Anda di halaman 1dari 19

HUBUNGAN ANTARA PENYESUAIN DIRI DENGAN STRES

LINGKUNGAN PADA SANTRI BARU PONDOK PESANTREN

Proposal skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna

Memproleh Gelar Sarjana Pisikologi (S.Psi)

Oleh:

Yulianti

NPM: 1731080134

Jurusan: Psikologi Islam

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA

UNIVERSITAS ISALAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

1441/2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan berbasis agama yang


mana didalamnya dan para pelajar yang menetap didalam pondok pesantren
disebut santri pesantren adalah pendidikan tradisional yang para pelajarnya
tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan
istilah kiai dan mempunyai asrama untuk menginap santri. Santri baru adalah
pelajar tingkat awal pada pondok pesantren dan baru akan memulai untuk
mengikuti segala kegiatan belajar mengajar pada pondok pesantren tersebut.
Asrama tersebut dikelilingi juga tembok agar dapat mengawasi keluar masuk
nya para santri sesuai peraturan yang berlaku. Santri yang tingggal dipondok
pesantren berasal dari berbagai daerah dan berbeda suku dan berbagai macam
provinsi. Maka setiap santri yang berasal dari berbagai wilayah yang berbeda
akan menempati tempat tinggal baru di dalam pondok pesantren, santri baru
diharuskan untuk tinggal secara mandiri, terpisah dari orang tua dan keluarga.
Hidup dan tinggal di lingkungan yang baru mengharuskan santri baru untuk
mampu melakukan penyesuaian diri di lingkungan pesantren.
Santri yang tidak terbiasa jauh dari orang tua dan selalu mengandalkan
orang tua akan merasa kan kesulitan dalam kehidupan yang ada didalam
pondok pesantren. Ada pun santri yang merasa kesulitan dalam menyesuaikan
diri dan beradaptasi dengan lingkungan di pondok pesantren. Fenomena yang
sering terjadi didalam pondok pesantren sering nya terjadi pelanggaran
terhadap aturan di pondok pesantren yang dilakukan oleh para santri baru
adalah kurangyakinnya diri santri baru terhadap kemampuannya menyesuaikan
diri didalam pondok pesantren tersebut. Masalah yang sering timbul juga adalah
santri yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan asrama tersebut tak
jarang ada santri yang keluar pondok pesantren sebelum lulus bahkan tahun
pertama di pondok pesantren.
Menurut Chaplin stres adalah suatu keadaan yang tertekan, baik fisik
maupun psikologi keadaan ini merupakan suatu keadaan yang sangat
mengganjal dalam diri individu karena adanya perbedaan antara yang
diharapkan dengan yang ada. Kartono dan Gulo (2000) mengartikan stress
sebagai sejenis frustasi dimana adanya gangguan-gangguan dalam aktivitas
yang dilakukan individu untuk mencapai tujuannya sehingga individu tersebut
merasa cemas, was-was dan khawatir. Seseorang yang sudah lama berada pada
suatu lingkungan akan terbiasa dengan norma-norma yang ada atau aturan-
aturan dan kebiasaan yang ada pada lingkungannya.
Stress adalah tuntutan terhadap system yang menghasilkan ketegangan,
kecemasan, dan kebutuhan energi, usaha fisiologis, dan usaha psikologis ekstra
(Sundberg, 2007). Melalui interaksi yang berlangsung lama dan cukup intens
