Anda di halaman 1dari 56

D A F T A R i Pengantar

Kajian Utama
01 Fiqih Madzhab Atau Fiqih Tarjih
09 Keunggulan Belajar Fiqih Lewat Tradisi
Madzhab Fiqih Tertentu
13 Bagaimana Cara Kita Bermadzhab
16 Bermadzhab Secara Terbuka dan Menerima Kebenaran
Dari Ulama Manapun
18 Bolehkah Mengikuti Pendapat Ulama
Selain Empat Madzhab
21 Hukum Pindah Madzhab dan Sikap Ta'ashshub
Terhadap Madzhab

Faidah Hadits 'Umdatul Ahkam


23 Amal Tergantung Pada Niatnya (Bag. 2)

Ushul Fiqih
27 Apakah Seorang Mujtahid Ahli Bid'ah
Dianggap Keberadaannya Dalam Ijma
29 Bolehkah Orang Awam Meninggalkan Pendapat Madzhab
yang Diikutinya Pada Sebagian Persoalan
30 Ijma' Para Shahabat Bahwa Hasil Ijtihad Mungkin Keliru
33 Beberapa Masail Tentang Ijma'

Qawa'id Fiqhiyyah
34 Penyelisihan 'Urf Terhadap Nash dan Dalil Syar'i
37 Bentuk-Bentuk Keringanan Syariat
38 Menggabungkan Niat Ibadah dan Tujuan Duniawi

Fiqih Syafi'i
40 Bolehkah Menghadiri Undangan Perkawinan
Orang yang Sumber Hartanya Haram
41 Hukum Mencukur Habis Jenggot
I S I

Fatwa Ulama
42 Bolehkah Bertaqlid Pada Ibnu Taimiyyah Rahimahullah
42 Mufti Tak Perlu Bertanya Tentang Madzhab Mustafti
43 Taqlid Pada Imam Malik Dalam Persoalan Air
yang Sedikit yang Terkena Najis
43 Perempuan Bekerja Bersama Laki-Laki di Tempat yang Sama

Fikrah
48 Memahami Konsep Wasathiyyah Islam yang Benar
PENGANTAR

Majalah FIQIH
‫ والصالة والسالم عىل رسول الله‬،‫ والحمد لله‬،‫بسم الله‬
.‫ أما بعد‬.‫وعىل آله وصحبه ومن تبع هداه‬

Alhamdulillah, dengan izin Allah ta’ala, majalah FIQIH edisi


3 bisa kami hadirkan ke hadapan anda. Edisi 3 ini, agak
terlambat kami terbitkan, karena beberapa waktu ini, Allah
menguji kami dengan sakit, yang semoga ia menjadi kaffarah
atas bergunung-gunung dosa yang kami lakukan.

Pada edisi 3 ini, kami menghadirkan kajian utama tentang,


“Fiqih Madzhab atau Fiqih Tarjih?”, tema yang sering membuat
bingung para pelajar pemula. Kami mencoba menyampaikan
tema ini secara proporsional, dan mendudukkan semua pada
tempat yang seharusnya.

Dalam rubrik fikrah, kami memuat tulisan, “Memahami


Konsep Wasathiyyah Islam yang Benar”. Wasathiyyah adalah
ruh ajaran Islam. Islam adalah agama yang lurus, tidak
berlebih-lebihan, tidak menggampang-gampangkan, tidak
ifrath dan tidak tafrith. Sayangnya, gagasan wasathiyyah Islam
ini, dibajak oleh sekelompok orang, dan memberinya warna
baru, yang sesuai dengan keinginan Barat. Jadi, wasathiyyah Penulis:
Islam atau Islam moderat, adalah Islam yang bisa menerima Muhammad Abduh
Negara
cara pandang dan worldview Barat. Ini jelas merusak makna
wasathiyyah Islam yang sebenarnya. Editor:
Abu Furqan
Silakan nikmati juga berbagai tulisan lainnya. Semoga Desain Cover:
bermanfaat. ink.Sharia Studio
Baarakallahu fiikum.
Layout:
ink.Sharia Studio
Akhukum fillah,
Muhammad Abduh Negara Diterbitkan Oleh
Madrasah Fiqih
Banjarmasin
Kajian Utama

FIQIH MADZHAB
ATAU FIQIH TARJIH?
Oleh: Muhammad Abduh Negara

Dr. Shalih bin Salim Ash-Shahud, dalam “At-


Tamadzhub Laa Yu’aridhu Ad-Dalil Wa Laa
Al-Qaul Ar-Rajih” (halaman 144), menyatakan:
“Mencari dalil adalah perkara yang sangat terpuji,
bahkan itu memang harus dilakukan, demikian juga
menemukan pendapat yang rajih (kuat). Namun itu
harus dilakukan pada waktu yang tepat. Ketika seseorang
belajar ilmu fiqih dan berbagai ilmu syar’i lainnya kepada
seorang guru yang pakar di bidangnya, dan ia mempelajari
ilmu ini secara bertahap, dengan belajar kitab-kitab ringkas
lebih dulu, kemudian kitab-kitab yang berisi penjelasan atas
kitab ringkas tersebut, kemudian ia juga belajar kitab-kitab
fiqih tingkat pertengahan kepada ulama. Setelah itu, ia mengkaji

01
dalil-dalil madzhab, ta’lilat dan taujihat- bin Ibrahim Asy-Syatwi, dalam “Ath-Thariq
nya. Kemudian ia juga belajar ushul dan Ila Al-Fiqh” (halaman 36), menyatakan:
kaidahnya. Lalu ia menelaah kitab-kitab “Bermadzhab pada awal proses belajar
yang berisi perbedaan pandangan ulama. fiqih merupakan perkara yang sangat
Selain itu, ia juga mempelajari ilmu- urgen. Dari zaman ke zaman, manfaat
ilmu lain yang berkaitan, seperti lughah, dan pengaruh baik dari pembelajaran
nahwu, balaghah, sebab turunnya ayat, mengikuti madzhab ini telah terbukti. Di
nasikh mansukh, dan lain-lain. Setelah antara bukti teranyar adalah, para ulama
tahapan yang sangat berat dan lama ini, besar kita, yang pengamalan syariah di
baru ia mampu meneliti dan mencari negeri-negeri ini mengikuti fiqih mereka,
pendapat yang rajih dan paling sesuai mereka memperoleh ilmu mereka
dengan dalil.” tersebut melalui sumber ini (mengikuti
madzhab fiqih tertentu), dan menempuh
Perkataan Ash-Shahud ini, sangat jelas jalan menuntut ilmu melalui jalan ini.
memberikan panduan bagi kita, pada Hingga kemudian mereka mencapai
pertanyaan, “Kapan seseorang layak derajat yang tinggi dalam tahqiq dan
melakukan tarjih (menguatkan satu tarjih, dan memiliki kemampuan dalam
pendapat ulama atas pendapat ulama mengajar fiqih dan berfatwa.”
lainnya)?”. Jawabannya adalah, saat ia
sudah memiliki kapasitas ilmu yang Dari pernyataan Asy-Syatwi di atas, dan
memadai untuk melakukan tarjih. Jika Ash-Shahud sebelumnya, ada beberapa
tidak, maka yang terjadi hanya malpraktik hal yang bisa kita simpulkan:
tarjih. Misal, seseorang berkata,
“Pendapat yang rajih adalah…”, padahal 1. Mencari pendapat yang paling kuat
ia belum pernah belajar ushul fiqih secara (rajih) di antara pendapat ulama, atau
runtut dan sistematis. Apa landasan ia diistilahkan dengan “tarjih’, bukanlah hal
mengatakan bahwa pendapat yang rajih yang tercela. Bahkan ia satu keharusan,
dan lebih sesuai dengan dalil adalah karena kita memang dituntut untuk
pendapat syaikh fulan? Tidak ada. Ia hanya mengikuti pendapat yang paling dekat
bicara ngawur saja, bicara tanpa ilmu. dengan kebenaran, paling sesuai dengan
petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Kita beralih ke urgensi belajar fiqih me-
lalui madzhab fiqih tertentu. Dr. Hamd

02
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: satu contoh yang paling masyhur adalah,
perubahan sebagian pendapat Imam
ُ َّ َ َّ َ ُ ُّ ُ َ ْ َ ْ ُ ْ َ َ َ ْ َ
‫ول‬ِ َ ‫ف ِإن ُ ْت ُنازع ُت ْم ِفي شي َّ ٍء فر ْدوه ِإل ْى آ الل ِه َوالرس‬ Asy-Syafi’i, dari pendapat yang beliau

‫ون ِبالل ِه َوال َي ْو ِم ال ِخ ِر ذ ِل َك خ ْي ٌر‬


َ ‫ِإ ْن كنت ْم تؤ ِم ُن‬ kemukakan sebelum ke Mesir, dengan
ً
‫َو أ� ْح َس ُن َت أ� ِويل‬
pendapat beliau setelah berada di Mesir,
yang kita kenal dengan istilah qaul qadim
dan qaul jadid.
Artinya: “Jika kalian berbeda pendapat
tentang sesuatu, kembalikanlah ia kepada Dr. ‘Ali Jum’ah dalam “Al-Imam Asy-
Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar Syafi’i Wa Madrasatuhu Al-Fiqhiyyah”
beriman kepada Allah dan hari akhir, itu (halaman 32-33) mengkritisi pandangan
lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS. yang tersebar luas, bahwa Imam Asy-
An-Nisa [4]: 59) Syafi’i meninggalkan sebagian pendapat
lamanya (madzhab qadim) dan
Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa membangun pendapat-pendapat barunya
ayat ini merupakan perintah Allah ‘azza (madzhab jadid) di Mesir, karena melihat
wa jalla untuk merujuk kepada Al-Kitab ada perbedaan tradisi dan kebiasaan
dan As-Sunnah dalam setiap perkara yang penduduk Mesir dibandingkan penduduk
diperselisihkan oleh manusia, baik dalam Irak, yang menjadi tempat beliau
hal pokok-pokok agama maupun cabang- mengasaskan madzhab lama beliau.
cabangnya.
Menurut beliau, pandangan ini tidak
Dan ini juga yang diamalkan oleh sesuai dengan fakta. Seandainya benar,
para ulama kita, sejak era shahabat alasan beliau mengubah pendapat adalah
ridhwanullahi ‘alaihim ajma’in, dan terus karena perbedaan tradisi dan kebiasaan,
berlaku di masa-masa berikutnya. Seluruh maka penduduk Irak yang mengikuti
pendapat yang dikemukakan oleh para madzhab beliau harusnya tetap bertahan
imam, termasuk Imam Abu Hanifah, dengan madzhab qadim, karena itu lebih
Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal, sesuai dengan kehidupan mereka di Irak.
adalah pendapat yang menurut mereka Tapi faktanya tidak seperti itu. Mereka
paling kuat dari sisi dalil dan paling dekat secara umum tetap mengikuti madzhab
dengan kebenaran. Dan mereka tidak jadid sang imam.
sedikit pun keberatan, untuk mengubah
pendapat mereka, saat menemukan ada
pendapat yang lebih kuat (rajih). Salah

03
Selain itu, orang-orang yang meneliti terusnya. Asy-Syafi’i kemudian berkata,
perubahan pandangan Asy-Syafi’i dari “al-aan hamiya al-wathis”. Maksudnya,
madzhab qadim menuju madzhab jadid beliau perlu menjelaskan hal tersebut.
beliau, menemukan bahwa perubahan itu
tidak karena ‘urf atau ‘adah yang berbeda, Seorang mujtahid, jika terdapat dalil sha-
namun karena kajian dan tarjih terhadap hih di sisinya, wajib baginya mengamalkan
dalil-dalil yang ada. kandungannya. Jika kemudian ia me-
nemukan dalil lain yang lebih kuat dari
Demikian juga, pada kasus-kasus tertentu, dalil pertama, yang menetapkan hukum
saat fuqaha Syafi’iyyah lebih menguatkan yang berbeda, maka wajib baginya
pendapat madzhab qadim Asy-Syafi’i untuk meninggalkan pendapatnya yang
dari madzhab jadid beliau, mereka pertama dan beralih ke pendapat kedua
meninjaunya dari sisi kekuatan dalil yang yang ditunjukkan oleh dalil yang lebih
digunakan dalam madzhab qadim, bukan kuat tersebut. Selesai kutipan dari Dr. ‘Ali
karena mereka penduduk Irak sehingga Jum’ah.
lebih memilih madzhab qadim.
2. Mencari pendapat yang paling kuat
‘Ali Jum’ah mengutip pernyataan Imam (rajih), itu setelah seseorang matang
Ahmad, saat beliau ditanya tentang dalam ilmu dan fiqih, bukan pada saat ia
kitab-kitab Asy-Syafi’i, mana yang lebih baru belajar.
beliau pilih dan sukai, apakah kitab-kitab
yang ditulis di Irak atau yang di Mesir. Orang awam dan yang baru belajar fiqih
Imam Ahmad berkata, “Hendaknya kamu dan berbagai ilmu syar’i lainnya, tugasnya
mengikuti kitab-kitab yang beliau tulis di adalah taqlid, mengikuti pendapat ulama,
Mesir. Beliau menulis kitab-kitab ini di Irak bukan meneliti dan memilah berbagai
dan belum menyempurnakannya. Setelah pendapat ulama tersebut dan menentu-
itu beliau ke Mesir dan menyempurna- kan yang paling kuat dari semuanya.
kannya.” Mereka tak bisa melakukannya, karena
ilmu alat untuk melakukan penelitian
Ada juga riwayat, seorang murid Asy-Syafi’i tersebut belum matang, bahkan belum
tidak menulis kata-kata Asy-Syafi’i, setelah dimiliki sama sekali.
dicek, ternyata ia khawatir, karena bisa
jadi Asy-Syafi’i mengemukakan pendapat, Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam
kemudian mengubahnya, demikian se- “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” (juz 2, halaman

04
407-408), pendapat yang menyatakan Kemudian, adakah yang disebut “fiqih
taqlid wajib bagi orang yang tidak tarjih” atau “madzhab tarjih”? Jawabannya,
memiliki kemampuan ijtihad, merupakan tidak ada. Madzhab itu dinisbatkan
pendapat mayoritas ulama muhaqqiq dan kepada ulama yang mengemukakan
para pengikut imam yang empat. Salah pendapat. Jadi, sebagaimana sah, kita
satu hujjah mereka adalah ijma’ shahabat katakan, madzhab Abu Hanifah, madzhab
dan tabi’in. Para mujtahid dari kalangan Malik, madzhab Asy-Syafi’i, maka sah juga
shahabat dan tabi’in biasa memberikan kita katakan, madzhab Al-Qaradhawi,
fatwa kepada orang awam yang bertanya madzhab Bin Baz, madzhab Al-‘Utsaimin,
kepada mereka tentang persoalan- dalam arti, pendapat-pendapat mereka
persoalan baru, tanpa ada pengingkaran dalam persoalan tertentu. Meski tentu,
dari salah seorang di antara mereka tidak sama antara madzhab empat yang
atas hal ini. Mereka pun tidak melarang telah kokoh lebih dari seribu tahun dan
kalangan awam bertanya kepada mereka, diberi khidmah oleh ribuan ulama, dengan
atau memerintahkan mereka mencapai “madzhab” para ulama kontemporer.
derajat mujtahid. Dan ini, menurut Az-
Zuhaili merupakan perkara yang sudah Perbedaan lain, madzhab fiqih yang
ma’lum bidh dharurah, dan mutawatir di empat, telah mengalami perkembangan
kalangan ulama dan awam. makna, sehingga ia tidak hanya mencakup
pendapat para imam pendiri madzhab,
3. Tidak ada pertentangan antara madzhab namun juga takhrij dan fatwa dari para
fiqih dan tarjih. ulama pengikut madzhab tersebut, yang
sesuai dengan ushul dan kaidah yang
Hal ini dilihat dari dua sisi. Satu, madzhab dibangun imam pendiri madzhab. Sebagai-
fiqih atau pendapat fiqih seorang imam, mana dinyatakan oleh Ash-Shahud dalam
itu hasil tarjihnya terhadap dalil-dalil kitabnya (halaman 140-141).
yang ada, juga tarjih atas pendapat-
pendapat pendahulunya dilihat dari sisi Kembali ke fiqih tarjih dan madzhab
dalil dan istidlalnya. Jadi, madzhab itu tarjih. Hal ini hakikatnya tidak ada.
hasil dari tarjih. Dua, kompetensi tarjih Bahkan, sebagaimana saya sampaikan
itu dimiliki oleh seseorang, ketika ia telah sebelumnya, masing-masing madzhab itu
menempuh pembelajaran fiqih melalui adalah hasil tarjih sang imam terhadap dalil
tradisi madzhab dalam waktu lama. dan pendapat-pendapat yang ada. Jadi,
*** setiap madzhab telah mengumpulkan

05
seluruh pendapat yang rajih, berdasarkan dengan catatan, ungkapan-ungkapan ini,
ijtihad mereka. Dan karena itu hasil ijtihad, hanya layak disampaikan oleh orang yang
bisa benar, bisa juga salah, sebagaimana telah memiliki kompetensi dan kapasitas
ijtihad ulama yang lain. keilmuan yang memadai.

