Anda di halaman 1dari 10

KONSEP DASAR PENYAKIT TUBERKULOSIS LARING

A. Definisi
Tuberkulosis laring merupakan salah satu tuberkulosis ekstrapulmonal
yang disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis (Novaldi & Seres,
2014).
Tuberkulosis laring adalah radang spesifik pada laring yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis selalu disertai dengan tuberkulosis paru
aktif (Adams et al, 2012).

B. Etiologi
Tuberkulosis laring disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis,
yang merupakan bakteri tahan asam yang secara sekunder berasal dari
tuberkulosis paru. Kuman dilepaskan ke udara ketika seseorang berbicara,
bersin, atau batuk. Untuk droplet partikel kuman berukuran >5-10
mikrometer dapat tersebar dalam radius 1,5 meter. Apabila terhirup, kuman
akan dibersihkan oleh silia saluran pernafasan bagian atas. Pada kuman
dengan ukuran <5 mikrometer akan menembus jauh ke dalam bronkiolus,
sehingga dapat menimbulkan suatu proses infeksi (Mark & Berkow, 2008).

C. Manifestasi Klinis
Menurut Winda & Bakti (2012), tanda gejala tuberkulosis laring antara
lain:
1. Suara parau yang berlangsung berminggu-minggu, mulanya ringan tetapi
dapat progresif menjadi disfonia (suara serak/gangguan pada pita suara)
atau afonia berat (kehilangan sumber suara) pada stadium lanjut.
2. Tenggorokan terasa kering, panas, dan nyeri (rasa nyeri biasanya tidak
berat, kecuali jika ada perikondritis).
3. Sakit saat menelan merupakan tanda yang khas. Nyeri waktu menelan
dirasakan lebih hebat bila dibandingkan dengan nyeri yang disebabkan
radang lainnya.
4. Nafsu makan menurun.
5. Sesak napas akibat udem, tuberkuloma atau adanya fiksasi pita suara.
6. Gejala sistematik tuberkulosis paru biasanya juga ditemukan antara lain
berupa keluhan demam, menggigil, berkeringan pada malam hari, berat
badan menurun, kelelahan, dan batuk dengan sputum terkadang batuk
darah juga dapat terjadi.

D. Patofisiologi
Tuberkulosis laring dapat terjadi karena infeksi primer maupun
sekunder. Pada infeksi primer terjadi karena tidak ada keterlibatan
tuberkulosis paru dan kuman secara langsung menginfeksi mukosa laring
melalui partikel udara dan mengakibatkan terbentuknya granuloma. Kuman
ini melayang-layang di udara yang dapat terhirup oleh pasien lain. Faktor
utama dalam perjalanan infeksi adalah kedekatan dan lamanya kontak serta
derajat infeksius pasien, semakin dekat seseorang berada dengan pasien,
maka semakin banyak kuman tuberkulosis yang mungkin akan dihirupnya.
Pada infeksi sekunder, tuberkulosis laring terjadi bisa karena
mekanisme penyebaran secara langsung dari tuberkulosis paru yang aktif,
menghasilkan sputum yang sangat infeksius dan akibat batuk keluar dari
trakeobronkial. Mycobacterium tuberculosis dapat mencapat mukosa laring
melalui 2 jalur yaitu Bronkogenik adalah penyebaran yang terjadi karena
kontak dengan sputum yang mengandung mycobacterium tuberculosis; dan
Hematogen dan limfogen adalah penyebaran yang terjadi tanpa kontak
dengan sputum, melainkan mycobacterium tuberculosis terbawa melalui
pembuluh darah dan pembuluh limfe submukosa dari lokasi infeksi di paru
dan kemudian terakumulasi di submukosa laring Winda & Bakti (2012).
E. Pathway

F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laringoskopi, untuk memeriksa kondisi laring
ditenggorokan ataupun gangguan pada laring.
2. Pemeriksaan Hispatologi dan kultur, yang dapat menujukkan adanya
radang granulomatosa, adanya sel langhans pada pemeriksaan hispatologi
serta ditemukannya bakteri tahan asam pada kultur sputum.
3. Pemeriksaan foto toraks, untuk memperlihatkan adanya kelainan yang
berhubungan kuat dengan tuberkulosis paru (Spector, 2010).