akan membuat seseorang lebih mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungannya. Keadaan yang berbeda akan membuat para santri baru
mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap lingkungan yang baru
sehingga para santri baru akan mengalami permasalahan yang pada akhirnya
akan membuat mereka stres.
Adapun menurut Selye stres merupakan respon yang tidak spesifik dari
tubuh pada tiap tuntutan yang dikenakan padanya. Sedangkan Korchin
menyatakan bahwa keadaan stress muncul apabila tuntutan-tuntutan yang luar
biasa atau terlalu banyak mengancam kesejahteraan atau integritas seseorang.
Stress merupakan suatu keadaan psikologid individu yang disebabkan oleh
tuntutan-tuntutan yang terlalu banyak yang bersumber dari kondisi internal
maupun lingkungan eksternal sehingga terancam kesejahteraannya.
Stress berdasarkan teori kognitif dikatakan bahwa stress timbul sebagai
reaksi subjektif stelah seseorang melakukan perbandingan antara implikasi
negative dari kejadian yang menegangkan dengan kemampuan atau sumber
daya yang memadai untuk mengatasi kejadian tersebut sehingga stress terjadi
karena seseorang memandang besar akibat dari kejadian yang menegangkan
dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya (Hasan 2008). Stres
lingkungan pada dasar nya merupakan aplikasi teori stres dalam lingkungan.
Berdasarkan model input-process-output, maka ada 3 pendekatan dalam stress
sebagai stressor, stres sebagai respon/reaksi, dan stres sebagai proses. Stressor
merupakan sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang,
misalnya suara bising, panas, atau kepadatan tinggi. Respon stres adalah reaksi
yang melibatkan komponen emosional, fikiran, fisiologis, dan perilaku. Proses
merupakan proses tranksaksi antara stressor dengan kapasitas diri
(Hilmi,1999).
Hurlock (2004) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah subjek yang
mampu menyesuaikan diri kepada umum atau kelompoknya dan orang tersebut
diterima oleh kelompok dan lingkungan. Menurut Schneiders (1964)
penyesuain diri adalah suatu proses yang meliputi respon mental dan perilaku,
dalam hal ini individu akan berusaha, dan konflik yang berasal dari dalam
dirinya dengan dunia yang obyektif tempat individu hidup. Santri yang tinggal
di asrama pondok pesantren harus menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat baru mereka, baik penyesuaian diri dengan teman teman satu asrama di
pondok pesantren, dengan lingkungan sekitar pondok pesantren atau suhu dan
penyesuaian-penyesuaian diri lainnya. Pada dasar nya penyesuaian diri
melibatkan individu dengan lingkungannya, penyesuaian diri adalah suatu
proses yang melibatkan respon-respon mental dan tingkah laku yang
menyebabkan individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan,
ketegangan-ketegangan, frustasi-frustasi, dan konflik-konflik jiwa serta
menyelaraskan tuntutan-tuntutan jiwa ini dengan tuntutan-tuntutan yang
dikenakan kepadanya oleh dunia dimana ia hidup (Semiun, 2006).
Dari berbagai pemaparan di atas sehingga membuat peneliti tertarik
untuk meneliti mengenai hubungan antara penyesuaian diri dengan stress
lingkungan pada santri baru dipondok pesantren.

B. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari latar belakang tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui seberapa besarnya hubungan antara penyesuaian diri dengan
stres lingkungan pada santri baru.
C. Rumusan Masalah
Di dalam latar belakang diatas rumusan masalah pada penelitian ini adalah
apakah ada hubungan antara penyesuaian diri dengan stress lingkungan pada
santri baru.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu manfaat teoritis
dan manfaat praktis.
1. Manfaat teoritis
Hasil peneilitian ini diharapkan agar dapat memberikan pengetahuan
dan wawasan untuk kalangan masyarakat mengenai penyesuaian diri
dengan stress lingkungan yang terjadi pada santri baru di pondok
pesantren.
2. Manfaat praktis
Diharapkan hasil penelitian ini dapat memberikan masukan positif
untuk para santri baru agar lebih mengembangkan penyesuaian diri
guna mengurangi tingkat stress lingkungan yang terjadi pada santri baru
dipondok pesantren.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. STRES LINGKUNGAN

1. Pengertian Stres Lingkungan

Stress lingkungan adalah karakteristik stresor atau stimulus lingkungan


yang menimbulkan tekanan pada diri seseorang, stimulus tersebut adalah
stimulus yang mengancam pada diri seseorang yang berasal dari alam. Dalam
berbagai peristiwa yang dirasakan mengancam dapat berupa masalah bagi
dirinya, atau sesuatu hal yang berpotensi untuk menjadi masalah (Iskandar,
2012). Stres lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stress dalam
lingkungan berdasarkan model input-output, dan stres sebagai proses. Stressor
merupakan sumber stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang,
misalnya suara bising, panas, atau kepadatan tinggi. Respon stres adalah reaksi
yang melibatkan komponen emosional, fikiran, fisiologis, dan perilaku. Proses
merupakan proses tranksansi antara stresor dengan kapasitas diri (Hilmi, 1999).
Stres adalah tuntutan terhadap system yang menghasilkan ketegangan,
kecemasan,dan kebutuhan energy, usaha fisiologis, dan usaha psikologis ekstra
(Sundberg, 2007). Markam (2003) menganggap stress merupakan keadaan
ketika beban yang dirasakannya terlalu berat dan tidak sepadan dengan
kemampuan yang untuk mengatasi beban yang dialaminya.
Kartono dan Gulo ( 2000) mengartikan stres sebagai sejenis frustasi
dimana adanya gangguan-gangguan dalam aktivitas yang dilakukan individu
untuk mencapai tujuannya sehingga individu tersebut merasa cemas, was-was,
dan khawatir. dan Haney, 2005) dari penelitian tentang stres yang membedakan
antara stress yang merusak dengan stress yang menguntungkan. Stres yang
merusak dapat menyebabkan seseorang merasa tidak berdaya, frustasi, kecewa.
Stres juga dapat mengakibatkan kerusakan fisik maupun psikologis.
Menurut Charles D, Spielberger ( Handoyo, 2001) menyebutkan bahwa
stress adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang. Adapun
menurut (Chaplin, 2001) stres adalah suatu keadaan yang tertekan baik secara
fisik maupun psikologis keadaan yang tercipta ini merupakan sesuatu yang
mengganjal dalam diri individu karena adanya perbedaan antara yang di
harapkan dengan yang ada. Stress terjadi saat respon Stres atau beban melebihi
kapasitas tingkat optimal. Hal yang dapat membuat individu menjadi stress
disebut dengan stressor. Namun individu memiliki hal yang disebut dengan
coping. Jika sumber-sumber coping tersebut habis maka dapat terjadi exhausted
atau biasa kita sebut dengan kelelahan ( Veitch & Arkkelin, 1995).
Menurut ( Potter & Perry, 2005) Stres disebabkan banyak faktor disebut
dengan stresor. Stresor merupakan stimulus yang mengawali atau mencetuskan
perubahan. Stresor menunjukan suatu kebutuhan yang tidak terpenuhi dan
kebutuhan tersebut bisa saja kebutuhan fisiologis, psikologis, sosial,
lingkungan, perkembangan, spiritual, atau kebutuhan cultural. Stresor secara
umum dapat diklasifikasikan sebagai steros internal dan stresor secara
eksternal, stresor internal berasal dari dalam diri seseorang misalnya kondisi
fisik, atau keadaan emosi dan steros eksternal berasal dari luar diri seseorang
misalnya perubahaan lingkungan sekitar, keluarga dan sosial budaya.

