Fiks - Makalah PPD Kel.4
Fiks - Makalah PPD Kel.4
Untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Perkembangan Peserta Didik dengan
dosen pengampu :
UNIVERSITAS RIAU
2022
KATA PENGANTAR
Kami sangat menyadari dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna dan masih banyak yang harus di koreksi. Oleh karena itu kami
mengharapkan masukan dari semua pihak tentunya dengan masukan yang bersifat
membangun demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan
informasi bagi pembaca, mahasiswa dan bermanfaat untuk pengembangan wawasan
dan peningkatan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Pekanbaru, 20 November 20
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...................................................................................................2
DAFTAR ISI.................................................................................................................3
BAB I.............................................................................................................................4
PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.....................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................5
1.3 Tujuan..................................................................................................................5
BAB II...........................................................................................................................6
PEMBAHASAN............................................................................................................6
2.1 Kemandirian.........................................................................................................6
2.1.1 Pengertian Kemandirian................................................................................6
2.1.2 Karakteristik Perkembangan Kemandirian Remaja......................................8
1. Kemandirian Emosional (Emotional Autonomy).....................................................9
2. Kemandirian Perilaku.............................................................................................10
3. Kemandirian Nilai..................................................................................................12
2.1.3 Tipe-Tipe Perkembangan Kemandirian Pada Remaja................................14
2.1.4 Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Perkembangan Kemandirian Remaja. 15
2.2. Karier................................................................................................................15
2.2.1 Pengertian Karier.........................................................................................15
2.2.2 Faktor Yang Dapat Mempengaruhi Perkembangan Karier Remaja...........16
2.3 Perkembangan Remaja Dalam Berkarier...........................................................16
2.4 Kemandirian Memilih Karir..............................................................................17
2.5 Implikasinya dalam Pendidikan.........................................................................19
BAB III........................................................................................................................20
ISU PERMASALAHAN KEMANDIRIAN DAN KARIR REMAJA.......................20
BAB IV........................................................................................................................25
PENUTUP...................................................................................................................25
4.1 Kesimpulan........................................................................................................25
4.2 Saran..................................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................26
3
BAB I
PENDAHULUAN
4
orang yang mandiri berarti mampu menentukan dan mengelola diri sendiri. Usaha
pencarian identitas banyak dilakukan dengan menunjukkan perilaku coba-coba,
perilaku imitasi atau identifikasi. Ketika remaja gagal menemukan identitas
dirinya, dia akan mengalami krisis identitas atau identity confusion, sehingga
mungkin saja akan terbentuk sistem kepribadian yang bukan menggambarkan
keadaan diri yang sebenarnya. Dalam makalah ini kami mengangkat contoh kasus
tentang seorang remaja yang lebih mementingkan karier daripada pendidikan.
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan kemandirian
2. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan karier
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan remaja dalam berkarier
4. Untuk mengetahui bagaimana kemandirian memilih karier
5. Untuk mengetahui bagaimana implikasinya dalam pendidikan
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kemandirian
Istilah “kemandirian” berasal dari kata dasar “diri” yang mendapat awalan
“ke” dan akhiran “an”, kemudian membentuk satu kata keadaan atau kata benda.
Karena kemandirian berasal dari kata dasar “diri”, maka pembahasan mengenai
kemandirian tidak bisa lepas dari pembahasan tentang perkembangan diri itu sendiri.
6
Dari pandangan-pandangan di atas, dapat dipahami bahwa kemandirian
tidak persis identik dengan otonomi, melainkan lebih luas cakupannya. Menurut
beberapa ahli, “kemandirian” menunjuk pada kemampuan psikososial yang
mencakup kebebasan untuk bertindak, tidak tergantung kepada orang lain, tidak
terpengaruh lingkungan, dan bebas mengatur kebutuhan sendiri (Lerner, 1976),
penampilan keputusan pribadi yang didasari pengetahuan lengkap tentang
konsekuensi berbagai tindakan serta keberanian menerima konsekuensi dari
tindakannya tersebut (Lamb, 1996), kebebasan untuk mengambil inisiatif,
mengatasi hambatan, melakukan sesuatu dengan tepat, gigih dalam usaha, dan
melakukan sendiri segala sesuatu tanpa bantuan orang lain (Watson dan Lindgren,
1973), aktivitas perilaku yang terarah pada diri sendiri, tidak mengharapkan
pengarahan dari orang lain, dan mencoba memecahkan atau menyelesaikan
masalah sendiri tanpa minta bantuan kepada orang lain, dan mampu mengatur diri
sendiri (Bathia, 1977).
