Anda di halaman 1dari 50

MAKALAH KIMIA FARMASI

disusun untuk memenuhi tugas Kimia Farmasi

Obat - Obat TBC, Anti Lepra, dan Anti Malaria

Disusun oleh:

1. Ana Aminatul Aliyah 4301413093


2. Andari Eka Apriliani 4301413096

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
begitu banyak nikmat-Nya sehingga makalah yang berjudul “Obat - Obat TBC,
Anti Lepra, dan Anti Malaria” ini dapat terselesaikan dengan baik. Makalah ini
disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Kimia Farmasi yang diberikan oleh
dosen untuk meningkatkan kemampuan serta menambah ilmu pengetahuan bagi
mahasiswa.

Dalam upaya penyusunan makalah ini, penyusun menyadari bahwa


kelancaran panyusunan makalah ini adalah berkat bantuan dan motivasi berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini. Terutama kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga penulis


dapat menyelesaikan tugas dengan tepat waktu.

2. Ibu Woro Sumarni, M. Si selaku ketua jurusan kimia.

3. Bapak Achmad Binadja selaku dosen pengampu mata kuliah Kimia


Farmasi.

4. Orang tua penulis, yang senantiasa mendoakan kami.

Tidak ada suatu apapun yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan
hanya milik Allah SWT. Demikian juga kiranya makalah ini yang masih banyak
kekurangannya serta masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca sehingga
diharapkan lebih sempurna. Semoga makalah ini bermanfaat dalam menambah
informasi dan pengetahuan dari berbagai pihak.

Semarang, 10 September 2015

Penyusun
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa
kronik yang telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling sering
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
kuman TBC menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TBC adalah TBC
paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai dari kulit, tulang,
organ-organ dalam seperti ginjal, usus, otak, dan lainnya.
Konon lepra atau kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM,
dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok Kuna, Mesir Kuna, dan India.
Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat
dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena kusta. Walaupun
pengisolasian atau pemisahan penderita dengan masyarakat dirasakan
kurang perlu dan tidak etis beberapa kelompok penderita masih dapat
ditemukan diberbagai belahan dunia, seperti di India dan Vietnam.
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada
akhir 1940-an dengan diperkenalkan dapson dan derivatnya.
Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal
terhadap dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga
ditemukannya pengobatan multiobat  pada awal 1980-an dan penyakit ini
pun mampu ditangani kembali.
Malaria merupakan salah satu penyakit yang tersebar di beberapa
wilayah di dunia. Umumnya tempat-tempat yang rawan malaria terdapat
pada Negara-negara berkembang dimana tidak memiliki tempat
penampungan atau pembuangan air yang cukup, sehingga menyebabkan
air menggenang dan dapat dijadikan sebagai tempat ideal nyamuk untuk
bertelur.
Di Indonesia sampai saat ini penyakit malaria masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat. Malaria dapat menyebabkan kematian
terutama pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil.
Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah Indonesia
terutama di Papua, Timor, dan Flores. Angka kesakitan penyakit ini pun
masih cukup tinggi. Di daerah trasmigrasi dimana terdapat campuran
penduduk yang berasal dari daerah yang endemis dan tidak endemis
malaria, di daerah endemis malaria masih sering terjadi letusan kejadian
luar biasa (KLB) malaria. Oleh karena kejadian luar biasa ini
menyebabkan insiden rate penyakit malaria masih tinggi di daerah
tersebut. Di Indonesia penderita malaria mencapai 1-2 juta orang pertahun,
dengan angka kematian sebanyak 100 ribu jiwa. Kasus tertinggi penyakit
malaria adalah di daerah Papua, akan tetapi sekitar 107 juta orang
Indonesia tinggal di daerah endemis malaria yang tersebar dari Aceh
sampai Papua, termasuk di Jawa yang padat penduduknya (Adiputro,
2008).
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain:
1. Apa penyebab penyakit malaria, lepra, dan TBC?
2. Obat apa sajakah yang dapat digunakan untuk menyembuhkan
penyakit TBC, lepra, dan malaria?
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah ini antara lain:
1. Untuk mengetahui penyebab penyakit malaria, lepra, dan TBC.
2. Untuk mengetahui obat-obat yang dapat digunakan untuk
menyembuhkan penyakit malaria, lepra, dan TBC.
BAB 2
PEMBAHASAN

A. TBC, Lepra, dan Malaria


1. TBC
Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa
kronik yang telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu dan paling
sering disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Sebagian
besar kuman TBC menyerang paru, 85% dari seluruh kasus TBC
adalah TBC paru, sisanya (15%) menyerang organ tubuh lain mulai
dari kulit, tulang, organ-organ dalam seperti ginjal, usus, otak, dan
lainnya.
Tuberkulosis termasuk juga dalam golongan penyakit zoonosis
karena selain dapat menimbulkan penyakit pada manusia, basil
Mycobacterium juga dapat menimbulkan penyakit pada berbagai
macam hewan misalnya sapi, anjing, babi, unggas, biri-biri dan hewan
primata, bahkan juga ikan.
2. Lepra
Penyakit kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus
Hansen, adalah sebuah penyakit infeksi menular kronis yang
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Indonesia dikenal
sebagai satu dari tiga negara yang paling banyak memiliki penderita
kusta. Dua negara lainnya adalah India dan Brazil.Bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia
bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Umumnya
penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang, dan
sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah.
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit ini diduga berasal
dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh
dunia lewat perpindahan penduduk. Penyakit ini masuk ke Indonesia
diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang
India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen
karena kusta.
3. Malaria
Penyakit malaria adalah penyakit yang disebabkan oleh parasit dari
genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui
perantaraan tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp. Penyakit ini
secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles.
Malaria merupakan salah satu penyakit yang tersebar di beberapa
wilayah di dunia. Umumnya tempat-tempat yang rawan malaria
terdapat pada Negara-negara berkembang dimana tidak memiliki
tempat penampungan atau pembuangan air yang cukup, sehingga
menyebabkan air menggenang dan dapat dijadikan sebagai tempat
ideal nyamuk untuk bertelur.
Berdasarkan The World Malaria Report 2010, sebanyak lebih dari
1 juta orang termasuk anak-anak setiap tahun meninggal akibat malaria
dimana 80%. Kematian terjadi di Afrika, dan 15% di Asia (termasuk
Eropa Timur). Secara keseluruhan terdapat 3,2 Miliyar penderita
malaria di dunia yang terdapat di 107 negara. Malaria di dunia paling
banyak terdapat di Afrika yaitu di sebelah selatan Sahara dimana
banyak anak-anak meninggal karena malaria dan malaria muncul
kembali di Asia Tengah, Eropa Timur dan Asia Tenggara.
Di Indonesia, sebagai salah satu negara yang masih beresiko
Malaria (Risk-Malaria), pada tahun 2009 terdapat sekitar 2 juta kasus
malaria klinis dan 350 ribu kasus di antaranya dikonfirmasi positif.
Sedangkan tahun 2010 menjadi 1,75 juta kasus dan 311 ribu di
antaranya dikonfirmasi positif. Sampai tahun 2010 masih terjadi KLB
dan peningkatan kasus malaria di 8 Propinsi, 13 kabupaten, 15
kecamatan, 30 desa dengan jumlah penderita malaria positif sebesar
1256 penderita, 74 kematian. Jumlah ini mengalami peningkatan
dibandingkan tahun 2009, dimana terjadi KLB di 7 propinsi, 7 kab, 7
kec dan 10 desa dengan jumlah penderita 1107 dengan 23 kematian
B. Obat-Obatan untuk Menyembuhkan Penyakit Malaria, Lepra, dan
TBC
1. Obat TBC (Tubercolosis)
Obat TBC umumnya dibagi dalam obat-obat primer dan obat-obat
sekunder.

Obat primer : INH, rifampisin, pirazinamida dan etambutol. Obat-


obat ini paling efektif dan paling rendah toksisitasnya, tetapi menimbulkan
resistensi dengan cepat bila digunakan sebagai obat tunggal. Maka terapi
selalu dilakukan dengan kombinasi dari 3-4 obat. Suku-suku yang sekaligus
kebal terhadap dua atau lebih jenis obat sangat jarang terjadi. Yang paling
banyak digunakan adalah kombinasi INH, rifampisin dan pirazinamida.

Obat sekunder : streptomisin, klofazimin, fluorkinolon, dan


sikloserin. Obat ini memiliki kegiatan yang lebih lemah dan bersifat lebih
toksis, maka hanya digunakan bila terdapat resistensi atau intoleransi
terhadap obat primer, juga terhadap infeksi MAI pada pasien HIV.
Fluorkinolon (siprofloksasin, ofloksasin, dll) bekerja sebagai bakterisida
berdasarkan penghambatan DNA-gyrase kuman. Obat ini memegang peranan
penting pada TBC multi-resisten. Aktifitasnya dapat disamakan dengan INH.
Penggunaan kebanyakan obat TBC harus dengan hati-hati pada penderita
gangguan fungsi hati dan ginjal.

Kehamilan dan laktasi. Wanita hamil yang menderita TBC aktif


boleh diobati dengan isoniazida, rifampisin, dan pirazinamida. Etambutol
dapat pula digunakan dalam keadaan tertentu. Streptomisin dan amikasin
dilarang penggunaannya karena risiko ketulian pada janin. Data dari obat-
obat TBC sekunder bagi kehamilan masih belum lengkap. Perlu pula
diperhatikan bahwa kebanyakan tuberkulostatika masuk ke dalam air susu
ibu. Namun bayi dapat disusui tanpa ada keberatan.
Zat-Zat Tersendiri

a. Isoniasid (Isonikotinil Hidrazid)


1. Mekanisme kerja. Kerja obat ini adalah dengan menghambat enzim
esensial yang penting untuk sintesis asam mikolat dan dinding sel
mikobakteri. INH dapat menghambat hampir semua basil tuberkel, dan
bersifat bakterisida terutama untuk basil tuberkel yang tumbuh aktif.
INH dapat bekerja baik intra maupun ekstraseluler. Aktivitas INH
menghambat aksi enoyl – protein pembawa asil dalam bentuk (InhA).
InhA merupakan komponen enzim penting dari sintesis asam lemak
kompleks II (FAS-II). FAS-II yang terlibat dalam sintesis rantai
panjang asam mycolic. Asam mycolic merupakan komponen struktural
penting dari dinding sel mikobakteri dan melekat ke lapisan
arabinogalactan.