2. Pendekatan Stres Lingkungan

Pendekatan stres lingkungan sering digunakan secara luas dalam


psikologi lingkungan, stresor seperti kebisingan, kepadatan penduduk dan
kesesaakan, tekanan kerja, bencana alam, polusi dan lain-lain adalah
lingkungan aversif yang mengancam kesejahteraan manusia. Sebagai
mevariabel mediator, stres didevinisikan sebagai reaksi terhadap lingkungan
aversif (Bell dkk, 1996). Reaksi tersebut meliputi komponen emosi perilaku
dan fisiologis. Komponen fisiologis sering dinamakan stres sistemik,sedangkan
komponen emosi dan tingkah laku dinamakan stres psikologis.karena stres
sistemik dan stres psikologis adalah saling berkaitan dan tidak terjadi sendiri-
sendiri, maka psikolog lingkungan memadukan keduanya dalam satu teori yang
dinamakan stres lingkungan.dalam model ini, stresor menunjukan kepada
komponen lingkungan seddangkan respon stres menunjukan reaksi yang
disebabkan oleh komponen lingkungan. proses terjadinya stres lingkungan.
Menurut selye (hilmi, 1999) ada 3 tahap stres yaitu tahap reaksi tanda bahaya,
resistensi, dan tahap kelelahan. Tahap reaksi tanda bahaya adalah tahap dimana
tubuh secara otomatis menerima tanda tanda bahaya yang disampaikan indera.
Tubuh siap menerima ancaman atau menghindari terlihat dari otot yang
menegang, keringat keluar, sekresi adrenalin meningkat, jantung berdebar
karena darah dipompa lebih kuat sehingga tekanan darah meningkat. Stres
lingkungan merupakan kondisi yang kadang-kadang tidak bisa dihindari
terjadinya dalam lingkungan kita.

3. Aspek-Aspek Stres Lingkungan

Hardjana (2002) mengungkapkan bahwa stres lingkungan dapat diukur


dengan menggunakan beberapa aspek yaitu :

a. Fisikal, misalnya timbul sakit kepala, pusing, insomnia, dan tekanan


darah tinggi
b. Emosional, misalnya adanya rasa gelisah, depresi, sedih gugup dan
mudah marah.
c. Intelektual, misalnya individu sulit berkonsentrasi, mudah lupa,
pikiran kacau, mutu kerja rendah, dan melamun secara berlebihan.
d. Interpersonal. Misalnya kehilangan kepercayaan pada orang lain,
mudah menyalahkan orang lain, dan suka mencari kesalahan orang
lain.
4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Stres Lingkungan

Menurut Prokop dkk (2001) ada tiga faktor yang mempengaruhi stres
yaitu :

A.Faktor perilaku

Saat individu menghadapi stressor dalam lingkungannya ada dua


karakteristik dari stressor tersebut yang akan mempengaruhi reaksi
individu yaitu :
a. Durasi, lamanya individu menghadapi stres akan berpengaruh pada efek
stres yang ditimbulkan. Semakin lama seseorang menghadapi stress
maka semakin banyak efek negative yang dirasakan dan kemungkinan
terjadi nya stres semakin besar.
b. Dapat diramalkan. Satu hal yang penting berhubungan dengan stresor
adalah kemungkinan untuk meramalkan beberapa penyebab stres dapat
diketahui ketika individu mampu memprediksi stresor sehingga dapat
difikirkan strategi yang dapat membantu untuk mengurangi penderitaan
emosional akibat stress. Semakin seseorang dapat memprediksi stress
maka semakin siap seseorang menghadapi stres.

B. Faktor psikologis

Ada tiga faktor psikologis yang berpengaruh yaitu :


a. Control yang dirasakan (perceived control) adalah keyakinann bahwa
seseorang dapat menguasai stresor. Orientasi pusat kendali (locus of
control) merupakan suatu dimensi kepribadian yang menilai keyakinan
umum orang tentang control di dalam hidup mereka. Individu dengan
pusat kendali internal ( internal locus of control) cendrung lebih mampu
menguasai stressor dan mengatasi stres daripada individu dengan pusat
kendali eksternal ( external locus of control). Individu percaya bahwa
peristiwa yang terjadi adalah hasil dari perilaku dan bukan tergantung
pada nasib, keberuntungan, kesempatan dan pengaruh kekuatan orang
lain sehingga tidak mudah menyerah dan terkena stres.
b. Ketidak berdayaan yang dipelajari ( learned helplessness) adalah
reaksi tidak berdaya seseorang akibat seringnya mengalama peristiwa
di luar kendalinya. Semakin sering individu mengalami situasi stres
maka semakin tinggi resiko terjadinya stres. Reaksi ini berupa
pengurangan motivasi ( motivational deficit) yaitu menyimpulkan
bahwa semua usaha sia-sia, pengurangan secara kognisi ( cognitive
deficit ) yaitu kesulitan mempelajari respon-respon yang dapat
membawa hal positif dan pengurangan secara emosional ( emotional
deficit ) yaitu rasa tertekan Karena melihat bahwa mereka tidak dapat
berbuat apa-apa dan situasi nya tidak tekendali lagi.
c. Kepribadian tabah ( hardiness) adalah keberanian dan ketangguhan
seseorang menghadapi situasi stres berupa :
a) Keyakinan mampu mengendalikan sesuatu
b) Komitmen, keterlibatan dan makna dari sesuatu yang
dilakukan sehari-hari
c) Fleksibel untuk beradaptasi dengan perubahan, seakan-
akan perubahan merupakan tantangan untuk
pertumbuhannya. Semakin mereka tangguh dan berani
maka mereka semakin mampu menghadapi stress.

