Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

PERKEMBANGAN KREATIFITAS DAN BAKAT KHUSUS ANAK USIA SEKOLAH


DASAR

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Perkembangan Peserta Didik

Dosen Pengampu:
Dr. Ririanti Rachmayanie J. S.Psi, M.Pd

Disusun Oleh:
Kelas 2D
Kelompok 7

Tri Mustika .S 1910125120014


Selvia Rahmawati 1910125220094
Hela Mardiah 1910125220099
Muhammad Safwan Hadi 1910125310035
Mahliani 1910125320074

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
2019/2020
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya dengan
rahmat-Nya kami akhirnya bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Pemecahan Masalah”
dengan baik dan tepat waktu.

Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan tugas mata kuliah
Perkembangan Peserta Didik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambahkan
wawasan tentang pemecahan masalah dalam matematika bagi para pembaca dan bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ririanti Rachmayanie J. S.Psi, M.Pd.
selaku dosen mata kuliah Matematika SD 1 yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Banjarmasin, 19 Februari 2020

Kelompok 7
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................................2

DAFTAR ISI...............................................................................................................................................3

BAB I..........................................................................................................................................................4

PENDAHULUAN.......................................................................................................................................4

A. LATAR BELAKANG.....................................................................................................................4

B. RUMUSAN MASALAH.................................................................................................................4

BAB 2.........................................................................................................................................................5

PEMBAHASAN.........................................................................................................................................5

A. Pengertian Bakat..............................................................................................................................5

B. Bakat sebagai potensi yang dapat dikembangkan............................................................................5

1. Faktor dalam Diri Anak...............................................................................................................6

2. Faktor Keadaan Lingkungan Anak..............................................................................................6

C. Pengertian Kreativitas......................................................................................................................7

1. Mengembangkan kreativitas anak..............................................................................................10

D. Hubungan Antar Kreativitas dan Kecerdasan...................................................................................11

1. Kecerdasan (Intelligence).............................................................................................................11

E. Belajar dan berpikir kreatif................................................................................................................19

F. Faktor-faktor yang berpengaruh dan sumber- sumber kreativitas yang perlu dikembangkan...........20

BAB III......................................................................................................................................................25

PENUTUP.................................................................................................................................................25

A. KESIMPULAN.............................................................................................................................25

B. SARAN.........................................................................................................................................26

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................................27
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Bakat merupakan potensi yang ada dalam diri seseorang yang perlu dilatih dan
dikembangkan karena tanpa latihan dan pengembangan maka bakat yang ada dalam diri
seseorang tidak akan terwujud. Karena bakat adalah hasil belajar, maka pada dasarnya setiap
orang bisa punya lebih dari satu bakat, tergantung kesesuaian potensi diri dan kesempatan di
masyarakat. Kreativitas berasal dari kata ‘to create’ artinya membuat. Dengan kata lain
kreativitas adalah, kemampuan seseorang untuk membuat sesuatu, apakah itu dalam bentuk ide,
langkah, atau produk. Pada saat akan membuat (to create) sesuatu, ada beberapa aspek penting
yang menyertainya. Pertama dia mampu menemukan ide untuk membuat sesuatu. Kedua dia
mampu menemukan bahan yang akan digunakan dalam membuat produk tersebut. Ketiga dia
mampu melaksanakannya, dan terakhir mampu menghasilkan sesuatu.

Setiap manusia pada dasarnya adalah makhluk yang kreatif. Rangsangan dari luar, adalah
bagian penting yang bisa mendorong atau melecut kemampuan kreatif manusia. Tetapi,
optimalisasi potensi itu perlu dipelajari, dan pembiasaan. Hal ini mengindikasikan, bahwa
kreatifitas dan manusia kreatif itu lahir dari berbagai ragam konteks, namun memiliki satu
kesamaan, yaitu dia mampu keluar dari situasi beku dan baku lingkungannya sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan bakat?
2. Apa saja bakat yang dapat menjadi potensi untuk dapat dikembangkan?
3. Apa itu kreativitas?
4. Apa hubungan antara kreativitas dan kecerdasan?
5. Bagaimana cara belajar dan berpikir kreatif?
6. Apa saja faktor-faktor yang berpengaruh dan sumber kreativitas yang perlu dikembangkan?

C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bakat
2. Untuk mengetahui apa saja bakat yang dapat menjadi potensi untuk dapat dikembangkan
3. Untuk mengetahui apa itu kreativitas
4. Untuk mengetahui hubungan antara kreativitas dan kecerdasan
5. Untuk mengetahui cara belajar dan berpikir kreatif
6.Untuk mengetagui faktor-faktor yang berpengaruh dan sumber kreativitas yang perlu
dikembangkan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Bakat
Seorang anak, seperti Gita Gutawa yang mempunyai bakat menyanyi. Akan lebih mudah
menguasai pelajaran seni suara atau seni musik. Namun demikian, seorang Gita Gutawa tidak
akan menjadi Gita Gutawa yang pandai menyanyi kalau bakat menyanyinya ini tidak dirangsang
dengan latihan. Melalui latihan yang intensif dan dengan bimbingan ayahnya yang seorang
musisi, serta mengikuti kursus seni suara, memungkinkan Gita Gutawa memiliki kualitas suara
yang baik. Apabila ia tidak mendapatkan latihan mengenai teknik tarik suara maka bakatnya
tidak akan tampil maksimal, dan akhirnya bakat seni suaranya hanya menjadi bakat yang
terpendam. ( Agus Tufiq, Hera L. Mikarsa, Puji L. Priyanto, 2016: 62) Karena bakat adalah hasil
belajar, maka pada dasarnya setiap orang bisa punya lebih dari satu bakat, tergantung kesesuaian
potensi diri dan kesempatan di masyarakat. (Bukik Setiawan dan Andrie Firdaus, 2016: 22)

Namun demikian, bakat juga perlu dikembangkan agar dapat lebih terwujud dalam
kehidupan seseorang. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Utami Munandar (1987)
bahwa bakat dapat diartikan sebagai kemampuan bawaan, sebagai potensi yang masih perlu
dikembangkan dan dilatih agar dapat terwujud. Pendapat ini jua sejalan dengan yang
dikemukakan oleh Sarwono (1986) bahwa bakat adalah kondisi di dalam diri seseorang yang
memungkinkannya dengan suatu latihan khusus mencapai kecakapan, pengetahuan dan
keterlampilam khusus. Dari kedua pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bakat
merupakan potensi yang ada dalam diri seseorang yang perlu dilatih dan dikembangkan karena
tanpa latihan dan pengembangan maka bakat yang ada dalam diri seseorang tidak akan terwujud.
( Agus Tufiq, Hera L. Mikarsa, Puji L. Priyanto, 2016: 62-63)