Tidak ada kumpulan pendapat yang hanya Karena istilah “fiqih tarjih” atau “madzhab
memuat pendapat yang rajih saja dari sisi tarjih”, secara mutlak, itu tidak ada. Maka
dalil, yang menjadi patokan kebenaran tidak ada juga istilah semisal, “belajar
bagi seluruh orang. Dalam ranah ijtihad, fiqih mengikuti madzhab tarjih”. Yang ada
pendapat yang rajih itu sifatnya nisbi, adalah, belajar fiqih mengikuti tradisi satu
tergantung rajih menurut siapa. Jadi, madzhab fiqih tertentu, dan mengikuti
ungkapan “pendapat yang rajih adalah…”, hasil tarjih madzhab tersebut, atau belajar
jika dianggap mutlak, itu tidak benar. fiqih mengikuti hasil tarjih dari guru fiqih
Yang tepat adalah ungkapan, “pendapat anda, atau tarjih dari syaikh atau kitab
yang rajih menurut syaikh fulan adalah…”. yang menjadi rujukan dari guru fiqih anda.
Artinya, pendapat tersebut, berdasarkan Jika anda belajar fiqih dari kitab “Fiqh As-
hasil penelitian syaikh fulan, adalah Sunnah” karya Syaikh Sayyid Sabiq, maka
pendapat yang paling kuat dari sisi dalil. artinya, anda belajar fiqih mengikuti hasil
Namun belum tentu, itu juga pendapat tarjih dari sang syaikh, yang mungkin
yang rajih menurut syaikh ‘allan, bisa jadi benar, mungkin juga keliru. Demikian juga
menurutnya, itu malah pendapat yang saat anda belajar “Shifah Shalah An-Nabi”
lemah (marjuh). karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-
Albani, atau kitab-kitab yang lain.
Kalaupun seseorang ingin menyebutkan
pendapat yang rajih menurut penelitiannya Dalam konteks belajar (tafaqquh),
sendiri, ia perlu mengungkapkan dengan tentu belajar melalui tradisi madzhab
ungkapan, “pendapat yang rajih menurut diunggulkan, karena beberapa alasan, di
saya”, sebagaimana yang biasa dilakukan antaranya:
oleh para ulama. Atau, boleh juga
mengungkapkan dengan, “pendapat yang 1. Tradisi belajar mengikuti madzhab ini,
rajih adalah…”, tapi dengan makna, bahwa adalah tradisi baku dan kokoh, yang telah
itu pendapat yang rajih menurutnya, dilakukan oleh para ulama dari zaman ke
bukan pendapat yang rajih secara mutlak, zaman, sejak berkembangnya madzhab
dan wajib diikuti oleh semua orang. Tentu yang empat, di abad ke-2 dan ke-3

06
hijriyyah. Anda kenal Ibnu Taimiyyah? Raghibin” karya Imam Al-Mahalli, “Mughni
Beliau tumbuh dan belajar dari madrasah Al-Muhtaj” karya Imam Asy-Syirbini,
fiqih madzhab Hanbali. Anda kenal Al- “Tuhfah Al-Muhtaj” karya Imam Ibnu Hajar
Hafizh Ibnu Hajar, penulis “Fath Al-Bari” Al-Haitami, dan “Nihayah Al-Muhtaj” karya
yang sangat masyhur itu? Beliau tumbuh Imam Syamsuddin Ar-Ramli.
dan belajar dari madrasah fiqih madzhab
Syafi’i. Sebutkan saja nama-nama ulama
besar, baik di bidang fiqih, tafsir, Hadits,
dan lain-lain, pasca era imam empat
Karena istilah
madzhab, maka anda akan menemukan, “fiqih tarjih”
mereka bertafaqquh mengikuti satu atau “madzhab
madzhab fiqih tertentu.
tarjih”, secara
Jika ada metode yang terbukti berhasil
mutlak, itu tidak
selama ratusan tahun, dan sampai ada. Maka tidak
sekarang belum pernah gagal, kemudian ada juga istilah
ada metode lain yang coba ditawarkan
di masa sekarang, yang belum lulus
semisal, “belajar
uji kompetensi, belum ada bukti jelas fiqih mengikuti
atas keberhasilannya, kira-kira kita akan madzhab tarjih”.
memilih yang mana?

2. Kitab-kitab madzhab, telah diberi Ada dua kitab hasyiyah yang populer
khidmah oleh banyak sekali ulama, untuk “Kanz Ar-Raghibin”, yaitu “Hasyiyah
dengan penelitian ulang, penentuan yang Al-Qalyubi” dan “Hasyiyah ‘Amirah”. Untuk
rajih dari yang marjuh dalam madzhab, “Tuhfah Al-Muhtaj”, ada “Hasyiyah Asy-
ringkasan, penjelasan atas ringkasan, dan Syarwani” dan “Hasyiyah Al-‘Abbadi”. Dan
lain-lain. Sebagai contoh, kitab “Minhaj untuk “Nihayah Al-Muhtaj” ada “Hasyiyah
Ath-Thalibin” adalah kitab karya Imam An- Asy-Syabramallisi” dan “Hasyiyah Al-
Nawawi, yang merupakan ringkasan kitab Maghribi Ar-Rasyidi”. Kemudian, ada
“Al-Muharrar” karya Imam Ar-Rafi’i. Kitab juga kitab “Manhaj Ath-Thullab” karya
“Minhaj Ath-Thalibin” ini diberi syarah Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshari, yang
oleh banyak sekali ulama, di antara syarah merupakan ringkasan dari “Minhaj Ath-
yang paling masyhur adalah “Kanz Ar- Thalibin”. Kemudian kitab ini, beliau beri

07
syarah dengan nama “Fath Al-Wahhab”. untuk naik ke tingkat berikutnya. Dan
Setelah itu datang beberapa hasyiyah atas agar tidak terjadi kebingungan saat awal
kitab “Fath Al-Wahhab” ini, di antaranya belajar, poin-poin tersebut perlu merujuk
yaitu “Hasyiyah Az-Zayyadi”, “Hasyiyah Al- ke standar yang baku, yang diterima di
Jamal”, “Hasyiyah Al-Bujairimi”, “Hasyiyah manapun. Dan itu ada pada madzhab fiqih.
Al-Halabi”, dan “Hasyiyah Asy-Syaubari”. Kalau anda bertafaqquh dalam madzhab
Dan seterusnya. Silakan baca “Al-Madkhal Syafi’i misalnya, di manapun anda belajar,
Ila Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’I”, karya Dr. di Indonesia, di Yaman, di Mesir, di Ahsa
Akram Yusuf ‘Umar Al-Qawasimi (halaman (Saudi Arabia), di Syam, dan lain-lain,
491-492 dan 513-515), dan “Mukhtashar anda akan mendapatkan penjelasan
Al-Fawaid Al-Makkiyyah”, karya Al- bahwa dalam shalat itu ada rukun, sunnah
‘Allamah ‘Alawi bin Ahmad As-Saqqaf ab’adh dan sunnah haiat, dengan poin-
(halaman 76-78). poin penjelasan yang hampir sepenuhnya
sama.
Ini baru satu contoh saja, rangkaian
hubungan antar kitab dalam madzhab Bandingkan jika anda bertafaqquh di
Syafi’i, yang berporos pada “Minhaj Ath- luar madzhab. Sejak awal sudah kesulitan
Thalibin”. Dan masih banyak rangkaian menentukan, kitab karya syaikh siapa yang
lain dalam lingkungan madzhab Syafi’i. dijadikan rujukan, atau bisa jadi cuma
Dan hal ini juga berlaku dalam madzhab hasil comot sana-sini oleh sang pengajar.
Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Kalau kitab- Jangankan beda negeri, bahkan satu
kitab fiqih di luar madzhab yang empat, kota, beda masjid dan tempat kajian saja,
adakah yang diberi khidmah seperti ini? penjelasan ustadz A dengan ustadz B bisa
jauh berbeda. Ini sangat membingungkan
3. Jika tafaqquh dengan metode tarjih, kalangan awam, katanya sama-sama ikut
pertanyaannya, pakai tarjih syaikh siapa? Al-Qur’an dan As-Sunnah, kok penjelasan
Bukankah tarjih dan pendapat yang rajih tiap ustadz berbeda-beda? Dan fakta ini
itu, nisbi sifatnya, mengikuti siapa yang benar-benar terjadi.
merajihkan.
Wallahu a’lam bish shawab.
Yang diperlukan kalangan pelajar
pemula, adalah memahami poin-poin
penting dalam setiap bahasan fiqih,
untuk diamalkan, dan dijadikan modal

08
Kajian Utama

KEUNGGULAN BELAJAR FIQIH


LEWAT TRADISI MADZHAB FIQIH TERTENTU
Oleh: Muhammad Abduh Negara

S
alah satu keunggulan belajar fiqih fiqih) secara rinci, karena ia harus
mengikuti salah satu madzhab fiqih membaca syarah (kitab yang menjelaskan
adalah, pelajar memahami setiap isi matan/mukhtashar) dari satu kitab,
bahasan fiqih secara daqiq, secara rinci. untuk mengetahui penjelasan lebih rinci
Sebagai contoh, dalam bahasan aurat tentang materi yang dimuat oleh kitab
misalnya, madzhab Syafi’i merincikan dalam bentuk matan atau mukhtashar
dan membedakan aurat perempuan (kitab ringkasan) tersebut. Bahkan, untuk
merdeka dengan budak, membedakan lebih memperjelas lagi, kita perlu baca
aurat perempuan di hadapan sesama kitab hasyiyah (kitab yang menjelaskan
perempuan muslimah dan perempuan isi syarah). Bahkan kita perlu membaca
kafir, juga di hadapan mahram, non- banyak syarah dan hasyiyah dari berbagai
mahram, dan suami, membedakan matan yang berbeda, untuk sampai pada
bahasan aurat di dalam shalat dan di luar pemahaman yang rinci terhadap satu
shalat, dan seterusnya. masail.

Dalam fiqih shalat, ada perincian semisal, Rumit memang, tapi itu melatih kita
apa saja syarat sahnya ruku’ dan sujud, untuk berpikir rinci, sekaligus melatih
apa saja syarat sahnya bacaan Al-Fatihah, kita untuk memahami ta’lil ahkam (alasan
bacaan minimal tasyahhud, shalawat, dan ditetapkannya hukum tersebut) oleh para
seterusnya. Ada perincian keadaan yang fuqaha.
mengharuskan (dianjurkan) untuk sujud
sahwi, hal yang membatalkan shalat jika Hal semacam ini yang sulit didapatkan dari
disengaja, namun jika tidak disengaja proses belajar fiqih di luar tradisi madzhab.
tidak batal, dan berbagai bahasan rinci Kitab-kitab yang mereka jadikan rujukan,
lainnya. jarang melakukan perincian, dan tidak
ada kitab-kitab berikutnya yang datang
Bagi yang baru belajar fiqih madzhab, memberikan khidmah pada kitab tersebut.
akan kesulitan menemukan dhawabith Akhirnya, saat diminta penjelasan
(ketentuan rinci) dan istitsna (pe- secara rinci, mereka kebingungan, atau
ngecualian) setiap masail fiqih (bahasan “berijtihad sendiri” dalam memberikan

09
perincian, tanpa kaidah yang jelas, dan ustadz sendiri, dalam fatwanya tersebut,
tanpa landasan ilmu yang memadai. mengakui bahwa pendapat tersebut
menyelisihi empat madzhab. Sebenarnya,
Bahkan dalam titik ekstrem, saya pernah bukan hanya empat madzhab, tapi seluruh
menemukan orang yang sudah lama hadir ulama.
di majelis pengajian non-madzhab, tidak
mampu membedakan mana rukun shalat Ada juga fatwa lain, dari ustadz yang
dan mana sunnahnya, atau kebingungan sama, yang menganggap haram jual beli
karena penjelasan ustadz yang satu kurma secara online. Entah pendapat
dengan yang lain berbeda-beda. Padahal, siapa yang diikuti sang ustadz, karena
bagi pelajar madzhab, bahasan ini sudah sepengetahuan kami, tidak ada ulama
mereka temukan di awal-awal mereka yang berfatwa seperti itu. Beda halnya,
belajar, dari kitab fiqih paling tipis kalau barter kurma dengan kurma, yang
sekalipun. memang disyaratkan harus langsung
diserahterimakan. Tapi kasus yang
Ada beberapa bahaya dari belajar fiqih difatwakan ini, beli kurma dengan uang.
tanpa jalur madzhab, di antaranya: Padahal uang dan kurma ini beda ‘illah
(alasan hukum), berdasarkan pendapat
1. Potensi jatuh pada pendapat syadz empat madzhab dan lainnya, yang
(nyeleneh) dan tidak mu’tabar, karena mengakui adanya ‘illah dalam barang-
selalu mengklaim mengikuti dalil, tanpa barang ribawi, sehingga tidak disyaratkan
mau peduli aqwal (pendapat) para ulama harus langsung diserahterimakan.
mu’tabar tentang bab tersebut.
2. Jika tidak disertai adab dan sikap tahu
Salah satu pendapat syadz yang sempat diri, sering bersikap lancang pada ulama
ramai beberapa waktu lalu, fatwa mu’tabar, menganggap pendapat para
seorang ustadz rujukan dari HT, bahwa ulama tersebut menyelisihi dalil, padahal
boleh makan dan minum selama adzan ilmunya sendiri yang masih cetek.
shubuh masih berkumandang di bulan
Ramadhan, meskipun sudah diyakini Dr. Shalih bin Salim As-Sahud, dalam
saat itu waktu shubuh sudah masuk “At-Tamadzhub Laa Yu’aridhu Ad-Dalil
(bukan karena menganggap adzan terlalu Wa Laa Al-Qaul Ar-Rajih” (halaman 146-
cepat). Pendapat yang hanya dilandasi 147), menyebutkan beberapa dampak
oleh Hadits yang didhaifkan oleh banyak buruk dari klaim mengikuti pendapat
ulama Hadits ini, menabrak ijma’ ulama, yang rajih (kuat) sebelum bertafaqquh
sejak era salaf dan khalaf. Bahkan sang dalam satu madzhab, di antaranya:

10
merasa lebih hebat dari para ulama naik ke menengah, naik ke tingkat akhir.
besar, khususnya imam empat madzhab, Sedangkan pembelajaran non-madzhab,
serta menganggap pendapat-pendapat belum mampu menunjukkan jenjang dan
mereka dan para ulama pengikuti empat kurikulum yang jelas untuk itu. Sehingga
madzhab tersebut, pendapat yang lemah, sebagai sebuah sistem pembelajaran, sulit
bahkan menyelisihi dalil. diikuti dan diterima oleh banyak orang.

