Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sebagai warga negara yang menetap di suatu wilayah negara, kita tidak bisa

lepas dari yang namanya pemerintah dan pemerintahan. Mulai dari kita lahir

hingga kita mati. Mulai dari kita mengurus akta kelahiran hingga kita mengurus

surat kematian. Apabila kita membahas pemerintah dan pemerintahan kita juga

tak bisa jauh jauh dari pembahasan birokrasi. Tuntutan reformasi setidaknya telah

merubah wajah birokrasi Indonesia meskipun belum terlalu signifikan. Agenda

reformasi dalam tubuh birokrasi di Indonesia ditujukan bukan lagi sekedar untuk

membangun institusi birokrasi yang professional secara menejerial, namun pada

bagaimana birokrasi tersebut mampu merepresentasikan konfigurasi sosial yang

ada untuk menjamin keterwakilan masing – masing komunitas sosial yang telah

mengakar kuat di dalam tubuh birokrasi. Pendeteksian penyakit birokrasi atau

yang sering disebut patologi dalam dunia medis sebaiknya juga dilakukan kepada

birokrasi di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar penyakit – penyakit yang ada

dalam tubuh birokrasi di Indonesia tidak menular ke yang lainnya sebagi upaya

preventif bahkan lebih dari itu bisa disembuhkan secara total meskipun

membutuhkan waktu yang lama. Upaya meminimalisir penyakit yang terjadi di

birokrasi diharapkan dapt membawa perubahan terhadap pelayanan publik yang

prima.

1
Persoalan patologi atau penyakit birokrasi bersumber dari rekruitmen dan

penempatan birokrat yang tidak berdasarkan merit sistem (berdasarkan jenjang

karir). Selain itu keterlibatan birokrasi dalam politik dianggap sebagai hal yang

harus diwaspadai karena birokrasi bukanlah institusi atau lembaga yang bisa

mewakilkan kepentingan kelompok atau golongan tertentu. Secara makro atau

nasional persoalan birokrasi di Indonesia lebih di dominasi karena kurangnya

pemisahan yang jelas antara kepentingan politik dan administrasi. Masih sering

dijumpai birokrat terlibat secara aktif dalam kegiatan politik dan juga adanya

politisi yang selalu mendominasi proses – proses birokrasi sehinggga kebijakan

yang diambil dalam birokrasi merupakan kebijakan politik dari orang – orang

yang memiliki kepentingan tertentu. Reformasi birokrasi di Indonesia masih

bergulir namun sampai saat ini belum ada regulasi (peraturan) yang menjamin

depolitisasi birokrasi secara subtansial. Persoalan tersebut seperti mengurai

benang kusut karena ke depan bila model birokrasi yang seperti itu terus

dijalankan akan dapat memunculkan konflik tertutama menimbulkan praktik

kolusi dan nepotisme dalam rekruitmen, penempatan, promosi dan mutasi.

Praktek – praktek yang seperti ini pada kenyataannya sudah menjadi rahasia

umum yang pada akhirnya praktek – praktek korupsi dan pengamanan sumber –

sumber ekonomi termasuk keuangan negara dari kelompok yang sedang berkuasa

dengan menjalin kerjasama menjadi sebuah sistem yang penuh dengan korupsi,

kolusi dan nepotisme.

2
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa pengertian patologi, birokrasi dan patologi birokrasi?

2. Bagaimana asal mula dan penyebab munculnya patologi birokrasi?

3. Apa saja kategori dan ruang lingkup patologi birokrasi?

4. Bagaimana solusi untuk patologi birokrasi?

1.3 Tujuan Pembahasan Masalah

1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah teori birokrasi

2. Untuk memahami tentang patologi birokrasi

3. Untuk mengetahui kategori dan ruang lingkup patologi birokrasi

4. Untuk mengetahui akibat patologi birokrasi

5. Untuk mengetahui solusi patologi birokrasi

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan makalah ini adalah supaya praja dapat mengetahui

pengertian, macam – macam dan kategori patologi birokrasi sehingga patologi

bisa dicegah olaeh praja yang dimasa yang akan datang akan bergelut dengan

birokrasi karena menjadi aparatur pemerintahan birokrasi Indonesia.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Patologi , birokrasi dan patologi birokrasi.

Pengertian Patologi

Patologi merupakan bahasa kedokteran yang secara etimologi memiliki

arti ilmu tentang penyakit. Patologi merupakan cabang bidang kedokteran yang

berkaitan dengan ciri-ciri dan perkembangan penyakit melalui analisis perubahan

fungsi atau keadaan bagian tubuh. Bidang patologi terdiri atas patologi anatomi

dan patologi klinik. Ahli patologi anatomi membuat kajian dengan mengkaji

organ sedangkan ahli patologi klinik mengkaji perubahan pada fungsi yang nyata

pada fisiologi tubuh. Patologi adalah kajian dan diagnosis penyakit melalui

pemeriksaan organ, jaringan, cairan tubuh, dan seluruh tubuh (autopsi). Patologi

juga meliputi studi ilmiah terkait proses penyakit, disebut patologi umum.

Pengertian Birokrasi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, birokrasi didefinisikan sebagai :

1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai pemerintah karena

telah berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan.

2. Cara bekerja atau susunan pekerjaan yang serba lamban, serta menurut tata

aturan (adat dan sebagainya) yang banyak liku-likunya dan sebagainya.

4
Definisi birokrasi ini mengalami revisi, dimana birokrasi selanjutnya

didefinisikan sebagai

1. Sistem pemerintahan yang dijalankan oleh pegawai bayaran yang tidak

dipilih oleh rakyat, dan

2. Cara pemerintahan yang sangat dikuasai oleh pegawai.

Berdasarkan definisi tersebut, pegawai atau karyawan dari birokrasi

diperoleh dari penunjukan atau ditunjuk (appointed) dan bukan dipilih (elected). 

Menurut Mustopadijaja AR (1999) "Bureaucracy is an organisation with a

certain position and role in running the government administration of a contry"

artinya birokrasi adalah merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi

tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negara.

Birokrasi berasal dari kata bureaucracy (bahasa inggris bureau + cracy),

diartikan sebagai suatu organisasi yang memiliki rantai komando dengan bentuk

piramida, dimana lebih banyak orang berada ditingkat bawah dari pada tingkat

atas, biasanya ditemui pada instansi yang sifatnya administratif maupun militer.

Pada rantai komando ini setiap posisi serta tanggung jawab kerjanya

dideskripsikan dengan jelas. Organisasi ini pun memiliki aturan dan prosedur

ketat sehingga cenderung kurang fleksibel. Ciri lainnya adalah biasanya terdapat

banyak formulir yang harus dilengkapi dan pendelegasian wewenang harus

dilakukan sesuai dengan hierarki kekuasaan.

5
Definisi menurut beberapa ahli :

1. Hegel dan Karl Marx

Keduanya mengartikan birokrasi sebagai instrumen untuk melakukan

pembebasan dan transformasi sosial. Hegel berpendapat birokrasi adalah medium

yang dapat dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan

kepentingan general (umum). Sementara itu teman seperjuangannya, Karl Marx,

berpendapat bahwa birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh kelas

yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas kelas-kelas sosial

lainnya, dengan kata lain birokrasi memihak kepada kelas partikular yang

mendominasi tersebut.

2. Bintoro Tjokroamidjojo

Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) ”Birokrasi dimaksudkan untuk

mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak

orang”. Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar

pekerjaan dapat diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu

pekerjaan yang banyak jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga

tidak terjadi tumpang tindih di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya

menjadi tugas dari birokrasi.

3. Blau dan Page

Blau dan Page (1956) mengemukakan ”Birokrasi sebagai tipe dari suatu

organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas - tugas administratif yang

besar dengan cara mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak

6
orang”. Jadi menurut Blau dan Page, birokrasi justru untuk melaksanakan prinsip

- prinsip organisasi yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif,

meskipun kadangkala di dalam pelaksanaannya birokratisasi seringkali

mengakibatkan adanya ketidakefisienan.

4. Ismani  

Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan

”Bahwa dalam birokrasi terdapat aturan - aturan yang rasional, struktur organisasi

dan proses berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi -

tingginya. Dari pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk

menganggap birokrasi itu jelek dan tidak efisien”.

5. Fritz Morstein Marx

Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjojo

(1984) mengemukakan bahwa birokrasi adalah ”Tipe organisasi yang

dipergunakan pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas - tugas

yang bersifat spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya

oleh aparatur pemerintahan”.

6. Riant Nugroho Dwijowijoto  

Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan

bahwa ”Birokrasi adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan

untuk meningkatkan kapasitas-kapasitas potensial terhadap hal-hal yang baik

maupun buruk dalam keberadaannya sebagai instrumen administrasi rasional yang

netral pada skala yang besar”. Selanjutnya dikemukakan bahwa ”Di dalam

masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak urusan yang terus - menerus

7
dan diam, hanya organisasi birokrasi yang mampu menjawabnya. Birokrasi dalam

praktek dijabarkan sebagai pegawai negeri sipil”.