2. Farmakokinetik. Absorpsi: oral. Distribusi: melintasi plesenta; muncul


dalam ASI; mendistribusikan ke dalam jaringan tubuh dan cairan termasuk
CSF (Cerebrospinal Fluid). Ikatan protein; 10% sampai 15%.
Metabolisme : oleh hati terhadap isoniasid asetil dengan tingkat kerusakan
genetik ditentukan oleh fenotipe asetilasi; mengalami hidrolisis lebih
lanjut untuk asam asetil isonikotinik dan hidrazin. Waktu paruh: mungkin
bias diperpanjang pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau gangguan
ginjal parah. Asetilator cepat: 30-100 menit. Asetilator lambat: 2-5 jam.
Waktu puncak konsentrasi serum: oral: dalam 1-2 jam. Eliminasi: 75%
sampai 95% diekskresikan dalam urin sebagai obat tidak berubah dan
metabolit; jumlah kecil diekskresi dalam tinja dan saliva. Dialisis: dialisis
(50% sampai 100%).
3. Efek samping. Insiden dan berat ringannya efek non terapi INH
berkaitan dengan dosis dan lamanya pemberian. Reaksi alergi obat ini
dapat berupa demam, kulit kemerahan, dan hepatitis. Efek toksik ini
meliputi neuritis perifer, insomnia, lesu, kedut otot, retensi urin, dan
bahkan konvulsi, serta episode psikosis. Kebanyakan efek ini dapat
diatasi dengan pemberian piridoksin yang besarnya sesuai dengan
jumlah INH yang diberikan.
4. Indikasi. Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis
aktif, disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang beresiko
tinggi mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-
sama dengan anti tuberkulosis lain.
5. Kontraindikasi. Kontraindikasinya adalah riwayat hipersensitifitas atau
reaksi adversus, termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati
akut, tiap etiologi, kehamilan (kecuali resiko terjamin).
b. Rifampisin (RIF)
1.Mekanisme kerja. Obat ini menghambat sintesis DNA bakteri dengan
mengikat β-subunit dari DNA dependent –RNA polimerase sehingga
menghambat peningkatan enzim tersebut ke DNA dan menghambat
transkripsi messenger RNA (mRNA). Transkrip RNA adalah
persyaratan penting untuk sintesis protein. In vitro dan in vivo, obat ini
bersifat bakterisid terhadap mikobakterium tuberkulosis, M. bovis, dan
M. kansasii baik intra maupun ekstraseluler. Konsentrasi bakterisid
berkisar 3-12 μg/ml/ obat ini dapat meningkatkan aktivitas
streptomisin dan INH, tetapi tidak untuk etambutol.
2.Farmakokinetik. Absorpsi: oral: diserap dengan baik. Distribusi: sangat
lipofilik; melintasi penghalang darah-otak dan didistribusikan secara
luas ke dalam jaringan tubuh dan cairan seperti hati, paru-paru,
kandung empedu, empedu, air mata, dan air susu ibu; mendistribusikan
ke CSF ketika meninges meradang. Ikatan protein: 80%. Metabolisme:
mengalami daur ulang enterohepatik; di metabolisme di hati diasetil
(aktif). Waktu paruh: 3-4 jam, berkepanjangan dengan kerusakan hati.
Waktu puncak konsentrasi serum: oral: dalam 2-4 jam. Eliminasi:
terutama di feses (60% sampai 65%) dan urin (~30%). Dialisis:
rifampisin plasma konsentrasi tidak signifikan dipengaruhi oleh
hemodialisis atau dialisis peritoneal.
3. Efek samping. Kurang dari 4% penderita mengalami efek samping,
seperti demam, kulit kemerahan, mual dan muntah, ikterus,
trombositopenia, dan nefritis. Gangguan hati yang terberat terutama
terjadi bila rifampisin diberikan secara tunggal atau dikombinasikan
dengan INH. Gangguan saluran cerna juga sering terjadi, tidak enak di
ulu hati, mual dan muntah, kolik, serta diare yang kadang-kadang
memerlukan penghentian obat.
4. Indikasi. Diindikasikan untuk obat anti tuberkulosis yang
dikombinasikan dengan anti tuberkulosis lain untuk terapi awal maupun
ulang.
5. Kontraindikasi. Sindrom syok, anemia hemolitik akut, dan gangguan
hati. Hati hati pemberian obat ini pada penderita gangguan ginjal.

c. Pirazinamid (PZN)

1. Mekanisme kerja. PZN adalah pro-drug dan diubah menjadi bentuk


aktif (asam pyrazinoic) oleh enzim peroksidase nicotinamidase dikenal
sebagai pyrazinamidase (PncA). Asam Pyrazinoic menghambat aksi
sintetase asam lemak I (FAS I). FAS I adalah terlibat dalam sintesis
asam mycolic rantai pendek merupakan komponen struktural penting
dari dinding sel mikobakteri dan melekat ke lapisan arabinogalactan.
Obat ini bersifat bakterisidal, terutama dalam keadaan asam dan
mempunyai aktivitas sterilisasi intraseluler.

2. Farmakokinetik. Absorpsi: oral: diserap dengan baik. Distribusi:


didistribusikan secara luas ke dalam jaringan tubuh dan cairan termasuk
paru-paru, hati, CSF. Ikatan protein: 50%. Metabolisme: dalam hati.
Waktu paruh: 9-10 jam, berkepanjangan dengan fungsi ginjal atau hati
berkurang. Waktu puncak konsentrasi serum: dalam 2 jam. Eliminasi:
dalam urin (4% sebagai obat tidak berubah).
3. Efek samping. Obat ini bersifat hepatotoksik yang berkaitan dengan
dosis pemberian dan dapat menjadi serius. Dengan dosis harian 3 g atau
40-50 mg/kg BB/hari.
Obat ini sangat efektif terhadap tuberkulosis bila digabungkan dengan
INH, tetapi dilaporkan lebih kurang 14% penderita akan mengalami
gangguan hati yang berat, serta kematian dapat terjadi karena timbulnya
nekrosis. Karena efek hepatotoksik, pemeriksaan uji hati perlu
dilakukan sebelum pemberian obat ini. Penggunaan pirazinamid secara
rutin menyebabkan hiperuresemia, biasanya asimtomatik. Jika gejala
penyakit gout timbul, dan pengobatan dengan pirazinamid dibutuhkan,
penderita sebaiknya juga mendapat alopurinol/probenesid.
4. Indikasi. Digunakan untuk terapi tuberkulosis dalam kombinasi dengan
anti tuberkulosis lain.
5. Kontraindikasi. Kontraindikasi terhadap gangguan fungsi hati parah,
porfiria, Hipersensitivitas.

d. Streptomisin (STR)

1. Mekanisme kerja. Obat ini bekerja dengan menghambat sintesis


protein pada ribosom mikrobakterium dan bersifat bakterisid, terutama
terhadap basil tuberkel ekstraseluler.
2. Farmakokinetik. Distribusi: mendistribusikan ke dalam jaringan tubuh
dan cairan kecuali otak; jumlah kecil masukkan CSF hanya dengan
meninges meradang, melintasi plasenta; jumlah kecil muncul di ASI.
Ikatan protein: 34%.
Waktu paruh: berkepanjangan degan kerusakan ginjal. Baru lahir: 4-10
jam. Dewasa: 2- 4,7 jam. Waktu puncak konsentrasi serum: im: dalam
1-2 jam. Eliminasi: 30% sampai 90% dari dosis diekskresikan sebagai
obat tidak berubah dalam urin, dengan jumlah kecil (1%) diekskresikan
dalam empedu, saliva, keringat, dan air mata.
3. Efek samping. Sakit kepala atau lesu biasanya terjadi setelah
penyuntikan dan umumnya bersifat sementara. Reaksi hipersensitivitas
sering terjadi pada minggu pertama pengobatan dan biasanya lebih
ringan dibandingkan INH. Obat ini bersifat ototoksik menimbulkan
gangguan pendengaran dan keseimbangan dengan gejala vertigo, mual,
dan muntah. Selain itu, obat ini juga bersifat nefrotoksik.
4. Indikasi. Sebagai kombinasi pada pengobatan TBC bersama isoniazid,
rifampisin, dan pirazinamid, atau untuk penderita yang dikontraindikasi
dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.
5. Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap streptomisin sulfat atau
aminoglikosida lain.
e. Etambutol (EMB)

1. Mekanisme kerja. Obat ini menghambat sintesis metabolisme sel


sehingga menyebabkan kematian sel. EMB menghambat aksi arabinosyl
(EmbB). EmbB adalah enzim membran terkait yang terlibat dalam
sintesis arabinogalaktan. Arabinogalactan merupakan komponen
struktural penting dari dinding sel mikobakteri. Hampir sama strain M.
tuberculosis, M. bovis, dan kebanyakan M. kansasii rentan terhadap obat
ini. Obat ini bersifat bakteriostatik dan bekerja baik intra maupun
ekstraseluler.
2. Farmakokinetik. Absorpsi: ~80%. Distribusi: didistribusikan ke
seluruh tubuh dengan konsentrasi tinggi di ginjal, paru-paru, saliva, dan
sel darah merah; konsentrasi dalam CSF rendah; melintasi plasenta;
diekskresikan ke dalam ASI. Ikatan protein: 20% sampai 30%.
Metabolisme: 20% oleh hati untuk metabolit aktif. Waktu paruh: 2,5-3,6
jam (hingga 7 jam atau lebih dengan gangguan ginjal). Waktu puncak
konsentrasi serum: dalam waktu 2-4 jam. Eliminasi: ~50%dalam urin
dan 20% diekskresi dalam tinja sebagai obat yang tidak berubah.
Dialisis: sedikit dialysis (5% sampai 20%).
3. Efek samping. Etambutol jarang menimbulkan efek samping bila
diberikan dengan dosis harian biasa dan efek toksik minimal. Efek
nonterapi yang berat dan berkaitan dengan dosis, yaitu efek toksik di
okular. Gangguan di mata biasanya bersifat bilateral, yaitu berupa
neuritis optik dengan gejala penurunan ketajaman penglihatan,
hilangnya kemampuan membedakan warna merah dengan hijau,
lapangan pandangan mata menyempit, dan dapat terjadi skotoma perifer
ataupun sentral. Gangguan ini biasanya bersifat reversibel. Karena itu,
sebelum etambutol diberikan, uji ketajaman penglihatan dan uji buta
warna sebaiknya dilakukan.
4. Indikasi. Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis
dengan obat lain, sesuai regimen pengobatan jika diduga ada resistensi.
Jika resiko resistensi rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Obat ini tidak
dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis optik,
gangguan visual.
5. Kontraindikasi. Hipersensitivitas terhadap etambutol seperti neuritis
optik.
Obat tuberkulosa lainnya
Obat cadangan yang tersebut di bawah ini hanya digunakan bilamana
terdapat resistensi atau hipersensitasi terhadap obat TBC primer.
1. Klofazimin : Lampren
Derivat-fenazin ini (1967) berkhasiat bakterisid terhadap basil lepra dan
TBC/avium, juga yang multiresisten. Obat ini terutama digunakan pada
infeksi dengan Mycobacter leprae.

2. PAS : para-aminosalicylic acid

PAS berkhasiat bakteriostatis sangat lemah terhadap Mycobacteria,


maka penggunaannya sebagai obat TBC sudah terdesak oleh obat-obat
tersebut di atas yang jauh lebih kuat, kurang toksis dan lebih baik
penerimaannya oleh pasien. Obat yang menggantikan PAS dalam terapi
TBC adalah terutama etambutol.

3. Obat Lepra

Diagnosa

Perkiraan terjangkitnya penyakit lepra harus diwaspadai bila :

a. Timbul bercak-bercak pada kulit dan hilang warna pigmennya dan hilang
perasaan terhadap, misalnya tekanan dan suhu
b. Penebalan atau pekanya urat saraf
c. Terdapatnya basil tahan-asam dari apus kulit atau dari selaput lendir
hidung yang tidak dapat dibiakkan secara biasa.
Diagnosa definitif dicapai dengan membiakkan secara khas basil-basil ini pada
telapak kaki tikus dengan hasil positif. Pada semua bentuk lepra DNA kuman
dideteksi melalui reaksi polimerase berantai. Prosedur ini adalah untuk
menentukan efektivitas pengobatan.