3. Sulit menemukan pembelajaran Lalu, apakah pembelajaran fiqih madzhab


secara berjenjang, yang meningkatkan juga punya kekurangan? Jawabannya,
level keilmuan seseorang dari pemula tentu ada. Tapi solusi untuk kekurangan
ke pertengahan ke tingkat akhir, yang tersebut pun, juga ada.
itu sudah tersedia dalam tradisi belajar
madzhab. Memang benar, yang belajar 1. Umumnya, yang belajar fiqih madzhab,
lewat madzhab pun, belum tentu sampai lebih banyak fokus pada perincian
level mutawassith (pertengahan) apalagi bahasan, sehingga kurang mendalami sisi
muntahi (tingkat akhir), tapi jenjang dan dalil dan istidlal, terutama yang belajarnya
kurikulumnya ada. Seperti pendidikan tidak sampai pada kitab-kitab besar
formal kita, memang tidak semua yang seperti “Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab”
sekolah formal itu sampai pada level dan semisalnya.
doktoral, tapi jenjangnya ada.
Solusinya, perlu menelaah kitab-kitab
Contoh jenjang belajar dalam madzhab besar yang membahas sisi pendalilan dan
Syafi’i misalnya, dari kitab “Matn Al- munaqasyah antar dalil (adu argumen
Ghayah Wa At-Taqrib”, setelah tamat dalil), seperti “Al-Majmu’” karya An-
dan menguasainya dengan baik, naik ke Nawawi, “Al-Hawi Al-Kabir” karya Al-
kitab “Fath Al-Qarib”, setelah tamat dan Mawardi, “Nihayah Al-Mathlab” karya
menguasainya dengan baik, naik ke kitab Imam Al-Haramain, dan lain-lain. Juga
“Fath Al-Mu’in”, setelahnya naik lagi ke menelaah kitab-kitab tafsir ahkam, dan
kitab “I’anah Ath-Thalibin”, dan seterusnya. syarah Hadits ahkam. Juga mempelajari
Ini satu contoh saja, yang saya ambil dari ilmu-ilmu alat semisal ushul fiqih, ushul
sebagian kurikulum pondok pesantren tafsir, mushthalah Hadits, dan lain-lain.
Darussalam, Martapura, Kalimantan Selatan.
2. Bisa jatuh pada sikap ta’ashshub
Di tempat lain, mungkin urutannya ber- madzhab (fanatisme buta pada madzhab)
beda. Namun semuanya sama dari sisi, dan jumud pada pendapat madzhab.
ada level pembelajaran, dari tingkat dasar,

11
madzhab lebih bisa bersikap toleran
Ta’ashshub madzhab memang benar- terhadap perbedaan pendapat. Bahkan
benar ada, dan kadang menjadi sumber kadang, dalam fatwa, mereka memberikan
konflik antar pengikut madzhab. Bahkan, fatwa dari madzhab berbeda, ketika
sempat ada fatwa dari sebagian pengikut memang ada hajat untuk itu. Yang lebih
madzhab Hanafi, yang melarang pengikut sering terjadi, kalangan yang menolak
Hanafi menikahkan anak perempuannya bermadzhab, yang malah menunjukkan
dengan laki-laki bermadzhab Syafi’I, sikap ta’ashshub terhadap guru, syaikh
sebagaimana disebutkan dalam “Al-Bahr dan pendapat komunitasnya.
Ar-Raiq”, karya Ibnu Nujaim Al-Hanafi (juz
2, halaman 81). Mana buktinya?

Solusinya, banyak membaca kitab-kitab Buktinya, saat kita menyampaikan


fiqih perbandingan madzhab, agar me- pendapat berbeda, dengan pendapat
mahami, semua madzhab juga punya yang ia dapatkan dari gurunya, dengan
dasar argumen masing-masing atas pen- cepat ia menuduh kita melakukan
dapat mereka. bid’ah, terkena syubhat, dan lain-lain.
Saat kita tanya, apa argumentasi dia atas
Juga membaca kitab serta penelitian fiqih tuduhannya tersebut? Atau lebih dasar
kontemporer, untuk memahami bahwa lagi, apakah ia punya dasar keilmuan
fiqih itu harus hidup dan berinteraksi untuk berhujjah dan berdalil? Nyatanya,
dengan zaman, tidak hanya tersimpan di nol besar.
lembaran kertas kitab kuning.
Artinya, apa yang menjadi dasar ia me-
Juga membaca kitab-kitab tentang tarikh nuduh pendapat yang kita sampaikan itu
fiqih, madkhal fiqhi (pengantar fiqih), dan bid’ah dan syubhat? Tidak ada, kecuali
semisalnya, untuk memahami posisi fiqih fanatik buta pada gurunya. Jika seseorang
secara tepat, dan bisa memposisikan keras bersikap, tapi tanpa landasan ilmu
secara tepat antara fiqih klasik dan fiqih yang kokoh, alasannya pasti karena
kontemporer. fanatisme buta.

Namun patut dicatat, sikap ta’ashshub ini Wallahu a’lam bish shawab.
tidak talazum (terikat) dengan madzhab
fiqih. Artinya, bermadzhab tidak otomatis
ta’ashshub. Yang lebih umum terjadi di
masa sekarang, orang-orang yang ber-

12
Kajian Utama

BAGAIMANA CARA KITA


BERMADZHAB?
Oleh: Muhammad Abduh Negara

Istilah “bermadzhab” atau “at-tamadzhub”, pada artikel “Fiqih Madzhab atau Fiqih
bisa menunjuk pada tiga hal, yaitu: Tarjih?”.

1. Bertafaqquh, atau belajar fiqih, Lalu bagaimana untuk amal serta ifta dan
mengikuti tradisi dan kurikulum satu qadha?
madzhab fiqih tertentu. Misal, dia
bertafaqquh dalam madzhab Syafi’i, Untuk amal sendiri, kalangan muta-
dengan cara belajar kitab fiqih Syafi’i, akhkhirin dalam madzhab Syafi’i, cukup
misal dari “Matn Al-Ghayah Wa At- longgar, terutama jika yang diamalkan
Taqrib”, kemudian lanjut ke “Fath Al- tersebut masih merupakan satu pendapat
Qarib”, kemudian lanjut ke “Fath Al- di kalangan Syafi’iyyah. Al-‘Allamah
Mu’in”, kemudian lanjut ke “I’anah Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdi dalam
Ath-Thalibin”, dan seterusnya. “Al-Fawaid Al-Madaniyyah” (halaman 67),
menyatakan bahwa pendapat-pendapat
2. Beramal mengikuti madzhab fiqih yang dhaif dalam madzhab boleh
tertentu, terutama pendapat-pendapat diamalkan untuk diri sendiri, namun tidak
yang dianggap mu’tamad (pegangan) boleh difatwakan dan menjadi putusan
dalam madzhab tersebut. hukum dalam peradilan. Yang dimaksud
pendapat dhaif di sini, mencakup pen-
3. Memberikan fatwa dan menetapkan dapat yang menyelisihi pendapat yang
putusan dalam peradilan (ifta dan ashah, menyelisihi mu’tamad, menyelisihi
qadha), mengikuti pendapat madzhab pendapat awjah, dan menyelisihi pen-
tertentu. dapat muttajih. Sedangkan pendapat
yang menyelisihi pendapat yang shahih,
Jadi ringkasnya, bermadzhab itu men- tidak boleh diikuti sama sekali, karena
cakup tafaqquh, amal serta ifta dan qadha. biasanya pendapat tersebut pendapat
Dalam konteks tafaqquh, hampir tidak yang rusak. Demikian penjelasan Al-Kurdi.
ada khilaf yang layak dianggap, tentang
urgensi belajar fiqih mengikuti tradisi Untuk istilah-istilah di atas, perinciannya
madzhab fiqih tertentu. Bahkan itu mungkin tidak perlu dijelaskan di sini.
merupakan tradisi ulama dari zaman ke Yang jelas, maksud Al-Kurdi adalah,
zaman, sebagaimana sudah saya tulis pendapat-pendapat yang dianggap

13
marjuh (lemah) dalam madzhab, selama pendapat yang tidak mu’tamad dalam
tidak sangat lemah (diistilahkan dengan madzhab Syafi’i, bahkan memfatwakan
“khilaf ash-shahih”, menyelisihi pendapat pendapat dari madzhab lain.
yang shahih), boleh dijadikan pegangan
dalam amal pribadi, orang yang Bahkan, umumnya fuqaha kontemporer,
menisbatkan diri pada madzhab Syafi’i, dari madzhab apapun, mereka biasa
boleh mengamalkannya. Namun dalam melakukan tarjih lintas madzhab. Dr.
konteks ifta (fatwa) dan qadha, tidak boleh Mushthafa Dib Al-Bugha, salah satu ulama
memakai pendapat yang marjuh tersebut. Syafi’iyyah kontemporer, dalam salah satu
muhadharah, menyatakan bahwa beliau
Imam Shalahuddin Al-‘Allai, sebagaimana saat menulis fiqih muqaran (perbandingan
dikutip oleh Al-’Allamah Ahmad Bik Al- madzhab), kadang beliau merajihkan
Husaini, dalam kitab “Tuhfah Ar-Ra’y As- pendapat Malik dan Abu Hanifah, bahkan
Sadid Fi Al-Ijtihad Wa At-Taqlid” (halaman kadang Ibnu Taimiyyah dan Ibn Hazm.
81), menyatakan bahwa para fuqaha Demikian juga yang dilakukan oleh Dr.
dalam kitab-kitab mereka, membolehkan Wahbah Az-Zuhaili dan banyak fuqaha
seseorang berpindah madzhab dari kontemporer lainnya.
madzhab imamnya, dalam satu dua
persoalan dan mengamalkan pendapat di ***
luar madzhab imamnya tersebut, selama Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam “Kayfa
hal itu tidak dalam rangka tatabbu’ Nata’amalu Ma’a At-Turats Wa At-
rukhash (mencari-cari pendapat yang Tamadzhub Wa Al-Ikhtilaf” (halaman
ringan tanpa hajat syar’i). 69), menyatakan bahwa beliau sepakat
dengan Asy-Syaukani untuk mendorong
Jadi, dalam amal, bahkan kebolehannya para ulama berijtihad, menolak pihak yang
bukan sekadar mengikuti pendapat yang mewajibkan taqlid pada semua orang dan
tidak mu’tamad, namun juga mengikuti yang mewajibkan mengikuti pendapat satu
pendapat dari madzhab yang berbeda. imam madzhab dalam seluruh persoalan
tanpa kecuali, dan beliau juga sepakat
Adapun untuk ifta dan qadha, kalangan untuk menolak ditutupnya pintu ijtihad.
mutaakhkhirin Syafi’iyyah, cukup ketat,
sebagaimana dijelaskan oleh Al-Kurdi Namun beliau tidak sepakat dengan Asy-
di atas. Namun di kalangan fuqaha Syaukani dalam pengharaman taqlid pada
kontemporer, hal itu jauh lebih longgar. orang-orang awam serta pengharaman
Sebagai contoh, Dr. ‘Ali Jum’ah, ulama bermadzhab bagi mereka. Bagi beliau,
Syafi’iyyah kontemporer, mufti Mesir mengikuti madzhab salah satu imam
periode lalu, dalam fatwa-fatwanya, madzhab itu boleh hukumnya. Boleh,
kadang menguatkan dan memfatwakan tidak wajib, juga tidak haram.

14
Pandangan Al-Qaradhawi ini, mirip persoalan, malah akan membuatnya
dengan pandangan Dr. Wahbah Az- jatuh dalam kesulitan dan kesempitan.
Zuhaili, sebagaimana beliau kemukakan
dalam “Ushul Al-Fiqh Al-Islami”. Az-Zuhaili ***
mengemukakan pendapat ulama yang Boleh disimpulkan, sikap terbaik dalam
tidak mewajibkan seseorang untuk bermadzhab adalah bertafaqquh dalam
terikat pada pendapat satu madzhab madzhab tertentu, sampai memiliki
dalam seluruh persoalan, dan beliau pemahaman yang mendalam terhadap
mengisyaratkan mendukung pendapat madzhab tersebut, bukan saja furu’, tapi
tersebut. Di antara argumentasi yang juga ushul dan kaidah madzhab tersebut.
beliau kemukakan: Kemudian melakukan kajian komprehensif
terhadap madzhab-madzhab lain, beserta
1. Allah dan Rasul-Nya hanya dalil dan istidlalnya.
memerintahkan bertanya pada ulama
pada perkara yang tidak diketahui, Dalam konteks amal, tentu orang yang
tanpa menentukan nama ulama bertafaqquh dalam satu madzhab, ia
tertentu. Allah dan Rasul-Nya tidak akan cenderung mengamalkan pendapat
mewajibkan untuk mengikuti satu madzhab tersebut, karena ia tahu
kekuatan dalil dan istidlalnya dengan baik.
ulama tertentu, dan kita tak boleh
Namun, pada kasus-kasus tertentu, jika ia
mewajibkan hal yang tidak diwajibkan
menemukan kelemahan pada pendapat
oleh Allah dan Rasul-Nya.
madzhabnya, dan madzhab lain lebih kuat,
ia akan mengamalkan pendapat yang
2. Para shahabat dan tabi’in, mereka
lebih kuat tersebut, meskipun menyelisihi
bertanya kepada ulama mereka yang
madzhabnya.
mana saja jika ada hal yang tidak
mereka ketahui, tanpa mewajibkan
Demikian juga dalam ifta dan qadha,
untuk mengikuti satu orang shahabi ia akan cenderung pada pendapat
atau tabi’i tertentu. Dan perkara madzhabnya. Namun pada kasus-kasus
ini diketahui secara umum di tertentu, bisa jadi ia akan menguatkan
kalangan mereka dan tidak ada yang pendapat dari madzhab lain, baik karena
mengingkarinya, sehingga ia dianggap dalilnya lebih kuat, atau sisi maslahatnya
sebagai ijma’ di kalangan mereka. lebih besar, dan lain-lain, yang dipelajari
dalam dhawabith fatwa.
3. Adanya berbagai madzhab ulama itu
adalah nikmat, rahmat dan kemudahan Wallahu a’lam.
bagi umat. Sedangkan mewajibkan
seseorang untuk mengikuti pendapat
satu ulama saja dalam seluruh

15
Kajian Utama

BERMADZHAB SECARA TERBUKA


DAN MENERIMA KEBENARAN
DARI ULAMA MANAPUN
Oleh: Muhammad Abduh Negara

Dr. Ayman Shalih, dalam makalah beliau tama, yaitu “al-madzhabiyyun”. Yang
berjudul “Shina’ah At-Tajdid Al-Fiqhi”, yang mengikuti metode ini, terbagi menjadi
dimuat dalam buku “Shina’ah At-Tafkir Al- dua kelompok besar, yaitu “du’at al-
Fiqhi”, yang diterbitkan penerbit Takween, madzhabiyyah al-mughlaqah” (kelompok
London, menyebutkan tiga pandangan bermadzhab yang tertutup), dan “du’at
pemikir kontemporer tentang “tajdid al- al-madzhabiyyah al-maftuhah” (kelompok
fiqh” (pembaharuan fiqih). Saya hanya bermadzhab yang terbuka).
akan fokus pada pandangan ketiga,
yang dipuji oleh beliau, sedangkan dua Kesamaan dua kelompok ini adalah sama-
pandangan pertama mendapat kritikan sama bermadzhab dengan salah satu
keras. Pandangan ketiga, yang beliau madzhab fiqih, baik dalam proses belajar,
sebut “al-ihyaaiyyun al-mu’tadilun”, amal, dan fatwa. Namun keduanya berbeda
berbeda dengan dua pandangan pertama dari sisi kewajiban mengikuti salah satu
yang mengarah pada perubahan dan madzhab fiqih yang empat. Yang pertama
penggantian perkara ushul dan tsawabit mewajibkannya, dan mengharamkan
dalam fiqih Islam, pandangan ketiga keluar dari pendapat empat madzhab.
ini hanya berupaya menghidupkan, Sedangkan yang kedua, yaitu “kelompok
menguatkan, dan memperbaiki fiqih terbuka”, mereka tak mewajibkan terikat
Islam, sehingga ia bisa hidup di zaman pada salah satu madzhab fiqih yang
sekarang, tanpa kehilangan ruhnya yang ada, bahkan membolehkan taqlid pada
asli. imam mujtahid di luar lingkungan empat
madzhab fiqih.
Pandangan ketiga ini, terbagi lagi menjadi
tiga metode. Pertama, beliau sebut “al-
Kita fokus pada kelompok terakhir
madzhabiyyun”. Kedua, “al-wasathiyyunini. Mereka, meskipun bermadzhab
at-taysiriyyun”, dengan salah satu tokoh
(tamadzhub) dengan salah satu madzhab
utamanya, Yusuf Al-Qaradhawi. Ketiga,yang empat, namun tetap terbuka pada
“as-salafiyyun”. pendapat di luar madzhabnya, bahkan
terbuka pada pendapat di luar empat
Sekarang kita fokus pada metode per- madzhab. Bahkan mereka membolehkan,

16
atau malah mewajibkan, para ulama untuk pendapat tersebut. Al-Buthi, di salah satu
berijtihad dalam persoalan-persoalan fatwanya, membolehkan taqlid pada
kontemporer dengan metode fiqih Ibnu Taimiyyah, sebagaimana beliau juga
perbandingan, bukan sekadar dengan membolehkan mengikuti pendapat Ats-
metode takhrij madzhab saja. Tsauri, Asy-Sya’bi, Al-Auza’i dan lainnya.
Az-Zuhaili, meski bernisbat pada madzhab
Beberapa nama yang disebutkan oleh Syafi’i, kadang beliau melemahkan
Dr. Ayman Shalih sebagai bagian dari pendapat dari madzhab Syafi’i di kitab
kelompok ini adalah Wahbah Az-Zuhaili, beliau, “Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu”.
Al-Buthi, dan Az-Zarqa.
Kelompok ini, menggabungkan dua hal,
Tentang tidak wajibnya terikat dengan yakni kebaikan bermadzhab (tamadzhub),
pendapat satu madzhab saja, bahkan sekaligus sikap terbuka dan inshaf (adil
bolehnya mengikuti pendapat di luar dan proporsional), bahwa kebenaran
empat madzhab, Wahbah Az-Zuhaili dalam tidak terbatas pada empat madzhab saja,
kitab beliau, “Ushul Al-Fiqh Al-Islami” juga tidak mewajibkan sesuatu yang tidak
mengajukan argumentasi yang bagus dan diwajibkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-
proporsional. Beliau menyajikan pendapat Nya.
dan argumentasi masing-masing pihak,
kemudian merajihkan pendapat yang Wallahu a’lam bish shawab.
membolehkan, dengan beberapa
argumentasi, salah satunya bahwa
kewajiban yang dibebankan Syariat hanya
ikut ulama, bertanya pada ulama jika tidak
tahu satu persoalan, tanpa menentukan
ulama mana yang harus diikuti. Generasi
salaf pun, bertanya kepada para mufti di
kalangan Shahabat, tanpa mengikatkan
diri pada satu orang Shahabat saja. Dan
kita tidak bisa mewajibkan sesuatu yang
tidak diwajibkan oleh Syariat.