Dalam kajian ini digunakan istilah kemandirian yang merujuk pada konsep
Steinberg (1993) yang dalam tulisannya menggunakan istilah autonomy, yaitu
kemandirian untuk bertindak, tidak tergantung pada orang lain. Individu yang
autonomous adalah pribadi yang mandiri (Steinberg: 1993: 286). Kemandirian
merupakan hal yang penting untuk dimiliki remaja dan merupakan salah satu tugas
perkembangannya dalam menuju kedewasaan. Lebih lanjut Steinberg (1993: 283)
mengatakan bahwa,
7
kemandirian adalah usaha untuk melepaskan diri dari orangtua dengan maksud untuk
menemukan dirinya melalui proses mencari identitas ego yaitu merupakan
perkembangan ke arah individualitas yang mantap dan berdiri sendiri. Kemandirian
biasanya ditandai dengan kemampuan menentukan nasib sendiri, kreatif dan inisiatif,
mengatur tingkah laku, bertanggung jawab, mampu menahan diri, dll. Kemandirian
merupakan suatu sikap otonomi dimana remaja secara relatif bebas dari pengaruh
penilaian, pendapat dan keyakinan orang lain. Dengan otonomi tersebut, remaja
diharapkan akan lebih bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Secara singkat
dapat disimpulkan bahwa kemandirian mengandung pengertian :
● Suatu kondisi dimana seseorang memiliki hasrat bersaing untuk maju demi
kebaikan dirinya sendiri
● Mampu mengambil keputusan dan inisiatif untuk mengatasi masalah yang
dihadapi
● Memiliki kepercayaan diri dan melaksanakan tugas-tugasnya
● Bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.
Kemandirian pada remaja lebih mengarah tindakan yang melibatkan hati dan
pemikirannya (psikis). Hal ini diperkuat pernyataan ahli perkembangan yang
menyatakan: "Berbeda dengan kemandirian pada masa anak-anak yang lebih bersifat
motorik, seperti berusaha makan sendiri, mandi dan berpakaian sendiri, pada masa
remaja kemandirian tersebut lebih bersifat psikologis, seperti membuat keputusan
sendiri dan kebebasan berperilaku sesuai dengan keinginannya".
8
2.1.2 Karakteristik Perkembangan Kemandirian Remaja
Steinberg (1993:288) memunculkan tiga jenis kemandirian remaja, yaitu
kemandirian emosional, kemandirian tingkah laku dan kemandirian nilai sebagai
dasar pencapaian kemandirian remaja. Dengan bertambahnya usia remaja, maka
kemandirian tersebut berkembang secara berurutan mulai dari kemandirian
emosional, kemandirian tingkah laku dan kemandirian nilai.
9
ikatan- ikatan perasaan (emosional) mereka pada masa remaja, bagaimanapun
tidak akan putus. Ini merupakan sebuah keistimewaan penting, karena ini berarti
bahwa kemandirian emosional pada masa remaja itu mengalami transformasi,
bukan pemutusan hubungan keluarga. Remaja memperoleh kemandirian secara
emosional dari orangtua mereka tanpa timbul pemutusan hubungan diantara
mereka (Collins, 1990; Hill & Holmbeck, 1986; Steinberg, 1990, dalam Steinberg,
1993:290).
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kemandirian
emosional, di mulai pada masa remaja awal dan berlanjut dengan baik hingga
mencapai puncaknya menjelang akhir masa remaja. Kemandirian emosional
menunjukkan aspek kemandirian yang berhubungan dengan keterikatan hubungan
emosional dengan orangtuanya. Dalam penelitian Steinberg dan Silverberg,
(1986), membagi kemandirian emosional menjadi empat komponen, yaitu: (1) de-
idealized yaitu remaja mampu memandang orangtuanya sebagaimana adanya,
maksudnya tidak memandangnya sebagai orang yang idealis dan sempurna, (2)
parent as people yaitu remaja mampu memandang orangtua mereka seperti orang
dewasa lainnya, (3) non dependency, atau suatu tingkat dimana remaja lebih
bersandar pada kemampuan dirinya sendiri, daripada membutuhkan bantuan pada
orangtua mereka, (4) suatu tingkat dimana remaja merasa “individuated” mampu
dan memiliki kelebihan secara pribadi untuk mengatasi masalah di dalam
hubungannya dengan orang tua.