Pengertian Patologi Birokrasi

Pada mulanya, patologi hanya dikenal dalam ilmu kedokteran sebagai ilmu

tentang penyakit. Namun dengan berjalannya waktu analogi ini dikenal dalam

birokrasi, dengan makna agar birokrasi pemerintahan mampu menghadapi

berbagai tantangan yang mungkin timbul, baik yang bersifat politis, ekonomi,

sosio kultural, dan teknologi, berbagai penyakit yang mungkin sudah dideritanya

atau mengancam akan menyerangnya perlu diidentifikasi untuk kemudian

dicarikan terapi pengobatan yang paling efektif. Harus diakui bahwa tidak ada

birokrasi yang sama sekali bebas dari patologi birokrasi. Sebaliknya tidak ada

birokrasi yang menderita penyakit birokrasi sekaligus.” (Siagian,1994 dalam

Ismail,2009:68).

Sementara yang dimaksud dengan birokrasi adalah : "Bureaucracy is an

organisation with a certain position and role in running the government

administration of a contry" (Mustopadijaja AR., 1999). Dengan demikian dapat

dilihat bahwa birokrasi merupakan suatu organisasi dengan peran dan posisi

tertentu dalam menjalankan administrasi pemerintah suatu negera. Prof. Dr.

Sondang P. Siagian, MPA., (1988) mengatakan bahwa pentingnya patologi ialah

agar diketahui berbagai jenis penyakit yang mungkin diderita oleh manusia.

Analogi itulah yang berlaku pula bagi suatu birokrasi. Artinya agar seluruh

8
birokrasi pemerintahan negara mampu menghadapi berbagai tantangan yang

mungkin timbul baik bersifat politik, ekonomi, sosio - kultural dan teknologikal.

Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah

penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai - nilai etis,

aturan - aturan dan ketentuan - ketentuan perundang - undangan serta norma -

norma yang berlaku dalam birokrasi.

Patologi Birokrasi juga diartikan dalam beberapa artian seperti sebagai

berikut:

1. Birokrasi sebagai organisasi yang berpenyakit (patologis)

2. Organisasi dan perilaku birokrat yang inefektif dan inefisien

3. Struktur dan fungsi organisasi besar yang sering melakukan

kesalahan dan tidak mampu berubah.

Pendapat yang lain mengatakan patologi birokrasi atau penyakit birokrasi

adalah “hasil interaksi antara struktur birokrasi yang salah dan variabel - variabel

lingkungan yang salah” (Dwiyanto, 2011: 63). Patologi birokrasi muncul

dikarenakan hubungan antar variabel  pada struktur birokrasi yang terlalu

berlebihan, seperti rantai hierarki panjang, spesialisasi, formalisasi dan kinerja

birokrasi yang tidak linear

Patologi birokrasi bisa juga diartikan sama dengan penyakit birokrasi.

peran birokrasi sebagai implementator dari kebijakan politik, atau dengan kata

lain birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, maka patologi birokrasi dapat

diartikan sebagai persoalan atau permasalahan yang terjadi dalam

9
penyelenggaraan pemerintahan akibat kinerja birokrasi tidak mampu dalam

memenuhi kebutuhan publik dengan baik. Patologi birokrasi dapat saja terjadi

dalam ketidakmampuan pejabat politik di eksekutif (terpilih karena mandat

politik). Dalam hal ini patologi birokrasi dapat dilihat dari perspektif

kelembagaan, kepemimpinan, maupun perilaku para birokrat pelaksana itu sendiri

atau gabungan dari unsur unsur tersebut.

Menurut Taliziduhu Ndraha, Miftah Thoha, Peter M. Blau, David

Osborne, JW Schoorl) Patologi birokrasi adalah penyakit, perilaku negatif, atau

penyimpangan yang dilakukan pejabat atau lembaga birokrasi dalam rangka

melayani publik, melaksanakan tugas, dan menjalankan program pembangunan.

Patologi Birokrasi (Bureaupathology) adalah himpunan dari perilaku-

perilaku yang kadang - kadang disibukkan oleh para birokrat. Fitur dari patologi

birokrasi digambarkan oleh Victor A Thompson seperti “sikap menyisih

berlebihan, pemasangan taat pada aturan atau rutinitas - rutinitas dan prosedur -

prosedur, perlawanan terhadap perubahan, dan desakan atas hak - hak dari otoritas

dan status.

2.2 Asal Mula dan Penyebab Munculnya Patologi Birokrasi

Birokrasi merupakan wujud terbaik organisasi karena menyediakan

konsistensi, kesinambungan, kemungkinan meramalkan, stabilitas, sifat

kewaspadaan, kinerja efisien dari tugas - tugas, hak keadilan, rasionalisme, dan

profesionalisme. Ikhtisar singkat dari keuntungan - keuntungan birokrasi

pemerintah adalah efisien, ideal dan cocok untuk memperkecil pengaruh dari

10
politik dan pribadi di dalam keputusan - keputusan organisasi serta wujud terbaik

organisasi karena membiarkan memilih pejabat - pejabat untuk mengidentifikasi

dan mengendalikan yang bertanggung jawab untuk siapa atas apa yang dilakukan

karena orientasi lebih pada melayani pemerintah, tidak lagi menjadi alat rakyat

tetapi telah menjadi instrumen politis dengan sifat sangat otoritatif dan represif.

 Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power

corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang

absolut berkorupsi secara absolut pula). Namun pendapat Acton bahwa absolutism

dapat menjadikan kesempatan korupsi itu lebih mudah. Hal ini tentu karena

lemahnya bahkan tidak adanya kontol dari luar. Tanpa akuntabilitas, korupsi

‘berjamaah’ para birokrat sulit sekali diungkap. Namun, Birokrasi Weberian yang

diharapkan akan menghasilkan hal - hal yang telah tersebut di atas, ternyata tidak

berjalan sebagaimana mestinya. Menurut Islamy (1998:8), birokrasi di

kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat

patrimonialistik, tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under

producing), tidak obyektif, anti terhadap kontrol dan kritik, tidak mengabdi

kepada kepentingan umum.

Berdasarkan uraian tersebut maka birokrasi merupakan wadah yang

menghimpun idealisme, keinginan, pemikiran, penalaran dan lain sebagainya dari

birokrat, politisi maupun akademisi yang beraneka ragam bentuk dan karakternya

dalam suatu organisasi negara. Para birokrat, politisi, akademisi dan bahkan

seluruh lapisan masyarakat adalah komunitas manusia yang memiliki :

11
1.      Rasionalitas yang dapat difungsikan untuk menentukan faktor - faktor 

yang positif dalam interaksi dan reaksi manusia dari seluruh aspek yang ada

disekitarnya.

2.      Kebuasaan yang sangat kejam dimana binatang yang paling buas bagi

manusia dapat dipunahkan tetapi binatang tidak pernah memunahkan manusia.

Sifat rasionalitas dan kebuasan manusia ini dalam kehidupan birokrasi

dapat dimanfaatkan dengan baik apabila pengelolaannya dan pengaturannya

sesuai dengan kaidah - kaidah dan norma yang tepat.

Manusia dalam birokrasi dengan kodratinya memiliki kreativitas untuk

pengembangkan birokrasi. James R Evans mengemukakan pengertian kreativitas

adalah keterampilan untuk menetukan pertalian, melihat subyek dan perspektif

baru, dan membuat kombinasi - kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang

telah tercetak dalam pemikiran. Berdasarkan pandangan ini kita dapat

merumuskan kreativitas birokrasi yang dapat dikatakan pertalian antara cara

berpikir dengan cara bertinadak setiap manusia individu dalam ikatan birokrasi

sehingga menghasilkan sesuatu baik yang berkaitan dengan pemikiran atau

penalaran maupun yang berkaitan dengan hasil kerja dari setiap individu yang

dapat digunakan atau dimanfaatkan untuk pertumbuhan atau perkembangan

birokrasi dan kesejahteraan anggota birokrasi.

Pengembangan birokrasi pada masa periode tertentu senantiasa mengalami

perubahan secara fluktuatif, tidak ada sesuatu perubahan yang terjadi dalam

sebuah birokraasi yang selalu mengarah kepada perbahan secara positif , misalnya

selalu memperoleh keuntungan dalam berusaha atau senantiasa memperoleh

12
kamudahan dalam penyelesaian sesuatu kegiatan. Tetapi kondisi negatif, misalnya

mengalami kerugian, menghadapi permasalahan dalam pelaksanaan suatu

kegiatan. dikarenakan aktivitas birokrasi banyak dipengaruhi oleh kondisi politik

yang sedang bereaksi untuk mendapatkan suatu kekuasaan yang diistilahkan

dengan otoritas. Bila kita mengidentifikasi otoritas dalam suatu birokrasi   kita

dapat kemukakan argumentasi sebagai bahan penghayatan sebagai berikut :

Otoritas kharismatik, otoritas tradisional, otoritas legal.