G. Penatalaksanaan
Angka TB dapat ditekan dengan pemberian Obat Anti Tuberkulosis
(OAT), penggabungan metode deteksi dan pencegahan secara dini, serta
edukasi mengenai proses penyebaran infeksi baik pada penderita maupun
pada lingkungan sekitar. Pemberian OAT pada TB bertujuan menurunkan
mata rantai penularan, mengobati infeksi yang terjadi, mencegah kematian,
dan mencegah angka kekambuhan. Pengobatan TB laring dengan TB paru
adalah sama baik dari segi kombinasi obat, dosis dan lama pengobatan
(Novaldi & Seres, 2014).
KONSEP DASAR KEPERAWATAN TUBERKULOSIS LARING

A. Pengkajian Keperawatan
Berdasarkan klasifikasi Doenges dkk. (2000) riwayat keperawatan yang
perlu dikaji adalah:
1. Aktivitas/istirahat
Gejala:
a. Kelelahan umum dan kelemahan
b. Dispnea saat kerja maupun istirahat
c. Kesulitan tidur pada malam hari atau demam pada malam hari,
menggigil dan atau berkeringat.
Tanda:
a. Takikardia, takipnea/dispnea pada saat kerja
b. Kelelahan otot, nyeri, sesak (tahap lanjut)
2. Sirkulasi
Gejala: Takikardia, disritmia, adanya S3 dan S4, bunyi gallop (gagal
jantung akibat effusi), nadi apikal (PMI) berpindah oleh adanya
penyimpangan mediastinal, bunyi rendah denyut jantung,
hipertensi/hipotensi, dan distensi vena jugularis.
3. Integritas ego
Gejala: Stres yang berhubungan lamanya perjalanan penyakit, masalah
keuangan, perasaan tidak berdaya/putus asa, menurunnya
produktivitas.
Tanda:
a. Menyangkal (khususnya pada tahap dini)
b. Ansietas, ketakutan, gelisah, iritabel.
c. Perhatian menurun, perubahan mental (tahap lanjut)
4. Makanan dan cairan
Gejala: Kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan.
Tanda:
a. Turgor kulit buruk, kering, bersisik
b. Kehilangan massa otot, kehilangan lemak subkutan
5. Nyeri dan Kenyamanan
Gejala:
a. Nyeri dada meningkat karena pernapsan, batuk berulang
b. Nyeri tajam/menusuk diperberat oleh napas dalam, mungkin
menyebar ke bahu, leher atau abdomen.
Tanda:
a. Berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi, gelisah.
6. Pernapasan
Gejala:
a. Batuk (produktif atau tidak produktif)
b. Napas pendek
c. Riwayat terpajan tuberkulosis dengan individu terinfeksi
Tanda:
a. Peningkatan frekuensi pernapasan
b. Peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan pada
dada, leher, retraksi interkostal, ekspirasi abdominal kuat
c. Pengembangan dada tidak simetris
d. Perkusi pekak dan penurunan fremitus, pada pneumothorax perkusi
hiperresonan di atas area yang telibat.
e. Bunyi napas menurun/tidak ada secara bilateral atau unilateral
f. Bunyi napas tubuler atau pektoral di atas lesi
g. Crackles di atas apeks paru selama inspirasi cepat setelah batuk
pendek (crackels posttussive)
h. Karakteristik sputum hijau purulen, mukoid kuning atau bercak darah
i. Deviasi trakeal
7. Keamanan:
Gejala: Kondisi penurunan imunitas secara umum memudahkan infeksi
sekunder.
Tanda: Demam ringan atau demam akut.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas.
2. Pola napas tidak efektif b.d kelemahan otot pernapasan.
3. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan.
4. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan.