B. Bakat sebagai potensi yang dapat dikembangkan


Dalam masa pertumbuhannya, terwujud atau tidaknya bakat anak mungkin hal ini disebabkan
karena lingkungan, seperti peran orang tua, guru atau sekolah dan pergaulan. Lingkungan yang
mendukung dirasakan tidak masalah, namun jika lingkungan tidak mendukung akan membuat
potensi atau bakat yang ada tidak berkembang. Lingkungan di mana orang tua tidak mengenal
bakat anaknya, atau orang tua tahu bakat anaknya dan memiliki sarana untuk
mengembangkannya, namun mengabaikannya, akan membuat bakat anak menjadi terpendam.
Banyak orang tua justru lebih mengutamakan prestasi di pelajaran sekolah. Oleh karena itu,
tidaklah mengherankan jika hal-hal yang berkaitan dengan segi atau bakat intelektual lebih
mendapat kesempatan untuk dikembangkan. Mengikuti les berbagai macam pelajaran,
membelikan berbagai macam buku tanya jawab dan soal-soal tampaknya lebih disukai dan
menjadi perhatian orang tua, daripada memberi kesempatan pada anak untuk les menari atau
menyanyi. Sekolah atau guru yang lebih menuntut pada pencapaian akademis yang tinggi juga
akan membuat bakat-bakat anak di bidang lain tidak akan pernah terwujud. Hal ini dapat kita
lihat dari sekolah-sekolah yang memiliki tuntutan yang tinggi pada siswa-siswanya, misalnya
sistem peringkat di sekolah. Di lain pihak teman-teman sebaya atau sepermainan juga dapat
memberi pengaruh terhadap terwujud atau tidaknya bakat seorang anak. Anak yang sebetulnya
berbakat melukis, tetapi tidak memilih kegiatan melukis di sekolahnya karena teman-teman
sebaya dan sepermainannya lebih memilih bermain. Terwujud atau tidaknya bakat seseorang,
ditentukan oleh beberapa faktor. Utami Munandar (1987) menjelaskan bahwa ada beberapa
faktor yang dapat menentukan sejauh mana bakat anak dapat terwujud. Faktor-faktor tersebut
adalah faktor dalam diri anak dan faktor lingkungan anak.

1. Faktor dalam Diri Anak


Faktor ini banyak berkaitan dengan keadaan fisik dan psikis anak. Anak yang secara fisik
sehat, indera pendengaran dan alat percakapannya sempurna, serta sering mengikuti latihan olah
vokal maka bakatnya di bidang menyanyi atau musik akan berkembang. Fisik yang sempurna
pun perlu didukung oleh faktor dalam diri yang lain seperti minat, motivasi dan keuletannya
dalam menekuni kegiatan yang berhubungan dengan menyanyi. Seorang anak yang memiliki
keterbatasan fisik (misal: tunanetra) dan mengikuti kompetisi MAMA MIA, dapat mewujudkan
bakat musiknya. Hal ini karena minat juga didukung oleh motivasi dirinya. Di samping itu juga
didukung oleh faktor lain.

2. Faktor Keadaan Lingkungan Anak


Perwujudan bakat akan maksimal jika didukung oleh faktor luar diri anak, misalnya dukungan
keluarga, seberapa jauh anak mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya, sarana dan
prasarana yang tersedia, keadaan sosial ekonomi orang tua maupun tempat tinggalnya.
Keberhasilan Gita Gutawa
sampai ke ajang internasional, tentu saja tidak lepas dari dukungan keluarga (ayah dan ibu),
sarana dan kesempatan yang diberikan lingkungan padanya. Dari bahasan kedua faktor tersebut
jelaslah bagaimana peran orang tua dan guru di sekolah untuk turut mendorong dan mendukung
bakat anak terhadap sesuatu hal. Tampaknya pihak lingkungan perlu menyadari bahwa pada
masa sekarang ini segi intelektual bukanlah satu-satunya kemampuan yang penting dan harus
dimiliki oleh anak. Perwujudan bakat dalam prestasi di bidang hal-hal yang non-akademik pun
merupakan hal yang patut dikembangkan dalam kehidupan anak. Berkaitan dengan bakat, sejak
beberapa dekade ini banyak ahli mulai memikirkan pentingnya kreativitas dalam diri seseorang.
Untuk mengenal lebih jauh mengenai kreativitas maka berkaitan dengan kegiatan belajar kita
kali ini, berikut akan dibahas mengenai kreativitas. ( Agus Tufiq, Hera L. Mikarsa, Puji L.
Priyanto, 2016: 63-64)

C. Pengertian Kreativitas
Menurut Dedi Supriadi (1989), adanya per'bedaan dalam pengertian kreativitas disebabkan
beberapa alasan, yaitu:

1. Sebagai "konstruk hipotesis", kreativitas merupakan ranah psikologis yang cukup


kompleks dan multidimensi;

2. Definisi kreativitas memberikan tekanan yang berbeda-beda, bergantung pada teori yang
menjadi acuan pembuatan definisi tersebut.

Berdasarkan analisis faktor, Guilford menyatakan lima sifat yang menjadi ciri kemampuan
berpikir kreatif, antara lain:

A. Kelancaran (fluency), yaitu kemampuan menghasilkan gagasan;

B. Keluwesan (erxibility), yaitu kemampuan untuk mengemukakan berbagai pemecahan


masalah;

C. Keaslian (originality), yaitu kemampuan mencetuskan gagasan denga'n cara asli dan tidak
klise;
D. Perumusan kembali (redefenision), yaitu kemampuan untuk Ineninjau suatu persoalan
berdasarkan perspektif yang berbeda~ beda dari yang telah dikemukakan dan diketahui
oleh orang banyak. (Drs. Anas Salahudin,M.Pd. dan Irwanto Alkrienciehie,
S.Ag.2013:297 )

Selain itu, Utami Munandar (1987) juga memberikan beberapa pengertian kreativitas
berdasarkan pendapat para ahli, salah satunya yang juga merupakan pengertian dasar dari
kreativitas adalah kreativitas merupakan kemampuan untuk membuat kombinasi baru,
berdasarkan data, informasi dan unsur-unsur yang ada. Umumnya kebanyakan orang
mengartikan kreativitas sebagai daya cipta, khususnya menciptakan hal-hal yang baru.
Sebetulnya dalam kreativitas tidak selalu harus menciptakan sesuatu yang benar-benar baru sama
sekali, dapat saja merupakan gabungan atau kombinasi dari apa yang sudah ada sebelumnya.
Apa yang diciptakan dapat diperoleh dari pengetahuan atau pengalaman hidup anak, khususnya
yang diperoleh di sekolah maupun lingkungan keluarganya. Semakin banyak pengetahuan dan
pengalaman hidupnya maka semakin kaya dan banyak pula ide-ide yang dihasilkan. Dengan
demikian, semakin memungkinkan baginya untuk menciptakan ide-ide yang kreatif. Sejauh
mana seseorang dikatakan kreatif, ditunjukkan melalui kemampuannya untuk membuat
kombinasi baru dari hal-hal yang ada

Jika ditinjau dari belahan otak manusia yang terdiri dari belahan otak kanan dan kiri,
tampak bahwa masing-masing memiliki kekhususan tersendiri.
Belahan otak kiri yang banyak mengontrol bagian kanan tubuh manusia, ternyata di
dalambanyak lingkungan budaya cenderung lebih dominan dan lebih dikembangkan, khususnya
begitu anak mulai sekolah. Belahan otak kiri banyak berkaitan dengan verbal, matematis,
analitis, rasional scrta hal-hal yang menekankan pada keteraturan. Sedangkan belahan otak kanan
yang mengontrol bagian kiri tubuh manusia, terutama mengkhususkan pada hal-hal yang bersifat
nonverbal dan holistik, intuitif, imajinatif. Agar kreativitas seseorang dapat lebih terwujud maka
belahan otak kanan perlu diasah (Rosemini, 2000). Pengertian dasar lain dari kreativitas, yang
juga merupakan kesimpulan Utami Munandar (1987), menyebutkan bahwa secara operasional
kreativitas adalah kemampuon yang mencerminkan kelancaran, keluwesan, dan orisinalitas
dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (memperkaya, mengembangkan, dan
memerinci) suatu gagasan. Mari kita mencoba tugas berikut ini. Di bawah ini ada 4 buah persegi,
buatlah sesuatu dari persegi ini. Kemudian berilah judul di setiap ide yang sudah Anda hasilkan.