Kekuasaan dan kewenangan manusia yang terkait dalam sebuah birokrasi

memiliki tingkatan yang berbeda - beda, semakin tinggi posisi seseorang maka

kekuasaan dan kewenangan semakin besar, tetapi penyelesaian dalam berbagai

aktivitas semakin kecil. Demikian pula sebaliknya bila posisi seseorang semakin

rendah,  semakin kecil pula kekuasaan dan kewenangan yang di miliki, tetapi

semakin besar tanggung jawab penyelesaian aktivitas. Fenomena ini dalam

birokrasi mendorong manusia untuk berusaha menciptakan kemampuan untuk

dapat merebut kekuasaan dan kewenangan yang lebih tinggi.

Perebutan kekuasaan dan kewenangan yang tidak di dasarkan pada

profesionalisme, rasionalisme, dan moralitas merupakan suatu penyakit atau

patologi dalam birokrasi.   

Dalam paradigma aktorian dinyatakan power tends to corrupt, but

absolute powers corrupt absolutely (kekuasaan cenderung korup, tapi kekuasaan

yang absolut pasti korup) secara implisit juga menjelaskan birokrasi dalam

hubungannya dengan kekuasaan akan mempunyai kecenderungan untuk

13
menyelewengkan wewenangnya. Dalam hal ini selain sistem , juga aparaturnya.

Karena itu perlu dipikirkan pula para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa

dan kecenderungan menggunakan wewenangnya. Ini juga termasuk dari patologi

birokrasi itu sendiri. Erziony Helevy (1983) melihat kekuasaan birokrasi publik

menjadi sangat kuat dan luas, karena :

1. Semakin meningkatnya ruang intervensi pemerintah dalam bidang sosial

dan ekonomi

2. Meningkatnya kompleksitas tugas pemerintahan

3. Kemampuan untuk memanfaatkan teknologi yang semakin berguna dalam

membuat keputusan politik

4. Memiliki sumber informasi

5. Pejabat politik memiliki sumber daya serta selalu ada (tidak dibatasi waktu

/ pergantian)

6. Pejabat politik tidak selalu memiliki kepentingan atau kontrol terhadap

seluruh persoalan birokrasi

7. Menurunnya kekuasaan parlemen

8. Adanyaa proses pergantian kepemimpinan yang menjadi areal birokrasi

mencari peluang atau pengaruh

Secara lengkap berbagai penyebab munculnya patologi dan bentuk -

bentuk patologi tersebut dapat diuraikan dalam tabel berikut.

14
Tabel 1:  Penyebab dan Bentuk-bentuk Patologi Birokrasi

  PERSEPSI
SITUASI
DAN RENDAHNYA
PELANGGA PERILAKU INTERNAL
GAYA     PENGETAHU
RAN YANG DALAM
MANAJERI AN
TERHADAP BERSIFAT BERBAGAI
AL PARA &KETERAMP
NORMA DISFUNGSIO INSTANSI
PEJABAT ILAN
HUKUM NAL PEMERINTA
BIROKRAS PETUGAS
HAN
I

Penyalahgun Ketidakmampu Penggemuka Bertindak Penempatan

aan an menjabarkan n sewenang- tujuan dan

wewenang kebijakan pembiayaan; wenang; sasaran yang

dan jabatan; pimpinan; Menerima Pura-pura tidak tepat;

Persepsi Ketidaktelitian; sogo; sibuk; Kewajiban

yang Rasa puas diri; Ketidakjujura Paksaan; sosial sebagai

didasarkan Bertindak tanpa n; Konspirasi; beban;

pada pikir; Korupsi; Sikap takut; Eksploitasi;

prasangka; Kebingungan; Tindakan Penurunan Ekstorsi;

Pengaburan Tindakan yang kriminal; mutu; Tidak

masalah; counter Penipuan; Tidak sopan; tanggap;

Menerima productive; Kleptokrasi; Diskriminasi; Pengangguran

sogok; Tidak adanya Kontrak Cara kerja terselubung;

Pertentangan kemampuan fiktif; yang legalistil; Motivasi yang

15
kepentingan; berkembang; Sabotase; Dramatisasi; tidak tepat;

Kecenderung Mutu hasil Tatabuku Sulit Imbalan yang

an pekerjaan yang yang tidak dijangkau; tidak

mempertaha rendah; benar; Sikap tidak memadai;

nkan status Kedangkalan; Pencurian. acuh; Kondisi kerja

quo; Ketidakmampu Tidak disiplin; yang kurang

Empire an belajar; Inersia; memadai;

Building; Ketidaktepatan Sikap kaku Pekerjaan

Sikap tindakan; (tidak yang tidak

bermewah- Inkompetensi; fleksibel) kompatibel;

mewah; Ketidakcekatan Tidak Inconvenience

Pilih kasih; ; berperikemanu ;

Ketakutan Ketidakteratura siaan; Tidak adanya

pada n; Tidak peka; indkator

perubahan, Melakukan Sikap tidak kinerja;

inovasi dan kegiatan yang sopan; Kekuasaan

resiko; tidak relevan; Sikap lunak; kepemimpina

Penipuan; Sikap ragu- Tidak peduli n;

Sikap ragu; mutu kinerja; Miskomunika

sombong; Kurangnya Salah tindak; si;

Ketidakpedu imajinasi; Semangat yang Misinformasi;

lian pada Kurangnya salah tempat; Beban kerja

kritik dan prakarsa; Negativisme; yang terlalu

16
saran; Kemampuan Melalaikan berat;

Jarak rendah; tugas; Terlalu

kekuasaan; Bekerja tidak Rasa tanggung banyak

Tidak mau produktif; jawab yang pegawai;

bertindak; Ketidakrapian; rendah; Sistem pilih

Takut Stagnasi. Lesu darah kasih (spoil

mengambil (anorexia) system);

keputusan Paperasserie; Sasaran yang

Sikap Melaksanakan tidak jelas;

menyalahkan kegiatan yang Kondisi kerja

orang lain; tidak relevan; yang tidak

Tidak adil; Cara kerja aman;

Intimidasi; yang berelit- Sarana dan

Kurangnya belit (red tape) prasarana

komitmen; Kerahasiaan; yang tidk

Kurangnya Pengutamaan tepat;

koordinasi kepentingan Perubahan

Kurangnya sendiri; sikap yang

kreativitas Suboptimasi mendadak.

dan Sycophancy;

eksperimenta Tampering;

si; Imperatif

Kreativitas wilayah

17
yang rendah; kekuasaan;

Kurangnya Tokenisme;

visi yang Tidak

imajinatif; professional;

Kedengkian; Sikap tidak

Nepotisme; wajar;

Tindakan Melampaui

yang tidak wewenang;

rasional Vasted

Bertindak di interest;

luar Pertentangan

wewenangny kepentingan;

a; Pemborosan;

Paranoia;

Sikap

Opresif;

Patronase;

Penyeliaan

dengan

pendekatan

punitive;

Keengganan

mendelegesa

18
ikan;

Keengganan

memikul

tanggung

jawab;

Ritualisme;

Astigmatism

e;

Xenophobia;

Sumber:  Siagian, 1994. Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan

Terapinya. Jakarta, Ghalia   Indonesia: Hal. 35-145.

Salah satu faktor penyebab timbulnya penyakit birokrasi yang paling

dominan menurut penulis adalah disebabkan rendahnya akhlak aparatur. satu

contoh kasus korupsi misalnya, pada umumnya tidak dilakukan oleh rendahnya

akhlak aparatur. Korupsi pada umumnya tidak dilakukan oleh karena pengetahuan

yang rendah, tetapi justru dilkukan oleh aparatur berpendidikan tidak rendah.

Rendahnya moralitas pegawai menunjukan rendahnya atau tidak dipergunakannya

norma - norma etika sebagai acuan dalam bepikir, betindak dan berperilaku dalam

pelaksanaan tugas pekerjaan di bidangnya.

19
Moralitas merupakan suatu dorongan dari untuk melakukan suatu sistem

atau etika, sehingga semakin tinggi kadar moralitas seseorang semakin kuat pula

dorongan melaksanakan nilai - nilai etika dalam kehidupan sehari - harinya.

Demikian pula sebaliknya kadar moralitas yang rendah, maka dorongan

penerapan nilai - nilai etika semakin rendah pula.

