Anda di halaman 1dari 29

TUGAS FARMAKOTERAPI 3

“RIVIEW KASUS DIABETES MELITUS”

Dosen Pengampuh : Apt. Fadhliyah Malik, S. Farm., M. Farm

Oleh:

Kelompok 3
Kelas C
NUR FAUZIYAH MR O1A119111
PUTRI TRI WANDA O1A119116
RENIETA SALFI O1A119119
RIZKITA NUR AINUN O1A119121
SUCI RAMADHANI SAFITRI O1A119130
ANGELA AL LAILA PUTRI O1A119143
ASHQALANI TIRTA GANDA O1A119145
CITRA PEBRIYANTI O1A119148
EBI FEBRIANTI O1A119152
HESRI SEPTI ASTUTI O1A119158

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
“RIVIEW KASUS DIABETES MELITUS”

PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan
gangguan metabolism karbohidrat, lipid, dan protein sebagai akibat infusiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh
sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel
tubuh terhadap insulin. Muliani (2015) menyatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang
menduduki rangking keempat dari jumlah penyandang diabetes terbanyak setelah Amerika
Serikat, China, dan India. Selain itu, penderita DM di Indonesia diperkirakan akan meningkat
pesat hingga 2-3 kali lipat pada tahun 2030 dibanding tahun 2000. Ditambah penjelasan data
WHO (World Health Organization) bahwa, dunia kini didiami oleh 171 juta penderita DM
(2000) dan akan meningkat 2 kali lipat, 366 juta pada tahun 2030. Pusat Data dan Informasi
Kementrian Kesehatan RI juga menyebutkan bahwa estimasi terakhir IDF (International
Diabetes Federation) pada tahun 2035 terdapat 592 juta orang yang hidup dengan diabetes di
dunia.
Diabetes memiliki 2 tipe yakni diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes mellitus tipe 1
(juvenile diabetes) ditandai dengan kerusakan sel beta yang disebabkan oleh proses autoimun,
biasanya menyebabkan defisiensi insulin absolut. Tipe 1 biasanya ditandai dengan adanya
dekarboksilase asam anti-glutamat, sel islet atau antibodi insulin yang mengidentifikasi proses
autoimun yang menyebabkan kerusakan sel beta. Pada akhirnya, semua pasien diabetes tipe 1
akan membutuhkan terapi insulin untuk menjaga kadar gula darah normal (Baynes, 2015).
Diabetes mellitus tipe 2 (T2DM) ditandai dengan disregulasi metabolisme karbohidrat, lipid dan
protein, dan hasil dari gangguan sekresi insulin, resistensi insulin atau kombinasi keduanya. Dari
tiga jenis utama diabetes, T2DM jauh lebih umum (terhitung lebih dari 90% dari semua kasus)
daripada diabetes mellitus tipe 1 (T1DM) atau diabetes gestasional (DeFronzo dkk, 2015).
Data dari International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan bahwa 1 dari 12 orang di
dunia menderita penyakit DM, dan rata-rata penderita DM tidak mengetahui bahwa dirinya
menderita DM, penderita baru mengetahui kondisinya ketika penyakit sudah berjalan lama
dengan komplikasi yang sangat jelas terlihat (Sartika, 2019).
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi dari penyakit diabetes yaitu gabungan antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Etiologi lain dari diabetes yaitu sekresi atau kerja insulin, abnormalitas metabolik yang
menganggu sekresi insulin, abnormalitas mitokondria, dan sekelompok kondisi lain yang
menganggu toleransi glukosa. Diabetes mellitus dapat muncul akibat penyakit eksokrin pankreas
ketika terjadi kerusakan pada mayoritas islet dari pankreas. Hormon yang bekerja sebagai
antagonis insulin juga dapat menyebabkan diabetes (Putra, 2015).
Diabetes Tipe 1 ditandai dengan penghancuran autoimun sel penghasil insulin di pankreas
