Anda di halaman 1dari 29

MAKALAH KEPERAWATAN DEWASA

PADA PENDERITA SIFILIS

Disusun oleh :

Kelas 5A /Kelompok 10

1. Alfinta Trimaulianingsih 1130020018


2. Nurul Kholifah 1130020034

Dosen Fasilisator :

Misutarno, S.Kep.Ns., M.Kep

PRODI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN

UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA


KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya makalah ini. Makalah ini
kami buat dalam memenuhi tugas mata kuliah “Makalah keperawatan dewasa pada penderita
Sifilis ” baik teori maupun Asuhan Keperawatan yang dibuat berdasarkan contoh kasus.
Dengan adanya makalah ini, para pembaca diharapkan mampu mengembangkan dan
menambah pengetahuan mereka disamping adanya buku- buku, referensi dan makalah yang
lain, makalah ini bukan suatu hasil yang sempurna. Dengan adanya waktu-waktu yang akan
datang diperlukan proses perbaikan dan penyempurnaan.
Apabila makalah ini terdapat kekurangan, maka kami sebagai penyusun makalah ini
mengharapkan kritikan dan saran dari pembaca. Harap kami semoga makalah ini berguna bagi
semua pembaca. Kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan untuk pembelajaran.

Surabaya, 16 September 2022

Kelompok 10
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................................2

DAFTAR ISI.........................................................................................................................................3

BAB 1....................................................................................................................................................4

LATAR BELAKANG...........................................................................................................................4

1.1 Latar belakang.............................................................................................................................4

1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................................7

1.3 Tujuan..........................................................................................................................................7

BAB 2....................................................................................................................................................8

TINJAUAN TEORI..............................................................................................................................8

2.1 Definisi........................................................................................................................................8

2.2 Etiologi........................................................................................................................................9

2.3 Tanda dan Gejala.......................................................................................................................10

2.4 Patofisiologi...............................................................................................................................12

2.5 Pemeriksaan penunjang.............................................................................................................14

2.5.1 Pemeriksaan Sediaan langsung...........................................................................................14

2.5.2 Pemeriksaan serologis.........................................................................................................14

2.5.3 Tesdiagnostikcepat (Rapid diagnostic test).........................................................................16

2.5.4 Interpretasi hasil tes serologi sifilis.....................................................................................16

2.6 Penatalaksanaan.....................................................................................................................18

2.7 Komplikasi.................................................................................................................................21

2.8 Pencegahan................................................................................................................................21

2.9 Prognosis....................................................................................................................................22

2.10 EBN.........................................................................................................................................22

BAB 3..................................................................................................................................................25
APLIKASI TEORI KASUS................................................................................................................25

BAB 4..................................................................................................................................................26

PEMBAHASAN.................................................................................................................................26

BAB 5..................................................................................................................................................27

KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................................................................27

5.1 Kesimpulan................................................................................................................................27

5.2 Saran..........................................................................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................28
BAB 1

