Disusun oleh :
Kelas 5A /Kelompok 10
Dosen Fasilisator :
PRODI S1 KEPERAWATAN
Kelompok 10
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2
DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3
BAB 1....................................................................................................................................................4
LATAR BELAKANG...........................................................................................................................4
1.3 Tujuan..........................................................................................................................................7
BAB 2....................................................................................................................................................8
TINJAUAN TEORI..............................................................................................................................8
2.1 Definisi........................................................................................................................................8
2.2 Etiologi........................................................................................................................................9
2.4 Patofisiologi...............................................................................................................................12
2.6 Penatalaksanaan.....................................................................................................................18
2.7 Komplikasi.................................................................................................................................21
2.8 Pencegahan................................................................................................................................21
2.9 Prognosis....................................................................................................................................22
2.10 EBN.........................................................................................................................................22
BAB 3..................................................................................................................................................25
APLIKASI TEORI KASUS................................................................................................................25
BAB 4..................................................................................................................................................26
PEMBAHASAN.................................................................................................................................26
BAB 5..................................................................................................................................................27
5.1 Kesimpulan................................................................................................................................27
5.2 Saran..........................................................................................................................................27
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................28
BAB 1
LATAR BELAKANG
1.3 Tujuan
BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Sifilis atau lues merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum yang menyebabkan kelainan pada kulit dan dapat bermanifestasi sistemik.
Infeksi ini ditularkan melalui kontak seksual atau dari ibu kepada bayi melalui plasenta, dapat juga
ditularkan melalui transfusi darah.1 Sifilis melewati beberapa stadium, yaitu stadium primer,
stadium sekunder, stadium tersier dan sifilis yang tidak menunjukkan gejala klinis disebut sebagai
sifilis laten. Stadium laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis sifilis primer ataupun
sekunder namun pemeriksaan serologis menunjukkan hasil yang reaktif . 2,3-5 Sifilis tersebar
diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang dapat dikendalikan dengan
baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak
tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu.
Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di
kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan
usia muda berusia antara 20–29 tahun, yang aktif secara seksual.6-9 Angka kejadian sifilis mencapai
90% di negara berkembang.
World Healthy Organization (WHO) memperkirakan terdapat 5 juta kasus baru sifilis di dunia
dan 12 juta kasus baru terjadi di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean.
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04% sampai
0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia
insidensinya sekitar 0,61%. Angka kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu
Dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 oleh Kementrian Kesehatan RI, terjadi peningkatan angka
kejadian sifilis di tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2007.8-9 Penelitian restropektif ini
dibuat untuk mengetahui gambaran sifilis laten di Divisi IMS Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2009 sampai 2017 (9 tahun).
Diharapkan hasil penelitian retrospektif ini dapat memberikan masukan terhadap penegakan
diagnosis, pemilihan terapi yang tepat sehingga meningkatkan keberhasilan tatalaksana pasien sifilis
laten di Divisi IMS URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2.2 Etiologi
Etiologi sifilis adalah infeksi spiroset Treponema pallidum yang masuk melalui mikroabrasi
kulit atau membrane mukosa. Sifilis umumnya ditularkan melalui kontrak seksual, tapi juga
dapat ditularkan melalui kontak seksual, tapi juga dapat ditularkan dari ibu ke janin atau melalui
tranfusi darah.
Treponema palidium tidak memiliki lipopolisakarida dan tidak memproduksi protein toksik.
Gejala yang ditimbulkan adalah akibat respon imun dan inflamasi dari pejamu. Untuk Penularan
semua subspecies treponema pallidum dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi
aktif. Pada kebanyakan kasus, sifilis juga bisa menyebar melalui barrier plasenta dan tranfusi
darah.
