Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN PREKLINIK KEPERAWATAN GERONTIK ASUHAN

KEPERAWATAN LANSIA DENGAN GANGGUAN ELIMINASI


FEKAL/KONSTIPASI

Nama : M. Zul’irfan

NIM : 09.3.0.1.0023

Tanggal Praktik : 04 - 05 Januari 2013

Ruang Praktik : Wiama Dahlia

A. Defenisi Lansia
Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang
yang dikarunia usia panjang, terjadi tidak bisa dihindari oleh siapapun, namun
manusia dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Menua (menjadi tua =
aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dann fungsi
normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan
memperbaiki kerusakkan yang diderita. Batasan-Batasan Usia Lanjut : Menurut
WHO:
1. Usia pertengahan (middle age) : 45 sampai 59 tahun
2. Usia lanjut (elderly) : 60 sampai 74 tahun
3. Usia lanjut tua (old age) : 75 sampai 90 tahun
4. Usia sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun

Proses penuaan adalah sesuatu yang kompleks yang dapat dijelaskan secara
kronologis, fisiologis dan fungsional. Usia kronologis merujuk pada jumlah tahun
seseorang telah hidup. Mudah untuk diidentifikasikan  dan diukur, ini adalah metode
objektif yang paling umum digunakan. Usia Fisiologis merujuk pada penetapan usia
dengan fungsi tubuh. Meskipun perubahan terkait usia dialami setiap orang, mustahil
untuk mengetahui dengan tepat saat perubahan ini terjadi. itulah sebabnya mengapa
usia fisiologis tidak digunakan dalam menetapkan usia seseorang. Usia Fungsional
merujuk pada kemampuan seseorang berkontribusi pada masyarakat dan bermanfaat
untuk orang lain serta dirinya sendiri. Berdasarkan fakta bahwa tidak semua individu
pada usia yang berdasarkan kurun waktu memiliki fungsi pada tingkat yang sama.
Banyak orang secara kurun waktu lebih tua tetapi bugar secara fisik, aktif secara
mental, dan anggota masyarakat yang produktif. Ada orang yang muda secara kurun
waktu, tetapi secara fisik dan fungsional tua.

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan 


Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut sampai
anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima makanan,
mencernanya menjadi zat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi ke dalam aliran
darah serta membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna atau merupakan sisa
proses tersebut dari tubuh. Saluran pencernaan terdiri dari mulut, tenggorokan
(faring), kerongkongan, lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Sistem
pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan, yaitu
pankreas, hati dan kandung empedu.
1. Mulut
Mulut merupakan jalan masuk untuk sistem pencernaan. Bagian dalam dari
mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa yang
terdapat di permukaan lidah. Pengecapan relatif sederhana, terdiri dari manis,
asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung dan
lebih rumit, terdiri dari berbagai macam bau.
2. Tenggorokan ( Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Berasal
dari bahasa yunani yaitu Pharynk. Didalam lengkung faring terdapat tonsil
( amandel ) yaitu kelenjar limfe yang banyak mengandung kelenjar limfosit dan
merupakan pertahanan terhadap infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan
nafas dan jalan makanan, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
didepan ruas tulang belakang.
3. Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dilalui
sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Makanan
berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses peristaltik. Sering
juga disebut esofagus(dari bahasa Yunani: οiσω, oeso – “membawa”, dan έφαγον,
phagus – “memakan”). Esofagus bertemu dengan faring pada ruas ke-6 tulang
belakang. Esofagus dibagi menjadi tiga bagian:
a. bagian superior (sebagian besar adalah otot rangka)
b. bagian tengah (campuran otot rangka dan otot halus)
c. serta bagian inferior (terutama terdiri dari otot halus).