2.3 Kategori, Macam dan Ruang Lingkup Patologi Birokrasi

Prof. Dr. Sondang  P Siagian MPA dalam bukunya ”Patologi Birokrasi:

Analisis, Identifikasi dan Terapinya” (1994) menyebut serangkaian contoh

penyakit (patologi) birokrasi yang lazim dijumpai. Penyakit – penyakit tersebut

dapat dikategorikan yakni :

1. Persepsi gaya manajerial para pejabat dilingkungan birokrasi yang

menyimpang dari prinsip prinsip demokrasi. Hal ini mengakibatkan bentuk

patologi seperti penyalahgunaan wewenang dan jabatan menerima sogok dan

nepotisme

2. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan para petugas pelaksana

berbagai kegiatan operasional mengakibatkan produktivitas dan mutu pelayanan

yang rendah, serta pegawai sering berbuat kesalahan

3. Tindakan pejabat yang melanggar hukum dengan penggemukan

pembiayaan, menerima sogok, korupsi dan sebagainya.

4. Manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional atau negatif

seperti sewenang wenang, pura pura sibuk dan diskriminaitf

20
5. Akibat situasi internal berbagai instansi pemerintahan yang berakibat

negatif terhadap birokrasi seperti imbalan dan kondisi kerja yang kurang

memadai, ketiadaan deskripsi dan indikator kerja dan sistem pilih kasih.

Senada dengan sumber lain menurut Bambang Noorsetyo dalam

ceramahnya di depan peserta program megister Universitas Merdeka Malang (15

oktober 2000) menyatakn bahwa  patologi birokrasi dapat dikelompokkan ke

dalam 5 (lima) kelompok yaitu:

a. Persepsi dan gaya manajerial pejabat birokrasi antra lain:

 Penyalagunaan wewenang dan jabatan

 Persepsi sebagai dasar prasangka dalam pengambilan keputusan

 Pengabur masalah

 Praktik menerima suap,

b. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan petugas pelaksanaan misalnya:

 Tidak mampu menjabrkan policy pimpinan

 Kurang teliti

 Rasa puas diri

 Bertindak tanpa berpikir matang

 Kenerja rendah

 Bingung

21
c. Pelaku birokrasi yag melanggar hukum, antra lain adanya:

 Boros

 Praktek suap-menyuap

 Kejujuran kurang

 Korupsi

 Kriminal

d. Perilaku birokrasi yang bersifat disfungsioal dan negatif,     

 Sewenang-wenang

 Pura-pura sibuk

 Pemaksaan

 Konspirasi

 Diskiminasi

 Tak acuh

 Sulit di jangkau

 Disiplin rendah

e. Situsi internal instansi/birokrasi, antra lain

 Tujuan dan saran tidak tepat

 Kewajiban social sebgai beban

 Eksploitasi

 Pengangguran terselubung

 Imbalan tidak memadai

 Kondisi kerja kurang memadai

 Misinformasi

22
Selain kategori patologi birokrasi yang disebutkan tersebut, penulis juga

mengemukakan ruang lingkup patologi birokrasi. Adapun ruang lingkup patologi

birokrasi dengan menggunakan terminologi Smith (1998) berkenaan dengan

kinerja birokrasi yang buruk, dapat dipetakan dalam dua konsep besar, yaitu :

1. dysfunction of bureaucracy, yakni berkaitan dengan struktur, aturan, dan

prosedur atau berkaitan dengan karakteristik birokrasi atau birokrasi secara

kelembagaan yang jelek sehingga tidak mampu mewujudkan kinerja yang

baik, atau erat kaitannya dengan kualitas birokrasi secara institusi.

2. Mal – administration , yakni berkaitan dengan ketidakmampuan atau

perilaku yang dapat disogok, meliputi : perilaku korup, tidak sensitif,

arogan, mis - informasi, tidak peduli dan bias, atau erat kaitannya dengan

kualitas sumber daya manusianya atau birokrat yang ada di dalam

birokrasi.

Bentuk patologi yang ditinjau dari perspektif perilaku birokrat

merefleksikan bahwa birokrat sebagai pemilik kewenangan menyelenggarakan

pemerintahan tertentu memiliki kekuasaan relatif yang sangat rentan terhadap

dorongan untuk melakukan hal – hal yang menguntungkan diri dan kelompoknya

yang diwujudkan dalam berbagai perilaku buruk.

Suatu perilaku itu dikatakan baik bila secara universal semua orang

bersepakat mengakui suatu perbuatan yang menunjukkan tingkah laku seseorang

memang baik. Sedangkan sebaliknya perilaku itu dikatakan buruk bila secara

23
universal semua orang sepakat menyatakan bahwa tingkah laku seseorang itu

buruk. Karena hakikatnya hanya dua jenis perilaku yang ada dalam diri manusia

sendiri. Dikaitkan dengan patologi birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan

dalam perspektif perilaku, maka yang dijadikan indikator adalah berbagai perilaku

buruk dari birokrat itu sendiri.

Birokrasi diharapkan dapat mewujudkan suatu tata pemerintahan yang

mampu menumbuhkan kepercayaan publik, karena bagaimanapun pada akhirnya

pelayanan publik produk dari suatu pemerintahan adalah terciptanya kepercayaan

publik. Birokrasi tidak hanya sekedar melaksanakan kekuasaan, tetapi juga

memiliki tujuan moral, sebuah birokrasi yang menghargai hak hak masyarakat

(Teruna, 2007).

Proses patologi birokrasi yang akut di indonesia ini bukan sesuatu yang

datang tiba tiba, tetapi terpelihara sejak lama. Birokrasi sudah terbiasa menjadi

simbol kemakmuran dan kerajaan bagi aparatnya untuk mendapat pelayanandari

masyarakat. Kultur pangreh praja (rakyat mengabdi pada pemerintahan/raja) ada

di birokrasi yang diciptakan untuk melayani penguasa terjadi di zaman penjajahan

(Teruna,2007).

Membangun sistem kontrol dan akuntabilitas publik menjadi signifikan

dalam memerangi patologi birokrasi. Sebagai eksekutor kekuasaan birokrasi

sangat mudah tergoda untuk melakukan abuse of power. Dalam penelitian Teruna

(2007) dinyatakan bahwa salah satu ruang yang rentan terhadap patologi birokrasi

berkenaan dengan proses pembangunan, khususnya penjabaran program ke dalam

24
proyek – proyek pembangunan atau dikenal dengan istilah pengadaan barang dan

jasa, seperti tindakan mark up, penggelapan, manipulasi, suap, penyunatan, dan

sebagainya. Birokrasi secara langsung ataupun tidak terlibat dalam proses

pembangunan, khususnya bagi pengadaan barang dan jasa, baik di tingkat pusat

maupun daerah.

Adapun macam - macam patologi birokrasi antara lain:

a) Paternalistik, yaitu atasan bagaikan seorang raja yang wajib dipatuhi dan

dihormati, diperlakukan spesial, tidak ada kontrol secara ketat, dan pegawai

bawahan tidak memiliki tekad untuk mengkritik apa saja yang telah dilakukan

atasan. Seakan - akan nyawa mereka ada dalam genggaman atasan / penguasa

sehingga segala sesuatunya dilakukan untuk atasan. Hal tersebut menjadikan

pelayanan publik kurang maksimal dikarenakan sikap bawahan yang terlalu

berlebihan terhadap atasan sehingga birokrasi cenderung mengabaikan apa yang

menjadi kepentingan masyarakat sebagai warga negara yang wajib menerima

layanan sebaik mungkin.

b) Pembengkakan  anggaran, terdapat beberapa alasan mengapa hal ini sering

terjadi yaitu: semakin besar anggaran yang dialokasikan untuk kegiatan semakin

besar pula peluang untuk memark-up anggaran, tidak adanya kejelasan antara

biaya dan pendapatan dalam birokrasi publik, terdapatnya tradisi memotong

anggaran yang diajukan pada proses perencanaan anggaran sehingga

memunculkan inisiatif pada orang yang mengajukan anggaran untuk melebih-

lebihkan anggaran, dan kecenderungan birokrasi mengalokasikan anggaran atas

25
dasar input. Pembengkakan anggaran akan semakin meluas ketika kekuatan civil

society lemah dalam mengontrol pemerintah.

c) Prosedur yang berlebihan akan mengakibatkan pelayanan menjadi berbelit

- belit dan kurang menguntungkan bagi masyarakat ketika dalam keadaan

mendesak.

d) Pembengkakan birokrasi, dapat dilakukan dengan menambah jumlah

struktur pada birokrasi dengan alasan untuk meringankan beban kerja dan lain -

lain yang sebenarnya struktur tersebut tidak terlalu diperlukan keberadaannya.

Akibatnya banyak dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) yang

dikeluarkan oleh pemerintah yang secara tidak langsung dapat merugikan negara.

Sehingga anggaran menjadi kurang tepat sasaran.

e) Fragmentasi birokrasi, banyaknya kementerian baru yang dibuat oleh

pemerintah lebih sering tidak didasarkan pada suatu kebutuhan untuk merespon

kepentingan masyarakat agar lebih terwadahi tetapi lebih kepada motif tertentu.

           Selanjutnya dapat ketahui macam Patologi Birokrasi menurut Sondang P.

Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang dapat dijumpai, antara lain :

1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab

2. Pengaburan masalah

3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme

4. Indikasi mempertahankan status quo

5. Empire bulding (membina kerajaan)

26
6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko

7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran

8. Takut mengambil keputusan

9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi

10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif

11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

Terdapat juga jenis patologi dalam sistem organisasi. Berikut adalah

pembahasannya. Birokrasi “parkinsonian”, dimana terjadinya proses

pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak

terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-

mata untuk memenuhi tuntutan struktur dan kekuasaan. Birokrasi ini disebut

dengan istilah birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan

birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan

oleh birokrasi. Contohnya adalah promosi dan rotasi bukan atas dasar kompetensi

dan kebutuhan organisasi tetapi kepentingan kekuasaan dan dilakukan sekedae

untuk hal – hal sebagai berikut :

1. Ritualisme / simbolisme. Berbagai kegiatan seremonial yang berlebihan.

2. Kinerja yang  rendah (tokenisme) atau paling tinggi mediocre

pemborosan, tidak efektif.

Ada beberapa hal lain yang termasuk kedalam patologi birokrasi

Organisasi atau kelompok antara lain :

1. Terlalu percaya pada presiden, padahal tuntutan telah berubah.

27
2. Formalisme dan kurang inisiatif (takut membuat kesalahan)

3. Inertia (lamban dalam berbagai urusan/keputusan) duplikasi kegiatan dan

departementalisme

4. Red tape (cara kerja yang berbelit - belit dan ditunda - tunda)

5. Peraturan dijadikan tujuan dan menjadi senjata para birokrat untuk

melindungi kepentingannya dan mempertahankan status quo.

6. Budaya  korupsi ( korupsi berjamaah )

a. discretionary corruption: diskriminasi, spoil  system, kolusi

b. illegal corruption: menyalahi aturan yang ada

c. mercenary corruption: penggelapan uang, komisi, suap, kuitansi

fiktif,mark up, ruislag,

d. ideological corruption: Kebijakan yang memihak partai/ideologi

Jenis Patologi Perilaku Birokrat yaitu :

1. Penyalahgunaan wewenang dan jabatan (korupsi): menerima suap,

markup, menetapkan imbalan, kontrak fiktif, penipuan.

2. Tindakan sewenang-wenang: ekstorsi (pemerasan  secara kasar/halus).

Misalnya: pemotongan insentif, rapel, gaji dsb

3. Empire Building  dengan menciptakan para aktor dependent

disekelilingnya: promosi (pangkat dan jabatan) , bonus dsb.

28
4. Nepotisme/primordialisme : perekrutan dan  penempatan posisi atas dasar 

“pertalian darah” /kesukuan kedaerahan bukan kompetensi.

5. Sycophancy (kecenderungan ingin memuaskan atasan dengan cara yang

counter productive) 

6. Konsumerisme dan hedonisme

7. Takut mengambil keputusan/mengambil resiko (Decidiophiobia):

8. Mutu Pelayanan terhadap pelanggan rendah: acuh tak acuh , pura-pura

sibuk,  tidak sopan, diskriminasi.

9. Disiplin dan Semangat kerja umumnya rendah

10. Armandiloisme : mamalia penggangsir yang melindungi diri dengan

memo, rapat dan perangkat peraturan

11. Hyperpolysyllabicomia: gemar memakai kata-kata  jargon (samar) dan

yang muluk untuk menutupi kelemahannya.

Adapun beberapa jenis penyakit birokrasi yang sudah sangat dikenal dan

dirasakan masyarakat yaitu ketika setiap mengurus sesuatu dikantor pemerintah,

pengurusannya berbelit-belit, membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang

besar, pelayanannya kurang ramah, terjadinya praktek kolusi, korupsi dan

nepotisme dan lain-lain. Sedangkan penyakit birokrasi yang lebih sistemik banyak

sebutan yang diberikan  terhadapnya yaitu antara lain; politisasi birokrasi,

otoritarian birokrasi, birokrasi katabelece (Istianto, 2011:143).

Menurut pelajaran teori birokrasi yang diampu oleh dosen bapak fernandes

simangunsong diterangkan bahwa beberapa macam patologi birokrasi termasuk

hal hal sebagai berikut :

29
 AIDS (alfa ijin dikit dikit sakit)

 Batuk (banyak ngantuk)

 Flu (facebookan melulu)

 Kurap (kurang rapi)

 Kudis (kurang disiplin)

 TBC (tidak bisa komputer)

 Asma (asal mengisi absen)

 Kram (kurang trampil)

 Asam urat (asal sampai kantor uring uringan atau tidur)

 Kejang – kejang (kerja jarang kerja lambat)

 Pucat pasi (pulang cepat padahal masih pagi)

 Magh (makan gaji buta)

 Jantung (kerja suka itung itungan)

 Panu (piket asal tulis)

 Kutil (kurang teliti)

 Bisul (bisanya hanya siul siul)

 Muntaber (mundur tanpa berita)

Dalam buku Patologi Serta Terapinya Dalam Ilmu Administrasi Dan

Organisasi mengatakan bahwa patologi birokrasi adalah sebagai berikut :

1. Penyakit nepotisme, istilah nepotisme pada mulanya lebih banyak di

bicarakan dalam materi administrasi kepegawaian personal manajemen, kemudian

berkembang lebih lanjut kedalam berbagai aspek kehidupan pada manusia

30
lainnya. Karena tidak tercapainya kepuasan yang diharapkan semula, tetapi justru

yang terjadi adalah ketidakpuasan karena tidak terpenuhinya kebutuhan, sebagai

faktor utama dalam menciptakan kepuasan manusia. Namun demikian bahwa

pemikiran yang seimbang dan tindakan yang seimbang akan melahirkan tingkat

kepuasan secara adil dan merata dalam kehidupan manusia yang terlibat dalam

ikatan kerja sama. Ketidakseimbangan aktivitas manusia dalam administrasi

sangat mudah diserang oleh virus penyakit nepotisme yang merugikan dirinya

sendiri.

Penyakit nepotisme dalam administrasi juga menciptakan suatu perubahan

dalam sebuah bentuk kerja sama, tetapi perubahan yang diciptakan tersebut

berorientasi kepada perubahan negatif. Penyakit nepotsime dalam administrasi

sangat berpengaruh negatif dalam pengembangan konseptual teoritis, aktual

empiris, dan etika administrasi sehingga wawasan keilmuan untuk menciptakan

kecerdasan beripikir dan keterampilan untuk menciptakan kemahiran bertindak

akan menjadi kabur serta suatu saat akan terkubur.

2. Penyakit kolusi, kolusi adalah suatu tindakan dari kedua belah pihak untuk

menciptakan kesepakatan yang sesungguhnya bertentangan dengan etika,

moralitas, rasionalitas, keimanan dan peraturan yang berlaku dalam suatu bentuk

ikatan kerjasama. Pengertian kolusi ini jelas bahwa sangat merugikan bagi orang-

orang yang berprilaku berdasarkan tindakan moralitas, etika, rasionalitas,

keimanan dan peraturan yang berlaku dalam ikatan kerjasama. Dan kemudian

menguntungkan secara konkert atau secara realita bagi orang-orang yang

31
perbuatan atau tindakannya bertentangan dengan moralitas, etika, rasionalitas,

keimanan dan peraturan yang berlaku dalam bentuk ikatan kerjasama.

Penyakit atau patologi kolusi administrasi telah menjangkit hampir

disemua lini dalam adminstrasi Negara maupun administrasi pemerintahan. Mulai

dari tingkat pusat sampai kepada tingkat daerah kabupaten atau kota, bahkan

sampai kepada desa - desa. Penyakit atau patologi kolusi administrasi ini

secepatnya perlu diagnosis sehingga dapat kembali sehat.

3. Penyakit korupsi, penyakit atau patologi korupsi administrasi merupakan

suatu penyakit yang sangat ditakuti oleh semua ikatan bentuk kerjasama manusia

melalui organisasi internasional , negara, pemerintah, sampai kepada organisasi

swasta pun, semuanya ketakutan bila terjangkit virus-virus penyakit atau patologi

korupsi yang dapat mematikan aktivitas administrasi. Penyakit korupsi yang

begitu ditakuti oleh semua pihak mulai dari anggota ikatan kerjasama yang

terendah sampai kepada anggota yang tertinggi, atau mulai dari anggota

masyarakat terendah sampai kepada anggota masyarakat yang tertinggi.

Korupsi adalah suatu perbuatan atau tindakan seseorang atau beberapa

orang baik statusnya sebagai bawahan maupun pejabat dalam suatu organisasi

yang melakukan pelanggaran etika, moralitas, rasionalitas, keyakinan dan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mendapatkan sesuatu

keuntungan dalam rangka memenuhi keinginan dan kebutuhan seseorang atau

beberapa orang yang dapat berakibat merugikan orang lain atau Negara.

