Nama : M. Zul’irfan
NIM : 09.3.0.1.0023
A. Defenisi Lansia
Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang
yang dikarunia usia panjang, terjadi tidak bisa dihindari oleh siapapun, namun
manusia dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Menua (menjadi tua =
aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dann fungsi
normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakkan yang diderita. Batasan-Batasan Usia Lanjut : Menurut
WHO:
1. Usia pertengahan (middle age) : 45 sampai 59 tahun
2. Usia lanjut (elderly) : 60 sampai 74 tahun
3. Usia lanjut tua (old age) : 75 sampai 90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun
Proses penuaan adalah sesuatu yang kompleks yang dapat dijelaskan secara
kronologis, fisiologis dan fungsional. Usia kronologis merujuk pada jumlah tahun
seseorang telah hidup. Mudah untuk diidentifikasikan dan diukur, ini adalah metode
objektif yang paling umum digunakan. Usia Fisiologis merujuk pada penetapan usia
dengan fungsi tubuh. Meskipun perubahan terkait usia dialami setiap orang, mustahil
untuk mengetahui dengan tepat saat perubahan ini terjadi. itulah sebabnya mengapa
usia fisiologis tidak digunakan dalam menetapkan usia seseorang. Usia Fungsional
merujuk pada kemampuan seseorang berkontribusi pada masyarakat dan bermanfaat
untuk orang lain serta dirinya sendiri. Berdasarkan fakta bahwa tidak semua individu
pada usia yang berdasarkan kurun waktu memiliki fungsi pada tingkat yang sama.
Banyak orang secara kurun waktu lebih tua tetapi bugar secara fisik, aktif secara
mental, dan anggota masyarakat yang produktif. Ada orang yang muda secara kurun
waktu, tetapi secara fisik dan fungsional tua.
4. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai.
Terdiri dari 3 bagian yaitu :
a. Kardia.
b. Fundus.
c. Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot
berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan
normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam
kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi
secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang
melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
a. Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap
kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah
kepada terbentuknya tukak lambung.
b. Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
c. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
5. Usus halus (intestin)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah
yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan
mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot
memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ) Usus halus terdiri
dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan
usus penyerapan (ileum).
2. Pengertian Konstipasi
Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai
suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah
konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan
lebih kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau
konstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari
konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses
memenuhi ampul rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon,
rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.
Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait
dengan usia terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi
klinis. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB)
tiap hari sehingga sering terdapat perbedaan pandang antara dokter dan pasien
tentang arti konstipasi itu sendiri.
Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 kali per minggu.
Secara umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada
kesulitan samapi rasa sakit saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai.
kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses
yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkal disertai kesulitan sampai rasa sakit saat
BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BABnya. Hal ini
mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-kanak dan saat
masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiap hari, kalau
perlu dengan menggunakan pencahar untuk mendapatkan perasaan sudah bersih.
Ada anggapan umum yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar
akan diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada
pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalam jangka
waktu tertentu tidak dikeluarkan.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit
2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
a. konsistensi feses yang keras
b. mengejan dengan keras saat BAB
c. rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.
a. konstipasi fungsional
b. konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid.
5. Patofisiologi
Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi
adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal.
Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi
dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.
kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot
elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses
BAB.
Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3
perubahan patologis pada rektum :
a. Diskesia Rektum
b. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter
anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan
peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
c. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel
Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.
6. Manifestasi Klinis
Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk
mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor resiko penyebabnya. Konstipasi
merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda dan keluhan
lain yang berhubungan. Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai
dengan patokan-patokan yang obyektif. Misalnya jika dalam 24 jam belum BAB
atau ada kesulitan dan harus mengejan serta perasaan tidak tuntas untuk BAB
sudah mengira dirinya menderita konstipasi. Beberapa keluhan yang mungkin
berhubungan dengan konstipasi adalah :
a. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
b. mengejan keras saat BAB
c. Massa feses yang keras dan sulit keluar
d. Perasaan tidak tuntas saat BAB
e. Sakit pada daerah rektum saat BAB
f. Rasa sakit pada perut saat BAB
g. Adanya perembesen feses cair pada pakaian dalam
h. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
i. Menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB.
