Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Istilah sakit perut berulang atau recurent abdominal pain (RAP)


pertama kali diperkenalkan oleh Apley dan Nais pada akhir tahun
1950. Penyebab sakit perut berulang dikelompokkan menjadi dua
disebabkan oleh suatu kelainan organik dan non-organik (fungsional).
Dilaporkan sebanyak 9-25% keluhan sakit perut berulang disebabkan
oleh adanya suatu kelainan organik. Kelainan organik tersebut dapat
berupa infeksi, inflamasi, obstruksi, sindrom malabsorbsi, kelainan
ginekologi, gangguan saraf, dan lainnya seperti keracunan makanan
(Dova Maryana, 2021). Menurut data dari WHO (World Health
Organitation) tahun 2012 ±7 miliar jiwa, amerika serikat berada diposisi
pertama dengan penderita abdomen pain terbanyak 47% dari 810.000
orang penduduk (Dova Maryana, 2021). Prevalensi abdomen di
diketahui 20-40% orang dewasa dari jumlah pasien yang datang ke
klinik gastroenterologi. Beragamnya angka prevalensi ini
disebabkan oleh perbedaan persepsi dari definisi dispepsia. Data
survei yang dilakukan oleh (Andriyanto, 2019) pada populasi umum
ditemukan bahwa kasus abdominal pain lebih tinggi dibandingkan
dengan data di rumah sakit atau pelayanan kesehatan, karena
hanya 20-25% yang akan mencari pertolongan medis.

Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan


prevalensi abdomen pain berkisar antara 12-45% dengan estimasi
rerata adalah 25%. Insidens abdomen pain per tahun diperkirakan
antara 1-11,5%, meskipun belum didapatkan data epidemiologi di
Indonesia (Dova Maryana, 2021). Prevelensi abadomen pain di
Indonesia tercatat 40,85% dari 800.000 orang penduduk. Berdasarkan
hasil pengamatan dan penelitian yang dilakukan oleh Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI) tahun 2021.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Amerika dan
Eropa dilaporkan bahwa faktor psikologis, status sosio ekonomi
rendah, adanya keluhan gangguan saluran cerna pada orang tua, dan
orang tua tunggal dihubungkan dengan kejadian sakit perut kronis
(Salatin, 2018). Data mengenai prevalensi dan faktor risiko sakit perut
berulang pada anak hingga saat ini tidak banyak dilaporkan terutama
di Kota Padang. Menurut hasil penelitian Vina 63,2% siswa SMA
Akselerasi di Kota Padang mengalami sakit perut berulang dimana
gambaran klinis yang banyak ditemukan yaitu dispepsia fungsional
sebanyak 45,8%.(Murjuanto, 2019). Berdasarkan data pada tahun
2017 yang berhubungan dengan sakit perut di seluruh Puskesmas
Kota Padang didapatkan angka kejadian terbanyak di Puskesmas
Andalas. Banyaknya faktor risiko yang diperkirakan sebagai penyebab
terjadinya sakit perut berulang pada anak dan berdasarkan lokasi
Puskesmas yang memiliki keluhan sakit perut terbanyak yaitu di
Kecamatan Padang Timur menyebabkan peneliti tertarik meneliti
tentang faktor risiko sakit perut berulang terutama pada anak usia 7-12
tahun di Kecamatan Padang Timur mengingat pada rentang usia
tersebut keluhan sakit perut berulang sering ditemukan (Novia, 2020).
Akut abdomen merupakan istilah yang digunakan untuk gejala-
gejala dan tanda-tanda dari nyeri abdomen dan nyeri tekan yang tidak
spesifik tetapi sering terdapat pada penderita dengan keadaan intra
abdominal akut yang berbahaya (catastrophe) (Erlin Hesti, 2019).
Nyeri akut abdomen atau acute abdoment adalah suatu kegawatan
abdomen yang dapat terjadi karena masalah bedah dan non bedah.
Pasien dengan akut abdomen datang dengan keluhan nyeri abdomen
yang terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung kurang dari 24 jam.
(Riska, 2019).
Sembilan dari 10 orang Amerika berusia 18 tahun atau lebih,
menderita nyeri minimal sebulan sekali, dan 42% merasakannya
setiap hari. Insiden nyeri abdomen akut dilaporkan sekitar 5-10% pada
kunjungan pasien ke unit gawat darurat. Kegawatan abdomen yang
datang ke rumah sakit dapat berupa kegawatan bedah maupun non
bedah (Erlin Hesti, 2019). Pada bulan Januari-Maret tahun 2017
sebanyak 89% yang mengeluhkan nyeri abdomen dari jumlah
pasien 6.333 yang datang ke IGD RS dr. Moewardi Surakarta (Rekam
Medis RSDM, 2017). Nyeri abdomen merupakan gejala dari suatu
penyakit, penyebab paling umum nyeri abdomen akut di Departemen
Darurat adalah nyeri perut non- spesifik (35%), radang usus buntu
(17%), obstruksi usus (15%), penyebab urologi (6%), gangguan
empedu (5%), penyakit divertikular (4%) dan pankreatitis (2%) (Ro’is
Fathoni, 2019).
Nyeri perut pada manusia bisa menjadi tanda adanya gangguan
dalam tubuh manusia. Di era maju seperti sekarang banyak penyakit
baru yang bermunculan akibat infeksi virus, bakteri atau jamur dan
juga akibat penggunaan zat-zat kimia yang berlebihan atau salah.
Usaha mengobati nyeri pastinya masyarakat akan menuju ke instansi
kesehatan terdekat guna memperoleh obat. Namun, jika penderita
memiliki ambang nyeri yang sangat tinggi tentunya membutuhkan
terapi sebelum sampai ke instansi kesehatan yang dituju agar nyeri
yang dirasakan berkurang (Soeparno, 2020).
Menurut World Health Organization (WHO), insiden abdomen
pain di dunia sekitar 1,8-2,1 juta dari jumlah penduduk setiap
tahunnya, di Inggris (22%), China (31%), Jepang (14,5%), Kanada
(35%), dan Perancis (29,5%). Di Asia Tenggara sekitar 583.635 dari
jumlah penduduk setiap tahunnya. Mekanisme terjadinya nyeri ini
adalah karena sumbatan baik parsial ataupun total dari organ tubuh
berongga atau organ yang terlibat tersebut dipengaruhi peristaltic
(Darsini, 2019). Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mengatasi nyeri secara non farmakologi antara lain, massage, posisi
kaki ditinggikan dari badan, olah raga, pengaturan diet dan pemberian
kompres hangat (Padillah, 2022). Nyeri abdomen pain jika tidak segera
diatasi akan mempengaruhi fungsi mental dan fisik individu sehingga
mendesak untuk segera mengmbil tindakan atau terapi baik
farmakologis maupun non farmakologis. Terapi farmakologis salah
satunya dengan pemberian obat-obat analgetik (Dahlan, 2016 &
Wulandari, 2017). Cara yang mudah dilakukan yaitu dengan
kompres hangat.
Mengkompres hangat area perut yang nyeri selama perjalanan
hingga sampai di tempat tujuan diharapkan dapat mengurangi nyeri
perut si penderita (Wahyu, 2019).
Pemberian kompres hangat merupakan salah satu tindakan
mandiri. Efek hangat dari kompres dapat menyebabkan vasodilatasi
pada pembuluh darah yang nantinya akan meningkatkan aliran darah
ke jaringan penyaluran zat asam dan makanan ke sel-sel di perbesar
dan pembuangan dari zat – zat di perbaiki yang dapat mengurangi
rasa nyeri kolik abdomen (Abdurakman, 2020). Kompres air hangat ini
sangat efektif dalam menurunkan nyeri spasme otot hubungan sebab
akibat, dimana penelitian ini dilakukan pada satu kelompok subjek
yang diobservasi sebelum dilakukan perlakuan, kemudian di observasi
lagi setelah diberi perlakuan (Ghifari, 2020).
Membandingkan nyeri abdomen sebelum diberi kompres hangat
dan setelah pemberian kompres hangat. Populasi penelitian ini adalah
10 pasien dewasa yang mengalami abdomen pain di ruang rawat inap
Rumah sakit Bhayangkara Makassar. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah Accidental sampling (Wahyuni & Nadia,
2019).
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan SOP
(Standart Operasional Prosedur) untuk kompres hangat dan lembar
observasi untuk penilaian skala nyeri sampling (Kurniyasari, 2020 &
Triwinarti 2021).
Dari latar belakang masalah di atas maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian ini karena kompres hangat abdomen pada
penderita abdomen pain dapat mengurangi rasa nyeri akut pada
penderita abdomen pain.

