Anda di halaman 1dari 2

Nama : Towa Vipanga

MPN: 150610210011

PERUBAHAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT TERKAIT DENGAN TANAMAN


KELAPA SAWIT

Pembangunan pertanian dan perkebunan pada tahapan tertentu akan membuka ruang
bagi pengembangan agribisnis dan investasi pihak ketiga di daerah tersebut. Kedatangan
investor di sektor perkebunan akan merangsang pendirian kilang minyak sawit dan menciptakan
lapangan kerja bagi penduduk lokal dan "pengunjung". Pendirian perusahaan kelapa sawit
berdampak pada perekonomian nasional dan perekonomian masyarakat setempat. Pendapatan
awal daerah (PAD) akan ditingkatkan oleh pajak perusahaan dan pabrik. Perubahan ekonomi
juga dirasakan dengan tumbuhnya pusat-pusat ekonomi dan berkembangnya kegiatan lain
seperti pembangunan perumahan.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit juga berdampak pada perubahan sosial


masyarakat. Tingkat pendidikan dan kesehatan penduduk setempat meningkat, angka putus
sekolah menurun, dan anak-anak dapat diberi makan. Namun, selain sisi positif bagi sosial
ekonomi masyarakat, perkembangan perkebunan dan pertanian kelapa sawit juga membawa
dampak negatif. Perubahan ini tercermin dalam hilangnya martabat lembaga lokal (lembaga adat)
masyarakat lokal. Masyarakat berpikir lebih pragmatis dan hedonis, cara hidup tidak lagi
berkorelasi dengan aturan budaya lokal yang biasa.

Perkebunan kelapa sawit juga mempengaruhi institusi keluarga, komunikasi antara orang
tua dan anak mulai menurun. Pola asuh dalam keluarga lebih didominasi oleh teknologi dan
media (media dan jejaring sosial) daripada oleh orang tua itu sendiri. Kekerabatan adat mulai
melemah. Ritual biasa, baik keagamaan maupun sosial, telah berkembang menjadi aspek
pariwisata yang lebih seremonial dan padat. Penduduk setempat telah kehilangan identitas dan
orisinalitasnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan warisan kehilangan maknanya.

Dampak negatif masuknya sektor perkebunan kelapa sawit juga termanifestasi dalam
aspek lingkungan. Dahulu, masyarakat adat bergantung pada alam dan hutan untuk memenuhi
kehidupannya, termasuk berinteraksi dengan penciptanya "Jubata". Diyakini bahwa
keseimbangan alam merupakan sarana komunikasi dengan penciptanya. Saat ini, hutan biasa
yang berfungsi sebagai hutan lindung telah berubah menjadi hamparan perkebunan kelapa sawit.
Gelombang perkebunan kelapa sawit tidak bisa dihentikan oleh masyarakat atau pemerintah
setempat. Investasi di perkebunan kelapa sawit telah menjangkau pemilik modal besar dan
pejabat pemerintah. Pemilik agribisnis kelapa sawit didominasi oleh pengusaha besar yang
bekerja sama dengan pemerintah pusat, meskipun ada juga pejabat daerah yang memiliki lahan
sawit.

Selain nilai positifnya, pembangunan tentunya menyisakan masalah sosial dan ekonomi.
Telah terjadi perubahan bagi masyarakat lokal dan pendatang, seperti perbaikan aspek ekonomi,
perbaikan pendidikan dan kesehatan. Namun, ada juga dampak negatif yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat lokal dan lingkungan. Interaksi sosial antara masyarakat yang tinggal di
sekitar perkebunan sawit dengan para “pendatang” sangat dinamis, mengalami pasang surut.
Ada kalanya terjadi secara harmonis, terkadang timbul gesekan di antara mereka. Hubungan
harmonis antara masyarakat lokal dan perusahaan terjalin dengan dimulainya pembukaan lahan
perkebunan kelapa sawit pada tahun 1980-an. Kesepakatan kedua belah pihak untuk bekerja
sama dalam pembukaan dan penanaman kelapa sawit. PTPN atau perusahaan sawit
bertanggung jawab terhadap penanaman sawit, mulai dari pembukaan lahan tanam (brush
clearing), penanaman bibit sawit, pemupukan, pemeliharaan. Tanggung jawab sosial penanaman
masyarakat (plasma) berlangsung selama 3 tahun. Semua pembiayaan yang timbul dari kegiatan
perusahaan dalam bentuk kewajiban menjadi tanggung jawab perusahaan publik.

Masyarakat lokal juga diserahi kewajiban untuk mengalihkan tanah-tanah “leluhur” untuk
ditanami sawit. Mereka akan diberikan sertifikat tanah atau perkebunan kelapa sawit seluas 2 ha
(1 petak) dengan syarat mengembalikan pinjaman kepada pengelola perusahaan (bank resmi).
Selama 3 tahun, warga sekitar tidak diwajibkan mengurus kebun sawit, semua dikerjakan oleh
PTPN. Ketika kelapa sawit mencapai umur 3 tahun dan mampu berbuah, masyarakat sebagai
petani kelapa sawit wajib merawat kebunnya sendiri, dan semua hasil kelapa sawit harus dijual
ke PTPN.

Saat ini, beberapa produsen plasma tidak menjual hasil panen sawitnya ke perusahaan.
Mereka merasa bahwa sistem pembayaran yang dijalankan perusahaan mempersulit hidup
petani sawit skala kecil, karena mereka membayar produk sawit sebulan sebelumnya. Selain
PTPN Ngabang yang membeli kelapa sawit, ada juga beberapa perusahaan yang bersedia
membeli buah kelapa sawit dari petani plasma skala kecil. Beberapa produsen plasma kecil
menjual buah sawit ke pabrik pihak ketiga dengan sistem pembayaran tunai. Terlepas dari jumlah
koin yang ditawarkan untuk dijual, pabrik swasta siap membelinya.

Pembukaan perkebunan kelapa sawit 30 tahun yang lalu, telah merubah masyarakat lokal
pada aspek sosial. Perubahan tersebut terjadi pada semua dimensi kehidupan masarakat,
terjadinya individualisasi masyarakat adat yang kental dengan konsep kekerabatan, tergerusnya
peran lembaga adat, hilangnya budaya lisan yang diganti dengan budaya pop. Perkembunan
kelapa sawit pada sisi ekonomi telah mampu menigkatkan pendapatan masyarakat di Ngabang.
Namun pembukaan perkebunan sawit dengan konsep inti dan rakyat (plasma) “jauh panggang
dari api”. Kesejahteraan ekonomi lebih banyak dinikmati oleh “pendatang” dari pulau Jawa,
Sumatera Utara, dan masyarakat dari kabupaten lainnya. Masyarakat lokal hanya menikmati
sebagian kecil dari manisnya sawit, lebih banyak menonton dari pada pelaku.

Anda mungkin juga menyukai