Anda di halaman 1dari 2

E.

BAGIAN UMUM DAN BAGIAN KHUSUS DALAM HUKUM PIDANA

Jenis Ketentuan hukum pidana dibagi menjadi dua, yaitu:


1. Bersifat umum, artinya berlaku untuk seluruh lapanngan hukum, baik yang terdapat
didalam maupun diluar KUHP. Ketentuan ini termuat didalam KUHP buku ke I.
2. Khusus, yang mana menyebut perbuatan-perbuatan mana yang dapat dipidana beserta
ancaman pidananya. Ketentuan ini termuat dalam KUHP buku ke II & III, lalu juga
terdapat di luar KUHP yang disebut delik khusus.

Beberapa sistematik yang dianut oleh para penulis mengenai bagian umum tersebut:

a. E. Mezger dalam bukunya Strafrecht, jilid 1, membagibagian umum menjadi 3, yaitu:


I. Das Strafgesetz (Undang-Undang Pidana), sebagai semacam inventarisasi dari
peraturan-peraturan pidana yang berlaku ;
II. Straftat, disini diuraikan syarat-syarat untuk dapat dilakukan pemidanaan ;
III. Pidana, dalam arti luas.
b. W.P.J. Pompe, Handboek van het Nederlandse Strafrecht,
I. Tindak pidana dan patut dipidananya orang yang berbuat (De Strafbaarheid);
II. Pidana dan tindakan-tindakan lain, yang dapat ditetapkan terhadap sesuatu tindak
pidana (Straffen en maatregelen);
III. Hak untuk menuntut dan hak untuk menjalankan pidana (recht tot vervelgen en
het recht tot tenuitvoerlegging der straf). Terletak dalam perbatasan antara hukum
pidana materiil dan hukum acara pidana.
c. D. Hazewinkel-Suringa, Inleiding tot de studie van het Nederlandse Strafrecht:
I. Patut dipidananya perbuatan dan sipembuat (De strafbaarheid vanfeit en dader) ;
II. Hal penuntutan (Verrolgbaarheid) ;
III. Hukum Penitensier (Penitentiair recht), berisi hal-hal yang bersangkut paut
dengan pidana ;
IV. Teori-teori pidana (strafrechts theorie).

F. BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG PIDANA MENURUT WAKTU


AZAS NULLUM DELICTUM

Azas nulum delictum atau azas legalitas ini berarti bahwa peraturan undang-undang yang
pada dasarnya berlaku untuk masa yang akan datang atau berlaku untuk hal-hal yang terjadi
sesudah peraturan itu diterapkan. Azas ini terdapat dalam pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan.” Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut
beriskan dua hal, yaitu:

1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/disebutkan dalam peraturan undang-undang.


2. Peraturan undang-undang ini harus ada sebelum terjadinya tindak pidana.

Pada poin 1. diatas, terdapat dua konsekuensi, yang pertama adalah perbuatan seseorang
yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai seuatu tindak pidana juga tidak dapat
dipidana. Yang kedua ialah adanya pendapat, bahwa ada larangan penggunaan analogi untuk
membuat suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebegaimana dirumuskan di dalam
undang-undang.

Untuk poin 2. dapat ditafsirkan dengan kata lain bahwa peraturan undang undang tidak
pidana tidak boleh berlaku retroaktif (berlaku surut) dengan alasan untuk menjamin kebebasan
individu terhadap kewanang-wenangan penguasan dan adanya pendapat bahwa pidana itu juga
sebagai paksaan psychic (psychologischedwang).

Meskipun telah diterangkan diatas bahwa peraturan undang-undang tidak berlaku


retroaktif namun, aturan tentang tidak berlaku surutnya suatu peraturan pidana ini dapat
diterobos oleh pembentuk undang-undang. Jadi, apabila pembentuk undang undang menyatakan
suatu undang-undang berlaku surut, maka hal tersebut adalah sepenuhnya hak pembentuk
undang-undang terseebut.

Anda mungkin juga menyukai