Anda di halaman 1dari 10

NAMA : ALFITO RAFIF AMANDA

NPM : 20300124
MATA KULIAH : HUKUM TATA NEGARA
KELAS :I

A. Pengertian Negara
Negara adalah organisasi kekuasaan yang berdaulat dengan tata pemerintahan yang
melaksanakan tata tertib atas orang-orang di daerah tertentu. Negara juga merupakan suatu
wilayah yang memiliki suatu sistem atau aturan yang berlaku bagi semua individu di wilayah
tersebut, dan berdiri secara independen. Kata “Negara” mempunyai dua arti.Pertama, Negara
adalah masyarakat atau wilayah yang merupakan suatu kesatuan politis.Dalam arti ini India,
Korea Selatan, atau Brazilia merupakan Negara.Kedua, Negara adalah lembaga pusat yang
menjamin kesatuan politis itu, yang menata dan dengan demikian menguasai wilayah
itu.sementara itu dalam ilmu politik, istilah “Negara” adalah agency (alat) dari masyarakat yang
mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat dan
menerbitkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.

Para sarjana yang menekankan Negara sebagai inti dari politik (politics), memusatkan
perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan serta bentuk formalnya.Definisi-definisi ini
bersifat tradisional dan agak sempit ruang lingkupnya.Pendekatan ini dinamakan pendekatan
Institusional (Institusional approach). Berikut iini ada beberapa definisi:

Roger F. Soltau misalnya, dalam bukunya Introduction to Politics mengtakan:“ ilmu politik
mempelajari Negara, tujuan Negaranegara dan lembaga-lembaga yang akan melaksanakan
tujuan-tujuan itu, hubungan antara Negara dan warganya serta hubungan antar Negara
“(Political Science is the study of the state, its aim and purposes the institutions by which these
are going to be realized, its relations with its individual members, and other state).

Menurut F. Isjwara dikutip Dari buku Ni‟matul Huda dalam buku ”Ilmu Negara” Istilah Negara
diterjemahkan dari kata-kata asing Staat (bahasa Belanda dan Jerman); State (bahasa Inggris);
Etat (bahasa Prancis). Istilah Staat mempunyai sejarah sendiri.Istilah itu mula-mula
dipergunakan dalam abad ke-15 di Eropa Barat.Anggapan umum yang diterima bahwa kata
staat (state, etat) itu dialihkandari kata bahasa Latin status atau statum. Secara etimologis kata
statusdi dalam bahasa latin klasik adalah suatu isltilah abstrak yang menunjukan keadaan yang
tegak dan tetap, atau sesuatu yang memiliki sifat-sifat yang tegak dan tetap.

Bentuk Negara adalah merupakan batas antara peninjauan secara sosiologis dan
peninjauan secara yuridis mengenai Negara.Peninjauan secara sosiologis yaitu apabila Negara
dilihat secara keseluruhan tanpa melihat isinya dan sebagainya.Disebut peninjauan secara
yuridis yaitu apabila Negara hanya dilihat dari isinya atau strukturnya.
Apabila ditinjau dari susunannya, bentuk Negara dapat dibedakan dalam tiga macam,
yaitu :
1) Negara Kesatuan,Negara kesatuan adalah Negara yang tidak tersusun dari pada beberapa
Negara, seperti halnya dalam Negara federasi, melainkan Negara itu sifatnya tunggal, artinya
hanya ada satu Negara, tidak ada Negara dalam Negara. Jdi dengan demikian, di dalam Negara
kesatuan itu juga hanya ada satu pemerintahan, yaitu pemerintahan pusat yang mempunyai
kekuasaan atau wewenang tertinggi dalam segala lapangan pemerintahan.Pemerintahan pusat
inilah yang pada tingkat terakhir dan tertinggi dapat memutuskan segala sesuatu dalam Negara
tersebut.”