Jika sudah selesai, mari kita kaitkan dengan definisi dari Utami Munandar. Kelancaran
ditunjukkan dari ide yang dihasilkan oleh Anda. Jika Anda membuat rumah, buku, kotak obat
atau peti, dan lain-lain maka hal ini menunjukkan kelancaran Anda dalam mengungkapkan ide.
Keluwesan menunjukkan keberagaman ide yang dihasilkan. Anda menunjukkan ide yang
bervariasi. Hal ini berbeda jika Anda membuat persegi menjadi gambar rumah semua. Segi
elaborasi menunjukkan sejauh mana Anda memerinci atau memperkaya ide- idenya, hal ini
ditunjukkan melalui detail-detail dari hasil gambarannya, misalnya gambar rumah yang
ditambahkan dengan detail pintu, jendela, alur genteng atau cerobong asap pada atap rumahnya.
Segi orisinalitas menunjukkan sejauh mana ide yang dihasilkan benar-benar original.
Dalam kreativitas juga dijumpai adanya 4 P. Menurut konsep atau pendekatan 4 P,
kreativitas merupakan suatu pendekatan yang melihat kreativitas dari segi pribadi, pendorong
(press), proses, dan produk kreativitas. Sebagai pribadi menunjukkan bahwa kreativitas dimiliki
setiap orang, namun dalam kadar yang berbeda-beda. Sebagai pendorong (press) diartikan bahwa
lingkungan memiliki andil dalam memberikan rangsangan agar kreativitas dapat terwujud.
Proses adalah sesuatu yang diperlukan, untuk melihat bagaimana suatu hasil kreatif dapat
dicapai. Produk menunjukkan bahwa setiap hasil kreatif seseorang diharapkan dapat dinikmati
oleh lingkungan, dan yang terpenting bahwa hasil kreatif seseorang juga harus bermakna bagi
yang bersangkutan (Utami Munandar, 1999 dan Rosemini, 2000).
Dengan demikian, dapat disimpulkan meskipun sulit memahami kreativitas hanya dari
satu definisi maka kita perlu mengenal berbagai macam definisi dan sudut pandang para pakar
yang mengemukakan kreativitas. (Agus Taufiq, Hera L.Mikarsa, Puji L. Prianto,2016: 64-67)

1. Mengembangkan kreativitas anak


Kreativitas dibutuhkan oleh manusia untuk menyelesaikan berbagai masalah dalam
kehidupan sehari-hari. Kreativitas harus dikembangkan sejak dini. Banyak keluarga yang tidak
menyadari bahwa sikap orangtua yang otoriter (diktator) terhadap anak akan mematikan bibit-
bibit kreativitas anak, sehingga ketika menjadi dewasa hanya mempunyai kreativitas yang sangat
terbatas. Kreativitas anak akan berkembang jika orangtua selalu bersikap otoritatif (demokratis),
yaitu mau mendengarkan omongan anak, menghargai pendapat anak, mendorong anak untuk
berani mengungkapkannya. Jangan memotong pembicara- an anak ketika ia ingin
mengungkapkan pikirannya. Jangan memaksakan pada anak bahwa pendapat orangtua paling
benar, atau melecehkan pendapat anak. Orangtua harus mendorong anak untuk berani mebcoba
mengemukakan pendapat, gagasan, melakukan sesuatu atau mengambil keputusan sendiri
(asalkan tidak membahayakan atau merugikan orang lain atau diri sendiri). Jangan mengancam
atau menghukum anak kalau pendapat atau salah oleh orang tua. Anak tidaklah salah, mereka
umumnya belum tahu, dalam tahap belajar. Oleh karena itu, tanyakan mengapa mereka
berpendapat atau berbuat demikian, beri kesempatan untuk mengemukakan alasan-alasan.
Berikanlah contoh-contoh, ajaklah berpikir, jangan didikte atau dipaksa, biarkan mereka yang
memperbaikinya dengan caranya sendiri. Dengan demikian mematikan keberanian mereka untuk
mengemukakan pikinu perbuatannya diangp gagasan, pendapat, atau melakukan sesuatu.
Selain itu, orang tua harus mendorong kemandirian anil dalam melakukan sesuatu,
menghargai usaha-usaha yang telah dilakukannya, memberikan pujian untuk hasil yang telah
dicapainya walau sekecil apapun. Cara-cara ini merupakan salah satu unsur penting
pengembangan kreativitas anak. Keluarga harus merangsang anak untuk tertarik mengamai dan
mempertanyakan tentang berbagai benda atau kejadian di sekeliling kita, yang mereka dengar,
lihat, rasakan, atau merels pikirkan dalam kehidupan sehari-hari. Orangtua harus menjawab
dengan cara menyediakan sarana yang semakin merangsang, anak berpikir lebih dalam, misalnya
dengan memberikan gambar-gambar, buku-buku. Jangan menolak, melarang, atau menghentikan
rasa ingin tahu anak, asalkan tidak membahayakan dirinya atau orang lain. Orang tua harus
memberikan kesempatin anak untuk mengembangkan khayalan, merenung, berpikir, dan
mewujudkan gagasan anak dengan cara masing-masing.
Biarkan mereka bermain, menggambar, membuat bentuk-bentuk atatu warna-warna
dengan cara yang tidak lazim, tidak logis, tidak realistis atau belum pernah ada. Biarkan mereka
menggambar sepeda dengan roda segi empat. langit berwarna merah, daun berwarna biru. Jangan
banyak melarang, mendikte, mencela, mengecam, atau membatasi anak Berilah kebebasan,
kesempatan, dorongan, penghargaan, atau pujian untuk mencoba suatu gagasan, asalkan tidak
membahaya- kan dirinya atau orang lain. Semua hal tersebut akan merangsang perkembangan
fungsi otak kanan yang penting untuk kreativitas anak yaitu: berpikir divergen (meluas), intuitif
(berdasarkan intuisi), abstrak, bebas, simultan. Oleh karena itu, unutk mengembangkan
kreativitas anak harus dicukupi pula kebutuhan zat-zat gizi yang seimbang untuk perkembangan
otak sejak janin dalam kandungan, balita, anak usia sekolah, sampai remaja, bahkan sampai
dewasa. ( Ferdinand Zaviera,2015: 149-151).

D. Hubungan Antar Kreativitas dan Kecerdasan

1. Kecerdasan (Intelligence)
Anak yang lebih pintar belajar lebih cepat, belajar lebih banyak, mengingat lebih baik,
dan menerapkan penhetahuan dengan lebih mudah daripada anak dengan kecerdasan rata- rata.
Pekerjaan sekolah dilakukan dengan lebih mudah disemua tingkatan. Demikian pula aspek lain
dalam kehidupan yang memerlukan pemikiran, lebih bisa memahami film dan jalan cerita, lebih
mampu mengikuti instruksi di resep dokter, lebih bisa menghindari masalah dan menghindari
penjara, lebih mampu merencanakan pendidikan praperguruan tinggi dan pergiruan tinggi, serta
lebih berkembang dalam kehidupan kerja dan pribadi seseorang.