Faktor resiko, sebuah studi melaporkan beberapa factor yang meningkatkan resiko sifilis di
antaranya :
- Usia reproduktif
- Infeksi HIV
Gejala pada tahap sifilis primer akan muncul antara 10 hingga 90 hari setelah
terpapar bakteri penyebab sifilis. Gejala yang muncul awalnya ditandai dengan
munculnya satu atau beberapa luka. Karakteristik luka yang muncul biasanya tidak
keras,bulat,dan tidak nyeri. Pada beberapa orang, karena luka yang muncul tidak
menyebabkan sakit, biasanya penderita akan mengabaikanya dan tidak menyadari
terkena sifilis.luka kecil pada kulit dapat muncul di area mulut atau alat kelamin.
Selain itu, luka sifilis juga dapat muncul pada bagian dalam vagina, dubur serta
mulut. Luka pada gejala tahap primer bisa hilang dalam waktu sampai 6 minggu. Meski
dapat hilang dengan sendirinya, pada tahap ini pengobatan tetap diperlukan. Hal tersebut
untuk mencegah kondisi yang semakin parah dan berkembang menjadi tahap sekunder.
Selama berada pada tahap ini, anda rentan sekali menularkan bakteri penyebab sifilis
kepada orang lain.
Gejala pada tahap sekunder ditandai dengan munculnya ruam dibagian tubuh
manapun. Ruam dapat muncul saat luka pada tahap primer sembuh atau beberapa minggu
setelah luka senbuh. Ruam yang muncul dapat terlihat seperti bintik-bintik kasar, merah
atau coklat kemerahan di telapak tangan atau ditelapak kaki. Ruam biasanya tidak
menimbulkan gatal dan terkadang samar sehingga jarang penderita mengetahui
munculnya ruam.
Gejala lain yang akan dialami termasuk demam, pembengkakakn kelenjar getah
bening sakit tenggorokan,rambut rontok, sakit kepala ,penurunan berat badan, nyeri otot,
dan kelelahan. Gejala pada tahap ini dapat hilang dengan sendirinya meski tidak
dilakukan pengobatan. Namun gejala pada tahap ini dapat muncul beberapa kali. Jika
kondisi tersebut diabaikan dan dan tidak dilakukan pengobatan, gejala penyakit sifilis
dapat berkembang ke tahap laten atau tersier. Meski kelihatanya luka telah sembuh,
infeksi sifilis pada tahap ini masih tetap bisa menular ke orang lain.
Tahap sifilis laten adalah periode waktu ketika tidak ada tanda atau gejala sifilis yang
terlihat. Pada tahap ini, bakteri penyebab sifilis tetap ada dalam tubuh. Namun, tidak
menimbulkan gejala apapun. Selama tahap sifilis laten berlangsung, diagnosis hanya
dapat dilakukan dengan melakukan tes darah. Jika pada tahap ini sifilis tidak segera
diobati. Maka dapat berkembang menjadi tahap tersier atau tahapan berbahaya dari gejala
penyakit sifilis.
Pada tahap ini, infeksi bakteri penyebab sifilis akan muncul 10 hingga 0 tahun setelah
infeksi pertama. Ketika kondisi ini terjadi sifilis akan menyebabkan kerusakan organ
secara permanen. Organ yang diserang biasanya jantung, pembuluh darah,otak dan
system saraf. Akibatnya, penderita bisa mengalami penyakit jantung, hingga stroke. Pada
kondisi ini. Infeksi sifilis dapat menyebabkan kematian jika tidak dilakukan tindakan
medis.