32
Menurut Kartini Kartono korupsi adalah tingkah laku individu yang

menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi,

merugikan kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejalah salah

pakai, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan Negara dengan menggunakan

wewenang dan kekuatan formal untuk memperkaya dirinya dengan jalan

menggunakan segala kekuatan yang dimiliki terutama bersumber dari jabatan

kewenagan.

4. Penyakit keserakahan, penyakit atau patologi keserakahan dalam

pelaksanaan ativitas adminsitrasi adalah suatu metode teknik dan taktik yang

dilakukan seseorang anggota yang terkait dalam ikatan bentuk kerjasama berpikir

dan bertindak untuk dapat menguasai sebagian atau bahkan kalau bisa

keseluruhan faktor - faktor kenikmatan khususnya yang berupa material dengan

mengorbankan orang lain.

Penyakit atau patologi keserakahan manusia sebenarnya adalah suatu

penyakit yang sangat kejam karena dapat menghancurkan ikatan kerjasama dan

bahkan mematikannya.

Penyakit atau patologi keserakahan bukan semata-mata hanya

mengumpulkan harta benda yang melimpah untuk memenuhi kebutuhan, tetapi

lebih banyak diarahkan kepada pemenuhan keinginan. Keinginan yang berlebihan

hanya menimbun harta benda saja dengan memperolehnya tidak wajar.

33
5. Penyakit egoisme, penyakit atau patologi egoism terhadap pelaksanaan

kegiatan atau aktivitas administrasi adalah sifat - sifat manusia yang terkait dalam

bentuk kerjasama yang selalu ingin menang sendiri ketika mendiskusikan sesuatu

pemikiran, baik secara ilmiah maupun pemikiran terhadap suatu penyelesaian

permasalahan atau kegiatan. Egoism sebenarnya adalah suatu virus penyakit atau

patologi dalam pelaksanaan setiap aktivitas administrasi. Jika terlalu kuat

pengaruh manusia yang memiliki sifat egoisme sangat memungkinkan aktivitas

yang dilakukan dalam bentuk kerjasama itu akan bersifat negative dan tidak

mustahil dapat mematikan atau membubarkan suatu bentuk kerjasama yang

dituntuk oleh administrasi.

6. Persekongkolan jabatan, jabatan dari sudut pandang pengaturan dari

berbagai aktivitas sering juga diistilahkan dengan pemimpin, sedangkan jabatan

yang melakukan aktivitas diistilahkan sebagai yang dipimpin. Persekongkolan

adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan oleh dua orang manusia atau lebih

untuk melakukan kesepakatan yang tersembunyi guna mendapatkan sesuatu yang

diinginkan kedua belah pihak walaupun bertentangan dengan ketentuan

perundang-undangan yang berlaku dalam komunitas masyarakat tertentu.

Persekongkolan jabatan adalah suatu usaha yang dilakukan dua orang

manusia atau lebih dengan menciptakan kesepakatan guna mempertahankan atau

memperoleh suatu jabatan tertentu dalam organisasi dengan mengorbankan orang

lain. Persekongkolan jabatan yang senantiasa terjadi dalam kehidupan manusia

34
dalam suatu organisasi sebenarnya merupakan bagian penyakit yang dapat

menciptakan ketidakstabilan dan bahkan mungkin kematian suatu organisasi.

7. Persekongkolan pekerjaan, dalam suatu ikatan organisai ada berbagai jenis

pekerjaan ada jenis pekerjaannya ringan tetapi hasilnya besar dan ada juga

sebaliknya pekerjaan nya sulit tapi hasilnya kurang. Fenomena inilah yang

merupakan penyebab utama persekongkolan pekerjaan. Persekongkolan pekerjaan

kenyataanya semakin menambah panjangnya jerit tangis anggota ikatan kerjasama

maupun naggota masyarakat pada umumnya yang tidak memiliki kemampuan

dalam rangka melakukan suatu tindakan persekongkolan.

8. Persekongkolan status adalah usaha mempertahankan status yang

dimilikinya dengan menyebabkan melemahkan ataupun merugikan organisasi.

Persekongkolan status  yang di miliki oleh manusia dalam sebuah organisasi jika

dibiarkan tumbuh dan berkembang akan merusakn norma-norma social, moralitas

masyarakat, rasionalitas keilmuan.

9. Persekongkolan kolega, sasaran manusia dalam melakukan

persekongkolan dalam kolega atau sering diitilahkan dengan pertemanan ini

senatiasa bertujuan untuk menciptakan keeratan pertemanan atau ikatan

keprofesian yang kuat, sehingga kepuasan dalam kehidupan kedua belah pihak

senatiasa dapat terjamin walaupun mungkin dapat merugikan pihak-pihak tertentu.

Tindakan merugikan orang lain kerena persekongkolan kolega merupan suatu

35
tindakan yang dapat menciptakan penyakit administrasi bila tidak ditangani dan

diarahkan kepada yang positif kemungkinan dapat menghambat atau merusak

dalam pertumbuhan organisai maupun perkembangan administrasi baik dalam arti

keilmuan maupun profesionalitas.

10. Persekongkolan keluarga, virus patologi persekongkolan dalam berbagai

anggota keluarga terhadap proses aktivitas administrasi dalam sebuah ikatan

kerjasama janganlah dianggap bahwa persepsi dan pandangan anggota keluarga

merupakan salah satu ancaman yang dapat mengangu tatapi juga dapat merupakan

penyebab utama lahirnya kekhawatiran   keberlangsungan hidup administrasi.

Kekeliruan dan kesalahan terhadap penanganan virus patologi ini dalam

administrasi akan dapat menciptakan kekacauan dan ketidakstabilan kondisi

pelaksanaan aktivitas setiap anggota birokrasi tersebut.

Menerapi virus patologi ini bukan saja dilakukan oleh dokter konsultan

yang memiliki kemampuan spesialisasi dari berbagai jenis virus yang handal

tetapi juga harus didukung oleh pengalaman terhadap penanganan penaggualan

virus patologi persekongkolan yang sebenarnya bukan saja merugikan manusia

lain tetapi merugikan dirinya sendiri. Oleh sebab itu harus dilibatkan seluruh

jajaran anggota birokrasi yang mulai dari tingkat pimpinan yang tertinggi sampai

pada yang terendah.

2.4 Solusi untuk Patologi Birokrasi

36
Untuk mengatasi patologi birokrasi, sebaiknya seluruh lapisan masyarakat

saling bahu - membahu bekerjasama untuk melaksanakan proses pemerintahan

dengan sebaik-baiknya. Solusi dari Patologi Birokrasi tidak akan menjadi obat

yang mujarab jika seluruh lapisan masyarakat tidak saling mendukung. Karena

setiap element baik dari pemerintah, dunia bisnis, masyarakat kecil, dan pihak

swasta memiliki keterkaitan yang sangat pokok dalam berjalannya pemerintahan. 

Solusi yang ditawarkan untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu: 

Yang pertama, perlu adanya reformasi administrasi yang global. Artinya

reformasi administrasi bukan hanya sekedar mengganti personil saja, bukan hanya

merubah nama intansi tertentu saja, atau bukan hanya mengurangi atau

merampingkan birokrasi saja namun juga reformasi yang tidak kasat mata seperti

upgrading kualitas birokrat, perbaikan moral, dan merubah cara pandang birokrat,

bahwa birokrasi merupakan suatu alat pelayanan publik dan bukan untuk mencari

keuntungan. 

Yang kedua pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan

yang jelas. Kekuatan hukum sangat berpengaruh pada kejahatan-kejahatan,

termasuk kejahatan dan penyakait-penyakit yang ada di dalam birokrasi. Kita

sering melihat bahwa para koruptor tidak pernah jera walaupun sering keluar

masuk buih. Ini dikarenakan hukuman yang diterima tidak sebanding dengan apa

yang diperbuat. Pembentukan supremasi hukum dapat dilakukan dengan cara:

1. Kepemimpinan yang adil dan kuat

2. Alat penegak hukum yang yang kuat dan bersih dari kepentingan politik

37
3. Adanya pengawasan tidak berpihak dalam pelaksanaan kegiatan

pemerintahan dalam birokrasi.