Reaksi-Reaksi Lepra

Reaksi lepra adalah reaksi imunologi serius terhadap Mycobacterium leprae


yang terjadi selama pengobatan, jadi bukan disebabkan oleh obat lepra. Dapat
dibedakan dua tipe reaksi lepra, yaitu :

a) Tipe I (reaksi kebalikan = “reversal”)


Menimbulkan exacerbasi mendadak dari luka-luka kulit dan saraf yang
meradang dan membengkak, terutama terjadi pada bentuk borderline dari
LT dan LL. Penyebabnya adalah suatu reaksi imun seluler (oleh limfo-T)
terhadap antigen basil lepra.

b) Tipe II (erythema nodosum leprosum, ENL)


Terjadi hanya pada LL sebagai reaksi imun humoral (dari antibodi)
terhadap antigen basil lepra. Kompleks imun diendapkan pada endotel
pembuluh dan saraf kulit, yang berakibat bertambahnya permeabilitas
dinding pembuluh yang berkurangnya oksigen di jaringan. Gejalanya
berupa demam tinggi, noduli dengan ruam merah dan radang saraf.
Bila terjadi reaksi lepra tersebut, tetapi tidak boleh dihentikan. Keluhan
ringan (tipe I) dapat diatasi dengan analgetika dan obat antiradang, yang lebih
serius (tipe II) dengan imunosupresiva seperti prednison dan talidomida

Pengobatan

Sejak dulu obat satu-satunya terhadap kusta adalah minyak kaulmogra, yang
sering kali efektif untuk meredakan gejala tanpa menyembuhkan penyakit.
Penelitian akan obat-obat yang lebih baik dan bekerja kausal menemui banyak
kesulitan, karena basil lepra tidak dapat dikembangbiakkan in vitro. Baru pada
tahun 1962 penelitian berhasil menularkan lepra pada binatang percobaan (telapak
kaki tikus) dan kemudian pada binatang armadillo (1971). Di tahun 1975
ditemukan bahwa Mycobacterium leprae dapat dibiakkan bila pada persemaian
dibubuhi hyaluronic acid.

Zat-Zat Tersendiri

a. Dapson : diaminodifenilsulfon, DDS, suatu inhibitor folat sintetase.

Dapson (1943) termasuk kelompok sulfon dengan rumus bangun, aktivitas


antimikroba dan mekanisme kerja yang lebih kurang sama dengan sulfonamida.
Khasiatnya lebih kurang 10x lebih kuat dan juga lebih toksis. Daya kerja
leprostatisnya kuat berdasarkan persaingan substrat dengan PABA serta inhibisi
enzim folat sintetase kuman hingga pembentukan folat dan DNA dicegah.
Aktivitasnya ditiadakan oleh turunan PABA. Digunakan pada lepra, TBC dan
dermatitis herpetiformis, juga sebagai profilaksis terhadap malaria (bersama
pirimetamin). Penggunaannya selalu dalam kombinasi dengan obat-obat lain,
karena monoterapi dengan cepat menimbulkan resistensi.

Resorpsi dari usus hampir lengkap dengan kadar darah puncak dalam 1-3
jam. PP-nya 70%, plasma t ½ nya rata-rata 28 jam (10-50 jam). Di dalam hati zat
ini mengalami siklus enterohepatik dan terjadi asetilasi menjadi metabolit inaktif.
Ekskresinya berlangsung 20% melalui kemih dan sebagian kecil lewat tinja.

Efek sampingnya jarang terjadi pada dosis biasa, antara lain sakit kepala,
mual, muntah, sukar tidur, dan tachycardia. Pada dosis tinggi dapat terjadi
kelainan darah (antara lain hemolysis dan methemoglobinemia), risiko dipertinggi
oleh antagonis-folat seperti pirimetamin dan sulfonamida. Dengan sulfonamida
terdapat resistensi silang.

Dosis : bersama obat-obat lain permulaan 1 dd 50 mg, kemudian 1 dd 100


mg, maksimal 200 mg, anak-anak 1x sehari 1-1,5 mg/kg. Pada dermatitis herp. 3-
4 dd 50 mg, maksimal 300 mg/hari.
b. Klofazimin : Lampren

Derivat fenazin ini (1967) juga memiliki khasiat bakterisid berdasarkan


pengikatan pada Dna sehingga fungsinya diblokir. Kerjanya lambat sekali dan
efeknya baru nyata sesudah 50 hari. Basil-basil di dalam mukosa dan kulit
dimusnahkan, kecuali di tempat yang sulit dicapai, seperti dalam saraf dan otot,
yang memerlukan waktu lebih lama. Begitu pula untuk mengeluarkan seluruh
basil dari jaringan. Di samping itu klofazimin juga berkhasiat antiradang dan
khusus digunakan pada bentuk LL dan terhadap benjolan (ENL). Zat ini juga
digunakan pada tuberkulosa yang multiresisten terhadap infeksi dengan
Mycobacterium avium (MAI) pada pasien AIDS.

Resorpsinya dari usus lambat dan kurang baik (50%), kadar puncak darah
baru dicapai setelah 8-12 jam. Zat ini bersifat lipofil kuat, ditimbun dalam
jaringan lemak dan makrofag dari sistem tangkis untuk kemudian dilepaskan lagi
secara berangsur-angsur. Plasma t ½ nya lama sekali, kurang lebih 70 hari, maka
dapat ditakarkan secara intermiten. Ekskresinya berlangsung terutama lewat tinja.

Efek samping terpentingnya berupa pewarnaan merah yang reversibel dari


kemih, keringat, air mata dan selaput mata, ludah dan tinja. Gangguan lambung
dan usus biasanya baru terjadi sesudah 6 bulan. Lebih serius pengendapan kristal
klofaziminn pada dinding usus dan dicairan mata pada dosis tinggi diperlukan
pada ENL, sehingga penggunaannya dari 3 bulan tidak dianjurkan.

Dosis : lepra lepromateus bersama dapson dan rifampin 3x seminggu 100 mg


+ 1x sebulan 300 mg d.c. selama minimal 2 tahun atau sampai pembiakan apus
kulit menjadi negatif. Pada ENL : 2-3 dd 100 mg selama maksimal 3 bulan.
Infeksi basil tbc multiresisten atau M. avium : 2-3 dd 100 mg bersama 2-3 obat
tbc lain.

c. Minyak Kaulmogra : Oleum hydnocarpi


Minyak nabati ini sudah dianggap obsolet.
d. Rifampisin : rifampin, rifadin, rimactane.
Antibiotikum dari kelompok rifampisin ini (1965) berkhasiat leprosid
berdasarkan penghambatan enzim kuman RNA-polymerase. Kerjanya lebih cepat
dan efektif daripada dapson. Dalam waktu 3-4 minggu, bentuk LL yang ganas
sudah menjadi tidak bersifat menular lagi. Resistensi dapat timbul dalam waktu
singkat, sehingga selalu digunakan bersama obat lain, terutama pada lepra dan tbc.
Kemih berwarna merah muda.
Interaksi. Akibat induksi enzim, rifampisin dapat mengurangi efek estrogen
(pil antihamil), fenitoin, siklosporin, dan turunan kumarin, mungkin juga
kortikosteroida, kinidin dan metadon. INH dan halotan meningkatkan risikonya
akan toksisitas hati.
Dosis : umumnya 1 dd 600 mg a.c., atau menurut WHO 1 kali sebulan.
e. Talidomida : Softenon, Synovir
Senyawa ftalat ini (1957) dipasarkan sebagai obat tidur dan dilarang
peredarannya pada permulaan tahun-60an karena mengakibatkan cacat pada bayi
(focomelia). Dua puluh lima tahun kemudian ditemukan khasiat antiradang dan
imunosupresifnya. Selain itu juga berdaya antangiogenesis kuat. Sejak 1977
secara resmi mulai digunakan lagi untuk meredakan reaksi lepra ENL pada
multiple myeloma serta lupus erythematodes.
Efek sampingnya berupa sedasi dan rasa kantuk, pusing, exanthema,
gangguan penglihatan dan rasa penat.
Dosis : ENL berat 50-400 mg sehari selama 3-24 bulan.
1. Obat Malaria

Diagnosa

Plasmodium dapat dideteksi dan diidentifikasi secara mikroskopis


dalam preparat darah yang diwarnai menurut Giemsa atau Wright. Ciri
lainnya adalah monosit yang berisi pigmen. Petunjuk penting, terutama
untuk malaria kronis, berupa timbulnya antibodi spesifik. Kini sedang
dikembangkan tes ELISA untuk mendeteksi antigen dan metoda untuk
menemukan DNA parasit.
Obat Malaria

Sejarah. Obat tertua untuk mengobati demam malaria adalah kulit


pohon kina dan alkaloida yang dikandungnya (kinin, 1820). Baru pada
tahun 1932 ditemukan obat yang sama khasiatnya, yaitu mepakrin, yang
terutama banyak digunakan selama perang dunia ke II sewaktu tentara
sekutu tidak menerima kinin lagi di Indonesia.

Pada tahun 1944, klorokuin yang lebih ringan efek sampingnya


menggantikan mepakrin yang agak toksis, juga lebih cepat efek kuratifnya.
Pada tahun 1946 diintroduksi proguanil sebagai obat yang tidak hanya
aktif terhadap bentuk darah (trofozoit) sebagaimana ketiga obat yang
trdahulu, melainkan juga terhadap bentuk hati, khususnya benuk EE
primer dari P.falciparum. Primakuin (1948) terutama berkhasiat kuat
terhadap bentuk EE dari P.vivax/ovale.

Dengan demikian proguanil dan primakuin sangat ampuh sebagai


obat pencegah malaria. Kemudian dipasarkan pula derivat klorokuin
amodiakuin (1950), pririmetamin (1952), meflokuin (1981) dan
halofantrin (1985). Pada tahun 1990 WHO telah mengeluarkan
amodiakuin dari progam terapi malaria, karena dilaporkan timbulnya efek
samping serius pada penggunaan profilaksis.

Artemeter (1991) adalah suatu derivat semisintetis dari artemisinin,


yang terdapat dalam tumbuhan China qinghaosu. Obat tradisional ini
sudah sejak tahun 1970-an banyak digunakan dengan sukses di China
Selatan (Hainan) dan Thailan terhadap P.falciparum (malaria otak) yang
multiresisten. Efeknya lebih cepat daripada kinin dan obat-obat lain
dengan efek samping ringan.

Pyronaridin adalah obat eksperimentil terbaru yang sangat efektif


terhadap P.falciparum multiresisten. Derivat-akridin ini berasal dari China
dan telah dibuktikan efektivitasnya pada malaria, begitu pula di Kamerun.
Harganya juga lebih murah daripada halofantrin hingga layak digunakan
di negara-negara miskin, walaupun menimbulkan sering gangguan
lambung.

Mekanisme Kerja

Klorokuin mencegah dimakannya hemoglobin (zat warna darah


merah) oleh parasit, sehingga timbul kekurangan asam amino esensial
untuk sintesa DNA-nya.

Meflokuin diperkirakan sama mekanisme kerjanya dengan


klorokuin. Kinin dan artemeter menghambat sintesa protein dengan jalan
membentuk kompleks dengan DNA parasit, di samping merintangi banyak
sistem enzimnya.

Proguanil dan pirimethamin adalah antagonis folat yang


merintangi enzim yang mengubah asam folat menjadi asam folinat,
sehingga sintesis DNA/RNA terganggu.

Trimetoprim adalah derivat pirimethamin yang berkhasiat lebih


kuat terhadap enzim bakteri daripada terhadap enzim Plasmodium. Oleh
karenanya senyawa ini tidak digunakan pada malaria, tetapi sebagai obat
antibakteri yakni kotrimoksazol = trimetoprim+sulfoksazol)

Primakuin juga dapat mengikat DNA dan diperkirakan dalam


tubuh nyamuk dirombak menjadi metabolit yang bersifat oksidans dan
lebih aktif terhadap parasit.

Zat-Zat Tersendiri

a. Kinin (F.I.)
Kinin adalah alkaloida uutama dari kulit pohon kina (Cinchona
rubra) yang berasal dari Amerika Selatan dan dimasukkan ke Indonesia di
jaman kolonial. Dari lebih kurang 20 alkaloida lainnya hanya isomer
optisnya, yaitu kinidin, digunakan dalam terapi sebagai obat pereda
jantung. Sintesa kinin secara kimiawi sudah diketahui, namun dalam
praktek tidak dilaksanakan karena jauh lebih mahal.
Kinin memiliki banyak kegiatan, yakni :
1) Anti-Plasmodium. Kinin bekerja sebagai schizontisid darah kuat
dan mematikan trofozoit dalam eritrosit. Zat ini juga aktif terhadap
gametosit vivax dan malariae, tidak terhadap bentuk EE sekunder.
Oleh karena itu kinin digunakan sebagai kurativum dan
supresivum, terutama pada malaria tropika yang resisten untuk
klorokuin (dan meflokuin). Kombinasinya dengan primakuin
efektif untuk menyembuhkan secara radikal malaria tersiana dan
kwartana yang sering kali kambuh. Pada serangan malaria tropika
yang mengancam jiwa diberikan injeksi i.v.
2) Kerja antipiretis dan analgetis lemah, khususnya pada nyeri otot
dan persendian. Karena itu dahulu kinin merupakan komponen dari
banyak obat paten influenza. Kini sudah dianggap obsolet karena
toksisitasnya.
3) Kerja oksitosis, yakni kerja kontraksi atas rahim yang mengandung,
terkenal sebagai obat pengguguran (abortivum). Tetapi efeknya sangat
tidak dapat dipercaya, bahkan pada dosis tinggi bersifat letal.
4) Spasmolitis, yakni efektif untuk meredakan kejang-kejang malam di
betis kaki (restless legs)

Resorpsi garam-garam kinin di usus (sebagai basa) baik dan cepat.


PP-nya tinggi 70-90%, plasma t ½ nya 8-21 jam. Di dalam hati sebagian
besar dirombak menjadi metabolit hidroksinya yang dikeluarkan melalui
ginjal.

Efek sampingnya pada dosis biasa adalah cinchonisme dan berupa


nyeri kepala, pusing, gangguan pendengaran seperti berdesing (tinnitus),
tremor, mual dan menggigil. Pada dosis tinggi atau penggunaan lama
dapat menjadi ketulian dan gangguan penglihatan, bahkan kebutaan.
Jarang terjadi anemia hemolitis dan hepatitis.
Dosis sebagai kurativum terhadap malaria yang resisten untuk
klorokuin oral 3 dd 650 mg bisulfat selama 5 hari (orang “luar” selama 7
hari). Disusul oleh primakuin 1x seminggu 45 mg selama 6-8 minggu.
Pada malaria tropika akut oral 3 dd 650 mg selama 7 hari, bila terdapat
resistensi bersama doksisiklin. Pada malaria tropika parah dimulai dengan
injeksi i.v. dari 20 mg/kg berat badan garam kininklorida. Pada restless
legs 100-200 mg sebelum tidur.

Kadar kinin basa dalam garam-garamnya adalah sebagai berikut :

K.bisulfat : 59% (daya larut 1:11), K.Sulfat 83% (daya larut 1:600)
dan K.klorida 81,5% (daya larut 1:25)

a. Klorokuin

Klorokuin adalah 4-aminokuinolin yang digunakan untuk


mengobati dan mencegah malaria. Plasmodium falciparum yang resistensi
terhadap klorokuin tersebar di seluruh dunia, membuat klorokuin tidak
bermanfaat untuk plasmodium tersebut, tetapi klorokuin masih tetap
efektif untuk mengobati infeksi P. vivax, P. ovale, dan P. malariae.
Seperti 4-aminokuinolin lain, klorokuin tidak berkhasiat untuk pengobatan
radikal.

Klorokuin merupakan skizontosida darah yang sangat efektif


terhadap stadium eritrositik keempat spesies plasmodium yang masih
sensitif terhadap klorokuin, tetapi klorokuin tidak berkhasiat terhadap
sporozoit, hipnozoit atau gametosit.

Klorokuin berada dalam bentuk tidak bermuatan pada pH netral


dan dengan demikian dengan mudah berdifusi ke dalam lisosom parasit.
Pada pH lisosom yang asam, klorokuin berubah menjadi bentuk yang
terprotonasi – bentuk impermeable terhadap membran dan terperangkap di
dalam parasit. Pada konsentrasi tinggi, klorokuin menghambat sintesis
protein, RNA dan DNA, tetapi efek-efek ini rupanya tidak terlibat dalam
aktivitas antimalarianya. Klorokuin bekerja dengan cara mendetoksifikasi
haem parasit, mencegah pencernaan hemoglobin oleh parasit dan dengan
demikian mengurangi suplai asam amino yang diperlukan untuk
kehidupan parasit. Klorokuin juga menghambat polymerase haem - enzim
yang mempolimerisase haem bebas yang toksik menjadi hemozoin -
pigmen malaria.

Plasmodium falsiparum resisten klorokuin (PfCRT) dan multi obat


(PfMDR) tersebar hampir di seluruh dunia. Resistensi terjadi akibat efluks
obat dari vesikel parasit akibat meningkatnya ekspresi protein transporter
yaitu P-glikoprotein yang berakibat berkurangnya konsentrasi obat di
tempat kerjanya yaitu di vakuola makanan parasit. Resistensi P. vivax
terhadap klorokuin juga muncul di berbagai bagian di dunia.
Secara oral, klorokuin diabsorpsi sempurna, terdistribusi luas ke berbagai
jaringan dan terkonsentrasi di eritrosit yang terparasitisasi. Pada malaria
falciparum parah, klorokuin kadang diberi secara intramuskular atau
subkutan dalam dosis kecil atau melalui infus intravena secara lambat.
Klorokuin dilepaskan secara lambat dari jaringan dan dimetabolisme di
hati, dieksresi 70% dalam bentuk tidak berubah dan 30% dalam bentuk
metabolit di urin. Eliminasinya lambat, waktu paro 50 jam dan residunya
dapat berada selama beberapa minggu atau bulan.

Efek Samping Dan Toksisitas

Jika diberikan sebagai kemoprofilaksis, efek samping klorokuin


sedikit. Efek samping yang kadang-kadang muncul pada dosis besar ketika
digunakan untuk pengobatan klinik malaria meliputi mual dan muntah,
pusing dan penglihatan kabur, sakit kepala dan symptom urtikaria. Kadang-
kadang pada dosis besar timbul retinopati. Injeksi intravena bolus klorokuin
dapat menyebabkan hipotensi dan jika menggunakan dosis tinggi dapat
terjadi disrithmia fatal. Klorokuin aman untuk wanita hamil.
Klorokuin mempunyai margin keamanan yang rendah dan sangat berbahaya
jika overdosis. Klorokuin dosis besar digunakan untuk mengobati
rheumatoid arthritis daripada untuk malaria, dengan demikian efek samping
klorokuin lebih sering terjadi pada penderita arthritis. Secara umum
klorokuin mudah ditolerir. Klorokuin mempunyai rasa yang tidak enak dan
dapat menimbulkan pruritus yang dapat berakibat parah pada orang kulit
hitam. Efek samping yang kurang umum meliputi sakit kepala, berbagai
erupsi kulit, dan gangguan saluran cerna seperti mual, muntah, dan diare.
Toksisitas terhadap susunan saraf pusat yang jarang terjadi meliputi
konvulsi dan gangguan mental. Penggunaan kronik (>5 tahun terus menerus
untuk profilaksis) dapat berakibat kerusakan mata seperti keratopati dan
retinopati. Efek samping tidak umum lainnya meliputi myopati,
berkurangnya pendengaran, fotosensitivitas dan rambut rontok. Gangguan
darah seperti anemia aplastik sangat jarang terjadi. Overdosis akut sangat
berbahaya dan kematian dapat terjadi dalam waktu beberapa jam. Penderita
yang mengalami pusing dan merasa ngantuk disertai gangguan saluran cerna
dan sakit kepala dapat secara tiba-tiba mengalami gangguan penglihatan,
konvulsi, hipokalemia, hipotensi dan kardiak aritmia. Pada kondisi ini, tidak
ada pengobatan khusus, walaupun pemberian kombinasi diazepam dan
epinefrin bermanfaat.

Interaksi Obat

 halofantrin dan obat lain yang memperpanjang interval QT, secara teoritis
dapat meningkatkan risiko aritmia.
 meflokuin, dapat meningkatkan risiko konvulsi,
 antasida, absorpsi klorokuin menurun
 simetidin, menurunkan metabolisme dan bersihan klorokuin
 metronidazol, meningkatkan risiko reaksi dystonik akut
 ampisilin dan prazikuantel, mengurangi ketersediaan hayati kedua obat
tersebut
 thyroksin, menurunkan efek terapeutik thyroksin
 antagonistik terhadap efek antiepileptik karbamazepin dan natrium
valproat
 siklosporin, meningkatkan konsentrasi plasma siklosporin.
b. Amodiakuin

Amodiakuin adalah 4-aminokuinolin basa dengan model kerja serupa


dengan klorokuin. Amodiakuin efektif terhadap P. falciparum resisten
klorokuin, sekalipun bereaksi silang dengan klorokuin.

Efek Samping Dan Toksisitas

Efek samping amodiakuin serupa dengan efek samping klorokuin.


Pruritus akibat amodiakuin lebih sedikit daripada akibat klorokuin, tetapi
risiko agranulositosis lebih tinggi, dan risiko hepatitis lebih rendah jika
digunakan untuk profilaksis. Dosis besar amodiakuin menyebabkan sinkope,
spastisitas, konvulsi dan pergerakan-pergerakan tidak sadar.

c. Antifolat

Antifolat diklasifikasi atas antifolat 1 dan 2. Antifolat tipe 1


meliputi sulfonamida dan sulfon, menghambat sintesis folat dengan cara
kompetisi dengan PABA, antifolat tipe 2 meliputi pyrimethamin dan
proguanil, mencegah penggunaan folat dengan cara menghambat konversi
dihidrofolat menjadi tetrafolat oleh dihydrofolat reduktase. Kombinasi
antagonis folat (tipe 2) dengan penghambat sintesis folat (tipe 1)
menyebabkan serangkaian blokade, yang bekerja pada jalur yang sama
tetapi pada tahap berbeda, dan merupakan kombinasi yang sinergis.

Sulfonamida utama yang digunakan untuk malaria adalah


sulfadoxin dan dari kelompok sulfon hanya dapson. Sulfonamida dan
sulfon aktif terhadap bentuk eritrositik P. falcipanum dan kurang aktif
terhadap P. vivax; tidak aktif terhadap hipnozoit atau sporozoit.
Pyrimethamin-sulfadoxin telah digunakan secara luas untuk malaria yang
resisten terhadap klorokuin tetapi resisten terhadap kombinasi ini juga
telah berkembang.

d. Sulfadoksin

Sulfadoksin adalah sulfonamida yang tereliminasi secara lambat


dan sangat sukar larut dalam air. Struktur sulfonamida analog dengan
antagonist kompetitif asam p-aminobenzoat. Kedua obat tersebut
merupakan inhibitor kompetitif dihidropteroat sinthase, enzim bakteri
yang bertanggungjawab untuk inkorporasi asam p-aminobenzoat dalam
sintesis asam folat.

Efek Samping Dan Toksisitas

Sulfadoksin menimbulkan efek samping seperti halnya


sulfonamida, dan reaksi alergi yang ditimbulkan lebih parah karena
eliminasinya yang lambat. Mual, muntah, anoreksia dan diare dapat
terjadi. Kristaluria yang menyebabkan nyeri lumbar, hematuria dan
oligouria jarang terjadi dibandingkan sulfonamida yang eliminasinya cepat
terjadi. Reaksi hipersensitivitas akibat penggunaan sulfadoksin dapat
mempengaruhi berbagai organ sistem. Manifestasi kutaneus dapat lebih
parah dan meliputi pruritus, reaksi fotosensitivitas, dermatitis exfoliatif,
erithema nodosum, epidermal necrolisis toksik, dan sindrom Stephen
Jonhson. Pengobatan dengan sulfadoksin harus dihentikan jika timbul
ruam yang memberi indikasi risiko reaksi alergi parah. Hipersensitivitas
terhadap sulfadoksin dapat juga menyebabkan nefritis interstisial, nyeri
lumbar, hematuria dan oliguria. Hal ini akibat terbentuknya kristal di urin
yang dapat dihindarkan dengan minum banyak air agar urinasi banyak.
Alkalinisasi urin juga akan meningkatkan kelarutan kristal. Gangguan
darah yang pernah dilaporkan meliputi agranulositosis, anemia aplastik,
thrombositopenia, leukopenia, dan hipoprothrombinemia. Anemia
hemolitik akut merupakan komplikasi yang jarang terjadi, baik yang
dimediasi oleh antibodi atau karena defisiensi glukosa 6-fosfat
dehidrogenase. Efek samping lainnya merupakan manifestasi reaksi
hipersensitivitas yang meliputi demam, nefritis interstisial, sindrom
menyerupai penyakit serum, hepatitis, myokarditis, pulmonari eosinofilia,
alveolitis fibrosing, neuropati periferal dan vaskulitis sistemik termasuk
poliarthritis nodosa. Efek samping lainnya meliputi hipoglikemia, jaundis
pada neonatus, meningitis aseptis, rasa ngantuk, letih, sakit kepala, ataksia,
pusing, ngantuk, konvulsi, neuropati, psikosis dan kolitis pseudomembran.

e. Pyrimethamin

Pyrimethamin adalah suatu diaminopyrimidin yang digunakan


dalam kombinasi dengan sulfonamida, biasanya sulfadoksin atau dapson.
Pyrimethamin bekerja terhadap parasit bentuk erithrositik dengan cara
menghambat dihidrofolat reduktase plasmodial, memblok secara tidak
langsung sintesis asam nukleat parasit malaria. Pyrimethamin adalah
skhizontosida kerja lambat dan diduga aktif terhadap bentuk pre-
erithrositik parasit malaria dan menghambat perkembangan sporozoit di
vektor nyamuk. Pyrimethamin efektif terhadap ke empat spesies
plasmodium, walaupun resistensi cepat berkembang. Pyrimethamin
digunakan hanya dalam kombinasi dengan dapson atau sulfonamida.
Pyrimethamin mempunyai afinitas yang lebih besar terhadap enzim
plasmodial daripada terhadap enzim manusia. Pyrimethamin diberikan
secara oral dan terabsorpsi baik walaupun lambat. Waktu paro
pyrimethamin 4 hari dan konsentrasi plasma efektif supresif dapat berakhir
14 hari. Pyrimethamin digunakan 1 kali seminggu.

Efek Samping Dan Toksisitas

Secara umum pyrimethamin mudah ditolerir. Pemberian jangka


panjang dapat menyebabkan penurunan hematopoiesis akibat efeknya
terhadap metabolisme asam folat. Ruam kulit dan reaksi hipersensitivitas
juga terjadi. Dosis lebih besar menyebabkan atrofik glositis, nyeri
abdominal dan muntah, anemia megaloblastik, leukopenia,
thrombositopenia dan pansitopenia, sakit kepala dan pusing. Overdosis
akut pyrimethamin menyebabkan gangguan saluran cerna dan stimulasi
susunan saraf pusat dengan efek muntah, eksitabilitas dan konvulsi yang
diikuti dengan takhikardia, depresi respirasi, kolaps sirkulasi dan
kematian.

Dosis kombinasi pyrimethamin-dapson yang lebih besar dapat


menimbulkan reaksi-reaksi yang serius seperti anemia hemolitik,
agranulositosis dan alveolitis eosinofilik. Kombinasi ini dapat
menimbulkan reaksi-reaksi kulit, diskrasia darah dan alergi alveolitis.
Kombinasi ini sudah tidak dianjurkan lagi untuk khemoprofilaksis. Pada
dosis tinggi, pyrimethamin dapat menghambat dihidrofolat reduktase
mamalia dan menimbulkan anemia megaloblastik; suplemen asam folat
harus diberikan jika obat ini digunakan untuk wanita hamil. Resistensi
terhadap antifolat terjadi akibat mutasi tunggal protein pada gen yang
mengkode dihidrofolat reduktase parasit.

Interaksi Obat

Pemberian pyrimethamin dengan antagonist folat seperti


kotrimoksazol, trimethoprim, methotrexat atau fenitoin dapat
memperparah depresi sumsum tulang. Pemberian bersama benzodiazepin
berisiko hepatotoksik.

f. Proguanil

Proguanil adalah biguanida yang dimetabolisme dalam tubuh oleh


enzim sitokrom P450 polimorfik CYP2C19 membentuk metabolit aktif
sikloguanil yang diekskresi terutama ke dalam urin. Sekitar 3% Kaukasia
dan Afrika, 20% Oriental termasuk poor metabolizer dengan demikian
biotransformasi proguanil menjadi sikloguanil pada populasi tersebut
berkurang. Sikloguanil menghambat dihidrofolat reduktase plasmodial.
Proguanil mempunyai aktivitas antimalaria intrinksik yang lebih lemah
dari metabolitnya. Proguanil termasuk skhizontosida darah kerja lambat
dan diduga aktif terhadap bentuk pre-erithrositik tetapi tidak berkhasiat
terhadap hipnozoit P.vivax. Proguanil juga mempunyai aktivitas
sporontosida, membuat gametosit tidak infektif terhadap vektor nyamuk.
Proguanil diberikan dalam bentuk garam dalam kombinasi dengan
atovakuon. Obat ini tidak digunakan dalam bentuk tunggal karena
resistensi terhadap proguanil berkembang sangat cepat. Waktu paro
proguanil 16 jam. Proguanil harus digunakan setiap hari.

Efek Samping Dan Toksisitas

Pada dosis terapi, dapat terjadi gangguan ringan pada saluran


cerna, diare, ulserasi dan kerontokan rambut. Perubahan hematologikal
(anemia megaloblastik dan pansitopenia) terjadi pada penderita gagal
ginjal parah. Overdosis proguanil dapat menimbulkan ketidaknyamanan
epigastrik, muntah dan hematuria. Penggunaan proguanil harus hati-hati
pada penderita gangguan ginjal dan dosis harus dikurangi sesuai dengan
tingkat keparahan ginjal.

Interaksi Obat

Interaksi dapat terjadi jika proguanil diberikan bersama warfarin.


Absorpsi proguanil menurun jika diberikan bersama magnesium trisilikat.

g. Klorproguanil

Klorproguanil adalah biguanida dan diberikan dalam bentuk garam


hidroklorida. Kerja dan sifatnya serupa dengan proguanil. Tersedia dalam
bentuk kombinasi dengan sulfon seperti dapson.

Efek Samping Dan Toskisitas


Seperti proguanil

Interaksi Obat

Seperti proguanil

h. Dapson

Dapson adalah sulfon yang digunakan secara luas untuk mengobati


lepra, dan kadang-kadang digunakan untuk pengobatan atau pencegahan
pneumonia Pneumocystis carinii, dan untuk pengobatan toksoplasmosis,
leishmania kutan, aktinomisetoma dan dermatitis herpetiformis. Untuk
malaria, dapson diberikan dalam kombinasi dengan antimalaria lain.
Dapson menghambat dihidropteroat sinthase plasmodial.

Dapson diabsorpsi sempurna dari saluran cerna, konsentrasi plasma


puncak terjadi 2-8 jam setelah pemberian oral. Sekitar 50-80 % dapson
terikat protein plasma, metabolit utamanya adalah monoasetildapson.
Dapson mengalami siklus enterohepatik. Terdistribusi luas dalam jaringan
tubuh termasuk air susu dan saliva. Waktu paro eliminasinya 10-50 jam.
Dapson dimetabolisme dengan cara asetilasi. Dapson juga mengalami
metabolisme dengan cara hidroksilasi membentuk dapson hidroksilamin,
yang bertanggungjawab atas methemoglobinemia dan hemolisis yang
berkaitan dengan dapson. Dapson diekskresi terutama ke dalam urin dan
hanya 20% dalam bentuk tidak berubah.

Efek Samping Dan Toskisitas

Beragam tingkat hemolisis dan methemoglobinemia terjadi pada


penderita yang menggunakan dapson lebih dari 200 mg setiap hari.
Sampai 100 mg setiap hari tidak menimbulkan hemolisis yang bermakna,
tetapi pada penderita defisiensi G6PD, dosis 50 mg per hari sudah
menimbulkan efek samping tersebut. Anemia hemolitik juga terjadi
setelah minum dapson dalam air susu ibu. Agranulositosis muncul setelah
pemberian dapson dan pyrimethamin bersama untuk profilaksis malaria
terutama jika digunakan seminggu 2x. Anemia aplastik juga terjadi. Ruam,
termasuk pruritus dapat terjadi, tetapi reaksi hipersensitivitas kulit jarang
terjadi. “Sindrom dapson” terdiri dari ruam, jaundis dan eosinofilia terjadi
pada beberapa orang yang menggunakan dapson sebagai profilaksis, dan
terutama terjadi pada penderita leprosi pada pengobatan jangka panjang.
Efek samping yang jarang terjadi meliputi anoreksia, mual, muntah, sakit
kepala, hepatitis, hipoalbuminemia dan psikosis.