Selama penisbatan pendapat pada imam


mujtahid di luar empat madzhab itu valid
--dan itu sesuatu yang mungkin kita
capai--, maka boleh taqlid atau mengikuti

17
Kajian Utama

BOLEHKAH MENGIKUTI
PENDAPAT ULAMA SELAIN
EMPAT MADZHAB?
Oleh: Muhammad Abduh Negara

S
aat berbicara tentang perbedaan mengikuti tradisi belajar madzhab. Dan
pendapat ulama, apakah ia terbatas fakta ini tak diingkari oleh para ulama,
hanya pada ulama empat madzhab kecuali segelintir dari mereka saja. Silakan
saja, yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas, baca bahasan ini, pada muqaddimah kitab
Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, dan “Al-Madzahib Al-Fiqhiyyah Al-Arba’ah”,
Ahmad bin Hanbal, semoga Allah meridhai karya kumpulan ulama, yang diterbitkan
dan merahmati mereka semua, atau juga oleh Idaratul Ifta, Kuwait. Bahasan ini
untuk ulama-ulama lainnya? juga diulas oleh Imam Ibnu Rajab dalam
kitabnya yang masyhur, “Ar-Radd ‘Ala Man
Sebelum kita masuk dalam bahasan ini, Ittaba’a Ghayr Al-Madzahib Al-Arba’ah.”
perlu kita beri catatan bahwa mengikuti
salah satu madzhab dari madzhab yang Ringkasnya, belajar Fiqih mengikuti tradisi
empat, bukanlah sebuah kesalahan, salah satu madzhab fiqih, serta bertaqlid
apalagi dianggap bid’ah. Mengikuti atau dan menisbatkan diri pada salah satu
taqlid kepada pendapat ulama yang madzhab Fiqih, boleh hukumnya, bahkan
memiliki kemampuan berijtihad, wajib dianjurkan oleh banyak ulama. Pihak-
hukumnya, baik bagi kalangan awam pihak yang menolak empat madzhab fiqih
yang belum pernah belajar berbagai secara mutlak, atau mengharamkan taqlid
cabang ilmu syar’i, maupun bagi pelajar kepada mereka secara mutlak, telah jatuh
ilmu syar’i yang telah mempelajari banyak pada kesalahan, dan pendapatnya tak
cabang ilmu syar’i namun belum mampu layak diikuti.
berijtihad. Dan taqlid kepada salah satu
dari imam madzhab yang empat, tidak Bahkan, sebagian ulama menyatakan
keluar dari kewajiban ini. bahwa kita hanya boleh mengikuti salah
satu madzhab dari empat madzhab fiqih
Selain itu, tradisi belajar para ulama yang ada, dan tidak boleh beralih kepada
dari generasi ke generasi, dari berbagai selain mereka. Salah satu alasan yang
penjuru dunia, sejak munculnya empat dikemukakan adalah, selain madzhab
madzhab fiqih sampai sekarang, adalah yang empat, pendapat-pendapat mereka

18
tidak tersebar luas dan tidak dipastikan difatwakan, juga bukan untuk di-
kevalidannya. Kadang ada satu pendapat jadikan standar dalam peradilan. Al-
yang disandarkan atau dinisbatkan ‘Allamah Al-Bujairimi berkata: “Tidak
kepada mereka, ternyata tidak benar. Dan boleh taqlid kepada selain imam
hal ini tidak terjadi pada madzhab yang yang empat untuk fatwa dan qadha
empat. Madzhab mereka tersebar luas (peradilan).”
dan kevalidannya bisa dipastikan, karena
melalui penelitian dalam waktu yang 3. Pendapat Imam Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam,
cukup panjang. (Baca: “Ar-Radd ‘Ala Man bahwa yang menjadi bahasan adalah
Ittaba’a Ghayr Al-Madzhahib Al-Arba’ah”, kevalidan pendapat yang dikutip dari
halaman 32, Markaz Al-Murabbi) seorang ulama mujtahid. Jika ia cukup
yakin atau menduga kuat bahwa
Dr. Wahbah Az-Zuhaili dalam “Ushul Al- kutipan pendapat dari ulama tersebut
Fiqh Al-Islami” (2/419-420, Dar Al-Fikr) tepat, maka boleh taqlid kepada ulama
menyatakan ada perbedaan pendapat di tersebut, meski ia di luar madzhab
kalangan ulama tentang hal ini. yang empat.

1. Kebanyakan ulama mutaakhkhirin Az-Zuhaili juga mengutip pernyataan


berpendapat tidak boleh taqlid kepada Imam Al-‘Iraqi, yang menyatakan bahwa
selain imam empat madzhab. Dengan ulama sepakat bahwa setiap muslim
alasan seperti yang dikemukakan boleh taqlid kepada ulama manapun
Imam Ibnu Rajab di atas. yang ia inginkan, tanpa diberi batasan.
Para Shahabat ridhwanullahi ‘alaihim
Catatan: Istilah mutaakhkhirin diberikan ajma’in juga bersepakat bahwa siapapun
pada ulama yang hidup setelah era imam yang meminta fatwa kepada Abu Bakr
empat madzhab dan murid-muridnya, dan ‘Umar dan taqlid kepada keduanya,
agak sulit diberi batasan waktu, karena tetap boleh taqlid kepada Abu Hurairah,
berbeda-beda tergantung madzhab Mu’adz bin Jabal, atau yang lain, dan
atau bidang yang dibahas. mengamalkan pendapat mereka, tanpa
ada pengingkaran dari siapapun.
2. Sebagian ulama mutaakhkhirin
membolehkan taqlid pada ulama Inilah pendapat yang condong dipilih oleh
selain empat imam madzhab untuk Az-Zuhaili. Boleh taqlid dan mengikuti
diamalkan secara pribadi, bukan untuk ulama manapun, baik imam empat

20
Kajian Utama

madzhab atau selain mereka,


selama pendapat mereka
HUKUM
tersebut kita terima secara
PINDAH MADZHAB
valid. Beliau juga menyebutkan DAN SIKAP TA'ASHSHUB
pendapat sebagian ahli Hadits, TERHADAP MADZHAB
bahwa bagi orang yang mampu Oleh: Muhammad Abduh Negara
melakukan penelitian terhadap
pendapat-pendapat yang ada, Al-’Allamah Ahmad Bik Al-Husaini, dalam kitab
jika ia mendapatkan pendapat “Tuhfah Ar-Ra’y As-Sadid Fi Al-Ijtihad Wa At-
selain empat madzhab lebih Taqlid”, menjelaskan tentang hukum pindah
kuat secara dalil dibandingkan madzhab, dari satu madzhab ke madzhab yang
pendapat empat madzhab, lain. Beliau merincikan keadaan orang yang
maka ia perlu mengikuti pindah madzhab ini, dari sisi tujuan dan keadaan
pendapat yang lebih kuat orang yang pindah madzhab itu sendiri.
secara dalil tersebut.
Pertama, jika tujuannya adalah dunia, seperti
Adapun bagi kalangan awam, untuk meraih jabatan, harta atau dekat dengan
mengikuti pendapat sebagian penguasa. Jika yang melakukan ini bukan
ahli Hadits di atas, bukan
seorang yang faqih terhadap madzhabnya,
tempat mereka untuk ikut
ia bermadzhab hanya sekadar nama, maka
bahasan ini. Tugas mereka
menurut beliau hukumnya tidak sampai haram,
hanyalah bertanya pada
karena faktanya ia sebenarnya awam, dan awam
ulama yang memberikan
pada dasarnya tak punya madzhab.
fatwa kepadanya dan meng-
amalkannya. Madzhab mereka
Adapun jika yang melakukannya seorang
adalah madzhab mufti mereka.
yang faqih terhadap madzhabnya, dan ia
Wallahu a’lam bish shawab. ingin pindah madzhab demi dunia yang ingin
diraihnya, menurut beliau ini haram, karena ia
mempermainkan hukum Syariah demi meraih
dunia.

Keadaan kedua, pindah madzhab karena tujuan


agama. Ada dua contoh untuk ini. Satu, seorang

21
yang faqih terhadap madzhabnya, dan madzhab baru yang membutuhkan waktu
setelah melakukan penelitian yang dalam, lagi bertahun-tahun.
ia menganggap madzhab lain lebih kuat
dalil dan istidlalnya, maka pada kondisi Itulah perincian keadaan orang yang
ini, bisa jadi ia wajib pindah madzhab, pindah madzhab, berdasarkan penjelasan
atau minimal boleh pindah madzhab Ahmad Bik.
sebagaimana disampaikan Ar-Rafi’i.
Ada hal menarik yang beliau sebutkan, saat
Dua, orang yang telah lama belajar fiqih membahas tema ini. Beliau menyebutkan
madzhabnya, namun ia tidak mampu pernyataan seorang mufti madzhab Maliki
memahami madzhabnya dengan baik, di masa beliau, yang mengatakan bahwa
dan ia mendapatkan madzhab lain bisa orang yang pindah dari madzhabnya
dipelajari dan dipahami dengan lebih telah melakukan hal yang sangat buruk,
mudah. Pada kondisi ini, ia wajib pindah dan sang mufti menyebutkannya secara
madzhab. Karena tujuan madzhab adalah mutlak, tanpa menjelaskan batasan
untuk tafaqquh (memperdalam agama), apapun. Menurut beliau, yang dikatakan
dan jika ia mampu bertafaqquh pada oleh mufti Malikiyyah itulah yang sangat
madzhab lain, itu jelas lebih baik daripada buruk, karena imam madzhabnya
bertahan pada madzhabnya sekarang sendiri, yaitu Ibnu Al-Hajib, tidak pernah
yang tak mampu ia pahami dengan baik. mengatakan hal semacam itu.

Keadaan ketiga, orang yang pindah Beliau juga menyebutkan pernyataan


madzhab tanpa tujuan, tidak tujuan seorang pengikut Hanafi, yang
dunia, tidak juga agama. Pada kondisi mengatakan boleh bagi pengikut madzhab
ini, orang awam boleh pindah madzhab. selain Hanafi pindah ke madzhab Hanafi,
Adapun orang yang faqih dalam namun pengikut Hanafi tidak boleh pindah
madzhabnya, makruh melakukannya, menjadi pengikut madzhab Syafi’i atau
karena ia meninggalkan hal yang lebih madzhab lainnya. Beliau menganggap
utama, yaitu mengamalkan madzhabnya pernyataan ini merupakan perkataan
yang telah ia pahami dengan baik, untuk yang tidak dilandasi oleh dalil sama sekali,
menyibukkan diri dengan mempelajari dan ia hanya lahir dari fanatisme buta
madzhab lain, sehingga meninggalkan terhadap madzhabnya. Karena semua
amal yang dilandasi ilmu, untuk belajar imam mujtahid itu sama kedudukannya di

22
Faidah Hadits 'Umdatul Ahkam

hadapan kebenaran, dan tidak ada


satu pun Hadits dari Rasulullah
HADITS 1
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang AMAL TERGANTUNG
mengunggulkan madzhab Abu PADA NIATNYA (BAGIAN 2)
Hanifah dari madzhab imam Oleh: Muhammad Abduh Negara
lainnya.
Redaksi Hadits
Pernyataan yang sangat
‫هللا َص َّلى‬ َ َ َ ُ ‫َع ْن ُع َم َر ْبن ْال َخ َّطاب َرض َي‬
bagus. Sikap oknum pengikut ِ ‫ َس ِم ْع ُت َر ُس ْول‬:‫هللا َع ْن ُه قال‬ ِ ِ ِ
ّ َ َ ّ ُ ْ ‫َأ‬ ْ َّ ُ ْ ُ َ َّ َ ُ
madzhab Maliki dan Hanafi, yang ‫ات‬ِ ‫ ِب ِالني‬:‫ ِإنما العمال ِب ِالني ِة – و ِفي ِرواي ٍة‬:‫هللا َعل ْي ِه َوسلم يقول‬
َّ َ َّ َ َ َ َ
َ َ ّ
melarang pengikut madzhab
ِ ‫ ف َم ْن َك َان ْت ِه ْج َرُت ُه ِإلى‬،‫ َو ِإ َّن َما ِل ُك ِل ْام ِر ٍئ َما َن َوى‬،–
،‫هللا َو َر ُس ْو ِل ِه‬
َ َ
mereka pindah ke madzhab lain
‫ أ� ِو‬،‫ َو َم ْن َك َان ْت ِه ْج َرُت ُه ِإلى ُد ْن َيا ُي ِص ْي ُب َها‬،‫هللا َو َر ُس ْو ِل ِه‬ َ
ِ ‫ف ِه ْج َرُت ُه ِإلى‬
َ َ
.)‫ (رواه البخاري ومسلم‬.‫ َف ِه ْج َرُت ُه ِإلى َما َه َاج َر ِإل ْي ِه‬،‫ْام َ أر� ٍة َي َت َز َّو ُج َها‬
secara mutlak, tidak memiliki
landasan ilmiah sama sekali,
kecuali hanya fanatisme buta
Artinya: Dari ‘Umar bin Al-Khaththab
saja. Sikap fanatisme buta, yang
radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Saya
melahirkan keyakinan bahwa
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
kebenaran hanya ada pada
sallam bersabda: “Sesungguhnya amal-amal
madzhab dan kelompoknya saja,
itu tergantung dengan niat, dan setiap orang
tak mungkin pendapat madzhab
akan mendapatkan apa yang dia niatkan. Siapa
atau kelompoknya keliru, dan saja yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya,
sebaliknya, madzhab atau maka hijrahnya akan mendapatkan Allah dan
kelompok mereka, pasti keliru, Rasul-Nya. Dan siapa saja yang hijrahnya karena
bahkan bisa jadi menyimpang. dunia yang ingin dia dapatkan, atau perempuan
yang ingin dia nikahi, maka hijrahnya hanya akan
Yang benar, kebenaran kadang mendapatkan apa yang dia tuju.” (HR. Al-Bukhari
bersama madzhab atau kelompok dan Muslim)
fulan, dan pada kesempatan lain,
bersama madzhab atau kelompok Redaksi Hadits di atas, saya ambil dari kitab
‘allan. ‘Umdatul Ahkam, karya Imam Al-Hafizh ‘Abdul
Ghani bin ‘Abdul Wahid Al-Maqdisi, yang
Wallahu a’lam bish shawab. diterbitkan oleh Dar Thaybah, Saudi Arabia,
Cetakan Pertama, Tahun 2002. Adapun dalam