2) Negara Federal,Negara federal, dilihat dari asal-usulnya, kata “federal” berasal dari bahasa
Latin, feodus, yang artinya liga.liga Negaranegara kota yang otonom pada zaman Yunani kuno
dapat dipandang sebagai Negara federal yang mula-mula. Sifat dasar Negara federal adalah
adanya pembagian kekuasaan antara pemerintah federal dengan unit federal. Adapun cirri
Negara federal ialah bahwa ia mencoba menyesuaikan dua konsep yang sebenarnya
bertentangan, yaitu kedaulatan Negara federal dalam keseluruhannya dan kedaulatan Negara
bagian. Penyelenggaraan kedaulatan keluar dari Negara-negara bagian di serahkan sepenuhnya
kepada pemerintah federal, sedangkan kedaulatan ke dalam dibatasi.

3) Negara konfederasi Di dalam mengartikan dan memahami bentuk Negara federal ini kadang-
kadang kita digaduhkan dengan adanya bentuk konfederasi.Untuk mencari perbedaan antara
federasi dengan konfederasi, George Jellinek mencari ukuran perbedaan itu pada sosial dimana
letak kedaulatan.Dalam konfederasi,
kedaulatan itu terletak pada masing-masing Negara anggota peserta konfederasi itu, sedangkan
pada federasi letaknyakedaulatan itu pada federasi itu sendiri dan bukan pada Negara negara.

B. Hubungan Luar Negri


Hubungan Luar Negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut aspek regional dan
internasional yang dilakukan oleh Pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-
lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga
swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia. hubungan luar negeri Indonesia berpatokan
pada kebijakan luar negeri "bebas dan aktif" dengan mencoba mengambil peran dalam berbagai
masalah regional sesuai ukuran dan lokasinya.

Dalam menjalankan kegiatan politik internasional, Indonesia melakukan cara yaitu


dengan melakukan kerjasama dengan negara yang ada di dunia, sehingga Indonesia membuat
konsep Lingkaran konsentris politik luar negeri. Lingkaran konsentris merupakan pembagian
regional hubungan luar negeri yang dianggap mampu menjadi acuan Indonesia untuk
melakukan hubungan internasional. Lingkaran konsentris juga dapat didefinisakan sebagai dua
lingkaran atau lebih yang memiliki pusat yang sama. Dua lingkaran atau lebih tersebut dapat
diartikan bahwa Indonesia dapat menjalin kerjasama dengan dua negara atau lebih agar dapat
mewujudkan kepentingan nasional bangsa Indonesia. 
Dalam menjalankan konsep lingkaran konsentris ini, merupakan strategi Indonesia untuk
dapat mewujudkan kepentingan nasional melalui menjalin kerjasama dengan negara yang ada di
dunia. Sebelum membentuk konsep lingkaran konsentris politik luar negeri, terdapat beberapa
dasar yang menjadikan Indonesia menjalin kerjasama dengan beberapa negara di dunia. Dasar
tersebut antara lain, ideologi, ekonomi, politik, dan keamanan. Dalam dasar ideologi, Indonesia
menjalin kerjasama antar negara Asia-Afrika dimana negara tersebut adalah negara yang anti
kolonialisme dan menjunjung tinggi perdamaian dunia. Keseriusan Indonesia yaitu ditunjukkan
pada saat Indonesia berada pada pimpinan Soekarno, Indonesia merupakan negara yang
melopori KAA (Konferensi Asia Afrika).

Selanjutnya, dalam dasar wilayah, Indonesia memprioritaskan kerjasama pada kawasan


negara Asia Tenggara dan membentuk organisasi yaitu ASEAN. Dan yang terakhir adalah,
dasar keamanan dan ekonomi. dalam dasar tersebut Indonesia menjalin kerjasama dengan China
dan Amerika Serikat karena dianggap dapat diandalkan untuk bekerjasama dan dapat
memberikan keuntungan bagi Indonesia dan dapat menjadikan Indonesia menjadi bangsa yang
kuat dan dapat bersaing dengan negara lain.