C. Faktor sosial

Kejadian-kejadian yang utama dalam hidup seperti menikah atau


kehilangan pekerjaan dapat menjadi penyebab stres dan merupakan stresor
sosial. Selain itu tugas rutin sehari-hari juga berpengaruh terhadap kesehatan
jiwa seperti kecemasan dan depresi. Semakin banyak perubahan dalam hidup
maka semakin mudah individu terserang masalah fisik dan psikologis nya.
Maramis (2004) yang mengatakan bahwa sumber-sumber stres
psikologis itu dapat berupa :

a) Frustasi, timbul bila ada aral melintang antara keinginan


individu dan maksud atau tujuan individu. Ada frustasi yang
dating dari luar misalnya : bencana alam, kecelakaan, kematian
seseorang yang dicintai, norma-norma dan adat istiadat.
Sebaliknya frustasi yang berasal dari dalam individu, seperti :
cacat badaniah, kegagalan dalam usaha dan moral sehingga
penilaian diri sendiri menjadi tidak enak, merupakan frustasi
yang berhubungan dengan kebutuhan rasa harga diri.
b) Konflik, bila kita tidak tahan memilih antara dua atau lebih
macam kebutuhan atau tujuan. Misalnya : memilih mengurus
rumah tangga atau aktif di kegiatan kantor.
c) Tekanan yaitu sesuatu yang dirasakan menjadi beban bagi
individu. Tekanan dari dalam dapat disebabkan individu
mempunyai harapan yang sangat tinggi terhadap dirinya namun
tidak disesuaikan dengan kemampuannya sendiri atau tidak mau
menerima dirinya dengan apa adanya, tidak berani atau bahkan
terlalu bertanggung jawab terhadap sesuatu tetapi dilakukan
secara berlebihan tekanan dari luar, misalnya : alasan dikantor
menuntut pekerjaan cepat diselesaikan semantara waktu yang
disediakan sering mendesak.
d) Krisi, bila keseimbangan yang ada terganggu secara tiba-tiba
sehingga menimbulkan stres yang berat. Hal ini bisa disebabkan
oleh kecelakaan, kegagalan usaha ataupun keamtian.
B. PENYESUAIN DIRI

1. Pengertian Penyesuaian Diri

Schneider (1964) menjelaskan penyesuaian diri sebagai suatu proses


yang mencakup respons mental dan perilaku yang diperjuangkan individu agar
dapat berhasil menghadapi kebutuhan-kebutuhan internal, ketegangan frustasi,
konflik, serta untuk menghasilkan kualitas keseimbangan antara tuntutan dari
dalam diri individu dengan tuntutan dunia luar atau lingkungan tempat berada.

Desmita (2009) menjelaskan penyesuaian diri merupakan suatu proses


yang mencakup proses mental dan tingkah laku dimana individu berusaha untuk
dapat berhasil mengatasi kebutuhan dalam dirinya, ketegangan, konflik, dan
frustasi yang di alaminya dirinya. Sehingga terwujudnya keselarasan atau
harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh
lingkungan dimana ia tinggal.