Pakar kecerdasan kelas dunia, Arthur Jensen mengakui bahwa kita dapat mendefinisikan
kecerdasan dalam beragam cara. Dia menjelaskan kecerdasan sebagai kemampuan untuk
merangsang hubungan. Beberapa penelitiannya melibatkan waktu reaksi "sederhana", dimana
subjek dengan cepat menekan satu tombol setelah lampu isyarat menyal, dan waktu reaksi"
pilihan", yang membutuhkan pemilihan antara dua atau tiga lampu sebelum menekan tombol
yang benar. Dia menemukan bahwa waktu reaksi yang lebih cepat terkait dengan ciri lain dari
kecerdasan dasar yang lebih tinggi.

Yang menarik disini Jensen menemukan bahwa waktu reaksi dari anak usia 13 tahun
yang sangat pintar secepat wakti reaksi mahasiswa- dan wakti reaksinya jauh lebih cepat dari
anak usia 13 tahun dengan kecerdasan rata- rata, terutama dengan waktu reaksi piliham.
Penelitian sederhana Jensen mengindikasikan hmbahwa kecerdasan yang lebih tinggi berarti
bahwa otak di dalam individu ini lebih cepat, lebih efisien, dan lebih akurat. (Momon Sudarma,
S.Pd., M.Si.2016: 3-7)

Kreativitas dengan inteligensia atau kecerdasan. Cobalah kita sama-sama renungkan,


apakah orang yang kreatif selalu mempunyai inteligensia yang tinggi? Kenyataannya dilaporkan
bahwa seseorang yang memiliki bakat kreativitas yang tinggi ternyata tingkat kecerdasannya
biasa-biasa saja. Sementara itu dikatakan bahwa tidak semua orang yang memiliki tingkat
kecerdasan yang tinggi adalah orang-orang yang kreatif.Teori ambang inteligensia untuk
kreativitas dari Anderson (dalam Utami Munandar, 1999) memaparkan bahwa sampai tingkat
inteligensia tertentu, yang diperkirakan seputar IQ 120, ada hubungan yang erat antara
inteligensia dan kreativitas. Hal ini dapat dimengerti karena untuk menciptakan suatu produk
kreativitas yang tinggi diperlukan tingkat inteligensia yang cukup tinggi pula. Lebih lanjut
Anderson mengatakan bahwa di atas ambang inteligensia itu tidak ada korelasi yang tinggi lagi
antara inteligensia dan kreativitas.Dari penelitian Utami Munandar (dalam Utami Munandar,
1999) menunjukkan bahwa hasil studi korelasi dan analisis faktor membuktikan tes kreativitas
sebagai dimensi fungsi kognitif yang relatif bersatu, yang dapat dibedakan dari tes inteligensia.
Di sisi lain berpikir divergen (kreativitas) juga menunjukkan hubungan yang bermakna dengan
berpikir konvergen(inteligensia).Meskipun hubungan yang erat antara inteligensia dan kreativitas
masih banyak dipermasalahkan, namun yang perlu diingat adalah kreativitas diperoleh

Dari pengetahuan atau pengalaman hidup. Pengetahuan yang selama ini diperoleh dari
lingkungan dikumpulkan dan diintegrasikan ke dalam suavitas dengan inteligensia atau
kecerdasan. Cobalah kita sama-sama renungkan, apakah orang yang kreatif selalu mempunyai
inteligensia yang tinggi? Kenyataannya dilaporkan bahwa seseorang yang memiliki bakat
kreativitas yang tinggi ternyata tingkat kecerdasannya biasa-biasa saja. Sementara itu dikatakan
bahwa tidak semua orang yang memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi adalah orang-orang yang
kreatif.Teori ambang inteligensia untuk kreativitas dari Anderson (dalam Utami Munandar,
1999) memaparkan bahwa sampai tingkat inteligensia tertentu, yang diperkirakan seputar IQ
120, ada hubungan yang erat antara inteligensia dan kreativitas. Hal ini dapat dimengerti karena
untuk menciptakan suatu produk kreativitas yang tinggi diperlukan tingkat inteligensia yang
cukup tinggi pula. Lebih lanjut Anderson mengatakan bahwa di atas ambang inteligensia itu
tidak ada korelasi yang tinggi lagi antara inteligensia dan kreativitas.Dari penelitian Utami
Munandar (dalam Utami Munandar, 1999) menunjukkan bahwa hasil studi korelasi dan analisis
faktor membuktikan tes kreativitas sebagai dimensi fungsi kognitif yang relatif bersatu, yang
dapat dibedakan dari tes inteligensia. Di sisi lain berpikir divergen (kreativitas) juga
menunjukkan hubungan yang bermakna dengan berpikir konvergen(inteligensia).Meskipun
hubungan yang erat antara inteligensia dan kreativitas masih banyak dipermasalahkan, namun
yang perlu diingat adalah kreativitas diperoleh dari pengetahuan atau pengalaman hidup.
Pengetahuan yang selama ini diperoleh dari lingkungan diSeperti telah dikemukakan bahwa
kelancaran, kelenturan, orisinalitas, elaborasi atau perincian, merupakan ciri-ciri dari kreativitas
yang berhubungan dengan kemampuan berpikir kreatif seseorang. Semakin kreatif maka
seseorang semakin memiliki ciri-ciri tersebut. Namun demikian, ciri-ciri berpikir tersebut belum
tentu mewujudkan kreativitas seseorang. Ternyata masih ada ciri-ciri lain yang sama pentingnya,
yang berkaitan dengan perkembangan afektif seseorang, supaya bakat kreatif dapat benar-benar
terwujud. Ciri ini disebut dengan ciri afektif dari kreativitas.

Ciri ini meliputi dorongan atau motivasi dari dalam untuk berbuat sesuatu serta
pengabdian atau pengikatan diri terhadap tugas (Utami Munandar, 1987).Dalam belajar kreatif
anak terlibat secara aktif dan ingin mendalami apa yang dipelajari. Belajar kreatif tidak hanya
berkaitan dengan perkembangan kognitif (penalaran), tetapi juga berkaitan dengan penghayatan
pengalaman belajar yang mengasyikkan. Supaya perilaku kreatif dapat terwujud maka ciri
kognitif maupun afektif dari kreativitas perlu dikembangkan secara terpadu dalam proses belajar.
Telah dibahas sebelumnya bahwa dalam penelitian Utami Munandar menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara kemampuan berpikir divergen dengan kemampuan berpikir
konvergen. ( Agus Tufiq, Hera L. Mikarsa, Puji L. Priyanto, 2016: 73)
Adanya hubungan yang bermakna inilah membuat suatu proses belajar kreatif tidak bisa
dilepaskan dari keduanya. Dalam proses belajar kreatif digunakan proses berpikir divergen
(proses berpikir ke berbagai macam arah dan menghasilkan banyak alternatif jawaban) maupun
proses berpikir konvergen (proses berpikir yang mencari jawaban tunggal yang paling tepat).
Sampai saat ini, proses belajar yang terjadi di dunia pendidikan formal lebih menitikberatkan
pada proses berpikir konvergen sehingga banyak siswa terhambat dan tidak mampu menghadapi
masalah yang menuntut pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif. Sebenarnya hal ini
dapat diatasi jika kita sebagai pendidik sanggup menciptakan lingkungan belajar yang
menunjang anak untuk berkreasi. Berikut ini beberapa cara yang dikemukakan oleh Utami
Menciptakan Lingkungan di dalam Kelas yang Merangsang Belajar