LATAR BELAKANG

1.1 Latar belakang


Sifilis atau Raja Singa adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh Treponema pallidum ,
yang merupakan penyakit kronis dan bersifat sistemik . Selama perjalanan penyakit ini dapat
menyerang seluruh organ tubuh. Selain itu penyakit sifilis ini juga bersifat laten dan kronis, juga
dapat kambuh lagi sewaktu-waktu. Sifilis dimasa lalu, merupakan salah satu penyakit yang
dikatakan dalam masyarakat sebagai penyakit kutukan karena tubuh penderita akan digrogoti
oleh kuman sifilis ini dan sulit untuk dilakukan pengobatan jika sudah terkena. Penyebaran dari
penyakit sifilis terjadi dengan kontak langsung dengan penderita salah satunya adalah dengan
seks. Orang-orang yang termasuk rentan untuk penyakit sifilis adalah para pekerja seks seperti
gigolo dan wanita pekerja seks, namun tidak menutup kemungkinan juga pada orang yang sering
bergonta-ganti pasangan.
Insiden sifilis telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, dilaporkan 53.000 kasus pada
tahun 1996, sedangkan pada tahun 1992 113.000 kasus. Namun, jumlah kasus sifilis primer dan
sekunder meningkat pada tahun 2000-2007.Pada tahun 2007, 11.466 kasus dilaporkan kepada
US Centers for Disease Control and Prevention.Sebagian besar dari peningkatan ini terjadi pada
pria, terutama pada pria yang berhubungan seks dengan pria lain. Keseluruhan kasus yang
dilaporkan pada wanita menurun. Lebih dari 80% kasus yang dilaporkan di selatan Amerika
Serikat. Kecenderungan untuk kasus sifilis kongenital terjadi penurunan selama sepuluh tahun
terakhir.
Namun pada abad modern seperti sekarang ini sudah ditemukan obat dari sifilis sehingga
penderita sifilis dapat berkurang secara signifikan, namun tidak hilang. Selama penderita
melakukan kontak langsung (seks) dengan pasangan-pasangannya sifilis tidak dapat dikatakan
sudah tertangani sepenuhnya. Dari pembahasan diatas maka penulis mencoba memberikan
pemahaman lebih mengenai penyakit sifilis mulai dari definisi, tanda terkena penyakit sifilis
(gejala), diagnosis, dan khususnya cara penularannya yaitu dengan kontak langsung.
Sifilis merupakan Infeksi Menular Seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri Treponema
pallidum. Sifilis bersifat kronik dan sistemik karena memiliki masa laten, dapat menyerang
hampir semua alat tubuh, menyerupai banyak penyakit, dan ditularkan dari ibu ke janin
(Djuanda, 2015). Masa laten pada sifilis tidak menunjukkan gejala klinis, namun pada
pemeriksaan serologis menunjukkan hasil positif (Sanchez, 2008).
Sifilis memiliki dampak besar bagi kesehatan seksual, kesehatan reproduksi, dan kehidupan
sosial. Populasi berisiko tertular sifilis meningkat dengan adanya perkembangan dibidang sosial,
demografik, serta meningkatnya migrasi penduduk (Kemenkes RI, 2011). Secara global pada
tahun 2008, jumlah orang dewasa yang terinfeksi sifilis adalah 36,4 juta dengan 10,6 juta infeksi
baru setiap tahunnya (WHO, 2009). Daerah yang mempunyai tingkat penularan sifilis tertinggi
ialah sub-Sahara Afrika,
Amerika Serikat, dan Asia Tenggara. Beberapa studi yang telah dilakukan di Afrika
menunjukkan bahwa terdapat 30% seropositif sifilis pada antenatal dan 50%-nya mengakibat
kematian bayi pada sifilis kongenital (Lukehart, 2010). Angka kejadian sifilis di Amerika
Serikut terus meningkat, dengan prevalensi tahun 2014 adalah 20,1 per 100.000 penduduk dan
meningkat dibandingkan tahun 2013 adalah 17,9 per 100.000 penduduk. Berdasarkan usia,
kelompok usia yang sering terinfeksi adalah usia 20-24 tahun. Laki-laki lebih sering terinfeksi
sifilis dengan prevalensi 22,1 per 100.000 penduduk dibandingkan perempuan dengan prevalensi
4,5 per 100.000 penduduk (CDC, 2015).
Jumlah kasus baru sifilis di Asia Tenggara pada tahun 2008 adalah 3 juta (WHO, 2009).
Insidens sifilis di Indonesia sebesar 0,61% (Djuanda, 2015). Hasil penelitian Direkorat Jenderal
Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM yang dilaksanakan pada tahun 2010 dengan
responden 900 narapidana laki-laki dan 402 narapidana perempuan di 24 lapas dan rutan di
Indonesia, didapatkan prevalensi sifilis 8,5% pada responden perempuan dan 5,1% pada
responden lakilaki (Aman et al., 2010).
Dinas Kesehatan Kota Padang pada tahun 2011 tidak menemukan kasus baru untuk sifilis
(Dinkes Padang, 2012), sedangkan pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah kasus sifilis di
Kota Padang dengan ditemukannya 22 kasus yang terdiri dari 18 orang laki-laki dan 4 orang
perempuan (Dinkes Padang, 2014). Penularan sifilis berhubungan dengan perilaku seksual.
Perilaku seksual adalah bentuk perilaku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan
jenis maupun sesama jenis. Bentuk perilaku ini dapat bermacam-macam, mulai dari perasaan
tertarik sampai berkencan, bercumbu, dan bersenggama (Sarwono, 2013). Perilaku seksual dapat
dibagi menjadi perilaku seksual tidak berisiko dan perilaku seksual berisiko. Perilaku seksual
tidak berisiko memiliki makna perilaku yang tidak merugikan diri sendiri, dilakukan kepada
lawan jenis, dan diakui masyarakat. Perilaku seksual berisiko diartikan sebagai perilaku seksual
yang cenderung merusak, baik bagi diri sendiri maupun orang lain (Hartono, 2009).
3 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Perilaku seksual berisiko adalah keterlibatan
individu dalam melakukan aktivitas seks yang memiliki risiko terpapar dengan darah, cairan
sperma, dan cairan vagina yang tercemar bakteri penyebab sifilis. Jumlah pasangan seksual yang
banyak merupakan salah satu perilaku seksual berisiko. Hal ini terjadi karena jumlah pasangan
seksual yang banyak sebanding dengan banyaknya jumlah hubungan seksual yang dilakukan
(Rahardjo, 2015). Kurangnya pengetahuan individu tentang penggunaan kondom juga dapat
meningkatkan risiko infeksi.
Kondom tidak memberikan perlindungan 100%, namun bila digunakan dengan tepat dapat
mengurangi risiko infeksi. Selain itu, kemiskinan dan masalah sosial memaksa perempuan,
kadang juga laki-laki, berprofesi sebagai penjaja seks. Mereka menukarkan seks dengan uang
atau barang agar dapat bertahan hidup (Kemenkes RI, 2011). World Health Organization (WHO)
melakukan penelitian mengenai faktor risiko perilaku seksual di beberapa negara. Berdasarkan
penelitian tersebut, pasien dianggap memiliki perilaku seksual berisiko bila terdapat jawaban ya
untuk satu atau lebih pertanyaan: pasangan seksual > 1 dalam 1 bulan terakhir, berhubungan
seksual dengan penjaja seks dalam 1 bulan terakhir, mengalami ≥ 1 episode IMS dalam 1 bulan
terakhir, dan perilaku pasangan seksual berisiko tinggi (Kemenkes RI, 2011). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan di Cina tahun 2009-2012, prevalensi sifilis pada perempuan penjaja
seks sebesar 4,7%. Faktor yang memengaruhinya secara signifikan adalah hubungan seksual
dibawah pengaruh obat-obatan, hubungan seksual tanpa kondom, dan usia tua yang berkaitan
dengan makin banyaknya jumlah pasangan seksual yang dimiliki (Cai et al., 2013).
4 Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Setiap orang yang aktif secara seksual bisa
terinfeksi melalui kontak langsung dengan lesi sifilis. Pada laki-laki, lesi dapat terjadi terutama
di alat kelamin eksternal, anus, atau dubur. Lesi juga dapat terjadi pada bibir dan mulut. Gay
atau laki-laki biseksual bisa terinfeksi sifilis selama seks anal, oral, atau vaginal (CDC, 2015).
Penelitian yang dilakukan di Peru pada tahun 2003-2005, mendapatkan prevalensi infeksi sifilis
10,5% pada Man Sex Only with Man (MSOM), 1,5% pada laki-laki penjaja seks, dan 2,0% pada
perempuan penjaja seks. Hasil tersebut menunjukkan bahwa orientasi seksual memengaruhi
infeksi sifilis yaitu laki-laki yang berhubungan sesama jenis (homoseksual) memiliki risiko
terinfeksi sifilis lima kali lebih besar dibanding yang berhubungan dengan lawan jenis
(heteroseksual) (Snowden et al., 2010). Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat,
mendapatkan orang yang terinfeksi sifilis sering juga memiliki IMS lain, salah satunya Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Individu yang telah terinfeksi sifilis memungkinkan HIV lebih
mudah memasuki tubuh. Hal ini disebabkan oleh perilaku seksual yang sama memengaruhi
penularan kedua penyakit tersebut, sehingga individu yang terinfeksi sifilis memiliki risiko yang
lebih besar untuk mendapatkan HIV (CDC, 2015). Berdasarkan peningkatan jumlah kasus sifilis
di Kota Padang dan perilaku seksual berisiko yang memengaruhinya, peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian mengenai hubungan perilaku seksual berisiko dengan kejadian sifilis di
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2011-2015.

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan
BAB 2

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Sifilis atau lues merupakan infeksi menular seksual (IMS) yang disebabkan oleh bakteri
Treponema pallidum yang menyebabkan kelainan pada kulit dan dapat bermanifestasi sistemik.
Infeksi ini ditularkan melalui kontak seksual atau dari ibu kepada bayi melalui plasenta, dapat juga
ditularkan melalui transfusi darah.1 Sifilis melewati beberapa stadium, yaitu stadium primer,
stadium sekunder, stadium tersier dan sifilis yang tidak menunjukkan gejala klinis disebut sebagai
sifilis laten. Stadium laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis sifilis primer ataupun
sekunder namun pemeriksaan serologis menunjukkan hasil yang reaktif . 2,3-5 Sifilis tersebar
diseluruh dunia dan telah dikenal sebagai penyakit kelamin klasik yang dapat dikendalikan dengan
baik. Di Amerika Serikat kejadian sifilis dan sifilis kongenital yang dilaporkan meningkat sejak
tahun 1986 dan berlanjut sampai dengan tahun 1990 dan kemudian menurun sesudah itu.
Peningkatan ini terjadi terutama di kalangan masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah dan di
kalangan anak-anak muda dengan kelompok usia yang paling sering terkena infeksi adalah golongan
usia muda berusia antara 20–29 tahun, yang aktif secara seksual.6-9 Angka kejadian sifilis mencapai
90% di negara berkembang.