Menurut (Semiun,2006) penyusuaian diri adalah suatu proses yang


melibat kan respon-respon mental dan tingkah laku yang menyebabkan
individu berusaha menanggulangi kebutuhan-kebutuhan,tegangan tegangan ,
frustasi frustasi , dan konflik konflik batin serta menyelaraskan tuntutan
tuntutan batin ini dengan tuntutan tuntutan yang dikenakan kepada nya oleh
dunia dimana ia hidup. Semiun (2006) menambahkan penyesuaian diri berarti
seperti pemuasan kebutuhan, keterampilan dalam menangani frustasi dan
konflik, ketenangan pikiran /jiwa, atau bahkan pembentukan simtom-simtom.
Itu berarti belajar bagaimana bergaul dengan baik dengan orang lain dan
menghadapi tuntutan tuntutan tugas. Carrol menegaskan apabila kebutuhan
untuk menguasai adalah sama sekali atau untuk sebagian terbesar gagal dalam
jangka waktu yang lama, maka individu pasti tidak dapat menyesuaikan diri
(Semiun, 2006). Menurut (Santrock, 2002) jika seseorang mampu
menyesuaikan diri terhadap orang lain secara umum ataupun terhadap
kelompok nya dan memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang
menyenangkan berarti ia telah diterima oleh kelompok atau lingkungannya.
Dengan kata lain orang itu mampu menyesuaikan sendiri dengan baik terhadap
lingkungannya.

Kaur (2012) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan proses


menemukan dan menyesuaikan pola prilaku yang sesuai dengan lingkungan
atau pun merubah perilaku tersebut agar sesuai dengan lingkungan. Adapun
pengertian penyesuaian diri adalah suatu proses dan bukan keadaan yang statis
sehingga efektivitas dari penyesuaian diri itu sendiri ditandai dengan seberapa
baik individu mampu menghadapi situasi serta kondisi yang selalu berubah,
dimana seseorang merasa sesuai dengan lingkungan dan merasa mendapat kan
kepuasaan dalam kebutuhannya (Haber & Ruayon, 1984).

Penyesuaian diri berdasarkan pendapat dan teori diatas dapat


disimpulkan sebagai proses belajar seorang individu dalam memahami,
mengerti dan berusaha untuk melakukan apa yang diinginkan lingkungannya
sehingga individu dapat menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang
terjadi dalam lingkungannya baik lingkungan keluarga, sekolah, maupun
lingkungan sekitarnya.

2. Aspek-Aspek Penyesuaian Diri

Schneiders ( risnawita & guhfron, 2010) menyatakan bahwa


penyesuaian diri memiliki empat aspek, yaitu :

a. Adaptation, artinya penyesuaian diri dipandang sebagai kemampuan


seseorang dalam beradaptasi. Individu yang memiliki penyesuaian diri yang
baik, berarti memiliki hubungan yang memuaskan dengan lingkungannya.
Penyesuaian diri dalam hal ini diartikan dalam konotasi fisik.
b. Conformity, artinya seseorang dikatakan mempunyai penyesuaian diri
baik bila memenuhi kretaria sosial dan hati nuraninya.

c. Mastery, artinya orang yang mempunyai penyesuaian diri yang baik


mempunyai kemampuan membuat rencana dan mengorganisasikan suatu
respons diri sehingga dapat menyusun dan menanggapi segala masalah
dengan efisien.

d. individual variation, artinya ada perbedaan individual pada perilaku


dan responsnya dalam menanggapi masalah.

3. Karakteristik Penyesuaian Diri

Penyesuaian diri memiliki beberapa karakteristik menurut pendapat


Hurlock menyebutkan terdapat empat karakteristik dalam menentukan sejauh
mana penyesuaian diri seseorang mencapai ukuran baik, yaitu sebagai berikut
:

a. Penampilan nyata melalui sikap dan tingkah laku yang nyata (


overtperformance) Perilaku sosial individu sesuai dengan standar
kelompok atau memenuhi harapan kelompok maka individu akan
diterima sebagai anggota kelompok. Bentuk dari penampilan nyata adalah
(1) aktualisasi diri yaitu proses menjadi diri, mengembangkan sifat-sifat
dan potensi diri, (2) keterampilan menjalin hubungan antar manusia yaitu
kemampuan berkomunikasi, kemampuan berorganisasi, dan (3) kesedian
untuk terbuka pada orang lain, yang mana sikap terbuka adalah sikap
untuk bersedia memberikan dan sikap untuk bersedia menerima
pengetahuan atau informasi dari pihak lain.

b. penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok


individu dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai
kelompok. Baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang lain.
Bentuk dari penyesuaian diri adalah (1) kerja sama dengan kelompok
yaitu proses beregu (berkelompok) yang mana anggota-anggotanya
mendukung dan saling mengandalkan untuk mencapai suatu hasil
mufakat, (2) tanggung jawab yaitu sesuatu yang harus kita lakukan agar
kita menerima sesuatu yang dinamakan hak, dan (3) setia kawan yaitu
saling berbagi, saling memotivasi dalam kebaikan.

c. sikap sosial

indivu dapat menunjukan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain,


terhadap partisipasi sosial, serta terhadap perannya dalam kelompok
maka individu akan menyesuaikan diri dengan baik secara sosial. Bentuk
dari sikap sosial adalah ikut berpartisasi dalam kegiatan sosial di
masyarakat, berempati, dapat menghormati dan menghargai pendepat
orang lain.

d. kepuasan pribadi

individu harus dapat menyesuaikan diri dengan menyesuaikan diri


dengan baik secara sosial, anak harus merasa puas terhadap kontak
sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial.
Bentuk dari kepuasan pribadi adalah kepercayaan diri, disiplin diri dan
kehidupan yang bermakna dan terarah.

5. Proses Penyesuaian Diri

Proses penyesuain diri menurut scheinders setidak nya melibatkan tiga


unsur yaitu :

a. Motivasi
Faktor motivasi dikatakan sebagai kunci untuk memahami proses penyesuain
diri. Motivasi sama hal nya dengan kebutuhan, perasaan, emosi merupakan
kekuatan internal yang menyebabkan ketegangan dan ketidak simbangan
dalam organisme.

b. Sikap Terhadap Realitas


Berbagai aspek penyesuaian diri ditentukan oleh sikap dan cara individu
bereaksi terhadap manusia disekitarnya. Benda-benda dan hubungan-
hubungan yang membentuk realitas. Secara umum dapat di katakan bahwa
sikap yang sehat terhadap realitas itu sangat diperlukan bagi proses
penyesuaian diri yang sehat. Beberapa perilaku seperti sikap antisosial, kurang
berminat terhadap hiburan, sikap bermusuhan, kenakalan dan semaunya
sendiri semuanya itu sangat mengganggu hubungan antara penyesuaian diri
dengan realitas.

c. Pola dasar penyesuaian diri

Dalam penyesuaian diri terdapat pola dasar penyesuaian diri misalnya pada
seorang anak membutuhkan kasih sayang orang tua nya namun karena orang
tua nya selalu sibuk dalam situasi ini anak akan frustasi dengan berusaha
menemukan pemecahan yang berguna mengurangi ketegangan atau
kebutuhan akan kasih sayang dengan frustasi yang dialami. Untuk itu dia akan
mencari kegiatan yang dapat mengutangi ketegangan yang ditimbulkan
sebagai akibat tidak terpenuhi nya kebutuhan.