a) Kreatif

Untuk menciptakan suasana belajar kreatif, diperlukan persiapan, seperti menyiapkan


lingkungan kelas yang dapat merangsang anak untuk belajar secara kreatif. Bagaimana caranya?
Feldhusen dan Trefinger (dalam Utami Munandar, 1987) memberikan saran-saran agar tercipta
suatu lingkungan kreatif:

a. Memberikan pemanasan

Pada umumnya dalam suatu proses belajar mengajar, guru lebih aktif bertanya namun
jarang mengajak siswa untuk mengajukan pertanyaan. Tugas atau kegiatan belajar yang
meningkatkan pemikiran kreatif menuntut sikap belajar yang berbeda, yakni lebih terbuka dan
menantang siswa untuk berperan serta secara aktif dengan memberikan ide-ide/gagasan sebanyak
mungkin. Pemberian pemanasan dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan terbuka, dan
bukan pertanyaan tertutup, di mana siswa tinggal menjawab ya atau tidak. Selain itu juga bisa
mendorong siswa mengajukan pertanyaan sendiri terhadap suatu masalah. Misalnya, ketika
berlangsung pelajaran IPA, siswa diminta mengelompokkan berbagai jenis daun berdasarkan
kriteria tertentu. Tanyakan pada siswa mengapa dikelompokkan seperti itu? Di sini siswa
dirangsang untuk menjelaskan dan untuk mencari berbagai macam gagasan. Di lain pihak, antar
siswa yang satu dengan lainnya pun dapat saling bertanya sehingga siswa tidak hanya menjawab
atau menjelaskan sesuatu, tetapi juga mencoba untuk mencari tahu sesuatu yang berbeda dari
yang dilakukannya.

b. Pengaturan fisik

Pengaturan fisik atau ruang kelas saat belajar mengajar juga dapat mempengaruhi suatu
proses belajar kreatif. Sangatlah tidak tepat jika kegiatan belajar yang melibatkan diskusi
kelompok besar membiarkan siswanya duduk di tempat duduk masing-masing. Duduk melingkar
di lantai secara berkelompok dengan beralaskan tikar, akan lebih merangsang siswa untuk
bertanya jawab. Pelajaran IPA mengenai tumbuh-tumbuhan atau angin, akan lebih merangsang
kreativitas anak jika dilakukan di halaman sekolah.

c. Kesibukan di dalam kelas

Umumnya situasi belajar kreatif lebih banyak menuntut siswa untuk aktif melakukan
kegiatan fisik dan diskusi. Sebagai pengajar di kelas, kita tidak dapat menuntut siswa untuk
duduk rapi dan diam di tempatnya masing-masing. Namun, guru juga harus dapat membedakan
antara kesibukan yang aktif dan diskusi yang produktif dengan kesibukan dan diskusi yang
sekedar „mengobrol‟. Akan lebih menyenangkan bagi siswa jika ruang kelas juga dilengkapi
dengan berbagai sumber tambahan, misalnya majalah pengetahuan anak, kliping IPA, koran atau
apapunyang merupakan hasil karya siswa. Dengan demikian, hasil karya siswa tidak hanya
menumpuk di meja guru, tetapi juga dapat dimanfaatkan oleh teman-teman atau adik kelasnya
yang lain.

d. Guru sebagai fasilitator

Peran guru harus terbuka, mendorong siswa untuk aktif belajar dapat menerima gagasan
siswa, memupuk siswa untuk memberikan kritik membangun dan mampu memberikan penilaian
terhadap diri sendiri, menghindari hukuman atau celaan terhadap ide yang tidak biasa, dan
menerima perbedaan menurut waktu dan kecepatan setiap siswa dalam menuangkan ide-ide
barunya.
b) Mengajukan dan Mengundang Pertanyaan

Pertanyaan yang merangsang pemikiran kreatif adalah pertanyaan divergen (terbuka).


Pertanyaan semacam ”Bagaimana…? Mengapa…? Seandainya… Apa akibatnya.?”, dapat
merangsang diskusi dan imajinasi untuk menampilkan gagasan baru, karena memiliki banyak
kemungkinan jawaban. Sementara dalam pertanyaan tertutup, agak sulit membuka aneka
kemungkinan jawaban Pertanyaan semacam ini membantu siswa mengembangkan keterampilan
mengumpulkan fakta, merumuskan hipotesis, dan menguji atau menilai informasi mereka. Agar
tampak manfaatnya, pertanyaan terbuka harus mencakup bahan yang cukup dikenal siswa. Oleh
karena itu, guru pun disarankan untuk tetap berada dalam jalur sasaran pembelajaran dari suatu
pokok bahasan. Selain melalui bentuk pertanyaan tertentu, melalui diskusi kelompok punanak
memperoleh pengalaman dan latihan mengungkapkan diri secara lisan dan berkomunikasi
dengan orang lain. Diskusi kelompok memungkinkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis,
dan kreatif, serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilaian. Di lain pihak peran guru
juga sangat penting karena sebagai fasilitator, ia harus dapat menunjukkan masalah dan
memberikan informasi yang diperlukan siswa untuk membahas masalah. Selain itu guru juga
harus tahu pada saat kapan peran sertanya diperlukan, misalnya ketika diskusi sudah mulai
medemikian meskipun peran aktif dari siswa diperlukan, namun siswa juga tetap memerlukan
bimbingan dan pengarahan dari guru agar bakat dan kemampuan kreatifnya lebih terarah.
Ingatlah bahwa guru yang mendorong proses pemikiran yang tidak hanya mengenai data yang
sudah ada akan menghasilkan anak yang bukan hanya pelaksana, tetapi juga pemikir, penemu
maupun pencipta.

c) Memadukan Perkembangan Kognitif (Berpikir) dan Afektif (Sikap dan Perasaan)

Membiasakan kegiatan yang merangsang pemikiran divergen atau kreatif di pelajaran


sekolah, serta memadukannya dengan segi afektif juga melatih anak dapat lebih siap menghadapi
tantangan hidup. Perpaduan keduanya ini dapat dilihat dalam uraian berikut ini.

a. Ciri kemampuan berpikir kreatif

Ciri ini berkaitan dengan:


1) Keterampilan berpikir lancar (lancar mengajukan pertanyaan dan gagasan, banyak
gagasan atas satu masalah, dapat dengan cepat melihat kesalahan atau kejanggalan dari
suatu objek;

2) Keterampilan berpikir luwes (memberi pertimbangan atas berbagai situasi, pemberian


penyelesaian/interpretasi yang berbeda atas suatu masalah, menerapkan suatu konsep
dengan cara yang berbeda);

3) Keterampilan berpikir orisinal (mampu memikirkan masalah yang tidak terpikirkan orang
lain, cara pendekatan atau pemikiran melalui pendekatan baru);

4) Keterampilan memerinci (mencari arti lebih dalam dari suatu jawaban, memperkaya
gagasan);

5) Keterampilan menilai (menentukan pendapat sendiri, mempunyai alasan yang dapat


dipertanggungjawabkan).

b. Ciri afektif

Ciri afektif mencakup:

A. Rasa ingin tahu (misalnya mempertanyakan sesuatu);

B. Bersifat imaginative (misalnya membayangkan hal-hal yang belum pernah terjadi);

C. Merasa tertantang oleh kemajemukan (misalnya senang menjajaki cara

D. Sifat berani mengambil risiko (misalnya berani mencoba hal-hal baru);

E. Sifat menghargai (menghargai makna orang lain, menghargai kebebasan tetapi tahu
bahwa kebebasan menuntut tanggung jawab).

c. Menggabungkan pemikiran divergen dan pemikiran konvergen

Bagaimana mengembangkan pemikiran konvergen dan divergen di pelajaran sekolah?