Sesungguhnya tidaklah mudah bagi remaja untuk menempuh keempat
proses tersebut. Bayangan masa kecil remaja tentang kehebatan orangtua tidak
begitu mudah untuk diabaikan atau dikritik. Juga tidak mudah bagi remaja untuk
menempatkan orang tua yang telah sedemikian besar jasanya sebagai seseorang
(as person) sebagaimana lazimnya orang lain (Smollar & Youniss, 1985, dalam
Steinberg, 1993: 292). Proses individuasi juga tidak selalu berlangsung dengan
mulus. Beberapa penulis menegaskan bahwa sejak remaja melakukan de-idealized
terhadap orang tuanya, mereka mungkin merasa lebih mandiri, namun juga muncul
rasa tidak aman (Frank, et. al., 1990, dalam Steinberg, 1993: 293). Dalam kaitan
ini, Steinberg (1993:293) menegaskan bahwa, : “Emotional autonomy develops
best under conditions that encourage both individuation and emotional closeness”.
Kemandirian emosi dapat berkembang dengan sangat baik di bawah kondisi yang
mendorong kedekatan emosi dan individuasi.
2. Kemandirian Perilaku
10
Kemandirian perilaku berarti “bebas” untuk berbuat atau bertindak sendiri
tanpa terlalu bergantung pada bimbingan orang lain. Kemandirian tindakan atau
perilaku menunjuk kepada “kemampuan seseorang melakukan aktivitas, sebagai
manifestasi dari berfungsinya kebebasan dengan jelas, menyangkut peraturan-
peraturan yang wajar mengenai perilaku dan pengambilan keputusan dari
seseorang (Sessa & Steinberg, 1991, dalam Sprinthall & Collinns, 1995).
Kemandirian perilaku, khususnya kemampuan kemandirian secara fisik
sebenarnya sudah dimiliki sejak usia anak (Widjaja, 1986), dan akan mengalami
peningkatan yang sangat pesat sepanjang usia remaja. Peningkatan itu bahkan
nampak lebih drastis daripada peningkatan kemandirian emosional.
Kemandirian perilaku mencakup kemampuan untuk meminta pendapat
orang lain jika diperlukan, menimbang berbagai pilihan yang ada dan pada
akhirnya mampu mengambil kesimpulan untuk suatu keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan, tetapi bukan berarti lepas dari pengaruh orang lain,
seperti pernyataan Hill dan Holmbeck, (1986) yang dikutip Steinberg, (1993: 296)
sebagai berikut: “ … behaviorally autonomous is able to turn to others for advice
when it is appropriate, weigh alternative courses of action based on his or her
own judgment and the suggestions of others, and reach an independent conclusion
about how to behave”.
Steinberg, (1993: 296) menyatakan bahwa para peneliti melihat ada tiga
domain kemandirian perilaku pada remaja, yaitu: (1) changes in decision-making
abilities yaitu perubahan dalam kemampuan untuk mengambil keputusan, dengan
indikator meliputi:
(a) remaja menyadari resiko yang timbul dari keputusannya; (b) remaja menyadari
konsekuensi yang muncul kemudian; (c) remaja dapat menentukan dengan siapa
akan berkonsultasi sesuai dengan masalah yang dihadapinya; (d) remaja dapat
merubah pendapatnya karena ada informasi baru yang dianggap sesuai; (e) remaja
menghargai dan berhati-hati terhadap saran yang diterimanya; (2) changes in
compormity and susceptibility to the influence of other yaitu perubahan remaja
dalam penyesuaian dan kerentanan terhadap pengaruh-pengaruh dari luar, dengan
indikator meliputi: (a) remaja mampu mempertimbangkan alternatif dari
tindakannya secara bertanggung jawab; (b) remaja mengetahui secara tepat kapan
harus meminta saran dari orang lain; (3) changes in feelings of self-reliance yaitu
perubahan dalam rasa percaya diri, dengan indikator meliputi: (a) remaja mencapai
kesimpulan dengan rasa percaya diri; (b) remaja mampu mengekspresikan rasa
percaya diri dalam tindakan-tindakannya.
