Anda di halaman 1dari 28

Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat Terhadap Ketepatan

Tindakan Penilaian Glascow Coma Scale di Rumah Sakit

Balikpapan Baru

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Glascow Coma Scale (GCS) adalah suatu skala neurologic yang

dipakai untuk menilai secara obyektif derajat kesadaran seseorang, GCS

pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Graham Teasdale dan Bryan

J. Jennet, professor bedah saraf pada Institute of Neurological Sciences,

Universitas Glascow. GCS kini sangat lauas digunakan oleh dokter umum

maupun para medis karena patokan atau kriteria yang lebih jelas dan

sistematis ( (Adeleye, 2012)

GCS adalah alat diagnostic yang sudah sejak lama menjadi alat untuk

mengevaluasi tingkat kesadaran pasien, menilai status klinik pasien, dan

menjadi alat prognosis untuk pasien cedera kepala. Skor GCS menjadi standar

pengukuran fungsi neuorologis pada pasien dengan perubahan status mental

oleh karena penyebab apapun, termasuk cedera kepala. GCS merupakan factor

penting yang harus diukur pada pasien cedera kepala. Selain digunakan untuk
mengukur tingkat kesadaran pasien secara kuantitatif, GCS juga digunakan

untuk memprediksi risiko kematian di awal trauma, (Medscape, 2014)

Skor GCS adalah nilai dari tingkat kesadaran pasien secara kuantitatif,

merupakan sebuah metode yang baik untuk mengukur kesadaran, predictor

outcome pasien, dan sebagai predictor untuk melakukan evaluasi pada

pelayanan trauma. Skor GCS merupakan salah satu pemeriksaan wajib pada

pasien yang masuk ke Rumah Sakit. Skor GCS awal yang rendah

menunjukkan adanya gangguan yang berat pada otak. Semakin berat

gangguan yang terjadi akan menimbulkan terganggunya fungsi otak yang

berat yang berhubunga dengan risiko kematian pasien. (Osler, T; Cook, A;

Glance, L G; Lecky, F; Bouamra, O; Garret, M;, 2016)

Pernah ada anekdot yang mengatakanGCS dibuat di suatu PUB di

Glascow. Tentu hal tersbut tidaklah benar. Pengembangan GCS dimulai sejak

tahun 1971 di Unit Bedah Saraf Institute of Neurological Sciences, Glascow ,

Kerajaan Inggris. Di Institut tersebut, penelitian GCS tidak terbatas dilakukan

pada pasien trauma saja tetapi pada psien dengan gangguan otak akut lain

seperti stroke, termasuk perdarahan subarachnoid. Tujuan penelitian tersebut

adalah untuk membuat suatu metode penilaian kesadaran yang jelas dan

konsisten. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan mencari hubungan antara

tingkat kesadaran pasien saat masuk rumah sakit dengan luaran pasien

tersebut. Implementasi GCS diujikan kepada para dokter muda dan perawat,
beberapa ahli bedah saraf dan neurology sperti fred plum dari cornell

University, New York, dan David Shaw dari University of new castle, inggris,

diminta menelaah metode ini. (Teasdale, Maas, Lecky , Stocchetti, &

Stocchetti, 2014)

Salah satu tonggak penting diseminasi GCS ke seluruh dunia adalah

saat GCS dimasukkan dalam edisi pertama buku manual Advance Trauma

Life Support (ATLS) pada tahun 1980. Cepatnya adopsi ATLS diseluruh dunia

juga mempercepat diseminasi GCS. (Surgeon, 2018) Hal ini diikuti oleh

kursus-kursus Life Support yang lain seperti Basic Life Support ( BLS),

General Emergency Life Support ( GELS) dan Advance Neurology Life

Support (ANLS). Sampai tahun 2018, GCS masih terus digunakan dalam

buku manual ATLS dan beberapa buku manual pelatihan Kegawat Daruratan.