World Healthy Organization (WHO) memperkirakan terdapat 5 juta kasus baru sifilis di dunia
dan 12 juta kasus baru terjadi di Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, Amerika Latin dan Caribbean.
Insidens sifilis di berbagai negeri di seluruh dunia pada tahun 1996 berkisar antara 0,04% sampai
0,52%. Insidens yang terendah di Cina, sedangkan yang tertinggi di Amerika Selatan. Di Indonesia
insidensinya sekitar 0,61%. Angka kejadian sifilis di Indonesia berdasarkan laporan Survey Terpadu
Dan Biologis Perilaku (STBP) tahun 2011 oleh Kementrian Kesehatan RI, terjadi peningkatan angka
kejadian sifilis di tahun 2011 jika dibandingkan dengan tahun 2007.8-9 Penelitian restropektif ini
dibuat untuk mengetahui gambaran sifilis laten di Divisi IMS Unit Rawat Jalan (URJ) Kesehatan
Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya periode tahun 2009 sampai 2017 (9 tahun).
Diharapkan hasil penelitian retrospektif ini dapat memberikan masukan terhadap penegakan
diagnosis, pemilihan terapi yang tepat sehingga meningkatkan keberhasilan tatalaksana pasien sifilis
laten di Divisi IMS URJ Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo Surabaya.
2.2 Etiologi
Etiologi sifilis adalah infeksi spiroset Treponema pallidum yang masuk melalui mikroabrasi
kulit atau membrane mukosa. Sifilis umumnya ditularkan melalui kontrak seksual, tapi juga
dapat ditularkan melalui kontak seksual, tapi juga dapat ditularkan dari ibu ke janin atau melalui
tranfusi darah.

Treponema pallidum berbentuk heliks,bersifat mikroaerofilik, memiliki panjang 6-20 dan


diameter 0,1-0,18, serta memiliki 2-3 flagella untuk motilitasnya. Ukuranya yang kecil membuat
organisme ini tidak terlihat dengan mikroskop cahaya dan diidentifikasi melalui gerakan
undulasi pada mikroskop lapangan gelap. Dari penelitian didapatkan organisme ini membelah
setiap 30-33 jam secara in vivo.treponema pallidum hanya dapat bertahan dalam waktu singkat
diluar tubuh karena rendahnya kapasitas metabolisme, dan menurunya viabilitas pada
lingkungan yang memiliki suhu lebih tinggi dari tempratur tubuh. 3,6,16

Treponema palidium tidak memiliki lipopolisakarida dan tidak memproduksi protein toksik.
Gejala yang ditimbulkan adalah akibat respon imun dan inflamasi dari pejamu. Untuk Penularan
semua subspecies treponema pallidum dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan lesi
aktif. Pada kebanyakan kasus, sifilis juga bisa menyebar melalui barrier plasenta dan tranfusi
darah.

Faktor resiko, sebuah studi melaporkan beberapa factor yang meningkatkan resiko sifilis di
antaranya :

- Usia reproduktif

- Tingkat pendidikan yang rendah

- Hubungan seksual sesame jenis

- Infeksi HIV

- Jumlah pasangan seksual yang banyak

- Penggunaan kondom yang tidak konsisten


2.3 Tanda dan Gejala
Penyakit sifilis berkembang secara bertahap dan gejalanya juga bervariasidalam setiap
tahap. Terkadang, setiap tahapan dapat menunjukan gejala yang sama dan dapat terjadi tidak
berurutan. Beberapa orang juga bisa mengalami penyakit sifilis tanpa mengalami gejala apapun.
Gejala penyakit sifilis pada orang dewasa sangat bervariasi berdasarkan tahapanya. Berikut ini
gejala penyakit sifilis atau yang dikenal dengan sebutan raja singa berdasarkan tahapanya.

1. Gejala sifilis primer

Gejala pada tahap sifilis primer akan muncul antara 10 hingga 90 hari setelah
terpapar bakteri penyebab sifilis. Gejala yang muncul awalnya ditandai dengan
munculnya satu atau beberapa luka. Karakteristik luka yang muncul biasanya tidak
keras,bulat,dan tidak nyeri. Pada beberapa orang, karena luka yang muncul tidak
menyebabkan sakit, biasanya penderita akan mengabaikanya dan tidak menyadari
terkena sifilis.luka kecil pada kulit dapat muncul di area mulut atau alat kelamin.

Selain itu, luka sifilis juga dapat muncul pada bagian dalam vagina, dubur serta
mulut. Luka pada gejala tahap primer bisa hilang dalam waktu sampai 6 minggu. Meski
dapat hilang dengan sendirinya, pada tahap ini pengobatan tetap diperlukan. Hal tersebut
untuk mencegah kondisi yang semakin parah dan berkembang menjadi tahap sekunder.
Selama berada pada tahap ini, anda rentan sekali menularkan bakteri penyebab sifilis
kepada orang lain.

2. Gejala sifilis Sekunder

Gejala pada tahap sekunder ditandai dengan munculnya ruam dibagian tubuh
manapun. Ruam dapat muncul saat luka pada tahap primer sembuh atau beberapa minggu
setelah luka senbuh. Ruam yang muncul dapat terlihat seperti bintik-bintik kasar, merah
atau coklat kemerahan di telapak tangan atau ditelapak kaki. Ruam biasanya tidak
menimbulkan gatal dan terkadang samar sehingga jarang penderita mengetahui
munculnya ruam.

Gejala lain yang akan dialami termasuk demam, pembengkakakn kelenjar getah
bening sakit tenggorokan,rambut rontok, sakit kepala ,penurunan berat badan, nyeri otot,
dan kelelahan. Gejala pada tahap ini dapat hilang dengan sendirinya meski tidak
dilakukan pengobatan. Namun gejala pada tahap ini dapat muncul beberapa kali. Jika
kondisi tersebut diabaikan dan dan tidak dilakukan pengobatan, gejala penyakit sifilis
dapat berkembang ke tahap laten atau tersier. Meski kelihatanya luka telah sembuh,
infeksi sifilis pada tahap ini masih tetap bisa menular ke orang lain.