7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a. Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan
yang jelas. Walaupun demikian, pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh
diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi
khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan pemerikssaan rongga mulut
meliputi gigi gerigi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat
mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Pemeriksaan daerah perut
dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangan atau
tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan
otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya
tumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas
berlebihan, pembesaran organ, asietes, atau adanya massa feses. Auskultasi
antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau
berlebihan misalnya pada jembatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan
petunjuk penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan massa
tumor di daerah anus dapat mengganggu proses BAB.
b. Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran
dan kondisi rektum serta besar dan konsistensi feses. Colok dubur dapat
memberikan informasi tentang :
Tonus rektum
1) Tonus dan kekuatan sfingter
2) Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
3) Adakah timbunan massa feses
4) Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
5) Adakah darah
6) .Adakah perlukaan di anus
c. Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor
resiko penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid,
elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan
sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin
pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus,
wasir dan keganasan.
d. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang
terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan
adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan
perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan
dengan barium Enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
Pemeriksaan intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan
konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan
konstipasi tertentu.
e. Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi,
kolonoskopi) atau fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi,
menometri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada
konstipasi yang baru tejadi sebagai pprosedur penapisan adanya keganasan
kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari
rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan
kolonoskopi.
f. Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan
melakukan pemeriksaan radioologis setelah menelan bahan tersebut. Bila
timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi
ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
g. Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk menilai
evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan
mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam
pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian
penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita
diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal
saat proses berlangsung.
h. Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran
anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
pemerikasaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan
fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respon
sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan
anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut
sebagai non-spesifik.
8. Penatalaksanaan Medis
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi
konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik.
Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari
konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat
merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :
a. Pengobatan non-farmakologis
1) Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku
yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10
menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon
untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap
terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
2) Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan
usia lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung
banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam
penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal.
Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit
di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan
sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
3) Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur
dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk
memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni
pada otot perut
b. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi
farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe
golongan obat pencahar :
1) memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl
selulose, Psilium.
2) melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.
Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
3) golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk
digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol,
laktulose, gliserin
4) merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar.
Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar
golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak
pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil,
Fenolptalein.
5) Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan
cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan.
Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini
dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak
diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan pengobatan yang
diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau
adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.
9. Komplikasi
Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar
mengganggu, tetapi untuk untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang
serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya
feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses
dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%), sigmoid(20%), dan kolon bagian
proksimal(10%).
Impaksi feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan
resiko perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi terjadinya komplikasi
yang fatal. penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak
spesifik. kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5 o,
delirium perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnia karena
karena peregangan dari diafragma. pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus dari suatu
fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang.
dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang
mendadak.
Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher
kandung kemih menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-
kadang gagal ginjal yang membaik setelah impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia
alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal. Volvulus
daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan
berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat
berakibat prolaps dari rektum.
E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pemeriksaan head to toe.
b. Riwayat penyakit
1) Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
2) Riwayat penyakit sebelumnya
3) Kondisi psikososial
b. Aktivitas : kelelahan umum
c. Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak
teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut
menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal pucat, sianosis,
berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung menurun berat.
d. Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut,
menolak,marah, gelisah, menangis.
e. Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual muntah, peryubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit
f. Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
g. Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau
tidak dengan obat analgetik, gelisah
h. Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki,
mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal
jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal;
hemoptisis.
i. Keamanan : demam; kulit pucat; ; kehilangan tonus otot/kekuatan
j. Pemeriksaan fisik abdomen
1) Inspeksi : pembesaran abdomen
2) Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses
3) Perkusi : redup
4) Auskultasi : bising usus tidak terdengar
2. Diagnosa Keperawatan
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu
makan
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
No Diagnosa Intervensi Rasionak
1 a. Konstipasi Mandiri
berhubungan
dengan pola Tentukan pola defekasi Untuk
defekasi tidak bagi klien dan latih klien mengembalikan
teratur untuk menjalankannya keteraturan pola
defekasi klien
Kolaborasi
Suzanne, Bare, 2002, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart . EGC : Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN
Disusun Oleh :
M. ZUL’IRFAN
09.3.0.1.0023