(Carney, Totten, O'Ralley, & dkk, 2017)

Di Instalasi Gawat Darurat suatu Rumah Sakit orang yang berperan

dalam melakukan pertolongan pertama yaitu perawat. Perawat sangat

dominan dalam melakukan penanganan pada pasien dengan kasus Trauma

maupun penurunan kesadaran. Penanganan yang dilakukan oleh perawat di

Instalasi Gawat Darurat merupakan tindakan yang bertujuan untuk

menyelamatkan jiwa penderita dengan cepat, tepat dan benar. Penanganan

yang di yang dilakukan saaat terjadi Cidera Kepala adalah menjaga jalur jalan

nafas penderita, mengontrol pendarahan, dan mencegah syok. Imobilitas


penderita mencegah terjadinya komplikasi dan Cidera Kepala Sekunder. Pada

setiap keaadaan yang tidak normal dan membahayakan harus segera diberikan

dalam tindakan resusitasi. (Wahjoepramono, 2005)

Di salah satu Rumah Sakit di daerah makasar, menurut salah satu

ketua tim perawat di ruang baji kamase II RSUD Labuang Baji Makassar,

pernah terjadi suatu kejadian dimana perawat dari ruang Intensif Rawat

Darurat (IRD) merencanakan untuk memindahkan pasien dari ruang IRD ke

ruang baji kamase II, berhubung karena kondisi pasien sudah membaik

termasuk tentang nilai GCS dari pasien tersebut. Tapi saat dalam perjalanan

menuju ke ruang Baji Kamase II pasien tersebut meninggal. (Ansar, 2014)

Berdasarkan kasus diatas, tentu sangat diharapkan bahwa seluruh

tenaga kesehatan medis yang ikut menangani dan terlibat dalam hal nya

penanganan pasien agar benar-benar dapat bekerja secara professional.

Sangatlah diharapkan kepada seluruh tenaga medis yang melayani pasien

adalah tenaga medis yang kompetern sehingga pelayanan yang diberikan bisa

memuaskan pasien dan tentunya dapat meningkatkan status kesehatan pasien.

Terutama bagi tenaga keperawatan yang merupakan tenaga medis yang paling

banyak dan tenaga medis yang lebih lama dalam halnya bersentuhan dengan

pasien. Sehingga dalam melakukan praktik asuhan keperawatan dapat

melakukan yang terbaik demikian pula dalam hal pemeriksaan GCS pada

pasien.
Beberapa peneliti sebelunya ada yang telah melakukan penelitian

mengenai Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat terhadap penilaian

Glascow Coma Scale pada psien Trauma Capitis, oleh karena itu saya tertarik

untuk merangkum literature yang bertujuan untuk mengidentifikasi semua

hubungan tingkat pengetahuan perawat terhadap ketepatan penilaian Glascow

Coma Scale di Rumah Sakit Balikpapan Baru Balikpapan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan urain latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai “ Bagaimanakah Hubungan tingkat

pengetahuan Perawat terhadap ketepatan Penilaian Glascow Coma Scale di

Rumah Sakit Balikpapan Baru, Balikpapan?”.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan perawat terhadap

ketepatan penilaian Glascow Coma Scale.

2. Tujuan Khusus

a. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan perawat berdasarkan

pendidikan perawat terhadap ketapatan penilaian Glascow Coma Scale

b. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan perawat berdasarkan

jenis kelamin perawat terhadap ketepatan penilaian Glascow Coma

Scale
c. Diketahuinya hubungan tingkat penegtahuan perawat berdasarkan usia

perawat terhadap ketepatan penilaian Glascow Coma Scale

d. Diketahuinya hubungan tingkat pengetahuan perawat berdasarkan

lama kerja perawat terhadap ketepatan penilaian Glascow Coma Scale.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

Penelitian yang dilakukan ini diharapkan mampu memberikan informasi

ilimiah tentang hubungan tingkat pengetahuan perawat terhadap ketepatan

penilaian Glascow Coma Scale.

