Oleh:
Kelompok 3
Kelas C
NUR FAUZIYAH MR O1A119111
PUTRI TRI WANDA O1A119116
RENIETA SALFI O1A119119
RIZKITA NUR AINUN O1A119121
SUCI RAMADHANI SAFITRI O1A119130
ANGELA AL LAILA PUTRI O1A119143
ASHQALANI TIRTA GANDA O1A119145
CITRA PEBRIYANTI O1A119148
EBI FEBRIANTI O1A119152
HESRI SEPTI ASTUTI O1A119158
PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolism karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat infusiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh
sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin. Muliani (2015) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang
menduduki rangking keempat dari jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika
Serikat, China, dan India. Selain itu, penderita DM di Indonesia diperkirakan akan meningkat
pesat hingga 2-3 kali lipat pada tahun 2030 dibanding tahun 2000. Ditambah penjelasan data
WHO (World Health Organization) bahwa, dunia kini didiami oleh 171 juta penderita DM
(2000) dan akan meningkat 2 kali lipat, 366 juta pada tahun 2030. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI juga menyebutkan bahwa estimasi terakhir IDF (International
Diabetes Federation) pada tahun 2035 terdapat 592 juta orang yang hidup dengan diabetes di
dunia.
Diabetes memiliki 2 tipe yakni diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes mellitus tipe 1
(juvenile diabetes) ditandai dengan kerusakan sel beta yang disebabkan oleh proses autoimun,
biasanya menyebabkan defisiensi insulin absolut. Tipe 1 biasanya ditandai dengan adanya
dekarboksilase asam anti-glutamat, sel islet atau antibodi insulin yang mengidentifikasi proses
autoimun yang menyebabkan kerusakan sel beta. Pada akhirnya, semua pasien diabetes tipe 1
akan membutuhkan terapi insulin untuk menjaga kadar gula darah normal (Baynes, 2015).
Diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) ditandai dengan disregulasi metabolisme karbohidrat, lipid dan
protein, dan hasil dari gangguan sekresi insulin, resistensi insulin atau kombinasi keduanya. Dari
tiga jenis utama diabetes, T2DM jauh lebih umum (terhitung lebih dari 90% dari semua kasus)
daripada diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) atau diabetes gestasional (DeFronzo dkk, 2015).
Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa 1 dari 12 orang di
dunia menderita penyakit DM, dan rata-rata penderita DM tidak mengetahui bahwa dirinya
menderita DM, penderita baru mengetahui kondisinya ketika penyakit sudah berjalan lama
dengan komplikasi yang sangat jelas terlihat (Sartika, 2019).
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi dari penyakit diabetes yaitu gabungan antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Etiologi lain dari diabetes yaitu sekresi atau kerja insulin, abnormalitas metabolik yang
menganggu sekresi insulin, abnormalitas mitokondria, dan sekelompok kondisi lain yang
menganggu toleransi glukosa. Diabetes mellitus dapat muncul akibat penyakit eksokrin pankreas
ketika terjadi kerusakan pada mayoritas islet dari pankreas. Hormon yang bekerja sebagai
antagonis insulin juga dapat menyebabkan diabetes (Putra, 2015).
Diabetes Tipe 1 ditandai dengan penghancuran autoimun sel penghasil insulin di pankreas
oleh sel T CD4+ dan CD8+ dan makrofag menginfiltrasi pulau. Beberapa ciri yang mencirikan
diabetes melitus tipe 1 sebagai penyakit autoimun diantaranya kehadiran sel imunokompeten dan
aksesori di pulau pankreas yang disusupi, asosiasi kerentanan terhadap penyakit dengan gen
kelas II (respon imun) dari kompleks histokompatibilitas utama (MHC; antigen leukosit manusia
HLA), adanya autoantibodi spesifik sel islet, perubahan imunoregulasi yang diperantarai sel T,
khususnya pada kompartemen sel T CD4+, keterlibatan sel monokin dan TH1 yang
memproduksi interleukin dalam proses penyakit, respon imunoterapi dan sering terjadinya
penyakit autoimun spesifik organ lain pada individu yang terkena atau anggota keluarga
mereka. Sekitar 85% pasien memiliki antibodi sel islet yang bersirkulasi, dan mayoritas juga
memiliki antibodi anti-insulin yang dapat dideteksi sebelum menerima terapi insulin. Sebagian
besar antibodi sel pulau diarahkan melawan asam glutamat dekarboksilase (GAD) di dalam sel B
pankreas. Penghancuran autoimun sel β pankreas, menyebabkan defisiensi sekresi insulin yang
mengakibatkan gangguan metabolisme yang terkait dengan T1DM. Selain hilangnya sekresi
insulin, fungsi sel α pankreas juga abnormal dan terjadi sekresi glukagon yang berlebihan pada
pasien T1DM. Biasanya, hiperglikemia menyebabkan penurunan sekresi glukagon, namun pada
pasien dengan T1DM, sekresi glukagon tidak ditekan oleh hiperglikemia. Tingkat glukagon yang
meningkat secara tidak tepat memperburuk cacat metabolisme akibat defisiensi insulin.
Meskipun defisiensi insulin merupakan defek utama pada T1DM, ada juga defek dalam
pemberian insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan
peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa di
jaringan perifer seperti otot rangka. Hal ini mengganggu pemanfaatan glukosa dan defisiensi
insulin juga menurunkan ekspresi sejumlah gen yang diperlukan jaringan target untuk merespons
insulin secara normal seperti glukokinase di hati dan kelas GLUT 4 pengangkut glukosa di
jaringan adiposa menjelaskan bahwa gangguan metabolisme utama, yang mengakibatkan dari
defisiensi insulin pada T1DM adalah gangguan metabolisme glukosa, lipid dan protein (Baynes,
2015).
Individu dengan T2DM memiliki insulin yang terdeteksi, tidak seperti pasien dengan
T1DM. Berdasarkan uji toleransi glukosa oral elemen penting dari T2DM dapat dibagi menjadi
empat kelompok yang berbeda diantaranya mereka dengan toleransi glukosa normal, diabetes
kimiawi (disebut gangguan toleransi glukosa), diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal
(puasa glukosa plasma kurang dari 140 mg/dl), diabetes melitus yang berhubungan dengan
hiperglikemia puasa (glukosa plasma puasa lebih besar dari 140mg/dl). Individu dengan
gangguan toleransi glukosa mengalami hiperglikemia meskipun memiliki kadar insulin plasma
tertinggi, yang menunjukkan bahwa mereka resisten terhadap aksi insulin. Dalam perkembangan
dari gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes mellitus, tingkat insulin menurun yang
menunjukkan bahwa pasien dengan T2DM mengalami penurunan sekresi insulin. Resistensi
insulin dan defisiensi insulin umum terjadi pada rata-rata pasien T2DM. Resistensi insulin adalah
penyebab utama T2DM, namun beberapa peneliti berpendapat bahwa defisiensi insulin adalah
penyebab utama karena resistensi insulin tingkat sedang tidak cukup untuk menyebabkan T2DM.
Sebagian besar pasien dengan bentuk umum T2DM memiliki kedua kondisi tersebut (Kahn dkk,
2014).
b. Terapi Farmakologi
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 6 golongan:
a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
o Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utamanmeningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Contoh obat dalam golongan ini
adalah glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan gliclazide.
o Glinid
Glinid merupakan golongan obat dengan hasil akhir berupa penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama.Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial.Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.
Berikut ini merupakan bagian dari tabel lampiran daftar obat Antihiperglikemik Oral
(OAO).
2. Terapi Insulin
- Insulin digunakan pada keadaan :
o HbA1c saat diperiksa ≥ 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
o HbA1c saat diperiksa > 9%
o Penurunan berat badan yang cepat
o Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
o Krisis hiperglikemia
o Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
o Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
o Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
o Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi
3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam penatalaksanaan
DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat
antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat
antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dan
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka dapat diberikan kombinasi tiga obat
oral. terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti-hiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus
diberikan menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore
sampai sebelum tidur, atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi
adalah 0,1-0,2 unit/kgbb. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya.
(Kemenkes RI, 2019; Perkeni, 2021).
LAPORAN KASUS
KASUS 1: Kasus diabetes melitus tipe 2 pada keadaan hiperglikemia hyperosmolar pada
pasien remaja transplantasi ginjal
Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dengan BBS datang dengan temuan insidental
kadar glukosa darah tinggi pada pemeriksaan rutin di klinik rawat jalan ginjal. Sebagai catatan,
dia menjalani terapi imunosupresi, dan telah memulai pengobatan GH sejak usia 9 tahun. Dia
telah menjalani tes toleransi glukosa oral (OGTT) normal 18 bulan. Dia hanya melaporkan
riwayat polidipsia dalam beberapa minggu terakhir, di mana dia telah meminum minuman manis
dalam jumlah besar. Pada pemeriksaan, dia kelebihan berat badan (indeks massa tubuh (BMI):
30,3 kg/m22; BMI SDS: 2,62), dan takikardi dengan detak jantung 100 bpm tetapi pengisian
kapiler normal dan tekanan darah 121/69 mmHg.
Assesmen
Tatalaksana
Rekomendasi pengobatan
Untuk mengelola diabetesnya, dokter merekomendasikan agar pasien memulai dengan
Metformin 500 mg sekali sehari sebagai tambahan untuk memulai modifikasi gaya hidup. Dosis
ini dapat ditingkatkan menjadi dosis dua kali sehari sesuai kebutuhan atau sesuai toleransi setiap
1-2 minggu dengan dosis maksimum 2 gram setiap hari. Dalam penatalaksanaan diabetes untuk
pasien ini, obat-obatan yang dapat menyebabkan berat badan pasien bertambah harus dihindari.
Tekanan darah pasien harus dikelola dengan ACE Inhibitor seperti Lisinopril 10 mg
setiap hari. Dosis sekali sehari akan menjadi ideal dan pilihan ACE-inhibitor harus terkait
dengan harga untuk pasien karena sebagian besar ACE inhibitor menunjukkan profil yang
serupa. Hidroklorotiazid dapat ditambahkan untuk kontrol tambahan dan banyak sediaan tersedia
sebagai kombinasi penghambat ACE dan diuretik tiazid. Beta-blocker tidak dianjurkan pada saat
ini dalam terapi karena menutupi hipoglikemia yang mungkin menyertai rejimen diabetes baru.
Terapi obat juga dianjurkan untuk pasien ini untuk mengontrol kolesterol karena nilainya
di atas 130. Penurunan LDL menjadi 99 dari 134 adalah penurunan 26,11%. Dalam
perbandingan mengevaluasi beberapa uji coba dengan titik akhir untuk mengurangi risiko
penyakit kardiovaskular pada pasien dengan diabetes, Simvastatin tampaknya telah menunjukkan
manfaat paling besar dalam studi 45-DM di mana dosis antara 20 dan 40mg setiap hari
menunjukkan penurunan risiko absolut sebesar 42,5% dan pengurangan LDL. dari 36%.
Simvastatin 20mg setiap hari direkomendasikan sebagai pengobatan awal untuk pasien ini.
Meskipun penderita diabetes rentan terhadap peningkatan pembentukan bekuan darah,
Aspirin setiap hari tidak dianjurkan pada saat ini dalam terapi untuk pasien khusus ini. Dia tidak
berisiko tinggi dan tidak memiliki bukti CHF atau pembuluh darah perifer
Parameter Monitoring
1) Penggunaan metformin memerlukan pemantauan rutin tes fungsi hati dan kreatinin serum.
Urin juga harus dipantau untuk glukosa dan keton.
2) Terapi ACE inhibitor memerlukan pemantauan kadar elektrolit (kalium, khususnya), tekanan
darah, fungsi ginjal, dan BUN
3) Penggunaan simvastatin memerlukan pemantauan LFT, serta Kreatinin Kinase, yang
merupakan indikasi miopati yang terkait dengan pengobatan.
4) Perubahan berat badan harus dipantau untuk menilai perlunya perawatan yang lebih agresif
atau pembatasan diet.
Pantau asupan Karbohidrat dan lemak. Total lemak harus kurang dari 7% dari total kalori.
5) Level Target:
- AIC Kurang dari 7% Pantau setiap 2-3 bulan. setiap kunjungan rutin
- Tekanan darah → Kurang dari 130/80 Pantau setiap kunjungan rutin
- LDL Kurang dari 100 Penilaian lipid dapat diulang setiap 1-2 tahun
6) Tes rutin harus dilakukan untuk mengevaluasi kemanjuran terapi serta memantau
perkembangan diabetes untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
Pemeriksaan mata setiap tahun
Kreatinin serum setidaknya setiap tahun
Pemeriksaan kaki Skrining untuk neuropati
Konseling Pasien
1) Untuk mengurangi efek samping GI, minum metformin dengan makanan.
2) Hindari minum alkohol. Selain kontribusinya terhadap hiperglikemia, alkohol memiliki
interaksi negatif terhadap obat Metformin dan Simvastatin yang dapat menyebabkan
toksisitas hati.
3) Untuk mencapai pengendalian diabetes yang memadai, modifikasi gaya hidup merupakan
bagian penting dari terapi. Pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan penurunan berat
badan secara bertahap akan lebih bermanfaat daripada minum obat saja.
4) Olahraga harus mencakup aktivitas aerobik, seperti berenang, berjalan, atau berlari, minimal
3 hari setiap minggu.
(Singla dan Jaspreet, 2021)
KASUS 4 : Kasus diabetes melitus tipe 2 dan insulinoma
Seorang pria keturunan campuran menikah berusia 54 tahun dan ayah dari empat anak,
bekerja di industri konstruksi, didiagnosis bersamaan dengan diabetes mellitus tipe 2 dan
hipertensi 8 tahun sebelum masuk. Dia juga memiliki riwayat keluarga yang signifikan dengan
diabetes melitus tipe 2, dengan ayah dan dua saudara laki-lakinya yang terkena, semuanya
meninggal, masing-masing menderita komplikasi gagal jantung iskemik dan gagal ginjal.
Namun, tidak ada saudara kandung yang memiliki riwayat masuk untuk hipoglikemia berulang.
Ayah dari subjek indeks meninggal pada usia 70 tahun, mengalami kardiomiopati iskemik, yang
memerlukan operasi cangkok bypass arteri koroner sebelum kejadian ini, sedangkan dua saudara
laki-lakinya meninggal karena nefropati diabetik pada usia 48 dan 50 tahun. Tambahan, tidak
ada riwayat keluarga yang menunjukkan penyakit hipofisis atau hiperparatiroidisme. Antara
tahun 2010 dan 2017, pasien kami datang beberapa kali ke dokter perawatan primernya dengan
pengukuran glukosa darah lebih dari 26 mmol/L. Pada setiap kunjungan ini, dia menerima
insulin manusia kerja singkat dan cairan infus. Presentasi terakhirnya ke fasilitas perawatan
kesehatan primer dengan hiperglikemia terjadi 12 bulan sebelum masuk.
Presentasinya saat ini pada 27 Juni 2018, melibatkan rujukan ke rumah sakit perawatan
sekundernya, tanpa gejala selama setahun, tanpa episode hiperglikemia kecuali kenaikan berat
badan 14 kg dalam 3 bulan sebelumnya. Menurut keluarganya, ia menderita kebingungan dan
berjalan sambil tidur, terutama pada dini hari antara pukul 03.00 dan 08.00. Gejala-gejala ini
terjadi hampir setiap hari, terkait dengan kelemahan tubuh secara umum dan berkeringat, yang
terlihat setelah setiap episode. Keluarganya melaporkan agresi dan kebingungan fisik dan verbal.
Selama episode tambahan di rumah sakit, dia tercatat agresif dengan staf perawat dan sesama
pasien dan ditemukan hipoglikemik pada beberapa kesempatan. Pasien kami tampaknya
mengembangkan gejala yang menunjukkan ketidaksadaran hipoglikemik, karena ia
bermanifestasi tanpa gejala simpatik, meskipun konsentrasi glukosa di bawah 1,8 mmol/L (3,8–
5,5 mmol/L). Selama pengakuan ini, ia menunjukkan episode puasa berulang dan hipoglikemia
pasca-prandial, yang diukur antara 1,2 dan 3,0 mmol/L.
Kemungkinan kejang nonkonvulsif dipertimbangkan; dengan demikian pemindaian otak
computed tomography (CT) diperintahkan dan ditemukan normal, sedangkan
elektroensefalogram tidak tersedia di fasilitas perawatan sekunder. Dia dipindahkan ke rumah
sakit tersier untuk evaluasi oleh layanan endokrin.
Saat masuk, obat kronisnya adalah metformin, enalapril, hidroklorotiazid, dan
simvastatin.Selain metformin, dia tidak mengonsumsi agen hipoglikemik oral atau insulin dan
menolak menggunakan agen lain. Catatan apotek gagal mengidentifikasi bahwa dia telah
menerima sulfonilurea atau insulin. Pengukuran glukosa bangsal dua jam menunjukkan episode
hipoglikemik berulang mulai dari 1,2 hingga 3,4 mmol/ L, terjadi antara pukul 03:00 dan 08:00.
Pemeriksaan klinis gagal mengidentifikasi tempat penyuntikan insulin atau bukti kerusakan
organ target yang berkaitan dengan diabetes, hipertensi, atau penyakit kronis lainnya. Secara
khusus, dia tidak memiliki indikasi melanoderma.
Seorang pasien Ny. G (65 thn, BB 70kg, TB 155 cm) dibawa kerumah sakit karena pingsan. Ny.G
didiagnosa Diabetes Mellitus sejak 12 tahun yg lalu dan sering mengeluh penglihatannya kabur, sering
lapar, gemetar karena dingin. Ny. G memeriksakan kadar gula darahnya 3 hari yang lalu dengan hasil
puasa: 250 mg%, PP : 350 mg%. Ny.G tidak bersedia diterapi dengan insulin dan selama 3 hari ini obat
yang digunakan adalah glucovance 500/5 (3x1), asetosal 80 (1x1). Hasil pemeriksaan darah :KGD 300
mg%, keton total 30 M/L, pH darah 6,9 dan HCO3 12 mEq/L serta osmolaritas 350 mOsm.
A. Data Subjective ( s )
Nama : Ny. G
Umur : 65 tahun
Asetosal 80 (1x1)
B. Objective (O)
PLAN
TUJUAN TERAPI :
1. JANGKA PENDEK
· Mengatasi gejala yaitu sering lapar, sering haus, sering kencing dan terjadinya ketoasidosis.
2. JANGKA PANJANG
· Menjaga KGD normal untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut terutama keparahan
retinopati dan ketoasidosis.
D.SASARAN TERAPI
Meminimalkan gejala
Mencegah komplikasi lebih lanjut
E. SRATEGI TERAPI
a. Terapi Farmakologi
· Insulin : IV insulin 0,1 u/kg/jam, dilanjutkan hingga asidosis mencapai (pH > 7,3
dan HCO3 > 15) ditambahkan hingga 0,05 u/kg/jam.
· Infuse NaCl 0,9 % : Infuse IV 20 ml/kg/jam
· Menghindari makanan yang mengandung lemak dan kolesterol tinggi, seperti daging, produk susu
full cream, kuning telur, mentega.
· Diet, membatasi konsumsi makanan yang mengandung tinggi gula dan karbohidrat, seperti permen,
minuman bersoida, coklat. Sebagai alternative gunakan minuman (susu) yang diformulasikan khusus
untuk penderita Diabetes Mellitus.
· Berolahraga secara rutin, seperti jogging minimal 3x seminggu selama kurang lebih ½ jam.
· Memeriksakan kesehatan mata secara teratur, untuk mengetahui perkembangan retinopati diabetik.
KESIMPULAN
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit yang terdiri dari 2 tipe yaitu diabetes tipe
1 yang berasal dari kerusakan sel beta pankreas sedangkan diabetes tipe 2 disebabkan karena
adanya resistensi dari insulin. Adapun pengobatan yang dapat dilakukan untuk penderita diabetes
melitus yaitu dengan terapi insulin, mengonsumsi obat diabetes, mencoba pengobatan alternatif,
menjalani operasi dan memperbaiki life style (pola hidup sehat) dengan memakan makanan yang
bergizi atau sehat serta berolahraga.
DAFTAR PUSTAKA
DeFronzo, R.A., Ferrannini, E., Groop, L., Henry, R.R., Herman, W.H., Holst, J.J., Hu, F.B.,
Kahn, C.R., Raz, I., Shulman, G.I. and Simonson, D.C., 2015. Type 2 diabetes
mellitus. Nature reviews Disease primers, 1(1), pp.1-22.
Harrington FR., Helen W dan Tafadzwa M., 2015, CASE REPORT Type 2 diabetes presenting
with hyperglycaemic hyperosmolar state in an adolescent renal transplant patient, BMJ
Case Rep Published, doi:10.1136/bcr-2014-207124
Jingwen Jiang, Yi Zou, Zhao Zhu, Ling Li, Shibo Liao, Shuyu Huang, Min Wu., 2022., Fulminant type 1
diabetes mellitus associated with heavy drinking: J Clin Exp Med., Vol. 15., 7.
Kahn, S.E., Cooper, M.E. and Del Prato, S., 2014. Pathophysiology and treatment of type 2
diabetes: perspectives on the past, present, and future. The Lancet, 383(9922), pp.1068-
1083.
Kemenkes RI. 2019. Pedoman Pelayanan Kefarmasian pada Diabetes Melitus. Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.
Kumar, A., dan Sures K., 2021, Diabetes Mellitus: A stitch in time saves Nine Early Diagnosis
and Management minimizes complications- A Case Study, Global Journal of Obesity,
Diabetes, and Metabolic Syndrome, Vol. 8(2), ISSN: 2455-8583.
Muliani, E. L., 2015. Penggunaan obat tradisional oleh penderita diabetes mellitus dan faktor-
faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Rejosari Pekanbaru Tahun 2015.
Jurnal Kesehatan Komunitas. vol. 3(1): 47-52.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia 2021. PB. Perkeni. Jakarta.
Putra, K.N. 2015. Empat pilar penatalaksanaanpasien diabetes mellitus Tipe 2. Majority. vol.
4(9): 8-12.
Saftarina, F. (2021). Case Report: Type 2 Diabetes Mellitus for The Elderly with Less Family
Support. Review of Primary Care Practice and Education (Kajian Praktik Dan
Pendidikan Layanan Primer), 4(2), 22. https://doi.org/10.22146/rpcpe.67181
Sartika, N.H. 2019. Kadar HbA1c pada pasien wanita penderita diabetes mellitus tipe 2 di RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Borneo Journal Of Medical Laboratory Technology.
vol. 2(1): 97-101.
Singbo, J., Michael, L., dan Ian, L. R., 2021, Challenge of coexisting type 2 diabetes mellitus
and insulinoma: a case report, Journal Of Medical Case Reports.
Singla,M., and Jaspreet, K. S., 2021. Diabetes Mellitus of Pituitary Origin: A Case Report,
Touch Medical Media. Hal: 68-70