B. Rumusan Masalah
Bagaimanakah pengaruh kompres hangat abdomen pada pasien
abdomen pain dengan masalah nyeri akut di Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar, berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengindetifikasi pengaruh kompres hangat abdomen pada pasien
abdomen pain dengan masalah nyeri akut di Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar, berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir.
2. Tujuan Khusus
a. Mengindetifikasi kompres hangat abdomen pada pasien abdomen
pain dengan masalah nyeri akut di Rumah Sakit Bhayangkara
Makassar, berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir.
b. Mengidentifikasi pemberian kompres hangat abdomen pada pasien
abdomen pain, berdasarkan studi empiris dalam lima tahun terakhir.
D. Manfaat Penelitian
1. Teoritis
a. Memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu keperawatan yang
berkaitan dengan pengaruh kompres hangat abdomen pada pasien
abdomen pain dengan masalah nyeri akut.
b. Menambah informasi dan referensi ilmiah untuk peneliti serta
memberikan solusi untuk memberika kompres hangat pada penderita
abdomen pain.
c. Menambah pengetahuan, wawasan dan sebagai bahan
perkembangan ilmu pegetahuan, dibidang kesehatan khususnya
dibidang ilmu keperawatan dalam melakukan perawatan terhadap
penderita abdomen pain.
2. Praktis
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan menambah wawasan pengetahuan
tentang kompres hangat pada penderita abdomen pain.
b. Bagi Tenaga Kesehatan
Hasil penelitian ini diharapakan dapat dijadikan sebagai referensi
dalam meningkatkan pelayanan keperawatan dalam memberikan
terapi pada penderita abdomen pain.
c. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat dijadikan bahan informasi untuk menambahkan wawasan
pembelajaran terutama yang berkaitan dengan kompres hangat
abdomen pada penderita abdomen pain dengan masalah nyeri akut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Abdmonen Pain


1. Definisi Abdomen Pain
Nyeri abdomen merupakan sensasi subjektif tidak menyenangkan
yang terasa di abdomen. Nyeri di perut adalah gejala paling penting
dari proses patologis perut akut. Nyeri abdomen ada dua yaitu, nyeri
abdomen akut dan nyeri abdomen kronis (Dova Maryana, 2021). Nyeri
abdomen akut biasanya digunakan untuk menggambarkan nyeri
dengan onset mendadak, dan/durasi pendek. Nyeri alih (referred pain)
adalah persepsi nyeri pada suatu daerah yang letaknya jauh dari
tempat asal nyeri. Keluhan yang menonjol dari pasien dengan
abdomen akut adalah nyeri perut. Rasa nyeri perut dapat disebabkan
oleh kelainan-kelainan di abdomen atau di luar abdomen seperti
organ-organ di rongga toraks (Andriyanto, 2019).
Nyeri abdomen kronis biasanya digunakan untuk
menggambarkan nyeri berlanjut,baik yang berjalan dalam waktu lama
atau berulang/hilang timbul. Nyeri kronis dapat berhubungan dengan
ekserbasi akut (Soeparno, 2020). Nyeri abdomen merupakan rasa
sakit yang sangat hebat yang bersumber didaerah abdomen dan
memerlukan penangan segera (Murjuanto, 2019).
Berdasarkan dari beberapa definisi di atas, abdomen pain atau
nyeri abdomen merupakan gejala umum yang kerap dialami banyak
orang.
2. Klasifikasi Abdomen Pain
Menurut Istiyani (2018) dan Sukmawati (2019) klasifikasi diabetes
mellitus meliputi empat kelas klinis yaitu:
a. DM tipe 1 disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas sehingga
mengakibatkan defisiensi insulin absolut, bersifat autoimun.
b. DM tipe 2 disebabkan oleh resistensi insulin dan gangguan sekresi
insulin.
c. DM gestasional disebabkan oleh pengaruh hormon kehamilan yang
dapat meningkatkan kadar glukosa darah saat kehamilan.
d. DM tipe lain disebabkan oleh berbagai faktor yang dapat
menyebabkan kerusakan pada pankreas yaitu defek genetik fungsi
sel beta, defek genetic kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas
(pankreatitis, tumor atau pankreatektomi, pankreatopati
fibrokalkulus), endokrinopati, obat atau zat kimia, infeksi, penyebab
imunologi yang jarang (antibodi antiinsulin), dan sindrom genetik lain
yang berkaitan dengan DM.
3. Etiologi Abdomen Pain
Non Insulin Dependent Diabetes Melitus (NIDDM) atau Diabetes
Melitus Tidak Tergantung Insulin (DMTTI) disebabkan kegagalan relatif
sel β dan ristensi insulin. Ristensi insulin adalah turunnya kemampuan
insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer
dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu
mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi
relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi
insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa
bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel β pankreas
mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Arif, 2001).
4. Manifestasi Klinis Abdomen Pain
Beberapa tanda-tanda dan gejala yang timbul pada penderita
Diabetes Melitus Istiyani (2018) dan Sukmawati (2019):
a. Poliuria (air kencing keluar banyak) dan Polydipsia (rasa haus yang
berlebihan) yang disebakan karena osmolalitas serum yang tinggi
akibat kadar glukosa serum yang meningkat.
b. Anoreksia (rasa takut berlebihan terhadap peningkatan berat badan)
dan Polifagia (rasa lapar yang berlebihan) yang terjadi karena
Glukosuria yang menyebabkan keseimbangan kalori negatif.
c. Keletihan (rasa cepat lelah) dan kelemahan yang disebabkan
penggunaan glukosa oleh sel menurun. Penderita Diabetes Melitus
cepat mengalami kelelahan saat melakukan aktivitas baik aktivitas
berat maupun ringan.
d. Kulit kering, lesi kulit atau luka yang lambat sembuhnya, dan rasa
gatal pada kulit. Disebabkan karena aliran darah menjadi kental
karena glukosa dalam darah tinggi yang menyebabkan aliran darah
tidak sampai ke perifer untuk proses penyembuhan.
e. Sakit kepala, mengantuk, dan gangguan pada aktivitas disebabkan
oleh kadar glukosa intrasel yang rendah. Dikarenakan tubuh tidak
menerima kadar glukosa yang cukup, yang berakibatkan otak tidak
menerima dengan cukup atau kurang.
f. Gangguan penglihatan seperti pemandangan kabur yang
disebabkankarena pembengkakan akibat glukosa. Disebabkan
karena kadar gula darah yang tinggi menyebabkan lensa mata
membengkak hingga mengubah kemampuan untuk melihat.
g. Sensasi kesemutan atau kebas di tangan dan kaki yang disebabkan
kerusakan jaringan saraf karena kadar gula darah atau glukosa
tinggi. Kerusakan saraf ini dikenal dengan neuropati perifer, karena
dapat mempengaruhi saraf yang jauh dari otak dan sumsum tulang
belakang, seringkali pada tangan dan kaki.
5. Patofisiologi Abdomen Pain
Beberapa penyebab yang menyebabkan defisiensi insulin, kemudian
menyebabkan glikogen meningkat, sehingga terjadi proses pemecahan
gula dan menyebabkan metabolisme lemak meningkatkan. Kemudian
terjadi proses pembentukan keton. Peningkatan keton di dalam plasma
akan mengakibatkan ketonuria dan kadar natrium akan menurun serta
pH serum menurun dan terjadi asidosis (Sukmawati, 2019). Defisiensi
insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun, sehingga
menyebabkan kadar glukosa dalam plasma tinggi (Hiperglikemi). Jika
hiperglikemia lebih dari ambang ginjal maka akan menyebabkan
glukosuria. Glukosuria akan menyebabkan dieresis osmotik yang
meningkatkan air kencing (polyuria) dan akan timbul rasa haus
(polidipsi) yang menyebabkan seorang dehidrasi (Istiyani, 2018).
Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori negatif sehingga
menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia) (Sukmawati, 2019).
Penggunaan glukosa oleh sel mengakibatkan produksi metabolisme
energi menurun sehingga akan menjadi lemah. Hiperglikemia dapat
berpengaruh pada pembuluh darah kecil, sehingga menyebabkan suplai
nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang. Kemudian bisa mengakibatkan
luka tidak kunjung sembuh karena terjadi infeksi dan gangguan
pembuluh darah akibat kurangnya suplai nutrisi dan oksigen (Soep,
2015).
6. Komplikasi Abdomen Pain
Komplikasi yang disebabkan Diabetes Melitus diklasifikasikan
menjadi komplikasi akut dan komplikasi kronik (Sukmawati, 2019).
Komplikasi akut terjadi disebabkan oleh intoleransi glukosa yang
berlangsung dalam jangka waktu yang pendek, komplikasinya yaitu:
a. Hipoglikemia adalah suatu keadaaan dimana glukosa dalam darah
mengalami penurunan dibawah 50 sampai 60 mg/dL disertai dengan
gejala pusing, gemetar, lemas, pandangan kabur, keringat dingin,
serta penurunan kesadaran.
b. Ketoasidosis Diabetes (KAD) adalah suatu keadaan yang ditandai
dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton yang
berlebihan. Tingginya asam darah dalam tubuh yang disebut keton.
Ketika dalam tubuh kekurangan insulin tubuh tidak bisa mengolah
gula darah atau glukosa sehingga sebagai pengganti glukosa tubuh
menggunakan lemak.
c. Sindroma nonketotik hiperosmolar hiperglikemik (SNHH) adalah
suatu keadaan dimana terjadi gangguan metabolisme yang
menyebabkan kadar glukosa dalam darah sangat tinggi,
menyebabkan dehidrasi hipertonik tanpa disertai ketosis serum.
Komplikasi kronik biasanya terjadi pada pasien yang menderita
Diabetes Melitus lebih dari 10 sampai 15 tahun, komplikasinya:
a. Penyakit Makrovaskular (pembuluh darah besar) mempengaruhi
arteri koroner yang disebabkan karena peningkatan insidensi infark
miokard pada penderita Diabetes Melitus. Mempengaruhi pembuluh
darah perifer mengakibatkan insiden gangreng dan amputasi karena
sirkulasi menjadi buruk dan menyebabkan proses penyembuhan
menjadi lama.
b. Penyakit Mikrovaskular (pembuluh darah kecil) mempengaruhi mata
seperti katarak dan glukoma atau meningkatkan tekanan pada bola
mata (retinopati) dan mempengaruhi ginjal biasanya dialami
penderita Diabetes Melitus yang sudah cukup lama (nefropati).
c. Penyakit Neuropatik mempengaruhi saraf sensori motorik dan
otonom yang mengakibatkan beberapa masalah seperti impotensi
dan ulkus kaki. Neuropatik biasnya menyerang saraf perifer
(sensorimotor), otonom dan spinal.
d. Kaki Diabetik adalah perubahan makroangiopati, mikroangiopati dan
neuropati menyebabkan perubahan pada ekstremitas bawah.
Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi, terjadi infeksi,
gangren, penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf sensorik
dapat menunjang terjadi trauma atau tidak terkontrolnya infeksi yang
mengakibatkan gangren.