- Mati rasa
- Demensia
Selanjutnya, gejala pada sifilis ocular ditandai dengan perubahan kemampuan penglihatan
hingga mengalami kebutaan. Gejala penyakit sifilis yang berada pada tahap awal dapat disembuhkan
dengan menggunakan antibiotic. Namun pengobatan menggunakan antibiotik tidak memperbaiki
kerusakan yang telah terjadi akibat infeksi. Memiliki gaya hidup seksual yang sehat adalah kunci
untuk terbebas dari penyakit sifilis. Sekian ulasan tentang gejala penyakit sifilis
2.4 Patofisiologi
Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal, atau oral. Metode
penularan lainya yang lebih jarang adalah berciuman, berbagi jarum suntik yang tidak aman, tranfusi
darah, needlestickinjury, dan cangkok organ. Secara klasik sifilis, menyebabkan penyakit yang
terbagi dalam beberapa stadium :
a. Masa inkubasi tanpa gejala
b. Sifilis primer yaitu timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi pertama
c. Sifilis sekunder yang terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh dengan berbagai
menifestasi klinik
d. Stadium klinis atau laten yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun dan hanya dapat
dideteksi melalui pemeriksaan serologis
e. Sifilis tersier stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang melibatkan susunan
saraf pusat, pembuluh darah besar, dana atau pembentukan gumma yang dapat terjadi pada
semua organ
Sifilis,primer,sekunder dan laten awal merupakan stadium yang sangat menular,dengan resiko
penularan sebesar 60%. Kontak langsung dengan lesi kulit sifilis primer atau sekunder merupakan
penularan terbanyak. Pada stadium laten awal, kemungkinan penularan hingga sekitar 25%. Bayi
baru lahir tertular sifilis akibat infeksi dalam Rahim, tetapi bayi juga dapat tertular melalui kontak
dengan lesi genital ibu pada saat persalinan. Resiko penularan dari wanita dengan sifilis primer atau
sekunder yang tidak dapat pengobatan adalah sekitar 70 – 100%. Resiko ini menurun hingga 40%
bila ibu hamil berada pada stadium laten awal dan 10% pada stadium laten lanjut atau sifilis tersier.
Empat puluh persen kehamilan pada wanita dengan sifilis menyebabkan kematian janin. Secara
teoritis, sifilis dapat menular melalui air susu ibu (ASI) dari ibu dengan sifilis primer atau sekunder
walaupun hal ini jarang ditemukan.
Saat penularan T.pallidum dapat menembus membrane mukosa mukosa utuh atau kulit dengan
mikroabrasi. Dalam beberapa jam pertama akan memasuki jaringan limfatik dan aliran darah yang
akan menimbulkan gejala infeksi sistemik dan focus metastatic sebelum timbulnya lesi primer.
T.pallidum membelah diri setiang 0 hingga jam. Darah dari penderita dalam masa inkubasi dan
sifilis stadium awal sangat menular. Lamanya masa inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah
inoculum treponema. Semakin banyak jumlah treponema yang terinokulasi, masa semakin pendek
massa inkubasinya. Masa inkubasi biasanya rata-rata berlangsung minggu sejak inokulasi pertama
dan jarang berlangsung sampai lebih dari 6 minggu.
Menandai stadium sifilis primer, muncul lesi primer pada tempat inokulasi yang disebut canchre.
Canchre biasanya bertahan dalam waktu 4-6 minggu dan kemudia sembuh sendiri. Pemeriksaan
Histopatologis pada canchre menemukan infiltrasi massif privaskular terutama oleh sel limfosit CD4
dan CD8, sel plasma,sel makrofag. Ditemukan juga poliferasi endotel kapiler dan obiliterasi
pembuluh-pembuluh darah kecil, gejala-gejala konstitusi dan mukokutan sifilis sekunder muncul
antara 6-8 Minggu setelah lesi primer menyembuh.15% penderita mengalami sifilis sekunder pada
saat lesi primer masih ada. Terapi pada beberapa penderita paska lesi primer,sifilis sekunder tidak
ditemukan dan penderita langsung masuk dalam stadium sifilis laten. Gambaran histopatologis lesi
sifilis sekunder meliputi hyperkeratosis,epidermis,proliferasi kapiler disertai dengan pembengkakan
endoteldan infiltrasi perivascular oleh limfosit CD4 dan CD8, sel plasma serta makrofag.treponema
dapat ditemukan pada jaringan termasuk cairan serebrospinal dan humor aques pada mata.invasi
treponema pada susunan saraf pusat (SSP) terjadi pada minggu pertama infeksi dan kelainan pada
SPP ditemukan pada 40% paien penderita sifilis sekunder.