23
kitab Al-Arba’un An-Nawawiyyah, karya Ath-Thaharah, dan Hadits “innamal
Imam Al-‘Allamah Yahya bin Syaraf An- a’malu bin niyyat” berkaitan erat dengan
Nawawi, yang diterbitkan oleh Dar Al- thaharah, karena niat merupakan
Minhaj, Saudi Arabia, Cetakan Pertama, syarat sahnya thaharah, sehingga ia
ُْ ُ ْ ْ َ َ ْ
Tahun 2009, tertulis: ‫َو َمن كانت ِهج َرت ُه ِلدن َيا‬ disebutkan di awal.
‫ أ� ِو ْام َ أر� ٍة َي ْن ِك ُح َها‬،‫ ُي ِص ْي ُب َها‬.
2. Mengikuti anjuran para ulama sebelum
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al- beliau, sebagaimana dinukil oleh Al-
Bukhari, di awal Shahih Al-Bukhari, Khaththabi, bahwa para ulama tersebut
Kitab “Kayfa Kana Bad’u Al-Wahyi Ila menyatakan, “Siapa saja yang akan
Rasulillah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam”, menulis sebuah kitab, hendaknya ia
no. 1, dan disebutkan juga oleh beliau memulai kitabnya dengan Hadits ini
di enam tempat lain di Shahih Al-Bukhari. (yaitu: Hadits niat), sebagai pengingat
Sedangkan Imam Muslim meriwayatkan bagi para penuntut ilmu untuk
Hadits ini di Shahih Muslim, Kitab meluruskan niatnya.”
“Al-Imarah”, no. 1907. Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, At- Imam Al-Hafizh ‘Abdurrahman bin
Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad Mahdi, salah satu ulama salaf, berkata:
bin Hanbal. “Siapa saja yang ingin menulis sebuah
kitab, hendaknya ia memulainya
Faidah 6: dengan Hadits ini.”
Memulai Penulisan Kitab
dengan Hadits Niat 3. Meneladani para ulama sebelum beliau,
semisal Imam Al-Bukhari dan lainnya,
Saat memberikan syarah (penjelasan) yang memulai penulisan kitab Shahih-
atas kitab ‘Umdatul Ahkam, Imam Ibn Al- nya dengan Hadits niat ini.
Mulaqqin menyatakan bahwa Imam Al-
Hafizh ‘Abdul Ghani Al-Maqdisi (penulis Faidah 7:
‘Umdatul Ahkam) memulai kitab beliau Beda “Sami’tu” dan “Haddatsana”
‫أ‬
dengan Hadits “‫ ”إنما العمال بالنيات‬karena
beberapa alasan, yaitu: Hadits Niat dimulai dengan ucapan
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu
1. Kitab ‘Umdatul Ahkam dimulai dengan ‘anhu “...‫( ”سمعت رسول هللا‬Saya mendengar
bab (atau dalam istilah penulis: kitab) Rasulullah…). Menurut Al-Khathib

24
Al-Baghdadi, lafazh “sami’tu” adalah Sebagian orang mengkhususkan amal
redaksi periwayatan yang tertinggi dan anggota badan pada anggota badan selain
paling kuat kedudukannya, setelahnya amal lisan. Dan ini keliru. Karena seluruh
adalah redaksi “haddatsana (‫ ”)حدثنا‬dan ulama sepakat bahwa lisan itu termasuk
‫أ‬
“akhbarana (‫”)�خبرنا‬. “Haddatsana” bisa anggota badan, dan perkataan (‫ )القول‬itu
diterjemahkan “menyampaikan kepada amal dari lisan.
kami”, dan “akhbarana” bisa diterjemahkan
“mengabarkan kepada kami”. Memang benar, kadang lafazh “qaul” dan
“amal” itu jika disebutkan bersamaan pada
Sedangkan menurut Ibn Ash-Shalah, satu tempat, kadang “amal” itu punya
redaksi “haddatsana” dan “akhbarana” makna sendiri, dan “qaul” juga punya
lebih tinggi dari “sami’tu” pada salah satu makna sendiri. Namun menyatakan “qaul”
sisi, yaitu pada redaksi “haddatsana” dan tidak termasuk amal, itu tidak benar.
“akhbarana” ada dalalah (petunjuk makna)
yang menunjukkan syaikh (guru periwayat Faidah 9:
Hadits) meriwayatkan atau menyampaikan Makna Lafazh “Innama”
Hadits tersebut kepadanya, sedangkan
pada redaksi “sami’tu”, tidak ada dalalah Lafazh “innama” (‫)إنما‬, sebagaimana dalam
‫أ‬
tersebut. Karena bisa jadi dia mendengar Hadits “‫”إنما العمال بالنيات‬, bermakna hashr
Hadits tersebut, tanpa kesengajaan dari (batasan), yang berarti menetapkan
syaikh untuk menyampaikannya padanya. hukum atas perkara yang disebutkan dan
meniadakan atau menafikan perkara yang
Faidah 8: tidak disebutkan.
Cakupan Lafazh “Amal”
Karena itu, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu
Lafazh ‘amal atau dalam bentuk plural ‘anhuma berpendapat riba itu hanya
‫أ‬
“a’mal” (‫)العمال‬, digunakan untuk amal terdapat dalam riba nasiah saja, mengikuti
anggota badan (‫ )الجوارح‬dan amal hati Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫أ‬
(‫)القلوب‬, sehingga dikatakan “‫”�عمال القلوب‬ “‫(”إنما الربا في النسيئة‬Riba hanya terdapat pada
‫أ‬
dan “‫”�عمال الجوارح‬. Meski dalam benak kita, nasiah). Beliau memahami lafazh “innama”
sering kita menganggap amal itu terbatas pada Hadits tersebut menetapkan riba
pada amal anggota badan, namun dalam pada nasiah dan menafikan adanya riba
istilah syar’i, ia mencakup amal anggota dalam hal lain. Meski pendapat beliau ini
badan dan amal hati. dianggap keliru oleh para ulama, karena

25
ada Hadits lain yang menunjukkan adanya Faidah 10:
riba fadhl. Namun faidah yang bisa diambil Sahnya Suatu Amal Tergantung Niatnya
adalah, beliau memahami lafazh “innama”
berfaidah hashr.
‫أ‬
Hadits “‫ ”إنما العمال بالنيات‬meniscayakan
adanya redaksi penyambung yang tak
Lafazh “innama” ini kadang berfaidah hashr disebutkan (idhmar), agar Hadits tersebut
muthlaq (untuk semua kondisi), kadang bisa dipahami dengan baik. Dan redaksi
juga berfaidah hashr pada tema tertentu tersebut tentu bukan “wujud”, sehingga
saja (hashr makhshush). Yang membedakan dikatakan, “Wujudnya amal itu tergantung
adalah qarinah (indikasi) dan siyaq (konteks dengan niatnya”, karena banyak amal
pembicaraan). yang terjadi (wujud) tanpa niat. Redaksi
tersebut seharusnya adalah “shihhah”,
Contoh lafazh “innama” yang berfaidah hashr “kamal”, atau yang setara dengannya.
‫أ‬
makhshush adalah firman Allah ta’ala: “‫إنما �نت‬
‫( ”منذر‬Engkau hanyalah pemberi peringatan). Jika redaksi penyambungnya adalah
Zhahir dari ayat ini bahwa Nabi shallallahu “shihhah”, maka makna Hadits tersebut
‘alaihi wa sallam hanya disifati dengan adalah, “Sahnya suatu amal tergantung
“pemberi peringatan” saja, sedangkan Nabi niatnya”. Artinya, amal yang tidak disertai
memiliki banyak sifat lain, bukan hanya niat yang tepat, tidak ada nilainya dalam
“pemberiperingatan”.Jikakitamelihatqarinah pandangan syara’. Sedangkan jika
dan siyaq dari ayat ini, kita bisa memahami redaksi penyambungnya adalah “kamal”,
bahwa hashr (batasan) yang disebutkan ayat maka makna Hadits tersebut adalah,
ini terkait dengan posisi beliau yang hanya “Sempurnanya suatu amal tergantung
bisa memberikan peringatan saja bagi orang niatnya”. Artinya, amal yang tidak disertai
yang mau beriman, dan beliau tidak mampu niat yang tepat, tetap sah dan bernilai,
mendatangkan atau menurunkan hal-hal namun kurang sempurna.
yang diminta oleh orang-orang kafir di ayat
tersebut. Makna “shihhah” ini yang dipilih oleh
Imam Asy-Syafi’i dan mayoritas fuqaha,
Adapun lafazh “innama” pada Hadits: “‫ إنما‬sedangkan Imam Abu Hanifah dan yang
‫أ‬
‫ ”العمال بالنيات‬merupakan hashr muthlaq, sependapat dengan beliau memilih
karena itu ia berlaku pada semua kondisi, makna “kamal”. Dan perbedaan ini ber-
bahwa setiap amal itu nilainya tergantung konsekuensi terjadinya perbedaan
niatnya. pandangan mereka tentang disyaratkan

26
atau tidak disyaratkannya niat APAKAH SEORANG
dalam keabsahan amal.
MUJTAHID
Sebagian ulama menjelaskan,
AHLI BID'AH
bahwa Abu Hanifah dan para DIANGGAP
pengikut beliau, membedakan KEBERADAANNYA
antara ibadah maqshudah DALAM IJMA'?
(ibadah yang disyariatkan Oleh: Muhammad Abduh Negara
dilakukan karena zat ibadah
itu sendiri) dengan ibadah

S
wasilah (ibadah yang dilaku-kan alah satu syarat berlakunya ijma’ adalah,
sebagai perantara untuk ibadah adanya kesepakatan seluruh ulama
maqshudah). Untuk ibadah mujtahid di suatu masa. Jika ada satu
maqshudah, seperti shalat, puasa saja yang berbeda pendapat, ijma’ tidak
dan haji, disyaratkan niat untuk berlaku. Pertanyaannya, bagaimana jika ada
keabsahan ibadah tersebut. ulama yang punya kapasitas ijtihad, namun
Sedangkan untuk ibadah wasilah, ia jatuh pada paham bid’ah dalam agama,
seperti wudhu dan mandi, tidak apakah keberadaannya mempengaruhi berlaku
disyaratkan niat, dan niat hanya tidaknya ijma’?
sebagai penyempurna saja, untuk
mendapatkan pahala. Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam Ushul Al-Fiqh Al-
Islami, membagi keadaan ahli bid’ah ini menjadi
Sedangkan sebagian ulama dua keadaan.
Hadits memilih makna “qabul”,
sehingga makna Hadits tersebut Pertama, ahli bid’ah yang kebid’ahannya sampai
menjadi, “Diterimanya amal mengingkari perkara yang diketahui dalam
tergantung niatnya”, dan ini Islam secara mutawatir dan dharuri, dan orang
berkaitan dengan pahala di yang seperti ini dianggap kafir. Karena dia jatuh
akhirat. kafir, maka keberadaannya tak dianggap sebagai
bagian dari umat Islam, dan kesepakatan
(Bersambung) maupun penyelisihannya tidak diperhitungkan
dalam ijma’, bahkan meskipun ia sendiri tidak
sadar bahwa ia telah jatuh kafir.

27
Ushul Fiqih

Contohnya, kalangan mujassimah atau Sedangkan Abu Bakr Ash-Shairafi


musyabbihah, yang menganggap tuhan- menyatakan, mereka ini dianggap
nya sama dengan manusia, memiliki dalam ijma’, dan ijma’ tidak berlaku
ukuran tujuh jengkal sesuai jengkalnya tanpa kesepakatan mereka. Pendapat
sendiri. Atau kalangan ghulat syi’ah yang ini juga dipilih oleh Al-Ghazali, Al-
menyucikan ‘Ali dan menganggapnya Amidi dan sebagian ulama ushul fiqih
sebagai tuhan yang layak disembah. lainnya. Mereka berargumen, bahwa ahli
bid’ah yang tidak sampai kafir dengan
Kedua, ahli bid’ah yang kebid’ahannya kebid’ahannya tersebut, masih terhitung
hanya membuatnya sesat, namun tidak sebagai bagian dari umat Islam, dan
sampai kafir, seperti bid’ahnya kalangan jika mereka ahli ijtihad, maka pendapat
qadariyyah yang menyatakan manusia mereka dianggap dalam ijma’. Dan status
menciptakan perbuatannya sendiri dan ahli bid’ah seperti ini adalah fasik, dan
kemaksiatan itu bukan karena iradah Allah. kefasikan tidak menggugurkan kelayakan
Atau kalangan Khawarij, yang keluar dari seseorang dalam ijtihad.
kepemimpinan ‘Ali dan mengafirkannya
serta mengafirkan banyak shahabat lain, Wallahu a’lam.
seperti‘Utsman dan‘Abdurrahman bin‘Auf.
Atau kalangan rafidhah, yang memihak Rujukan: Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Dr.
pada ‘Ali dan menolak kepemimpinan Wahbah Az-Zuhaili, Juz 1, Halaman 480-
Abu Bakr dan ‘Umar. Keberadaan mereka 481, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Suriah.
ini dalam ijma’, diperselisihkan oleh ulama.

Imam Malik, Al-Auza’i, Muhammad bin Al-


Hasan, dan sebagian ulama ahlus sunnah
lainnya, menyatakan bahwa ahli bid’ah
kelompok kedua ini tidak dianggap dalam
ijma’. Hal itu karena kesinambungan
pemahaman agama mereka itu putus,
disebabkan mereka mengafirkan salaf,
yang pokok agama kita diambil dari
jalur generasi salaf tersebut, dan mereka
ini adalah pengikut hawa nafsu dan
kelompok sesat.

28
Ushul Fiqih

BOLEHKAH ORANG AWAM


MENINGGALKAN PENDAPAT MADZHAB YANG
DIIKUTINYA PADA SEBAGIAN PERSOALAN?
Oleh: Muhammad Abduh Negara

J
ika seorang awam mengikatkan dari ulama atau madzhab lain. Hal itu
diri pada satu madzhab tertentu, karena, seseorang tidak wajib mengikatkan
apakah ia wajib mengikuti pendapat diri pada satu madzhab tertentu, sehingga
imam madzhab tersebut dalam seluruh tak wajib juga ia bertahan pada madzhab
persoalan fiqih, atau ia boleh meng- tersebut dalam seluruh persoalan.
ikuti pendapat selainnya pada sebagian
persoalan? Para ulama berbeda pendapat Bahkan menurut beliau, mengutip
dalam hal ini. pernyataan pensyarah kitab Musallam
Ats-Tsubut, mewajibkan seseorang untuk
Ada yang menyatakan, hal itu sepenuhnya taqlid pada imam tertentu pada seluruh
tidak boleh. Ada juga yang menyatakan persoalan, sama dengan membuat syariat
sebaliknya, bahwa hal itu sepenuhnya baru, karena Allah ta’ala dan Rasul-Nya
boleh. Ada yang merincikan, jika si awam tidak mewajibkannya.
sudah mengamalkan konsekuensi dari
pendapat tersebut, tidak boleh baginya Wallahu a’lam.
pindah ke pendapat lain, tapi jika ia belum
mengamalkannya, ia boleh beralih ke Rujukan: Ushul Al-Fiqh Al-Islami,karya Dr.
pendapat lain. Ada juga yang merincikan Wahbah Az-Zuhaili, Juz 2, Halaman 418-
dengan cara lain, jika pendapat tersebut 419, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Suriah.
diterima setelah terjadinya kasus yang
ingin diketahui hukumnya, maka tak
boleh pindah, jika sebelum terjadi, boleh
pindah. Dan seterusnya.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan,


pendapat yang paling shahih, adalah
pendapat yang menyatakan bolehnya
meninggalkan sebagian pendapat imam
madzhabnya, dan mengambil pendapat

29
Ushul Fiqih

‫أ‬ ‫أ‬
‫ وإن يكن‬،‫ فإن يكن صوابا فمن هللا‬،‫�قول فيها بر�يــي‬
IJMA' PARA ‫أ‬ ‫أ‬
‫خط� فمني و�ستغفر هللا‬
SHAHABAT Artinya: “Saya mengatakan ini berdasarkan
BAHWA pendapatku. Jika benar, maka itu dari

HASIL Allah. Jika keliru, maka itu kesalahanku,


dan saya memohon ampun kepada Allah.”
IJTIHAD (Diriwayatkan oleh Ad-Darimi dalam Sunan-

MUNGKIN nya, Kitab Al-Faraidh, Bab Al-Kalalah)

KELIRU Juga pernyataan ‘Umar radhiyallahu ‘anhu


Oleh: Muhammad kepada sekretarisnya:
Abduh Negara
‫أ‬ ‫أ‬
‫ وإن كان‬،‫ فإن كان خط� فمنه‬،‫ هذا ر�ي عمر‬:‫اكـتب‬
‫صوابا فمن هللا‬

P
ara shahabat ridhwanullahi ‘alaihim
ajma’in bersepakat bahwa hasil Artinya:“Tulislah: Ini adalah pendapat‘Umar.
ijtihad seseorang mungkin keliru. Jika keliru, maka itu kesalahannya. Jika
Ijma’ atau kesepakatan ini dihikayatkan benar, maka itu dari Allah.” (Diriwayatkan
oleh Al-Baji, Asy-Syirazi, As-Sam’ani dan oleh Ibn Hazm dalam Al-Ihkam)
lainnya. Dan ijma’ ini merupakan salah satu
dalil yang digunakan para ulama yang Juga dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu
berpendapat, bahwa dalam ijtihad ulama, ‘anhu, saat beliau berbicara tentang “al-
kebenaran hanya satu saja, sedangkan mufawwadhah”:
pendapat lainnya keliru. Dan dengan ijma’ ‫أ‬ ‫أ‬
ini, pendapat yang menyatakan seluruh ‫ وإن‬،‫ فإن يكن صوابا فمن هللا ورسوله‬،‫�قول فيها بر�يــي‬
‫أ‬
mujtahid itu benar dalam ijtihadnya, ‫يكن خط� فمني ومن الشيطان‬
terbantahkan.
Artinya: “Saya mengatakan ini berdasarkan
Ijma’ ini diketahui dari ijtihad para shahabat pendapatku. Jika benar, itu dari Allah dan
dan pengakuan mereka seluruhnya, bahwa Rasul-Nya. Jika keliru, maka itu dariku dan
ijtihad mereka mungkin keliru. Misalnya, dari syaithan.” (Diriwayatkan oleh Ahmad
pernyataan Abu Bakr radhiyallahu ‘anhu bin Hanbal dalam Musnad-nya)
tentang “al-kalalah”:

30
Ushul Fiqih

Seandainya ijtihad masing- BEBERAPA


masing shahabat ini pasti MASAIL
benar, tentu mereka tak akan
TENTANG IJMA'
menyebutkan kemungkinan Oleh: Muhammad Abduh Negara
pendapat mereka tersebut keliru.