oleh sel T CD4+ dan CD8+ dan makrofag menginfiltrasi pulau. Beberapa ciri yang mencirikan
diabetes melitus tipe 1 sebagai penyakit autoimun diantaranya kehadiran sel imunokompeten dan
aksesori di pulau pankreas yang disusupi, asosiasi kerentanan terhadap penyakit dengan gen
kelas II (respon imun) dari kompleks histokompatibilitas utama (MHC; antigen leukosit manusia
HLA), adanya autoantibodi spesifik sel islet, perubahan imunoregulasi yang diperantarai sel T,
khususnya pada kompartemen sel T CD4+, keterlibatan sel monokin dan TH1 yang
memproduksi interleukin dalam proses penyakit, respon imunoterapi dan sering terjadinya
penyakit autoimun spesifik organ lain pada individu yang terkena atau anggota keluarga
mereka. Sekitar 85% pasien memiliki antibodi sel islet yang bersirkulasi, dan mayoritas juga
memiliki antibodi anti-insulin yang dapat dideteksi sebelum menerima terapi insulin. Sebagian
besar antibodi sel pulau diarahkan melawan asam glutamat dekarboksilase (GAD) di dalam sel B
pankreas. Penghancuran autoimun sel β pankreas, menyebabkan defisiensi sekresi insulin yang
mengakibatkan gangguan metabolisme yang terkait dengan T1DM. Selain hilangnya sekresi
insulin, fungsi sel α pankreas juga abnormal dan terjadi sekresi glukagon yang berlebihan pada
pasien T1DM. Biasanya, hiperglikemia menyebabkan penurunan sekresi glukagon, namun pada
pasien dengan T1DM, sekresi glukagon tidak ditekan oleh hiperglikemia. Tingkat glukagon yang
meningkat secara tidak tepat memperburuk cacat metabolisme akibat defisiensi insulin.
Meskipun defisiensi insulin merupakan defek utama pada T1DM, ada juga defek dalam
pemberian insulin. Kekurangan insulin menyebabkan lipolisis yang tidak terkontrol dan
peningkatan kadar asam lemak bebas dalam plasma, yang menekan metabolisme glukosa di
jaringan perifer seperti otot rangka. Hal ini mengganggu pemanfaatan glukosa dan defisiensi
insulin juga menurunkan ekspresi sejumlah gen yang diperlukan jaringan target untuk merespons
insulin secara normal seperti glukokinase di hati dan kelas GLUT 4 pengangkut glukosa di
jaringan adiposa menjelaskan bahwa gangguan metabolisme utama, yang mengakibatkan dari
defisiensi insulin pada T1DM adalah gangguan metabolisme glukosa, lipid dan protein (Baynes,
2015).
Individu dengan T2DM memiliki insulin yang terdeteksi, tidak seperti pasien dengan
T1DM. Berdasarkan uji toleransi glukosa oral elemen penting dari T2DM dapat dibagi menjadi
empat kelompok yang berbeda diantaranya mereka dengan toleransi glukosa normal, diabetes
kimiawi (disebut gangguan toleransi glukosa), diabetes dengan hiperglikemia puasa minimal
(puasa glukosa plasma kurang dari 140 mg/dl), diabetes melitus yang berhubungan dengan
hiperglikemia puasa (glukosa plasma puasa lebih besar dari 140mg/dl). Individu dengan
gangguan toleransi glukosa mengalami hiperglikemia meskipun memiliki kadar insulin plasma
tertinggi, yang menunjukkan bahwa mereka resisten terhadap aksi insulin. Dalam perkembangan
dari gangguan toleransi glukosa menjadi diabetes mellitus, tingkat insulin menurun yang
menunjukkan bahwa pasien dengan T2DM mengalami penurunan sekresi insulin. Resistensi
insulin dan defisiensi insulin umum terjadi pada rata-rata pasien T2DM. Resistensi insulin adalah
penyebab utama T2DM, namun beberapa peneliti berpendapat bahwa defisiensi insulin adalah
penyebab utama karena resistensi insulin tingkat sedang tidak cukup untuk menyebabkan T2DM.
Sebagian besar pasien dengan bentuk umum T2DM memiliki kedua kondisi tersebut (Kahn dkk,
2014).