Yang ketiga ialah dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan

transparansi. Kurangnya demokrasi dan rasa ber-tanggung jawab yang ada dalam

birokrasi membuat para birokrat semakin mudah untuk menyeleweng dari hal

yang semstinya dilakukan. Pengawasan dari bawah dan dari atas merupakan alat

dari penciptaan akuntabilitas dan transparansi ini. Pembentukan E-Government

diharapkan mampu menambah transparansi sehingga mampu memperkuat

akuntabilitas para birokrat. Merubah Patologi Birokrasi Melalui Prinsip Good

Governance Mar'ie Muhammad (Media Transparansi 1998) menyatakan bahwa

good governance itu ada jika pembagian kekuasaan ada.  Jadi ada disperse of

power, bukan concentrate of power. Good governance sama dengan disperse of

power, pembagian kekuasaan di tambah akuntabilitas publik dan transparansi

publik. Jadi kalau tidak ada prinsip ini, good governance perlu untuk menekan

penyalahgunaan kekuasaan atau kewenangan yang biasanya itu menimbulkan

korupsi. Dan korupsi itu selalu abuse of power. Semakin tinggi kualitas dari good

governance, semakin rendah korupsi. Sebaliknya semakin rendah kualitas good

governance, korupsinya semakin tinggi. Dari penyataan di atas tergambar dengan

jelas betapa prinsip - prinsip good governance dapat mencegah patologi birokrasi

terutama dalam hal korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Untuk lebih detailnya prinsip - prinsip good governance dapat merubah

patologi birokrasi, maka dapat diuaraikan sebagai berikut:

38
1. Participation. Melalui prinsip ini akan masyarakat terlibat dalam

pembuatan keputusan yang bangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan

berbicara serta berpartsipasi secara konstruktif, sehingga dengan demikian

maka pemerintahan tidak menjadi otoriter dalam mengambil keputusan.

Keputusan yang dihasilakan merupakan representasi dari keinginan

masyarakat dan tidak dapat diintervensi oleh pihak-pihak yang ingin

memanfaatkan pemerintah.

2. Rule of law. Supremasi hukum merupakan langkah yang harus diambil

untuk meminimalisir atau menghilangkan praktek-praktek patologi dalam

birokrasi. Dengan penegakan hukum yang baik maka indikasi untuk

melakukan kesalahan akan terhapus karena para birokrat akan merasa

takut dengan ancaman hukum.

3. Transparansi. Melalui prinsip transparansi maka segala hal yang

dilakukan oleh pemerintah atau birokrat dapat di kontrol oleh masyarakat

melalui informasi yang terbuka dan bebas diakses. Transparansi ini

mendorong birokrasi untuk senantiasa menjalankan aturan sesuai

ketentuan dan perundang-undangan, karena bila tidak sasuai masyarakat

pasti mengetahui dan melakukan penututan.

4. Responsiveness. Pradigama baru birokrasi menekanakan bahwa

pemerintah harus dapat melayani kebutuhan masyarakat umum dan

memberi respon terhadap tuntutan pembangunan. Patologi yang selama ini

terjadi dimana pemerintah dilayani oleh masyarakat, maka dengan prinsip

39
responsiveness pemerintah harus sedapat mungkin memberikan pelayanan

kepada stakeholders.

5. Effectiveness and efficiency. Pemborosan yang terjadi dalam praktek

pengelolaan organisasi birokrasi dapat diminimalisir oleh prinsip ini.

Terutama dalam pengelolaan anggaran pemerintah.

6. Accountability. Melalui pertanggungjawaban kepada publik maka

birokrasi menjadi hati-hati dalam bertindak, dengan akuntabilitas publik

pemerintah harus memberikan keterangan yang tepat dan jelas tentang

kinerjanya secara keseluruhan.

7. Strategic vision. Melalui straegi visi maka akan tumbuh dalam setiap

birokrat akan nilai-nilai idealisme dan harapan-harapan organisasi dan

negara untuk masa yang akan datang. Nilai-nilai dan harapan-harapan ini

akan memeberikan kesan praktek pelaksaan pekerjaan birokrasi. 

Ada beberapa cara penanganan yang dilakukan untuk virus Patologi

Birokrasi antara lain sebagai berikut. Penanganan virus penyakit nepotisme dalam

administrasi seharusnya dilakukan secara terus menerus, karena kemungkinan

akan berkembang apabila kita tidak waspada. Tindakan yang dilakukan itu

merupakan suatu permulaan karena diawali oleh pemikiran yang dilandasi

wawasan keilmuan,  ketangguhan moralitas, dan keteguhan iman. Oleh sebab itu

kita semua harus senantiasa menjunjung tinggi niali kebenaran sehingga virus-

virus penyakit nepotisme itu tidak akan mengancam kehidupan kita setiap saat.

Sebaikanya semua manusia yang terlibat dalam kerja sama untuk melakukan

40
aktivitas adminsitrasi saling mengontorol dan mengingatkan antara satu dengan

yang lainnya tentang bahanya virus penyakit nepotisme.

Penaganan virus patologi kolusi dalam berbagai aktivitas admnistrasi

diharapkan dapat tercipta sebuah pengaturan hubungan dan keharmonisan kerja

antar sesame manusia yang terkait dalam bentuk kerja sama. Diharapkan pula

terciptanya keteraturan kerja yang dilakukan oleh seluruh unsur yang ada dalam

administrasi. Tindakan penanganan virus tersebut bukanlah menjadi akhir

persoalan, malainkan akan berdinamisasi sesuai dengan tuntutan perubahan

kebutuhan anggota yang terkait dalam kerjasama. Penaganan virus patologi kolusi

dalam administrasi yang tidak tepat terutama konsultan yang bukan ahli dalam

rangka menerapi virus patologi kolusi sebenarnya bukan saja merugikan manusia

yang terkait dalam kerjasama tetapi mungkin manusia lainnya yang berada diluar

ikatan kerjasama.

Untuk pengobatan atau menerapi penyakit atau patologi korupsi dapat

dilakukan langkah - langkah :

 penyadaran etika

 penyadaran moralitas

 peningkatan keimanan

 kelayakan hidup

 penegakan peraturan

 pemberian pemahaman

 pemberian sanksi

41
Penanganan virus patologi keserakahan dalam administrasi diperlukan

ketegasan dan kejujuran secara individual disamping harus pula diperlakukan atau

dengan katalain dispesialisasikan untuk dapat memahami bahwa keserakahan

dengan merampas hak orang lain disamping mendapat hukuman moral juga

mendapatkan jeratan hukum yang berlaku.

Untuk memerangi patologi egoisme yang menyerang dalam pelaksanaan

aktivitas administrasi sebenarnya banyak cara yang dapat dilakukan agar hasil

yang diharapkan dalam ikatan kerjasama itu dapat terwujud dengan baik.

Langkah-langkah untuk memerangi patologi tersebut adalah :

 melalui interaksi social

 melakukan keterbukaan

 malalui penididikan dan pelatihan

 melalui kelompok informal dan kelompok formal

Berikut ini adalah langkah-langkah untuk mencegah berkembang biaknya

virus patologi persekongkolan jabatan :

 Pengisian atau rekrutmen jabatan

 Batasan kewenagan dan tanggung jawab dalam jabatan

 Persyaratan jabatan

 Penghasilan jabatan.

Bagaimana mengurangi atau menghilangkan persekongkolan pekerjaan

dalam suatu ikatan dalam bentuk kerjasama yang dewasa ini dimana - mana

terdengar jerit tangis manusia yang tidak memiliki kemampuan itu. Yang perlu

diciptakan adalah :

42
 Menciptakan kondisi sosial yang baik

 Menciptakan emosional yang cerdas

 Menciptakan intelektualitas yang baik

 Menciptakan karakter yang baik

 Menciptakan spiritualitas yang baik

Terhadap manusia yang mengalami atau menderita virus penyakit

persekongkolan status ini sebaiknya memberikan langkah - langkah :

a. Menanamkan pengertian pemahaman tentang virus penyakit

persekongkolan status dalam aktivitas administrasi yang

sesungguhnya bukan saja akan merugikan sekelompok orang

melainkan lebih pada perkembangan dan penguatan proses

administrasi itu sendiri dan pencapaian tujuan yang efektif, efisian dan

rasional.

b. Memberikan kesadaran bahwa hasil yang dicapai akibat dari virus

penyakit ini akan lebih banyak kerugian dan kesengsaraan bila

dibandingkan dengan manfaat dan keuntungan yang diterima

c. Memberikan teknik atau cara menghindari sehinggga semua anggota

dalam proses kerjasama aktivitas dapat terindar dari virus penyakit ini.

Sumber lain yang juga berupaya memberantas patologi birokrasi

menyebutkan berikut alternatif pemecahan masalah patologi di tubuh birokrasi di

Indonesia dalam membangun pelayanan publik yang efisien, responsif, dan

akuntabel dan transparan perlu ditetapkan kebijkan yang menjadi pedoman

perilaku aparat birokrasi pemerintah sebagai berikut:

43
 Dalam hubungan dengan berpola patron, klien tidak memiliki standar

pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif. Perlu membuat peraturan

perundang - undangan pelayanan publik yang memihak pada rakyat.

 Dalam hubungan dengan struktur yang gemuk, kinerja berbelit – belit,

perlu dilakukan restrukturisasi brokrasi pelayanan publik.

 Untuk mengatasi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme selain hal diatas

diharapkan pemerintah menetapkan perundangan dibidang infomatika (IT)

sebagai bagian pengembangan dan pemanfaatan e - goverment agar

penyelenggaraan pelayanan publik terdapat transparasi dan saling kontrol.

