
Pembendungan vena menyebabkan darah menekan dinding kapiler. Dinding
kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat atau adanya trombositopenia, akan rusak
oleh pembendungan tersebut. Darah dari dalam kapiler akan keluar dan merembes ke
dalam jaringan sekitarnya sehingga tampak sebagai bercak merah kecil pada
permukaan kulit. Bercak tersebut disebut ptekie. Hasil positif bila terdapat ptekie pada
bagian volar lengan bawah yang dibendung dengan jumlah ≥ 10 pada area berdiameter
5 cm.

Tes RL tidak perlu dilakukan:


1. Jika sudah terdapat purpura
2. Diketahui mempunyai riwayat perdarahan.

2. Tujuan
Adapun tujuan dilakukan pemeriksaan ini adalah:
1. Membantu memberikan pedoman untuk diagnosis DHF secara dini
2. Mengetahui tanda-tanda perdarahan yang sering terjadi seperti : petekie.

3. Indikasi
Prosedur ini dilakukan pada klien dengan DHF (Dengue Hemoragic Fever)

4. Persiapan Pasien
Persiapan pasien yang perlu diperhatikan sebelum melakukan pemeriksaan ini adalah:

111
1. Pastikan identitas klien
2. Kaji kondisi klien
3. Beritahu dan jelaskan pada klien/keluarganya tindakan yang dilakukan
4. Jaga privacy klien
5. Atur posisi klien

5. Persiapan Alat
Alat yang harus disiapkan adalah:
1. Sfigmomanometer
2. Stetoskop
3. Stop Watch/Timer

6. Prosedur Kerja
a. Berikan salam, panggil klien dengan namanya (kesukaanya)
b. Perkenalkan nama dan tanggung jawab perawat
c. Jelaskan tujuan, prosedur dan lamanya tindakan pada klien/keluarga
d. Klien dalam posisi baring terlentang
e. Mengukur tekanan darah klien
f. Menghitung batas tekanan yang akan dipertahankan (MAP/MABP)
a. 1 sistole + 2 diastole = x mmHg
3
g. Memompa kembali mansetnya pada batas x mmHg dan mempertahankan selama 5
menit.
h. Perhatikan timbulnya petekie pada kulit di bawah lengan bawah bagian medial pada
sepertiga proximal.
i. Membaca hasil tes apakah positif/negative
j. Uji dinyatakan positif apabila pada 1 inci persegi (2.8 x 2.8 cm) didapat lebih dari 20
petekie.
k. Setelah prosedur selesai segera evaluasi respon klien

112
DAFTAR PUSTAKA

Black, Joyce M. (2005). Medical Surgical Nursing: Clinical Management For Positive Outcomes.
7th ed. USA: Elsevier Inc.

Berman. A, Snyder.S, Kozier.B & Erb.G. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Edisi 5.
Jakarta: EGC.

Dochterman, J. M & Bulechek,G. M. (2004). Nursing intervention classification (NIC) 4th edition.
Mosby. United States of America

Ignatavicius, Workman. (2006). Medical Surgical Nursing: Critical Thinking For Collaborative
Care. 5th ed. USA: Elsevier Inc.

Kozier et al. (2004). Fundamental of nursing: conceps, process,and practice, 7th edition. Upper
Sanddle River: Pearson education, Inc.

Moorhead,S, Jhonson,M & Maas, M. (2004). Nursing outcomes classification (NOC) 4th edition.
Mosby. United States of America.

Potter, P.A., & Perry, A. G. (2005). Fundamental of Nursing. 6th ed. USA: Elsevier Mosby.

Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah Brunner & Suddarth. Vol. 1.
Jakarta : EGC.

Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Edisi 4. Jakarta : EGC

113

Anda mungkin juga menyukai