DISUSUN OLEH :
KHAIRUN NISA, S.Farm
NIM 2229013022
di
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. ZAINOEL ABIDIN
BANDA ACEH
Laporan ini disusun untuk melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Apoteker pada Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien
Disusun oleh:
Pembimbing,
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) Farmasi Rumah Sakit di RSUD dr.Zainoel Abidin
Banda Aceh.
Pelaksanaan PKPA ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh
kepada Ibu Dr. apt, Nilsya Febrika Zebua, S.Farm, M.Si. selaku Dekan Fakultas
Sp.A(K), Ph.D., sebagai Direktur RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh yang
S.Si, Apt., sebagai Kepala Instalasi Farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh yang telah memberikan fasilitas, bimbingan dan pengarahan kepada penulis
selama melakukan PKPA, ibu apt. Muflihah Fujiko, M.Farm sebagai pembimbing
dari Fakultas Farmasi Universitas Tjut Nyak Dhien, Ibu apt. Fitri Yani,M.Clin,
Pharm. sebagai pembimbing dari Instalasi Farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis
selama melakukan PKPA dan proses penyusunan laporan ini, Bapak dan Ibu
Apoteker, staf dan karyawan Instalasi Farmasi RSUD dr. Zainoel Abidin Banda
Aceh yang telah memberi petunjuk dan bantuan selama melaksanakan PKPA.
Terima kasih khusus penulis ucapkan kepada kedua orang tua penulis yang
ii
4
RSUD dr. Zainoel Abidin Banda Aceh. Terakhir kepada sahabat mahasiswa/i
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran guna mendapat perbaikan positif
yang membangun demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini dapat
Farmasi.
iii
5
DAFTAR ISI
iv
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 24
5.2 Saran......................................................................................................... 24
v
7
DAFTAR TABEL
vi
BAB I
PENDAHULUAN
pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan media habis pakai serta
(EPO), dispensing sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah
farmasi klinis yang dilaksanakan adalah rekonsiliasi obat, visite, dan Pemantauan
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pemberian obat, respons terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan
1
2
kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.
(Kemenkes RI 2009)
Umum dr. Zainoel Abidin menerima lebih dari 5 obat yang digunakan secara
1.2 Tujuan
tuberculosis of lung.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
kecil organ tubuh lain. Kuman ini mempunyai sifat khusus, yakni tahan terhadap
asam pada pewarnaan hal ini dipakai untuk identifikasi dahak secara
tuberculosis cepat mati dengan matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
pada tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant
(percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada
suhu kamar selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut
kuman TB tersebut dapat menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui
3
4
sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran
ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi
derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila
hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut
konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut (Depkes
RI, 2005).
Secara klinis, TB dapat terjadi melalui infeksi primer dan paska primer.
Infeksi primer terjadi saat seseorang terkena kuman TB untuk pertama kalinya.
paru) terjadi peradangan. Hal ini disebabkan oleh kuman TB yang berkembang
biak dengan cara pembelahan diri di paru. Waktu terjadinya infeksi hingga
kuman yang menetap sebagai “persister” atau “dormant”, sehingga daya tahan
primer ini biasanya menjadi abses (terselubung) dan berlangsung tanpa gejala,
hanya batuk dan nafas berbunyi. Tetapi pada orang-orang dengan sistem imun
lemah dapat timbul radang paru hebat, ciri-cirinya batuk kronik dan bersifat
Infeksi paska primer terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
infeksi primer. Ciri khas TB paska primer adalah kerusakan paru yang luas
pasien TB, khususnya TB paru pada saat dia bicara, batuk dan bersin dapat
pasien TB dapat terpapar dengan cara mengisap percikan dahak. Infeksi terjadi
apabila seseorang yang rentan menghirup percik renik yang mengandung kuman
TB melalui mulut atau hidung, saluran pernafasan atas, bronchus hingga mencapai
alveoli.
b. Makin tinggi jumlah kuman dalam percikan dahak, makin besar risiko
terjadi penularan.
c. Makin lama dan makin sering terpapar dengan kuman, makin besar risiko
terjadi penularan.
Adalah
c. Perilaku
1) Batuk dan cara membuang dahak pasien TB yang tidak sesuai etika
pengobatan.
3. Faktor lingkungan:
TB.
b. Ruangan dengan sirkulasi udara yang kurang baik dan tanpa cahaya
c. Mencegah kekambuhan TB
TB. Pengobatan TB merupakan salah satu upaya paling efisien untuk mencegah
c. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO (pengawas
d. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam tahap
a. Tahap awal
Pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada tahap ini adalah
dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam
tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2 bulan.
Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa adanya penyulit, daya
b. Tahap lanjutan
ada dalam tubuh, khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
*) Pasien berusia diatas 60 tahun tidak dapat mentoleransi lebih dari 500-700 mg
kelompok usia ini. Pasien dengan berat badan di bawah 50 kg tidak dapat mentoleransi
b. Terdapat riwayat kontak dengan pasien TB resistan obat. Pasien kasus baru seperti
ini cenderung memiliki pola resistensi obat yang sama dengan kasus sumber. Pada
kasus ini sebaiknya dilakukan uji kepekaan obat sejak awal pengobatan dan
sementara menunggu hasil uji kepekaan obat maka paduan obat yang berdasarkan
Tabel 2.2 Paduan obat standar pasien TB kasus baru (dengan asumsi atau diketahui peka
OAT)
OAT pada awal pengobatan. Uji kepekaan dapat dilakukan dengan metode cepat
atau rapid test (TCM, LPA lini 1 dan 2), dan metode konvensional baik metode
padat (LJ), atau metode cair (MGIT). Bila terdapat laboratorium yang dapat
melakukan uji kepekaan obat berdasarkan uji molekular cepat dan mendapatkan
hasil dalam 1-2 hari maka hasil ini digunakan untuk menentukan paduan OAT
pasien. Bila laboratorium hanya dapat melakukan uji kepekaan obat konvensional
dengan media cair atau padat yang baru dapat menunjukkan hasil dalam beberapa
minggu atau bulan maka daerah tersebut sebaiknya menggunakan paduan OAT
kategori I sambil menunggu hasil uji kepekaan obat. Pada daerah tanpa fasilitas
reguler akan memfasilitasi pengobatan lengkap, identifikasi dan tata laksana reaksi
obat yang tidak diinginkan. Semua pasien, PMO dan tenaga kesehatan sebaiknya
diminta untuk melaporkan gejala TB yang menetap atau muncul kembali, gejala
efek samping OAT atau terhentinya pengobatan. Berat badan pasien harus dipantau
setiap bulan dan dosis OAT disesuaikan dengan perubahan berat badan. Respon
pengobatan TB paru dipantau dengan sputum BTA. Perlu dibuat rekam medis
tertulis yang berisi seluruh obat yang diberikan, respons terhadap pemeriksaan
bakteriologis, resistensi obat dan reaksi yang tidak diinginkan untuk setiap pasien
pengobatan untuk pasien yang diobati dengan OAT lini pertama baik kasus baru
maupun pengobatan ulang. Pemeriksaan sputum BTA dilakukan pada akhir bulan
Sputum BTA positif pada akhir fase intensif mengindikasikan beberapa hal berikut
ini:
a. Supervisi yang kurang baik pada fase inisial dan ketaatan pasien yang buruk.
d. Resolusi lambat karena pasien memiliki kavitas besar dan jumlah kuman yang
banyak
terapi.
Bila hasil sputum BTA positif pada bulan kelima atau pada akhir
MDR sesuai alur diagnosis TB MDR. Pada pencatatan, kartu TB 01 ditutup dan
tipe pasie “Pengobatan setelah gagal”. Bila seorang pasien didapatkan TB dengan
galur resistan obat maka pengobatan dinyatakan “Gagal” kapanpun waktunya. Pada
pasien dengan sputum BTA negatif di awal pengobatan dan tetap negatif pada akhir
bulan kedua pengobatan, maka tidak diperlukan lagi pemantauan dahak lebih lanjut.
Pemantauan klinis dan berat badan merupakan indikator yang sangat berguna.
6. Menilai respons OAT lini pertama pada pasien TB dengan riwayat pengobatan
sebelumnya
Pada pasien dengan OAT kategori 2, bila BTA masih positif pada akhir fase
intensif, maka dilakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji kepekaan. Bila BTA
sputum positif pada akhir bulan kelima dan akhir pengobatan (bulan kedelapan),
maka pengobatan dinyatakan gagal dan lakukan pemeriksaan TCM, biakan dan uji
kepekaan.
akhir pengobatan
Catatan :
Pasien TB sensitif OAT yang kemudian terbukti resistan obat dikeluarkan dari
KASUS TUBERCULOSIS
- Nama : Tn. K
- Pekerjaan : Wiraswasta
- No. CM : 0-96-15-81
- Berat Badan : 65 kg
- Diagnosa : Tuberculosis
Syndrom Dyspepsia
lung. Dari riwayat keluhan di IGD RSUD Zainoel Abidin, pasien mengalami
batuk berdahak disertai darah, nyeri dada, demam dan riwayat kejut malam.
1
11
3.2 Subjectif
Tuberculosis of lung
Tuberculosis of lung
SGOT <35 31
SGPT <45 43
PEMBAHASAN
lung. Dari riwayat keluhan di IGD RS dr. Zainoel Abidin, pasien mengalami
batuk berdahak disertai darah, nyeri dada, demam dan riwayat kejut malam.
mengalami batuk berdahak, disertai darah dan nyeri dada. Hasil pemeriksaan
yang dilakukan antara lain rekonsiliasi obat, visite, dan pemantauan terapi obat
13
14
Rekonsiliasi yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Zainal Abidin yaitu
mendapatkan terapi ceftriaxone 1g/12 jam IV, Azythromicin 500 mg/24 jam PO,
omeprazole 40 mg/12 jam IV, asam tranexamat /8 jam IV, codein 10 mg /8 jam
PO, curcuma 1 tab /8 jam PO, ksr 300 mg/24 jam PO, Parasetamol 500 mg/6 jam
PO, Alprazolam 0,5 mg/12 jam PO, dan PRO TB 4 (Rifampicin 150 mg, Isoniazid
omeprazole 20 mg/12 jam PO, curcuma 1 tab/ 8 jam PO Parasetamol 500 mg/6
jam PO, Alprazolam 0,5 mg/12 jam PO, dan PRO TB 4 (Rifampicin 150 mg,
Isoniazid 75 mg, pyrazinamid 400 mg, Ethambutol 275 mg /24 jam PO).
4.2.2 Visite
apoteker secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati
kondisi klinis pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat,
memantau terapi obat dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan
terapi obat yang rasional, dan menyajikan informasi obat kepada dokter, pasien
darah 00
dispepsia
berkurang 00
00
kalium
00,06-00
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi
pasien untuk melihat masih adakah obat yang tertinggal atau obat yang belum
diberikan untuk pasien dan menanyakan pasien terkait pengobatan yang telah
menerima terapi sesuai yang dibutuhkan. Dari hasil pemantauan terhadap loker
tidak ditemukan kesalahan atau tidak adanya obat yang tertinggal, hal itu
16
Terapi obat pada masa rawatan yang meliputi nama obat, waktu
pemberian dan kondisi klinis pada maa rawatan. Terapi obat pada masa rawatan
Menurut Cipolle, dkk. (1998), DRPs diklasifikasikan sebagai berikut: indikasi tanpa
obat, obat tanpa indikasi, obat yang salah, dosis yang terlalu rendah (underdose), dosis yang
terlalu tinggi (overdose), interaksi obat dan masalah kepatuhan pasien. Masalah terkait obat
(DRPs) adalah peristiwa atau keadaan yang melibatkan terapi obat yang sebenarnya atau
masalah, 9 domain utama untuk penyebab dan 5 domain utama untuk intervensi yang
direncanakan, 3 domain utama untuk tingkat penerimaan (intervensi) dan 4 domain utama
untuk status masalah (PCNE, 2020). Hasil pengkajian DRP terhadap pasien berdasarkan
atau kemungkinan masalah dengan (kurangnya) efek dari farmakoterapi yang didapatkan
pasien. Hal ini mencakup penemuan tidak ada efek terapi obat meskipun penggunaan yang
benar, efek terapi obat yang tidak optimal atau gejala indikasi yang tidak diobati (PCNE,
2020).
2. Pemakaian obat codein belum sesuai dengan keluhan yang diderita pasien.
Hasil pengkajian obat dan pemantauan langsung pada pasien, adanya interaksi obat
rifampisin dan obat isoniazid yang dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. dan
Pemakaian obat codein belum sesuai dengan keluhan yang dialami pasien.
dikarenakan pasien mengalami keluhan batuk berdahak, yang pada dasarnya fungsi obat
codein digunkan sebagai pengobatan gejala batuk kering yang bekerja selektif pada
reseptor, tapi dengan afinitas jauh lebih lemah daripada morfin. Proses ini menyebabkan
berkurangnya rasa sakit, refleks batuk, dan pergerakan usus, dan dapat disarankan
keluhan pasien pada hari 3 perawatan sudah berhenti/gejala yang ditimbulkan sebelumnya
sudah tidak terjadi lagi, dikarenakan mekanisme kerja obat asam traneksamat mampu
mengalami syndrom dyspepsia yang pada literaturnya pemakaian obat 20 mg/24 jam pada
dengan dosis yang sudah ditetapkan, omeprazole dapat bekerja menghambat pompa proton
yang berperan besar dalam produksi asam lambung. Dengan cara kerja tersebut dapat
Penggunaan obat KSR dalam pemantauan, dikarenakan dapat terjadi hiperkalemia jika
digunakan dalam jangka waktu yang terlalu lama, obat KSR mengandung 8 meq/tabletnya, 40-
sediaan obat sudah sesuai dengan keadaan pasien. Dalam kajian disebutkan bentuk sediaan
obat yang diterima dan disebutkan keadaan pasien, apakah ada keadaan khusus yang
mengakibatkan pasien tidak dapat menerima obat dengan bentuk sediaan yang sedang
bahwa pasien menerima obat bentuk parenteral (IV) dan peroral selama di rawat di RS.
Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi pasien sediaan yang diberikan sudah tepat.
Pengkajian pemilihan dosis obat dilakukan dengan merujuk kepada literatur berupa
pengkajian dosis obat dapat berupa: dosis obat terlalu rendah, dosis obat terlalu tinggi,
regimen dosis terlalu lama, regimen dosis terlalu sering, dan waktu penggunaan obat tidak
bahwa dosis obat yang diberikan telah tepat dosis sesuai dengan literature,terapi ceftriaxone
1g/12 jam IV, Azythromicin 500 mg/24 jam PO, omeprazole 40 mg/12 jam IV, asam
tranexamat /8 jam IV, codein 10 mg /8 jam PO, curcuma 1 tab /8 jam PO, ksr 300 mg/24 jam
PO, Parasetamol 500 mg/6 jam PO, Alprazolam 0,5 mg/12 jam PO, dan PRO TB224
(Rifampicin 150 mg, Isoniazid 75 mg, pyrazinamid 400 mg, Ethambutol 275 mg /24 jam
PO).. Dari beberapa obat tersebut, terdapat obat yang pemberian regimen dosis yang tidak
Pasien diberikan injeksi omeprazole 40 mg per 12 jam secara intravena sebagai terapi
omeprazole secara IV adalah 20 mg per 24 jam. Dapat disimpulkan regimen dosis yang
diberikan terlalu tinggi dari yang direkomendasikan, sehingga dosis obat terlalu tinggi dan
tidak sesuai dengan literatur. Disarankan untuk dilakukan penurunan regimen dosis yaitu 20
mg per 24 jam dan berkoordinasi dengan DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pasien) terkait
Pengkajian dispensing obat dilakukan untuk menentukan apakah obat yang diberikan
kemungkinan mengalami Medication Error (ME) atau tidak. Pengkajian dispensing obat
pada pasien K dilakukan dengan memeriksa penyiapan obat yang dikerjakan oleh tenaga
teknis kefarmasian, apakah sesuai dengan yang diresepkan/ditulis oleh dokter. Semua obat
pasien diberikan dokter dalam bentuk aslinya dan tidak ada penyiapan perubahan bentuk
sediaan, semua obat disiapkan oleh tenaga kesehatan telah sesuai dengan perintah dokter.
Hasil evaluasi:
apakah obat tersebut tepat waktu diberikan oleh tenaga kesehatan atau tidak. Dari
hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua obat diberikan oleh tenaga kesehatan kepada
pasien secara tepat waktu yaitu diberikan pada jam yang sama setiap harinya. Pengkajian
pemberian obat dilakukan yaitu dengan menyesuaikan nama, tanggal lahir dan No. CM
yang tertulis diresep dengan yang di gelang pasien, status pasien, kartu catatan obat, daftar
instruksi medis farmakologi, serta menyesuaikan juga nama pasien yang ada pada
etiket obat. Dari pengkajian yang dilakukan maka diketahui obat yang diberikan sudah
tepat pasien.
obat IV, dan oral pada pasien, apakah obat tersebut diberikan langsung oleh tenaga
kesehatan atau tidak. Dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa semua obat diberikan
langsung oleh tenaga kesehatan kepada pasien. Berdasarkan pengamatan untuk obat oral,
pasien didampingi keluarga menggunakan secara tepat dan pada waktu yang telah
ditentukan.
assesment and plan (SOAP) untuk tindak lanjut terapi obat terhadap pasien yang dapat
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan di RSUD dr. Zainoel
b. Telah dilakukan pemantauan terapi obat pada pasien yaitu terdapat problem medik yang
dengan terapi asam tranexamat, pemilihan obat yang tidak tepat yaitu codein yang
tidak sesuai diagnosa klinis, Pemilihan dosis yang tidak tepat yaitu omeprazole tidak
sesuai literature dan monitoring penggunaan obat KSR, dan perlu pemantauan khusus
5.2 Saran
perawat dan keluarga pasien untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas
b. Mahasiswa calon apoteker selanjutnya agar selau mengikuti perkembangan pasien dan
DAFTAR PUSTAKA
th
American Pharmacist Association. 2019. Drug Information Handbook. 26 edition. United
States: Wolters Kluwer
Depkes (2009). Pedoman Pemantauan Terapi Obat. Jakarta: Direktorat Bina Farmasi
Komunitas dan Klinik.
Kemenkes RI. 2021. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2021 Tentang Pedoman Penggunaan Antibiotik. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Lacy, F.,C., Amstrong L.,L., Goldman,P.,M., dan Lance, L., L. 2015. Drug Information
Handbook, 23rd Edition, Part I and Part 2, Lexi-Comp, USA
PCNE. 2006. Classification For Drug Related Problems V9.1 (V9.1, pp. 5–6).
Permenkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
World Health Organization (2011). WHO’s Pain Relief Ladder.
Depkes RI. 2005. Tentang Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberculosis.Jakarta:
Depertemen Kesehatan RI
Permenkes RI. 2016. Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 tentang Penanggulangan
Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia
Kemenkes RI. 2009. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 Tahun
2009 Tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis (TB). Jakarta: Kementrian
Kesehatan RI
Kemenkes RI. 2020. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 364 Tahun
2009 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana tuberkulosis.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI
Pionas 2015, Pusat Informasi Obat Nasional, BPOM
Kristina, S. Krisnuhoni, E 2019 Aspek Molekuler dan Histopatologik Kanker Kolorektal
yang Resisten Terhadap 5-Fluorouracil Vol.6 (1).
Nabila, A. Eka, C 2018. Analisis Minimaisasi Biaya Antibiotik Ceftriaxone Dan Cefotaime
Pada Pasien Pneumonia Dewasa Rawat Inap RSUDP NTB 2018 Vol.3 No.1
Hijrineli, Soenarjo 2013. Pengaruh Asam Tranexamat Pada Profil Koagulasi Pasien Yang
Mendapatkan Ketorolac Vol.5 No.3
Salwani, D. Diagnosis dan Tatalaksana Hipokalemia SMF Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSUD dr. Zainoel
Abidin, Banda Aceh
26