3. Gejala sifilis laten

Tahap sifilis laten adalah periode waktu ketika tidak ada tanda atau gejala sifilis yang
terlihat. Pada tahap ini, bakteri penyebab sifilis tetap ada dalam tubuh. Namun, tidak
menimbulkan gejala apapun. Selama tahap sifilis laten berlangsung, diagnosis hanya
dapat dilakukan dengan melakukan tes darah. Jika pada tahap ini sifilis tidak segera
diobati. Maka dapat berkembang menjadi tahap tersier atau tahapan berbahaya dari gejala
penyakit sifilis.

4. Gejala sifilis tersier

Pada tahap ini, infeksi bakteri penyebab sifilis akan muncul 10 hingga 0 tahun setelah
infeksi pertama. Ketika kondisi ini terjadi sifilis akan menyebabkan kerusakan organ
secara permanen. Organ yang diserang biasanya jantung, pembuluh darah,otak dan
system saraf. Akibatnya, penderita bisa mengalami penyakit jantung, hingga stroke. Pada
kondisi ini. Infeksi sifilis dapat menyebabkan kematian jika tidak dilakukan tindakan
medis.

5. Gejala sifilis pada otak dan mata

Penyakit sifilis yang tanpa dilakukan perawatan medis dapat menyebabkan


komplikasi dan menyebar ke organ lainya, termasuk otak dan mata. Sifilis yang
menyerang mata disebut sifilis ocular.

Gejala neurosifilis meliputi :

- Mengalami sakit kepala parah

- Kesulitan untuk mengkoordinasikan gerakan otot

- Mengalami kelumpuhan pada bagian tubuh tertentu

- Mati rasa
- Demensia

Selanjutnya, gejala pada sifilis ocular ditandai dengan perubahan kemampuan penglihatan
hingga mengalami kebutaan. Gejala penyakit sifilis yang berada pada tahap awal dapat disembuhkan
dengan menggunakan antibiotic. Namun pengobatan menggunakan antibiotik tidak memperbaiki
kerusakan yang telah terjadi akibat infeksi. Memiliki gaya hidup seksual yang sehat adalah kunci
untuk terbebas dari penyakit sifilis. Sekian ulasan tentang gejala penyakit sifilis

2.4 Patofisiologi

Sifilis terutama menular melalui kontak seksual baik melalui vaginal, anal, atau oral. Metode
penularan lainya yang lebih jarang adalah berciuman, berbagi jarum suntik yang tidak aman, tranfusi
darah, needlestickinjury, dan cangkok organ. Secara klasik sifilis, menyebabkan penyakit yang
terbagi dalam beberapa stadium :
a. Masa inkubasi tanpa gejala

b. Sifilis primer yaitu timbulnya lesi primer pada tempat inokulasi pertama

c. Sifilis sekunder yang terjadi akibat penyebaran kuman ke seluruh tubuh dengan berbagai
menifestasi klinik

d. Stadium klinis atau laten yang dapat berlangsung hingga bertahun-tahun dan hanya dapat
dideteksi melalui pemeriksaan serologis

e. Sifilis tersier stadium akhir dari sifilis berupa penyakit progresif yang melibatkan susunan
saraf pusat, pembuluh darah besar, dana atau pembentukan gumma yang dapat terjadi pada
semua organ

Sifilis,primer,sekunder dan laten awal merupakan stadium yang sangat menular,dengan resiko
penularan sebesar 60%. Kontak langsung dengan lesi kulit sifilis primer atau sekunder merupakan
penularan terbanyak. Pada stadium laten awal, kemungkinan penularan hingga sekitar 25%. Bayi
baru lahir tertular sifilis akibat infeksi dalam Rahim, tetapi bayi juga dapat tertular melalui kontak
dengan lesi genital ibu pada saat persalinan. Resiko penularan dari wanita dengan sifilis primer atau
sekunder yang tidak dapat pengobatan adalah sekitar 70 – 100%. Resiko ini menurun hingga 40%
bila ibu hamil berada pada stadium laten awal dan 10% pada stadium laten lanjut atau sifilis tersier.
Empat puluh persen kehamilan pada wanita dengan sifilis menyebabkan kematian janin. Secara
teoritis, sifilis dapat menular melalui air susu ibu (ASI) dari ibu dengan sifilis primer atau sekunder
walaupun hal ini jarang ditemukan.

Saat penularan T.pallidum dapat menembus membrane mukosa mukosa utuh atau kulit dengan
mikroabrasi. Dalam beberapa jam pertama akan memasuki jaringan limfatik dan aliran darah yang
akan menimbulkan gejala infeksi sistemik dan focus metastatic sebelum timbulnya lesi primer.
T.pallidum membelah diri setiang 0 hingga jam. Darah dari penderita dalam masa inkubasi dan
sifilis stadium awal sangat menular. Lamanya masa inkubasi berbanding terbalik dengan jumlah
inoculum treponema. Semakin banyak jumlah treponema yang terinokulasi, masa semakin pendek
massa inkubasinya. Masa inkubasi biasanya rata-rata berlangsung minggu sejak inokulasi pertama
dan jarang berlangsung sampai lebih dari 6 minggu.

Menandai stadium sifilis primer, muncul lesi primer pada tempat inokulasi yang disebut canchre.
Canchre biasanya bertahan dalam waktu 4-6 minggu dan kemudia sembuh sendiri. Pemeriksaan
Histopatologis pada canchre menemukan infiltrasi massif privaskular terutama oleh sel limfosit CD4
dan CD8, sel plasma,sel makrofag. Ditemukan juga poliferasi endotel kapiler dan obiliterasi
pembuluh-pembuluh darah kecil, gejala-gejala konstitusi dan mukokutan sifilis sekunder muncul
antara 6-8 Minggu setelah lesi primer menyembuh.15% penderita mengalami sifilis sekunder pada
saat lesi primer masih ada. Terapi pada beberapa penderita paska lesi primer,sifilis sekunder tidak
ditemukan dan penderita langsung masuk dalam stadium sifilis laten. Gambaran histopatologis lesi
sifilis sekunder meliputi hyperkeratosis,epidermis,proliferasi kapiler disertai dengan pembengkakan
endoteldan infiltrasi perivascular oleh limfosit CD4 dan CD8, sel plasma serta makrofag.treponema
dapat ditemukan pada jaringan termasuk cairan serebrospinal dan humor aques pada mata.invasi
treponema pada susunan saraf pusat (SSP) terjadi pada minggu pertama infeksi dan kelainan pada
SPP ditemukan pada 40% paien penderita sifilis sekunder.