Hepatitis dan glomerulonephritis dapat terjadi pasa sifilis sekundar, walaupun jarang.gangguan
fungsi hati ditemukan hingga 25% pada penderita sifilis primer. Pembesaran kelenjar getah bening
(KGB) generalisata terjadi pada 85% penderita sifilis sekunder biasanya hilang 2-6 Minggu dan
sifilis memiliki stadium laten yang hanya dapat dikenali dengan menggunakan tes serologis.
Stadium laten dapat diselang seling oleh beberapa episode kekambuhan mukokutan pada tahun-
tahun pertama. Sekitar satu Dari tiga penderita sifilis yang tidan diobati dan melewati massa laten
akan memasuki stadium sifilis tersier, pada stadium yang akhir ini manifestasi yang sering
ditemukan adalah gumma, sifilis pada system kardiovaskular dan neurosifilis lanjut. Factor yang
menyebabkan terjadinya sifilis tersier hingga saat ini belum diketahui. Kematian akibat sifilis tersier.
Tidak dianjurkan memberikan lesi dengan menggunakan larutan antiseptic, sabun atau
larutan bakterisidal sebelum pengambilan bahan pemeriksaan, karena treponema yang mati sulit
diidentifikasi kecuali bila menggunakan pewarnaan immunofluoreensi.
Pemeriksaan pertama lebih murah, cepat dan mudah bila digunakan sebagai alat skrining pada
jumlah sampel yang besar, misalnya pada donor darah. Selain itu, tes non-treponemal dapat
digunakan untuk memantau aktivitas pengobatan. Tes spesifik dapat memastikan adanya infeksi
sifilis saat ini atau pada masa lalu. Kedua tes ini biasanya digunakan bersama-sama. Tes serologis
sifilis jarang memberikan hasil negative palsu kecuali pada orang tua.
Fenomena prozone, yaitu reaksi serologis yang negative walaupun kadar antibody tinggi,
dapat terjadi pada 2% kasus terutama pada sifilis sekunder dan wanita hamil. Pengenceran
bertahap pada baha pemeriksaan yang sama dapat menunjukkan peninggian titer 4 kali.2 Tes
spesifik treponemal seperti FTA-abs (Flouresencetreponemalantibody-absobed) dan TPHA
(Treponemapallidumhemaglutinationtest) mendeteksi antibody terhadap antigen spesifik
T.pallidum. tes ini memerlukan standarisasi dalam pengerjaannya, sehingga lebih sulit dan
interpetasinya dapat bersifat subjektif.
Test ini harganya mahal sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat skrining masal dan
memiliki nilai positif semu yang rendah, sehingga tes ini berguna untuk tes konfirmasi pada
penderita dengan tes non-treponemal yang positif. Tes spesifik positif akan berlangsug seumur
hidup, tetapi 10% dapat menjadi negative setelah mendapat terapi dini.2 Tes lain untuk
mendiagnosa sifilis adalah tes PCR yang menggunakan antigen sifilis dan isolasi bakteri. PCR
spesifik tetapi tidak dapat membedakan Trepnema mati dan yang hidup, sedangkan isolasi
T.pallidum hanya dapat dilakukan pada hewan percobaan karena T.pallidum tidak dapat
tumbuh pada media buatan. Keterlibatan SSP dapat didiagnosis dengan pleositosis (>5 sel
darah putih/uL), peningkatan protein (>45mg/dl) dan VDRL positif.
Semua penderita sifilis dengan gejala neurologi harus menjalani pemeriksaan cairan SSP
tanpa melihat stadium sifilisnya. Karena penderita sifilis mempunyai risiko tinggi untuk
terkena HIV dan juga sebaliknya. Penderita HIV dan sifilis harus dievaluasi untuk kemungkinan
adanya neurosifilis.2
1. Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4 minggu sejak pertama kali
muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis namun
hasil RPR nya negatif.