11
Domain kedua, yaitu changes in conformity and susceptibility to influence,
dimana remaja mengalami perubahan dalam penyesuaian dan kerentanan terhadap
pengaruh dari luar. Remaja akan melewatkan lebih banyak waktu di luar keluarga,
pendapat dan nasihat dari kelompok sebayanya menjadi lebih penting, “ a variety
of situations arise in which adolescents may feel that their parents advice may be
less valid than the opinions of others” (Steinberg, 1993: 298). Ketika pendapat
teman-teman dan orang tuanya tidak sepaham, remaja harus merekonsiliasi
perbedaan pendapat tersebut dan mencari jawaban sendiri untuk kemudian
menyimpulkan sendiri.
Munculnya tekanan-tekanan kelompok sebaya (peer-presure) sering
membuat remaja menjadi amat rentan terhadap pengaruh-pengaruh mereka. Dalam
membandingkan pengaruh-pengaruh orangtua dan teman sebaya terhadap
kemandirian perilaku pada remaja, beberapa peneliti menemukan bahwa dalam
beberapa situasi, opini-opini teman sebaya lebih berpengaruh terutama apabila
menyangkut keputusan-keputusan jangka pendek, dan masalah-masalah sosial
seperti mode pakaian, selera musik, pilihan aktivitas waktu luang, dan lain-lain,
akan tetapi apabila menyangkut keputusan jangka panjang yang berkaitan dengan
rencana pendidikan dan karir atau masalah-masalah nilai, keyakinan agama, dan
etika, biasanya remaja mengutamakan pengaruh-pengaruh orangtua (Steinberg,
1993:299). Hasil penelitian ini juga didukung oleh penemuan Wintre, et al, (1988)
bahwa tekanan teman-teman sebaya ataupun tekanan orang tua akan mendominasi
pada keadaan tertentu sesuai dengan masalah-masalah antar teman sebayanya atau
masalah dengan orangtuanya (Steinberg, 1993:299). Remaja yang memiliki
kemandirian perilaku mampu membedakan pengaruh-pengaruh tersebut dan
dengan sarana kognitifnya mereka dapat menentukan ke arah mana mereka
memihak atau bersikap (Berndt, 1979, dalam Steinberg, 1993:300).
Domain ketiga kemandirian perilaku difokuskan kepada pertimbangan diri
remaja terhadap bagaimana kemandirian mereka. Ini berhubungan dengan adanya
perubahan- perubahan dalam perasaan kepercayaan diri (Changes in feelings of
self reliance) remaja. Selama periode ini, remaja memperoleh kepercayaan diri
pada saat kerentanan terhadap tekanan kelompok bertambah, tetapi mereka tidak
menyadarinya dan mungkin tidak melihat dalam perilaku mereka sendiri.
3. Kemandirian Nilai
Ahli psikologi (Douvan & Adelson, 1966, dalam Sprinthall & Collins,
1995) menyebutkan, kemandirian nilai menunjuk kepada suatu pengertian
12
mengenai kemampuan seseorang untuk mengambil keputusan-keputusan dan
menetapkan pilihan yang lebih berpegang atas dasar prinsip-prinsip individual
yang dimilikinya, daripada mengambil prinsip-prinsip dari orang lain. Dengan kata
lain bahwa kemandirian nilai menggambarkan kemampuan remaja untuk
mendukung atau menolak tekanan, permintaan maupun ajakan orang lain; dalam
arti ia memiliki seperangkat prinsip tentang benar atau salah, tentang apa yang
penting dan tidak penting.
Steinberg, (1993 : 303-304) menjelaskan bahwa perkembangan
kemandirian nilai sepanjang remaja ditandai oleh tiga aspek, yaitu: pertama, cara
remaja dalam memikirkan segala sesuatu menjadi semakin bertambah abstrak
(abstract belief); kedua, keyakinan- keyakinan remaja menjadi semakin bertambah
mengakar pada prinsip-prinsip umum yang memiliki beberapa dasar ideologi
(principled belief); dan ketiga, keyakinan- keyakinan remaja akan nilai menjadi
semakin terbentuk dalam diri mereka sendiri dan bukan hanya dalam sistem nilai
yang ditanamkan oleh orangtua atau orang dewasa lain (independent belief).
Sebagian besar perkembangan kemandirian nilai dapat ditelusuri pada
karakteristik perubahan kognitif. Dengan meningkatnya kemampuan rasionalisasi
dan semakin berkembangnya kemampuan berpikir hipotetis remaja, maka timbul
minat-minat mereka pada bidang ideologi dan filosofi dan cara mereka melihat
persoalan-persoalan itu menjadi semakin mendetail dan berpengalaman.