Hepatitis dan glomerulonephritis dapat terjadi pasa sifilis sekundar, walaupun jarang.gangguan
fungsi hati ditemukan hingga 25% pada penderita sifilis primer. Pembesaran kelenjar getah bening
(KGB) generalisata terjadi pada 85% penderita sifilis sekunder biasanya hilang 2-6 Minggu dan
sifilis memiliki stadium laten yang hanya dapat dikenali dengan menggunakan tes serologis.
Stadium laten dapat diselang seling oleh beberapa episode kekambuhan mukokutan pada tahun-
tahun pertama. Sekitar satu Dari tiga penderita sifilis yang tidan diobati dan melewati massa laten
akan memasuki stadium sifilis tersier, pada stadium yang akhir ini manifestasi yang sering
ditemukan adalah gumma, sifilis pada system kardiovaskular dan neurosifilis lanjut. Factor yang
menyebabkan terjadinya sifilis tersier hingga saat ini belum diketahui. Kematian akibat sifilis tersier.

2.5 Pemeriksaan penunjang

2.5.1 Pemeriksaan Sediaan langsung


Pada sifilis primer, sekunder dan tersier : pemeriksaan langsung apusan dari lesi mukokutan
dengan menggunakan mikroskop lapangan gelap atau pewarnaan immunoflerensi adalah
pemeriksaan yang tercepat untuk dapat mengatakan diagnosis. Pemeriksaan pada canchre,
condyloma lata dan mucouspatches memberikan angka positif yang tinggi karena lesi-lesi ini
mengandung banyak trepoema. Walaupun demikian pemeriksaan langsung dari kulit kering ataupun
aspirasi KGB juga dapat memberikan hasil positif.

Tidak dianjurkan memberikan lesi dengan menggunakan larutan antiseptic, sabun atau
larutan bakterisidal sebelum pengambilan bahan pemeriksaan, karena treponema yang mati sulit
diidentifikasi kecuali bila menggunakan pewarnaan immunofluoreensi.

2.5.2 Pemeriksaan serologis


Ada 2 macam pemeriksaan serologi padaa sifilis :

1. Pemeriksaan terhadap antibody reaginic nonspesifik non treponemal

2. Antibody spesifik anti-treponemal.

Pemeriksaan pertama lebih murah, cepat dan mudah bila digunakan sebagai alat skrining pada
jumlah sampel yang besar, misalnya pada donor darah. Selain itu, tes non-treponemal dapat
digunakan untuk memantau aktivitas pengobatan. Tes spesifik dapat memastikan adanya infeksi
sifilis saat ini atau pada masa lalu. Kedua tes ini biasanya digunakan bersama-sama. Tes serologis
sifilis jarang memberikan hasil negative palsu kecuali pada orang tua.

Tes non-treponemal, seperti VDRL (venerreal disease research laboratory), memeriksa


antibodi terhadap komplek cardiolipin-lecithin-cholesterol yang dihasilkan oleh interaksi antara
T.pallidum dengan jaringan host. Tes ini mempunyai positif semu yang tinggi sehigga hasil positif
harus dilanjutkan dengan tes treponema. VDRL merupakan tes standar untuk pemeriksaan cairan
serebrospinalis. Selain VDRL, yang termasuk dalam tes non-treponemal adalah : rapid plasma
reagin (RPR), automated reagin test (ART) dan toluidine red unheated syphilis test (TRUST). Tes
non-treponemal dianggap positif bila titernya lebih dari 1:4, mencapai nilai titer tertinggi pada
sifilis sekunder dan late awal, kemudian menurun sesudahnya. Seiring waktu, 25% penderita
sifilis yang tidak mendapat pengobatan, tets non-reponemalnya menjadi negatif. Perbandingan
respon positif tes non-treponemal dan treponemal dapat dilihat pada tabel
Tabel 3. Tes serologi sifilis positif

Stadium VDRL (%) FTA-abs TPHA (%)


(%)
Sifilis primer 70 85 50-60
Sifilis sekunder 99 100 100
Sifilis laten atau lanjut 70 98 98

Fenomena prozone, yaitu reaksi serologis yang negative walaupun kadar antibody tinggi,
dapat terjadi pada 2% kasus terutama pada sifilis sekunder dan wanita hamil. Pengenceran
bertahap pada baha pemeriksaan yang sama dapat menunjukkan peninggian titer 4 kali.2 Tes
spesifik treponemal seperti FTA-abs (Flouresencetreponemalantibody-absobed) dan TPHA
(Treponemapallidumhemaglutinationtest) mendeteksi antibody terhadap antigen spesifik
T.pallidum. tes ini memerlukan standarisasi dalam pengerjaannya, sehingga lebih sulit dan
interpetasinya dapat bersifat subjektif.
Test ini harganya mahal sehingga tidak dapat digunakan sebagai alat skrining masal dan
memiliki nilai positif semu yang rendah, sehingga tes ini berguna untuk tes konfirmasi pada
penderita dengan tes non-treponemal yang positif. Tes spesifik positif akan berlangsug seumur
hidup, tetapi 10% dapat menjadi negative setelah mendapat terapi dini.2 Tes lain untuk
mendiagnosa sifilis adalah tes PCR yang menggunakan antigen sifilis dan isolasi bakteri. PCR
spesifik tetapi tidak dapat membedakan Trepnema mati dan yang hidup, sedangkan isolasi
T.pallidum hanya dapat dilakukan pada hewan percobaan karena T.pallidum tidak dapat
tumbuh pada media buatan. Keterlibatan SSP dapat didiagnosis dengan pleositosis (>5 sel
darah putih/uL), peningkatan protein (>45mg/dl) dan VDRL positif.
Semua penderita sifilis dengan gejala neurologi harus menjalani pemeriksaan cairan SSP
tanpa melihat stadium sifilisnya. Karena penderita sifilis mempunyai risiko tinggi untuk
terkena HIV dan juga sebaliknya. Penderita HIV dan sifilis harus dievaluasi untuk kemungkinan
adanya neurosifilis.2

2.5.3 Tesdiagnostikcepat (Rapid diagnostic test)


Akhir-akhir ini, telah tersedia rapidtestuntuk sifilis yaitu (TreponemaPallidum Rapid (TP
Rapid)), menyediakan hasil antibodi treponemal dalam 10-15 menit dan dapat dilakukan dalam
settingapapun karena tidak memerlukan penyimpanan berpendingin atau peralatan laboratorium.
Sensitivitas RDT berkisar antara 85% - 98% dan spesifisitas 93% sampai 98%, dibandingkan
dengan TPHA atau TPPA sebagai standar acuan.1,5
Rapid testsifilis yang tersedia saat ini TP Rapid termasuk kategori tes spesifik
treponemayang mendeteksi antibodi spesifik terhadap berbagai spesies treponema (tidak selalu T
pallidum), sehingga tidak dapat digunakan membedakan infeksi aktif dari infeksi yang telah
diterapi dengan baik. TP Rapid hanya menunjukkan bahwa seseorang pernah terinfeksi
treponema,namun tidak dapat menunjukkan seseorang sedang mengalami infeksi aktif. TP Rapid
dapat digunakan hanya sebagai pengganti pemeriksaan TPHA,dalam rangkaian pemeriksaan
bersama dengan RPR. Penggunaan TP Rapidtetap harus didahului dengan pemeriksaan RPR.
Jika hasil tes positif, harus dilanjutkan dengan memeriksa titer RPR, untuk diagnosis dan
menentukan pengobatan. Pemakaian TP Rapid dapat menghemat waktu, namun harganya jauh
lebih mahal dibandingkan dengan TPHA. Bagi daerah yang masih mempunyai TPHA
konvensional/bukan rapid masih bisa digunakan

2.5.4 Interpretasi hasil tes serologi sifilis


Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4 minggu sejak pertama kali
muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis namun
hasil RPR nya negatif.