2. Manfaat Praktisi

a. Bagi profesi keperawatan

Sebagai bahan masukan bagi tenaga keperawatan khususnya yang

bekerja di instansi pelayanan untuk meningkatkan pengetahuan

tentang ketepatan penilaian Glascos Coma Scale.

b. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan dapat bermanfaat sehingga bisa menambah kepustakaan

mengenai hubungan tingkat pengetahuan perawat terhadap ketepatan

penilaian Glascow Comas Scale.

c. Bagi peneliti selanjutnya

Sebagai bahan literature tambahan dalam perkembangan pengetahuan

sehingga dapat mengembangkan penelitian tentang hubungan tingkat


pengetahuan perawat terhadap ketepatan penilaian Glascow Coma

Scale.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil tahu seseorang yang melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertenu. Penginderaan terjadi melalui

panca indera manusia, yaitu indera penglihatan, pendengaran, penciuman,

rasa dan raba. Sebagian besar penegtahuan mnausia diperoleh melalui

pendidikan, pengalaman diri sendiri maupun pengalaman orang lain, media

massa mamupun lingkungan. (Notoatmodjo, 2007)

Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang

lain tinggal menerimanya. Pengetahuan bukan sesuatu yang dapat

dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan

kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut dan

manusia juga dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan inderanya.

(Budiningsih, 2005)

Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara

langsung dari kesadarannya sendiri. Pengetahuan adalah merupakan

penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui


indera yang dimilikinya seperti mata, hidung, telinga dan lain sebagainya

(Taufik, 2007). Berdasarkan beberapa definisi diatas bisa diambil

kesimpulan bahwa pengetahuan adalah aktivitas manusia berupa

pengalaman mendengar dan membaca.

2. Tingkat Pengetahuan Dalam Domain Kognitif

Pengetahuan (Knowledge) merupakan hasil tau setelah seseorang

melakukan penginderaan suatu obyek tertentu. Penginderaan terjadi

melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, indera penciuman,

pendengaran, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari

mata dan telinga (Notoatmojo, 2003) pengetahuan atau kognitif merupakan

domain dalam melakukan tindakan.

Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan yang tercakup dalam

domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu :

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya. Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah

mengingat (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan

yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima, jadi “tahu: adalah

merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. Kata kerja untuk

mengukur apakah orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain

menyebutkan, menguraikan, mendefinisika, menyatakan, dan

sebagainya.
b. Memahami (comprehension)

Memahami dapat diartikan sebagai suatu kemampuan menjelsakan

secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah

paham terhadap objek atau materi, harus dapat menjelaskan,

menyebutkan contoh, menyimpulkan dan sebagainya terhadap objek

yang dipelajari.

c. Apliaksi (application)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi atau yang sebenarnya.

Aplikasi ini bisa diartika sebgai aplikasi atau penggunaan hukum-

hukum, rumus, metode, prinsip dan sebgainya dalam konteks atau

situasi lain.

d. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjalankan materi obyek ke

dalam komponen tetapi masih ada kaitannya satu sama lain.

Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja

dengan menggunakan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

e. Sintesis (synthesis)
Sintesin menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan dan

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang

baru. Dengan kata lain sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun

formula baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat

menyesuaikan dan sebagainya terhadap suatu teori-teori atau rumusan-

rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan penilaian

terhadap suatu materi atau obyek. Penilaian terhadap suatu evaluasi

didasari suatu kinerja yang ditentukan sendiri atau menggunakan

kriteria-kriteria yang telah ada.

Tabel 2.1 Tingkat pengetahuan dalam domain kognitif

Tingkat

Pengetahuan Tahu Memahami Aplikasi Analisis sintesis Evaluasi

Kurang + +

Cukup + + + +

Baik + + + + + +

Sumber : Notoatmojo (2003)

Tabel 2.1 dapat dilihat bahwa sesorang yang dikatakan memiliki

pengetahuan kurang apabila seseorang tersebut baru sekedar tahu dan

memahami saja, sedangkan seseorang dikatakan memiliki pengetahuan yang

baik apabila sudah mencapai tingkatan atau tahapn sintetis dan evaluasi.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam

terbentuknya tindakan seseorang (overt behavior). Pengalaman dan perilaku

ternyata didasari oleh pengetahuan. (Notoatmojo, 2003)

3. Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan

Pengetahuan merupakan informasi dan penemuan yang berisfat kreatif

untuk mempertahankan pengetahuan baru, dimana perawat dapat

menggunakan kemampuan rasional logis dan pemikiran kritis untuk

menganalisis informasi yang diperolah melalui pembelajaran tradisional,

pencarian informasi, belajar dari pengalaman, penelitian ide terhadap

disiplin ilmu lain, dan pemecahan masalah untuk menentukan terminologi

tindakan keperawatan. Selain itu, perawat dapat menggunakan kemampuan

penyelidikan ilmiah untuk mengidentifikasi dan menyelidiki masalah

klinis, professional atau pendidikan. (Potter & Perry, 2005)

Menurut (Meliono, 2007), pengetahuan seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu :

a. Pendidikan

Pendidikan adalah sebuah proses perubahan sikap dan tata laku

seseorang juga kelompok dan juga usaha mendewasakan manusia

melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

b. Media
Media secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat

luas. Contoh dari media masa kini adalah televise, radio, Koran dan

majalah.

c. Keterpaparan informasi

Pengertian informasi adalah sesuatu yang dapat diketahui. Ada pula

yang menekankan informasi sebagai transfer pengetahuan. Selain itu arti

informasi juga memiliki arti yang lain sebagaimana diartika oleh RUU

teknologi informasi yang mengartikannya sebagai suatu tehnik untuk

menyiapkan, mengumpulkan , menyimpan, memanipulasi,

mengumumkan, menganalisa dan menyebarkan informasi dengan tujaun

tertentu. Informasi sendiri mencakup data, teks, image, suara, kode,

program computer, data bases. Perubahan definisi informasi

dikarenakan pada hakekatnya informasi tidak dapat diuraikan

(intangible), sedangkan informasi itu dijumpai dalam kehidupan sehari-

hari, yang diperoleh dari data dan observasi terhadap dunia sekitar kita,

serta diteruskan memalui komunikasi.

d. Pengalaman

Menurut teori determinan perilaku yang disampaikan oleh world Health

Organization (WHO) 2005, menganalisa bahwa yang menyebabkan

seseorang itu berperilaku tertentu salah satunya disebabkan karena


adanya pemikiran dan perasaan dalam diri sesorang yang terbentuk

dalam pengetahuan, persepsi, sikap kepercayaan-kepercayaan dan

penilaian-penilaian seseorang terhadap objek tertentu, seseorang dapat

memperoleh pengetahuan baik dari pengalaman pribadi maupun

pengalaman orang lain.

e. Lingkungan

Belajar berbagai pengetahuan,keterampilan, sikap atau norma-norma

tertebut dari lingkungan sekitar, lingkungan tersebut disebut sebagai

sumber-sumber belajar, karena dengan lingkungan tersebut

memungkinkan seseorang berubah menjadi tidak tahu menjadi tahu, dari

tidak mengerti menjadi mengerti, dari tidak etrampil menjadi terampil.

4. Pengukuran Pengetahuan

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan cara wawancara atau

lewat angket yang menanyakan tentang suatu materi yang ingin di ukur

dari subyek penelitian atau responden. (Notoatmodjo, 2007)

Menurut (Arikunto, 2006), pengetahuan dibagi dalam 3 kategori,

yaitu:

a. Baik: Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76%-100% dari

seluruh pertanyaan.

b. Cukup: Bila subyek mampu menjawab dengan benar 56%-75% dari

seluruh pertanyaan.
c. Kurang: Bila subyek mampu menjawab dengan benar ≤ 55% dari

seluruh pertanyaan.