Pemikiran konvergen yang menuntut siswa mencari jawaban tunggal yang paling tepat
berdasarkan informasi yang diberikan, tampaknya sudah tidak asing bagi kita. Berbagai soal dan
masalah yang diajukan di sekolah menuntut siswa untuk menyelesaikan permasalahan melalui
satu jawaban yang benar.

Misalnya: 3 x 12 = …. (hanya ada satu jawaban 36) Tahun berapa pecahnya perang Diponegoro?
Di lain pihak, pemikiran divergen atau pemikiran kreatif menuntut siswa untuk mencari
sebanyak mungkin jawaban terhadap suatu persoalan. Penggunaan pemikiran semacam ini
memang tidak sesering pemikiran konvergen di pendidikan formal. Meskipun demikian dengan
pendekatan pembelajaran aktif dan experiential, pemikiran divergen akan lebih terasah.

Berbicara mengenai keterampilan berpikir konvergen dan divergen, tidak berarti bahwa
keduanya harus berada dalam suatu kegiatan yang berbeda. Guru sebetulnya dapat
menggabungkan keduanya dalam suatu proses belajar mengajar, di mana yang satu dapat
mengikuti atau mendahului yang lain. Dari contoh di atas, misalnya persoalan matematika 3 
12 yang hasilnya 36 merupakan penyelesaian berpikir konvergen. Tetapi jika ditanyakan pada
siswa “36 adalah hasil perkalian dari bilangan berapa saja?” maka siswa sudah menggunakan
kemampuan berpikir divergennya. Begitu juga pada saat pelajaran peta buta mengenai Propinsi
Jawa Barat, jika ditanyakan “Jalan mana saja yang dapat dilalui untuk pergi ke Bandung dari
Jakarta?”

d. Menggabungkan proses berpikir dengan proses afektif

Sebelumnya telah diutarakan mengenai ciri-ciri berpikir kreatif dan ciri-ciri afektif.
Melalui hal tersebut, guru dapat merancang kegiatan belajar mengajar dengan mengombinasikan
keduanya. Kegiatan belajar yang menggabungkan keterampilan berpikir luwes dan ciri afektif
yang berkaitan dengan daya imajinasi adalah dalam pelajaran mengarang mengenai ”Banjir” atau
setelah siswa membaca artikel ”Demam Berdarah, penyakit yang mematik ian diminta untuk
menceritakan kembali. Untuk menceritakan kembali maupun mengarang, siswa tidak hanya
sekedar menuangkan suatu fakta tetapi dituntut untuk menggunakan daya imajinatifnya, rasa
ingin tahunya bahkan menuangkan perasaannya. Dari apa yang dikemukakan mengenai belajar
dan berpikir kreatif, akan sangat ideal jika hal ini benar-benar dapat dilaksanakan di dunia
pendidikan kita. Meskipun untuk pelaksanaannya kelak tidak selalu diperlukan sesuatu yang
baru, namun kesiapan dan keluwesan sikap dari guru perlu diperhitungkan agar siswa benar-
benar dapat merasakan manfaat dari pengajaran yang merangsang kemampuan berpikir divergen
dan konvergennya. ( Agus Taufiq, Hera L. Mikarsa, Puji L. Prianto, 2016: 67-73)

E. Belajar dan berpikir kreatif


Seperti telah dikemukakan bahwa kelancaran, kelenturan, orisinalitas, elaborasi atau
perincian, merupakan ciri-ciri dari kreativitas yang berhubungan dengan kemampuan berpikir
kreatif seseorang. Semakin kreatif maka seseorang semakin memiliki ciri-ciri tersebut. Namun
demikian, ciri-ciri berpikir tersebut belum tentu mewujudkan kreativitas seseorang. Ternyata
masih ada ciri-ciri lain yang sama pentingnya, yang berkaitan dengan perkembangan afektif
seseorang, supaya bakat kreatif dapat benar-benar terwujud. Ciri ini disebut dengan ciri afektif
dari kreativitas. Ciri ini meliputi dorongan atau motivasi dari dalam untuk berbuat sesuatu serta
pengabdian atau pengikatan diri terhadap tugas (Utami Munandar, 1987). Dalam belajar kreatif
anak terlibat secara aktif dan ingin mendalami apa yang dipelajari. Belajar kreatif tidak hanya
berkaitan dengan perkembangan kognitif (penalaran), tetapi juga berkaitan dengan penghayatan
pengalaman belajar yang mengasyikkan. Supaya perilaku kreatif dapat terwujud maka ciri
kognitif maupun afektif dari kreativitas perlu dikembangkan secara terpadu dalam proses belajar.
Telah dibahas sebelumnya bahwa dalam penelitian Utami Munandar menunjukkan adanya
hubungan yang bermakna antara kemampuan berpikir divergen dengan kemampuan berpikir
konvergen. Adanya hubungan yang bermakna inilah membuat suatu proses belajar kreatif tidak
bisa dilepaskan dari keduanya. Dalam proses belajar kreatif digunakan proses berpikir divergen
(proses berpikir ke berbagai macam arah dan menghasilkan banyak alternatif jawaban) maupun
proses berpikir konvergen (proses berpikir yang mencari jawaban tunggal yang paling tepat).
Sampai saat ini, proses belajar yang terjadi di dunia pendidikan formal lebih menitikberatkan
pada proses berpikir konvergen sehingga banyak siswa terhambat dan tidak mampu menghadapi
masalah yang menuntut pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif. Sebenarnya hal ini
dapat diatasi jika kita sebagai pendidik sanggup menciptakan lingkungan belajar yang
menunjang anak untuk berkreasi. Berikut ini beberapa cara yang dikemukakan oleh Utami
Munandar (1987).
F. Faktor-faktor yang berpengaruh dan sumber- sumber kreativitas yang perlu dikembangkan
Sebetulnya kreativitas dapat terwujud di mana saja dan oleh siapa saja, tidak tergantung
pada usia, jenis kelamin, keadaan sosial ekonomi atau tingkat pendidikannya. Hal ini karena kita
menyadari bahwa semua orang memiliki bakat kreatif, namun jika bakat kreatif tersebut tidak
dipupuk tentu tidak akan berkembang, bahkan bisa menjadi terpendam. Sebagaimana halnya
bakat. kreativitas yang merupakan potensi yang dimiliki seseorang, juga berkembang karena
adanya faktor dari luar diri. Dari apa yang telah dibahas sebelumnya, dapat disimpulkan
mengenai pentingnya faktor dalam (bawaan) maupun luar (lingkungan) dalam perkembangan
kreativitas. Beberapa penelitian (Getzels & Jackson, 1962; Block & Block, 1987; dan Runco,
1992) mengenai peran lingkungan rumah menunjukkan bahwa keluarga dari anak yang kreatif
cenderung menerima anak apa adanya (tidak memaksa), merangsang rasa ingin tahu
intelektualnya, dan membantu mereka untuk memilih dan menekuni sesuatu yang diminati
(dalam Shaffer,1996). Penemuan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menjelaskan
'mengapa anak yang kreatif cenderung lebih imajinatif, memiliki minat yang luas, dan tidak
terlalu memikirkan menjadi yang terunggul di kelas' (seperti halnya teman-temannya yang
pandai).