B
Dan seandainya setiap ijtihad
eberapa masail tentang ijma’ ulama
itu pasti benar, tentu tak ada
yang perlu kita ketahui secara ringkas:
pentingnya penelitian dan diskusi
untuk menemukan kebenaran.
1. Ulama yang diakui ijma’-nya adalah para
mujtahid, baik mujtahid mut-lak maupun
Jadi, berdasarkan ijma’ para
mujtahid muntasib. Sedang-kan ulama
shahabat ini, diketahui bahwa
lain, semisal ushuliyyun, nahwiyyun, dan
dalam setiap persoalan yang
lain-lain, tidak di-anggap dalam ijma’.
diperselisihkan oleh para
mujtahid, pendapat yang benar
2. Faidah ijma’ adalah mengubah hukum
dan sesuai dengan fakta yang
dari derajat zhanni menjadi qath’i, dan
dihukumi hanya satu, sedangkan
menghilangkan kemungkinan adanya
sisanya keliru. Namun seluruh
khilaf tentang hukum tersebut.
pihak mendapatkan pahala,
dan kesalahannya diberi uzur,
3. Ijma’ menjadi hujjah bagi para ulama di
selama proses ijtihadnya tidak
masa terjadinya ijma’ tersebut, dan di
menyimpang dari metode ijtihad
masa-masa setelahnya.
yang benar.

4. Ulama berbeda pendapat tentang mulai


Wallahu a’lam.
berlakunya ijma’, apakah harus menunggu
wafatnya seluruh ulama yang ber-ijma’
Rujukan: Ijma’at Al-Ushuliyyin
atau tidak. Pendapat yang paling shahih
Jama’ Wa Dirasah, karya
(ashah), tidak disyaratkan wafatnya mereka
Mushthafa Bu ‘Aql, Halaman 475-
semua.
477, Penerbit Dar Ibn Hazm, Beirut,
Libanon.
5. Ijma’ ada dua, ijma’ qauli dan ijma’ fi’li.
Ijma’ qauli berarti para ulama sepakat
menyatakan satu hukum, sedangkan ijma’

31
fi’li, para ulama sepakat melakukan hal itu, sebagian lagi menafikan adanya
suatu perkara yang menunjukkan hal ijma’.
itu boleh dilakukan.
10. Berbagai qarinah (indikasi atau faktor
6. Ijma’ kadang dinukil secara mutawatir, penyerta) yang menyertai, punya pe-
kadang dinukil secara ahad, dan ngaruh besar untuk menetapkan qath’i
keduanya merupakan hujjah. atau zhanni-nya ijma’.

7. Boleh terwujudnya kesepakatan, 11. Orang yang mengingkari perkara


setelah sebelumnya terjadi ikhtilaf yang terdapat ijma’ di dalamnya, tidak
(perselisihan pendapat), baik kesepa- divonis kafir, kecuali ia mengingkari
katan tersebut masih di masa yang perkara ijma’ yang ma’lum minad diin
sama, atau di masa setelahnya. bidh dharurah.

8. Ada ijma’ yang disepakati kehujjahan- Wallahu a’lam.


nya, ada juga yang diperselisihkan.
Contoh ijma’ yang diperselisihkan Rujukan: Al-Madkhal Ila Ushul Al-Fiqh, karya
adalah ijma’ sukuti, yaitu sebagian Dr. ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Saqqaf,
ulama menyampaikan pendapat Halaman 119-127, Penerbit Dar Adh-Dhiya,
atau melakukan satu perkara, dan hal Kuwait.
tersebut tersebar luas, namun tidak ada
ulama lain yang mengingkarinya.

Ulama berselisih tentang kehujjahan


ijma’ sukuti ini, namun pendapat yang
paling shahih (ashah) menyatakan ia
adalah ijma’ dan hujjah.

9. Kadang ulama berselisih pendapat


tentang satu perkara, apakah terjadi
ijma’ dalam perkara tersebut atau tidak,
misalnya pada kasus wajibnya zakat
barang perdagangan. Sebagian ulama
menyatakan ada ijma’ atas wajibnya

32
Ushul Fiqih

BOLEHKAH ORANG AWAM


MENINGGALKAN PENDAPAT MADZHAB YANG
DIIKUTINYA PADA SEBAGIAN PERSOALAN?
Oleh: Muhammad Abduh Negara

J
ika seorang awam mengikatkan dari ulama atau madzhab lain. Hal itu
diri pada satu madzhab tertentu, karena, seseorang tidak wajib mengikatkan
apakah ia wajib mengikuti pendapat diri pada satu madzhab tertentu, sehingga
imam madzhab tersebut dalam seluruh tak wajib juga ia bertahan pada madzhab
persoalan fiqih, atau ia boleh mengikuti tersebut dalam seluruh persoalan.
pendapat selainnya pada sebagian
persoalan? Para ulama berbeda pendapat Bahkan menurut beliau, mengutip
dalam hal ini. pernyataan pensyarah kitab Musallam
Ats-Tsubut, mewajibkan seseorang untuk
Ada yang menyatakan, hal itu sepenuhnya taqlid pada imam tertentu pada seluruh
tidak boleh. Ada juga yang menyatakan persoalan, sama dengan membuat syariat
sebaliknya, bahwa hal itu sepenuhnya baru, karena Allah ta’ala dan Rasul-Nya
boleh. Ada yang merincikan, jika si awam tidak mewajibkannya.
sudah mengamalkan konsekuensi dari
pendapat tersebut, tidak boleh baginya Wallahu a’lam.
pindah ke pendapat lain, tapi jika ia belum
mengamalkannya, ia boleh beralih ke Rujukan: Ushul Al-Fiqh Al-Islami, karya Dr.
pendapat lain. Ada juga yang merincikan Wahbah Az-Zuhaili, Juz 2, Halaman 418-
dengan cara lain, jika pendapat tersebut 419, Penerbit Dar Al-Fikr, Damaskus, Suriah.
diterima setelah terjadinya kasus yang
ingin diketahui hukumnya, maka tak
boleh pindah, jika sebelum terjadi, boleh
pindah. Dan seterusnya.

Dr. Wahbah Az-Zuhaili menyatakan,


pendapat yang paling shahih, adalah
pendapat yang menyatakan bolehnya
meninggalkan sebagian pendapat imam
madzhabnya, dan mengambil pendapat

33
Qawa'id Fiqhiyyah

PENYELISIHAN 'URF TERHADAP NASH


DAN DALIL SYAR'I
Oleh: Muhammad Abduh Negara

‘Urf atau ‘adah adalah perkara yang ber- 1. ‘Urf menyelisihi dalil syar’i sepenuhnya,
laku di tengah masyarakat dan diterima dari semua sisi, yang jika kita mem-
oleh umumnya mereka. Dalam fiqih perhatikan ‘urf maka niscaya kita meng-
Islam, ‘urf diberi perhatian, bahkan ia bisa abaikan dan meninggalkan nash syar’i.
menjadi patokan dalam penetapan hukum Pada kondisi ini, kita wajib meng-ikuti
fiqih, terutama ketika tidak ada nash yang ketentuan nash dan meninggalkan ‘urf
menetapkan hal tersebut. Dalam kaidah tersebut.
fiqih disebutkan: ‫‘( العادة محكمة‬adah atau
‘urf bisa menjadi landasan penetapan Contoh ‘urf pada bagian ini: tradisi
hukum). masyarakat yang sudah terbiasa
bertransaksi ribawi dan mengambil
Contoh bahasan fiqih yang ditetapkan bunga bank, atau tradisi minum minuman
dengan ‘urf, di antaranya: keras saat pesta atau lainnya, perempuan
yang tabarruj (berhias berlebihan yang
1. Batas minimal usia haid dan baligh. menampakkan aurat dan kecantikannya
2. Durasi minimal, maksimal, dan umum- di hadapan laki-laki non-mahram), dan
nya masa haid dan nifas. lain-lain.
3. Standar tempat penyimpanan barang
dalam kasus pencurian. 2. ‘Urf menyelisihi dalil syar’i, namun tidak
4. Banyaknya gerakan yang membatalkan dari semua sisi. Misal dalil syar’i datang
shalat. dalam bentuk umum, kemudian ‘urf
5. Dan lain-lain. menyelisihi sebagian kandungan umum
tersebut. Atau dalil syar’i berupa qiyas,
Pertanyaannya, jika ‘urf tampak ber- dan ‘urf menyelisihinya.
tentangan dengan nash atau dalil syar’i
lainnya seperti qiyas, bagaimana cara kita Pada kondisi ini. ‘urf tetap diperhatikan,
menyikapinya? jika ia berlaku luas dan umum. Sebagai
contoh, berdasarkan qiyas, akad salam
Ada empat gambaran dan ketentuan yang (jual beli pesanan) harusnya dilarang,
berbeda dalam hal ini, yaitu: karena ia menjual barang yang belum

34
dimiliki, namun ‘urf yang berlaku umum Menurut sebagian fuqaha, jika di masa
menunjukkan transaksi itu sudah biasa tertentu, kurma tidak lagi dijual secara
dilakukan, mengandung kemaslahatan takaran, tapi dengan timbangan misalnya,
dan tidak mendatangkan mafsadah pada maka kadar tamatsul kurma tersebut ikut
dua pihak yang bertransaksi, dan tidak berubah. Tidak lagi diukur dengan takaran,
ada unsur-unsur yang membuat transaksi tapi dengan timbangan. Jadi bukan 1 sha’
tersebut menjadi rusak, karena itu ia atau 1 liter kurma dengan 1 sha’ atau 1
dibolehkan. liter juga, tapi menjadi 1 kg kurma harus
ditukar dengan 1 kg kurma juga.
Atau penggunaan kamar mandi umum
atau toilet umum yang berbayar. 4. ‘Urf di masa sekarang, bertentangan
Harusnya ia dilarang, karena ada unsur dengan pendapat ulama terdahulu, yang
ketidakjelasan (jahalah) pada barang yang tidak dilandasi oleh nash sharih, tapi oleh
ditransaksikan, yaitu jumlah (volume) ‘urf di masa mereka. Yang seandainya
air yang digunakan. Namun karena ‘urf mereka masih hidup di masa sekarang,
sudah menganggap hal itu biasa, dan mereka akan mengubah pendapat
menghitung jumlah air yang digunakan mereka mengikuti ‘urf di masa sekarang.
itu sangat sulit, maka ia dibolehkan. Pada kondisi ini, ‘urf yang berlaku di masa
sekarang diperhatikan, dan bisa dijadikan
3. ‘Urf menyelisihi nash, yang nash landasan meninggalkan fatwa dan
tersebut sendiri dilandasi oleh ‘urf di pendapat para ulama terdahulu.
zaman Nabi. Pada kondisi ini, sebagian
fuqaha menetapkan, bahwa nash tersebut Sebagai contoh, kebanyakan ulama
bisa ditinggalkan, dan kita perhatikan ‘urf salaf mengharamkan mengambil upah
yang berlaku di masa kita. mengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i,
karena menurut mereka mengajar Al-
Sebagai contoh, kurma adalah salah satu Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i itu sebuah
barang ribawi, dan jika ia mau dibarter kewajiban, dan tidak boleh mengambil
dengan kurma lain, disyaratkan tamatsul upah dari pelaksanaan kewajiban.
(setara kadarnya). Dan kadar tamatsul Dan pelaksanaan kewajiban itu harus
itu, berdasarkan nash, adalah takaran. ditujukan untuk taqarrub kepada Allah,
Contohnya, satu sha’ kurma, tidak boleh dikerjakan hanya karena Allah ta’ala saja,
ditukar dengan satu setengah sha’ kurma. dan mengambil upah dari kewajiban
Dan sha’ adalah ukuran volume (takaran) tersebut, berarti mengalihkan tujuan dari
di masa Nabi. taqarrub kepada Allah menjadi mencari
dunia, dan ini jelas tidak boleh.

35
Namun kebanyakan ulama muta-
akhkhirin membolehkan mengambil
upah, karena tunjangan baitul mal
(yang dianggap halal oleh ulama
salaf ) untuk pengajar Al-Qur’an
dan ilmu-ilmu syar’i, sudah tidak
ada lagi, sedangkan para pengajar
ini perlu nafkah untuk menghidupi
dirinya dan keluarganya. Jika ia sibuk
mengajar tanpa mendapatkan upah,
ia akan mengabaikan nafkah diri dan
keluarganya. Sedangkan jika ia sibuk
bekerja mencari nafkah, maka tidak
ada lagi yang bisa mengajarkan Al-
Qur’an dan ilmu-ilmu syar’i, dan ini
jelas berdampak buruk bagi umat
Islam.

Karena itu, ulama mutaakhkhirin


membolehkan mengambil upah
mengajar Al-Qur’an dan ilmu-
ilmu syar’i, mempertimbangkan
perubahan ‘urf dan kondisi yang ada.

Wallahu a’lam.

Rujukan: Al-Wajiz Fi Idhah Qawa’id Al-


Fiqh Al-Kulliyyah, karya Dr. Muhammad
Shidqi bin Ahmad bin Muhammad
Al-Burnu, Halaman 281-286, Penerbit
Muassasah Ar-Risalah, Beirut, Libanon.

36
Qawa'id Fiqhiyyah

BENTUK-BENTUK
KERINGANAN SYARIAT
Oleh: Muhammad Abduh Negara

I
mam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam seharusnya (‫تقديم‬ ‫)تخفيف‬, seperti jama’
menyatakan bahwa bentuk-bentuk taqdim shalat saat safar dan hujan, atau
keringanan (takhfifat) dalam syariat ada jama’ taqdim secara mutlak (bukan
enam, yaitu: karena safar atau hujan) selama tidak
jadi kebiasaan, sebagaimana pendapat
1. Keringanan dalam bentuk meng- sebagian ulama mujtahid.
gugurkan kewajiban (‫إسقاط‬ ‫)تخفيف‬,
seperti gugurnya kewajiban Shalat 5. Demikian juga, menunaikan zakat mal
Jum’at, haji, ‘umrah dan jihad karena sebelum sampai haul, atau zakat fithri
adanya uzur. sejak awal Ramadhan atau bahkan
sebelum Ramadhan, serta men-
2. Keringanan dalam bentuk pengurang- dahulukan melaksanakan kaffarah
an dari kewajiban asalnya (‫)تخفيف تنقيص‬, sumpah sebelum pembatalan sumpah.
seperti meringkas (qashar) shalat saat
dalam perjalanan, dari empat rakaat 6. Keringanan dalam bentuk menunda
menjadi dua rakaat. pelaksanaan kewajiban sampai keluar
dari waktunya yang seharusnya (‫تخفيف‬
3. Keringanan dalam bentuk mengganti
‫أ‬
‫)ت�خير‬, seperti jama’ ta’khir shalat
satu kewajiban dengan hal lain saat safar, qadha puasa Ramadhan
yang lebih mudah saat itu (‫تخفيف‬ karena sakit atau safar, juga menunda
‫)إبدال‬, seperti mengganti wudhu dan pelaksanaan shalat untuk orang yang
mandi wajib dengan tayammum, membantu menyelamatkan orang
juga mengganti berdiri dalam shalat yang tenggelam, dan semisalnya.
dengan duduk atau berbaring, juga
mengganti puasa dengan membayar 7. Keringanan dalam bentuk memberikan
fidyah (memberi makan orang miskin). kemudahan dan kelapangan pada
kondisi tertentu (‫)تخفيف ترخيص‬, seperti
4. Keringanan dalam bentuk mendahulu- kebolehan memakan bangkai bagi
kan satu kewajiban dari waktunya yang orang yang kelaparan, kebolehan
37
Qawa'id Fiqhiyyah

berobat dengan benda najis, serta MENGGABUNGKAN


kebolehan minum khamr bagi orang
yang tersedak dan tidak ada minuman
NIAT IBADAH DAN
lain di dekatnya.
TUJUAN DUNIAWI
Oleh: Muhammad
Abduh Negara
Imam Al-’Allai menambahkan bentuk ke-
ringanan yang ketujuh, yaitu keringanan

S
dalam bentuk mengubah aturan ibadah
tertentu (‫تغيير‬ ‫)تخفيف‬, seperti mengubah alah satu yang dibahas dalam
‫أ‬
aturan shalat saat peperangan berkecamuk kaidah fiqih ‫( المور بمقاصدها‬setiap
(shalat khauf ). Namun tambahan ini perkara tergantung tujuannya)
dikritik oleh sebagian ulama, bahwa itu adalah tentang menggabungkan niat
bisa masuk dalam takhfif tanqish karena (tasyrik niat), salah satunya meng-
ia mengurangi aturan shalat dari keadaan gabungkan niat ibadah dengan niat
normalnya, atau masuk pada takhfif selain ibadah (duniawi).
tarkhish. Karena itu, pembagian takhfifat
ini menjadi enam sudah tepat dan cukup, As-Suyuthi menyebutkan, pada kondisi
tanpa perlu penambahan lagi. ini, kadang tasyrik niat tersebut me-
nyebabkan ibadahnya tidak sah, kadang
Wallahu a’lam. tetap sah.