TATALAKSANA PENGOBATAN DIABETES MELITUS


Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup pasien diabetes.
Tujuan penatalaksanaan meliputi:
1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan DM, memperbaiki kualitas hidup, dan
mengurangi risiko komplikasi akut.
2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan makroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM.
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah,
berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan pasien secara komprehensif. Penatalaksanaan
diabetes dapat dilakukan dengan pendekatan tanpa obat (terapi non farmakologi) dan pendekatan
dengan obat (terapi farmakologi).
a. Terapi Non Farmakologi
Penatalaksanaan non farmakologis DM yakni dimulai dengan menerapkan pola hidup
sehat, meliputi:
- Pengaturan pola makan sehat
Diet yang baik merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaan diabetes. Diet yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat,
protein dan lemak, sesuai dengan kecukupan gizi yang baik.
Prinsip pengaturan makan pada pasien DM, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai
dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pasien DM perlu diberikan
penekanan mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah kandungan
kalori. Adapun komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
o Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama
karbohidrat yang berserat tinggi.
o Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak
diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
o Protein
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi
0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya
bernilai biologik tinggi; Pasien DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan
protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam
tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
o Natrium
Anjuran asupan natrium untuk pasien DM sama dengan orang sehat yaitu < 1500
mg per hari.
o Serat
Pasien DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacang-kacangan, buah dan
sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat. Jumlah konsumsi serat yang
disarankan adalah 20-35 gram per hari.
- Melakukan kegiatan jasmani dan latihan jasmani yang teratur
Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-5
kali perminggu selama sekitar 30-45 menit. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan
glukosa darah sebelum latihan jasmani. Apabila kadar glukosa darah <100 mg/dL pasien
harus mengkonsumsi karbohidrat terlebih dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk
menunda latihan jasmani.
Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan
memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.
Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik dengan
intensitas sedang (50-70% denyut jantung maksimal) seperti: jalan cepat, bersepeda
santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan
status kesegaran jasmani.
Intensitas latihan jasmani pada pasien DM yang relatif sehat dapat ditingkatkan,
sedangkan pada pasien DM yang disertai komplikasi intesitas latihan perlu dikurangi dan
disesuaikan dengan masing-masing individu.
- Melakukan Pemantauan Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan hasil
pemantauan untuk menilai keberhasilan pengobatan.

b. Terapi Farmakologi
1. Obat Antihiperglikemia Oral
Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 6 golongan:
a) Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)
o Sulfonilurea
Obat golongan ini mempunyai efek utamanmeningkatkan sekresi insulin oleh sel
beta pankreas. Efek samping utama adalah
hipoglikemia dan peningkatan berat badan. Contoh obat dalam golongan ini
adalah glibenclamide, glipizide, glimepiride, gliquidone dan gliclazide.
o Glinid
Glinid merupakan golongan obat dengan hasil akhir berupa penekanan pada
peningkatan sekresi insulin fase pertama.Golongan ini terdiri dari 2 macam obat
yaitu Repaglinid dan Nateglinid. Obat ini diabsorbsi dengan cepat setelah
pemberian secara oral dan diekskresi secara cepat melalui hati. Obat ini dapat
mengatasi hiperglikemia post prandial.Efek samping yang mungkin terjadi adalah
hipoglikemia.

b) Peningkat Sensitivitas terhadap Insulin (Insulin Sensitizers)


o Metformin
Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati
(glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer.
Metformin merupakan pilihan pertama pada sebagian besar kasus DM tipe 2.
Adapun efek samping yang mungkin terjadi adalah gangguan saluran pencernaan
seperti dispepsia, diare, dan lain-lain.
o Tiazolidinedion (TZD)
Tiazolidinedion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated
Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di
sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi
insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga
meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer. Obat yang masuk dalam
golongan ini adalah pioglitazone.

c) Penghambat Alfa Glukosidase


Penghambat Alfa Glukosidase Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa
glukosidase di saluran pencernaan sehingga menghambat absorpsi glukosa dalam
usus halus. Efek samping yang mungkin terjadi berupa bloating (penumpukan gas
dalam usus) sehingga sering menimbulkan flatus. Guna mengurangi efek samping
pada awalnya dapat diberikan dengan dosis kecil. Contoh obat golongan ini adalah
acarbose.

d) Penghambat enzim Dipeptidil Peptidase-4 (DPP-4)


Penghambat DPP-4 akan menghambat lokasi pengikatan pada DPP-4 sehingga akan
mencegah inaktivasi dari glucagon-like peptide (GLP)-1. Proses inhibisi ini akan
mempertahankan kadar GLP-1 dan glucose-dependent insulinotropic polypeptide
(GIP) dalam bentuk aktif di sirkulasi darah, sehingga dapat memperbaiki toleransi
glukosa, meningkatkan respons insulin, dan mengurangi sekresi glukagon.
Penghambat DPP-4 merupakan agen oral, dan yang termasuk dalam golongan ini
adalah vildagliptin, linagliptin, sitagliptin, saxagliptin dan alogliptin.

e) Penghambat enzim Sodium Glucose co-Transporter 2 (SGLT-2)


Obat ini bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi glukosa di tubulus proksimal
dan meningkatkan ekskresi glukosa melalui urin. Obat golongan ini mempunyai
manfaat untuk menurunkan berat badan dan tekanan darah. Efek samping yang dapat
terjadi akibat pemberian obat ini adalah infeksi saluran kencing dan genital. Pada
pasien DM dengan gangguan fungsi ginjal perlu dilakukan penyesuaian dosis, dan
tidak diperkenankan menggunakan obat ini bila LFG kurang dari 45 ml/menit.