Kemampuan untuk mempertimbangkan kemungkinan alternatif dan
menggunakannya dalam berpikir menurut pendapatnya, memberi peluang untuk
bereksplorasi di sekitar sistem nilai, ideologis politik, etika pribadi dan keyakinan
agama yang berbeda (Steinberg, 1993 : 304).
Diantara ketiga komponen kemandirian, maka kemandirian nilai
merupakan proses yang paling kompleks, tidak jelas bagaimana proses
berlangsung dan pencapaiannya, terjadi melalui proses internalisasi yang lazimnya
tidak disadari, dan umumnya berkembang paling akhir dan paling sulit dicapai
secara sempurna dibanding kedua komponen kemandirian lainnya. Hasil
pemikiran Konopka yang dikutip Pikunas (1976:274) tentang teori perkembangan
nilai yang memandang masa remaja sebagai fase yang sangat penting bagi
pembentukan nilai (value formation). Pembentukan nilai ini merupakan suatu
proses emosional dan intelektual paling tinggi yang dipengaruhi oleh interaksi
manusiawi.
Hal senada dijelaskan oleh Steinberg (1993:304), bahwa perkembangan
kemandirian nilai mempersyaratkan perkembangan kebebasan emosi dan perilaku
yang memadai. Seperti yang kita lihat dalam suatu kesempatan, ada beberapa bukti
13
bahwa perkembangan kemandirian nilai berlangsung belakangan daripada
perkembangan kemandirian emosi dan kemandirian perilaku, yang mana
berlangsung selama masa remaja awal dan remaja pertengahan. Remaja yang telah
mencapai kebebasan emosi yang meningkat dari masa anak, mereka kurang
menyadarkan diri pada keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai orang tua. Penegakan
kemandirian emosi memperlengkapi kemampuan remaja untuk melihat secara
lebih objektif pada pandangan-pandangan orang tua mereka. Ketika remaja tidak
terlampau melihat orang tua mereka sebagai otoritas kuasa dan sempurna; mereka
mungkin secara serius mengevaluasi kembali ide-ide dan nilai-nilai yang mereka
telah terima tanpa pertanyaan ketika masa anak.
Karakteristik kemandirian nilai meliputi: (1) perubahan remaja dalam cara
berpikir, dengan indikator: (a) remaja mampu mengintegrasikan nilai-nilai yang
bertentangan; (b) remaja mempedulikan kesamaan hak; (c) remaja mempedulikan
makna keadilan yang terjadi di lingkungannya; (2) perubahan remaja pada
keyakinannya, dengan indikator: (a) keyakinan remaja semakin berakar pada
prinsip-prinsip yang berlaku pada masyarakat universal; (b) remaja memiliki
prinsip-prinsip yang terbentuk sesuai dengan sistem nilai yang diperolehnya.
Steinberg (1993: 303) menguraikan bahwa perkembangan kemandirian nilai
membawa perubahan-perubahan pada konsepsi-konsepsi remaja tentang moral,
politik, ideologi dan persoalan-persoalan agama. Keterhubungan antara konsep-
konsep tersebut, menjadi terintegrasi dalam perkembangan nilai. Nilai merupakan
tatanan tertentu atau kriteria di dalam diri individu yang dijadikan dasar untuk
mengevaluasi suatu sistem. Moral merupakan tatanan perilaku yang memuat nilai-
nilai tertentu untuk dilakukan individu dalam hubungannya dengan individu,
kelompok, atau masyarakat. Karenanya sistem nilai mengarah pada pembentukan
nilai-nilai moral tertentu dan selanjutnya akan menentukan sikap individu
berhubungan dengan objek nilai dan moral tersebut.
14
● Aspek emosi, menunjukkan kemampuan individu untuk mengelola serta
mengendalikan emosi dan reaksinya, dengan tidak tergantung secara emosi pada
orang tua.
● Aspek ekonomi, menunjukkan kemandirian dalam hal mengatur ekonomi dan
kebutuhan-kebutuhan ekonomi, dan tidak lagi tergantung pada orang tua.
● Gen atau keturunan orang tua. Orang tua yang memiliki sifat kemandirian tinggi
seringkali menurunkan anak yang memiliki kemandirian juga. Namun, faktor
keturunan ini masih menjadi perdebatan karena ada yang berpendapat bahwa
sesungguhnya bukan sifat kemandirian orang tuanya itu menurun kepada
anaknya, melainkan sifat orang tuanya muncul berdasarkan cara orangtua
mendidik anaknya.