B. Konsep Tindakan atau Praktik (practice)

1. Definisi Tindakan atau Praktik (Practice)

Tindakan atau praktik adalah respon atau reaksi konkret seseorang terhadap

stimulus atau objek. Respon ini sudah dalam bentuk tindakan (action) yang

melibatkan aspek psikomotor atau seseorang telah mempraktekkan apa yang

diketahui atau disikapi. Tindakan atau perilaku kesehatan terjadi setelah

mengetahui stimulus kesehatan, kemudian mengadakan penilaian tehadap apa

yang diketahui dan memberikan respon batin dalam bentuk sikap. Proses

selanjutnya diharapkan seubjek akan melaksanakan apa yang diketahui atau

disikapinya. (Notoatmojo, 2003)

Seseorang setelah mengetahui stimulus atau objek kesehatan, kemudian

mengadakan penilaian atau pendapat terhadap apa yang diketahui, proses

selanjutnya diharapkan ia akan melaksanakan atau mempraktikkan apa yang

diketahui atau disikapinya(dinilai baik). Inilah yang disebut praktik (practice)

kesehatan, atau dapat juga dikatakan perilaku kesehatan (over behavior).

(Notoatmojo, 2003)

2. Factor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Keperawatan

Beberapa factor yang mempengaruhi tindakan keperawatan meliputi :

a. Karakteristik Perawat
Faktor internal dari perawat yang mempengaruhi dalam tindakan

keperawatan adalah :

a) Usia

Menurut Verner dan Davison yang dikutip oleh Lunardi dalam

(Notoatmojo, 2003) dengan bertambahnya usia akan mempengaruhi

pengambilan keputusan. Sedangkan menurut (Ahmadi, 2022)

menyatakan bahwa usia berhubungan dengan sifat kedewasaan dan

akan berdampak pada tanggung jawab. Usia lebih dewasa umumnya

alebih bertanggung jawab, lebih tertib , lebih teliti, lebih bermoral dan

lebih berbakti daripada usia muda.

b) Jenis kelamin

Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia

(BPPSDM) Depkes (2007) menyatakan bhwa pengaruh jenis kelamin

dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang akan

dikerjakan. Ada pekerjaan yang secara umum lebih baik dikerjakan

oleh laki-laki akan tetapi pemberian keterampilan yang cukup memadai

pada perempuan juga mendapatkan hasil pekerjaan yang cukup

memuaskan. Ada sisi lain yang positif dalam karakter wanita yaitu

ketaatan dan kepatuhan dalam bekerja sehingga mempengaruhi kerja

personal.

c) Tingkat pendidikan
Penidikan tinggi keperawatan diharapkan menghasilkan tenaga

keperawatan professional yang mampu mengadakan pembaharuan dan

perbaikan mutu pelayanan atau asuhan keperawatan serta penataan

perkembangan kehidupan profesi keperawatan (Gartinah & dkk, 2006)

d) Lama kerja

Lama kerja seseorang mempengaruhi kualitas pekerjaan karena adanya

kejenuhan. Keberadaan orang baru lebih mudah untuk mengadakan

pembaharuan dalam keterampilan dan pengetahuan. Motivasi yang kuat

akan berdampak pada perubahan yang lebih baik. (Hamid, 2000)

e) Status kerja

Perbedaan status kepegawaian antara pegawai negeri sipil dengan

bukan pegawai negeri sipil menyebabkan kesenjangan antar tenaga

perawat yang bekerja pada suatu saran pelayanan kesehatan dengan

status dan penggajian yang berbeda. Selain itu bagi perawat yang tidak

honorer peluang ini makin terasa dengan pemberlakuan angka kredit

bagi perawat akan berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan yang

diberikan kepada masyarakat. (BPPSDM Depkes, 2002)

b. Tingkat Pengetahuan

Tingkat pengetahuan merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk perilaku seseorang. (Mubarak & et al, 2007),

menyatakan perilaku yang didasari pengetahuan akan menjadi


langgeng dari pada perilaku yang tidak didasaro pengetahuan. Faktor

terpenting pembentuk perilaku adalah pengetahuan.