6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyesuaian diri

menurut Schneiders penyesuaian diri dapat dipengaruhi oleh beberapa


faktor yaitu :

a. Faktor kondisi fisik yang meliputi faktor keturunan, kesehatan, bentuk


tubuh, dan hal hal yang berkaitan dengan fisik.
b. Faktor perkembangan dan kematangan meliputi kematangan intelektual,
sosial, moral dan kematangan emosional.

c. Faktor psikologis meliputi pengalaman individu, frustasi dan konflik yang


dialami, serta kondisi-kondisi psikologis seseorang dalam penyesuaian diri.

d. Faktor lingkungan yaitu kondisi lingkungan seperti kondisi keluarga,


kondisi rumah, hubungan antara orang tua dan anak, hubungan dengan
masyarakat.

e. Faktor budaya termasuk adat istiadat dan agama yang turut mempengaruhi
penyesuaian diri.
DAFTAR PUSTAKA

Fani Kumalasari., & Latifah Nur Ahyani. (2012). Hubungan Dukungan Sosial Dengan
Penyesuaian Diri Remaja Di Panti Asuhan, Jurnal Psikologi Pitutur,Vol.1, No. 1, hl.
21-31, (Universitas Muria), Kudus.

Juli Andriyani., (2016), Korelasi Peran Keluarga Terhadap Penyesuaian Diri Remaja,
Vol. 22, No 34, hl. 39-52, (UIN Ar-Raniry), Banda Aceh.

Oki Tri Hando., & Khoiruddin Bashori. (2013). Hubungan Antara Penyesuaian Diri
Dan Dukungan Sosial Terhadap Stres Lingkungan Pada Santri Baru, Jurnal Fakultas
Psikologi, Vol. 1., No. 2, hl. 79-89, (Universitas Ahmad Dahlan), Yogyakarta.

Elly Ghonfiniyah., & Erni Agustina Setiowati. (2017). Hubungan Antara Kematangan
Emosi Dan Keterampilan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Pada Santri Pondok
Pesantren Daar Al Furqon Kudus, Vol. 12, No 1, hl. 1-16, (Universitas Islam Sultan
Agung), Semarang.

Ahmad Fahmi Mubarok., (2012), Penyesuaian Diri Para Pendatang Di Lingkungan


Baru, Journal Of Social and Industrial Psychology, Vol.1, No 1, hl. 21-27, (Universitas
Negeri Semarang), Indonesia.

Winda Dwi Listyasari., (2013), Gambaran Penyesuaian Diri Mahasiswa Baru, Jurnal
Penelitian dan Pengukuran Psikologi, Vol. 2, No 1, hl. 33-36, (Universitas Negeri
Jakarta), Indonesia.
Bonar Hutapea., (2014), Stres Kehidupan, Religiusitas, dan Penyusuaian Diri Warga
Indonesia Sebagai Mahasiswa Internasional, Vol.18, No 1, hl. 25-40, (Universitas
Tarumanegara), Jakarta.

Rahmawati Dwi Anggraeni., (2012), Hubungan Antara Religiusitas dan Stres Dengan
Psychological Well Being Pada Remaja Pondok Pesantren, Jurnal Psikologi: Teori &
Terapan, Vol. 2, No 1, hl. 29-45, (Universitas Negeri Surabaya), Indonesia.

Linda Juita Paususeke., Hendro Bidjuni., & Jill J Lolong, (2015), Hubungan Keluarga
Dengan Tingkat Stres Pada Mahasiswa Dalam Penyusunan Anskripsi Di Fakultas
Kedokteran Program Studi Ilmu Keperawatan Unsrat Manado, Ejournal
Keperawatan, Vol. 3, No 2, hl. 1-7, (Universitas Sam Ratulangi), Manado.

Musradinur., (2016), Stres Dan Cara Mengatasinya Dalam Perspektif Psikologi,


Jurnal Edukasi, Vol. 2, No 2, hl. 183-200, (Universitas Islam Negeri Ar-Raniry), Aceh.

Enik Nur Kholidah., Asmadi Alsa, (2012), Berfikir Positif Untuk Menurunkan Stres
Psikologis, Jurnal Psikologi, Vol. 39, No 1, hl. 67-75, (Universitas PGRI), Yogyakarta.

Rivda Yetti., (2009), Pengaruh Keterlibatan Orang Tua Terhadap Minat Membaca
Anak Ditinjau Dari Pendekatan Stres Lingkungan, Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan,
Vol. 9, No 1, hl. 17-28, ( Universitas Negeri Padang), Sumatera Barat.

Anda mungkin juga menyukai