3. Perjanjian Internasional

Traktat atau perjanjian internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah
hukum internasional oleh beberapa pihak yang utamanya adalah negara, walaupun ada juga
perjanjian yang melibatkan organisasi internasional. Traktat merupakan salah satu sumber
hukum internasional. Traktat merupakan salah satu sumber hukum internasional. Hal-hal yang
terkait dengan perjanjian internasional diatur dalam Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian tahun 1969, dan sebagian dari isinya kini dianggap melambangkan kebiasaan
internasional sehingga menjadi norma hukum internasional yang mengikat. Pada dasarnya
praktik perjanjian internasional diatur oleh asas pacta sunt servanda, yang berarti perjanjian
tersebut mengikat semua pihak yang berjanji untuk melaksanakan kewajibannya dengan iktikad
baik.

Terdapat berbagai jenis perjanjian, seperti perjanjian bilateral yang melibatkan dua
negara dan perjanjian multilateral yang diikuti oleh lebih dari dua negara. Untuk membuat suatu
perjanjian, diperlukan proses perundingan, penerimaan, dan otentikasi naskah perjanjian.
Setelah itu negara dapat menyatakan iktikadnya untuk terikat dengan suatu perjanjian melalui
penandatanganan, ratifikasi, dan aksesi. Negara-negara juga dapat membuat pensyaratan, yaitu
pernyataan sepihak yang bertujuan meniadakan atau mengubah dampak hukum dari ketentuan
tertentu dalam suatu perjanjian, asalkan pensyaratan tersebut diperbolehkan oleh perjanjian
yang bersangkutan dan juga tidak bertentangan dengan maksud dan tujuan dari perjanjian
tersebut.

Suatu perjanjian dapat diamendemen sesuai dengan kesepakatan pihak-pihak yang


terlibat. Pihak yang ingin keluar dari sebuah perjanjian dapat melakukannya sesuai dengan
kesepakatan yang tercantum pada perjanjian tersebut. Apabila tidak ada ketentuannya sama
sekali, pengakhiran atau penarikan dari suatu perjanjian hanya dapat dilakukan jika pihak-pihak
yang terlibat dalam perjanjian tersebut sedari awal memiliki iktikad untuk menerima
kemungkinan pengakhiran atau penarikan, atau jika hak untuk melakukan hal tersebut tersirat
dalam perjanjiannya. Suatu perjanjian dapat dianggap tidak absah akibat hal-hal tertentu,
misalnya jika perjanjian tersebut dibuat dari korupsi dengan perwakilan negara lain, dengan
paksaan, atau apabila isinya melanggar jus cogens atau norma wajib yang tidak dapat
dikesampingkan dalam keadaan apapun (misalnya pelarangan perbudakan dan penyiksaan).
Status traktat dalam hukum nasional sendiri bergantung pada sistem hukum di setiap negara.

4. Dasar Hukum yang mengatur tentang Hubungan Luar Negri dan


Perjanjian Internasional.

UU 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dilandasi pemikiran bahwa


penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri memerlukan
ketentuan-ketentuan yang secara jelas mengatur segala aspek yang menyangkut sarana dan
mekanisme pelaksanaan kegiatan tersebut.

Kebijakan yang diatur dalam UU 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri diantaranya
adalah:

a. Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk
sarana dan mekanisme pelaksanaannya, koordinasi di pusat dan perwakilan, wewenang
dan pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri.
b. Ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok mengenai pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional, yang pengaturannya secara lebih rinci, termasuk kriteria
perjanjian internasional yang pengesahannya memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat, ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
c. Perlindungan kepada warga negara Indonesia, termasuk pemberian bantuan dan
penyuluhan hukum, serta pelayanan konsuler.
d. Aparatur hubungan luar negeri.

Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri disahkan Presiden
Bacharuddin Jusuf Habibie pada tanggal 14 September 1999 di Jakarta. UU 37 tahun 1999
tentang Hubungan Luar Negeri diundangkan Menteri Sekretaris Negara Muladi pada tanggal 14
September 1999 di Jakarta.