Teori dari Lawrencen Green (1980) dalam (Notoatmojo,

2003), perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor

yaitu:

a) Faktor predisposisi (predisposising factors) yaitu mencakup

penegtahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, system

nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosia

ekonomi dan sebagainya.

b) Faktor pendukung (enabling factors) yaitu mencakup ketersediaan

sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

c) Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu meliputi factor sikap

dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama dan perilaku petugas

termasuk petugas kesehatan

3. Pengukuran Tindakan atau Praktik (practice)

Untuk memperoleh data praktik atau perilaku yang paling akurat

adalah melalui pengamatan (observasi). (Notoatmojo, 2003)

Menurut (Arikunto, 2006), tingkatan prsktik dapat dikategorikan

berdasarkan nilai sebagai berikut:

a. Praktik tindakan baik, bila tindakan dilakukan > 75%

b. Praktik tindakan cukup, bila tindakan dilakukan 60-75%

c. Ptaktik tindakan kurang, bila tindakan dilakukan <60%


C. Glascow Coma Scale

a. Definisi Glascow Coma Scale

GCS atau skala koma pertama kali digunakan di unit perawatn intensif

bedah saraf. Teasdale dan Jennet dari Institute of Neurogical Science

Glascow (1974) mempublikasikan indeks koma yang kemudian

berganti nama menjadi GCS. Sejak dipublikasinakn pertama kali, GCS

menjadi skala yang paling sering digunakan tidak hanya di kalangan

Spesialis Saraf atau Bedah Saraf tetapi diluar bidang tersebut,

walaupun memiliki beberapa keterbatasan. Pertama ada

kecenderungan penilaian GCS lebih besar pada komponen Motorik

(Skor 6) dibandingkan Komponen Verbal dan Mata (Skor 5 & 4).

Kedua, sebgaian besar pasien yang mengalami koma terintubasi,

sehingga komponen verbal tidak dapat dinilai dan kurang berguna

pada 20-48% pasien. Demikian juga pada pasien yang mengalami

afasia, komponen verba; tidak dapat menilai sehingga memengaruhi

hasil akhir. (Dewi, 2016)

GCS hanya menilai orientasi, yang dengan mudah menjadi

abnormal pada pasien yang mengalami agitasi dan delirium. Ketiga,

GCS tidak memiliki indicator klinis seperti reflex batang otak

abnormal, perubahan pola nafas dan kebutuhan akan ventilasi mekanik

yang dapat mencerminkan beratnya koma. Keempat, GCS tidka

mampu mendekteksi perubahan minimal pemeriksaan neurologis.


Penggunaan sedasi pada sebagian besar pasien-pasien di ruang intensif

juga dapat mempengaruhi ketiga komponen GCS. Sampai saat ini,

GCS masih menjadi baku emas penilaian kesadaran pada semua

populasi pasien. Sejumlah penelitian dilakukan untuk melakukan

validasi atau usaha untuk memodifikasi skala ini dengan

mengeliminasi respon mata dan verbal. Usaha –usaha sebelumnya

yang dilakukan utnuk memodifikasi ataupun menggantikan skala ini

seringkali gagal karena belum ada skala yang dianggap cukup

sederhana dan praktis dalam penggunaannya. (Dewi, 2016)

b. Komponen Penilaian GCS

Komponen penialian pada GCS terdapat 3 komponen yaitu pergerakan

bola mata, verbal , dan pergerakan motoric yang dinilai dengan memberikan

skor pada masing –masing komponen . nilai tital dari ketiga komponen

berkisar 3-15, dengan nilai makin kecil semakin buruk prognosisnya.derajat

kesadaran pada pasien berdasarkan GCS yang pertama yaitu Compos Mentis

dengan nilai GCS (14-15) yang kedua yaitu Apatis dengan niali GCS (12-13)

yang ketiga yaitu Somnolen dengan nilai GCS (10-11) untuk yang keempat

disebut Delirium dengan nilai GCS (9-7) sedangkan yang kelima disebut

Stupor (Soporos Coma) dengan nilai GCS (4-6) dan yang terakhir disebut

Koma dengan nilai GCS (3). Selain mudah dilakukan, GCS juga memiliki

peranan penting dalam memprediksi risiko kematian di awal pemeriksaan.


GCS dapat digunakan sebagai prediksi untuk menentkan prognosis jangka

panjang dengan sensitivitas 79-97% dan spesifisitas 84-97%. (Dewi, 2016)

Tabel 2.2 Komponen Penilian GCS

Eye Motorik Verbal

4 (Terbuka spontan) 6(Sesuai perintah) 5(terorientasi/jelas)

3 (Respon terhadap 5(melokalisasi nyeri) 4(berupa kalimat)

panggilan)

2 (Respon terhadap nyeri) 4(gerakan fleksi) 3(berupa kata)

1 (Tidak respon) 3(fleksi abdnormal terhadap 2(suara tidak jelas)

nyeri)

2(gerakan ekstensi terhadap nyeri) 1(tidak respon)

1(tidak respon)

Sumber (Mehta & Chintapalli , 2019)

D. Kerangka Teori Penelitian

Kerangka teori adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan

suatu teori dengan faktor-faktor penting yang diketahui dalam suatu

penelitian, yaitu teori model praktik keperawatan professional. Dimana

hubungannya digambarkan sebagaimana berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Factor yang factor yang


Glascow Coma Scale
mempenagruhi tingkat 1.Compos mentis nilai GCS mempengaruhi tindakan
pengetahuan 14-15 Keperawatan
2.Apatis nilai gcs 12-13
1.pendidikan 1.Karakteristik perawat
3. Somnolen nilai GCS 10-11
2.usia a. usia
4. Delirium niali GCS 9-7
3. sumber informasi b. jenis kelamin
5.Stupor nilai GCS 4-6
c.tingkat pendidikan
6. Koma nilai GCS 3
d.lama kerja
e. status kerja
2. Tingkat pengetahuan
Tingkat
pengetahuan
baik Ketepatan
tindakan
penilaian
GCS

Keterangan

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

E. Kerangka Konsep

kerangka konsep menurut (Sugiyono, 2014) adalah suatu hubungan yang akan

menghubungkan secara teoritis antara variable-vaeriabel penelitian yaitu,

antara variable independen dan variabel dependen yang akan diamati atau

diukur melalui penelitian yang akan dilaksanakan. Kerangka konsep dari

penelitian ini bertujuan untuk menghubungkan antara tingkat pengetahuan

perawat dengan ketepatan penilaian GCS.

Gambar 2.2 Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen


tingkat pengetahuan
Ketepatan tindakan
1.pendidikan
\2.usia penilaian GCS
3. sumber informasi

F. Hipotesis

Berdasarkan bentuk rumusnya, hipotesa digolongkan menjadi 2 yakni

hipotesa kerja (hipotesa alternatif) yang menyatakan ada hubungan antara

variabel X dan Y, dan hipotesa nol (hipotesa statistik) yang menyatakan

tidak ada hubungan antara variabel X dan Y. Berdasarkan kerangka konsep

yang telah diajukan diatas, maka hipotesa penelitian ini adalah :

1. Hipotesa Nol (Ho) :

Tidak ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan perawat terhadap

ketepatan tindakan penilaian Glascow Coma Scale di Rumah Sakit

Balikpapan Baru

2. Hipotesa Alternatif (H1) :

Ada hubungan bermakna antara tingkat pengetahuan perawat terhadap

ketepatan tindakan penilain Glascow Coma Scale di rumah Sakit Balikpapan

Baru.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakana dalam penelitian ini adalah kuantitatif

observasional analitik dengan desain Croos sectional (potong lintang) yang

bertujuan untuk mengetahui hubungan antar variabel dimana variabel independen

dan dependen diidentifikasi pada satu waktu. (Dharma, 2011)


Dalam hal ini, untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan perawat

terhadap ketepatan tindakan penilaian Glascow Coma Scale di Rumah Sakit

Balikpapan Baru.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Balikpapan Baru tahun 2022.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Menurut (Arikunto, 2006) populasi adalah keseluruhan subjek

penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah perawat di Rumah Sakit

Balikpapan Baru. Jumlah perawat yang diperoleh berdasarkan data SDM pada

tahun 2022 sebanyak 75 orang yang tersebar di 5 unit.