1. Hasil tes non-treponemal (RPR) masih bisa negatif sampai 4 minggu sejak pertama kali
muncul lesi primer. Tes diulang 1-3 bulan kemudian pada pasien yang dicurigai sifilis namun
hasil RPR nya negatif.
2. Hasil positif tes RPR perlu dikonfirmasi dengan TPHA/TP-PA/TP Rapid.

a. Jika hasil tes konfirmasi non-reaktif, maka dianggap reaktif palsu dan tidak perlu diterapi
namun perlu dites ulang 1-3 bulan kemudian.
b. Jika hasil tes konfirmasi reaktif, dilanjutkan dengan pemeriksaan RPR kuantitatif untuk
menentukan titer sehingga dapat diketahui apakah sifilis aktif atau laten, serta untuk
memantau respons terhadap pengobatan.
c. Jika hasil RPR reaktif, TPHA reaktif, dan terdapat riwayat terapi dalam tiga bulan
terakhir, serta pada anamnesis tidak ada ulkus baru, pasien tidak perlu diterapi. Pasien
diobservasi dan tes diulang tiga bulan kemudian.
d. Jika titer RPR tetap atau turun, tidak perlu diterapi lagi dan tes diulang tiga bulan
kemudian.
e. Jika hasil RPR tidak reaktif atau reaktif rendah (serofast), pasien dinyatakan sembuh.

f. Jika titer naik, berikan terapi sebagai infeksi baru/sifilis aktif.

g. Jika hasil RPR reaktif dan TPHA reaktif dan tidak ada riwayat terapi sifilis dalam3 bulan
terakhir, maka perlu diberikan terapi sesuai stadium.
 Titer RPR <1:4 (1:2 atau 1:4) dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagaisifilis
laten lanjut.
 Titer >1:8 dapat diinterpretasikan dan diterapi sebagai sifilis aktif danditerapi.

h. 3 bulan setelah terapi, evaluasi titer RPR.

 Jika titer RPR turun 2 tahap (misal dari 1:64 menjadi 1:16) atau lebih,terapi
dianggap berhasil. Ulangi evaluasi tiap tiga bulan sekali di tahunpertama dan 6
bulan di tahun kedua, untuk mendeteksi infeksi baru.
 Jika titer tidak turun dua tahap, lakukan evaluasi kemungkinan re-infeksi,atau
sifilis laten.

RPR TPHA Titer RPR dan riwayat Interpretasi Tindakan


Negativ Tidak Tidak dikerjakan - Ulangi tes 3 bulan lagi
e perlu
Positif negatif Tidak dikerjakan Positif palsu Ulangi tes 3 bulan lagi
Terdapat riwayat terapi sifilis Masa evaluasi Tidak perlu terapi.
dalam terapi Ulangi
Positif Positif 3 bulan terahir, berapa pun tes 3 bulan lagi
titernya
1:2 Sifilis Terapi sebagai sifilis
Tidak ada riwayat terapi atau laten laten
dalam 3 bulan 1 :4 lanju lanjut. Evaluasi 3
terahir t bula kemudian
≥ 1 : 8 Sifilis Terapi sebagai sifilis
aktif/dini dii.
Evaluasi 3 bulan
kemudian
Positif Positif Bandingkan dengan titer 3 Jika turu Tdak perlu terapi.
atau buan yang lalu terapi Observasi dan
negativ berhasil evaluasi 6 bulan
e kemudian
Positif Positif Bandingkan dengan titer 3 Jika naik infeksi Terapi sesuai
bulan baru titer/stadium
yang lalu

2.6 Penatalaksanaan

Berdasarkan Guideline WHO untuk terapi Treponemapallidum (syphilis) 20165:

1. Sifilis dini (primer, sekunder dan sifilis laten dini durasi tidak lebih dari 2 tahun

a. Dewasa dan remaja, rekomendasi :

1) Pada dewsa dan remaja dengan sifilis dini, guideline WHO infeksi menular seksual
(Sexuallytransmittedinfections (STI) merekomendasikanbenzathinepenicillin G 2.4
juta unitsecaraintramuskular tanpa perawatan
2) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis dini, pedoman WHO STI lebih
menyarankan penggunaan penisilin benzathine G 2,4 juta unit sekali secara
intramuskulardaripada penisilin prokain G 1,2 juta unit 10-14 hari secara
intramuskular.
Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi
penisilin) atau tidak tersedia (misalnya karena stok habis), pedoman WHO STI
menyarankan penggunaan doksisiklin 100 mg dua kali sehari secara oral selama 14
hari atau ceftriaxone 1 g intramuskular sekali sehari. Selama 10-14 hari, atau dalam
keadaan khusus, azitromisin 2 g sekali secara oral.
Keterangan: Doxycycline lebih disukai daripada ceftriaxone karena biaya yang lebih
rendah dan pemberian oral. Doxycycline tidak boleh digunakan pada wanita hamil
(lihat rekomendasi 3 dan 4 untuk wanita hamil). Azitromisin adalah pilihan dalam
keadaan khusus hanya jika kerentanan lokal terhadap azitromisin mungkin terjadi.
Jika tahap sifilis tidak diketahui, ikuti rekomendasinya pada penderita sifilis.melibihi
14hari

3) Pada orang dewasa dan remaja dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak
diketahui, pedoman WHO STI lebih menyarankan benzathine penisilin G 2,4 juta unit
secara intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu berturut-turut daripada
prokain penisilin 1,2 juta unit sekali sehari selama 20 hari. Bila penisilin benzathine
atau procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi penisilin dimana
desensitisasi penisilin tidak mungkin dilakukan) atau tidak tersedia (misalnya karena
stok habis), pedoman WHO STI menyarankan penggunaan doksisiklin 100 mg dua
kali sehari secara oral selama 30 hari. Keterangan: Doxycycline tidak boleh
digunakan pada ibu hamil (lihat rekomendasi 7 dan 8 untuk wanita hamil).