C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas.
Tujuan:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka
Bersihan Jalan Napas Meningkat dengan kriteria hasil:
 Produksi sputum menurun.
 Mengi menurun.
 Wheezing menurun.
 Dipsnea menurun

Intervensi:
Latihan Batuk Efektif (I.01006)
a. Observasi
 Identifikasi kemampuan batuk
 Monitor adanya retensi sputum
 Monitor tanda dan gejala infeksi saluran napas
 Monitor input dan output cairan ( mis. jumlah dan karakteristik)
b. Terapeutik
 Atur posisi semi-Fowler atau Fowler
 Pasang perlak dan bengkok di pangkuan pasien
 Buang sekret pada tempat sputum
c. Edukasi
 Jelaskan tujuan dan prosedur batuk efektif
 Anjurkan tarik napas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan
selama 2 detik, kemudian keluarkan dari mulut dengan bibir
mencucu (dibulatkan) selama 8 detik
 Anjurkan mengulangi tarik napas dalam hingga 3 kali
 Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah tarik napas dalam
yang ke-3
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian mukolitik atau ekspektoran, jika perlu
2. Pola napas tidak efektif b.d kelemahan otot pernapasan.
Tujuan:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka Pola
Napas Membaik dengan kriteria hasil:
 Dispnea menurun.
 Penggunaan otot bantu napas menurun.
 Frekuensi napas membaik.

Intervensi:
Manajemen Jalan Napas (I. 01011)
a. Observasi
 Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
 Monitor bunyi napas tambahan (mis. Gurgling, mengi, weezing,
ronkhi kering)
 Monitor sputum (jumlah, warna, aroma)
b. Terapeutik
 Pertahankan kepatenan jalan napas dengan head-tilt dan chin-lift
(jaw-thrust jika curiga trauma cervical)
 Posisikan semi-Fowler atau Fowler
 Berikan minum hangat
 Lakukan fisioterapi dada, jika perlu
 Lakukan penghisapan lendir kurang dari 15 detik
 Keluarkan sumbatan benda padat dengan forsepMcGill
 Berikan oksigen, jika perlu
c. Edukasi
 Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari, jika tidak kontraindikasi.
 Ajarkan teknik batuk efektif
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian bronkodilator, ekspektoran, mukolitik, jika
perlu.

3. Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan.


Tujuan:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka
Status Nutrisi Membaik dengan kriteria hasil:
 Porsi makanan yang dihabiskan meningkat.
 Indeks masa tubuh membaik.
 Nafsu makan membaik.
Intervensi:
Manajemen Nutrisi (I. 03119)
a. Observasi
 Identifikasi status nutrisi
 Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrient
 Monitor asupan makanan
 Monitor berat badan
b. Terapeutik
 Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
 Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
 Berikan makan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
 Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
 Berikan suplemen makanan, jika perlu
c. Edukasi
 Ajarkan diet yang diprogramkan
d. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda
nyeri, antiemetik), jika perlu
 Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori
dan jenis nutrient yang dibutuhkan, jika perlu

4. Intoleransi aktivitas b.d kelemahan.


Tujuan:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1 x 24 jam, maka
Toleransi Aktivitas Meningkat dengan kriteria hasil:
 Kemudahan dalam melakukan aktivitas meningkat.
 Keluhan lelah menurun.
 Dispnea saat/setelah aktivitas menurun.

Intervensi:
Manajemen Energi (I. 05178)
a. Observasi
 Identifkasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
 Monitor kelelahan fisik dan emosional
 Monitor pola dan jam tidur
 Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
b. Terapeutik
 Sediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus (mis. cahaya,
suara, kunjungan)
 Lakukan rentang gerak pasif dan/atau aktif
 Berikan aktivitas distraksi yang menyenangkan
 Fasilitas duduk di sisi tempat tidur, jika tidak dapat berpindah
atau berjalan
c. Edukasi
 Anjurkan tirah baring
 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
 Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
d. Kolaborasi
 Kolaborasi dengan ahli gizi tentang cara meningkatkan asupan
makanan

D. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan rencana
asuhan keperawatan kedalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu
klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Perawat melaksanakan
tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap
perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap implementasi dengan mencatat
keperawatan dan respon klien terhadap tindakan tersebut (Anggarini, 2018).

E. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi keperawatan adalah proses yang berkelanjutan yaitu suatu
proses yang digunakan untuk mengukur dan memonitor kondisi klien dengan
membandingkan hasil tindakan yang telah dilakukan dengan kriteria hasil
yang sudah ditetapkan (Debora, 2017).

Anda mungkin juga menyukai