Berikut ini merupakan bagian dari tabel lampiran daftar obat Antihiperglikemik Oral
(OAO).
2. Terapi Insulin
- Insulin digunakan pada keadaan :
o HbA1c saat diperiksa ≥ 7.5% dan sudah menggunakan satu atau dua obat
antidiabetes
o HbA1c saat diperiksa > 9%
o Penurunan berat badan yang cepat
o Hiperglikemia berat yang disertai ketosis
o Krisis hiperglikemia
o Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
o Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke)
o Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan
o Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
o Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO
o Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

- Lama Kerja Insulin


o Insulin kerja pendek/cepat (insulin terkait dengan makan): lama kerja 4-8 jam,
digunakan untuk mengendalikan glukosa darah sesudah makan, dan diberikan
sesaat sebelum makan.
o Insulin kerja menengah: lama kerja 8-12 jam, diabsorpsi lebih lambat, dan
menirukan pola sekresi insulin endogen (insulin puasa). Digunakan untuk
mengendalikan glukosa darah basal (saat tidak makan/puasa).
o Insulin kerja panjang: lama kerja 12-24 jam, diabsorpsi lebih lambat,
mengendalikan glukosa darah basal. Digunakan 1 kali (malam hari sebelum tidur)
atau 2 kali (pagi dan malam hari).
o Insulin campuran (premixed), yang merupakan campuran antara insulin kerja
pendek dan kerja menengah (human insulin) atau insulin kerja cepat dan kerja
menengah (insulin analog). Insulin campuran tersedia dalam perbandingan tetap
antara insulin kerja pendek atau cepat dan menengah.
Pada tabel lampiran berikut ini merupakan berbagai jenis sediaan insulin, sebagai berikut.

3. Terapi Kombinasi
Pengaturan diet dan kegiatan jasmani merupakan hal yang utama dalam penatalaksanaan
DM, namun bila diperlukan dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian obat
antihiperglikemia oral tunggal atau kombinasi sejak dini. Pemberian obat
antihiperglikemia oral maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Terapi
kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose
combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang
berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai
dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat
antihiperglikemia dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis dan
insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, maka dapat diberikan kombinasi tiga obat
oral. terapi dapat diberikan kombinasi tiga obat anti-hiperglikemia oral.
Kombinasi obat antihiperglikemia oral dengan insulin dimulai dengan pemberian insulin
basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang). Insulin kerja menengah harus
diberikan menjelang tidur, sedangkan insulin kerja panjang dapat diberikan sejak sore
sampai sebelum tidur, atau diberikan pada pagi hari sesuai dengan kenyamanan pasien.
Pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang
baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin basal untuk kombinasi
adalah 0,1-0,2 unit/kgbb. kemudian dilakukan evaluasi dengan mengukur kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya.
(Kemenkes RI, 2019; Perkeni, 2021).

LAPORAN KASUS
KASUS 1: Kasus diabetes melitus tipe 2 pada keadaan hiperglikemia hyperosmolar pada
pasien remaja transplantasi ginjal
Seorang anak laki-laki berusia 16 tahun dengan BBS datang dengan temuan insidental
kadar glukosa darah tinggi pada pemeriksaan rutin di klinik rawat jalan ginjal. Sebagai catatan,
dia menjalani terapi imunosupresi, dan telah memulai pengobatan GH sejak usia 9 tahun. Dia
telah menjalani tes toleransi glukosa oral (OGTT) normal 18 bulan. Dia hanya melaporkan
riwayat polidipsia dalam beberapa minggu terakhir, di mana dia telah meminum minuman manis
dalam jumlah besar. Pada pemeriksaan, dia kelebihan berat badan (indeks massa tubuh (BMI):
30,3 kg/m22; BMI SDS: 2,62), dan takikardi dengan detak jantung 100 bpm tetapi pengisian
kapiler normal dan tekanan darah 121/69 mmHg.

1. Data subjektif (S)


2. Data objektif (O)

Berikut tabel hasil pemeriksaan darah pasien


3. Analisis, interpretasi data (A)
Pasien tampak sehat, takikardi ringan dengan selaput lendir lembab dan buang air
kecil. Namun fungsi ginjalnya terganggu, dan dengan latar belakang gagal ginjal, diputuskan
untuk berhati-hati dengan resusitasi cairannya.