Beberapa peneliti pun mencoba untuk meneliti perkembangan kemampuan kreatif pada
anak-anak yang sudah menunjukkan bakat khususnya. Anak yang kreatif memang sudah
berbakat (sudah memiliki potensi tertentu), namun mereka juga memiliki motivasi untuk
mengembangkan bakat khususnya. Semua ini merupakan faktor yang ada dalam diri seseorang.
Disisi lain juga merupakan hal yang penting karena memupuk bakat dan motivasi anak. Anak
juga didorong oleh keluarga dan secara intensif ditangani oleh ahlinya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa perkembangan bakat kreatif seseorang berkaitan dengan 2 faktor, yaitu
motivasi seseorang untuk mengembangkannya, dan lingkungan yang mendukung
perkembangannya, termasuk latihan yang ditangani ahli. Mengingat pentingnya faktor
lingkungan maka orang tua dan guru perlu memberikan dorongan untuk merangsang potensi
kreatif.

Berkaitan dengan anak usia SD, tak ada salahnya untuk mengenal ciri-ciri yang berkaitan
dengan perkembangan kreativitas anak usia SD tersebut. Hal ini perlu dipahami agar orang tua
dan guru sebagai bagian dari faktor lingkungan dapat memberikan dorongan yang sesuai dengan
kebutuhannya. Arasteh (dalam Hurlock, 1978) mengemukakan adanya masa-masa kritis dalam
perkembangan kreativitas. Hal ini perlu diketahui karena dapat menghalangi perkembangan
kreativitas anak. Masa-masa kritis tersebut adalah usia 5 sampai 6 tahun, usia 8 sampai 10 tahun,
13 sampai 15 tahun dan 17 sampai 19 tahun. Berkaitan dengan anak usia SD maka hanya akan
dibahas 2 masa kritis pertama.

1. Usia 5 sampai 6 Tahun

Sebelum anak siap masuk sekolah, anak diajarkan untuk menerima apa yang ditetapkan
oleh tokoh otoriter, mematuhi aturan dan keputusan orang dewasa di lingkungan rumahnya. Ini
semua akan berkembang di lingkungan sekolah. Lingkungan yang sangat otoriter akan
menghambat kreativitas anak.

2. Usia 8 sampai 10 Tahun

Masa ini merupakan masa di mana ada kebutuhan untuk dapat diterima sebagai anggota
dalam kelompok teman sebayanya. Agar bisa diterima kelompoknya maka anak menerima pola-
pola yang ditetapkan kelompoknya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa setiap tahapan
usia memiliki masa kritis dalam perkembangan kreativitasnya. Namun perlu disadari bahwa
faktor lingkungan tetap diperlukan untuk mewujudkan kreativitasnya.

Sumber-sumber kreativitas yang perlu dikembangkan

Dalam bukunya Child development, Berk (2003) mengemukakan beberapa komponen


dari kreativitas dan bagaimana cara orang tua maupun guru untuk memperkuat peran
komponen-komponen tersebut dalam diri seorang anak. Sebetulnya komponen-komponen ini
telah disinggung sedikit dalam belajar dan berpikir kreatif, namun tidak ada salahnya untuk
dibahas kembali agar Anda dapat lebih memahami kembali.

1. Sumber Kognitif

Sebagaimana telah diutarakan, hasil karya kreatif juga melibatkan keterampilan kognitif
dalam tingkat yang tinggi. Tidak sekadar dalam memecahkan masalah, tetapi juga dalam
menemukan masalah (yang diperlukan untuk melihat kesenjangan dari pengetahuan masa kini,
kebutuhan untuk menghasilkan sesuatu yang baru). Begitu masalah ditemukan, kemampuan
untuk mengenal masalah (di mana masalah sudah lebih khusus/spesifik) menjadi sesuatu yang
penting. Pada anak-anak, makin banyak usaha untuk mengenal masalah, semakin orisinal hasil
yang dicapai. Moore, 1985 (dalam Berk, 2003) telah melakukan penelitian terhadap sejumlah
siswa SD yang diminta untuk memilih suatu objek dan menceritakannya. Anak yang mencari
tahu lebih banyak mengenai objek tersebut, menemukan dan mengenal masalah lebih dalam,
hasil cerita mereka juga lebih orisinal. Pemikiran divergen adalah penting dalam membuat
kesimpulan dari suatu masalah. Namun demikian, tetap perlu diingat bahwa kreativitas tetap
memerlukan kerja sama antara pemikiran divergen maupun konvergen. Mereka yang kreatif
mengandalkan proses insight yang melibatkan kombinasi dan pembentukan kembali elemen-
elemen melalui cara yang bermanfaat. Misalnya, mereka yang biasa menciptakan ide-ide kreatif
di bidang sastra, seni dan lain- lain, umumnya menggunakan analogi dan metafora untuk
menemukan sesuatu yang unik. Walau bagaimanapun pengetahuan merupakan sesuatu yang
penting dalam kreativitas di segala bidang karena tanpa pengetahuan manusia tidak akan
mengenal dan memahami ide-ide baru.

2. Sumber Kepribadian

Karakteristik kepribadian turut mengembangkan komponen kognitif dari kreativitas.


Beberapa sifat yang harus ada adalah.

a. Gaya inovatif dari berpikir

Orang-orang yang kreatif tidak hanya memiliki kapasitas untuk memandang sesuatu
dalam cara yang baru, tetapi juga dalam mengolahnya. Dalam menemukan masalah secara
inovatif, mereka cenderung memilih aktivitas yang tidak terlalu terstruktur. Sternberg dan
Grigorenko, 1993 (dalam Berk, 2003) dalam penelitiannya terhadap gaya berpikir anak-anak
SMP, menunjukkan bahwa guru-guru di tingkat awal cenderung lebih merangsang cara berpikir
yang berkaitan dengan kreativitas, sehingga membiasakan siswa untuk menggunakan
kemampuan berpikir kreatifnya.

b. Sikap toleran pada ketekunan dan sesuatu yang jamak

Tujuan kreatif adalah memungkinkan timbulnya situasi yang tidak pasti, khususnya jika
masalah tidak cocok satu sama lain. Tidak menutup kemungkinan pada saat itu seseorang akan
merasa ditekan untuk menyerah atau terdorong untuk menemukan pemecahan. Dengan
memberikan harapan dan bersikap sabar terhadap hambatan-hambatan untuk seperti ini dapat
membantu anak untuk berpikir secara kreatif.

c. Kemauan untuk mengambil risiko

Kreativitas memungkinkan seseorang menghadapi situasi yang penuh tantangan.


Mendorong untuk berpikir pada situasi yang penuh tantangan dapat meningkatkan proses
berpikir divergen.

d. Berani terhadap pendapat

Oleh karena ide-idenya yang orisinal, tidak menutup kemungkinan untuk ditentang oleh
orang lain, khususnya jika guru merasa ragu dengan pendapatnya. Mereka yang percaya diri dan
memiliki self esteem (harga diri) yang tinggi, memungkinkan untuk menjadi kreatif. Untuk
mengetahui lebih jauh mengenai

self esteem, akan dibahas lebih lanjut pada Modul 3.