7. Pemeriksaan Penunjang Abdomen Pain


Pemeriksaan penunjang untuk penderita Diabetes Melitus ada
beberapa yang harus dilakukan, yaitu: (Sukmawati, 2019).
a. Pemeriksaan laboratorium GDS (Gula Darah Sewaktu) dapat
dilakukan pada individu tanpa waktu tertentu, GDP (Gula Darah
Puasa) dapat dilakukan pada individu dipuasakan selama 8 sampai
10 jam sebelum pemeriksaan dilakukan untuk pemeriksaan dapat
menyaring, memastikan diagnostik atau mamantau pengendalian
Diabetes Melitus dan GD2PP (Gula Darah 2 jam Post Prandial) dapat
dilakukan pada individu dengan syarat 2 jam setelah makan atau
mengkonsumsi sesuatu, untuk menunggu individu dianjurkan untuk
duduk, istirahat yang tenang, tidak melakukan kegiatan jasmani yang
berat dan merokok.
b. Pemeriksaan urine, pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan kultur
pus untuk mengertahui jenis kuman pada luka yang akan diobservasi
untuk rencana tindakan selanjutnya.
8. Penatalaksanaan Abdomen Pain
Menurut Sukmawati, 2019, penatalaksanaan diabetes melitus ada 4
sebagai berikut:
a. Edukasi
Penyuluhan dan tata laksana merupakan bagian yang integral dari
terapi pasien penderita diabetes melitus. Meningkat bahwa tidak
semua penyandang diabetes melitus dapat secara teratur berobat ke
ahli endokrin, maka penyuluhan ini sebaiknya juga diberikan pada
dokter keluarga dan keluarga penderita (PERKENI, 2015). Edukasi
merupakan peranan yang sangat penting di salah satu
penatalaksanaan diabetes melitus pada pasien mengubah perilaku
pasien dalam melakukan suatu pelakasanaan pengelolaan diabetes
melitus secara mandiri. Pada saat pemberian edukasi ke pasien
tersebut seharusnya dilakukan dengan secara mandiri harus
diberikan secara bertahap untuk mengetahui konsep dasar diabetes
melitus, pencegahan terjadinya diabetes melitus, dan pengelolaan
diabetes melitus dan perilaku perawatan diri (self care behavior).
b. Terapi Nutrisi Medis
Penatalaksanaan terapi nutrisi medis atau diet merupakan bagian
tidak terpisah dari edukasi (PERKENI, 2015). Keberhasilan terapi
nutrisi medis merupkan keterlibatan secara menyeluruh dari tenaga
kesehatan. Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien diabetes melitus
yaitu makanan yang seimbang yang sesuai dengan kebutuhan kalori
dan zat gizi setiap masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis,
dan jumlah makanan pada pasien penderita diabetes melitus sebagai
aspek yang sangat penting untuk diperhatikan nutrisi, B12, zat besi,
protein, dan kalsium agar dapat mempercepat proses penyembuhan
luka pada penderita diabetes melitus (Soep, 2015).
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali
seminggu selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE
(continous, rhytmical, interval, progressive, endurance training).
Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar dalam pembuatan materi
DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan secara terus
menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara
teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur
dari latihan ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan
bertahan dalam waktu tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk
menjaga kebugaran tubuh, menurunkan berat badan, dan
memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang dianjurkan
berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya
disesuaikan dengan usia dan status kesegaran jasmani.
d. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada
pasien DM . Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan
bentuk suntikan. Obat dalam bentuk suntikan meliputi pemberian
insulin dan agonis GLP-1 atau incretin mimetic. Berdasarkan cara
kerjanya, obat hiperglikemik oral (OHO) dibagi menjadi 5 golongan,
yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya sulfonilurea dan glinid),
peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya metformin dan
tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya metformin),
penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase
alfa), dan DPP-IV inhibitor.
9. Faktor Resiko Abdomen Pain
Menurut PERKENI (2011) dalam (Mufidhah, 2019), ada 5 faktor resiko
DM, yaitu:
a. Usia
Terjadinya DM bertambah dengan pertumbuhan usia (jumlah sel β
yang produktif berkurang seiring pertambahan usia).
b. Berat Badan
Berat badan lebih BMI >25 atau kelebihan berat badan 20%
meningkatkan dua kali risiko terkena DM. Prevalensi Obesitas dan
diabetes berkolerasi positif, terutama obesitas sentral Obesitas
menjadi salah satu faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit DM.
Obesitas dapat membuat sel tidak sensitif terhadap insulin (retensi
insulin). Semakin banyak jaringan lemak dalam tubuh semakin
resisten terhadap kerja insulin, terutama bila lemak tubuh terkumpul
di daerah sentral atau perut.