2. Hasil positif tes RPR perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP Rapid.
a. Jika hasil tes konfirmasi non-reaktif, maka dianggap reaktif palsu dan tidak perlu diterapi
namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
b. Jika hasil tes konfirmasi reaktif, dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR kuantitatif untuk
menentukan titer sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif atau laten, serta untuk
memantau respons terhadap pengobatan.
c. Jika hasil RPR reaktif, TPHA reaktif, dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir, serta pada anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien
diobservasi dan tes diulang tiga bulan kemudian.
d. Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes diulang tiga bulan
kemudian.
e. Jika hasil RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh.
g. Jika hasil RPR reaktif dan TPHA reaktif dan tidak ada riwayat terapi sifilis dalam3 bulan
terakhir, maka perlu diberikan terapi sesuai stadium.
Titer RPR <1:4 (1:2 atau 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagaisifilis
laten lanjut.
Titer >1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif danditerapi.
Jika titer RPR turun 2 tahap (misal dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih,terapi
dianggap berhasil. Ulangi evaluasi tiap tiga bulan sekali di tahunpertama dan 6
bulan di tahun kedua, untuk mendeteksi infeksi baru.
Jika titer tidak turun dua tahap, lakukan evaluasi kemungkinan re-infeksi,atau
sifilis laten.
2.6 Penatalaksanaan
1. Sifilis dini (primer, sekunder dan sifilis laten dini durasi tidak lebih dari 2 tahun
1) Pada dewsa dan remaja dengan sifilis dini, guideline WHO infeksi menular seksual
(Sexuallytransmittedinfections (STI) merekomendasikanbenzathinepenicillin G 2.4
juta unitsecaraintramuskular tanpa perawatan
2) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis dini, pedoman WHO STI lebih
menyarankan penggunaan penisilin benzathine G 2,4 juta unit sekali secara
intramuskulardaripada penisilin prokain G 1,2 juta unit 10-14 hari secara
intramuskular.
Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi
penisilin) atau tidak tersedia (misalnya karena stok habis), pedoman WHO STI
menyarankan penggunaan doksisiklin 100 mg dua kali sehari secara oral selama 14
hari atau ceftriaxone 1 g intramuskular sekali sehari. Selama 10-14 hari, atau dalam
keadaan khusus, azitromisin 2 g sekali secara oral.
Keterangan: Doxycycline lebih disukai daripada ceftriaxone karena biaya yang lebih
rendah dan pemberian oral. Doxycycline tidak boleh digunakan pada wanita hamil
(lihat rekomendasi 3 dan 4 untuk wanita hamil). Azitromisin adalah pilihan dalam
keadaan khusus hanya jika kerentanan lokal terhadap azitromisin mungkin terjadi.
Jika tahap sifilis tidak diketahui, ikuti rekomendasinya pada penderita sifilis.melibihi
14hari
3) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak
diketahui, pedoman WHO STI lebih menyarankan benzathine penisilin G 2,4 juta unit
secara intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu berturut-turut daripada
prokain penisilin 1,2 juta unit sekali sehari selama 20 hari. Bila penisilin benzathine
atau procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi penisilin dimana
desensitisasi penisilin tidak mungkin dilakukan) atau tidak tersedia (misalnya karena
stok habis), pedoman WHO STI menyarankan penggunaan doksisiklin 100 mg dua
kali sehari secara oral selama 30 hari. Keterangan: Doxycycline tidak boleh
digunakan pada ibu hamil (lihat rekomendasi 7 dan 8 untuk wanita hamil).
4) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak diketahui,
pedoman WHO STI merekomendasikan penicillinbenzathine G 2,4 juta unit secara
intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu berturut-turut tanpa perawatan.
Keterangan: Interval antara dosis penisilin benzathine berturut-turut tidak boleh
melebihi 14 hari.
5) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak diketahui,
pedoman WHO STI menyarankan penicillinbenzathine G 2,4 juta unit secara
intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu berturut-turut daripada penisilin
prokain 1,2 juta unit secara intramuskular sekali sehari selama 20 hari.
Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi
penisilin dimana desensitisasi penisilin tidak mungkin dilakukan) atau tidak tersedia
(misalnya karena stok habis), pedoman WHO STI menyarankan penggunaan, dengan
hati-hati, eritromisin 500 mg secara oral sebanyak empat kali, setiap hari selama 30
hari.
Keterangan: Meskipun eritromisin mengobati wanita hamil, ia tidak melewati barrier plasenta
sepenuhnya dan akibatnya janin tidak diobati. Oleh karena itu, perlu untuk merawat bayi yang baru
lahir segera setelah melahirkan (lihat rekomendasi 9 dan 10 untuk sifilis kongenital). Doxycycline
tidak boleh digunakan pada wanita hamil. Karena sifilis selama kehamilan dapat menyebabkan
komplikasi merugikan parah pada janin atau bayi baru lahir, kehabisan stok benzathine penisilin
untuk digunakan dalam perawatan antenatal harus dihindari.
2. Sifilis kongenital
Infant, Recomendasi :
6) Pada bayi dengan sifilis bawaan yang dikonfirmasi atau bayi yang normal secara
klinis, namun ibunya memiliki sifilis yang tidak diobati, sifilis yang tidak diobati
secara memadai (termasuk pengobatan dalam 30 hari persalinan) atau sifilis yang
diterapi dengan rejimen non-penisilin, pedoman WHO STI menyarankan Penisilin
benzil atau penisilin prokain.
Dosis:
• Procaine penisilin 50.000 U/kg/hari dosis tunggal intramuskular selama 10-15 hari
Keterangan: Jika venipuncturist berpengalaman tersedia, Aqueousbenzylpenicillin
mungkin lebih disukai daripada suntikan intramuskular penisilin prokain.
7) Pada bayi yang normal secara klinis dan ibu yang memiliki sifilis yang telah diobati
adekuat dengan tidak ada tanda-tanda reinfeksi, pedoman WHO STI menyarankan
pemantauan ketat pada bayi
Keterangan: Risiko penularan sifilis ke janin bergantung pada sejumlah faktor,
termasuk titer ibu dari tes non-treponemal (misalnya RPR), waktu penanganan ibu
dan tahap infeksi ibu, dan oleh karena itu rekomendasi ini bersifat kondisional. Jika
pengobatan diberikan, benzathine penisilin G 50.000 U/kg/hari dosis tunggal secara
intramuskular merupakan pilihan.
2.7 Komplikasi
Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada seluruh organ tubuh,
terutama pada sifilis tersier, sifilis juga menyebabkan peningkatan kemungkinan penularan HIV
hingga 2-5 kali. Lesi siflis mudah berdarah sehingga memudahkan penularan virus HIV saat
melakukan hubungan seksual2
Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan meningkatkan risiko
keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah melahirkan.2
2.8 Pencegahan
Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang sangat baik.
Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV. Penderitatabesdorsalis tidak akan
membaik tetapi progresivitas penyakit akan berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis
kardiovaskular juga memberikan respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark
iskemik masih dapat ditemukan.
2.10 EBN
Judul EBN : aplikasi vco (virgin coconut oil) pada penderita dermatitis untuk mencegah
kerusakan integritas kulit SO
Salah satu faktor eksternal yang dapat menyebabkan gangguan integritas kulit adalah
imobilisasi. Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak bebas yang disebabkan oleh kondisi
dimana gerakan tergganggu atau dibatasi secara terapeutik yang bisa berhubungan langsung dengan
faktor internal seperti penyakit kronis atau status kesehatan (Potter & Perry, 2010). Bedrest adalah
ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau impairment (gangguan
pada alat/ organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental. Imobilisasi dapat juga diartikan sebagai suatu
keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus – menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan
fungsi fisiologis. Di dalam praktek medis bedrest digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom
degenerasi fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan ketidakberdayaan (Hidayat, 2010).