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalh responden yang diambil berdasarkan

kriteria inklusi dari populasi dan telah menandatangani informed Consent.

Adapun kriteria inklusi dan eksklusi adalah sebagai berikut :

a) Kriteria inklusiPerawat yang bekerja di Rumah Sakit Balikpapan Baru

1) Bersedia menjadi responden

2) Lama bekerja minimal 6 bulan

b) Kriteria eksklusi

1) Perawat yang sedang cuti atau mengikuti pelatihan

2) Perawat yang sedang ijin atau sakit


D. Variabel dan Definisi Operasional penelitian

Tabe 3.1 Definisi Operasional

No Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Independen

1 Pengetahuan Pemahaman Perawat tentang Kuisioner Berdasarkan Ordinal

pengertian GCS dan Penilaian hasil ukur uji

GCS normalitas

Dependen Ordinal

2 Ketepatan Tindakan atau praktik perawat Kuisioner Berdasarkan Ordinal

Tindakan dalam dalam penilaian Skor GCS hasil uji

Penilaian GCS normalitas

data

E. Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sumber data primer.

Sumber data primer merupakan data sumber pertama yang diperoleh dari

individu atau perorangan seperti hasil wawancara atau hasil pengisian

kuisioner yang biasanya dilakukan oleh peneliti (Setiadi, 2007). Data

primer tentang tingkat pengetahuan perawat diperoleh dari hasil mengukur

kuisioner. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain, badan

atau institusi yang secara rutin mengumpulkan data (Setiadi, 2007). Data

sekunder yang digunakan peneliti adalah data yang diperoleh dari rekam

medik Rumah Sakit Balikpapan Baru Balikpapan.


F. Instrument Penelitian

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuisioner

G. Pengolahan Data

Pengolahan data menggunakan tehnik skoring dari hasil nilai kuisioner responden

H. Analisa Data

Dalam penelitian ini semua data hasil penelitian dianalisis dengan

menggunakan program software SPSS pada computer. Analisa data dilakukan

secara sistematik antara lain :

1. Analisis Univariat

2. Analisi Bivariat

I. Prosedur Pengumpulan Data

1. Tahap Persiapan

a. Uji ethical clearance penelitian di ITKES Wiyata Husada Samarinda dengan

judul Hubungan Tingkat Pengetahuan Perawat terhadap Ketepatan Tindakan

Penilaian Glascow Coma Scale di Rumah Sakit Balikpapan Baru.

b. Peneliti mengajukan surat ijin penelitian ke bagian akademik Program Studi

S1 Keperawatan ITKES Wiyata Husada Samarinda.

c. Setelah mendapat ijin dari pihak Rumah Sakit, peneliti kemudian melakukan

penelitian sesuai jadwal yang sudah ditentukan.

2. Tahap Pelaksanaan

3. Tahap Akhir
Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisis menggunakan software

statistic melalui bebrapa tahapan

a. Editing

b. Coding

c. Processing

d. Cleaning

4. Etika penelitian

Dalam melakukan penelitian ini, peneliti akan mengajukan ethical clearance, di

ITKES Wiyata Husada Smarinda. Setelah dinyatakan telah lulus uji etik,

selanjutnya peneliti mengajukan permohonan ijin kepada Instanti tempat

penelitian, dalam hal ini Direktur Rumah Sakit Balikpapan Baru Balikpapan.

Setelah mendapatkan persetujuan, peneliti melakukan penelitian dengan

menerapkan empat prinsip etik umum (Dharma, 2011) :

a. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)

b. Menghormati privasi dan kerahasiaan Subjek (respect for privacy and

confidentiality)

c. Menghormati keadilan dan inklusivitas (respect for justice inclusiveness)

d. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harm

and benefits)

Anda mungkin juga menyukai