c. Riwayat Keluarga
Orang tua atau saudara kandung mengidap DM. Sekitar 40%
diaebetes terlahir dari keluarga yang juga mengidap DM, dan
bertambah 60%-90% kembar identik merupakan penyandang DM.
d. Gaya Hidup
Gaya hidup adalah perilaku seseorang yang ditujukkan dalam
aktivitas sehari-hari. Makanan cepat saji (junk food), kurangnya
berolahraga dan minum-minuman yang bersoda merupakan faktor
pemicu terjadinya diabetes melitus tipe 2. Penderita DM diakibatkan
oleh pola makan yang tidak sehat dikarenakan pasien kurang
pengetahuan tentang bagaimanan pola makan yang baik dimana
mereka mengkonsumsi makanan yang mempunyai karbohidrat dan
sumber glukosa secara berlebihan, kemudian kadar glukosa darah
menjadi naik sehingga perlu pengaturan diet yang baik bagi pasien
dalam mengkonsumsi makanan yang bisa diterapkan dalam
kehidupan sehari-harinya.
e. Riwayat Diabetes pada kehamilan (Gestational)
Seorang ibu yang hamil akan menambah konsumsi makanannya,
sehingga berat badannya mengalami peningkatan 7 sampai 10 kg,
saat makanan ibu ditambah konsumsinya tetapi produksi insulin
kurang mencukupi maka akan terjadi diabetes melitus. Memiliki
riwayat diabetes gestational pada ibu yang sedang hamil dapat
meningkatkan resiko diabetes melitus, diabetes selama kehamilan
atau melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan resiko DM
tipe II.
B. Tinjauan Umum Tentang Nyeri Akut
1. Definisi Nyeri Akut
Gangen adalah kerusakan sebagian atau keseluruan pada kulit yang
keseluruan pada kulit yang meluas ke jaringan bawah kulit, tendon, otot,
tulang atau persendian yang terjadi pada sesorang yang menderita
penyakit DM (Febrianti, 2017). Gangren adalah komplikasi kronik DM
yang memiliki pengaruh besar pada kondisi sosial dan ekonomi,
berpotensi mengalami amputasi, disabilitas, dan membutuhkan biaya
yang besar terkait dengan pengobatan dan komplikasinya. Diperkirakan
15% dari pasien DM akan mengalami setidaknya satu kali kejadian luka
gangren (Halawiah, 2020).
Gangren merupakan salah satu komplikasi dari penyakit DM yang
telah disebabkan karena adanya kerusakan jaringan nekrosis oleh
emboli pembulu darah besar, arteri pada bagian tubuh menyebabkan
suplai darah berhenti. Gangren diabetik ini terjadi sehingga disebabkan
karena adanya neuropati dan adanya gangguan vaskuler pada di
daerah kaki pasien (Rosa, 2019).
Gangren pada penderita diabetes karena terjadinya sebuah ulkus
dampaknya sangat besar bagi penderita DM meskipun angka kejadian
ulkus sangat kecil (Apriliyasari, 2015). Ulkus kaki merupakan
komplikasi utama diabetes melitus, dengan tinggi morbiditas, mortalitas,
dan pemanfaatan sumber daya. 1-3 Insiden tahunan di penderita
diabetes diperkirakan sekitar 2%, dan insiden seumur hidup berkisar
antara 19% dan 34% (Van Netten, 2020). Akibat lebih lanjut adanya
ulkus ini telah menyebabkan terjadinya perubahan aktivitas yang dapat
menurunkan produktifitas dan menyebabkan kesakitan pada disekitar
daerah ulkus tersebut sehingga mempengaruhi lamanya perawatan
pada penderita diabetes melitus tersebut (Apriliyasari, 2015). Infeksi ini
sering menjadi penyulit dari gangren pada kaki neuropati dan iskemia
pada penderita diabetes melitus. Terjadinya ulkus telah menjadi pintu
gerbang untuk masuknya bakteri-bakteri yang meliputi bakteri gram
positif dan gram negativ aerob telah menyebar lebih cepat dan
menyebabkan terjadinya kerusakan jaringan pada penderita DM
(Waworuntu, 2017).
Secara umum, pasien tanpa faktor risiko ini dianggap tidak berisiko
mengalami ulserasi. Berbagai sistem klasifikasi dan stratifikasi
didasarkan pada faktor-faktor risiko tersebut menunjukkan hasil
diagnostik atau prognostik yang serupa (seperti sensitivitas,
spesifisitas, nilai prediksi, dan rasio kemungkinan) dalam memprediksi
ulserasi popularitas dan penggunaan umum dari sistem ini, menjadi
dasar bukti penggunaannya terbatas, dengan sedikit validasi dari
kemampuan prediktifnya (Van Netten, 2020).
Resiko kematian pada 5 tahun untuk pasien dengan ulkus kaki
diabetik adalah 2,5 kali lebih tinggi risikonya bagi penderita diabetes
yang tidak memiliki ulkus kaki. Lebih dari separuh ulkus dia betik
terinfeksi. Sekitar 20% penderita diabetes sedang atau berat Infeksi kaki
menyebabkan beberapa tingkat amputasi. Penyakit arteri perifer secara
independen meningkatkan risiko ulkus yang tidak sembuh, infeksi, dan
amputasi. Kematian setelah amputasi terkait diabetes melebihi 70%
dalam 5 tahun untuk semua pasien dengan diabetes dan 74% pada 2
tahun untuk mereka yang menerima terapi penggantian ginjal. Apakah
angka kematian yang begitu tinggi disebabkan oleh kombinasi kondisi
yang hidup berdampingan (termasuk risiko dari prosedur amputasi),
kurangnya aktivitas, dan dekondisi ing atau faktor lain tidak jelas. Resiko
kematian pada 10 tahun untuk penderita diabetes yang pernah
mengalami ulkus kaki dua kali lebih tinggi dari risiko untuk pasien yang
belum pernah mengalami sariawan. Penilaian terbaru dari 785 juta
kunjungan rawat jalan oleh diabetisi Amerika Serikat antara tahun 2007
dan 2013 menunjukkan bahwa ulkus kaki diabetik dan infeksi terkait
merupakan faktor risiko yang kuat untuk gawat darurat kunjungan dan
masuk rumah sakit (Armstrong, 2017).

2. Etiologi Nyeri Akut


Proses penyebab terjadinya gangren diawali adanya angiopati,
neuropati, dan infeksi. Neuropati msrupakan salah satu yang
menyebabkan terjadinya suatu gangguan sensorik yang dapat
menghilangkan atau menurunkan sensasi rasa nyeri pada kaki
penderita diabetes melitus, sehingga gangren dapat terjadi tanpa terasa
apa-apa. Gangguan motorik yang menyebabkan terjadinya atrofi otot
pada tungkai sehingga dapat mengubah titik tumpu yang menyebabkan
terjadinya ulserasi pada kaki. Angiopati tersebut dapat mengganggu
terjadinya aliran darah ke kaki; penderita dapat merasa nyeri tungkai
sesudah berjalan dalam jarak tertentu. Infeksi sering terjadinya
komplikasi akibat berkurangnya aliran darah atau neuropati (Sukmawati,
2019).
Gangren diabetik biasanya disebut gangren kaki diabetik. Penyebab
terjadinya gangren pada penderita diabetes melitus adalah adanya
bakteri anaerob, yang sering disebut Clostridium (Sukmawati, 2019).
Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut gas gangren. Faktor
lain yang berkontribusi terhadap kejadian ulkus kaki adalah deformitas
kaki (yang dihubungkan dengan peningkatan tekanan pada plantar),
gender laki-laki, usia tua, kontrol gula darah yang buruk, hiperglikemia
yang berkepanjangan dan kurangnya perawatan kaki (Tarwoto, 2012).

3. Tanda Dan Gejala Nyeri Akut


Tanda dan gejala pada Gangren meliputi (Sukmawati, 2019):
a. Gambaran Neuropatik:
1) Gangguan sensorik
2) Perubahan trofik kulit
3) Atropati degenerative (sendi charcot)
4) Pulsasi sering teraba
5) Sepsis (bakteri/ jamur)
b. Gambaran Iskemik :
1) Nyeri saat istirahat
2) Ulkus yang nyeri di sekitar daerah yang tertekan
3) Riwayat klaudikasio intermiten
4) Pulpasi tidak teraba
5) Sepsis ( bakteri/ jamur)
4. Patofisiologi Nyeri Akut
Terjadinya masalah kaki (gangren diabetik) diawali adanya
hiperglikemi pada penyandang Diabetes mellitus yang menyebabkan
kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah (peripheral artery
disease (PAD) (Sukmawati, 2019). Dikenal sebagai penyakit pembuluh
darah perifer.
Merupakan masalah penyempitan pembuluh darah arteri yang
menyebabkan aliran darah ke anggota tubuh bagian bawah berkurang.
Hal ini mengakibatkan sirkulasi oksigen dan pengiriman obat-obatan
menjadi rendah, sehingga berdampak pada lamanya penyembuhan luka
dan meningkatkan resiko ulserasi (Sukmawati, 2019). Sedangkan
timbulnya ulkus diabetik akibat neuropati terjadi ketika saraf dari sistem
saraf perifer rusak dan dapat mengakibatkan hilangnnya sensasi,
perubahan kulit, deformasi dan mobilitas sendi kaki terbatas ketika
dikombinasikan dengan faktor-faktor lain, seperti perawatan diri yang
tidak memadai, rendahnya kontrol glukosa, alas kaki yang tidak tepat,
obesitas dan kurangnya sumber daya yang tepat waktu, perubahan
neuropati dan menyebabkan ulserasi kaki (ulkus diabetik) (Febrianti,
2017). Sementara sekita sepertiga pasien dengan ulkus diabetik dapat
mengalami beberapa bentuk aputasi. Selain itu, ada kemungkinan
infeksi yang terjadi setiap gangren diabetik pada pasien dengan
diabetes (Mufidhah, 2019).
5. Klasifikasi Nyeri Akut
Menurut Sukmawati (2019) perawatan luka gangren memerlukan
kerja sama dari berbagai disiplin ilmu. Dengan melibatkan banyak
disiplin perlu adanya kesamaan informasi dalam proses perawatan
sehingga penyembuhan luka gangren bisa optimal. Klasifikasi gangren
diabetes yang sering digunakan adalah menggunakan skala wagner
yang didasarkan pada kedalaman gangren dan terdiri dari enam grade
luka.
a) Grade 0 yaitu: Tidak ada luka terbuka mungkin terdapat deformitas
atau selulitis.
b) Grade 1 yaitu: Ulkus diabetes superfusional (parsial atau full
thichness) tetapi belum mengenai jaringan.
c) Grade 2 yaitu: Ulkus meluas sampai ligament, tendon, kapsual sendi
atau fasia dalam tanpa abses atau osteomelitis.
d) Grade 3 yaitu: Ulkus dalam dengan abses osteomelitis atau sepsis
sendi
e) Grade 4 yaitu: Gangren yang terbatas pada kaki bagian depan atau
tumit
f) Grade 5 yaitu: Gangren yang meluas meliputi seluruh.
6. Proses Penyembuhan Nyeri Akut
a. Penyembuhan luka gangren (Soep, 2015).
Berdasarkan proses penyembuhan, dapat dikategorikan menjadi
tiga, yaitu:
1) Penyembuhan primer (healing by primary intention) tepi luka bisa
menyatu kembali, permukaanbersih, tidak ada jaringan yang
hilang. Biasanya terjadi setelah suatu insisi. Penyembuhan luka
berlangsung dari internal ke eksternal.
2) Penyembuhan sekunder (healing by secondary intention) sebagian
jaringan hilang, proses penyembuhan berlangsung mulai dari
pembentukan jaringan granulasi di dasar luka dan sekitarnya.
3) Delayed primary healing (tertiary healing) penyembuhan luka
berlangsung lambat, sering disertai infeksi, diperlukan penutupan
luka secara manual.
Berdasarkan lama penyembuhan bisa dibedakan menjadi akut dan
kronis. Luka dikatakan akut jika penyembuhan terjadi dalam 2 sampai
3 minggu. Sedangkan luka kronis adalah segala jenis luka yang tidak
ada tanda-tanda sembuh dalam jangka lebih dari 4 sampai 6 minggu
(Sukmawati, 2019)..
Luka akan sembuh sesuai tahapan spesifik yang dapat terjadi
tumpang tindih.
b. Fase penyembuhan luka dibagi menjadi tiga fase, yaitu:
1. Fase inflamasi
a) Hari ke-0 sampai 5.
b) Respons segera setelah terjadi injuri berupa pembekuan darah
untuk mencegah kehilangan darah.
c) Karakteristik: tumor, rubor, dolor, color, functio laesa.
d) Fase awal terjadi hemostasis.
e) Fase akhir terjadi fagositosis.
f) Lama fase ini bisa singkat jika tidak terjadi infeksi.
2. Fase proliferasi atau epitelisasi
a) Hari ke-3 sampai 14.
b) Disebut juga fase granulasi karena adanya pembentukan
jaringan granulasi; luka tampak merah segar, mengkilat.
c) Jaringan granulasi terdiri dari kombinasi: fibroblas, sel inflamasi,
pembuluh darah baru, fibronektin, dan asam hialuronat.
d) Epitelisasi terjadi pada 24 jam pertama ditandai dengan
penebalan lapisan epidermis pada tepian luka.
e) Epitelisasi terjadi pada 48 jam pertama pada luka insisi.
c. Fase maturasi atau remodelling
a) Berlangsung dari beberapa minggu sampai 2 tahun.
b) Terbentuk kolagen baru yang mengubah bentuk luka serta
peningkatan kekuatan jaringan (tensile strength).
c) Terbentuk jaringan parut (scar tissue) 50-80% sama kuatnya
dengan jaringan sebelumnya.
d) Pengurangan bertahap aktivitas seluler dan vaskulerisasi
jaringan yang mengalami perbaikan.
7. Penatalaksanaan Nyeri Akut
Menurut Sukmawati, (2019) ada tiga penatalaksanaan gangren
sebagai berikut:
a. Mencuci Luka
Mencuci luka berdasarkan jenis cairan yang digunakan maupun
metode pencuciannya. Jenis cairan yang biasa digunakan adalah
normal salin (cairan fisiologis), povidone iodine, hydrogen peroxide,
chlorine atau sodium hypochlorite, dan kini berkembang istilah
commersial wound cleanser, misalnya feracrylum 1% rebusan air
daun jambu biji. Cara mencuci yang dianjurkan adalah melakukan
irigasi, terutama dengan memberikan tekanan (dapat menggunakan
alat) pada daerah sinus atau undermining, atau dengan whirpool dan
hidroterapi.
Metode lainnya adalah dengan hanya menyiram saja (showering),
terutama pada daerah yang sangat sensitif dan mudah berdarah.
Mencuci tepi luka dan sekitar luka sangat penting dilakukan sehingga
terlihat dengan jelas luas luka sesungguhnya dan kemungkinan
adanya luka baru. Setelah pencucian selesai, tenaga kesehatan
dapat mengkaji dengan baik kondisi luka sesungguhnya.
b. Membuang Jaringan Mati
Debridemant (debridement) adalah kegiatan untuk mengangkat
jaringan mati. Debridement dengan kombinasi sangat membantu
mempercepat pengangkatan jaringan mati, misalnya autolysis
dengan Conservative Sharp Wound Debridement (CSWD), enzymatic
dengan CSWD, surgical dengan autolysis, chemical dengan
autolysis. Pelaksanaan CSWD memerlukan keterampilan yang harus
dilatih, dimulai dari mengenali bentuk jaringan mati fase awal hingga
100% mati (nekrosis), resiko kulit yang mengalami nekrosis (iskemia,
sianosis), jaringan mati yang masih memiliki sisa pembuluh darah.
c. Memilih Balutan yang Tepat
Pada perawatan luka, bahan topikal adalah bahan utama atau
obat yang digunakan untuk mempercepat penyembuhan luka dengan
membantu menciptakan dan mempertahankan kondisi yang dapat
mendukung penyembuhan luka, antara lain memilih balutan yang
dapat mendukung autolisis debridemang, mempertahankan
kelembapan, melindungi kulit sekitar dan tepi luka, mengontrol
infeksi, mendukung granulasi dan epitelisasi.
1) Terapi dengan Modern Wound Dressing
Prinsip dan Kaidah Balutan luka (wound dressings) telah
mengalami perkembangan sangat pesat selama hampir dua
dekade ini. Teori yang mendasari perawatan luka dengan suasana
lembap menurut (Febrianti, 2017) antara lain:
a) Mempercepat fibrinolisis. Fibrin yang terbentuk pada luka kronis
dapat dihilangkan lebih cepat oleh neutrofil dan sel endotel
dalam suasana lembap.
b) Mempercepat angiogenesis. Keadaan hipoksia pada perawatan
luka tertutup akan merangsang pembentukan pembuluh darah
lebih cepat.
c) Menurunkan risiko infeksi; kejadian infeksi ternyata relatif lebih
rendah jika dibandingkan dengan perawatan kering.
d) Mempercepat pembentukan growth faktor. Growth faktor
berperan pada proses penyembuhan luka untuk membentuk
stratum korneum dan angiogenesis.
e) Mempercepat pembentukan sel aktif. Pada keadaan lembap,
invasi neutrofil yang diikuti oleh makrofag, monosit, dan limfosit
ke daerah luka berlangsung lebih dini.
2) Pemilihan Balutan Luka
Pemilihan balutan luka saat ini, lebih dari 500 jenis modern
wound dressing dilaporkan tersedia untuk menangani luka kronis.
Bahan modern wound dressing dapat berupa hidrogel, film
dressing, hydrocolloid, calcium alginate, foam/absorbant dressing,
antimicrobial dressing, antimicrobial hydrophobic.
a) Hidrogel
Dapat membantu proses peluruhan jaringan nekrotik oleh
tubuh sendiri. Berbahan dasar gliserin atau air yang dapat
memberikan kelembapan; digunakan sebagai dressing primer
dan memerlukan balutan sekunder (pada kasa dan transparent
film). Topikal ini tepat digunakan untuk luka nekrotik atau
berwarna hitam atau kuning dengan eksudat minimal atau tidak
ada.