4. Lambung
Merupakan organ otot berongga yang besar dan berbentuk seperti kandang
keledai.
Terdiri dari 3 bagian yaitu :
a. Kardia.
b. Fundus.
c. Antrum.
Makanan masuk ke dalam lambung dari kerongkongan melalui otot
berbentuk cincin (sfinter), yang bisa membuka dan menutup. Dalam keadaan
normal, sfinter menghalangi masuknya kembali isi lambung ke dalam
kerongkongan. Lambung berfungsi sebagai gudang makanan, yang berkontraksi
secara ritmik untuk mencampur makanan dengan enzim-enzim. Sel-sel yang
melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting :
a. Lendir
Lendir melindungi sel-sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung. Setiap
kelainan pada lapisan lendir ini, bisa menyebabkan kerusakan yang mengarah
kepada terbentuknya tukak lambung.
b. Asam klorida (HCl)
Asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh
pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan
sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri.
c. Prekursor pepsin (enzim yang memecahkan protein)
5. Usus halus (intestin)
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang
terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh darah
yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta. Dinding usus
melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang membantu melarutkan
pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus juga melepaskan sejumlah
kecil enzim yang mencerna protein, gula dan lemak. Lapisan usus halus ; lapisan
mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M sirkuler ), lapisan otot
memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa ( Sebelah Luar ) Usus halus terdiri
dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum), dan
usus penyerapan (ileum).

6. Usus Besar (Kolon)


Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
a. Kolon asendens (kanan)
b. Kolon transversum
c. Kolon desendens (kiri)
d. Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
Banyaknya bakteri yang terdapat di dalam usus besar berfungsi mencerna
beberapa bahan dan membantu penyerapan zat-zat gizi. Bakteri di dalam usus besar
juga berfungsi membuat zat-zat penting, seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk
fungsi normal dari usus. Beberapa penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan
gangguan pada bakteri-bakteri didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang
bisa menyebabkan dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare.
7. Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua fungsi
utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon penting seperti
insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan berhubungan erat dengan
duodenum (usus dua belas jari).
8. Hati (Hepar)
Hati merupakan sebuah organ yang terbesar di dalam badan manusia dan
memiliki berbagai fungsi, beberapa diantaranya berhubungan dengan pencernaan.
Organ ini memainkan peran penting dalam metabolisme dan memiliki beberapa
fungsi dalam tubuh termasuk penyimpanan glikogen, sintesis protein plasma, dan
penetralan obat. Dia juga memproduksi bile, yang penting dalam pencernaan. Istilah
medis yang bersangkutan dengan hati biasanya dimulai dalam hepat- atau hepatik
dari kata Yunani untuk hati, hepar.
C. Perubahan fisiologis sistem pencernaan
Penuaan dicirikan dengan kehilangan banyak sel tubuh dan penurunan
metabolism di sel lainnya.Proses ini menyebabkan penurunan fungsi tubuh dan
perubahan komposisi tubuh
Perubahan pada system pencernaan :
1. Kehilangan gigi, penyebab utama adanya periodontal desease yang biasa terjadi
setelah umur 30 tahun. Penyebab lain meliputi kesehatan gigi yang buruk dan gizi
yang buruk.
2. Indera pengecap menurun. Adanya iritasi yang kronis dari selaput lendir. Atropi
indera pengecap (±80%), hilangnya sensitivitas dari syaraf pengecap di lidah
terutama rasa manis,asin,asam,pahit. Selain itu sekresi air ludah berkurang sampai
kira-kira 75% sehingga mengakibatkan rongga mulut menjadi kering dan bisa
menurunkan cita rasa.
3. Esofagus melebar. Penuaan esofagus berupa pengerasan sfringter bagian bawah
sehingga menjadi mengendur (relaksasi) dan mengakibatkan esofagus melebar
(presbyusofagus) .Keadaan ini memperlambat pengosongan esofagus dan tidak
jarang berlanjut sebagai hernianhiatal.Gangguan menelan biasanya berpangkal
pada daerah presofagus tepat nya di daerah orofaring penyebabnya tersembunyi
dalam system saraf sentral atau akibat gangguan neuromuskuler seperti jumlah
ganglion yang menyusut sementara lapisan otot menebal dengan manometer akan
tampak tanda perlambatan pengosongan esofagus.
4. Lambung, rasa lapar menurun (sensitivitas lapar menurun). Lapisan lambung
menipis diatas 60 tahun, sekresi HCL dan pepsin berkurang, asam lambung
menurun, waktu pengosongan lambung menurun dampaknya vitamin B12 dan zat
besi menurun.
5. Peristaltic lemah dan biaanya timbul konstipasi
6. Fungsi absopsi melemah (daya absorpsi terganggu).Berat total usus halus
berkurang diatas usia 40 tahun meskipun penyerapan zat gizi pada umumnya masih
dalam batas normal,kecuali kalsium (diatas 60 tahun)dan zat besi.
7. Hepar (hati).Penurunan enzim hati yang terlibat dalam oksidasi dan reduksi,yamg
menyebabkan metabolisme obat dan detoksifikasi zat kurang efisien.
D. Gangguan Sistem Pencernaan pada Lansia
1. Konsep Lansia Dengan Konstipasi.
Konstipasi atau sembelit adalah terhambatnya defekasi (buang air besar)
dari kebiasaan normal. Dapat diartikan sebagai defekasi yang jarang, jumlah feses
(kotoran) kurang, atau fesesnya keras dan kering. Semua orang dapat mengalami
konstipasi, terlebih pada lanjut usia (lansia) akibat gerakan peristaltik lebih lambat
dan kemungkinan sebab lain. Kebanyakan terjadi jika makan kurang berserat,
kurang minum, dan kurang olahraga. Kondisi ini bertambah parah jika sudah lebih
dari tiga hari berturut-turut.
Kasus konstipasi umumnya diderita masyarakat umum sekitar 4-30 persen
pada kelompok usia 60 tahun ke atas. Ternyata, wanita lebih sering mengeluh
konstipasi dibanding pria dengan perbandingan 3:1 hingga 2:1. Insiden konstipasi
meningkat seiring bertambahnya umur, terutama usia 65 tahun ke atas. Pada suatu
penelitian pada orang berusia usia 65 tahun ke atas, terdapat penderita konstipasi
sekitar 34 persen wanita dan pria 26 persen.

2. Pengertian Konstipasi
Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas karena sebagai
suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah
konstipasi secara keliru dan belum adanya definisi yang universal menyebabkan
lebih kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi berdasarkan laporan pasien sendiri atau
konstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari
konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah ditemukannya sejumlah besar feses
memenuhi ampul rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada kolon,
rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut.
Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait
dengan usia terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi
klinis. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB)
tiap hari sehingga sering terdapat perbedaan pandang antara dokter dan pasien
tentang arti konstipasi itu sendiri.
Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3 kali per minggu.
Secara umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada
kesulitan samapi rasa sakit saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai.
kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses
yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkal disertai kesulitan sampai rasa sakit saat
BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BABnya. Hal ini
mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-kanak dan saat
masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiap hari, kalau
perlu dengan menggunakan pencahar untuk mendapatkan perasaan sudah bersih.
Ada anggapan umum yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar
akan diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada
pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalam jangka
waktu tertentu tidak dikeluarkan.
Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit
2 dari keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan :
a. konsistensi feses yang keras
b. mengejan dengan keras saat BAB
c. rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25% dari keseluruhan BAB
d. frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang.

International Workshop on Constipation berusaha lebih jelas memberikan


batasan konstipasi. Berdasarkan rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam
dua golongan :

a. konstipasi fungsional
b. konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektisigmoid.

Tabel 1. Definisi Konstipasi sesuai international workshop on constipation


No Tipe Kriteria
Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12
bulan :

1. mengedan keras 25% dari BAB


1. Konstipasi Fungsional
2. feses yang keras 25% dari BAB
3. rasa tidak tuntas 25% dari BAB
4. BAB kurang dari 2 kali per minggu

1. hambatan pada anus lebih dari 25% BAB


Penundaan pada muara 2. waktu untuk BAB lebih lama
2.
rektum 3. perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses
3. Etiologi:
a. Obat-obatan, yaitu golongan obat-obatan :
1) Antikolinergik
2) Narkotik
3) Analgesik
4) Diuretik
5) NSAID
6) Kalsium antagonis
7) Preparat kalsium
8) Preparat besi
9) Antasida alumunium
10) Penyalahgunaan pencahar
b. Kondisi neurologis
1) Stroke
2) Penyakit Parkinson
3) Trauma medulla spinalis
4) Neuropati diabetik
c. Gangguan metabolik
1) Hiperkalsemia
2) Hipokalemia
3) Hipotiroid
d. Kausa Psikologis
1) Psikosis depresi
2) Demensia
3) Kurang privasi untuk BAB
4) mengabaikan dorongan BAB
5) konstipasi imajiner
e. Penyakit-penyakit saluran cerna
1) Kanker kolon
2) Divertikel
3) Illeus
4) Hernia
5) Volvulus
6) Irritable Bowel Syndrome
7) Rektokel
8) Wasir
9) Fistula atau Fissura ani
10) Inersia kolon
f. Lain-lain
1) Diet rendah serat
2) Kurang cairan
3) Imobilitas atau kurang olahraga
4) Bepergian jauh
5) Pasca tindakan bedah perut

5. Patofisiologi

Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang
menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer,
koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk
mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi
adalah karena banyaknya mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal.
Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat konstipasi. Defekasi
dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantakan feses ke rektum
untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti
relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk meghindarkan pengeluaran feses yang
spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot
dasar pelvis yang depersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang
keinginan untuk BAB dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi,
sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut.
kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot
elevator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses
BAB.

Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup


beberapa faktor yang tumpang tindih. Walaupun konstipasi merupakan keluhan
yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya
usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan
saluran cerna. perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah
karena bertambahnya usia tapi memang khusus terjadi pada mereka dengan
konstipasi. Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut
yang sehat tidak mendapatkan adanya perubahan dari total waktu gerakan usus,
termasuk aktivitas motorik dari kolon. Tentang waktu pergerakan usus dengan
mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah
dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita
konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu gerakan usus dari 4-9 hari. Pada
mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai
14 hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat jalannya pada kolon
sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid.

Pemeriksaan elektrofisiologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon


pasien dengan konstipasi menunjukkan berkurangnya respons motorik dari sigmoid
akibat berkurangnya inervasi intrinsic karena degenerasi plexus mienterikus.
Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf pada otot polos sirkuler yang dapat
menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Individu di atas usia 60 tahun
jug aterbukti mempunyai kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai
peningkatan ikatan pada reseptor opiate endogen di usus. Hal ini dibuktikan
dengan efek konstipatif dari sediaan opiate yang dapat menyebabkan relaksasi
tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon. Selain itu,
terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos
berkaitan dengan usia, khususnya pada perempuan. pasien dengan konstipasi
mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras
sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat
penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut.

Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut.
Sebaliknya, pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami 3
perubahan patologis pada rektum :

a. Diskesia Rektum

Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan


sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar
regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan
interna. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan
impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah
tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan karena tanggapnya atau
penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita
demensia, imobilitas, atau sakit daerah anus dan rektum.

b. Dis-sinergis Pelvis
Terdapatnya kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan sfingter
anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan
peningkatan tekanan pada saluran anus saat mengejan.
c. Peningkatan Tonus Rektum
Terjadi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering
ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit Irritable Bowel
Syndrome, dimana konstipasi merupakan hal yang dominan.

6. Manifestasi Klinis
Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk
mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor resiko penyebabnya. Konstipasi
merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda dan keluhan
lain yang berhubungan. Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai
dengan patokan-patokan yang obyektif. Misalnya jika dalam 24 jam belum BAB
atau ada kesulitan dan harus mengejan serta perasaan tidak tuntas untuk BAB
sudah mengira dirinya menderita konstipasi. Beberapa keluhan yang mungkin
berhubungan dengan konstipasi adalah :
a. Kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB
b. mengejan keras saat BAB
c. Massa feses yang keras dan sulit keluar
d. Perasaan tidak tuntas saat BAB
e. Sakit pada daerah rektum saat BAB
f. Rasa sakit pada perut saat BAB
g. Adanya perembesen feses cair pada pakaian dalam
h. Menggunakan jari-jari untuk mengeluarkan feses
i. Menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB.
7. Pemeriksaan Penunjang dan Diagnostik
a. Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak didapatkan kelainan
yang jelas. Walaupun demikian, pemeriksaan fisis yang teliti dan menyeluruh
diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi
khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan pemerikssaan rongga mulut
meliputi gigi gerigi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat
mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Pemeriksaan daerah perut
dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangan atau
tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan
otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanya
tumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas
berlebihan, pembesaran organ, asietes, atau adanya massa feses. Auskultasi
antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau
berlebihan misalnya pada jembatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan
petunjuk penting, misalnya adakah wasir, prolaps, fisur, fistula, dan massa
tumor di daerah anus dapat mengganggu proses BAB.
b. Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran
dan kondisi rektum serta besar dan konsistensi feses. Colok dubur dapat
memberikan informasi tentang :
Tonus rektum
1) Tonus dan kekuatan sfingter
2) Kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis
3) Adakah timbunan massa feses
4) Adakah massa lain (misalnya hemoroid)
5) Adakah darah
6) .Adakah perlukaan di anus
c. Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor-faktor
resiko penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid,
elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan
sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin
pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus,
wasir dan keganasan.
d. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang
terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan
adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan
perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan
dengan barium Enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan.
Pemeriksaan intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan
konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan
konstipasi tertentu.
e. Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema, proktosigmoidoskopi,
kolonoskopi) atau fisiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi,
menometri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi bisanya dikerjakan pada
konstipasi yang baru tejadi sebagai pprosedur penapisan adanya keganasan
kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari
rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan
kolonoskopi.
f. Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan
melakukan pemeriksaan radioologis setelah menelan bahan tersebut. Bila
timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi
ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh.
g. Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anaorektal untuk menilai
evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan
mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam
pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian
penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita
diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal
saat proses berlangsung.
h. Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran
anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal.
pemerikasaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan
fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respon
sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan
anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut
sebagai non-spesifik.
8. Penatalaksanaan Medis
Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk mengatasi
konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simptomatik.
Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukan pada penyebab dari
konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat
merangsang peristaltik usus, harus dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi :
a. Pengobatan non-farmakologis
1) Latihan usus besar : melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku
yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya.
Penderita dianjurkan mengadakan waktu secara teratur setiap hari untuk
memanfaatkan gerakan usus besarnya. dianjurkan waktu ini adalah 5-10
menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan reflex gastro-kolon
untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap
terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau
menunda dorongan untuk BAB ini.
2) Diet : peran diet penting untuk mengatasi konstipasi terutama pada golongan
usia lanjut. data epidemiologis menunjukkan bahwa diet yang mengandung
banyak serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-macam
penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal.
Serat meningkatkan massa dan berat feses serta mempersingkat waktu transit
di usus. untuk mendukung manfaa serat ini, diharpkan cukup asupan cairan
sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.
3) Olahraga : cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga membantu mengatasi
konstipasi jalan kaki atau lari-lari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur
dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan perut untuk
memeperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni
pada otot perut
b. Pengobatan farmakologis
Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan terapi
farmakologis, dan biasnya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe
golongan obat pencahar :
1) memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain : Cereal, Methyl
selulose, Psilium.
2) melunakkan dan melicinkan feses, obat ini bekerja dengan menurunkan
tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air.
Contohnya : minyak kastor, golongan dochusate.
3) golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk
digunakan, misalnya pada penderita gagal ginjal, antara lain : sorbitol,
laktulose, gliserin
4) merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar.
Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar
golongan ini bisa dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak
pleksusmesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya : Bisakodil,
Fenolptalein.
5) Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan
cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan.
Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini
dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak
diketahui penyebabnya serta tidak ada respons dengan  pengobatan yang
diberikan. Pasa umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa atau
adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.

9. Komplikasi
Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi hanya sekedar
mengganggu, tetapi untuk untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang
serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya
feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses
dapat menjadi sekeras batu, di rektum (70%), sigmoid(20%), dan kolon bagian
proksimal(10%).
Impaksi feses penyebab penting dari morbiditas pada usia lanjut, menigkatkan
resiko perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi terjadinya komplikasi
yang fatal. penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak
spesifik. kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5 o,
delirium perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnia karena
karena peregangan dari diafragma. pemeriksaan laboratorium didapatkan
leukositosis. peristiwa ini dapat disebabkan ulserasi sterkoraseus dari suatu
fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang.
dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang
mendadak.
Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher
kandung kemih menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadangh-
kadang gagal ginjal yang membaik setelah impaksi dihilangkan titik. Inkontinensia
alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal. Volvulus
daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan
berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat
berakibat prolaps dari rektum.

E. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian Keperawatan
a. Pemeriksaan head to toe.
b. Riwayat penyakit
1) Faktor resiko keluarga contoh penyakit jantung, stroke, hipertensi
2) Riwayat penyakit sebelumnya
3) Kondisi psikososial
b. Aktivitas : kelelahan umum
c. Sirkulasi : perubahan TD ( hipertensi atau hipotensi ); nadi mungkin tidak
teratur; defisit nadi; bunyi jantung irama tak teratur, bunyi ekstra, denyut
menurun; kulit warna dan kelembaban berubah misal pucat, sianosis,
berkeringat; edema; haluaran urin menruun bila curah jantung menurun berat.
d. Integritas ego : perasaan gugup, perasaan terancam, cemas, takut,
menolak,marah, gelisah, menangis.
e. Makanan/cairan : hilang nafsu makan, anoreksia, tidak toleran terhadap
makanan, mual muntah, peryubahan berat badan, perubahan kelembaban kulit
f. Neurosensori : pusing, berdenyut, sakit kepala, disorientasi, bingung, letargi,
perubahan pupil.
g. Nyeri/ketidaknyamanan : nyeri dada ringan sampai berat, dapat hilang atau
tidak dengan obat analgetik, gelisah
h. Pernafasan : penyakit paru kronis, nafas pendek, batuk, perubahan
kecepatan/kedalaman pernafasan; bunyi nafas tambahan (krekels, ronki,
mengi) mungkin ada menunjukkan komplikasi pernafasan seperti pada gagal
jantung kiri (edema paru) atau fenomena tromboembolitik pulmonal;
hemoptisis.
i. Keamanan : demam; kulit pucat; ; kehilangan tonus otot/kekuatan
j. Pemeriksaan fisik abdomen
1) Inspeksi : pembesaran abdomen
2) Palpasi : perut terasa keras, ada impaksi feses
3) Perkusi : redup
4) Auskultasi : bising usus tidak terdengar

2. Diagnosa Keperawatan
a. Konstipasi berhubungan dengan pola defekasi tidak teratur
b. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan hilangnya nafsu
makan
c. Nyeri akut berhubungan dengan akumulasi feses keras pada abdomen
No Diagnosa Intervensi Rasionak
1 a. Konstipasi Mandiri
berhubungan
dengan pola  Tentukan pola defekasi  Untuk
defekasi tidak bagi klien dan latih klien mengembalikan
teratur untuk menjalankannya keteraturan pola
defekasi klien

 Atur waktu yang tepat  Untuk memfasilitasi


untuk defekasi klien refleks defekasi
seperti sesudah makan

 Berikan cakupan nutrisi  Nutrisi serat tinggi


berserat sesuai dengan untuk melancarkan
indikasi eliminasi fekal

 Berikan cairan jika tidak  Untuk melunakkan


kontraindikasi 2-3 liter eliminasi feses
per hari

Kolaborasi

 Pemberian laksatif atau  Untuk melunakkan


enema sesuai indikasi feses

2 Perubahan nutrisi  Buat perencanaan makan  Menjaga pola makan


kurang dari dengan pasien untuk pasien sehingga
kebutuhan dimasukkan ke dalam pasien makan secara
berhubungan jadwal makan. teratur
dengan hilangnya
nafsu makan  Dukung anggota keluarga  Pasien merasa
untuk membawa nyaman dengan
makanan kesukaan pasien makanan yang
dari rumah. dibawa dari rumah
dan dapat
meningkatkan nafsu
makan pasien.

 Tawarkan makanan porsi  Dengan pemberian


besar disiang hari ketika porsi yang besar
nafsu makan tinggi dapat menjaga
keadekuatan nutrisi
yang masuk.

 Pastikan diet memenuhi  Tinggi karbohidrat,


kebutuhan tubuh sesuai protein, dan kalori
indikasi. diperlukan atau
dibutuhkan selama
perawatan.

 Pastikan pola diet yang  Untuk mendukung


pasien yang disukai atau peningkatan nafsu
tidak disukai. makan pasien
DAFTAR PUSTAKA

Doenges, 2002. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC, Jakarta.

Robins, 2005. Dasar-dasar Patologi Penyakit. EBC. Jakarta

Suzanne, Bare, 2002, Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart . EGC : Jakarta.
LAPORAN PENDAHULUAN

Disusun Oleh :

M. ZUL’IRFAN
09.3.0.1.0023

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKES PAYUNG NEGERI PEKANBARU
2013

Anda mungkin juga menyukai