b. Wanita hamil, rekomendasi :

4) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak diketahui,
pedoman WHO STI merekomendasikan penicillinbenzathine G 2,4 juta unit secara
intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu berturut-turut tanpa perawatan.
Keterangan: Interval antara dosis penisilin benzathine berturut-turut tidak boleh
melebihi 14 hari.
5) Pada wanita hamil dengan sifilis lanjut atau tahap sifilis yang tidak diketahui,
pedoman WHO STI menyarankan penicillinbenzathine G 2,4 juta unit secara
intramuskular sekali seminggu selama tiga minggu berturut-turut daripada penisilin
prokain 1,2 juta unit secara intramuskular sekali sehari selama 20 hari.
Bila penisilin benzathine atau procaine tidak dapat digunakan (misalnya karena alergi
penisilin dimana desensitisasi penisilin tidak mungkin dilakukan) atau tidak tersedia
(misalnya karena stok habis), pedoman WHO STI menyarankan penggunaan, dengan
hati-hati, eritromisin 500 mg secara oral sebanyak empat kali, setiap hari selama 30
hari.

Keterangan: Meskipun eritromisin mengobati wanita hamil, ia tidak melewati barrier plasenta
sepenuhnya dan akibatnya janin tidak diobati. Oleh karena itu, perlu untuk merawat bayi yang baru
lahir segera setelah melahirkan (lihat rekomendasi 9 dan 10 untuk sifilis kongenital). Doxycycline
tidak boleh digunakan pada wanita hamil. Karena sifilis selama kehamilan dapat menyebabkan
komplikasi merugikan parah pada janin atau bayi baru lahir, kehabisan stok benzathine penisilin
untuk digunakan dalam perawatan antenatal harus dihindari.
2. Sifilis kongenital
Infant, Recomendasi :
6) Pada bayi dengan sifilis bawaan yang dikonfirmasi atau bayi yang normal secara
klinis, namun ibunya memiliki sifilis yang tidak diobati, sifilis yang tidak diobati
secara memadai (termasuk pengobatan dalam 30 hari persalinan) atau sifilis yang
diterapi dengan rejimen non-penisilin, pedoman WHO STI menyarankan Penisilin
benzil atau penisilin prokain.
Dosis:

• Aqueousbenzylpenicillin 100 000-150 000 U/kg/hari intravena selama 10-15 hari

• Procaine penisilin 50.000 U/kg/hari dosis tunggal intramuskular selama 10-15 hari
Keterangan: Jika venipuncturist berpengalaman tersedia, Aqueousbenzylpenicillin
mungkin lebih disukai daripada suntikan intramuskular penisilin prokain.
7) Pada bayi yang normal secara klinis dan ibu yang memiliki sifilis yang telah diobati
adekuat dengan tidak ada tanda-tanda reinfeksi, pedoman WHO STI menyarankan
pemantauan ketat pada bayi
Keterangan: Risiko penularan sifilis ke janin bergantung pada sejumlah faktor,
termasuk titer ibu dari tes non-treponemal (misalnya RPR), waktu penanganan ibu
dan tahap infeksi ibu, dan oleh karena itu rekomendasi ini bersifat kondisional. Jika
pengobatan diberikan, benzathine penisilin G 50.000 U/kg/hari dosis tunggal secara
intramuskular merupakan pilihan.
2.7 Komplikasi
Selain berbagai manifestasi yang muncul akibat kerusakan pada seluruh organ tubuh,
terutama pada sifilis tersier, sifilis juga menyebabkan peningkatan kemungkinan penularan HIV
hingga 2-5 kali. Lesi siflis mudah berdarah sehingga memudahkan penularan virus HIV saat
melakukan hubungan seksual2

Penularan sifilis dari ibu ke bayi pada saat kehamilan juga akan meningkatkan risiko
keguguran dan kematian bayi beberapa hari setelah melahirkan.2

2.8 Pencegahan

Tidakadavaksinuntuk sifilis.8 Segala jenis aktivitas seksual merupakan faktor resiko


penularan sifilis. Walaupun kontak langsung dengan lesi aktif merupakan faktor resiko utama,
tidak selalu lesi dapat terlihat sehingga semua penderita sifilis dianggap mempunyai potensi
menularkan sifilis dan harus menggunakan hubungan seksual yang aman. Penderita asimtomatik
yang memerluka kontrasepsi harus diberikan pengertian mengenai efikasibarrier untuk mencegah
transmisi nfeksi menular seksual dan juga HIV. Pasien ini juga harus diberikan konseling tentang
pengurangan perilaku beresiko. Konseling ini juga memberi pengetahuan tentang perlunya
abstinensia seksual, pengurangan jumlah partner seksusal, dan hubungan seksual aman.2
Pada penderita sifilis stadium primer, sekunder atau laten awal; abstinensia seksual pada
penderita dan partner seksualnya dianjurkan hingga terapi pada keduanya selesai dan respons
serologis yang memuaskan dicapai setelah pengobatan. Sifilis dapat menular dari ibu hamil ke
anaknya sehingga tes rutin skrining sifilis merupakan hal penting yang harus dilakukan pada
setiap kehamilan.2
Partner notification yang bertujuan mnemukan kontak seksual penderita sifilis dan
memberikan pengobatan dini harus dilakukan oleh petugas terlatih. Pengobatan dini pada semua
kontak seksual sifilis dini dengan 2,4 juta unit Benzatine Penisilin dapat dilakukan walaupun
kontak seksual tidak mempunyai kelainan serologis pada saat pemeriksaan karena sifilis dapat
terjadi pad 30% kontak seksual yang tes serolgisnya negatif. Pengobatan kontak dianjurkan
dilakukan pada semua kasus yang kontak seksual dengan penderita sfilis dini dalam 90 hari
terakhir.
2.9 Prognosis

Pengobatan pada sifilis primer dan sekunder memberikan hasil yang sangat baik.
Kegagalan terapi hanya masih ditemukan pada penderita HIV. Penderitatabesdorsalis tidak akan
membaik tetapi progresivitas penyakit akan berkurang dengan pengobatan sifilis. Sifilis
kardiovaskular juga memberikan respon yang baik dengan pengobatan sifilis walaupun infark
iskemik masih dapat ditemukan.