Interaksi Obat

Penggunaan bersama probenesid, trimethoprim dan amprenovir


meningkatkan risiko toksisitas dapson. Kadar dapson dalam darah
berkurang dengan rifampisin.

i. Meflokuin

Serupa dengan kuinin, meflokuin adalah 4-aminokuinolin yang


aktif sebagai skizontosida darah terhadap ke empat spesies plasmodium
yang menginfeksi manusia, tetapi tidak berefek terhadap bentuk hepatik.
Oleh karena itu, untuk pengobatan infeksi P. vivax harus diikuti dengan
primakuin untuk mengeliminasi hipnozoit. Kadangkala meflokuin
dikombinasi penggunaannya dengan pyrimethamin. Meflokuin larut dalam
alkohol tetapi sukar larut dalam air dan harus disimpan terlindung dari
cahaya.

Meflokuin bekerja dengan cara menghambat polymerase haem,


akan tetapi karena meflokuin, seperti kuinin, tidak terkonsentrasi banyak
dalam parasit seperti halnya klorokuin, diduga meflokuin bekerja dengan
mekanisme lain. Resistensi P. falcipanum terhadap meflokuin terjadi di
beberapa daerah terutama di Asia Tenggara dan diperkirakan seperti
kuinin terjadi melalui meningkatnya ekspresi P-glikoprotein.
Pemberian oral, meflokuin cepat diserap. Onset kerjanya lambat
dan waktu paruh di plasma lama (sampai 30 hari) akibat siklus
enterohepatik atau penyimpanannya di jaringan.

Efek Samping Dan Toksisitas

Efek samping yang paling sering adalah mual, muntah, nyeri


abdominal, anoreksia, diare, sakit kepala, pusing, hilang keseimbangan,
disforia, gangguan tidur terutama insomnia dan mimpi abnormal.
Gangguan neuropsikiatrik (kejang, ensefalopati, psikosis) terjadi pada 1
dari 10.000 orang yang diberi profilaksis dengan meflokuin, 1 dari 1000
penderita di Asia, 1 dari 200 penderita di Afrika, dan 1 dari 20 penderita
malaria parah. Efek samping yang jarang terjadi meliputi ruam kulit,
pruritus dan urtikaria, rambut rontok, kelemahan otot, gangguan fungsi
hati, dan yang sangat jarang terjadi adalah thrombosiopenia dan
leukopenia. Efek terhadap kardiovaskular meliputi hipotensi postural,
bradikardia, sedikit perubahan pada elektrokardiogram dan jarang
menimbulkan hipertensi, takhikardia atau palpitasi. Overdosis meflokuin
jarang berakibat fatal meskipun ada simptom jantung, hati dan saraf.
Sekitar 50% penderita malaria akut yang diberi meflokuin mengeluh
gangguan gastrointestinal. Toksisitas terhadap susuan saraf pusat meliputi
pusing, bingung, disforia dan insomnia, terhadap jantung berupa gangguan
konduksi antrioventrikular dan jarang terjadi gangguan pada kulit.
Meflokuin jarang menimbulkan reaksi neuropsikiatrik parah. Meflokuin
dikontraindikasi untuk wanita hamil dan wanita yang akan hamil dalam
waktu 3 bulan setelah menghentikan obat tersebut, karena keberadaanya
yang lama dalam tubuh dan kemungkinan sifat teratogenisitasnya.
Pada penggunaan meflokuin sebagai khemoprofilaksis, efek yang tidak
diinginkan biasanya lebih ringan, tetapi meflokuin tidak dianjurkan untuk
tujuan ini sekalipun terjadi malaria yang berisiko tinggi resistensi terhadap
klorokuin.
Interaksi Obat

Pemberian meflokuin bersama

j. Artemisinin

Artemisinin yang dikenal dengan qinghaosu, adalah suatu


seskuiterpen lakton yang diperoleh dari daun Artemisia annua. Di Cina
artemisinin digunakan sebagai penurun demam sejak beribu tahun lalu.
Artemisinin adalah skhizontosida darah kerja cepat dan aktif terhadap
semua spesies plasmodium termasuk yang resistensi terhadap klorokuin dan
digunakan untuk mengobati malaria akut dan malaria serebral. Artemisinin
tidak larut dalam air. Artemisinin mempunyai aktivitas terhadap bentuk
aseksual, membunuh semua stadium dari cincin muda sampai skhizon.
Terhadap P. falciparum, artemisinin juga membunuh gametosit yang secara
umum hanya sensitif terhadap primakuin. Dihidroartemisinin, artemether,
artemotil, dan artesunat adalah turunan artemisinin yang lebih poten dari
artemisinin dan absorpsinya juga lebih baik. Ketiga derivat artemisinin
(artemeter, artesunat dan artemotil), secara in vivo diubah kembali menjadi
dihidroartemisinin. Obat-obat ini harus diberikan dalam kombinasi untuk
mencegah timbulnya resistensi. Senyawa-senyawa ini tidak mempunyai
efek pada hipnozoit di hati dan tidak bermanfaat untuk khemoprofilaksis.
Senyawa-senyawa ini terkonsentrasi di erithrosit terparasitisasi. Mekanisme
kerja artemisin dan turunannya belum diketahui, tetapi diduga merusak
membran parasit melalui pembentukan radikal bebas atom karbon pusat
(dibentuk oleh pemecahan protoporfirin IX ) atau melalui alkilasi protein-
protein secara kovalen. Artemisinin dan turunannya menghambat kalsium
adenosin trifosfatase (PfATPase) yang esensial.

Artemisinin dan derivatnya efektif terhadap P. falcipanum resisten


multi-obat di sub-saharan Afrika dan kombinasinya dengan meflokuin
efektif terhadap P. falcipanum resisten multi obat di Asia. Saat ini data
preklinis dan klinis belum memadai untuk membuat aturan yang
memuaskan tentang penggunaan qinghaosu di banyak negara.
Artemisinin dapat diberikan secara oral, intramuskular atau dalam bentuk
supositoria; artemether diberikan secara oral atau intramuskular, dan
artesunat secara intramuskular atau intravena. Obat-obat ini mudah
diabsorpsi dan terdistribusi luas, di dalam tubuh diubah di hati menjadi
metabolit aktif - dihidroatemisinin. Konsentrasi puncak dalam plasma
dicapai dalam waktu 3 jam (oral) dan 11 jam (supositori). Artemisinin
diubah menjadi metabolit tidak aktif oleh enzim sitokhrom P450 CYP2B6
dan enzim lainnya. Artemisinin adalah induser potensial untuk dirinya
sendiri. Waktu paro artemisinin kira-kira 4 jam, artesunat 45 menit, dan
artemether 4-11 jam.

Efek Samping Dan Toksisitas

Artemisinin dan turunannya aman digunakan dan dapat ditolerir


dengan baik. Efek samping yang pernah ditemukan meliputi gangguan
ringan pada saluran cerna, pusing, tinitus, retikulositopenia, neutropenia,
meningkatnya aktivitas enzim hati, abnormalitas elektrokardiograf yang
meliputi bradikardia dan perpanjangan interval QT, walaupun kebanyakan
studi tidak menemukan abnormalitas elektrokardiograf di manusia. Satu-
satunya efek samping yang parah adalah reaksi hipersentivitas tipe 1 yang
ditemukan pada 1 dari 3000 penderita. Toksisitas pada saraf ditemukan pada
hewan percobaan, terutama pada dosis intramuskular artemotil dan
artemether yang sangat tinggi, tetapi belum ada data efek tersebut pada
manusia.

Kematian embrio dan abnormalitas morfologi pada kehamilan dini,


juga ditemukan pada hewan. Efek artemisinin pada trimester pertama
kehamilan, belum dipelajari, dengan demikian harus dihindari
penggunaannya pada trimester pertama pada penderita malaria yang tidak
mengalami komplikasi sampai diperoleh informasi lebih lanjut.
Pada dosis terapi dapat terjadi blok jantung sementara/ringan, penurunan
jumlah neutrofil, dan demam singkat. Pada hewan, artemisinin
menyebabkan injuri inti batang otak, terutama yang terlibat pada fungsi
auditori. Akan tetapi, belum ada laporan neorotoksisitas pada manusia.
Sampai saat ini juga tidak ada data resistensi plasmodium terhadap
artemisin.

Interaksi Obat

Belum ada data. Studi pada rodent menemukan artemisinin


mempotensiasi efek meflokuin, primakuin, dan tetrasiklin, aditif dengan
klorokuin dan antagonis terhadap sulfonamida dan antagonis folat. Oleh
karena itu, derivat artemisinin sering dikombinasi penggunaannya dengan
antimalaria lain.

k. Artemether

Artemeter adalah metileter dari dihidroartemisinin. Artemeter lebih


mudah larut dalam minyak daripada artemisinin atau artsunat. Artemeter
dapat diberikan secara intramuskular dalam basis minyak atau secara oral.
Artemeter diformulasi bersama lumefantrin untuk terapi kombinasi.

Efek Samping Dan Toskisitas

Pada semua spesies hewan percobaan yang diberi artemotil dan


artemether secara intramuskular, terjadi pola kerusakan saraf yang tidak
umum di batang otak. Neurotoksisitas artemether pada hewan percobaan
berkaitan dengan konsentrasi dalam darah. Secara klinis, pada dosis
terapeutik, tidak ditemukan efek-efek seperti pada hewan coba.
Toksisitasnya serupa dengan toksisitas artemisinin.

Interaksi Obat.

Belum ada data.


l. Artesunat

Artesunat adalah garam natrium hemisuksinat ester artemisinin.


Artesunat larut dalam air tetapi tidak stabil dalam bentuk larutan pada pH
netral atau asam. Dalam bentuk injeksi, dengan adanya natrium
bikarbonat, asam artesunat segera membentuk natrium artesunat sebelum
disuntikan. Artesunat dapat diberikan secara oral, intramuskular atau
intravena dan melalui rektal

Efek Samping Dan Toskisitas.