 Setiap daerah provinsi dan kabupaten dituntut membuat Perda yang jelas

mengatur secara seimbang hak dan kewajiban dari penyelenggara dan

pengguna pelayanan publik.

 Setiap daerah diperlukan lembaga Ombusman. Lembaga ini bisa

berfungsiingin mendudukan warga pada pelayanan yang prima.

Ombusman harus diberikan kewenangan yang memadai untuk melakukan

investigasi dan mencari penyelesaian yang adil terhadap perselisihan

antara pengguna jasa dan penyelenggara dalam proses pelayanan publik.

44
 Peran kualitas sumber daya aparatur sangat mempengaruhi kualitas

pelayanan, untuk itu kemampuan kognitif yang bersumber dari intelegensi

dan pengalaman, skill atau ketrampilan, yang didukung oleh sikap

(attitude) merupakan faktor yang dapat digunakan untuk memecahkan

masalah patologi atau penyakit birokrasi yang berhubungan dengan

pelayanan publik di Indonesia. Untuk itu pelatihan diharapkan mampu

menjadi program yang berkelanjutan agar sumber daya aparatur memeliki

kecerdasan inteltual,emosional dan spiritual sebagai landasan dalam

pelayanan publik.

Kutipan Lord Acton (1972), ”Power tends to corrupt, abolute power

corrupt absolutlely” (Kekuasan cenderung untuk berbuat korupsi, kekuasan yang

absolut berkorupsi secara absolut pula) secara implisit menjelaskan hubungan

bagaimana seseorang yang berkuasa terlalu lama akan mempunyai kecenderungan

untuk menyelewengkan kekuasannya. Manifestasinya dalam bentuk KKN.

Sehingga langkah strategis pertama yang harus diambil adalah

menempatkan para birokrat yang sudah terlalu lama berkuasa berkecimpung di

dalam urusan pelayanan ke posisi yang lain (tour of duty). Baik itu rotasi

horisontal ataupun promosi vertikal.

Langkah strategis yang kedua adalah dengan sedini mungkin mengenalkan

teknologi informasi di lingkungan Pemerintah. Yang pertama dengan

menghindarkan interaksi/transaksi uang cash antara pelanggan dan pelayan. Hal

ini didasarkan atas asumsi bahwa semakin sering seseorang mengadakan kontak

langsung dengan uang tunai, semakin besar pula kesempatan orang itu untuk

45
mengadakan KKN. Walaupun katakanlah sudah secara ekspilist diterangkan biaya

serta waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan proses pelayanan, akan tetapi

praktek di lapangan akan berbicara lain. Hal seperti ini dapat disiasati dengan

menyediakan mesin.

          Contoh kongkrit yang mungkin bisa diaplikasikan adalah dengan

pengadaan mesin pencetak perangko ataupun kupon sebagai pengganti uang tunai

(stamp vending machine) seperti yang telah dilaksanakan di Jepang. Maksudnya,

setiap formulir aplikasi permohonan pelayanan hanya butuh sehelai “perangko”

ataupun “kupon” bertuliskan besaran biaya yang dibutuhkan untuk proses

penyelesaiannya. Hal ini akan membawa konsekuensi bahwa seseorang yang

bertugas melayani pelanggan tidak akan disibukkan atau direpotkan dengan

urusan uang tunai di sekitar loket mereka. Mereka hanya akan berkonsentrasi di

seputaran urusan administrasi persuratan saja, tidak ada yang lain. Hal ini cukup

efektif dalam menekan angka kolusi di Jepang yang biasa disebut dalam ungkapan

shuden no shita (lengan baju bawah baju kimono). Dampak seperti inilah

diharapkan dapat menekan angka KKN di dalam proses birikrasi pelayanan publik

kita.

          Cara lain dapat berupa transfer uang di bank dengan sistem online dengan

mengadakan kerjasama antara pihak penyedia layanan (Pemerintah Daerah)

dengan pihak bank. Yang kedua, ditinjau dari sudut pandang pengguna jasa

pelayanan, yaitu dengan memperkenalkan budaya antri yang tersistematis melalui

pengadaan mesin antri (queuing machine). Kenapa budaya antri? Karena

masyarakat Indonesia pada umumnya masih belum menganggap antri sebagai

46
pola atau gaya hidup yang efektif. Sistem ini telah banyak diaplikasikan di

instansi - instansi swasta dan hasilnyapun cukup efektif untuk menciptakan

suasana yang tertib dan kondusif.

         Kemudian berkenaan dari pihak birokrat sendiri sebagai penyedia

monopoli pelayanan publik, sebagai wujud pertanggungjawaban langsung (direct

responsibility) kepada pengguna jasa layanan, alangkah lebih baiknya apabila di

luar loket pelayanan dipasang nama petugas pelayanan yang bertugas pada hari itu

sehingga langkah strategis ketiga ini diharapkan apabila terjadi ketidakpuasan

pelanggan kepada penyedia jasa layanan akan langsung dapat dicatat nama

petugasnya dan segera bisa ditindaklanjuti.

           Ketiga langkah strategis di atas hanyalah beberapa cara di antara sekian

banyak cara yang dapat ditempuh Pemerintah dalam mengeliminasi tindakan

KKN yang sudah berakar di setiap lini kehidupan bangsa kita. Memang

sebenarnya akar dari tindakan KKN ini tidak terlepas dari belum terpenuhinya

kesejahteraan aparatur negara, kaitannya dengan pendapatan take home pay

mereka. Akan tetapi, berdasarkan penelitian dari The World Bank Development

Research Group Public Service Delivery (Juni, 2001) meragukan mengenai gaji

kecil aparatur negara merupakan alasan untuk melakukan korupsi. Hanya

disebutkan disana bahwa merubah struktur penggajian mungkin suatu bagian yang

penting dalam reformasi birokrasi, tapi seharusnya jangan dilihat sebagai alat

utama untuk melawan korupsi.

          Kita bersyukur bahwa RUU Pelayanan Publik yang sedang digodok di

DPR saat ini merupakan bentuk political will dari pihak Pemerintah dan DPR

47
dalam mengakomodasi hak serta kewajiban baik untuk birokrat maupun

masyarakat. Dan juga dengan naiknya gaji PNS mulai awal tahun depan

diharapkan dapat mendongkrak semangat aparatur negara untuk lebih giat dan

semangat dalam melayani publik sesuai dengan fungsi pamong prajanya.

48
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari materi yang telah terurai di atas dapat di simpulkan bahwa

patologi birokrasi adalah penyakit di dalam birokrasi yang sangat menggagu

jalannya aktivitas di dalam birokrasi tersebut. Penyakit birokrasi yang terjadi

bukan saja membahayakan manusia di dalam organisasi tersebut yang

melakukannya tetapi juga orang lain di dalam organisasi tersebut akan merasakan

bahaya patologi birokrasi tersebut, bahkan lebih dari itu patologi dalam birokrasi

dapat mendatangkan bahaya bagi seluruh masyarakat.

Risman K. Umar (2002) mendifinisikan bahwa patologi birokrasi adalah

penyakit atau bentuk perilaku birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai etis,

aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan perundang-undangan serta norma-norma

yang berlaku dalam birokrasi.

            Menurut Sondang P. Siagian (1988) ada beberapa patologi birokrasi yang

dapat dijumpai, antara lain :

1. Penyalahgunaan wewenang dan tanggung jawab

2. Pengaburan masalah

3. Indikasi korupsi, kolusi dan nepotisme

4. Indikasi mempertahankan status quo

49
5. Empire bulding (membina kerajaan)

6. Ketakutan pada perubahan, inovasi dan resiko

7. Ketidakpedulian pada kritik dan saran

8. Takut mengambil keputusan

9. Kurangnya kreativitas dan eksperimentasi

10. Kredibilitas yang rendah, kurang visi yang imajinatif

11. Minimnya pengetahuan dan keterampilan, dll.

Solusi untuk mengatasi Patologi Birokrasi yaitu:

1. Perlu adanya reformasi administrasi yang global.

2. Pembentukan kekuatan hukum dan per-Undang-Undangan yang jelas

3. Dengan cara menciptakan sistem akuntabilitas dan transparansi.

3.2 Saran

Dari materi diatas saran dari penulis mari bersama-sama jangan terlibat

atau sekali-kali berada di dalam patologi birokrasi, tetapi marilah kita sama-sama

mencegah bahkan memberantas patologi yang ada di dalam birokrasi.

50
DAFTAR PUSTAKA

Mustafa Delly.2013. Birokrasi Pemerintahan. Penerbit Alfabeta. Bandung.

Miftah Thoha.2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Penerbit Raja Grafindo.

Jakarta.

Siagian, Sondang. P.1994.Patologi Birokrasi: Analisis, Identifikasi dan

Terapinya. Jakarta. Ghalia Indonesia

https://www.caradaftarcpns.com/cpns-2019-kab-manggarai

51

Anda mungkin juga menyukai