Rujukan: Idhah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah, Contoh yang tidak sah, ketika seseorang
karya Syaikh ‘Abdullah bin Sa’id Al-Lahji, menyembelih hewan kurban dengan
Halaman 74-75, Penerbit Dar Adh-Dhiya, niat karena Allah ta’ala serta untuk
Kuwait. persembahan berhala. Ibadah kurbannya
tidak sah dan hewan sembelihannya
haram dimakan.

Contoh ibadah tetap sah, cukup banyak,


di antaranya, orang yang puasa dengan
niat ibadah, sekaligus untuk diet atau
terapi pengobatan, puasanya tetap sah.
Atau orang yang mandi junub untuk

38
mengangkat hadats besar, sekaligus untuk maka ia mendapatkan pahala sesuai kadar
menyejukkan badan, mandi wajib-nya niatnya tersebut. Jika tujuan dunia dan
sah. Atau orang yang shalat dengan niat agamanya sama, maka keduanya saling
karena Allah dan untuk menghindari orang menggugurkan.
yang berutang, sah shalatnya. Atau orang
yang thawaf dengan niat ibadah sekaligus As-Suyuthi mendukung pendapat Al-
untuk menguntit orang yang berutang Ghazali ini, dan berdalil dengan firman
kepadanya yang juga sedang thawaf, sah Allah ta’ala yang turun saat musim haji:
thawafnya.
ً َ
‫ل ْي َس َع َل ْي ُك ْم ُج َن ٌاح أ� ْن َت ْب َت ُغوا َف ْضل ِم ْن َر ِّب ُك ْم‬
Lalu, jika ibadahnya sah, apakah ia
tetap mendapatkan pahala? Ibn Ash- Artinya: “Tidak ada dosa bagi kalian,
Shabbagh menyatakan, dalam kasus mencari karunia (rezeki hasil perdagangan)
mandi atau wudhu dengan tujuan ibadah dari Tuhan kalian.” (QS. Al-Baqarah [2]: 198)
dan menyejukkan badan, pelakunya
tidak mendapatkan pahala. As-Suyuthi Wallahu a’lam.
menyatakan, jika seperti itu, maka untuk
kasus shalat dan thawaf, lebih layak lagi Rujukan: Al-Asybah Wa An-Nazhair Fi
untuk tidak mendapatkan pahala. Qawa’id Wa Furu’ Fiqh Asy-Syafi’iyyah, karya
Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Halaman 80-
Yang serupa dengan itu, kasus orang 82, Penerbit Dar Al-Hadits, Kairo, Mesir.
yang safar dengan tujuan haji sekaligus
berdagang. Menurut Ibn ‘Abdis Salam,
orang yang seperti ini tidak mendapatkan
pahala, baik kadar niatnya setara, atau ada
yang lebih unggul.

Sedangkan Al-Ghazali melihat dari, apa


yang menjadi tujuan dominan, yang
mendorong ia untuk safar. Jika yang
dominan adalah tujuan duniawi, maka ia tak
mendapatkan pahala. Jika yang dominan
adalah tujuan ibadah atau tujuan agama,

39
Fiqih Syafi'i

Adapun orang yang mayoritas hartanya


BOLEHKAH tidak haram, namun terdapat syubhat
MENGHADIRI di dalamnya, maka hukum menghadiri
UNDANGAN undangannya adalah mubah, tidak wajib,

PERKAWINAN juga tidak sunnah.

ORANG YANG Wallahu a’lam.


SUMBER
HARTANYA Rujukan: Hasyiyah Al-Bajuri ‘Ala Syarh Al-

HARAM? ’Allamah Ibn Qasim Al-Ghazzi, karya Syaikh


Oleh: Muhammad Abduh Negara Ibrahim bin Muhammad Al-Bajuri, Jilid 3,
Halaman 432 & 437, Penerbit Dar Al-Minhaj,

M
enurut pendapat yang paling Jeddah, Saudi Arabia.
shahih (ashah) di kalangan
Syafi’iyyah, hukum menghadiri
undangan perkawinan (walimatul ‘urs)
adalah fardhu ‘ain. Namun, ada beberapa
keadaan yang menyebabkan hukum
menghadirinya menjadi tidak wajib lagi.

Di antaranya adalah, jika orang yang


mengundang ini mayoritas hartanya
haram, maka makruh hukumnya
" pendapat
yang paling
shahih (ashah)
menghadiri undangannya. Sedangkan di kalangan
jika diketahui bahwa makanan yang Syafi’iyyah,
disajikan pada walimatul ‘urs itu sendiri hukum
berasal dari harta yang haram, maka menghadiri
haram hukumnya menghadiri undangan undangan
tersebut, meskipun ia tidak memakannya, perkawinan
karena hal tersebut dianggap dukungan (walimatul ‘urs)
adalah fardhu

"
terhadap kemaksiatan.
‘ain.

40
Fiqih Syafi'i

HUKUM
MENCUKUR HABIS JENGGOT
Oleh: Muhammad Abduh Negara

A
da khilaf di kalangan Syafi’iy-yah Rujukan:
tentang hukum mencukur habis 1. I’anah Ath-Thalibin, karya Syaikh Abu
jenggot. Yang mu’tamad menurut Bakr Ad-Dimyathi Al-Bakri, Juz 2, Halaman
Al-Ghazali, Syaikhul Islam Zakariya Al- 661-662, Penerbit Dar Al-Faiha, Damaskus,
Anshari, Ibnu Hajar Al-Haitami dalam At- Suriah.
Tuhfah, Ar-Ramli, Al-Khathib Asy-Syirbini 2. At-Taqrirat As-Sadidah, Qism Al-’Ibadat,
dan yang lainnya, hukumnya makruh. karya Syaikh Hasan bin Ahmad Al-Kaf,
Halaman 80, Penerbit Dar Al-’Ulum Al-
Pendapat bahwa ia makruh, ini juga Islamiyyah, Surabaya, Indonesia.
pendapat yang dipilih oleh Ar-Rafi’i dan
An-Nawawi. Namun Asy-Syafi’i dalam Al-
Umm, menyebutkan ia haram.

"
Dalam I’anah Ath-Thalibin disebutkan:
khilaf di kalangan
“Berkata Asy-Syaikhan (Ar-Rafi’i dan Syafi’iyyah tentang
An-Nawawi): makruh mencukur habis hukum mencukur habis
jenggot. Namun ini dibantah oleh Ibn jenggot. Yang mu’tamad
Ar-Rif’ah dalam Hasyiyah Al-Kafiyah, menurut Al-Ghazali,
bahwa Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu Syaikhul Islam Zakariya
menyebutkan dalam Al-Umm, bahwa ia Al-Anshari, Ibnu Hajar
haram. Az-Zarkasyi berkata: demikian Al-Haitami dalam At-
juga menurut Al-Hulaimi dalam Syu’ab Al- Tuhfah, Ar-Ramli, Al-
Iman dan gurunya, Al-Qaffal Asy-Syasyi, Khathib Asy-Syirbini dan
dalam Mahasin Asy-Syari’ah.” yang lainnya, hukumnya

"
makruh.
Wallahu a’lam.

41
Fatwa Ulama

BOLEHKAH TAQLID PADA IMAM


BERTAQLID PADA MALIK DALAM
IBNU TAIMIYYAH PERSOALAN AIR YANG
RAHIMAHULLAH? SEDIKIT YANG TERKENA
NAJIS
Pertanyaan:

Sayyidi Dr. Muhammad Sa’id hafizhakumullah, Pertanyaan:


anda mengatakan tentang Imam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah, bahwa boleh bertaqlid kepadanya, Seorang laki-laki yang bertaqlid pada
“kecuali jika ijtihadnya menyelisihi hukum yang Imam Asy-Syafi’i radhiyallahu ‘anhu,
disepakati oleh seluruh ulama muslimin, ijtihad ia mengalami kesulitan, karena ia
yang bertentangan dengan ijma’ seperti ijtihad memiliki anak-anak kecil yang suka
yang bertentangan dengan nash, dan tidak ada memasukkan tangan mereka ke
ijtihad saat ada nash tentang hal itu.” wadah air, dan ia duga kuat tangan
mereka itu bernajis dilihat dari
Pertanyaan saya Sayyidi, apa hukumnya jika keadaan mereka. Bolehkah dalam
ijtihadnya menyelisihi madzhab yang empat, hal ini ia bertaqlid kepada Malik
meskipun itu sesuai dengan pendapat salah satu yang berpendapat bahwa air itu
ulama di luar madzhab yang empat, bolehkah tidak menjadi najis, kecuali berubah
bertaqlid kepadanya? Jazaakumullahu khaira. sifatnya?

Jawaban: Jawaban:

Ada banyak madzhab lain selain madzhab yang Ya, ia boleh bertaqlid kepada beliau
empat, seperti madzhab Imam Ats-Tsauri, Asy- dalam hal itu. Wallahu a’lam.
Sya’bi, Ibnu Abi Laila, dan Al-Auza’i. Seluruhnya
layak untuk diikuti. Dan Ibnu Taimiyyah tidak (Fatawa Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam,
kurang dari mereka. Nomor 98)

Fatwa Syaikh Muhammad Sa’id Ramadhan Al- Diterjemahkan dari:


Buthi https://www.aliftaa.jo/Question3.aspx?
QuestionId=1642#.We9INbURXMw
Diterjemahkan dari:
https://naseemalsham.com/fatwas/view/35817 Penerjemah:
Muhammad Abduh Negara
Penerjemah:
Muhammad Abduh Negara

42
Fatwa Ulama

MUFTI TAK PERLU PEREMPUAN BEKERJA


BERTANYA BERSAMA LAKI-LAKI DI
TENTANG MADZHAB TEMPAT YANG SAMA
MUSTAFTI
Pertanyaan: Pertanyaan:

Apakah seorang mufti perlu bertanya Saya pemudi muslimah. Saya hidup di
kepada mustafti (orang yang meminta salah satu negara Eropa dan belajar di
fatwa), “Apakah madzhab anda?”, “Jika
sana. Setelah selesai pendidikan, saya
anda pengikut madzhab Hanbali, maka
mulai mencari pekerjaan, namun tidak
hukumnya seperti ini”, “Jika anda pengikut
madzhab Hanafi, maka hukumnya seperti dapat, karena syarat bekerja di sana adalah
ini”, “Jika anda pengikut madzhab Syafi’i, melepaskan hijab, dan saya menolak
maka hukumnya seperti ini”, atau sang syarat itu. Sekitar satu bulan kemudian,
mufti cukup menyebutkan pendapat yang ayah saya mendapatkan peluang kerja
ia yakini saja? untukku, dan pekerjaan tersebut tidak
mensyaratkan melepas hijab, karena itu
Jawaban: saya menerima pekerjaan tersebut.

Mufti tidak perlu bertanya tentang madzhab


Pekerjaannya adalah, menjaga kesegaran
mustafti, dan inilah yang dipraktekkan oleh
para Shahabat, Tabi’in, dan para mufti dari sayuran dan buah-buahan dengan mesin
kalangan salaf dan khalaf -semoga Allah pendingin, dan pekerjaanku adalah
meridhai mereka semua-, terutama jika memotong sayuran dan membungkusnya.
madzhab mustafti adalah madzhab yang Alhamdulillah, saya memakai seragam
lemah atau rusak. Wallahu a’lam. yang sesuai tuntunan Islam. Sedangkan
rekan-rekan kerjaku adalah orang-orang
Fatawa Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, no. 156. Eropa, dan saya hanya berinteraksi dengan
mereka saat mengucap salam atau jika
Diterjemahkan dari:
ada pertanyaan terkait pekerjaan. Tidak
https://www.aliftaa.jo/Question3.aspx?
QuestionId=1630 ada pembicaraan atau interaksi di luar
masalah pekerjaan.
Penerjemah:
Muhammad Abduh Negara Ketika jam kerja, masing-masing sibuk
dengan pekerjaannya, terlebih ada kamera
pengawas sehingga karyawan tidak berani

43
macam-macam. Perlu diketahui juga, ia menyelisihi Syariat yang mulia, seperti
bahwa di tempat manapun yang kami para perempuan yang menampakkan
masuki, bahkan di jalan-jalan, terdapat hal-hal yang diharamkan Syariat untuk
kamera pengawas. Saya juga tidak suka ditampakkan, atau pertemuan tersebut
kumpul-kumpul atau berdekatan dengan dalam rangka melakukan kemungkaran,
rekan-rekan kerjaku. Pimpinan kami di atau ia merupakan khalwat yag
tempat kerja, mengumpulkan kami di diharamkan.
pagi hari dan memberikan kami instruksi,
atau memberikan penjelasan jika ada Para ulama menyebutkan bahwa yang
perubahan dalam mekanisme kerja. Jika dimaksud ikhtilath yang haram dengan
ada pertanyaan, maka jawaban diberikan sendirinya (fi dzatihi) adalah yang mereka
sebatas pertanyaan yang diajukan. saling bersentuhan dan berpegangan,
bukan sekadar berkumpulnya laki-laki
Pertanyaannya adalah, apakah boleh dan perempuan di tempat yang sama.
saya bekerja di tempat yang bercampur
baur ini? Saya perlu bekerja, dan suami As-Sunnah menunjukkan hal ini. Dalam
saya (yang baru akad, belum berkumpul) Shahihayn, dari Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi
menyampaikan kepadaku, bahwa radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata:
pekerjaan saya tersebut haram. Dan
ia mensyaratkan bahwa ia menerima ‫النبي‬ َّ ‫لما عرس أ�بو أ�سيد الساعدي رضي هللا عنه دعا‬
pekerjaanku ini jika pekerjaan tersebut ‫ فما صنع لهم‬،‫صحابه‬ َ �‫صلى هللا عليه آو�له وسلم أو‬
‫أ أ أ‬
tidak haram atau menyelisihi Syariat. Saya ‫طعاما وال َّقربه إليهم إال امر� ُته �م �سيد‬
ً
berharap anda menjawab pertanyaan
saya, apakah saya lanjutkan pekerjaan Artinya: “Ketika Abu Usaid As-Sa’idi
saya ini yang terdapat campur baur radhiyallahu ‘anhu menikah, beliau
(ikhtilath) di dalamnya? Apakah harta saya mengundang Nabi shallallahu ‘alaihi wa
dari pekerjaan tersebut halal atau haram? aalihi wa sallam dan para shahabat beliau,
Jazaakumullahu khayra. tidak ada yang membuatkan mereka
makanan dan menghidangkannya, kecuali
Jawaban Prof. Dr. ‘Ali Jum’ah Muhammad: istrinya sendiri, yaitu Ummu Usaid...”.