Seperti artemisinin
Interaksi Obat.
Belum ada data.

m. Dihidroartemisinin
Dihidroartemisinin adalah metabolit aktif utama derivat
artemisinin, tetapi dihidroartemisinin dapat juga diberikan langsung secara
oral atau melalui rektal. Dihidroartemisinin relatif tidak larut dalam air dan
membutuhkan bahan tambahan lain untuk menjamin absorpsinya.
Efektifitas pengobatannya sebanding dengan artesunat oral. Saat ini,
kombinasi fixed-dose dihidroartemisinin dengan piperakuin sedang
dievaluasi sebagai kombinasi berbasis artemisinin (ACT) baru yang
”menjanjikan”.
Efek Samping Dan Toskisitas.
Seperti artemisinin
Interaksi Obat.
Belum ada data.

n. Artemotil
Awalnya artemotil dikenal sebagai arteeter. Artemotil adalah etil
eter artemisinin, yang seperti artemeter, telah digunakan secara luas.
Artemotil diformulasi berbasis minyak dan tidak larut dalam air. Artemotil
diberikan hanya secara intramuskular saja.
Efek Samping Dan Toskisitas.
Seperti artemisinin
Interaksi Obat.
Belum ada data.

o. Lumefantrin (Benflumetol)
Seperti kuinin, meflokuin dan halofantrin, lumefantrin adalah
antimalaria kelompok arilaminoalkohol. Mekanisme kerja obat-obat ini
juga serupa. Lumefantrin adalah derivat rasemik fluorin yang
dikembangkan di Cina. Obat ini hanya tersedia untuk pemberian secara
oral yang dikoformulasi dengan artemeter. ACT ini sangat efektif terhadap
P. falciparum yang resisten multi obat.
Efek Samping Dan Toskisitas. Walaupun struktur dan
farmakokinetiknya serupa dengan halofantrin, lumefantrin tidak
memperpanjang interval QT secara signifikan, demikian juga dengan
toksisitas lainnya. Secara umum lumefantrin mudah ditolerir. Efek
samping yang umum terjadi meliputi mual, rasa tidak enak pada
abdominal, sakit kepala dan pusing, yang sulit dibedakan dari simptom
malaria akut.
Interaksi Obat. Menurut produsen, kombinasi artemeter-
lumefantrin tidak boleh diminum dengan jus grapefruit. Kombinasi ini
juga tidak boleh digunakan bersama dengan antiaritmia seperti amiodaron,
disopyramida, flekainida, prokainamida, dan kuinidin; antibakteri seperti
makrolida dan kuinolon; semua antidepresan; antifungi seperti imidazol
dan triazol; terfenadin, antimalaria lainnya; semua obat antipsikotik, dan
beta bloker seperti metoprolol dan sotalol. Walaupun bahaya penggunaan
bersama obat-obat ini belum ada data.

p. Primakuin
Primakuin adalah satu-satunya 8-aminokuinolin yang
direkomendasi untuk malaria saat ini. Etakuin dan tafenakuin adalah
analog primakuin yang aktif dan dimetabolisme lambat yang saat ini
sedang dalam uji klinis. Mekanisme kerjanya belum diketahui. Aksi
antimalaria kedua obat tersebut terutama pada hipnozoit di hati dan dapat
digunakan untuk pengobatan radikal khususnya untuk parasit yang
mempunyai bentuk dorman di hati yaitu P. vivax dan P. Ovale. Primakuin
efektif terhadap bentuk intrahepatik semua spesies plasmodium yang
menginfeksi manusia. Primakuin digunakan untuk pengobatan radikal
malaria yang disebabkan oleh P. vivax, dan P. ovale dan dikombinasi
dengan skhizontosida darah untuk membasmi parasit pada stadium
erithrositik. Primakuin juga bersifat gametosidal terhadap P. falciparum
dan mempunyai aktivitas yang sangat bermakna terhadap stadium
erithrosit P. vivax dan terhadap bentuk aseksual P. falciparum.
Primakuin tidak berefek terhadap sporozoit tetapi mempunyai
sedikit efek terhadap bentuk erithrositik. Akan tetapi primakuin
mempunyai efek gametosidal dan merupakan antimalaria paling efektif
untuk mencegah transmisi penyakit malaria oleh ke-4 spesies. Resistensi
terhadap primakuin jarang terjadi, walaupun berkurangnya sensitivitas P.
vivax terhadap primakuin telah dilaporkan.
Primakuin diberikan secara oral dan diabsorpsi baik dari saluran
cerna. Metabolismenya terjadi cepat dan sangat sedikit obat yang
tertinggal dalam tubuh setelah 10-12 jam. Waktu paronya 3-6 jam.
Tafenokuin terurai lebih lambat sehingga menguntungkan dan dapat
diberikan per minggu.
Efek Samping Dan Toksisitas
Sedikit efek samping yang muncul pada penggunaan primakuin
dosis terapi. Simptom saluran cerna berkaitan dengan dosis dan pada dosis
besar dapat menyebabkan mual dan muntah, methemoglobinemia dengan
sianois.
Pada penderita defisiensi glukosa-6-fosfat dehydrogenase,
primakuin menyebabkan hemolisis. Pada penderita tersebut erithrosit tidak
mampu meregenerasi NADPH, dan konsentrasinya berkurang oleh
metabolit oksidan turunan primakuin. Konsekuensinya, fungsi metabolik
erithrosit terganggu dan terjadilah hemolisis. Metabolit primakuin lebih
berefek hemolitik daripada senyawa asalnya (primakuin). Defisiensi enzim
tersebut terjadi pada 15% laki-laki kulit hitam dan sangat umum terjadi
pada etnis tertentu. Aktivitas glukosa 6-fosfat dehidrogenase harus
ditentukan sebelum penderita tersebut diberi primakuin.
Pada dosis terapi primakuin menyebabkan nyeri abdominal jika
diberikan dalam keadaan lambung kosong. Efek samping lain meliputi
anemia dan leukositosis ringan. Overdosis dapat menimbulkan leukopenia,
agranulositosis, simptom saluran cerna, anemia hemolitik dan
methemoglobinemia dengan sianosis.
Interaksi Obat.
Hindari penggunaan primakuin bersama obat-obat yang dapat
meningkatkan risiko hemolisis atau yang mensupresi sumsum tulang.

q. Atovakuon
Atovakuon adalah antiparasit hidroksinaftokuinon yang aktif
terhadap semua spesies plasmodium yang menginfeksi manusia. Obat ini
juga menghambat perkembangan tahap pre-erithrositik di hati, dan
perkembangan oosist di tubuh nyamuk. Atovakuon menghambat transpor
elektron di mitokhodria parasit, kemungkinan dengan cara menyerupai
substrat alami ubikuinon. Atovakuon sering dikombinasi dengan proguanil
karena bersifat sinergis. Ketika dikombinasi dengan proguanil, atovakuon
sangat efektif dan dapat ditolerir dengan baik.
Resistensi terhadap atovakuon berkembang cepat dan terjadi akibat
mutasi tunggal pada gen untuk sitokrom b. Namun resistensi terhadap
kombinasi Atovakuon + proguanil jarang terjadi.
Efek Samping Dan Toskisitas.
Secara umum atovakuon sangat mudah ditolerir. Sedikit efek
samping yang muncul pada penggunaan kombinasi atovakuon-proguanil,
yang dapat berupa nyeri abdominal, mual dan muntah, ruam kulit, sakit
kepala, demam, insomnia, diare, muntah, meningkatnya aktivitas enzim
hati, hiponatremia, dan sangat jarang timbul gangguan hematologikal
seperti anemia dan neutropenia. Wanita hamil dan wanita sedang
menyusui tidak boleh menggunakan atovakuon.
Interaksi Obat
Pemberian bersama metoklopropamid, tetrasiklin dan mungkin
dengan asiklovir, obat-obat antidiare, benzodiazepin, cefalosporin, laksatif,
opioid dan parasetamol dapat mengurangi konsentrasi plasma atovakuon.
Atovakuon mengurangi metabolisme zidovudin dan kotrimoksazol. Secara
teoritis, atovakuon dapat menggantikan obat lain dari ikatannya dengan
protein plasma.
r. Kuinin
Kuinin adalah alkaloid dari kulit batang pohon kina. Kuinin
bekerja terutama pada tahap trofozoit dewasa dan tidak menghambat
perkembangan bentuk cinicin P. falciparum. Kuinin adalah skhizontosida
darah yang efektif terhadap stadium erithrositik ke empat spesies
plasmodium, tetapi tidak berefek pada stadium eksoeritrositik. Kuinin
berkhasiat membunuh bentuk seksual P. vivax, P ovale, dan P. malariae,
tetapi tidak berefek terhadap gametosit P. falciparum. Kuinin tidak berefek
pada tahap pre-erithrosit parasit malaria.
Seperti klorokuin, kuinin menghambat aktivitas polymerase haem
di vakuola makanan parasit, tetapi kuinin tidak terkonsentrasi secara besar-
besaran di plasmodium seperti klorokuin, oleh karena itu diduga kuinin
bekerja dengan mekanisme lain. Menyebarnya resistensi terhadap
klorokuin dan emergensi penyakit malaria, menjadikan kuinin sebagai
kemoterapetik utama untuk P. falcipanum.
Terhadap jaringan inang, aksi farmakologi kuinin meliputi depresi
jantung, oksitoksik ringan pada uterus wanita hamil, blok neuromuscular
junction dan mempunyai efek antipiretik lemah.
Kuinin biasanya diberikan secara oral dalam 1 siklus (7 hari),
tetapi dapat juga diberikan secara infus intravena lambat untuk infeksi P.
falcipanum parah dan untuk penderita yang muntah. Loading dose
diperlukan tetapi pemberian bolus iv adalah kontraindikasi karena risiko
disrithmia jantung. Kuinin mudah diabsorpsi melalui saluran cerna,
dimetabolisme di hati dan metabolitnya dieksresi ke dalam urin dalam
waktu 24 jam. Waktu paronya 10 jam.
Resistensi terhadap kuinin juga terjadi, dan seperti klorokuin,
resistensi terhadap kuinin terjadi akibat meningkatnya ekspresi P-
glikoprotein yang secara efektif memompa obat ke luar dari parasit.
Efek Samping Dan Toksisitas
Karena kuinin berasa pahit jika diberi oral dan bersifat iritan
terhadap mukosa lambung dapat menyebabkan mual dan muntah. Efek
samping kuinin yang dikenal dengan sinkonisme terjadi bila konsentrasi
kuinin dalam plasma > 30-60 μmol/L yang dikarakteristika dengan tinitus,
gangguan pendengaran, sakit kepala, mual, pusing dan disforia, dan
kadang-kadang gangguan penglihatan.
Manifestasi yang lebih parah berupa muntah, nyeri abdominal,
diare, dan vertigo parah. Konsentrasi kuinin yang berlebih dalam plasma
dapat menimbulkan hipotensi, disrithmia jantung, dan gangguan parah
pada saraf pusat seperti delirium dan koma.
Reaksi hipersensitivitas yang timbul akibat penggunaan kuinin
meliputi urtikaria, bronkhospasme, pemerahan kulit dan demam,
thrombositopenia dan anemia hemolitik yang diperantarai antibodi sampai
sindrom uremik-hemolitik yang membutuhkan pengobatan seumur hidup.
Blackwater fever, kondisi parah dan fatal di mana terjadi anemia
hemolitik akut yang berkaitan dengan gagal ginjal, merupakan kasus yang
jarang terjadi akibat pengobatan malaria dengan kuinin atau karena
penggunaan kuinin yang tidak tepat untuk demam.
Efek samping paling utama pada pengobatan malaria serebral dengan
kuinin adalah hipoglisemik-hipoinsulinemik yang paling utama terjadi
pada wanita hamil (50% wanita hamil tua dengan malaria serebral yang
diobati dengan kuinin). Kuinin dapat menstimulasi pelepasan insulin.
Penderita dengan parasitemia P. falciparum yang bermakna, dapat
mengalami kadar gula darah yang rendah karena alasan tersebut dan
karena glukosa dikonsumsi oleh parasit. Hal ini dapat membingungkan
diagnosis antara koma karena malaria serebral dan koma hypoglisemik
yang berespon terhadap glukosa.
Injeksi intramuskular kuinin dihidroklorida bersifat asam (pH 2)
menyebabkan nyeri dan nekrosis focal, yang pada beberapa kasus dapat
terjadi abses, dan di daerah endemik paling sering menimbulkan
kelumpuhan saraf sciatic. Hipotensi dan jantung berhenti berdenyut dapat
terjadi pada pemberian intravena yang cepat. Secara intravena kuinin harus
diberikan dalam bentuk infus dan bukan injeksi. Kuinin menyebabkan
kira-kira 10% perpanjangan interval QT terutama akibat pelebaran kurva
QRS. Efek kuinin terhadap repolarisasi ventrikel lebih lemah
dibandingkan kuinidin. Kuinin digunakan pula untuk menggugurkan
kandungan tetapi tidak ditemukan data tentang keguguran, kelahiran
prematur, atau abnormalitas pada penggunaan kuinin pada dosis terapi.
Overdosis kuinindapat menyebabkan okulotoksisitas, termasuk kebutaan
akibat toksisitas pada retinal, dan kardiotoksisitas dan bisa berakibat fatal.
Efek toksik pada jantung lebih lemah dibandingkan akibat penggunaan
kuinidin dan meliputi aritmia, angina, hipotensi yang berakhir dengan
henti jantung dan kegagalan sirkulasi. Penanganan toksisitas kuinin sangat
dianjurkan dengan perhatian utama pada pemeliharaan tekanan darah,
kadar gula darah dan fungsi ginjal, dan pengobatan aritmia.
Interaksi Obat.
Obat-obat yang memperpanjang interval QT tidak boleh digunakan
bersama kuinin. Antiaritmia seperti flekainida dan amiodaron, harus
dihindarkan jika terapi dengan kuinin. Pemberian bersama antihistamin
seperti terfenadin, obat antipsikotik seperti pimozida dan thioridazin dapat
meningkatkan risiko aritmia ventrikular. Halofantrin yang memperpanjang
interval QT secara nyata harus dihindarkan penggunaannya bersama
kuinin. Kuinin meningkatkan konsentrasi plasma digoksin. Simetidin
menghambat metabolisme kuinin, menyebabkan peningkatan kadar kuinin,
sedangkan rifampisin meningkatkan bersihan metabolik, menurunkan
konsentrasi plasma kuinin, meningkatkan kegagalan terapeutik.