2.10 EBN

Judul EBN : aplikasi vco (virgin coconut oil) pada penderita dermatitis untuk mencegah
kerusakan integritas kulit SO
Salah satu faktor eksternal yang dapat menyebabkan gangguan integritas kulit adalah
imobilisasi. Imobilisasi adalah ketidakmampuan untuk bergerak bebas yang disebabkan oleh kondisi
dimana gerakan tergganggu atau dibatasi secara terapeutik yang bisa berhubungan langsung dengan
faktor internal seperti penyakit kronis atau status kesehatan (Potter & Perry, 2010). Bedrest adalah
ketidakmampuan untuk bergerak secara aktif akibat berbagai penyakit atau impairment (gangguan
pada alat/ organ tubuh) yang bersifat fisik atau mental. Imobilisasi dapat juga diartikan sebagai suatu
keadaan tidak bergerak / tirah baring yang terus – menerus selama 5 hari atau lebih akibat perubahan
fungsi fisiologis. Di dalam praktek medis bedrest digunakan untuk menggambarkan suatu sindrom
degenerasi fisiologis akibat dari menurunnya aktivitas dan ketidakberdayaan (Hidayat, 2010).
Dampak buruk dari imobilisasi yaitu gangguan integritas kulit yang dapat
mengakibatkan terjadinya iritasi dan luka tekan (Potter & Perry, 2010). Dampak lain bagi
pasien yang dirawat lama di rumah sakit dengan keterbatasan aktivitas multiple and life threatening
medical complications, yaitu meningkatkan durasi lama rawat atau length of stay (LOS). Hal ini
akan meningkatkan beban terutama biaya rawat inap sesuai lama waktu perawatan (Morison, 2014).
Pasien dengan bedrest rentan terjadi cedera akibat penurunan aliran darah dan resiko terjadinya ruam
akibat dari hipersensitivitas, reaksi obat, atau infeksi oportunistik (Morton, et al., 2012). Komplikasi
lain yang bisa terjadi pada pasien dengan bedrest adalah ulkus dekubitus. (Potter & Perry, 2010).
Virgin Coconut Oil merupakan salah satu terapi non farmakologi yang dapat diterapkan
untuk mengatasi masalah kerusakan integritas kulit. Virgin coconut oil mengandung anti oksidan
dan kaya dengan vitamin E. tindakan ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian VCO
terhadap kerusakan integritas kulit pada anak. Desain penelitian ini adalah quasi eksperimen dengan
pendekatan pre and post test control group design pada 30 responden (kelompok intervensi dan
kelompok kontrol). Kelompok intervensi diberikan virgin coconut oil dan kelompok kontrol
diberikan perawatan rutin di rumah sakit. Berikut SOP dari VCO

SOP VOC ( VIRGIN COCONUT OIL )


No. Aspek Tahapan
1. Pengertian Perawatan dermatitis dengan mengaplikasikan virgin coconut oil
pada luka dermatitis
2. Tujuan a. Mencegah timbulnya infeksi
b. Observasi keadaan luka
c. Mengaplikasikan virgin coconut oil pada luka
d. Membantu proses penyembuhan luka
3. Peralatan Bak instrument berisi :
a. Kom kecil
b. bengkok
Peralatan
Lainnya :
a. Handscoon Bersih
b. Virgin coconut oil
c. Air hangat
Kapas
4. Prosedur pelaksanaan A. Tahap Pra Interaksi
1. Melakukan verifikasi data
2. Mencuci tangan
3. Menempatkan alat di dekat pasien
B. Tahap Orientasi
1. Memberikan salam dan menyapa pasien
2. Menjelaskan tujuan dan tindakan kepada pasien dan
keluarga
3. Menanyakan kesiapan pasien
C. Tahap Kerja
1. Membaca basmallah
2. Mencuci tangan
3. Mengatur posisi klien senyaman mungkin
4. Meletakkan pengalas atau perlak
5. Meletakkan bengkok disebelah luka pasien
6. Memakai sarung tangan
7. Membersihkan luka dengan air hangat
8. Mengoleskan virgin coconut oil pada area sekitar luka
dermatitis
9. Membiarkan virgin coconut oil mongering dengan
sendirinya
10. Merapikan kembali alat-alat
11. Melepaskan sarung tangan
12. Merapikan pasien
13. Mencuci tangan
D. Tahap Terminasi
1. Melakukan evaluasi tindakan
2. Menyampaikan rencana tindak lanjut
3. Mendoakan pasien
Berpamitan dan mengucapkan salam
BAB 3

APLIKASI TEORI KASUS


BAB 4

PEMBAHASAN
BAB 5

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Prevalensi sifilis masih cukup tinggi. Sifilis terutama menular melalui kontak
seksual baik melalui vaginal, anal, atau oral. Secara klasik sifilis menyebabkan penyakit yang
terbagi dalam beberapa stadium :

(1) masa inkubasi tanpa gejala;

(2) sifilis primer

(3) sifilis

(4) Stadium klinis atau laten dan

(5) sifilis tersier.

Untuk mengatasi sifilis dengan pasien integritas kulit maka diberikan pemberian VCO atau
virgin coconut Oil untuk pengobatan pada luka kering. Jika hal ini dilakukan secara rutin maka
luka kering akan semakin membaik karena VCO mengandung asam lemak ( terutama asam
laurat dan oleat ) bersifat melembutkan kulit dan antimicrobial sehingga VCO efektif dan aman
digunakan

5.2 Saran
Saran bagi perawat dan tenaga medis : perawat pelaksana dapat menerapkan teknik
pemberian minyak kelapa murni VCO pada seluruh pasien yang memiliki luka kering sehingga
kekeringan diluka tersebut dapat berkurang dengan diberikan VCO ini. Dan saran bagi institusi
pendidikan penerapan teknik VCO ini dapat masuk dalam proses pembelajaran dan dapat
dilakukan dengan memberikan materi.
DAFTAR PUSTAKA
Saputri, B. Y. A., & Murtiastutik, D. (2019). Studi retrospektif: Sifilis laten. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, 31(1), 46-54.

Zuniarti, N. (2019). Aplikasi VCO (Virgin Coconut Oil) Pada Penderita Dermatitis Untuk
Mencegah Kerusakan Integritas Kulit (Doctoral dissertation, Tugas Akhir, Universitas
Muhammadiyah Magelang).
Arif, Muttaqin. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal.
Jakarta: EGC.

Young. (2004). The 30 ° tilt position vs the 90 ° lateral and supine positions in reducing
the incidence of non blanching erythema in a hospital inpatient population. Journal of tissue
viability. Volume: 14 Number: 3 Retrieved from http://www.ebscohost.com/uph.edu on
February 2, 2010

Azizah, F. (2014). Frekuensi Penyakit Kulit di RS Karitas , Sumba Barat Daya September
2014, 2(3), 147–150.

Barlina, R., Penelitian, B., & Kelapa, T. (2012). Diversifikasi Produk Virgin Coconut Oil
( VCO ) Products Diversification of.

Brunner and Suddarth. 2008. Textbook of Medical-Surgical Nursing. penerbit: LWW,


philadelphia

Djuanda, A. 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran UI: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai