Anda di halaman 1dari 5

D.

Rekonvensi
Gugatan Rekonvensi diatur dalam pasal 132 HIR huruf (a), pasal 158 RBg angka 1 dan 3 dan
pasal 245 RV, yang menegaskan gugatan rekonvensi adalah gugatan yang diajukan oleh
Tergugat sebagai gugatan balik terhadap gugatan yang diajukan Penggugat. Gugatan
rekonvensi diajukan kepada Pengadilan pada saat berlangsungnya proses pemeriksaan gugatan
yang diajukan Penggugat.
Menurut Abdul Mannan, supaya gugatan rekonvensi dinyatakan sah, selain harus memenuhi
syarat materil, gugatan juga harus memenuhi syarat formil. HIR dan RBg tidak secara detail
menentukan dan mengatur syarat syarat gugatan rekonvensi, namun agar gugatan rekonvensi
tersebut dianggap ada dan sah, gugatan harus dirumuskan secara jelas dan terurai sama dengan
gugatan konvensi. Tujuannya agar pihak lawan dapat mengetahui dan mengerti tentang adanya
gugatan rekonvensi yang diajukan Tergugat kepadanya.
Dari aspek cara mengajukannya Gugatan rekonvensi dapat diajukan secara lisan dan akan
lebih baik diajukan secara tertulis, yang perlu harus diperhatikan adalah gugatan rekonvensi
harus memenuhi syarat formil gugatan yaitu :
1. Menyebutkan dengan tegas subjek yang ditarik sebagai Tergugat rekonvensi.
2. Merumuskan dengan jelas posita atau dalil gugatan rekonvensi, berupa penegasan dasar
hukum ( rechtsgrond ) dan dasar peristiwa ( fifteljkegrond ) yang melandasi gugatan.
3. Menyebutkan dengan rinci petitum gugatan.
Apabila unsur unsur diatas tidak terpenuhi, gugatan rekonvensi dianggap tidak memenuhi
syarat dan harus dinyatakan tidak dapat diterima. Agar gugatan rekonvensi memenuhi syarat
formil dalam gugatan harus disebutkan dengan jelas subjek atau orang yang ditarik sebagai
Tergugat rekonvensi. Gugatan rekonvensi merupakan hak yang diberikan kepada Tergugat
untuk melawan gugatan konvensi, maka pihak yang dapat ditarik sebagai Tergugat adalah
hanya Penggugat konvensi.
Dalam praktek persidangan khusus di Pengadilan Agama antara gugatan konvensi dengan
rekonvensi harus ada hubungan Kausalitet atau sebab akibat contohnya perkara pokok cerai
talak adanya gugatan rekonvensi berupa nafkah iddah, mut’ah, kiswah, maskan, nafkah
madhiah, hak asuh anak, nafkah anak, biaya pendidikan dan sebagainya. Menurut Abdul
Mannan antara gugatan rekonvensi dengan gugatan konvensi harus memenuhi asas  koneksitas.
Menurut Retno Wulan Susantio, antara gugatan rekonvensi dengan gugatan pokok tidak perlu
memenuhi asas koneksitas, hal ini mutak hak Pengggat rekonvensi.
Seandainya Tergugat rekonvensi terdiri dari beberapa orang dan gugatan rekonvensi memiliki
kaitan yang erat dengan gugatan konvensi, sebaiknya seluruh Penggugat konvensi ditarik
sebagai Tergugat rekonvensi. Penerapan ini sangat efektif untuk menghindari terjadinya cacat
formil gugatan rekonvensi yang berakibat gugatan plurium litis consorsium yaitu kurangnya
pihakyangditarek sebagai Tergugat.
Pasal 132 huruf b angka 1 HIR, mengatur bahwa waktu pengajuan gugatan rekonvensi wajib
dilakukan bersama sama dengan pengajuan jawaban. Apabila gugatan rekonvensi tidak
diajukan secara bersama sama dengan jawaban, maka akan mengakibatkan gugatan rekonvensi
diianggap tidak memenuhi aspek formil, yang mengakibatkan gugatan tersebut tidak sah dan
harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Penggugat rekonvensi menurut Subekti harus menyampaikan gugatannya secara rinci peristiwa
kejadian dan peristiwa hukum yang dijadikan dasar tuntutan. Panitera berkewajiban mencatat
segala ihwal gugatan rekonvensi dalan berita acara sidang secara lengkap dan juga apa yang
menjadi petitum rekonvensi.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mengajukan gugatan rekonvensi :
1. Gugatan rekonvensi harus diajukan bersama sama dengan jawaban, selambat lambatnya
sebelum pemeriksaan atau pembuktian (pasal 132 a ayat 2 HIR dan pasal 158 RBg.
2. Jika dalam pemeriksaan tingkat pertama tidak diajuka gugatan rekonvensi, maka dalam
pemeriksaan tingkat banding tidak dapat dilakukan gugatan dalam rekonvensi (pasal 132 a
ayat 2 HIR dan pasal 156 ayat 2 RBg.
3. Jika gugatan konvensi dicabut, maka gugatan rekonvensi tidak dapat dilanjutkan.
4. Gugatan dalam konvensi dan rekonvensi diperiksa dan diputus dalam satu putusan kecuali
jika menurut pendapat Hakim salah satu dari gugatan dapat diputus terlebih dahulu.
E. Kumulasi Gugatan
Kumulasi gugatan adalah penggabungan beberapa pihak dalam satu tuntutan hukum atau
beberapa tuntutan hukum digabungkan dalam satu surat gugatan yang diajukan ke pengadilan
yang berwenang mengadili perkara tersebut. Pada prinsipnya, setiap gugatan harus berdiri
sendiri. Masing-masing gugatan diajukan dalam surat gugatan yang terpisah secara tersendiri,
dan diperiksa serta diputuskan dalam proses pemeriksaan dan putusan yang terpisah dan berdiri
sendiri. Akan tetapi dalam hal-hal tertentu, dibolehkan melakukan penggabungan gugatan
dalam satu surat gugatan, apabila antara satu gugatan dengan gugatan lain terdapat hubungan
erat atau koneksitas.
Adapun beberapa landasan hukum yang memperbolehkan praktek kumulasi gugatan adalah:
A. Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Pada Pasal 86 ayat (1) menyatakan bahwa: “gugatan soal penguasaan anak, nafkah anak,
nafkah istri dan harta bersama dapat diajukan secara bersama-sama dengan gugatan perceraian
ataupun sesudah putusan berkekuatan hukum tetap.”
B. Putusan Mahkamah Agung Nomor 575 K/Pdt/1983 yang menjelaskan:
1) Meskipun pasal 393 ayat (1) HIR mengatakan hukum acara yang diperhatikan hanya HIR,
namun untuk mengwujudkan tercapainya proses doelmatigheid, dimungkinkan menerapkan
lembaga dan ketentuan acara di luar yang diatur dalam HIR, asal dalam penerapan itu
berpedoman kepada ukuran:
a. Benar-benar untuk memudahkan atau menyederhanakan proses pemeriksaan;
b. Menghindari terjadinya putusan yang saling bertentangan.
2) Berdasarkan alasan itu, boleh dilakukan penggabungan (samenvoeging) atau kumulasi
objektif maupun subjektif, asal terdapat innerlijke samenhangen atau koneksitas
erat di antaranya.
Syarat-Syarat Kumulasi Gugatan
Secara garis besar syarat pokok sebuah kumulasi adalah sebagai berikut:
a. Terdapat Hubungan Erat
Menurut Soepomo antara gugatan-gugatan yang digabungkan itu harus ada hubungan batin
(innerlijke samenhang). 10 Dalam praktiknya, tidak mudah mengonstruksi hubungan erat
antara gugatan yang satu dengan yang lain. Sebagai contoh kasus dalam putusan MA Nomor
1518 K/Pdt/1983, yang kasusnya antara penggugat I dengan tergugat diadakan perjanjian
pinjam-meminjam pada Tahun 1967 dengan jangka waktu sampai 1968. Kemudian antara
penggugat II dengan tergugat juga diadakan perjanjian pinjam-meminjam pada Tahun 1967
untuk jangka waktu 6 bulan. Walaupun sepintas tanpa terdapat koneksitas, namun MA
berpendapat penggabungan tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini MA berpendapat, kumulasi
subjektif atau kumulasi objektif yang terjadi dalam perkara ini tidak dapat dibenarkan atas
alasan gugatan-gagatan yang digabungkan masing-masing berdiri sendiri (tidak ada koneksitas)
dan seharusnya diajukan secara terpisah oleh penggugat I dan penggugat II kepada tergugat.
b. Terdapat Hubungan Hukum
Pada syarat pertama, terdapat hubungan erat antara gugatan yang satu dengan yang lain.
Sedangkan pada syarat yang kedua ini terdapat hubungan hukum antara para penggugat atau
antara para tergugat. Jika dalam kumulasi yang diajukan beberapa orang sedangkan di antara
mereka maupun terhadap objek perkara sama sekali tidak ada hubungan hukum, gugatan wajib
diajukan secara terpisah dan sendiri-sendiri. Dalam hal ini pun tidak mudah menemukan
apakah di antara para penggugat atau tergugat terdapat hubungan yang hukum. Sebagai contoh,
putusan MA Nomor 1742 K/Pdt/1983 yang berisi gugatan yang diajukan kepada beberapa
orang tergugat (tergugat I dan tergugat II), padahal antara tergugat I dan tergugat II tidak ada
hubungan hukum. Dalam kasus ini MA menyatakan, oleh karena tidak ada hubungan hukum di
antara tergugat maka gugatan tidak dapat diajukan secara kumulasi, tetapi harus masing-
masing berdiri sendiri terdapat para tergugat.
Bentuk-Bentuk Kumulasi Gugatan
Dalam teori dan praktik, dikenal dua bentuk penggabungan, yaitu:
1. Kumulasi Subjektif (Subjective Cumulation)
Pada bentuk ini dalam satu surat gugatan terdapat beberapa orang penggugat, atau beberapa
orang tergugat. Dapat terjadi kemungkinan sebagai berikut:
a. Penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan seorang tergugat saja. Dalam hal
ini, kumulasi subjektifnya terdapat pada pihak penggugat.
b. Sebaliknya, penggugat satu orang, sedangkan tergugat terdiri dari beberapa orang. Kumulasi
subjektif yang terjadi dalam kasus ini berada pada pihak tergugat.
c. Dapat juga terjadi bentuk kumulasi subjektif yang meliputi pihak penggugat dan tergugat.
Pada kumulasi yang seperti itu, penggugat terdiri dari beberapa orang berhadapan dengan
beberapa orang tergugat.
Dalam Pasal 127 HIR dan Pasal 151 R.Bg, serta beberapa pasal dalam Rv dan BW terdapat
beberapa aturan yang membolehkan adanya kumulasi subjektif, di mana penggugat dapat
mengajukan gugatan terhadap beberapa tergugat. Atas gugatan kumulasi subjektif ini tergugat
dapat mengajukan keberatan agar diajukan secara sendiri-sendiri atau sebaliknya justru
tergugat menghendaki agar pihak lain diikutsertakan dalam gugatan yang bersangkutan karena
adanya koneksitas. Keinginan tergugat untuk mengikut sertakan pihak lain dituangkan dalam
eksepsi “Masih adanya pihak lain yang harus ditarik sebagai pihak yang berkepentingan”.
Tangkisan semacam ini disebut “exceptio plurium litis consurtium”.
2. Kumulasi Objektif (Objective Comulation)
Dalam bentuk ini yang digabungkan adalah gugatan. Penggugat menggabungkan beberapa
gugatan dalam satu surat gugatan. Jadi yang menjadi objek kumulasi adalah gugatan. Namun
agar penggabungan sah dan memenuhi syarat, di antara gugatan itu harus terdapat hubungan
erat
atau koneksitas. Beberapa hal yang tidak diperbolehkan dalam kumulasi objektif, yaitu:
a. Penggabungan antara gugatan yang diperiksa dengan acara khusus seperti gugatan
perceraian digabung dengan perkara biasa (misalnya mengenai pelaksanaan perjanjian)
b. Penggabungan antara dua atau lebih tuntutan yang salah satu diantaranya pengadilan tidak
berwenang secara absolut memeriksanya
c. Penggabungan antara tuntutan mengenai bezit dengan gugatan mengenai eigendom.
Meskipun penggabungan objektif ini tidak diatur secara khusus dalam peraturan perundang-
undangan, akan tetapi tetap diperkenankan karena akan memudahkan proses berperkara dan
tidak bertetangan dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam praktik peradilan agama, kumulasi
objektif ini terjadi dalam perkara perceraian yang digabungkan sekaligus dengan tuntutan
nafkah selama ditinggal suami, nafkah anak selama ditinggal dan yang akan datang,
pemeliharaan anak (hadhanah), nafkah iddah dan harta bersama.
Satu lagi bentuk kumulasi yang ditambahkan Murti Arto yaitu apa yang dinamakan dengan
Intervensi, yaitu ikut sertanya pihak ketiga dalam suatu proses perkara. Intervensi ini dibagi
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu:
a. Voeging, ialah masuknya pihak ketiga atas kehendaknya sendiri untuk membantu salah satu
pihak menghadapi pihak lawan, dalam hal ini ia menjadi pihak pengugat atau tergugat.
b. Vrijwaring, ialah masuknya pihak ketiga karena ditarik oleh tergugat dengan maksud ia
menjadi penanggung bagi tergugat.
c. Tussenkomt, ialah masuknya pihak ketiga dalam satu proses perkara yang sedang berjalan
untuk membela kepentingannya sendiri, sehingga ia menjadi lawan bagi pihak penggugat
maupun tergugat.
Adapun menurut Abdul Manan ada satu lagi bentuk kumulasi yang disebut dengan
“pembarengan” (concursus, samenloop, cdincidence), yaitu penggabungan yang terjadi apabila
seorang penggugat mempunyai beberapa tuntutan yang menuju kepada suatu akibat hukum
saja. Apabila satu tuntutan sudah terpenuhi, maka tuntutan yang lain dengan sendirinya
terpenuhi pula.
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Misalnya
dalam perkara wali adhal, dispensasi kawin, dan izin kawin digabungkan dalam satu gugatan
karena ketiga perkara tersebut mempunyai hubungan hukum yang sangat erat satu sama
lainnya dan mempunyai tujuan yang sama yaitu terlaksananya akan perkawinan sebagaimana
yang diminta oleh pemohon. Jika izin kawin dikabulkan oleh hakim, maka dengan sendirinya
dispensasi kawin dan penetapan wali adhal terselesaikan.

Anda mungkin juga menyukai