s. Tetrasiklin
Tetrasiklin adalah antibiotika yang berasal dari spesies
Streptomyces, namun saat ini yang digunakan adalah hasil sintesis.
Tetrasiklin diberikan secara oral atau intravena dalam bentuk garam
hidroklorida atau fosfat yang larut air walaupun dalam bentuk injeksi
hanya stabil beberapa jam saja. Tetrasiklin adalah inhibitor ikatan
aminoasil-tRNA selama proses sintesis protein. Doksisiklin adalah
tetrasiklin sintetik dengan waktu paro lebih panjang sehingga mudah
ditentukan dosisnya.

Efek Samping Dan Toksisitas


Semua turunan tetrasiklin mempunyai efek samping yang serupa.
Efek samping yang umum terjadi meliputi gangguan saluran cerna seperti
mual, muntah, dan diare, terutama terjadi pada dosis lebih tinggi akibat
iritasi mukosa. Mulut kering, glositis, stomatitis, disfagia dan esofageal
ulserasi juga terjadi. Pertumbuhan berlebih candida dan bakteria lain juga
terjadi, terutama akibat gangguan flora normal usus akibat
ketidaksempurnaan absorpsi tetrasiklin. Efek ini lebih sedikit terjadi pada
doksisiklin karena absorpsi doksisiklin lebih baik. Pseudomembran kolitis,
hepatoksisitas dan pankreatitis juga terjadi pada penggunaan tetrasiklin.
Tetrasiklin terakumulasi di penderita gangguan ginjal dan dapat
menimbulkan gagal ginjal. Doksisiklin dipilih untuk penderita gangguan
ginjal, karena akumulasinya lebih sedikit dibandingkan tetrasiklin.
Penggunaan tetrasiklin yang sudah kadaluarsa dapat mengakibatkan
berkembangnya sindrom Fanconi yang dicirikan dengan poliuria dan
polidipsi disertai muntah, glikosuria, aminoasiduria, hipofosfatemia,
hipokalemia, dan hiperurisemia dengan asidosis dan proteinuria. Efek-efek
ini terjadi akibat adanya produk degradasi tetrasiklin terutama
anhidroepitetrasiklin. Tetrasiklin terdeposit di gigi selama pertumbuhan
gigi dan mengakibatkan perubahan warna gigi dan enamel hipoplasia.
Tetrasiklin juga terdeposit di daerah yang mengalami kalsifikasi di tulang
dan kuku dan mempengaruhi pertumbuhan tulang pada anak-anak dan
wanita hamil. Tetrasiklin juga meningkatkan tekanan intrakranial pada
bayi dan orang dewasa. Dengan demikian tetrasiklin tidak boleh
digunakan pada wanita hamil dan wanita sedang menyusui, atau pada
anak-anak usia di bawah 8 tahun.
Reaksi hipersensitivitas juga terjadi walaupun lebih jarang
dibandingkan antibiotika β-laktam. Ruam, demam, angioudem, urtikaria,
perikarditis dan asma juga terjadi. Fotosensitivitas dapat terjadi dan jarang
timbul anemia hemolitik, eosinofilia, neutropenia dan thrombositopenia.
Tetrasiklin dapat memperparah sistemik lupus erithematosus, dengan
demikian tidak boleh diberikan pada penderita tersebut.

Interaksi Obat.
Penggunaan bersama kation seperti aluminium, bisthmut, kalsium,
besi, dan magnesium dapat mengurangi absorpsi tetrasiklin. Tetrasiklin tidak
boleh diberikan bersama antasida, senyawa besi, dan produk susu.
Nefrotoksisitas diperparah bila tetrasiklin diberikan bersama diuretik,
methoksifluran atau dengan obat-obat yang diketahui toksik terhadap nefron.
Tetrasiklin juga tidak boleh digunakan bersama obat-obat yang bersifat
hepatotoksik. Tetrasiklin meningkatkan konsentrasi digoksin, lithium dan
teofilin, dan menurunkan konsentrasi plasma atovakuon dan juga efektivitas
kontraseptif oral. Tetrasiklin mengantagonis kerja penisilin, dengan demikian
kedua obat ini tidak boleh diberikan bersamaan.

t. Doksisiklin
Doksisiklin adalah turunan tetrasiklin yang digunakan seperti
tetrasiklin. Doksisiklin lebih disukai karena waktu paronya lebih panjang,
absorsinya lebih baik, mempunyai profil keamanan yang lebih baik pada
penderita gangguan ginjal, walaupun penggunaannya pada penderita tersebut
harus hati-hati. Doksisiklin relatif tidak larut air tetapi sangat larut lipid.
Doksisiklin diberikan secara oral atau intravena dan tersedia dalam bentuk
garam hidroklorida atau fosfat atau dalam bentuk kompleks dengan HCl dan
kalsium klorida.
Efek Samping Dan Toksisitas.
Efek samping doksisiklin seperti pada penggunaan tetrasiklin. Efek
samping terhadap saluran cerna lebih ringan dari tetrasiklin, walaupun ulserasi
esofageal tetap menjadi masalah bila kurang asupan air ketika minum kapsul
atau tablet doksisiklin. Doksisiklin terakumulasi sedikit pada penderita
gangguan ginjal. Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada wanita hamil atau
wanita sedang menyusui atau anak-anak usia di bawah 8 tahun.
Interaksi Obat.
Doksisiklin mempunyai afinitas yang lemah untuk berikatan dengan
kalsium dibandingkan tetrasiklin, dengan demikian dapat diberikan bersama
makanan atau susu. Akan tetapi, antasida dan besi mempengaruhi absorpsinya.
Metabolisme doksisiklin dipercepat oleh obat-obat yang menginduksi enzim
hati, seperti karbamazepin, fenitoin, fenobarbital, dan rifampisin, dan melalui
penggunaan alkohol secara kronik.
u. Klindamisin
Klindamisin adalah antibiotika linkosamid, yaitu turunan klorinasi
linkomisin. Klindamisin sangat larut air. Klindamisin menghambat tahap dini
sintesis protein dengan mekanisme yang serupa dengan kerja makrolida.
Klindamisin diberikan secara oral dalam bentuk kapsul klindamisin
hidroklorida atau larutan dalam bentuk garam palmitat hidroklorida, atau
dalam bentuk injeksi intramuskular atau intravena dalam bentuk fosfat.
Efek Samping Dan Toksisitas.
Diare terjadi pada 2-20% penderita. Kolitis pseudomembran dapat
berkembang selama atau setelah pengobatan dengan doksisiklin, yang dapat
berakibat fatal. Efek terhadap saluran cerna meliputi mual, muntah, nyeri
abdominal dan rasa tidak mengenakan pada mulut. Sekitar 10% penderita
mengalami reaksi hipersensitivitas berupa ruam kulit, urtikaria atau reaksi
anafilaksis. Efek samping lain meliputi leukopenia, agranulositosis,
eosinofilia, thrombositopenia, erithema multiform, poliarthritis, jaundis dan
kerusakan hati. Beberapa formula parenteral yang mengandung benzylalkohol
dapat menimbulkan ”gasping syndrome” pada neonatus.
Interaksi Obat.
Klindamisin dapat meningkatkan aktivitas obat-obat pemblok
neuromuskular, dengan demikian dapat terjadi depresi respirasi. Dengan
opioid, klindamisin bersifat aditif memperparah depresi respirasi. Klindamisin
mengantagonis aktivitas parasimpatomimetik.
BAB 3
PENUTUP
A. Simpulan

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :

 Malaria adalah penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh Plasmodium


yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk
aseksual di dalam darah.
 Pengobatan dapat dilakukan dengan terapi dan perawatan suportif.
Terjadinya komplikasi menyebabkan tingginya angka kesakitan dan angka
kematian.
 Pencegahan dapat dilakukan dengan mengontrol vector dan perlindungan
terhadap tubuh dari gigitan nyamuk.
 Penyakit lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.
 Obat-obat penyakit lepra bantara lain dapson, minyak kaulmogra,
rifampisin, dan talidomida
 Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular granulomatosa kronik yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.
 Obat TBC umumnya dibagi dalam obat-obat primer dan obat-obat
sekunder.
 Ada dua jalan agar penyakit TBC tidak mudah menular, yaitu tindakan
dari orang yang sehat dan tindakan dari penderita TBC itu sendiri.

B. Saran
 Memahami dengan benar penyebab penyakit Malaria, Lepra, dan TBC
 Budayakan hidup bersih dan sehat
 Memahami cara penularan, penyakit Malaria, Lepra, dan TBC untuk
meminimalisasi penyebaran penyakit tersebut.
 Mengerti cara pengobatan dan hal apa saja yang harus dilakukan jika
terkena penyakit Malaria, Lepra, dan TBC.
DAFTAR PUSTAKA

Didiet, Adiputro. 2008.“Malaria Masih Menghantui Indonesia”,


www.perspektif.net diakses tanggal. 10 September 2015.
http://www.medkes.com/2013/04/penyebab-pengobatan-
pencegahan-penyakit-tbc.html (diakses pada tanggal 13
September 2015 pukul 12.12 WIB)

Mahfudin. 2012. “Diare dan malaria penyakit terbanyak di Bengkulu”


www.bengkulu-online.com (diakses pada tanggal 13
September 2015 pukul 12.12 WIB)

Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-Obat Penting


(Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya). Jakarta:
PT. Elex Media Komputindo Kelompok Kompas-Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai