Anda di halaman 1dari 40

KEPEMIMPINAN DALAM PENDIDIKAN

Makalah
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Teori Ad ministrasi Pendidikan

Oleh:
Ai Iyay Robiyah (82362223032)
Andi Mardiana (82362223033)
Reti Saswanti (82322223031)
Rika Maryati (82322223030)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr. H. Djam'an Satori, M.A..

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS GALUH
2022
KATA PENGANTAR

Dengan kebesaran Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
penulis panjatkan rasa puji syukur atas hidayah-Nya, yang telah melimpahkan
rahmat, nikmat, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah "Kepemimpinan Pendidikan”. Adapun Makalah ini
diajukan guna memenuhi tugas mata kuliah Teori Administrasi Pendidikan.
Adapun makalah ilmiah "Kepemimpinan Pendidikan ” ini telah penulis
usahakan dapat disusun dengan sebaik mungkin dengan mendapat bantuan dari
berbagai pihak, sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan secara tepat
waktu. Untuk itu penulis tidak lupa untuk menyampaikan banyak terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan makalah ini.
Kami mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Prof. Dr. H.
Djam'an Satori, M.A.. yang telah menjelaskan peta konsep dari mata kuliah ini
untuk masing-masing topik perkuliahan, sehingga kami mendapatkan gambaran
yang relatif utuh dari topik perkuliahan ini.
Terlepas dari upaya penulis untuk menyusun makalah ini dengan sebaik-
baiknya, penulis tetap menyadari bahwa tentunya selalu ada kekurangan, baik dari
segi penggunaan kosa-kata, tata bahasa maupun kekurangan-kekurangan lainnya.
Oleh karena itu, dengan lapang dada penulis membuka selebar-lebarnya bagi
pembaca yang bermaksud untuk memberikan kritik dan saran kepada penulis agar
penulis dapat memperbaiki kualitas makalah ini.
Penulis berharap semoga makalah "Kepemimpina Prendidikan ” ini bermanfaat,
dan dapat diambil hikmah dan manfaatnya oleh para pembaca.

Garut, 20 Oktober 2022

Tim Penulis.

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
Bab I.Pendahuluan .................................................................................................. 1
A. Latar belakang……………………………………………………………..1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………3
C. Tujuan……………………………………………………………………..3
Bab II. Pembahasan ................................................................................................. 4
1. Pengertian Kepemimpinan .……………………………………………….4
2. Peran Strategis Kepemimpinan ………...….…………………………… 5
3. Perkembangan Kajian Kepemimpinan ……….………………………. 8
4. Gaya Kepemimpinan Pendidikan yang sesuai masa kini …….………. 25
5. Masalah Masalah dalam kepemimpinan Pendidikan..…...……………... 28
6. Rekomendasi Peningkatan Kinerja Kepemimpinan……………………. 30
Bab III. Penutup .................................................................................................... 35
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 37

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tujuan dan fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat
dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman,
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab (UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003: Pasal 3). Seiring hal
tersebut maka kita harus mewujudkannya dengan selalu meningkatkan mutu
pendidikan.
Sebagai suatu Lembaga pendidikan tidak hanya memerlukan seorang
manajer untuk mengelola sumber daya lembaga pendidikan yang lebih
berkonsentrasi pada permasalahan anggaran dan persoalan administratif, tetapi
juga memerlukan pimpinan yang mampu menciptakan sebuah visi dan semua
komponen individu yang terkait dengan lembaga pendidikan. Pemimpin
maupun manajer diperlukan dalam pengelolaan lembaga pendidikan. Berbeda
dengan organisasi lain, lembaga pendidikan merupakan bentuk organisasi
moral yang berbeda dengan bentuk organisasi lainnya.
Kepemimpinan pada hakikatnya merupakan kemampuan yang
dimiliki seseorang untuk membina, membimbing, mengarahkan dan
mengerakkan orang lain agar dapat bekerjasama untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pemimpin perlu
mengarahkan orang-orang yang terlibat dalam organisasi yang dipimpinnya.
Kepemimpinan merupakan kemampuan mempengaruhi orang lain,
bawahan atau kelompok, memiliki keahlian khusus dalam bidang yang khusus
untuk mencapai tujuan organisasi atau suatu kelompok.
Sedangkan kepemimpinan pendidikan adalah suatu kemampuan
dan proses mempengaruhi, membimbing, mengkoordinir, dan menggerakkan
orang lain yang ada hubungannya dengan pengembangan ilmu pendidikan dan

1
pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, agar kegiatan-kegiatan yang
dijalankan dapat lebih efisien dan efektif di dalam pencapaian tujuan-tujuan
pendidikan serta pengajaran.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah yang telah diuraikan,
maka penulis merumuskan rumusan masalah yang akan dijabarkan dalam
makalah ini, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan?
2. Apa peranan strategis kepemimpinan?
3. Bagaimana Perkembangan Kajian Kepemimpinan?
4. Bagaimana Gaya kepemimpinan pendidikan yang sesuai masa kini?
5. Masalah-masalah apa saja yang dihadapai dalam kepemimpinan
Pendidikan?
6. Bagaimana Solusi untuk peningkatan kinerja kepemimpinan.?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Pengertian Kepemimpinan
2. Untuk mengetahui Peranan Strategis kepemimpinan
3. Untuk mengetahui bagaimana perkembangan kajian kepemimpinan
4. Untuk mengetahui gaya kepemimpinan yang sesuai pada masa kini
5. Untuk mengetahui masalah-masalah yang dihadapi dalam kepemimpinan
Pendidikan
6. Untuk Mengetahui solusi yang diperlukan dalam peningkatan kinerja
Kepemimpinan

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kepemimpinan,
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu
sosial, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan
manfaat bagi kesejahteraan manusia. Ada banyak pengertian yang
dikemukakan oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing,
definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya beberapa kesamaan
Dalam sebuah lembaga Pendidikan, fungsi manajemen tidak akan dapat
berjalan dengan baik apabila seorang pemimpin tidak memiliki sifat
kepemimpinan atau leadership. Sifat kepemimpinan wajib dimiliki oleh setiap
orang dimana mereka dijadikan seorang pemimpin baik itu skala kecil
maupun besar. Kepemimpinan memegang peranan yang dominan, krusial,
dan kritikal dalam keseluruhan upaya untuk meningkatkan prestasi kerja, baik
pada tingkat individual, kelompok, dan organisasi.

a. Pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan sebuah kemampuan seseorang dalam
mempengaruhi orang lain atau mengarahkan pihak tertentu untuk mencapai
tujuan suatu kelompok, organisasi, maupun Lembaga Pendidikan.
Leadership artinya kepemimpinan, yaitu salah satu fungsi manajemen
untuk mempengaruhi, mengarahkan, memotivasi dan mengawasi orang lain
untuk menyelesaikan tugas yang telah direncanakan demi mencapai tujuan
perusahaan.
Teori kepemimpinan banyak dikemukakan oleh para ahli dengan
berbagai macam pengertian, berikut pengertian kepemimpinan menurut para
ahli.
1. Wahjosumidjo (1987:11) Kepemimpinan pada hakikatnya adalah suatu hal
yang melekat pada seorang pemimpin yang memiliki sifat tertentu, seperti
kepribadian, kemampuan, dan kesanggupan. Kepemimpinan dapat
dikategorikan juga sebagai rangkaian kegiatan pemimpin yang tidak dapat

3
dipisahkan dengan kedudukan setrata gaya atau perilaku pemimpin itu
sendiri.
2. Moejiono (2002). Kepemimpinan merupakan pengaruh satu arah, karena
pemimpin bisa saja memiliki kualitas-kualitas tertentu yang membedakan
dirinya dengan pengikutnya. Para ahli teori sukarela (compliance induction
theorist) cenderung memandang kepemimpinan sebagai pemaksaan atau
pendesakan pengaruh secara tidak langsung dan sarana membentuk suatu
kelompok yang sesuai dengan keinginan pemimpinnya.
3. Kepemimpinan menurut Fiedler Kepemimpinan merupakan pola hubungan
antara individu-individu yang menggunakan wewenang dan pengaruhnya
terhadap kelompok orang agar bekerja bersama demi tercapainya tujuan
organisasi.
4. Kepemimpinan menurut Sondang P. Siagian Kepemimpinan dapat
diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam menjabat suatu posisi
sebagai pimpinan organisasi atau perusahaan tertentu dalam
mempengaruhi orang lain, khususnya bawahan atau tim kerja lainnya demi
tercapainya tujuan dengan mudah.
Ada banyak pengertian yang dikemukakan oleh para pakar menurut
sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut menunjukkan adanya
beberapa kesamaan. Definisi kepemimpinan adalah kemampuan dengan
kualitas tertentu yang melekat pada seseorang dalam mempengaruhi orang
lain atau mengarahkan pihak tertentu untuk bekerjasama mencapai tujuan
suatu kelompok, organisasi, maupun Lembaga Pendidikan.
b. Fungsi Kepemimpinan
Dari berbagai macam pengertian kepemimpinan dari para ahli, maka
dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan memiliki fungsi-fungsi yang bersifat
penting dalam terlaksananya manajemen kantor demi tercapai tujuan
bersama.
1. Fungsi Instruktif
Fungsi instruktif menempatkan pemimpin sebagai pengambil keputusan
dan pemberi tugas kepada anggotanya untuk menjalankan semua instruksi
yang telah diberikan.

4
2. Fungsi Delegasi
Kepemimpinan juga memiliki fungsi delegasi, yakni memiliki arti
perwakilan atau utusan dengan proses penunjukkan secara langsung
maupun musyawarah. Penunjukkan ini bertujuan untuk mengutus
seseorang menjadi salah satu perwakilan suatu kelompok atau lembaga.
3. Fungsi Partisipasi
Fungsi partisipasi ini menempatkan seorang pemimpin yang mampu
mendorong semua anggota atau pengikutnya untuk berpartisipasi dan
berinisiatif dalam suatu proyek bersama.
4. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian dalam kepemimpinan ini artinya pemimpin mampu
untuk mengendalikan semua aktivitas atau pekerjaan anggotanya yang
dikerjakan secara efektif guna mencapai tujuan dan tidak keluar dari aturan
yang ditetapkan sebelumnya.
5. Fungsi Konsultatif
Fungsi kepemimpinan konsultatif menempatkan para anggota organisasi
atau bawahan supaya dapat melakukan konsultasi dengan pemimpinnya
untuk mencari solusi terbaik dalam mencapai tujuan bersama.
B. Peran strategis kepemimpinan
Kepemimpinan strategis adalah kemampuan pemimpin untuk
memvisualisasikan, merencanakan, memimpin, dan membuat yang terbaik
dari sumber daya yang mereka miliki untuk menjalankan strategi secara
efisien dan berhasil. Para pemimpin strategis menggabungkan rencana
strategis mereka dengan manajemen strategis. Organisasi mereka
menghormati peran kepemimpinan dan visi keseluruhan mereka saat bekerja
untuk mewujudkan visi itu.
Kepemimpinan Strategis meliputi kemampuan mengantisipasi,
memiliki visi, dan mempertahankan fleksibilitas, memberi kuasa kepada
orang-orang lain untuk menciptakan perubahan strategis yang perlu. Strategi
ini mempunyai efek penting terhadap upaya organisasi untuk mendapatkan
daya saing strategis dan memperoleh keuntungan di atas rata-rata.
Kepemimpinan strategis efektif diperlukan untuk merumuskan dan

5
menerapkan strategi dengan sukses Makna yang terkandung dalam
kepemimpinan strategis adalah daya dorong yang dilakukan, tujuan yang
harus dicapai secara efektif dan produktif serta tingkat fleksibilitas dalam tata
kelola.
Kepemimpinan strategis dipandang dapat meningkatkan mutu
pendidikan. (Rohaendi, dkk. 2022:59) Pola kepemimpinannya
mengembangkan satuan pendidikan dan kegiatan proses belajar mengajar
sebagai kunci untuk peningkatan mutu pendidikan. Signifikansi pelaksanaan
tugasnya tidak fokus pada regulasi yang dikembangkan tetapi
mengembangkan diskresi dan inisiasi serta merespons hal-hal yang
berkembang di lingkungan satuan pendidikannya. Makna
kepemimpinanannya bukan hanya melaksanakan apa yang sudah tersedia,
tetapi juga mengandung makna melaksanakan lingkup manajerial yang
diperluas. Dalam posisi seperti itu, maka koeksistensi dari kepemimpinan
strategis tersebut dalam peningkatan mutu pendidikan adalah membangun
komitmen dan konsekuensi untuk melakukan beberapa tindakan, seperti:
a. menjadikan visi dan misi satuan pendidikan sebagai landasan pijakan
untuk bersikap dan bertindak,
b. memelihara dan menjaga budaya kerja yang positif dan prestatif,
c. mempunyai standar operasional prosedur (SOP) yang berkeadilan untuk
menyelesaikan masalah dan memberikan penghargaan,
d. mengembangkan komunikasi yang kondusif dan dialogis,
e. mengembangkan koherensial pada sistem dan kelembagaan untuk saling
berbagi, membangun kesamaan nilai dan saling mendukung,
f. memperkaya dan memberdayakan sikap positif, wawasan dan pengetahuan
serta kemampuan dan kecakapan dalam sebuah komunitas kelembagaan,
g. memberikan keteladanan dan praktik-praktik baik.
Dengan demikian dalam ukuran peningkatan mutu pendidikan,
kepemimpinan strategis tersebut akan berpangkal pada komitmen,
pengembangan strategi, bimbingan teknis dan pengambilan keputusan.
Keterampilan penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin
strategis antara lain;

6
1. Pemikiran strategis
Seorang pemimpin strategis pertama-tama harus menjadi seorang visioner
dan pemikir strategis. Mereka harus berpikir dengan tujuan akhir, dan
mereka harus fokus pada tugas-tugas yang diperlukan.
2. Keterampilan komunikasi
Mampu mengomunikasikan visi ke mana organisasi harus menuju sangat
penting. Pemimpin strategis harus memiliki keterampilan sosial yang
diperlukan untuk mengomunikasikan visi mereka dengan tim secara
akurat.
3. Perencanaan strategis
Karena organisasi bergantung pada sistem untuk menghemat waktu, uang,
dan sumber daya, memahami bagaimana membuat sistem untuk inisiatif
yang direncanakan sangat penting.
4. Mengukur tujuan dan hasil utama (OKR)
Pemimpin strategis harus mampu menciptakan kerangka kerja penetapan
tujuan yang mendefinisikan dan melacak tujuan dan hasil mereka.
5. Strategic agility
Mampu mengubah visi jangka panjang organisasi menjadi tujuan harian
merupakan bagian integral dari kepemimpinan strategis. Pemimpin
strategis harus memiliki perspektif yang luas untuk dapat menerapkan visi
secara menyeluruh di sini dan saat ini.
6. Kesadaran
Para pemimpin strategis memahami bagaimana tindakan dan suasana hati
mereka memengaruhi tim. Mereka harus berpikir sebelum bertindak,
memiliki kecerdasan emosional, dan dapat mengendalikan suasana hati
yang mengganggu atau negatif.
7. Kepercayaan dan keandalan
Anda dapat mengandalkan pemimpin strategis. Mereka mengejar tujuan
mereka dengan semangat dan tekad yang kuat, dan mereka tidak berhenti
sampai visi mereka berubah menjadi kenyataan.
8. Eksekusi

7
Pemimpin strategis adalah orang yang ahli dalam implementasi strategi.
Mereka memahami bagaimana mengubah tujuan menjadi tindakan dan
tindakan menjadi hasil. Mereka mmpu memaksimalkan sistem dan sumber
daya yang dimiliki.
9. Integritas
Berpijak pada integritas dan kasih sayang adalah bagian penting dari
kepemimpinan strategis. Pemimpin strategis harus dapat
mempertimbangkan ide, perasaan, dan perspektif tim mereka sebelum
membuat keputusan
10. Manajemen
Pemimpin strategis memahami bagaimana memimpin tim. Mereka tahu
bagaimana mengalokasikan sumber daya, mendelegasikan tanggung
jawab, dan memberdayakan bawahan mereka untuk membuat keputusan
atas nama mereka.
Peran kepala sekolah sebagai dalam sebuah kepemimpinan strategis
sangatlah vital. Kepala sekolah harus mampu melaksanakan sebuah proses
manajemen strategi. Pada tahap awal, kepala sekolah harus mampu
menyusun dan merumuskan strategi-strategi untuk mencapai tujuan.
Selanjutnya pada tahap pelaksanaan, kepala sekolah harus mampu
melakukan pengawasan agar strategi dapat berjalan dengan baik. Pada
tahap akhir, kepala sekolah yang mempunyai wewenang sebagai
supervisor dalam melakukan evaluasi terhadap strategi-strategi yang telah
dilaksanakan untuk ditinjau tingkat keberhasilan maupun tingkat
kegagalan supaya dapat dilakukan perbaikan dalam proses mencapai
tujuan sekolah di tahun berikutnya.

A. Perkembangan Kajian Kepemimpinan,


Banyak ahli mengemukakan pendapat dan teorinya tentang
kepemimpinan. Teori yang mereka kemukakan berneka ragam. Keragaman itu
disebabkan antara lain oleh tiga hal. Pertama, teori dirumuskan berdasarkan
bukti empiris atau hasil penelitian. Kedua, perbedaan sudut pandang para ahli
mengenai manusia organisasi. Ketiga, hakikat dan substansi tugas yang

8
dilakukan dan kerangka praktek kepemimpinan itu. Berikut ini disajikan
perkembangan tentang teori kepemimpinan.

Gambar 1. Perkembangan Kajian Kepemimpinan


1. Personality Era /Zaman Kepribadian
Era Kepribadian termasuk kepemimpinan teori formal pertama dan
merupakan awal dalam pemahaman tentang proses kepemimpinan. Era ini
terbagi ke dalam Periode Manusia Hebat dan Periode Sifat.
1.1 Great Man Period / Periode Manusia Hebat
Pada abad kesembilan belas gagasan dari "great man" yang
mendominasi teori kepemimpinan. Anda mungkin pernah mendengar bahwa
ada orang-orang tertentu yang memang "dilahirkan untuk memimpin".
Menurut teori ini, seorang pemimpin besar dilahirkan dengan karakteristik
tertentu seperti karisma, keyakinan, kecerdasan dan keterampilan sosial
yang membuatnya terlahir sebagai pemimpin alami. Teori great man
mengasumsikan bahwa kapasitas untuk memimpin adalah sesuatu yang
melekat, pemimpin besar dilahirkan bukan dibuat. Teori ini

9
menggambarkan seorang pemimpin yang heroik dan ditakdirkan untuk
menjadi pemimpin karena kondisi sudah membutuhkannya.
Pada Zaman Manusia Hebat, para peneliti berfokus pada hebat pria
(dan beberapa wanita) dalam sejarah dunia dan menyarankan agar seseorang
yang menyalin kepribadian mereka dan perilaku akan menjadi pemimpin
yang kuat (Borgotta, Rouch, dan Bales, 1954; Galton, 1869). Yang penting
studi dalam periode ini dilakukan oleh Bowden (1927), yang menyamakan
kepemimpinan dengan kepribadian. Beberapa ahli teori bahkan berusaha
menjelaskan kepemimpinan berdasarkan pada warisan (Jennings, 1960).
Proses ini frustrasi, bagaimanapun, ketika menjadi jelas bahwa banyak
pemimpin yang efektif memiliki kepribadian yang sangat berbeda (mis.
Hitler, Gandhi, King).
1.2 Trait Period / Periode Sifat
Teori Great Man kemudian memunculkan teori sifat pada tahun 1920-
an dan 1930-an, yang pada umumnya tidak berhasil mengidentifikasi sifat-
sifat yang membuat para pemimpin berbeda dari individu-individu lain.
Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa para pemimpin pastilah
harus memiliki beberapa karakteristik universal yang menjadikan mereka
pemimpin. Untuk sebagian besar, sifat-sifat dipandang sebagai "givens" -
sesuatu yang ada pada saat kelahiran - bawaan, tetap, dan berlaku untuk dan
dalam keadaan apa pun.
Teori sifat berasumsi bahwa orang mewarisi sifat dan ciri-ciri tertentu
yang membuat mereka lebih cocok untuk menjadi pemimpin. Teori sifat
mengidentifikasi kepribadian tertentu atau karakteristik perilaku yang sama
pada umumnya pemimpin. Sebagai contoh, ciri-ciri seperti ekstraversi,
kepercayaan diri dan keberanian, semuanya adalah sifat potensial yang bisa
dikaitkan dengan pemimpin besar. Jika ciri-ciri khusus adalah fitur kunci
dari kepemimpinan, maka bagaimana menjelaskan orang-orang yang
memiliki kualitas-kualitas tetapi bukan pemimpin? Pertanyaan ini adalah
salah satu kesulitan dalam menggunakan teori sifat untuk menjelaskan
kepemimpinan. Ada banyak orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang

10
terkait dengan kepemimpinan namun tidak pernah mencari posisi
kepemimpinan.
Teori ini bertolak dari dasar pemikiran bahwa keberhasilan seorang
pemimpin ditentukan oleh sifat-sifat, perangai atau ciri-ciri yang dimiliki
pemimpin itu. Atas dasar pemikiran tersebut timbul anggapan bahwa untuk
menjadi seorang pemimpin yang berhasil, sangat ditentukan oleh
kemampuan pribadi pemimpin. Dan kemampuan pribadi yang dimaksud
adalah kualitas seseorang dengan berbagai sifat, perangai atau ciri-ciri di
dalamnya. Ciri-ciri ideal yang perlu dimiliki pemimpin menurut Sondang P
Siagian (1994:75-76) adalah:
(1) Pengetahuan umum yang luas, daya ingat yang kuat, rasionalitas,
obyektivitas, pragmatisme, fleksibilitas, adaptabilitas, orientasi masa
depan
(2) Sifat inkuisitif, rasa tepat waktu, rasa kohesi yang tinggi, naluri
relevansi, keteladanan, ketegasan, keberanian, sikap yang antisipatif,
kesediaan menjadi pendengar yang baik, kapasitas integrative.
(3) Kemampuan untuk bertumbuh dan berkembang, analitik, menentukan
skala prioritas, membedakan yang urgen dan yang penting,
keterampilan mendidik, dan berkomunikasi secara efektif.
Kelemahan teori itu, adalah bahwa hal itu tidak memperhitungkan
keadaan yang berbeda yang dihadapi para pemimpin dan juga perbedaan
yang tidak besar dalam jenis individu yang dipimpin. Demikian pula, tidak
ada upaya untuk benar-benar mengukur kinerja pemimpin. Para peneliti di
bidang itu selanjutnya memfokuskan kembali upaya mereka untuk menjauh
dari siapa pemimpin adalah apa yang para pemimpin lakukan dan berusaha
untuk mengidentifikasi perilaku pemimpin yang dapat diamati.
2. Influence Era / Zaman Pengaruh
Era ini meningkat pada Era Kepribadian dengan mengakui bahwa
kepemimpinan adalah hubungan antar individu dan bukan karakteristik
pemimpin yang sendirian. Ini membahas aspek kekuasaan dan pengaruh,
terdiri dari Periode Hubungan Kekuasaan dan Periode Pengaruh.

11
2.1 Power Relations Period / Periode Hubungan Kekuasaan
Yang pertama, upaya dilakukan untuk menjelaskan efektivitas
pemimpin dalam hal sumber dan jumlah kekuasaan mereka diperintahkan
dan bagaimana itu digunakan. Sementara pengaruh kekuasaan tentu lazim
dalam pemimpin saat ini (Pfeffer, 1981), diktator, otoriter, dan pengontrol
sifat kepemimpinan jenis ini tidak lagi dianggap efektif (Perancis, 1956).
Memang pengerahan searah pengaruh atas tanpa memikirkan keinginan dan
kebutuhan pengikut tidak pantas di dunia bisnis saat ini.
2.2 Persuasion Period / Periode Pengaruh
Pada Masa Pengaruh, paksaan dihapus, tetapi pemimpinnya diakui
sebagai faktor dominan dalam kepemimpinan (Schenk, 1928). Pendekatan
pemimpin dominan ini masih banyak digunakan dalam manajemen
kontemporer meskipun realisasi keterbatasannya semakin berkembang,
seperti kekuatan yang lebih rendah dari peserta (Mekanik, 1962).

3. Behaviour Era / Zaman Perilaku


Awal abad kedua puluh mendorong perkembangan sebuah pencarian
lebih fokus dalam basis pemimpin. Ahli teori perilaku diidentifikasi penentu
kepemimpinan sehingga orang bisa dilatih untuk menjadi pemimpin (Allen,
1998). Aspek tugas dari perilaku pemimpin berfokus pada pencapaian
pekerjaan atau pencapaian tujuan. Perilaku pemimpin di sini akan
menunjukkan keprihatinan mengenai produksi, pelaksanaan kepemimpinan
direktif, upaya untuk memulai struktur dan pengawasan. Fokus orang atau
perilaku hubungan akan ditunjukkan oleh kepedulian terhadap orang,
menawarkan kepemimpinan yang mendukung, berfokus pada perasaan
individu, kenyamanan mereka, menunjukkan penghargaan yang sesuai dan
melakukan upaya untuk mengurangi stres. Para pemimpin menunjukkan
perilaku ini dalam upaya untuk meningkatkan kepuasan di antara anggota
kelompok, memfasilitasi pengembangan dan pemeliharaan hubungan yang
harmonis di tempat kerja, dan mempertahankan stabilitas sosial kelompok.
Zaman Perilaku mengambil arah yang sama sekali baru menekankan
apa yang para pemimpin lakukan sebagai lawan dari sifat mereka atau

12
sumber daya. Kepemimpinan didefinisikan sebagai bagian dari perilaku
manusia Itu adalah kemajuan besar dalam teori kepemimpinan tidak hanya
karena menikmati dukungan empiris yang kuat. tetapi juga karena itu bisa
dengan mudah diimplementasikan dengan melatih manajer untuk
meningkatkan efektivitas kepemimpinan mereka. Beberapa pekerjaan
dilakukan di zaman ini telah fokus pada pola perilaku khas pemimpin
sementara pekerjaan lain telah menganalisis perbedaan dalam perilaku
antara pemimpin yang buruk dan efektif.
3.1 Early Behaviour Period / Periode Perilaku Awal
Periode Perilaku Awal pada dasarnya adalah perpanjangan dari
Periode Trait kecuali itu, bukannya belajar ciri-ciri kepribadian,
penekanannya adalah pada pengembangan perilaku sifat-sifat. Ohio State
dan Michigan mempelajari mengidentifikasi dua sifat perilaku pemimpin
yang penting: memulai struktur (penekanan pemimpin pada pemenuhan
tugas) dan pertimbangan (perhatian pemimpin untuk individu dan kohesi
kelompok) (Griffen, Skivington, dan Moorhead,1987).
3.2 Late Behaviour Period / Periode Perilaku Akhir
Periode Perilaku Akhir memajukan Perilaku Awal. Teori periode
dengan mengadaptasi mereka untuk aplikasi manajerial. Mungkin yang
paling terkenal adalah Model Grid Manajerial yang menggunakan grid 9 x 9
dengan pertimbangan perilaku yang ditandai di sepanjang satu sumbu dan
memulai perilaku struktur bersama yang lain. Ini menunjukkan bahwa
pemimpin yang paling efektif akan diberi peringkat 9 pada kedua perilaku
ini (Blake dan Mouton, 1964, 1978). Teori X dan Y juga telah menerima
banyak hal perhatian. Pada periode akhir zaman Perilaku, ada kesadaran
bahwa para pemimpin tidak secara langsung menyebabkan perilaku
bawahan, tetapi lebih memberikan kondisi dan rangsangan untuk
membangkitkan perilaku bawahan (Bass, 1981).
3.3 Operant Period / Periode Operasi
Periode Operan (Ashour dan Johns, 1983; Sims,1977) berfokus pada
pemimpin sebagai manajer bala bantuan, dengan perilaku pemimpin yang
sesuai dari perilaku bawahan yang diinginkan. Berbagai teori di era ini

13
diteliti secara menyeluruh tetapi bukti empiris mendukung mereka
dicampur.

4. Situation Era / Zaman Situasi


Zaman Situasi membuat langkah maju yang signifikan memajukan
teori kepemimpinan dengan mengakui pentingnya faktor-faktor di luar
pemimpin dan bawahan. Contohnya termasuk jenis tugas, sosial status
pemimpin dan bawahan, posisi kekuasaan relatif dari pemimpin dan
bawahan, dan sifat lingkungan eksternal. Ini aspek situasional kemudian
menentukan jenis-jenis pemimpin sifat-sifat, keterampilan, pengaruh, dan
perilaku yang mungkin terjadi menyebabkan kepemimpinan yang efektif.
Ketika penyelidikan tentang perilaku kepemimpinan berkembang,
menjadi jelas bahwa situasi atau konteks di mana kepemimpinan dilakukan
juga penting. Menghasilkan reorientasi umum bidang pada tahun 1950-an
dengan apa yang disebut sebagai kepemimpinan situasional. Misalnya,
meninjau dan mensimulasikan beberapa 25 tahun penelitian kepemimpinan
dalam lektur dan menentukan bahwa ia tidak dapat menemukan ciri-ciri
spesifik atau karakteristik pribadi yang jelas-jelas dapat diidentifikasi
sebagai petunjuk mutlak kepemimpinan.
Namun, mereka berdua stogdill dan mann mengidentifikasi beberapa
karakteristik pribadi yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam
mempelajari hasil penelitian, dominasi, dan lain-lain, sehingga hasil dari
pekerjaan mereka, mereka menentukan bahwa beragam situasi bisa terjadi
tanpa beban yang berbeda pada para pemimpin. Jadi, sifat pemimpin,
misalnya, adalah relevan hanya pada tingkat yang berkaitan dengan tugas
yang sedang dipertimbangkan. Oleh karena itu, mereka menyimpulkan
bahwa tidak ada serangkaian karakteristik yang spesifik yang dapat
membedakan para pemimpin dari para pengikut, tidak juga ada karakteristik
yang dapat menentukan keberhasilan pemimpin.
Yukl (2002) mencatat bahwa para peneliti mulai mempertimbangkan
bahwa efektivitas perilaku seorang pemimpin dapat bergantung pada
sejumlah faktor situasional - sejauh mana otoritas dan kebijaksanaan

14
pemimpin, sifat pekerjaan yang dilakukan oleh organisasi, atribut dari para
pemimpin. bawahan, dan sifat lingkungan eksternal. Pandangan ini
konsisten dengan apa yang ditemukan Westburg (1931) bahwa kesuksesan
seorang pemimpin terkait dengan kemampuannya untuk memahami baik
pengikutnya maupun lingkungan, dan kemudian merespons keduanya
sebagaimana diminta oleh perubahan keadaan. Teori-teori kepemimpinan
situasional dapat dikategorikan sebagai sifat atau perilaku tergantung pada
penilaian peneliti, apakah tindakan pemimpin mencerminkan keterampilan
mereka (sifat-sifat) atau hanya pemimpin yang bertindak dengan cara
menanggapi tuntutan situasi tertentu.
4.1 Environment Period / Periode Lingkungan
Pada Periode Lingkungan, para pemimpin dianggap demikian timbul
hanya dengan berada di tempat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam
situasi yang tepat tindakan mereka tidak penting. Di bawah pendekatan ini,
orang tersebut dalam posisi kepemimpinan itu tidak relevan, karena kalau
mereka harus pergi, orang lain hanya akan mengambil tempat mereka
(Hook, 1943). Ada dukungan empiris untuk pendekatan ini dan banyak
peneliti menyarankan agar kita memperkenalkan lebih banyak variabel
lingkungan, seperti faktor ekonomi, ke dalam konteks kepemimpinan
(McCall dan Lombardo, 1977).
4.2 Social Status Period / Periode Status Sosial
Periode Status Sosial didasarkan pada gagasan bahwa, sebagai
anggota kelompok melakukan tugas tertentu, mereka memperkuat harapan
bahwa setiap individu akan terus bertindak dengan cara yang sesuai dengan
perilaku mereka sebelumnya. Dengan demikian, peran pemimpin dan
bawahan didefinisikan dengan harapan perilaku yang saling dikonfirmasi
dan interaksi mereka diizinkan untuk berkontribusi pada grup (Stogdill,
1959). Intinya, Lingkungan Periode difokuskan pada tugas sementara dan
Periode Status Sosial menekankan aspek sosial dalam situasi tertentu.
4.3 Sociotechnical Period / Periode Bersosialisasi
Kategori ketiga adalah Periode Bersosialisasi yang pada dasarnya
menggabungkan lingkungan dan status social (mis. Trist dan Bamforth,

15
1951). Yang terakhir dua periode dianggap sebagai kemajuan atas Periode
Lingkungan karena mereka mulai mengenali pengaruh kelompok.

5. Contingency and Transactional Era / Zaman Kontinjensi dan


Transaksional
Pada pertengahan 1960-an, dua pendekatan baru untuk teori
kepemimpinan muncul dari pendekatan situasional model kepemimpinan
kontingensi dan transaksional. Fiedler (1961) mengidentifikasi apa yang ia
sebut sebagai sifat-sifat efektivitas kepemimpinan yang terkait dengan
kualitas-kualitas yang harus dilakukan individu dalam peran kepemimpinan
dan juga tidak mengidentifikasi sifat-sifat spesifik yang diperlukan. Elemen
situasional serta karakteristik pemimpin dan pengikut sangat memengaruhi
proses kepemimpinan. Pertimbangan khusus termasuk sifat kegiatan atau
tugas, setiap sejarah yang terkait, ketersediaan sumber daya dan sifat
hubungan antara pemimpin dan pengikut.
Pekerjaan Fiedler melanjutkan pergerakan lapangan menjauh dari sifat
dan kecenderungan untuk terus menaruh minat dan penekanan pada sifat-
sifat para pemimpin yang menghasilkan tanggapan positif dari para
pengikut. Model kontingensi dan transaksional berkontribusi pada
pemahaman akan kompleksitas kepemimpinan dengan migrasi jauh dari
sudut pandang atau perubahan situasi terhadap kepemimpinan (Hollander &
Offermann, 1990).
5.1 Contingency Period / Periode Kontinjensi
Periode Kontinjensi merupakan kemajuan besar dalam evolusi teori
kepemimpinan. Untuk pertama kalinya, mengakui bahwa kepemimpinan
tidak ditemukan murni dalam bentuk unidimensional yang dibahas
sebelumnya, tetapi agak mengandung elemen dari semuanya. Intinya
kepemimpinan yang efektif bergantung pada satu atau lebih banyak faktor
perilaku, kepribadian, pengaruh, dan situasi. Biasanya, kepemimpinan
mendekati ini era berusaha untuk memilih variabel moderator situasional
yang paling mengungkapkan gaya kepemimpinan yang digunakan. Banyak

16
peneliti yakin bahwa pada akhirnya sumber efektivitas pemimpin telah
ditemukan dan beberapa teori kontingensi dikemukakan.
Model Kontingensi yang ditawarkan oleh Fiedler (1964), House
(1971), serta Vroom dan Yetton (1973) berpendapat bahwa efektivitas
kepemimpinan adalah hasil gabungan dari kualitas pemimpin dan tuntutan
situasi. Persyaratan ini berinteraksi untuk memastikan kualitas pemimpin
konsisten dengan tugas yang dihadapi. Model Kepemimpinan Kontinjensi
Fiedler (1961) didasarkan pada gagasan bahwa kepemimpinan yang efektif
tergantung pada situasi.
Pemimpin harus siap untuk menangani secara efektif sejumlah
variabel situasional untuk membuat keputusan yang cerdas mengenai
tindakannya. House (1971) Path-Goal Model didasarkan pada gagasan
bahwa kinerja dan kepuasan pekerja dipengaruhi oleh perilaku pemimpin.
Tugas pemimpin adalah untuk memastikan para pekerja memahami tujuan,
mengurangi atau menghilangkan segala rintangan untuk pencapaian tujuan,
dan bekerja untuk meningkatkan kepuasan karyawan sambil mencapai
tujuan.
5.2 Transactional Period / Periode Transaksional
Model kepemimpinan transaksional awalnya berasal dari perspektif
pertukaran sosial yang berfokus pada kontrak sosial implisit antara
pemimpin dan pengikut dan hubungannya dengan efektivitas. Biasanya,
model transaksional fokus pada teori pertukaran dan persepsi serta harapan
yang dimiliki pengikut tentang tindakan dan motif pemimpin. Persepsi
pengikut tentang keadilan dan kesetaraan pertukaran dengan pemimpin
adalah yang terpenting (Hollander & Offermann, 1990; T. O. Jacobs, 2002;
McClelland, 1975; Yammarino & Dansereau, 2002; Yukl, 2002).
Karakteristik kepimpinan transaksional terbagi atas:
(1) Contigent Reward (Penghargaan Rombongan)
Continget reward dalam kepimpinan transaksional merupakan
penghargaan pimpinan pada bawahannya atas pekerjaan yang telah
dilakukan. Penghargaan berupa bonus, pertambahan penghasilan dan

17
atau fasilitas. Hal ini merupakan penghargaan terhadap upaya yang
telah bawahan lakukan (ODUMERU, 2013).
(2) Management By Exception (Manajemen Dengan Pengecualiaan ).
Secara umum, manajemen dengan pengecualian adalah sejauh
mana pemimpin mengambil tindakan koreksi atas dasar hasil
transaksi pemimpin- bawahan. Howell dan Avolio (1993) mencatat
perbedaan antara manajemen dengan pengecualian-aktif dan
manajemen dengan pengecualian-pasif terletak pada waktu intervensi
pemimpin. pemimpin aktif memantau perilaku pengikut,
mengantisipasi masalah, dan mengambil tindakan korektif sebelum
perilaku menciptakan kesulitan yang serius. pemimpin pasif
menunggu sampai perilaku telah menciptakan masalah sebelum
mengambil tindakan (Judge and Piccolo, 2004).
(3) Laissez Faire Leadersif (Kepemimpinan Laissez Faire)
Kepemimpinan laissez-faire adalah menghindari atau tidak
adanya kepemimpinan. Pemimpin yang skor tinggi pada laissez-faire
kepemimpinan menghindari membuat keputusan, ragu-ragu dalam
mengambil tindakan, dan tidak hadir saat dibutuhkan. Meskipun
kepemimpinan laissez-faire memiliki beberapa kemiripan dengan
manajemen dengan kepemimpinan pengecualian pasif, para peneliti
berpendapat bahwa kepemimpinan laissez-faire, karena merupakan
tidak adanya kepemimpinan apapun (transformasional atau
transaksional), harus diperlakukan secara terpisah dari dimensi
transaksional lainnya (Avolio , 1999; Bass, 1998). Dengan demikian
kepemimpinan laissez-faire sebagai terpisah dari kepemimpinan
transformasional dan transaksional

6. Anti-Leadership Era / Zaman Anti – Kepemimpinan


Sejumlah studi empiris telah dilakukan untuk menguji berbagai teori
disajikan sampai titik ini, tetapi sayangnya hasilnya kurang konklusif dan
Sentimen muncul bahwa mungkin tidak ada yang bisa diartikulasikan
konsep yang disebut kepemimpinan. Sepertinya begitu banyak variabel

18
dalam persamaan kepemimpinan telah dijelaskan bahwa mereka tidak
menjelaskan apa-apa sama sekali. Seperti saat ini Paradigma
kepemimpinan tidak terlihat berhasil, muncullah era "Anti-
Kepemimpinan."
6.1 Ambiguity Period / Periode Ambiguitas
Dalam Periode Ambiguitas, dikatakan bahwa mungkin
kepemimpinan hanyalah sebuah "fenomena yang menakutkan dalam benak
pengamats"(Mitchell, 1979). Pfeffer (1977) menulis sebuah artikel yang
berpengaruh berjudul "The Ambiguity of Kepemimpinan "yang berbicara
tentang pemimpin terutama sebagai simbol, menyiratkan bahwa kinerja
pemimpin yang sebenarnya adalah konsekuensi kecil. Miner (1975)
menyarankan agar kita harus menyerah dan meninggalkan konsep
kepemimpinan sama sekali! Meindl, Ehrlich, dan Dukerich (1985) miliki
mengikuti garis ini dengan konsep romansa mereka kepemimpinan -
kepemimpinan itu sebenarnya mencakup istilah untuk menggambarkan
perubahan organisasi yang kita lakukan jika tidak mengerti.
6.2 Substitute Period / Periode Pengganti
Periode Pengganti adalah perkembangan yang lebih konstruktif fase
yang berevolusi langsung dari situasional era dan berusaha
mengidentifikasi pengganti kepemimpinan. Kerr dan Jermier (1978)
mengemukakan bahwa tugas dan karakteristik bawahan dan organisasi
dapat mencegah kepemimpinan dari mempengaruhi kinerja bawahan.
Mereka menulis tentang pemimpin pengganti dan pemimpin penetral
dalam situasi kerja. Garis pemikiran ini telah diikuti oleh Howell dan
Dorfman (1981, 1986) dan berguna dalam menunjukkan ketika
kepemimpinan cenderung memiliki efek kuat pada penampilan organisasi.
Apa yang sering dikaburkan Periode Pengganti adalah bahwa pemimpin
menggantikan dan penetral mungkin telah dibangun sebelumnya menjadi
situasi oleh seorang pemimpin, sehingga tidak ada kurangnya
kepemimpinan, tetapi kepemimpinan itu terjadi pada tahap awal.

7. Culture Era / Zaman Kebudayaan

19
Zaman Anti-Kepemimpinan akhirnya digantikan di Zaman Budaya
ketika diusulkan bahwa kepemimpinan mungkin bukan fenomena
individu, angka dua, atau bahkan kelompok kecil, tetapi lebih tepatnya
hadir di mana-mana dalam budaya seluruh organisasi. Di sini juga, untuk
pertama kalinya, fokus kepemimpinan berubah dari salah satu
meningkatkan kuantitas pekerjaan tercapai (produktivitas, efisiensi)
menjadi salah satu peningkatan kualitas (melalui harapan, nilai-nilai). Ini
pandangan makro tentang kepemimpinan termasuk Kerangka 7-S (Pascale
dan Athos, 1981), Cari Keunggulan atribut (Peters dan Waterman, 1982),
serta Teori Z (Ouchi, 1981; Ouchi dan Jaeger, 1978).
Era ini merupakan perpanjangan alami bagi Pemimpin-Pengganti
Masa itu sejak menyarankan bahwa, jika seorang pemimpin bisa
menciptakan budaya yang kuat dalam suatu organisasi, karyawan akan
memimpin diri mereka sendiri (Manz dan Sims, 1987). Setelah itu budaya
didirikan, bagaimanapun itu menciptakan generasi pemimpin berikutnya.
Kepemimpinan formal hanya dibutuhkan ketika budaya yang ada diubah
dan budaya baru harus dibuat (Schein, 1985). Ini juga merupakan
keturunan logis Era Transaksional sejak budaya dapat diciptakan oleh
kepemimpinan yang muncul di perusahaan yang lebih rendah level dan
kemudian diarahkan ke level teratas organisasi. Tetapi sekali lagi,
paradigma kepemimpinan dihasilkan yang menganjurkan kepemimpinan
pasif atau bahkan tidak ada kecuali selama proses inisiasi dan perubahan.

8. Transformational Era / Zaman Transformasional


Era ini merupakan fase terbaru dan paling menjanjikan dalam
pengembangan evolusi teori kepemimpinan. Peningkatan dramatis dari era
sebelumnya terletak pada fakta bahwa itu didasarkan pada intrinsik yang
bertentangan dengan ekstrinsik motivasi. Juga, dibandingkan dengan
Transaksional Era, pemimpin harus proaktif daripada reaktif dalam
pemikiran mereka; lebih radikal daripada konservatif; lebih inovatif dan
kreatif; dan lebih terbuka untuk ide-ide baru (Bass, 1985). Di sini,
pengaruh latihan kepemimpinan terhadap menghasilkan komitmen yang

20
antusias oleh bawahan sebagai menentang kepatuhan yang enggan atau
kepatuhan yang acuh tak acuh (Yukl, 1989). Tichy dan Ulrich (1984) juga
menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional sangat penting selama
transisi organisasi dengan menciptakan visi peluang potensial dan
menanamkan komitmen karyawan untuk berubah (lihat juga Tichy dan
DeVanna, 1986).
Kepemimpinan transformatif berkembang sebagai tren yang terlihat
pada akhir 1970-an dan awal 1980-an (Bass, 1990a; Hickman, 1990).
Pertama kali diperkenalkan sebagai konsep oleh Burns in Leadership
(1978), dan kemudian diperluas dalam karya barunya Transforming
Leadership (Burns, 2003), upaya Burns membentuk banyak kerangka kerja
untuk konstruksi paradigma kepemimpinan transaksional dan
transformasional.
Kepemimpinan transformasional didefinisikan sebagai pendekatan
kepemimpinan yang menyebabkan perubahan pada individu dan social
sistem. Dalam bentuknya yang ideal, ia menciptakan perubahan yang
berharga dan positif pada pengikut dengan tujuan akhir untuk berkembang
pengikut menjadi pemimpin. Ditetapkan dalam bentuk aslinya,
kepemimpinan transformasional meningkatkan motivasi, moral dan kinerja
pengikut melalui berbagai mekanisme. Ini termasuk menghubungkan
perasaan pengikut identitas dan diri untuk misi dan identitas kolektif
organisasi; menjadi panutan bagi pengikut itu menginspirasi mereka;
menantang pengikut untuk mengambil kepemilikan yang lebih besar untuk
pekerjaan mereka, dan memahami kekuatan dan kelemahan pengikut,
sehingga pemimpin dapat menyelaraskan pengikut dengan tugas yang
mengoptimalkan kinerja mereka.
Burns (1978) memandang kepemimpinan tipe transformasional
berpotensi lebih kuat dari dua pendekatan karena "terjadi ketika satu atau
lebih orang terlibat dengan orang lain sedemikian rupa sehingga para
pemimpin dan pengikut meningkatkan satu sama lain ke tingkat motivasi
dan moralitas yang lebih tinggi". Sementara para pemimpin transaksional
berfokus pada pertukaran antara pemimpin dan pengikut. Kepemimpinan

21
transformasional tidak menggantikan kepemimpinan transaksional seperti
membangun di atasnya. Kedua teori ini tidak konsisten atau tidak
kompatibel. Bahkan, para pemimpin biasanya menggunakan kedua
pendekatan tersebut meskipun kepemimpinan transformasional sering
lebih kuat dalam pengaruhnya (Avolio & Bass, 1988; Bass, 1985).
Bukti penelitian dari seluruh dunia memberi kesan transformasional
kepemimpinan biasanya memberikan augmentasi positif dalam
kepemimpinan kinerja di luar pengaruh kepemimpinan transaksional.
Selanjutnya, kepemimpinan transformasional harus menjadi bentuk yang
lebih efektif kepemimpinan secara global karena pemimpin
transformasional konsisten dengan prototip orang tentang pemimpin yang
ideal (Bass, 1997). Tentu saja, ada kemungkinan budaya, serta faktor
organisasi, yang dapat mempengaruhi dampak kepemimpinan
transformasional pada khususnya. Namun, kepemimpinan
transformasional yang otentik memiliki dampak dalam semua budaya dan
organisasi karena pemimpin transformasional memiliki tujuan yang
melampaui kepentingan diri mereka sendiri dan bekerja ke arah kebaikan
bersama para pengikut (Burns, 1978). Rangkaian penuh kepemimpinan
memperkenalkan empat elemen kepemimpinan transformasional:
(1) Pertimbangan Individual, sejauh mana sang pemimpin memenuhi
kebutuhan masing-masing pengikut, bertindak sebagai mentor atau
latih kepada pengikut dan dengarkan keprihatinan dan kebutuhan
pengikut. Pemimpin memberi empati dan dukungan, menjaga
komunikasi tetap terbuka dan menempatkan tantangan di hadapan
para pengikut. Ini juga mencakup kebutuhan akan menghormati dan
merayakan kontribusi individu yang dapat dilakukan setiap pengikut
kepada tim. Para pengikut memiliki kemauan dan aspirasi untuk
pengembangan diri dan memiliki motivasi intrinsik untuk tugas-tugas
mereka.
(2) Stimulasi Intelektual, tingkat di mana pemimpin menantang asumsi,
mengambil risiko dan permintaan ide pengikut. Pemimpin dengan
gaya ini merangsang dan mendorong kreativitas dalam pengikut

22
mereka. Mereka memelihara dan mengembangkan orang yang
berpikir secara mandiri. Untuk pemimpin seperti itu, belajar adalah
nilai dan situasi yang tak terduga terlihat sebagai peluang untuk
belajar. Para pengikut mengajukan pertanyaan, berpikir secara
mendalam tentang hal-hal dan mencari cara yang lebih baik untuk
melakukannya melaksanakan tugas mereka.
(3) Motivasi Inspirasional, sejauh mana pemimpin mengartikulasikan visi
yang menarik dan menginspirasi pengikut. Para pemimpin dengan
motivasi yang menantang menantang pengikut dengan standar tinggi,
mengomunikasikan optimism tentang tujuan masa depan, dan
memberikan makna untuk tugas yang dihadapi. Pengikut harus
memiliki tujuan yang kuat jika mereka harus termotivasi untuk
bertindak. Tujuan dan makna memberikan energi yang mendorong
kelompok maju. Itu aspek visioner kepemimpinan didukung oleh
keterampilan komunikasi yang membuat visi dapat dimengerti, tepat,
kuat, dan menarik. Para pengikut bersedia untuk berinvestasi lebih
banyak upaya dalam tugas mereka, mereka didorong dan optimis
tentang masa depan dan percaya pada kemampuan mereka.
(4) Pengaruh yang Didealisasikan, Memberikan model peran untuk
perilaku etis yang tinggi, menanamkan kebanggaan, mendapatkan rasa
hormat dan kepercayaan
Ada dua periode untuk era ini: Periode Karisma dan Periode
kemampuan yang Memenuhi Diri.

8.1 Charisma Period /Periode Karisma


Tema dasar dari Periode Karisma adalah bahwa kepemimpinan harus
visioner, harus mengubah mereka yang melihat visi dan memberi mereka
rasa baru dan lebih kuat tujuan dan makna. Itu dibangun di atas Era Budaya
oleh memandang kepemimpinan sebagai proses aksi kolektif (Roberts,
1985). Kepemimpinan tidak hanya bersandar pada bahu satu individu tetapi
pada semua yang berbagi misi dan visi. Dalam pengertian ini,
kepemimpinan menjadi keadaan kesadaran, daripada sifat kepribadian atau

23
seperangkat keterampilan (Adams, 1984). Namun, berbeda dengan pasif
kepemimpinan yang disarankan dalam dua era sebelumnya, mengubah
kepemimpinan membuat kontribusi yang sangat aktif organisasi. Di sini,
kepemimpinan eksekutif yang kuat dibutuhkan baik untuk menciptakan visi
dan untuk memberdayakan bawahan untuk melaksanakan visi itu. Periode
Karisma termasuk Teori Kepemimpinan Karismatik yang merupakan teori
yang komprehensif di mana sifat-sifat pemimpin, perilaku, pengaruh, dan
faktor situasional bergabung meningkatkan daya terima bawahan ke daya
tarik ideologis (Conger dan Kanungo, 1987; House, 1977). Baru bukti
bahwa karisma dapat dilatih telah disediakan oleh Howell dan Frost (1988).
8.2 Self-Fulfilling Prophecy Period / Periode Kemampuan yang
Memenuhi Diri Sendiri.
Periode Kemampuan yang memenuhi diri sendiri (SFP) berdasarkan
teori yang baru didasarkan atas dasar karya alam (1989) pada fenomena
yang menggenapi kemampuan tersebut. Penelitian ini berkaitan dengan
perubahan konsep-konsep diri individu dan memperbaiki teori-teori
sebelumnya dengan mempertimbangkan perubahan yang terjadi secara sama
dari sang pemimpin kepada bawahan yang berasal dari bawahan pemimpin.
Dengan kata lain, pemimpin SFP dapat diaktifkan dari tingkat yang lebih
rendah atau atas di organisasi. Selain itu proses ini bekerja bukan hanya
dalam situasi , melainkan juga dalam konteks kelompok dan organisasi.
Gagasan ini diperinci oleh Field dan Van Seters (1988) yang menyarankan
agar faktor keberhasilan kunci dari jenis kepemimpinan ini adalah untuk
membangun pengharapan yang positif.
Dengan demikian, tugas kepemimpinan menjadi salah satu
membangun, memonitor, dan memperkuat budaya yang tinggi. Filsafat ini
menggema oleh Bass (1985). Ia memperlihatkan bahwa kelompok-
kelompok kerja cenderung memilih pemimpin yang mereka harapkan akan
melaksanakan tugas dengan efektif, mempertahankan fokus strategis, dan
memfasilitasi kelompok. Dengan cara ini, para bawahan dijunjung tinggi
dari kekhawatiran terhadap afiliasi dan keamanan yang berkaitan dengan
aktualisasi diri, pengakuan, dan prestasi.

24
B. Gaya kepemimpinan pendidikan yang sesuai masa kini
Wahyudi (2009: 123) mengemukakan bahwa perilaku kepemimpinan
yang ditampilkan dalam proses manajerial secara konsisten disebut sebagai
gaya (style) kepemimpinan. Gaya kepemimpinan dimaksudkan sebagai cara
berperilaku yang khas dari seorang pemimpin terhadap para anggota
kelompok. Dengan demikian, gaya kepemimpinan adalah cara pemimpin
berperilaku secara konsisten terhadap bawahan sebagai anggota kelompok.
Berdasarkan konsep, sifat, sikap, dan caracara pemimpin tersebut
melakukan dan mengembangkan kegiatan kepemimpinan dalam lingkunagn
kerja yang dipimpinnya, maka kepemimpinan pendidikan dapat
diklasifikasikan kedalam 4 tipe, yaitu :
1. Tipe Otoriter
Tipe kepemimpinan otoriter disebut juga tipe kepemimpinan
“outhoritarian”. Dalam kepemimpinan yang otoriter, pemimpin bertindak
sebagai diktator terhadap anggota-anggota kelompoknya. Dominasi yang
berlebihan mudah menghidupkan oposisi atau menimbulkan sifat apatis,
atau sifat-sifat pada anggota-anggota kelompok terhadap pemimpinnya.
2. Tipe “Laissez-faire”
Dalam tipe kepemimpinan ini sebenarnya pemimpin tidak memberikan
kepemimpinannya,dia membiarkan bawahannya berbuat kehendaknya.
Pemimpin sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi pekerjaan
bawahannya. Pembagian tugas dan kerja sama diserahkan sepenuhnya
kepada bawahannya tanpa petunjuk atau saran-saran dari pemimpin.
Tingkat keberhasilan organisasi atau lembaga semata-mata disebabkan
karena kesadaran dan dedikasi beberapa anggota kelompok, dan bukan
karena pengaruh dari pemimpin. Struktur organisasinya tidak jelas dan
kabur, segala dilakukan tanpa rencana dan tanpa pengawasan dari
pemimpin.
3. Tipe Demokratis
Pemimpin yang bertipe demokratis menafsirkan kepemimpinanya bukan
sebagai diktator, melainkan sebagai pemimpin ditengah-tengah anggota

25
kelompoknya.Pemimpin yang demokratis selalu berusaha menstimulasi
anggota-anggotanya agar bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan
bersama. Dalam tindakan dan usaha-usahanya ia selalu perpangkal pada
kepentingan dan kebutuhan kelompoknya, dan mempertimbangkan
kesanggupan serta kemampuan kelompoknya.
4. Tipe Pseudo-demokratis
Tipe ini disebut juga demokratis semu atau manipulasi diplomatik.
Pemimpin yang bertipe peseudo demokratis hanya tampaknya saja bersifat
demokratis padahal sebenarnya dia bersikap demokratis. Misalnya jika ia
mempunyai ide-ide, pikiran, konsep-konsep yang ingin diterapkan di
lembaga yang dipimpinnya, maka hal tersebut didiskusikan dan
dimusyawarahkan dengan bawahannya, tetapi situasi diatur dan diciptakan
sedemikian rupa sehingga pada akhirnya bawahan didesak agar menerima
ide/pikiran tersebut sebagai keputusan bersama.
Dalam menghadapi globalisasi gaya kepemimimpinan yang cocok di
terapkan di dunia Pendidikan saat ini adalah gaya demokratis. Pemimpin
dengan gaya demokratis pada dasarnya akan berusaha untuk membuat
semua pengikutnya ikut berpartisipasi. Dalam berbagai hal yang berkaitan
dengan organisasi atau lembaga pendidikan, baik itu siswa, staf, hingga
guru dan jajaran lainnya. Sebab pemimpin menjadi lebih paham akan
keadaan dan situasi yang terjadi di lembaga tersebut, karena ia mampu
mendapat lebih banyak informasi yang sebelumnya ia belum ketahui.
Selain itu kualitas dari lembaga pendidikan yang dipimpin juga dapat
menjadi lebih baik. Sebab keputusan yang diambil akan menjadi lebih baik
serta dapat diterima oleh semua pihak. Kekurangan yang dimiliki oleh
pemimpin juga bisa diatasi dengan adanya orang-orang yang
mendukungnya dari bawah. Selain itu juga, setiap orang juga memiliki
kesempatan yang besar untuk menyumbangkan kemampuan dan keahlian
yang dimiliki. Tentunya akan sangat bermanfaat untuk perkembangan
lembaga pendidikan tersebut.
Tentu tak ada gaya kepemimpinan pendidikan yang sempurna. Gaya ini
pun memiliki kekurangannya. Terlebih pada keadaan di mana adanya

26
tuntutan pengambilan keputusan cepat oleh pemimpin tersebut.kelemahannya
dari gaya ini akan sedikit lambat bergerak dalam mengambil keputusan.
Gaya pemimpin yang bersikap demokratis ini mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut.
1. Wewenang pimpinan tidak mutlak.
2. Pimpinan bersedia melimpahkan sebagian wewenang kepada bawahan.
3. Keputusan dibuat bersama antara pimpinan dengan bawahan.
4. Kebijaksanaan dibuat bersama antara pimpinan dengan bawahan.
5. Komunikasi berlangsung timbal-balik, baik yang terjadi antara pimpinan
dan bawahan maupun antara sesama bawahan.
6. Pengawasan terhadap sikap, tingkah-laku, perbuatan atau kegiatan para
bawahan dilakukan secara wajar.
7. Prakarsa dapat datang dari pimpinan maupun bawahan.
8. Banyak kesempatan bagi bawahan untuk menyampaikan saran,
pertimbangan, dan pendapat.
9. Tugas-tugas kepada bawahan diberikan dengan lebih bersifat permintaan
daripada instruktif.
10. Pujian dan kritik seimbang.
11. Pimpinan mendorong prestasi sempurna para bawahan dalam batas
kemampuan masing-masing.
Kelebihan Gaya Kepemimpinan Demokratis
1. Hubungan antara pemimpin dan bawahan harmonis dan tidak kaku.
2. Keputusan dan kebijaksanaan diambil melalui diskusi sehingga bawahan
akan merasa dihargai dan dibutuhkan peranannya.
3. Mengembangkan daya kreatif dari bawahan karena dapat mengajukan
pendapat dan saran.
4. Bawahan akan merasa percaya diri dan nyaman sehingga bisa
mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk menyelesaikan tugasnya.
5. Bawahan akan merasa bersemangat karena merasa diperhatikan.
6. Tidak mudah lahir kubu oposisi karena pemimpin dan bawahan sejalan.

27
Kekurangan gaya kepemimpinan Demokratis
1. Proses pengambilan keputusan akan berlangsung lama karena diambil
secara musyawarah.
2. Sulitnya dalam pencapaian kata mufakat karena pendapat setiap orang
jelas berbeda.
3. Akan memicu konflik apabila keputusan yang diambil tidak sesuai dan
apabila ego masing-masing anggota tinggi.
C. Masalah-masalah yang dihadapi dalam kepemimpinan Pendidikan
Globalisasi diyakini banyak orang sebagai jawaban atas kemiskinan.
Dengan terbukanya pasar global, penduduk dunia semakin mudah
memperoleh kebutuhan ekonominya melalui mekanisme industri global.
Sepintas, globalisasi menawarkan kemudahan bagi siapa saja yang mau
melakukan transaksi ekonomi. Namun, di balik itu, globalisasi justru
membuat negara-negara dunia ketiga semakin terpuruk dan jauh dari
kesejahteraan.
Pendidikan memiliki keterkaitan erat dengan globalisasi. Pendidikan
tidak mungkin menisbikan proses globalisasi yang akan mewujudkan
masyarakat global ini. Dalam menuju era globalisasi, Indonesia harus
melakukan reformasi dalam proses pendidikan, dengan tekanan menciptakan
sistem pendidikan yang lebih komprehensif dan fleksibel, sehingga para
lulusan dapat berfungsi secara efektif dalam kehidupan masyarakat global
demokratis. Untuk itu, pendidikan harus dirancang sedemikian rupa yang
memungkinkan para peserta didik mengembangkan potensi yang dimiliki
secara alami dan kreatif dalam suasana penuh kebebasan, kebersamaan dan
tanggung jawab. Di samping itu, pendidikan harus menghasilkan lulusan yang
dapat memahami masyarakatnya dengan segala faktor yang dapat mendukung
mencapai sukses ataupun penghalang yang menyebabkan kegagalan dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini, peran pemimpin pendidikan
Indonesia amat besar pengaruhnya dalam menghadapi lingkungan dunia
pendidikan yang sedang berubah. Pemimpin pendidikan Indonesia harus bisa
membawa output dunia pendidikan Indonesia sebagai generasi yang memiliki
daya saing yang tinggi dalam persaingan global.

28
UU Nomor 22 Tahun 1999 memberikan angin segar terhadap sistem
pendidikan nasional, konsekuensi kongkrit dampak dari UU tersebut
terwujudnya paradigma baru dalam sistem pendidikan nasional yakni apa
yang disebut dengan Demokratisasi Pendidikan. Melalui paradigma baru ini
pola sentralistik berubah menjadi desentralisasi, dan tentunya akan
berdampak kepada kebijakan yang akan diambil, termasuk kebijakan apa
yang akan dilakukan, tentulah disesuaikandengan situasi dan kondisi negeri
kita kini maupun yang akan datang, terutama di dalam menghadapi era
globalisasi.
Demokratisasi pendidikan harus dijadikan suatu paradigma baru dalam
memperkukuh sistem pendidikan Indonesia, dengan demokratisasi maka
dapat ditemukan jati diri dan sistem pendidikan yang tepat. Sistem pendidikan
yang demokratis memberikan ruang yang lebih besar kepada lembaga
penyelenggara pendidikan dan masyarakat untuk berperan dengan lebih
nyata. Dengan demokratisasi pendidikan itulah dasar-dasar pembentukan
masyarakat madani akan dapat dicapai.
Masalah kepemimpinan telah muncul bersamaan dengan dimulainya
sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup
berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan
seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihan-kelebihan
daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut
dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai
keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu.
Rumusan kepemimpinan dari sejumlah ahli menunjukkan bahwa dalam
suatu organisasi terdapat orang yang mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi, mengarahkan, membimbing dan juga sebagian orang yang
mempunyai kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain agar mengikuti
apa yang menjadi kehendak dari pada atasan atau pimpinan mereka. Karena
itu, kepemimpinan dapat dipahami sebagai kemampuan mempengaruhi
bawahan agar terbentuk kerjasama di dalam kelompok untuk mencapai tujuan
organisasi. Apabila orang-orang yang menjadi pengikut atau bawahan dapat
dipengaruhi oleh kekuatan kepemimpinan yang dimiliki oleh atasan maka

29
mereka akan mau mengikuti kehendak pimpinannya dengan sadar, rela, dan
sepenuh hati.
Organisasi yang berhasil dalam mencapai tujuannya serta mampu
memenuhi tanggung jawab sosialnya akan sangat tergantung pada para
manajernya (pimpinannya). Apabila manajer mampu melaksanakan fungsi-
fungsinya dengan baik, sangat mungkin organisasi tersebut akan dapat
mencapai sasarannya. Suatu organisasi membutuhkan pemimpin yang efektif,
yang mempunyai kemampuan mempengaruhi perilaku anggotanya atau anak
buahnya. Jadi, seorang pemimpin atau kepala suatu organisasi akan diakui
sebagai seorang pemimpin apabila ia dapat mempunyai pengaruh dan mampu
mengarahkan bawahannya ke arah pencapaian tujuan organisasi.
Faktor-faktor yang menjadi masalah dalam kepemimpinan pendidikan
diantaranya adalah sumber daya keuangan yang tidak mencukupi untuk
memanage sekolah, gaya kepemimpinan yang tidak sesuai dan menolak
perubahan seperti gaya kepemimpinan tipe otoriter atau “Laissez-faire”
sehingga tidak memotivasi bawahan untuk menyukseskan tujuan bersama,
tidak terjalin kerjasama yang baik antara atasan bawahan bahkan lingkungan
sekita.

D. Rekomendasi peningkatan kinerja kepemimpinan.


Dalam hubungannya dengan misi pendidikan, kepemimpinan dapat
diartikan sebagai usaha Kepala Sekolah dalam memimpin, mempengaruhi
dan memberikan bimbingan kepada para personil pendidikan sebagai
bawahan agar tujuan pendidikan dan pengajaran dapat tercapai melalui
serangkaian kegiatan yang telah direncanakan. Fungsi kepemimpinan
pendidikan menunjuk kepada berbagai aktivitas atau tindakan yang dilakukan
oleh seorang Kepala Sekolah dalam upaya menggerakkan guru-guru,
karyawan, siswa dan anggota masyarakat agar berbuat sesuatu guna
melaksanakan program-program pendidikan di sekolah. Lebih lanjut, M.I.
Anwar mengatakan bahwa untuk memungkinkan tercapainya tujuan
kepemimpinan pendidikan di sekolah, pada pokoknya kepemimpinan
pendidikan memiliki tiga fungsi berikut:

30
1. Membantu kelompok merumuskan tujuan pendidikan yang akan dicapai
yang akan menjadi pedoman untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang
akan dilakukan;
2. Fungsi dalam menggerakkan guru-guru, karyawan, siswa dan anggota
masyarakat untuk menyukseskan program pendidikan di sekolah; dan
3. Menciptakan sekolah sebagai suatu lingkungan kerja yang harmonis,
sehat, dinamis, dan nyaman, sehingga segenap anggota dapat bekerja
dengan penuh produktivitas akan memperoleh kepuasan kerja tinggi.
Artinya pemimpin harus menciptakan iklim organisasi yang mampu
mendorong produktivitas pendidikan yang tinggi dan kepuasan kerja yang
maksimal.
Kemampuan seorang pemimpin mempengaruhi orang lain didukung
oleh kelebihan yang dimilikinya, baik yang berkaitan dengan sifat
kepribadian maupun yang berkaitan dengan keluasan pengetahuan dan
pengalamannya, yang mendapat pengakuan dari orang-orang yang dipimpin.
Menurut Lezotte sekolah yang efektif tercipta karena kepemimpinan yang
diterapkan di sekolah diarahkan pada proses pemberdayaan para guru
sehingga kinerja guru lebih berdasarkan pada prinsip-prinsip dan konsep
bersama, bukan karena suatu instruksi dari pimpinan.
Peningkatan mutu sekolah memerlukan perubahan kultur organisasi
suatu perubahan yang mendasar tentang bagaimana individu-individu dan
kelompok memahami pekerjaan dan perannya dalam organisasi sekolah.
Kultur sekolah terutama dihasilkan oleh kepemimpinan Kepala Sekolah.
Kepala Sekolah harus memahami bahwa sekolah sebagai suatu sistem
organik, sehingga mampu berperan sebagai pemimpin leader dibandingkan
sebagai manajer. Sebagai Leader Kepala Sekolah harus:
a) Memberikan teladan yang baik;
b) Lebih banyak mengarahkan daripada mendorong atau memaksa;
c) Lebih bersandar pada kerja sama dalam menjalankan tugas
dibandingkan bersandar pada kekuasaan atau Surat Keputusan (SK);
d) Senantiasa menanamkan kepercayaan pada diri guru dan staf
administrasi, bukannya menciptakan rasa takut;

31
e) Senantiasa menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu daripada
menunjukkan bahwa ia tahu sesuatu;
f) Senantiasa mengembangkan suasana antusias, bukannya
mengembangkan suasana yang menjemukan;
g) Senantiasa memperbaiki kesalahan yang ada daripada menyalahkan
kesalahan pada seseorang, bekerja dengan penuh kesungguhan,
bukannya ogahogahan karena serba kekurangan.
Agar kepemimpinan Kepala Sekolah efektif, beberapa sifat dan gaya
kepemimpinan seorang pemimpin (Kepala Sekolah) dalam menggalang
hubungan baik dengan orang-orang yang dipimpin yaitu:
(1) Memberi contoh,
(2) Berkepentingan pada kualitas,
(3) Bekerja dengan landasan hubungan kemansuiaan yang baik,
(4) Memahami masyarakat sekitarnya,
(5) Memiliki sikap mental yang baik,
(6) Berkepentingan dengan staf dan sekolah,
(7) Melakukan kompromi untuk mencapai kesepakatan,
(8) Mempertahankan stabilitas,
(9) Mampu mengatasi stres,
(10) Menciptakan struktur agar sesuatu bisa terjadi,
(11) Mentolerir adanya kesalahan,
(12) Tidak menciptakan konflik pribadi,
(13) Memimpin melalui pendekatan yang positif,
(14) Tidak mendahului orang-orang yang dipimipinnya,
(15) Mudah dihubungi oleh orang; dan
(16) Memiliki keluarga yang serasi
Kepemimpinan Kepala Sekolah harus dapat menggerakkan dan
memotivasi kepada:
a) Guru, untuk menyusun program, menyajikan program dengan baik,
melaksanakan evaluasi, melakukan analisis hasil belajar dan
melaksanakan perbaikan dan pengayaan secara tertib dan
bertanggung jawab.

32
b) Karyawan, untuk mengerjakan tugas administrasi dengan baik,
melaksanakan kebersihan lingkungan secara rutin, melaksanakan
tugas pemeliharaan gedung dan perawatan barang-barang inventaris
dengan baik dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab;

c) Siswa, untuk rajin belajar secara tertib, terarah dan teratur dengan
penuh kesadaran yang berorientasi masa depan; dan

d) Orang tua dan masyarakat, agar mampu untuk menumbuhkan dan


mengembangkan kemitraan yang lebih baik agar partisipasi mereka
terhadap usaha pengembangan sekolah makin meningkat dan
dirasakan sebagai suatu kewajiban, bukan sesuatu yang membebani.

Yang terpenting adalah, kepemimpinan Kepala Sekolah harus


dapat memberikan kesejahteraan lahir batin, mengembangkan
kekeluargaan yang lebih baik, meningkatkan rasa kebersamaan
dalam mencapai tujuan dan menumbuhkan budaya positif yang kuat
di lingkungan sekolah. Komponen sekolah, terdiri dari administrasi
sekolah, kelembagaan, ketenagaan, kurikulum, siswa, sarana,
prasarana, dan situasi umum sekolah. Kepala Sekolah merupakan
salah satu faktor yang terpenting dalam keberhasilan sekolah
mencapai tujuannya.
Kegiatan Kepala Sekolah tidak hanya berkaitan dengan
pimpinan pengajaran saja, melainkan meliputi seluruh kegiatan
sekolah, seperti pengaturan, pengelolaan sekolah, dan supervisi
terhadap staf guru dan staf administrasi. Kepala Sekolah pada
dasarnya melakukan kegiatan yang beraneka macam dari kegiatan
yang bersifat akademik, administratif, kegiatan kemanusiaan dan
kegiatan sosial.
Banyak kegiatan Kepala Sekolah yang sangat bermanfaat, yang
bisa ditiru oleh Kepala Sekolah lain dalam melaksanakan tugasnya.
Beberapa sekolah yang mempunyai prestasi yang baik di dalam
pengelolaan sekolah (prestasi hasil belajar siswa, hubungan sekolah

33
dengan masyarakat) dapat dijadikan bahan kajian oleh sekolah lain
dalam rangka mengelola sekolahnya sendiri.
Walaupun disadari pula bahwa tidak ada situasi yang sama
yang dapat dijadikan landasan untuk pengelolaan sekolah seperti
guru, siswa, administrasi dan alat peralatan. Hal ini sangat
mempengaruhi bagi terciptanya sekolah yang efektif. Kepala
Sekolah sebagai pemimpin pendidikan mempunyai tugas
memadukan unsurunsur sekolah dengan situasi lingkungan
budayanya, yang merupakan kondisi bagi terciptanya sekolah yang
efektif.
Sekolah yang efektif adalah sekolah yang memiliki mutu yang
baik. Artinya, bahwa mutu siswa yang dihasilkan oleh sekolah itu
mempunyai kemampuan dan keterampilan sesuai dengan tuntutan
dan keinginan masyarakat dan menjawab tantangan moral, mental
dan perkembangan ilmu serta teknologi.
Siswa yang bermutu adalah siswa yang memiliki kemampuan
dan potensi mengembangkan dirinyak menjadi warga yang berguna
bagi nusa, bangsa dan negara. Dengan demikian Kepala Sekolah
adalah seorang pemimpin pendidikan yang merencanakan,
mengorganisasikan, mengkoordinasikan, mengawasi, dan
menyelesaikan seluruh kegiatan pendidikan di sekolah dalam
pencapaian tujuan pendidikan dan pengajaran.

34
BAB III
PENUTUP
Kepemimpinan atau leadership merupakan ilmu terapan dari ilmu-ilmu
sosial, sebab prinsip-prinsip dan rumusannya diharapkan dapat mendatangkan
manfaat bagi kesejahteraan manusia. Ada banyak pengertian yang dikemukakan
oleh para pakar menurut sudut pandang masing-masing, definisi-definisi tersebut
menunjukkan adanya beberapa kesamaan.
Kepemimpinan strategis adalah kemampuan pemimpin untuk
memvisualisasikan, merencanakan, memimpin, dan membuat yang terbaik dari
sumber daya yang mereka miliki untuk menjalankan strategi secara efisien dan
berhasil. Para pemimpin strategis menggabungkan rencana strategis mereka
dengan manajemen strategis. Pola pikir strategis mencerminkan sesuatu yang kita
sebut strategic agility: kemampuan untuk melihat bagaimana gambaran besar
berhubungan dengan di sini dan sekarang. Meskipun begitu pemimpin strategis
memiliki kelebihan dan kekurangannya.
Dalam sebuah organisasi, divisi, perusahaan atau lebih luasnya
“perkumpulan”, pastilah ada salah seorang yang didaulat, diberi mandat untuk
menjadi seorang Leader atau Pemimpin. Dengan tugas yang tak lain adalah
mengarahkan anggota yang dipimpinnya untuk bekerja sesuai dengan visi dan
misi yang telah ditetapkan dengan gaya kepemimpinan yang tepat, untuk menjaga
keharmonisan sebuah tim atau divisi.
Pendidikan sebagai ujung tombak “penghasil SDM” mengemban tugas yang
penting dan sangat strategis. Sehubungan dengan itu, keberadaan seorang
pemimpin pendidikan adalah sebagai orang yang memegang peranan kunci (key
position) dalam rangka mencapai tujuan di atas. Keberadaan seorang pemimpin
dalam dunia pendidikan sangat diperlukan walaupun seringkali sulit untuk
memilih dan mendapatkannya. Pemimpin pendidikan Indonesia harus mampu
mengemas sistem pendidikan nasional berorientasi agar berorientasi pada
pembangunan jiwa, harus berani mengambil kebijakan memajukan dunia
pendidikan dan membuat alokasi dana pendidikan dana yang lebih besar di sektor
pendidikan sebagai bagian investasi jangka panjang demi kepentingan masa depan
bangsa. Kebijakan pendidikan nasional harus lebih pragmatis, kreatif, dan segera.

35
Yang terpenting adalah, kepemimpinan Kepala Sekolah harus dapat
memberikan kesejahteraan lahir batin, mengembangkan kekeluargaan yang lebih
baik, meningkatkan rasa kebersamaan dalam mencapai tujuan dan menumbuhkan
budaya positif yang kuat di lingkungan sekolah. Komponen sekolah, terdiri dari
administrasi sekolah, kelembagaan, ketenagaan, kurikulum, siswa, sarana,
prasarana, dan situasi umum sekolah. Kepala Sekolah merupakan salah satu faktor
yang terpenting dalam keberhasilan sekolah mencapai tujuannya.
Kegiatan Kepala Sekolah tidak hanya berkaitan dengan pimpinan pengajaran
saja, melainkan meliputi seluruh kegiatan sekolah, seperti pengaturan,
pengelolaan sekolah, dan supervisi terhadap staf guru dan staf administrasi.
Kepala Sekolah pada dasarnya melakukan kegiatan yang beraneka macam dari
kegiatan yang bersifat akademik, administratif, kegiatan kemanusiaan dan
kegiatan sosial.
Banyak kegiatan Kepala Sekolah yang sangat bermanfaat, yang bisa ditiru
oleh Kepala Sekolah lain dalam melaksanakan tugasnya. Beberapa sekolah yang
mempunyai prestasi yang baik di dalam pengelolaan sekolah (prestasi hasil belajar
siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat) dapat dijadikan bahan kajian oleh
sekolah lain dalam rangka mengelola sekolahnya sendiri.
Walaupun disadari pula bahwa tidak ada situasi yang sama yang dapat
dijadikan landasan untuk pengelolaan sekolah seperti guru, siswa, administrasi
dan alat peralatan. Hal ini sangat mempengaruhi bagi terciptanya sekolah yang
efektif. Kepala Sekolah sebagai pemimpin pendidikan mempunyai tugas
memadukan unsurunsur sekolah dengan situasi lingkungan budayanya, yang
merupakan kondisi bagi terciptanya sekolah yang efektif.
Sekolah yang efektif adalah sekolah yang memiliki mutu yang baik. Artinya,
bahwa mutu siswa yang dihasilkan oleh sekolah itu mempunyai kemampuan dan
keterampilan sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat dan menjawab
tantangan moral, mental dan perkembangan ilmu serta teknologi.

36
DAFTAR PUSTAKA

Ann M. Maslanka, (2002), “Evolution of Leadership Theories” Masters Theses.


655.
Gie. (2022, 13 Januari). Apa itu kepemimpinan Strategis?. Diakses pada 03
November 2022, dari https://accurate.id/marketing-manajemen/apa-itu-
kepemimpinan-strategis/
M. Bass Bernard and E. Riggio Ronald.(2006). “transformational leadership”,
Lawrence Erlbaum Associates, Inc.. Mahwah, New Jersey London.
Pradiansyah, A. (2022) 5 tipe kepemimpinan menurut para ahli. Diakses dari
https://arvanpradiansyah.com/5-tipe-kepemimpinan-menurut-para-ahli/
Rochaendi, Aminudin, Eki Kiyamudin dan Andi Wahyudi, (2022). Pengaruh
Kepemimpinan Stratejik dan Manajemen Pembiayaan Terhadap Mutu
Pendidikan. JAMP: Jurnal Adminitrasi dan Manajemen Pendidikan Volume 5
Nomor 1 Maret 2022, Hal: 53 – 63.
Septiani, Nazmi. (2019). Gaya Kepemimpinan Pendidikan. Padang: Universitas
Negeri Padang.
Tjeriawan, C. A. (2022). Kepemimpinan Pendidikan. Padang: Universitas Negeri
Padang Indonesia.
Tjiptono, F. dan Diana, A. 1996. Total Quality Management. Yogyakarta:
penerbit Andi.
Van Seters David and H.G. Field Richard, (1990),"The Evolution of Leadership
Theory", Journal of Organizational Change Management, Vol. 3 Iss 3 pp.
29 – 45

37

Anda mungkin juga menyukai