Yang dipahami dan dipraktekkan oleh umat Al-Bukhari memberikan judul untuk
Islam, salaf maupun khalaf, bahwa sekadar ‫أ‬
Hadits ini, ‫باب قيام المر�ة على الرجال في‬
berkumpulnya laki-laki dan perempuan ‫( العرس وخدمتهم بالنفس‬Bab Aktivitas dan
di tempat yang sama, tidaklah haram Pelayanan Seorang Perempuan di Resepsi
dengan sendirinya. Keharaman terjadi jika Pernikahannya Terhadap Para Laki-laki).

44
Al-Qurthubi berkata dalam Tafsirnya (9/68, berpura-pura ikut makan di hadapan tamu
Cetakan Dar Al-Kutub Al-Mishriyyah): mereka, dan mereka berdua akhirnya tidur
Ulama kami berkata, di dalamnya terdapat dalam keadaan lapar”.
kebolehan bagi seorang perempuan
melayani suami dan teman-temannya Dalam riwayat Ibnu Abid Dunya, dalam
saat resepsi pernikahannya. “Qirra Ad-Dhayf”, dari Hadits Anas
radhiyallahu ‘anhu, bahwa seorang laki-
Ibnu Baththal dalam Syarh-nya atas Al- laki berkata kepada istrinya: “Buatlah
Bukhari (6/53, Cetakan Maktabah Ar- roti ini menjadi tsarid (makanan yang
Rusyd) berkata: Di dalamnya terdapat terbuat dari roti yang diremuk lalu
penjelasan bahwa hijab (pemisahan direndam dengan kuah dan daging) dan
tempat dan interaksi langsung antara laki- tambahkanlah mentega sebagai lauknya,
laki dan perempuan) tidaklah wajib bagi lalu hidangkanlah kepada tamu kita.
para perempuan mu’minah. Ia khusus Suruhlah pembantu untuk mematikan
bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa lampu.” Kemudian ketika menemani tamu
sallam saja. Allah menyebutkan dalam mereka makan, keduanya menggerakkan
Kitab-Nya: ‫اس�لوه َّن ِمن‬
ُ ‫َوإ َذا َس أ� ْل ُت ُم‬
ْ ُ ُ ‫وه َّن َم َت ًاعا َف ْ أ‬ mulut mereka seperti sedang makan,
َ ِ
َ َ
ٍ ‫( ور ِاء ِحج‬Apabila kalian meminta suatu
‫اب‬ sehingga tamu mereka mengira bahwa
keperluan kepada mereka (istri-istri Nabi), keduanya juga ikut makan. Kisah ini
maka mintalah dari balik hijab). zhahirnya menunjukkan bahwa mereka
makan dalam satu nampan.
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
berkata: Hadits ini menunjukkan bolehnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam
seorang perempuan melayani suaminya lalu berkata kepada laki-laki tersebut:
dan orang-orang yang diundangnya, dan
tentu kebolehan ini jika aman dari fitnah ‫هللا ِم ْن َص ِن ْي ِع ُك َما ِب َض ْي ِف ُك َما َّالل ْي َل َة‬
ُ ‫َق ْد َعج َب‬
ِ
dan tetap memperhatikan kewajiban-
nya menutup aurat. Hadits ini juga Artinya: “Allah takjub dengan perilaku
menunjukkan bolehnya seorang laki-laki kalian terhadap tamu kalian tadi malam.”
meminta istrinya melakukan pelayanan
seperti itu. Allah pun menurunkan ayat berkaitan
dengan kisah mereka:
Dan dalam Shahihayn juga, dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, tentang kisah َ ‫َو ُي ْؤ ِث ُرو َن َع َلى أ� ْن ُف ِس ِه ْم َو َل ْو َك َان ِب ِه ْم َخ َص‬
‫اص ٌة‬
Abu Thalhah Al-Anshari radhiyallahu
‘anhu saat menjamu tamunya, “Keduanya Artinya: “Dan mereka mengutamakan

45
(orang-orang Muhajirin), atas diri mengandung kemaslahatan.
mereka sendiri, sekalipun mereka dalam
kesusahan.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9). Adapun pekerjaan yang menurut
kebiasaannya meniscayakan laki-laki dan
Dalam Shahih Al-Bukhari, dari Abu perempuan berada di tempat yang sama,
Juhaifah radhiyallahu ‘anhu, beliau maka itu tidak apa-apa, selama aman
berkata: dari kemungkinan terjatuh pada zina dan
tidak terjadi khalwat (yang diharamkan).
‫أ‬ ‫آ‬ ‫ آ‬Sekadar adanya laki-laki dan perempuan di
‫�خى النبي صلى هللا عليه و�له وسلم بين سلمان و�بي‬
‫أ أ‬ ‫ُ أ‬
‫ فر�ى � َّم الدرداء‬،‫سلمان �با الدرداء‬ ‫ فزار‬،‫ الدرداء‬satu tempat, tidaklah haram. Yang haram
‫أ‬ ‫أ‬ ‫أ‬
‫ �خوك �بو الدرداء‬:‫ ما ش�نك؟ قالت‬:‫ فقال لها‬،‫ متبذلة‬itu adalah seorang laki-laki menyendiri
‫أ‬ bersama seorang perempuan di tempat
‫ فجاء �بو الدرداء فصنع له‬.‫ ليس له حاجة في الدنيا‬tertentu yang orang lain tak mungkin
‫آ‬ ً
‫ إلى �خر الحديث‬...‫طعاما‬ masuk ke sana.

Artinya: Nabi shallallahu ‘alaihi wa aalihi Imam Ibnu Daqiq Al-‘Ied dalam Ihkamul
wa sallam mempersaudarakan Salman Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam (2/181,
dengan Abu Darda’. Ketika Salman Cetakan Maktabah As-Sunnah) berkata
berkunjung ke rumah Abu Darda’, ia tentang penjelasan Hadits Nabi shallallahu
melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) ‘alaihi wa aalihi wa sallam, ‫إياكم والدخول على‬
dalam keadaan mengenakan pakaian ‫( النساء‬Janganlah kalian masuk menemui
yang serba kusut. Salman pun bertanya perempuan): Ini khusus untuk non-
padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti mahram, dan berlaku umum untuk selain
ini?” Ia menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ mahram. Ini juga perlu memperhatikan
sudah tidak mempunyai hajat lagi pada hal lain, yaitu maksud “masuk” di sini
dunia.” Kemudian Abu Darda’ datang dan adalah yang meniscayakan khalwat, kalau
ia membuatkan makanan untuk Salman... tidak khalwat, maka tidak apa-apa.
(Hingga akhir Hadits)
Kemudian, tidak semua bersendiriannya
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari laki-laki dan perempuan termasuk khalwat
(4/211, Cetakan Darul Ma’rifah) berkata: yang diharamkan. Imam Al-Bukhari,
Di dalam Hadits ini terdapat beberapa Muslim, dan lainnya meriwayatkan dari
faidah... Bolehnya berbicara dengan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau
perempuan ajnabiyyah (non-mahram) berkata:
dan bertanya tentang sesuatu yang

46
‫آ‬ ‫أ‬ ‫أ‬ tidak aman dari kekhawatiran terjatuh
‫جاءت امر�ة من النصار إلى النبي أصلى هللا عليه و�له‬
pada zina, sedangkan jika dipastikan
،”‫ وهللا إنكن لحب الناس أإلي‬:‫ فقال‬،‫وسلم فخال بها‬
‫ “فخال بها في بعض الطرق �و في‬:‫وفي بعض الروايات‬menurut kebiasaan tidak akan mengarah
ke sana, maka tidak dianggap khalwat
”‫بعض السكك‬
Artinya: Seorang perempuan dari Anshar (yang haram).
mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi
wa aalihi wa sallam, kemudian beliau Dan sekadar menutup pintu, yang
bersendirian dengannya, lalu bersabda: siapapun boleh membukanya lagi dan
“Kalian (orang Anshar) adalah orang- masuk ke dalamnya kapan saja, tidak
orang yang paling saya cintai”. Dalam dianggap sebagai khalwat yang di
sebagian riwayat: Beliau bersendirian haramkan.
dengannya di jalan.
Atas dasar ini dan melihat fakta yang
Imam Al-Bukhari membuat bab untuk ditanyakan, maka tidak apa-apa
‫أ‬ ‫أ‬
Hadits ini: ‫ باب ما يجوز �ن يخلو الرجل بالمر�ة‬melanjutkan pekerjaan anda sekarang,
‫( عند الناس‬Bab Bolehnya seorang laki-laki dan harta anda halal menurut Syariat.
bersendirian dengan seorang perempuan, Wallahu subhanahu wa ta’ala a’lam.
di tempat umum).
Fatwa Syaikh ‘Ali Jum’ah Muhammad
Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari
(9/333, Cetakan Darul Ma’rifah) berkata: Diterjemahkan dari:
Hadits ini menunjukkan bahwa berdiskusi http://www.dar-alifta.org/ar/ViewFatwa.aspx?
dengan seorang perempuan ajnabiyyah ID=11963&LangID=1&MuftiType=0
(non-mahram) secara sirr (bersendirian)
tidak tercela dalam agama, jika aman dari Penerjemah: Muhammad Abduh Negara
fitnah. Al-Mulla ‘Ali Al-Qari dalam Mirqatul
Mafatih berkata: Hadits ini menunjukkan
bahwa berkhalwat dengan seorang
perempuan di jalan, tidak sama dengan
berkhalwat dengannya di dalam rumah.

Ketentuan khalwat yang diharamkan,


sebagaimana disampaikan oleh Syaikh Asy-
Syibramalisi Asy-Syafi’i, dalam Hasyiyah
‘Ala Nihayatil Muhtaj (7/163, Cetakan Darul
Fikr): Pertemuan yang menurut kebiasaan

47
Fikrah

MEMAHAMI KONSEP
WASATHIYYAH ISLAM YANG BENAR
Oleh: Muhammad Abduh Negara

A
s-Sayyid Sulaiman An-Nadwi, dan memerintahkannya untuk bersikap
dalam makalah beliau “At-Tawazun seimbang dalam hal tersebut.
Wa Al-I’tidal”, yang dimuat di kitab
‫أ‬
“Al-Manhaj Al-Islami Li Al-Wasathiyyah wa ‫ ولضيفك‬،‫ فإن لهلك عليك حقا‬،‫اتق هللا يا عثمان‬
‫أ‬
Al-I’tidal”, karya Dr. Qadhi ‘Abdur Rasyid, ‫ وصل‬،‫ صم و�فطر‬،‫ ولجسدك عليك حقا‬،‫عليك حقا‬
menyatakan: ‫ونم‬

“Tidak ada sesuatu yang lebih baik dan “Bertaqwalah kepada Allah, hai ‘Utsman.
lebih utama daripada ibadah, namun Keluargamu memiliki hak atasmu,
meskipun begitu, Islam tetap me- tamumu memiliki hak atasmu, dan
merintahkan kita untuk memperhatikan tubuhmu memiliki hak atasmu. Puasa
aspek tawazun dan i’tidal, termasuk sisi dan berbukalah, shalat dan tidurlah.” (HR.
yang sangat agung ini (yaitu ibadah). Ahmad dan Abu Dawud).”

Sikap tawazun dan i’tidal dalam ibadah ini, Selesai kutipan dari As-Sayyid Sulaiman
terwujud dengan tidak memperbanyak An-Nadwi.
ibadah yang menyebabkan taqshir
(kekurangan) dalam amal dan tanggung Inilah konsep wasathiyyah (pertengahan/
jawab lainnya. Juga tidak mengurangi moderasi) dalam Islam, Islam yang tawazun
ibadah, yang menyebabkan kelalaian dan dan I’tidal, Islam yang memperhatikan
pengabaian terhadap ibadah tersebut. seluruh sisi kehidupan, dan memberikan
haknya masing-masing tanpa bersikap
Ketika ‘Utsman bin Mazh’un radhiyallahu zalim terhadap salah satunya. Islam yang
‘anhu menyibukkan diri dengan banyak tidak berlebih-lebihan dalam ketaatan,
shalat di malam hari dan puasa di sampai pada tingkat menjatuhkan
siang hari, sehingga menyebabkan ia diri pada kesulitan dan mengabaikan
terabaikan dari memenuhi hak istrinya hak yang lain, yang Islam sendiri tidak
dan tanggung jawabnya yang lain, Nabi menginginkan hal tersebut. Sekaligus,
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya, tidak bermudah-mudahan dan lalai, yang

48
menjauhkan seseorang dari bimbingan ghuluw (ifrath) yang merusak, juga sikap
Islam dan akan menjatuhkannya pada taqshir (tafrith) yang menggelincirkan.
kebinasaan.

"
Dalam kitab “Shina’ah Al-Fatwa Fi Al-
Qadhaya Al-Mu’ashirah”, karya Dr. Quthb Islam yang tidak
Ar-Raisuni, dalam bahasan “Taf’il Manhaj berlebih-lebihan dalam
Al-Wasathiyyah Fi Al-Fatwa”, disebutkan ketaatan, sampai pada
karakteristik khas wasathiyyah dalam tingkat menjatuhkan
Islam, yaitu ia berada di tengah-tengah diri pada kesulitan dan
antara tasyaddud (memberat-beratkan) mengabaikan hak yang
dan tasahul (meringan-ringankan), antara lain, yang Islam sendiri
ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith
tidak menginginkan
(bermudah-mudahan).
hal tersebut. Sekaligus,
tidak bermudah-
Wasathiyyah Islam berdiri di atas sifat adil,
mudahan dan lalai,
inshaf (proporsional), memilih yang terbaik
yang menjauhkan
dari dua kebaikan yang harus dipilih, dan
seseorang dari
jika harus memilih saat terjatuh pada dua
keburukan, maka ia menjauhi yang paling
bimbingan Islam dan
buruk dari dua keburukan tersebut. akan menjatuhkannya
pada kebinasaan.
Di kitab ini juga disebutkan bahwa
wasathiyyah Islam itu bukan melakukan
talfiq (campur aduk) antara yang haq dan
yang batil.
"
Sayangnya, di sebagian kalangan, konsep
Konsep wasathiyyah Islam adalah Islam itu wasathiyyah Islam ini diubah maknanya,
sendiri, sejalan dengan manhaj Nabawi, disimpangkan pemahamannya, hingga
sebagaimana pernah beliau shallallahu orang-orang memahami, Islam yang
‘alaihi wa aalihi wa sallam sampaikan moderat itu adalah Islam yang tidak
semisal, “Saya shalat malam, dan saya terlalu terikat dengan aturan-aturan
juga tidur...”, sesuai dengan konsep Ahlus Syariah, dan yang bisa menerima nilai-nilai
Sunnah Wal Jama’ah, yang jauh dari sikap Barat, tanpa filter dan standar yang jelas.

49
Memang tidak semua dari Barat harus Mereka misalnya, mengatasnamakan
kita tolak, ada yang bisa kita terima, ada keadilan dan perubahan zaman, ingin
yang kita ambil dengan melalui proses menyamakan bagian warisan laki-laki
pembersihan hal-hal yang kotor, ada juga dan perempuan, meski jelas menabrak
yang memang harus dibuang karena ia nash sharih dalam Al-Qur’an. Mereka
racun bagi peradaban Islam. ada yang membenarkan zina, dengan
istilah perluasan makna “milkul yamin”.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi dalam “Dirasah Ada juga yang membebaskan batasan
Fi Fiqh Maqashid Asy-Syari’ah” dan aurat, dengan alasan perbedaan adat
“Al-Fatwa Bayna Al-Indhibath Wa At- dan tradisi. Semua ini bukan manifestasi
Tasayyub” menyebutkan satu kelompok konsep wasathiyyah dalam Islam, tapi
yang mengambil nilai-nilai Barat, lalu talfiq antara yang haq dan yang batil.
memaksakannya masuk ke dalam konsep
Islam, memberikan “dalih pembenaran” Wallahu a’lam bish shawab.
atasnya, meski harus menabrak dalil-dalil
yang qath’i, meski harus merobek konsep
yang tsawabit dalam Islam.

Orang-orang semacam ini, hakikatnya


sedang melakukan talfiq antara yang
haq dan batil, mencampur madu dengan
racun, memasukkan najis ke air murni,
kemudian menamakannya Islam moderat.
Orang-orang awam, yang tak punya
perhatian terhadap ilmu-ilmu Islam,
mengira inilah ajaran Islam yang benar,
yang sesuai dengan perkembangan
zaman, yang bisa membawa Islam maju
peradabannya. Padahal ini sebenarnya
menjatuhkan umat Islam ke kubangan
lumpur, merusak indahnya peradaban
Islam dengan mencampurkan kotoran ke
dalamnya.

50

Anda mungkin juga menyukai