Dampak buruk dari imobilisasi yaitu gangguan integritas kulit yang dapat
mengakibatkan terjadinya iritasi dan luka tekan (Potter & Perry, 2010). Dampak lain bagi
pasien yang dirawat lama di rumah sakit dengan keterbatasan aktivitas multiple and life threatening
medical complications, yaitu meningkatkan durasi lama rawat atau length of stay (LOS). Hal ini
akan meningkatkan beban terutama biaya rawat inap sesuai lama waktu perawatan (Morison, 2014).
Pasien dengan bedrest rentan terjadi cedera akibat penurunan aliran darah dan resiko terjadinya ruam
akibat dari hipersensitivitas, reaksi obat, atau infeksi oportunistik (Morton, et al., 2012). Komplikasi
lain yang bisa terjadi pada pasien dengan bedrest adalah ulkus dekubitus. (Potter & Perry, 2010).
Virgin Coconut Oil merupakan salah satu terapi non farmakologi yang dapat diterapkan
untuk mengatasi masalah kerusakan integritas kulit. Virgin coconut oil mengandung anti oksidan
dan kaya dengan vitamin E. tindakan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian VCO
terhadap kerusakan integritas kulit pada anak. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan
pendekatan pre and post test control group design pada 30 responden (kelompok intervensi dan
kelompok kontrol). Kelompok intervensi diberikan virgin coconut oil dan kelompok kontrol
diberikan perawatan rutin di rumah sakit. Berikut SOP dari VCO
PEMBAHASAN
BAB 5
5.1 Kesimpulan
Prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Sifilis terutama menular melalui kontak
seksual baik melalui vaginal, anal, atau oral. Secara klasik sifilis menyebabkan penyakit yang
terbagi dalam beberapa stadium :
(3) sifilis
Untuk mengatasi sifilis dengan pasien integritas kulit maka diberikan pemberian VCO atau
virgin coconut Oil untuk pengobatan pada luka kering. Jika hal ini dilakukan secara rutin maka
luka kering akan semakin membaik karena VCO mengandung asam lemak ( terutama asam
laurat dan oleat ) bersifat melembutkan kulit dan antimicrobial sehingga VCO efektif dan aman
digunakan
5.2 Saran
Saran bagi perawat dan tenaga medis : perawat pelaksana dapat menerapkan teknik
pemberian minyak kelapa murni VCO pada seluruh pasien yang memiliki luka kering sehingga
kekeringan diluka tersebut dapat berkurang dengan diberikan VCO ini. Dan saran bagi institusi
pendidikan penerapan teknik VCO ini dapat masuk dalam proses pembelajaran dan dapat
dilakukan dengan memberikan materi.
DAFTAR PUSTAKA
Saputri, B. Y. A., & Murtiastutik, D. (2019). Studi retrospektif: Sifilis laten. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, 31(1), 46-54.
Zuniarti, N. (2019). Aplikasi VCO (Virgin Coconut Oil) Pada Penderita Dermatitis Untuk
Mencegah Kerusakan Integritas Kulit (Doctoral dissertation, Tugas Akhir, Universitas
Muhammadiyah Magelang).
Arif, Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta: EGC.
Young. (2004). The 30 ° tilt position vs the 90 ° lateral and supine positions in reducing
the incidence of non blanching erythema in a hospital inpatient population. Journal of tissue
viability. Volume: 14 Number: 3 Retrieved from http://www.ebscohost.com/uph.edu on
February 2, 2010
Azizah, F. (2014). Frekuensi Penyakit Kulit di RS Karitas , Sumba Barat Daya September
2014, 2(3), 147–150.
Barlina, R., Penelitian, B., & Kelapa, T. (2012). Diversifikasi Produk Virgin Coconut Oil
( VCO ) Products Diversification of.
Djuanda, A. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.