Pertimbangan Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri adalah:

a. bahwa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat,
pelaksanaan hubungan luar negeri didasarkan pada asas kesamaan derajat, saling
menghormati, saling tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, seperti yang
tersirat di dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa sesuai dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, salah satu tujuan
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
c. bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf b,
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia selama ini telah melaksanakan
hubungan luar negeri dengan berbagai negara dan organisasi regional maupun
internasional;
d. bahwa pelaksanaan kegiatan hubungan luar negeri, baik regional maupun international,
melalui forum bilateral atau multilateral, diabadikan pada kepentingan nasional
berdasarkan prinsip politik luar negeri yang bebas aktif;
e. bahwa dengan makin meningkatnya hubungan luar negeri dan agar prinsip politik luar
negeri sebagaimana dimaksud pada pertimbangan huruf d dapat tetap terjaga, maka
penyelenggaraan hubungan luar negeri perlu diatur secara menyeluruh dan terpadu dalam
suatu Undang-undang;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut huruf a, b, c, d, dan e perlu dibentuk Undang-
undang tentang Hubungan Luar Negeri.

Dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, Indonesia
terikat oleh ketentuan-ketentuan hukum dan kebiasaan internasional, yang merupakan dasar
bagi pergaulan dan hubungan antar negara. Oleh karena itu Undang-undang tentang Hubungan
Luar Negeri ini sangat penting artinya, mengingat Indonesia telah meratifikasi Konvensi Wina
1961 tentang Hubungan Diplomatik, Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler, dan
Konvensi tentang Misi Khusus, New York 1969.

Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri merupakan pelaksanaan dari ketentuan


dasar yang tercantum di dalam Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945 dan
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang berkenaan dengan hubungan luar
negeri. Undang-undang ini mengatur segala aspek penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
palaksanaan politik luar negeri, termasuk sarana dan mekanisme pelaksanaannya, perlindungan
kepada warga negara Indonesia di luar negeri dan aparatur hubungan luar negeri.

Pokok-pokok materi yang diatur di dalam Undang-undang ini adalah:

a. Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, termasuk
sarana dan mekanisme pelaksanaannya, koordinasi di pusat dan perwakilan, wewenang
dan pelimpahan wewenang dalam penyelenggaraan hubungan luar negeri dan
pelaksanaan politik luar negeri.
b. Ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok mengenai pembuatan dan pengesahan
perjanjian internasional, yang pengaturannya secara lebih rinci, termasuk kriteria
perjanjian internasional yang pengesahannya memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat, ditetapkan dengan undang-undang tersendiri.
c. Perlindungan kepada warga negara Indonesia, termasuk pemberian bantuan dan
penyuluhan hukum, serta pelayanan konsuler.
d. Aparatur hubungan luar negeri.
Penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri melibatkan
berbagai lembaga negara dan lembaga pemerintah beserta perangkatnya. Agar tercapai hasil
yang maksimal, diperlukan adanya koordinasi antara lembaga-lembaga yang bersangkutan
dengan Departeman Luar Negeri. Untuk tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu peraturan
perundang-undangan yang mengatur secara jelas serta menjamin kepastian hukum
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, yang diatur dalam
Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri.
Undang-undang tentang Hubungan Luar Negeri ini memberikan landasan hukum yang kuat
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri, serta merupakan
penyempurnaan terhadap peraturan-peraturan yang ada mengenai beberapa aspek
penyelenggaraan hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri.
UU 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah manifestasi pelaksanakan politik
luar negeri yang diabdikan kepada kepentingan nasional, Pemerintah Republik Indonesia
melakukan berbagai upaya termasuk membuat perjanjian internasional dengan negara lain,
organisasi internasional, dan subjek-subjek hukumi nternasional lain. Setiap undang-undang
atau keputusan presiden tentang pengesahan perjanjian internasional ditempatkan dalam
Lembaga Negara Republik Indonesia.
UU 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional menjabarkan hubungan dan perjanjian
internasional dalam UUD 1945. Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sangat singkat. Selama ini Perjanjian
Internasional memnggunakan surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22
Agustus 1960 tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" dianggap sudah
tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi.
UU 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional disusun dalam rangka mencapai tujuan
Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial,
Pemerintah Negara Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional,
melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang mewujudkan dalam perjanjian
internasional.
Pembuatan perjanjian internasional dilakukan melalui tahap penjajakan, perundingan
perumusan naskah, penerimaan, dan penandatanganan. Penandatanganan suatu perjanjian
internasional merupakan persetujuan atas naskah perjanjian internasional tersebut yang telah
dihasilkan dan/atau merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara definitif sesuai
dengan kesepakatan para pihak.
UU 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional mengganggap bahwa pembuatan dan
pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah
negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu
perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, dan
oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional harus dilakukan
dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-
undangan yang jelas.
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan
dengan :

1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;


2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
3. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
5. pembentukan kaidah hukum baru;
6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.

Pertimbangan dalam UU 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah:

a. bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum
di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Negara
Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional, melakukan hubungan
dan kerja sama internasional yang mewujudkan dalam perjanjian internasional.
b. bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sangat singkat, sehingga perlu
dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan perundang-undangan;
c. bahwa surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22 Agustus 1960
tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara Lain" yang selama ini
digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan mengesahkan perjanjian internasional
sudah tidak sesuai lagi dengan semangat reformasi;
d. bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah Republik
Indonesia dan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional, dan subjek hukum
internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat
negara pada bidang-bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu
perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan
menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang jelas pula;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, c, dan d perlu
dibentuk Undang-undang tentang Perjanjian Internasional;

Dasar hukum UU 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional adalah:

1. Pasal 5 Ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahannya
(1999);
2. Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran
Negara Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3882);
Undang-undang tentang Perjanjian Internasional merupakan pelaksanaan Pasal 11 Undang-
Undang Dasar 1945 yang memberikan kewenangan kepada Presiden untuk membuat
kewenangan kepada Presiden untuk membuat perjanjian internasional dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat. Ketentuan Pasal 11 Undang-undang Dasar 1945 bersifat ringkas
sehingga memerlukan penjabaran lebih lanjut. Untuk itu, diperlukan suatu perangkat
perundang-undangan yang secara tegas mendefinisikan kewenangan lembaga eksekutif dan
legislatif dalam pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional serta aspek-aspek lain yang
diperlukan dalam mewujudkan hubungan yang dinamis antara kedua lembaga tersebut.
Perjanjian internasional yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah setiap perjanjian di
bidang hukum publik, diatur oleh hukum internasional, dan dibuat oleh Pemerintah dengan
negara, organisasi internasional, atau subjek hukum internasional lain. Bentuk dan nama
perjanjian internasional dalam praktiknya cukup beragam, antara lain : treaty, convention,
agreement, memorandum of understanding, protocol, charter, declaration, final act,
arrangement, exchange of notes, agreed minutes, summary record, process verbal, modus
vivendi, dan letter of intent. Pada umumnya bentuk dan nama perjanjian menunjukkan bahwa
materi yang diatur oleh perjanjian tersebut memiliki bobot kerja sama yang berbeda
tingkatannya. Namun demikian, secara hukum, perbedaan tersebut tidak mengurangi hak dan
kewajiban para pihak yang tertuang di dalam suatu perjanjian internasional bagi perjanjian
internasional, pada dasarnya menunjukkan keinginan dan maksud pada pihak terkait serta
dampak politiknya bagi para pihak tersebut.
Sebagai bagian terpenting dalam proses pembuatan perjanjian, pengesahan perjanjian
internasional perlu mendapat perhatian mendalam mengingat pada tahap tersebut suatu negara
secara resmi mengikatkan diri pada perjanjian itu.
Dalam praktiknya, bentuk pengesahan terbagi dalam empat kategori, yaitu (a). ratifikasi
(ratification) apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian internasional turut
menandatangani naskah perjanjian (b). aksesi (accesion) apabila negara yang mengesahkan
suatu perjanjian internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian. (c). penerimaan
(acceptance) dan penyetujuan (approval) adalah pernyataan menerima atau menyetujui dari
negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas perubahan perjanjian-perjanjian
internasional berlaku setelah penandatanganan.
4.Perjanjian Internasional yang sudah diratifikasi
Proses Ratifikasi Perjanjian Internasional harus melalui tahap persetujuan oleh para
utusan yang berwenang, persetujuan melalui penandatanganan terhadap teks traktat, persetujuan
melalui pertukaran dokumen diantara Negara-negara untuk diikat, sampai ke persetujuan
melalui ratifikasi, adapun persetujuan dengan aksesi bila traktat menetapkan demikian, syarat
pembatas pada traktat, selanjutnya barulah pemberlakuan suatu traktat, dan diterapkan traktat
tersebut. 2. Ratifikasi perjanjian Internasional di Indonesia berdasarkan Pasal 11 Undang-
Undang Dasar 1945, Surat Persiden RI Nomor : 2826/HK/1960 dan UU Nomor 24 Tahun 2000
tentang Perjanjian Internasional, yakni pengesahan/ratifikasi dalam bentuk undang-undang dan
keputusan presiden. Mekanisme ratifikasi perjanjian Internasional tersebut tidak tertera secara
baku, dan tegas dalam UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. 
Berikut merupakan regulasi undang undang yang diratfikasi antara lain :

UU Nomor 15 Tahun 2016


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Maritime
Labour Convention, 2006 (Konvensi Ketenagakerjaan Maritim, 2006)

UU Nomor 16 Tahun 2016


Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 Tentang Pengesahan Paris
Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan
Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) 

UU Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran


Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Menentang Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi
UU Nomor 15 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Protokol Menentang Penyelundupan Migran
Melalui Darat, Laut, dan Udara, Melengkapi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Tindak Pidana Transnasional Yang Terorganisasi

UU Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 Yang
Berkaitan Dengan Konservasi Dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas Dan
Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh
UU Nomor 21 Tahun 2009 Tentang Persetujuan Pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Hukum Laut Tanggal 10 Desember 1982 Yang
Berkaitan Dengan Konservasi Dan Pengelolaan Sediaan Ikan Yang Beruaya Terbatas Dan
Sediaan Ikan Yang Beruaya Jauh

UU Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba
Nuklir (Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty)
UU Nomor 1 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Traktat Pelarangan Menyeluruh Uji Coba Nuklir
(Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty)

UU nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption,
2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
UU ini mengatur tentang Tindakan-tindakan Pencegahan, memuat  Kebijakan  dan Praktek
Pencegahan Korupsi; Badan atau Badan-badan Pencegahan Korupsi; Sektor Publik; Aturan
Perilaku Bagi Pejabat Publik; Pengadaan Umum dan Pengelolaan Keuangan Publik;  Pelaporan
Publik;  Tindakan-tindakan yang Berhubungan dengan Jasa-jasa Peradilan dan Penuntutan;
Sektor Swasta; Partisipasi Masyarakat; dan Tindakan-tindakan untuk Mencegah Pencucian.

Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Konvensi International


Pencarian Dan Pertolongan Maritim
Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2012 Tentang Pengesahan Konvensi International
Pencarian Dan Pertolongan Maritim

UU Nomor 21 Tahun 1997 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang


Perdagangan orang (human trafficking)merupakan perbudakan manusia moderen. Fenomena ini
dianggap lebih banyak terjadi di luar negeri, padahal perdagangan orang maupun perbudakan
moderen juga banyak terjadi di dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eufemisme terasa sekali dalam penyebutan kasus perdagangan orang, dengan menyebut ‘tenaga
kerja ilegal’. Padahal jelas hal yang diperdagangkan bukan lagi ‘tenaga kerja’, 

Anda mungkin juga menyukai