● Pola asuh orang tua. Orang tua yang terlalu banyak melarang atau
mengeluarkan kata jangan kepada anaknya tanpa disertai dengan penjelasan
yang rasional akan menghambat perkembangan kemandirian.
● Sistem pendidikan di sekolah. Proses pendidikan disekolah yang tidak
mengembangkan demokrasi pendidikan dan cenderung menekankan
indoktrinasi tanpa argumentasi akan menghambat perkembangan kemandirian
remaja.
● Sistem kehidupan di masyarakat. Sistem kehidupan masyarakat yang terlalu
menekankan pentingnya hierarki struktur sosial, merasa kurang aman atau
mencekam serta kurang menghargai manifestasi potensi remaja dalam kegiatan
produktif dapat menghambat kelancaran perkembangan kemandirian remaja.
2.2. Karier
15
hidup, yang meresapi seluruh alam pikiran dan perasaan seseorang, serta mewarnai
seluruh gaya hidupnya. Maka dari itu pemilihan karier lebih memerlukan persiapan
dan perencanaan yang matang dari pada kalau sekedar mendapat pekerjaan yang
sifatnya sementara waktu. Mengingat betapa pentingnya masalah karier dalam
kehidupan manusia, maka sejak dini perlu dipersiapkan dan dibantu untuk
merencanakan hari depan yang lebih cerah, dengan cara memberikan pendidikan dan
bimbingan karier yang berkelanjutan.
1. Faktor internal
2. Faktor eksternal
● Keluarga
● Pendidikan sekolah
● Lingkungan sekitar, baik itu teman sebaya ataupun media informasi
16
● Sosial. Orang-orang ini sering memperlihatkan trait feminin, khususnya yang
berhubungan dengan kemampuan verbal dan interpersonal. Mereka paling
mungkin dipersiapkan untuk masuk profesi yang berhubungan dengan orang
banyak seperti mengajar, menjadi pekerja sosial, konseling.
● Konvensional. Orang-orang ini memperlihatkan ketidaksenangannya terhadap
kegiatan yang tidak teratur dengan rapi. Mereka paling cocok menjadi
bawahan, seperti sekretaris, teller bank, atau pekerjaan administratif lainnya.
● Menguasai (enterprising). Orang-orang ini menggunakan kata-katanya untuk
memimpin orang lain, mendominasi orang lain, dan menjual berita tau
produk. Mereka paling cocok memiliki karir yang berhubungan dengan
penjualan, sales, politikus, atau manajemen.
● Artistik. Mereka adalah orang yang lebih suka berinteraksi dengan dunia
mereka melalui ekspresi seni, menghindari situasi interpersonal serta
konvensional dalam banyak kasus. Para remaja tipe ini sebaiknya diarahkan
ke karir seni atau penulisan.
17
melakukan pengenalan diri dan pekerjaan, dan mengalami kesulitan jika menghadapi
masalah dalam pemilihan.
18
menjadikan remaja berhasil dalam berkarir. Ini menjadi penting ketika
remaja yang sedang menekuni bidang karirnya mampu mencapai tingkat
prestasi yang menyebabkan remaja memiliki nilai lebih.
e. Ingin Melakukan Sendiri : dalam memilih karir, remaja tidak harus
mengikuti kehendak dan kemauan orang lain. Remaja yang telah memiliki
kemandirian dalam memilih karirnya tidak akan menggantungkan nasib
karirnya kepada orang lain karena ia mampu melakukan strategi
pengambilan keputusan karir berdasarkan pemahaman diri, pemahaman karir
serta peluang karir yang ada.
Banyak remaja yang belum menetapkan pilihan karir yang akan mereka jalani
nantinya dan hal ini berkaitan dengan tingkat kematangan vokasional (karir) yang
mereka miliki. Menurut Super (2001) kematangan vokasional (karir) mencakup
empat aspek yaitu:
19
2.5 Implikasinya dalam Pendidikan
Kemandirian adalah kecakapan yang berkembang secara rentang kehidupan
Individu, yang sangat dipengaruhi oleh faktor –faktor pengalaman dan pendidikan.
Oleh sebab itu pendidikan disekolah perlu melakukan upaya-upaya pengembangan
kemandirian peserta didik,di antaranya :
1. Mengembangkan proses belajar mengajar yang demokratis, yang memungkinkan
anak merasa dihargai.
2. Mendorong anak untuk berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan dan
dalam berbagai kegiatan sekolah.
3. Memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi lingkungan , mendorong
rasa ingin tahu mereka.
4. Penerimaan positif tanpa syarat kelebihan dan kekurangan anak, tidak membeda-
bedakan anak yang satu dengan yang lain.
5. Menjalin hubungan yang harmonis dan akrab dengan anak
BAB III
Pendidikan adalah kunci kemajuan suatu bangsa. Kalimat ini seolah tidak
asing ditelinga, para penulis kerap menggunakannya ketika membuka tulisan
mengenai pendidikan. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab dari pendidikan akan
dihasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu mewujudkan kemajuan
bangsa.
20
bangkit, dikarenakan perhatiannya yang besar terhadap pendidikan. Oleh sebab itu
agar bangsa kita bangkit dari berbagai persoalan yang terjadi, maka kualitas
pendidikan hendaknya menjadi perhatian utama yang mesti diwujudkan.
Ditambah lagi adanya persaingan di era globalisasi yang semakin ketat. Oleh
karena itu Indonesia harus meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar bisa
bersaing dalam era globalisasi saat ini. Di zaman sekarang pendidikan merupakan
modal utama untuk kehidupan yang penuh persaingan seperti saat ini. Yaitu zaman
modernisasi dan globalisasi yang membutuhkan keterampilan, wawasan dan
pengetahuan agar bisa bersaing di dunia Pendidikan maupun dunia kerja. Oleh karena
itu kesadaran akan pentingnya Pendidikan dapat memberikan suatu hal yang positif
terutama bagi Pendidikan Indonesia.
21
● Mendapat pengetahuan,salah satu tujuan orang sekolah adalah supaya menjadi
pintar.Dengan bersekolah seseorang bukan saja mendapatkan pengetahuan,
tetapi juga wawasan. Pikiran juga menjadi lebih terbuka, sehingga tidak lagi
sempit dalam memandang sesuatu. Ini penting, apalagi di era digital seperti
sekarang ini, ketika berita bohong atau hoaks begitu mudah disebarluaskan.
Jika tidak pintar dalam menyikapinya, maka kita akan mudah terprovokasi.
● Meningkatkan rasa percaya diri, Bersekolah secara tidak langsung
mengharuskan kita untuk bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang.
Adakalanya dari berbagai status sosial yang berbeda. Dari sini kepribadian
seseorang bisa terbentuk, apakah dia akan tumbuh sebagai pribadi yang
percaya diri atau sebaliknya. Kepercayaan diri sendiri bukanlah hal sepele
yang boleh dipandang sebelah mata. Seseorang yang hidupnya percaya diri
biasanya selalu yakin dengan apa yang dilakukannya.
● Menumbuhkan rasa cinta pada bangsa dan negara,semakin sedikit generasi
muda yang mengenyam pendidikan di sekolah maka semakin sedikit pula
generasi yang memiliki jiwa nasionalisme. Karena itu, mengenyam
pendidikan di sekolah pun menjadi sangat penting. Salah satunya demi
membentuk dan menumbuhkan jiwa nasionalisme ini.
● Membangun Karakter yang baik,bukan tanpa alasan bagi pemerintah untuk
menghadirkan mata pelajaran budi pekerti di sekolah-sekolah. Pendidikan ini
penting demi membangun karakter generasi muda. Disini bukan saja norma
kesopanan yang diajarkan, tetapi juga agama dan lainnya. Dengan mengikuti
semua norma tersebut, generasi muda akan memiliki karakter yang kuat
nantinya. Satu hal yang sangat dibutuhkan untuk membangun dan memajukan
bangsa.
22
rendahnya jenjang pendidikan orang tua menjadikan kurang terbukanya kesadaran
untuk berpendidikan tinggi. Jika kurangnya kesadaran masyarakat Indonesia terhadap
Pendidikan terus terjadi. Maka SDA Indonesia juga akan buruk yang akan
menyebabkan kinerja masyarakatnya rendah atau bahkan banyak masyarakat yang
bekerja serabutan karena kurangnya Pendidikan. Hal tersebut juga akan berdampak
pada pendapatan negeri dan melebar ke keadaan perekonomian Indonesia.
Penyebab tingginya angka putus sekolah ini disebabkan oleh beberapa faktor,
di antaranya yaitu kurangnya minat anak untuk sekolah, faktor ekonomi, faktor
lingkungan, faktor komunikasi internal keluarga, faktor sosial dan faktor kesehatan.
Seorang anak putus sekolah, harusnya juga diimbangi dengan berbagai solusi agar
masalah mengenai anak putus sekolah dapat diselesaikan dengan baik.
Seorang anak putus sekolah, harusnya juga diimbangi dengan berbagai solusi
agar masalah mengenai anak putus sekolah dapat diselesaikan dengan baik.Peran
yang dilakukan pemerintah daerah dalam menekan angka anak putus sekolah di
daerahnya yaitu mengeluarkan kebijakan di bidang pendidikan, bantuan dana
pendidikan, pemberian beasiswa pendidikan bagi masyarakat miskin, dan program
bantuan siswa miskin (BSM), serta sosialisasi kepada masyarakat.Tidak hanya itu
pemerintah juga perlu terus meningkatkan jumlah anggaran untuk pendidikan
nasional dari tahun ke tahun.Hal tersebut membuktikan betapa seriusnya pemerintah
dalam mempertahankan dan meningkatkan kualitas pendidikan terutama dalam
menekankan angka putus sekolah yang sampai saat ini terus mengalami peningkatan.
Seperti pada kasus yang kami ambil bahwa remaja bernama Roy yang viral di
saluran televisi saat ini menolak mendapatkan beasiswa sekolah bagi anak putus
sekolah dari Sandiaga Uno yang merupakan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
(Parekraf) . Roy merasa bahwa jika kembali bersekolah tidak ada jaminan dirinya
akan memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari yang dia jalani saat ini, sebab
sulitnya memperoleh pekerjaan di zaman sekarang. Remaja tersebut juga berpikir
zaman sekarang sekolah yang tinggi juga belum tentu mendapatkan kerja yang
pasti.Alasan roy berhenti bersekolah karena Ibu roy sakit dan saudara perempuannya
telah meninggal.Namun hal tersebut seharusnya tidak terjadi karena banyak hal yang
bisa di dapatkan dari sekolah yaitu skill yang mumpuni untuk bersaing di era
globalisasi,moral yang baik sehingga dapat diterapkan dikehidupan sehari-hari
maupun dunia kerja,pola pikir yang lebih luas(terbuka) sehingga menghasilkan
23
manusia yang tidak hanya berhasil dalam berkarier namun juga dalam kehidupan
bermasyarakat.
Saat ini public figur juga banyak yang berkarier dan berpendidikan. Mereka
harus membagi waktu antara belajar dan bekerja, tentu itu bukan perkara yang
mudah. Namun, karena kebanyakan dari mereka memang memiliki passion di bidang
tersebut, melepas karier yang sudah dibangun tentu bukan hal yang mudah.
Akibatnya, fokus pada karier atau pendidikan adalah pilihan yang seringkali muncul
di hadapan selebriti yang berkarier sejak bersekolah.contoh pubic figur yang memiliki
karier yang bagus dan pendidikan yang baik:
1. Maudy Ayunda
2. Vidi Aldiano
Vidi meraih gelar sarjananya di Universitas Pelita Harapan dan berhasil mendapatkan
gelar masternya di University of Manchester, Inggris dengan predikat cumlaude pada
jurusan Innovation Management and Entrepreunership.
3. Iqbaal Ramadhan
Karir acting yang sedang menanjak tidak menghalangi Iqbaal untuk melanjutkan
studinya ke tingkat sarjana, saat ini Iqbaal adalah salah satu mahasiswa jurusan Media
Komunikasi di Monash University, Australia.
24
25
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
2. Karier (career) lebih menunjuk pada pekerjaan atau jabatan yang ditekuni dan
diyakini sebagai panggilan hidup, yang meresapi seluruh alam pikiran dan
perasaan seseorang, serta mewarnai seluruh gaya hidupnya.
4.2 Saran
Sebagai Remaja harus bisa mencapai kematangan vokasional (karir) untuk
dapat mandiri secara ekonomi pada masa mendatang dalam memilih dan
mempersiapkan diri untuk menjalankan suatu pekerjaan. Sikap mandiri yang
dimiliki oleh remaja dalam menentukan pilihan karir yang sesuai dengan
pemahaman dirinya harus percaya diri, bertanggung jawab, mengarahkan dan
mengembangkan diri, tekun kreatif dan inisiatif ingin melakukan sendiri.
26
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, Juliana. 2013. Perkembangan dan Pemilihan Karier Menurut Ginzberg dan
Implikasinya terhadap Bimbingan dan Konseling. (Jurnal).
http://jurnal.konselingindonesia.com Volume 1 Nomor 1, Februari 2013, Hlm
43-47
27
28