b) Film Dressing
Jenis balutan ini lebih sering digunakan sebagai secondary
dressing dan untuk luka-luka superfisial dan non-eksudatif atau
untuk luka post operasi. Terbuat dari polyurethane film yang
disertai perekat adhesif; tidak menyerap eksudat.
Indikasi: luka dengan epitelisasi, low exudate, luka insisi.
Kontraindikasi: luka terinfeksi, eksudat banyak.
c) Hydrocolloid
Balutan ini berfungsi mempertahankan luka dalam suasana
lembap, melindungi luka dari trauma dan menghindarkan luka
dari risiko infeksi, mampu menyerap eksudat tetapi minimal;
sebagai dressing primer atau sekunder, support autolysis untuk
mengangkat jaringan nekrotik atau slough. Terbuat dari pektin,
gelatin, carboxymethylcellulose, dan elastomers.
Indikasi: luka berwarna kemerahan dengan epitelisasi, eksudat
minimal.
Kontraindikasi: luka terinfeksi atau luka grade III-IV.
d) Calcium Alginate
Digunakan untuk dressing primer dan masih memerlukan
balutan sekunder. Membentuk gel di atas permukaan luka;
berfungsi menyerap cairan luka yang berlebihan dan
menstimulasi proses pembekuan darah. Terbuat dari rumput
laut yang berubah menjadi gel jika bercampur dengan cairan
luka.
Indikasi: luka dengan eksudat sedang sampai berat
Kontraindikasi: luka dengan jaringan nekrotik dan kering.
Tersedia dalam bentuk lembaran dan pita, mudah diangkat
dan dibersihkan.
e) Foam atau absorbant dressing
Balutan ini berfungsi untuk menyerap cairan luka yang
jumlahnya sangat banyak (absorbant dressing), sebagai
dressing primer atau sekunder. Terbuat dari polyurethane; non-
adherent wound contact layer, highly absorptive.
Indikasi: eksudat sedang sampai berat.
Kontraindikasi: luka dengan eksudat minimal, jaringan nekrotik
hitam.
f) Dressing Antimikrobial
Balutan mengandung silver 1,2% dan hydrofiber dengan
spektrum luas termasuk bakteri MRSA (methicillin resistant
staphylococcus aureus). Balutan ini digunakan untuk luka kronis
dan akut yang terinfeksi atau berisiko infeksi. Balutan
antimikrobial tidak disarankan digunakan dalam jangka waktu
lama dan tidak direkomendasikan bersama cairan NaCl 0,9%.

g) Antimikrobial Hydrophobic
Terbuat dari diakylcarbamoil chloride, nonabsorben, non
adhesif. Digunakan untuk luka bereksudat sedang sampai
banyak, luka terinfeksi, dan memerlukan balutan sekunder.
h) Medical Collagen Sponge
Terbuat dari bahan collagen dan sponge. Digunakan untuk
merangsang percepatan pertumbuhan jaringan luka dengan
eksudat minimal dan memerlukan balutan sekunder (Kartika,
2017).
C. Tinjauan Umum Tentang Kompres Hangat
1. Definisi Kompres Hangat

Perilaku manusia adalah segala tindakan atau aktivitas dari manusia


yang mempunyai bentangan yang sangat luas dan baik yang sangat
diamati langsung, maupun tidak langsung (Istiyani, 2018). Self care
sebagai salah satu kebutuhan manusia terhadap kondisi dan perawatan
diri sendiri dengan menjalankan sebuah perencanaan dan pelaksanaan
prinsip perawatan diri dengan baik dan mandiri (Heriyanti, 2020). Jadi
self care merupakan bagian dari penatalaksanaan diabetes melitus
yang seharusnya dilakukan dengan sungguh guna mencengah penyakit
ke arah yang lebih parah dari aktivitas manusia itu sendiri dan
mencakup suatu rentangan yang sangat luas antara lain: berjalan,
berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan
sebagainnya. Dari uraian tersebut diatas dapat ditarik keseimpulan
bahwa yang dimaksud self care adalah semua kegiatan atau aktivitas
manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak diamati
langsung (Putri, 2017).

Perawatan diri (self-care) adalah pelaksanaan aktivitas individu yang


berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam mempertahankan
hidup, kesehatan dan kesejahteraan (Munir, 2021). Jika perawatan
dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat membantu individu dalam
mengembangkan potensi dirinya . Self care menggambarkan perilaku
individu yang dilakukan secara sadar, bersifat universal dan terbatas
pada diri sendiri (Heriyanti, 2020). Self care merupakan usaha individu
yang bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan status
kesehatan dan kesejahteraan pasien (Sudarman, 2020).
Self care yang dilakukan penderita Diabetes Mellitus meliputi diet
atau pengaturan pola makan, aktivitas fisik (olahraga), pemantauan
kadar gula darah, obat, dan perawatan kaki diabetik (Salam, 2019).
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa self care pada sebagian
besar penderita diabetes mellitus masih kurang optimal (Putri, 2017).

Perilaku perawatan diri (self care behavior) pasien memiliki peran


besar dalam pengelolaan diabetes (Salam, 2019). Kemampuan
perawatan diri (self care agency) adalah kemampuan individu untuk
terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan dengan
faktor pengkondisian perawatan diri (basic conditioning faktor) yang
terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi social
budaya, system perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup,
faktor lingkungan dan keadaan ekonomi (Dharmawati, 2019).
Rendahnya self care yang dilakukan oleh penderita Diabetes Mellitus
berdampak negatif terhadap status kesehatan pasien yaitu tidak
terkontrolnya gula darah dan meningkatnya komplikasi (Sudarman,
2020). Namun sebaliknya jika self care di lakukan dengan baik, juga
akan berefek positif bagi pasien Diabetes Mellitus (Salam, 2019).

Self care diabetes merupakan tindakan membantu mengendalikan


gula darah yang dapat menghasilkan kondisi kesehatan yang lebih baik
(Putri, 2017). Peningkatan kadar gula darah dapat dicegah dengan
melakukan self care dengan terdiri dari pengaturan diet, olahraga, terapi
obat, perawatan kaki, dan pemantauan gula darah (Munir, 2021). Hasil
penelitian menunjukkan setiap aktivitas self care Diabetes Mellitus
belum dilakukan secara penuh 7 hari dalam seminggu (Istiyani, 2018).

2. Komponen Kompres Hangat


Menurut Eliza dalam (Istiyani, 2018) ada tujuh komponen self care
behavior yaitu :
a. Makanan yang sehat (health eating)
Dengan memuat pilihan makanan yang tepat, anak-anak dan
remaja akan tumbuh dan berkembang jika mereka tidak memiliki
diabetes. Dengan mengontrol berat badan mereka mencapai kadar
glukosa darah yang optimal, banyak orang dewasa mungkin dapat
mengolah kondisi mereka untuk sementara waktu tanpa obat.
Keterampilan yang diajarkan meliputi membaca label,
perencanaan dan menyiapkan makanan, kontrol porsi ukuran
makanan, kontrol jumlah karbohidrat. Hambatan seperti lingkungan
dan faktor emosional, financial, dan budaya.
b. Aktif (being active)
Kegiatan rutin penting untuk kebugaran secara keseluruhan,
manajemen berat badan dan kontrol glukosa darah. Sesuai dengan
jenjang latihan, mereka yang beresiko untuk diabetes dapat
mengurangi risiko itu, dan orang-orang dengan diabetes dapat
memperbaiki kontrol glikemik. Menjadi aktif juga dapat membantu
meningkatkan indeks massa tubuh, meningkatkan berat badan,
membantu lipid kontrol dan tekanan darah dan mengurangi stress.
Pendidik diabetes dan pasien mereka bekerja sama untuk
mengatasi hambatan fisik, keterbatasan lingkungan, psikologis dan
waktu.
c. Pemantauan (monitoring)
Self monitoring harian glukosa darah penderita diabetes
memberikan informasi yang dibutuhkan untuk menilai bagaimana
makanan, aktivitas fisik, dan obat-obatan mempengaruhi kadar
glukosa darahnya. Orang dengan diabetes juga perlu untuk secara
teratur memeriksa tekanan darah mereka, keton urin dan berat.
Pendidik diabetes menginstruksikan pasien tentang pilihan
peralatan dan seleksi, waktu dan frekuensi pengujian, nilai target, dan
interpretasi dan penggunaan hasil.
d. Minum obat (taking medication)
Tergantung pada jenis seseorang dan tim kesehatan yang akan
menentukan obat yang harus diambil dan membantu klien memahami
cara kerja obatnya. Terapi obat yang efektif dan dikombinasikan
dengan pilihan gaya hidup sehat, dapat menurunkan kadar glukosa
darah, mengurangi risiko komplikasi diabetes dan menghasilkan
manfaat klinis lainnya.
e. Pemecahan masalah (problem solving)
Seseorang dengan diabetes harus menjaga kemampuan
memecahkan masalahnya karena pada hari tertentu, sebuah episode
glukosa darah tinggi atau rendah atau hari sakit akan meminta pasien
untuk membuat keputusan cepat tentang diet, aktivitas dan obat-
obatan. Keterampilan ini harus terus dimanfaatkan karena setelah
puluhan tahun hidup dengan penyakit ini, stabilitas tidak pernah
sepenuhnya tercapai. Penyakit ini progresif, komplikasi kronis akan
muncul, situasi kehidupan berubah dan pasien mengalami proses
penuaan.
f. Mengurangi koping (reducing risk)
Perilaku pengurangan risiko yang efektif seperti berhenti merokok,
dan periksa mata, kaki dan pemeriksaan gigi secara teratur dapat
mengurangi komplikasi diabetes dan memaksimalkan kesehatan dan
kualitas hidup. Suatu bagian penting dari perawatan diri adalah
belajar untuk memahami, mencari dan teratur memperoleh berbagai
layanan pencegahan komplikasi. Keterampilan yang diajarkan
meliputi berhenti merokok., inspeksi kaki, pemantauan tekanan
darah, self monitoring glukosa darah, penggunaan aspirin dan
pemeliharaan catatan perawatan pribadi.
g. Koping yang sehat (healthy coping)
Status kesehatan dan kualitas hidup dipengaruhi oleh faktor
psikologis dan sosial. Tekanan psikologis secara langsung
mempengaruhi kesehatan dan secara tidak langsung mempengaruhi
motivasi seseorang untuk menjaga diabetesnya. Ketika motivasi
kurang, maka komitmen untuk perawatan diri yang efektif juga sulit
untuk dipertahankan. Ketika hambatan tidak dapat teratasi, niat baik
saja tidak dapat mempertahankan perilaku. Mengatasi menjadi sulit
dan kemampuan seseorang untuk mengelola sendiri diabetesnya
memburuk.
3. Faktor yang Mempengaruhi Kompre Hangat
Menurut Istiyani (2018) ada 10 faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi self care behavior pada diabetes melitus, yaitu:
a. Usia sebagai salah satu hubungan terhadap self care diabetes.
Semakin bertambahnya usia penderita diabetes melitus, pola pikir
seseorang akan semakin rasional mengenai manfaat yang akan
diperoleh dan dicapai jika mereka melakukan self care diabetes
dalam kehidupan sehari-hari.
b. Jenis kelamin dapat memberikan kontribusi terhadap self care
diabetes. Self care diabetes harus dilaksanakan oleh pasien diabetes
melitus baik laki-laki maupun perempuan, pada kenyataannya
perempuan tampak lebih peduli terhadap kesehatannya sehingga
berupaya secara optimal untuk melakukan perawatan mandiri
terhadap penyakitnya.
c. Sosial ekonomi seseorang berpengaruh terhadap tingkah laku self
care seseorang. Dengan status sosial ekonomi yang tinggi maka
perilaku self care diabetes akan meningkat.
d. Lama menderita DM Klien yang sudah lama mengidap DM memiliki
skor self care diabetes yang lebih tinggi dibandingkan klien dengan
durasi DM lebih pendek.
e. Aspek emosional. Masalah emosional yang umum dialami oleh klien
DM ialah sedih, stres, khawatir akan kehidupan kedepan, memikirkan
komplikasi jangka panjang, perasaan takut hidup dengan diabetes,
merasa tidak semangat dengan program yang harus dijalani, rasa
bosan dengan perawatan rutin yang harus dijalani, khawatir dengan
perubahan kadar gula darah.
f. Motivasi bahwa motivasi diri adalah faktor yang signifikan
mempengaruhi klien DM dalam hal mempertahankan diet dan
monitor gula darah. Klien DM yang memiliki motivasi baik akan
melakukan self care diabetes dengan baik pula untuk mencapai
tujuan yang diinginkan yaitu pengontrolan gula darah sehingga
komplikasi dapat diminimalkan.
g. Keyakinan terhadap keberhasilan penatalaksanaan diabetes atau
efektifitas penatalaksanaan diabetes merupakan pemahaman klien
terhadap pentingnya self care diabetes dalam manajemen penyakit
DM.
h. Komunikasi dengan petugas kesehatan, tenaga kesehatan memiliki
kontribusi yang penting dalam meningkatkan kemandirian klien
dengan cara memberikan pendidikan atau edukasi.
i. Dukungan keluarga diyakini menjadi faktor penting juga yang dapat
memfasilitasi klien untuk melakukan self care diabetes. Dukungan
keluarga menjadi sumber utama bagi klien diabetes untuk melakukan
self care. Penelitian yang dilakukan Anam (2019) pemberian edukasi
kepada anggota keluarga berpengaruh terhadap pemahaman
tentang sejauh mana penyakitnya dan pandangan terhadap
kemampuan diri dalam mencapai pengontrolan penyakit diabetes.
4. Pengukuran Kompres Hangat
Pengukuran self care behavior dapat menggunakan kuesioner
Summary of Diabetes Self-Care Acivity (SDSCA) yang dikembangkan
oleh Toobert, D. et.al. (2000) dalam (Munir, 2021) yang termasuk
aktivitas self care diabetes ialah pengaturan pola makan, latihan fisik,
pemantaun gula darah, pengobatan dan perawatan kaki.
a. Pengaturan pola makan
Tujuan pengaturan pola makan atau diet pada klien DM adalah
membantu klien memperbaiki kebiasaan makan yang baik untuk
mendapatkan kontrol metabolik yang lebih baik.
b. Latihan fisik
Latihan fisik klien DM akan meningkatkan sensitivitas reseptor
insulin di dinding sel teraktivitas lebih baik, sehingga kerja atau fungsi
insulin yang meningkat. Efek yang terjadi adalah uptake glukosa ke
dalam sel menjadi lebih baik.
c. Pemantauan Gula Darah
Pemantauan atau monitoring kadar gula darah secara teratur
merupakan salah satu bagian dari penatalaaksaan DM yang penting
dilakukan oleh klien DM. Oleh karena itu klien DM harus memahami
manfaat dan tujuan dari pemantauan kadar gula darah secara teratur
tersebut sehingga akan meningkatkan keterlibatan aktif klien secara
langsung dalam pengelolaan penyakitnya.
d. Pengobatan
Jika terjadi kegagalan pengendalian glikemia pada klien DM
setelah melakukan perubahan gaya hidup maka memerlukan.
e. Perawatan kaki
Perawatan kaki merupakan aktivitas penting yang harus dilakukan
penderita DM untuk merawat kaki yang bertujuan mengurangi resiko
ulkus kaki (Dharmawati, 2019). Hal-hal yang perlu diperhatikan saat
perawatan kaki adalah penderita DM harus memeriksa kondisi kaki
setiap hari, mencuci kaki dengan bersih dan mengeringkan
menggunakan lap, memeriksa dan memotong kuku kaki secara rutin,
memilih alas kaki yang nyaman, serta mengecek bagian sepatu yang
akan digunakan (Pratiwi, 2019).
D. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini, variabel yang akan di teliti adalah hubungan self
care behavior dengan kesembuhan luka gangren pada penderita diabetes
melitus. Cara mengukur self care behavior dan kesembuhan luka pada
penderita diabetes melitus merupakan variabel bebas. Secara lebih
lengkap kerangka teori dalam penelitian ini dapat di lihat pada gambar:

Diabetes
Melitus

Neuropati Penurunan Vaskuler


sistem imunitas

- Motorik Kemampuan Makro


Mikro vaskuler
- Sensorik leokosit untuk vaskuler
- Otonom menbunuh Arteriosklerosi Penipisan
bakteri s dinding kapiler
pembulu darah
Peningkata
n terjadinya Penyumbata Penurunan
infeksi n aliran darah aliran darah

Iskemia Edema

Ulserasi Gangren

Gambar 2.1 Kerangka Teori


Sumber: (Kartika, 2017).

Dari kerangka teori diatas dapat dijelaskan bahwa self care behavior
terutama pada penderita diabetes melitus terhadap self care behavior dan
kesembuhan luka pada penderita sangat penting dalam mendasari
perawatan terbentuknya self care behavior dan kesembuhan luka gangren
penderita diabetes melitus yang optimal. Self care behavior tentang
kesembuhan luka gangren akan menentukan self care penderita diabetes
melitus (Istiyani, 2018 dan Sukmawati, 2019).

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Strategi Pencarian Literatur


Jenis penelitian yang digunakan adalah studi literatur. Metode studi
literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode
pengumpulan data, membaca dan mencatat, serta mengelola bahan
penelitian, khususnya penelitian akademik yang tujuan utamanya adalah
mengembangkan aspek teoritis maupun aspek manfaat prakti
1. Framework Yang Digunakan
P: Pasien diabetes melitus
I: Self Care Behavior
C: Pasien yang menderita diabetes melitus
O: Kesembuhan luka gangren dan self care behavior
S: Studi Literatur
T: 2015-2021

2. Kata Kunci
Adapun kata kunci pencarian adalah sebagai berikut:
a. Penyakit diabetes melitus dan luka gangren or Diabetes mellitus and
gangrenous wound
b. Luka gangren pada penderita diabetes melitus or gangrenous
wounds in people with diabetes mellitus
c. Perilaku perawatan diri dengan kesembuhan luka gangren pada
penderita diabetes melitus or Self care behavior with gangrenous
wound healing in diabetes mellitus sufferers
d. Perawatan diri dengan luka gangren or Self care with gangrenous
wounds
3. Database
a. Google Scholar
b. Pubmed
c. Data Sekunder atau Buku
B. Kriteria Inklusi dan Ekslusi
Pencarian literatur dilakukan untuk mengidentifikasi semua artikel
tentang Diabetes Melitus. Pencarian literatur dilakukan dengan kata kunci
“Self care behavior dengan kesembuhan luka gangren pada penderita
diabetes melitus”. Data base yang digunakan adalah Pubmed, Google
Scholar dan data sekunder seperti artikel,. Dilaporkan dalam bahasa
indonesia dan bahasa inggris selama lima tahun terakhir.
Studi yang berpotensi memenuhi syarat akan diambil dan ditinjau
kembali apakah sesuai dengan kriteria penelitian.
1. Kriteria Inklusi
a. Artikel penelitian terbitan tahun 2015-2021.
b. Menggunakan bahasa inggris dan bahasa indonesia.
c. Sesuai dengan topik penelitian
d. Naskah full test
e. Subjek penderita diabetes melitus
f. Pubmed, buku, jurnal nasional.
2. Kriteria Ekslusi
a. Artikel penelitian dengan teks tidak lengkap dalam bentuk abstrak,
tidak dapat diakses, artikel tidak sesuai topik.
b. Menggunakan bahasa medis dan latin.
c. Tidak sesuai dengan topik penelitian
d. Naskah tidak full test
e. Subjek bukan penderita diabetes melitus
f. Jurnal, Pubmed, buku, jurnal nasional.
C. Seleksi Studi Dan Penilaian Kualitas
1. Hasil Penelitian Studi

Google Scholar Pubmed Data Sekunder


D. n: 26 n: 4 n: 3

Identification Artikel Identified


n:33
Exclusion Doubel
Screening Publication (n:0)
Screening results
n: 33
Exclusion
No full text (n:0)
Eligibility Ir relevant (n:24)
In accordance
with the question
(n:9)
Exclusion
Non the result of
Inclusion research (n:2)
Number of article
included
(n:7)

Diagram 3.1 PRISMA Diagram

Diagram Prisma adalah kumpulan item yang berbasis bukti untuk


dilaporkan dalam tinjauan sistematis dan meta–analisis. Prisma tidak
hanya berfokus pada pelaporan review yang mengevaluasi uji coba
secara acak, namun juga dapat digunakan sebagai dasar untuk
melaporkan tinjauan sistematis terhadap jenis penelitian lainnya, dan
mengevaluasi sebuah intervensi tertentu.
Diagram prisma bertujuan untuk membantu penulis memperbaiki
pelaporan tinjauan sistematis dan meta–analisis.
Proses penelitian menggunakan pendekatan diagram PRISMA untuk
tinjauan literatur ditunjukkan pada (Gambar 1) penjelasan metode dan
hasil studi termasuk intervensi dapat dilihat dalam semua penelitian dan
memperhatikan studi yang menyelidiki intervensi yang sama.
Memulai dengan materi hasil penelitian yang secara sekuensi
diperhatikan dari yang paling relevan dan cukup relefan. Cara lain dapat
juga misalnya, dengan tahun penelitian diawali dengan mutakhir, dan
berangsur ansur mundur ke tahun yang lebuh lama. Membaca abstrak
dari setiap penelitian lebih dahulu untuk memberikan penelitian apakah
permasalahan yang dibahas sesuai dengan yang hendak dipecahkan
dalam penelitian. Mencatat bagian-bagian penting yang relevan dengan
permasalahan penelitian, untuk menjaga tidak terjebak dalam unsur
plagiat, para peneliti hendaknya juga mencatat sumber-sumber
informasi dan mencantumkan daftar pustaka. Jika memang informasi
berasal dari ide atau hasil penelitian orang lain. Membuat catatan,
kutipan, atau informasi yang disusun secara sistematis sehingga
penelitian dengan mudah dapat mencari kembali jika sewaktu–waktu
diperlu

Anda mungkin juga menyukai