3. Sumber Motivasi

Motivasi untuk kreativitas lebih menitikberatkan pada tugas daripada tujuan. Oleh karena
hal ini menunjukkan pada keinginan untuk berhasil pada tingkat yang lebih tinggi, tetap
memusatkan perhatian pada masalah. Sedangkan jika titik beratnya pada tujuan, hal ini banyak
berkaitan dengan hadiah/penghargaan secara ekstrinsik (dari luar), seperti peringkat dan hadiah.
Perlu diketahui bahwa hadiah/penghargaan dari luar tidak selalu mengganggu kreativitas karena
dapat membangkitkan anak untuk menghasilkan sesuatu yang bersifat inovatif. Namun
pemberian hadiah/ penghargaan yang terlalu berlebihan atau sering perlu diwaspadai karena
justru akan menghambat kreativitas.

4. Sumber Lingkungan

Lingkungan dapat menciptakan kondisi fisik maupun sosial yang membantu seseorang
untuk menghasilkan dan mengembangkan ide-ide baru. Dari penelitian terhadap anak berbakat,
menunjukkan bahwa mereka berasal dari lingkungan rumah yang sarat akan bahan bacaan
maupun yang merangsang berbagai aktivitas, serta orang tua yang menekankan pada rasa ingin
tahu dan menerima kekhasan anak (Albert dkk., 1994 dalam Berk 2003). Di lain pihak, situasi
kelas yang merangsang anak untuk berani mengambil risiko, berani mengutarakan pendapat pada
guru dan memberi kesempatan untuk mencetuskan ide-idenya tanpa dinilai, merupakan kelas
yang dapat meningkatkan kemampuan kreativitas siswanya. Guru-guru SD yang memberi
kebebasan pada siswanya untuk memilih, ternyata memiliki siswa yang kemampuan berpikir
divergen yang cukup tinggi. Dengan mengetahui sumber-sumber kreativitas yang meliputi segi
intelektual, kepribadian, motivasional maupun lingkungan, diharapkan lingkungan rumah
maupun sekolah dapat memberikan rangsangan yang sesuai, sebagaimana yang telah dijelaskan
dalam belajar kreatif. Dalam mengembang kan kemampuan kreativitas anak, lingkungan rumah
maupun sekolah tentunya perlu menyadari bahwa yang diutamakan dalam kreativitas adalah
proses dan bukan produknya. ( Agus Taufiq, Hera L. Mikarsa, Puji L. Prianto, 2016: 74-77)
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Bakat merupakan suatu kemampuan bawaan yang masih perlu dikembangkan dan dilatih
karena tanpa latihan dan pengembangan maka bakat tidak akan terwujud. Lingkungan anak,
seperti orang tua, guru dan pergaulan dengan teman sebaya atau sepermainan dapat berpengaruh
terhadap terwujud atau tidaknya bakat seorang anak. Ada berbagai macam definisi mengenai
kreativitas, namun tidak ada satu definisi pun yang dapat diterima secara universal karena
demikian kompleksnya konsep kreativitas. Pengertian tentang kreativitas dapat dilihat dari
belahan otak manusia yang masing-masing berkaitan dengan kemampuan tertentu dalam diri
seseorang. Pengertian kreativitas juga dapat dilihat dari segi operasionalnya, yang mencakup
kelancaran, keluwesan, orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk memerinci.
Kreativitas juga dapat dilihat dari konsep 4P yaitu pribadi, pendorong, proses dan produk. Kaitan
kreativitas dengan kemampuan intelektual memang sudah menjadi perhatian para pakar sejak
dulu. Teori ambang inteligensia menunjukkan bahwa sampai seputar IQ 120, ternyata ada
hubungan antara inteligensia dan kreativitas.
Kemampuan berpikir divergen menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kemampuan
berpikir konvergen. Selain itu yang perlu diingat adalah kreativitas diperoleh dari pengetahuan
atau pengalaman hidup. Pengetahuan yang selama ini diperoleh dari lingkungan dikumpulkan
dan diintegrasikan ke dalam suatu bentuk yang baru dan orisinal, semua ini sangat tergantung
pada bagaimana kemampuan intelektual seseorang. Kemampuan kreatif seseorang sangat
tergantung dari faktor dalam diri dan luar diri. Oleh karena itu, sebagaimana layaknya bakat dan
minat, kemampuan kreatif seseorang juga perlu dikembangkan. Sumber-sumber kreativitas
seperti kognitif, kepribadian, motivasional dan lingkungan perlu dikembangkan semaksimal
mungkin oleh pihak orang tua (keluarga) dan guru. Dengan mengetahui sumber-sumber ini pun
kita dapat menciptakan suatu lingkungan proses belajar mengajar yang merangsang kemampuan
berpikir kreatif anak. Hal yang patut diperhatikan adalah kita tidak bisa menitikberatkan
kreativitas seseorang itu hanya melalui produknya saja, justru yang terpenting dalam kreativitas
adalah prosesnya karena di situlah kita dapat melihat bagaimana munculnya keunikan ide
seseorang. Dalam perkembangan usianya, dikenal berbagai masa kritis kreativitas. Usia SD yang
mencakup usia 5/6 sampai dengan 12 tahun, juga memiliki masa kritis yang berkisar dari usia 5
sampai 6 tahun dan usia 8 sampai 10 tahun. Hal ini terjadi karena di usia 5 sampai 6 tahun, peran
tokoh otoriter sangat melekat dalam diri seseorang, di mana anak harus mematuhi aturan dan
keputusan orang tua atau orang dewasa di lingkungannya. Sementara di usia 8 sampai 10 tahun
pengaruh kelompok teman sebaya sudah jauh lebih kuat, di mana anak yang ingin diterima oleh
temantemannya, akan menerima dan mengikuti pola-pola yang ditetapkan kelompoknya.

B. SARAN
Dengan adanya makalah ini dapat lebih mengetahui kreativitas dan bakat yang ada pada
peserta didik sehingga dengan adnya makalah ini para guru atau calon guru dapat mengetahui
peserta didiknya dan menyalurkan ilmunya kepada peserta didik.

Diharapakn kepada peserta didik dan pengajar maupun orang tua agar dapat ikut berpatisipasi
dalam memahami tentang perkembangan dan pertumbuhan peserta didik. Peran serta pemerintah,
masyarakat, pengajar, orang tua juga perlu untuk mengawasi perkembangan setiap anak dan
peserta didik sesuai karakteristik perkembangan anak.
DAFTAR PUSTAKA

Agus Taufiq, H. L. (2016). Pendidikan Anak di SD. Materi Pokok Pendidikan Anak di SD, 63-
79.

Drs. Anas Salahuddin, M. d. (2013). Pendidikan Karakter. Bandung: CV Pustaka Setia.

Firdaus, B. S. (2016). Bakat Bukan Takdir. Tangerang Selatam: Buah Hati.

Momon Sudarma, S. M. (2016). Mengembangkan Keterampilan Berpikir Kreatif. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada.

Zaviera, F. (2015). Mengenali & Memahami Tumbuh Kembang Anak. Depok, Sleman,
Jogjakarta: KATAHATI.

Anda mungkin juga menyukai