4. Penyelesaian masalah (P)


a. Terapi farmakologi:
Untuk hiperglikemik hiperosmolar (HHS) dan DM tipe 2 pada pasien terapi awalnya
yaitu rehidrasi dengan pemberian resusitasi cairan salin normal 10 mL/kg selama 1 jam ,
ditambah cairan rumatan secara intravena. Setelah pengobatan awal 2x sehari, kemudian
diubah menjadi monoterapi glargine setiap hari. Setelah 8 bulan perbaikan HbA1c
menggunakan insulin, kemudian pasien beralih ke penggunaan obat oral yaitu metformin
jangka panjang.
b. Terapi nonfarmakologi:
- Menerapkan gaya hidup sehat
- Mengatur keseimbangan cairan tubuh agar tidak dehidrasi
- Mengontrol pola makan sehari-hari
- Menurunkan berat badan

5. Monitoring dan evaluasi


Anak-anak dengan sindrom Bardet-Biedl cenderung terkena diabetes melitus tipe 2
dan perawatan harus dilakukan dalam mengelola pasien ini untuk meminimalkan faktor
risiko hiperglikemia dan resistensi insulin, dan untuk skrining diabetes. Memonitoring
manajemen yang tepat untuk kontrol glikemik pada anak-anak dengan transplantasi ginjal
dan pertimbangan pengobatan yang hati-hati dapat mempertahankan fungsi ginjal.
(Harrington dkk., 2015)

KASUS 2: Kasus diabetes melitus tipe 2 pada lansia


Ny. R, 65 tahun datang ke Puskesmas B dengan keluhan lemas saat beraktivitas disertai
lemas sejak 1 minggu yang lalu. Pasien didiagnosis menderita Diabetes Mellitus sejak 2 tahun
yang lalu, namun pasien mengaku terkadang pergi ke puskesmas setiap 2 atau 3 bulan sekali
tergantung keluhannya. Menurut pengakuan pasien, awalnya keluhan lelah dirasakan jarang
namun lama kelamaan semakin sering dan muncul saat beraktivitas ringan dan dirasakan terus
menerus. Keluhan tidak disertai pandangan kabur atau mati rasa. Pasien mengaku jika obat dari
Puskesmas habis, keluhan berupa sering haus, sering buang air kecil, lapar, dan lelah dirasakan
kembali yang menandakan gula darah pasien naik, dan pasien mengaku gula darah tertinggi
mencapai 600 mg/dL. Selama berobat Ny. R tidak hanya berobat ke puskesmas tetapi juga sering
berobat ke bidan dan paramedis di dekat rumahnya.

1. Data Subjektif (S)


Nama: Ny R
Gejala: Ny.R mengaku karena keluhan lemas. Pasien mengaku jika obat dari Puskesmas habis,
keluhan berupa sering haus, sering buang air kecil, lapar, dan lelah dirasakan kembali yang
menandakan gula darah pasien naik, dan pasien mengaku gula darah tertinggi mencapai 600
mg/dL.
Riwayat pengobatan: minum obat metformin dan glimepiride jika baru berobat ke tenaga
kesehatan saat ada keluhan.

2. Data Objektif (O)


Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum: tampak sakit sedang; kesadaran: compos
mentis; tekanan darah: 120/80 mmHg; denyut nadi: 80 x/menit; pernapasan: 20x/menit; suhu
tubuh: 36,4 °C; berat: 58 kg; tinggi: 155 cm; BMI pasien: 24,8 status gizi kelebihan berat badan.
Gula darah saat ini 300 mg/dl. Ny R pernah cek darah di laboratorium klinik mitra biolab pada
tanggal 25 Agustus 2020 dengan hasil HbA1c 8,7%; Profil lipid: Kolesterol 203 mg/dL,
Trigliserida 137mg/dL, HDL 73 mg/dL, LDL 132 mg/dL. Urea fungsi ginjal 29 mg/dL, dan
Kreatinin 0,64 mg/dL.

3. Analisis Interpretasi Data (A)


Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik dan laboratorium
yang dilakukan baik di Puskesmas maupun saat kunjungan rumah. Meskipun dia menyangkal
adanya gejala klasik diabetes, gula darah saat ini 300 mg/dl dan faktor risiko kelebihan berat
badan, dengan pola makan yang tidak terkontrol dan aktivitas fisik mendukung diagnosis
diabetes melitus tipe 2 (T2DM).
4. Penyelesaian Masalah (P)
Pada kasus ini dilakukan salah satu penatalaksanaan DMT2 yang dimana DMT2 ini
adalah aktivitas fisik. Aktivitas fisik, terutama aktivitas multikomponen (aerobik, resistensi,
fleksibilitas, dan keseimbangan), telah terbukti meningkatkan tidak hanya kontrol glukosa, tetapi
juga kemandirian fungsional, harga diri, dan kualitas hidup pada penderita diabetes senior.
Latihan resistensi untuk meningkatkan massa otot adalah bagian penting dari pencegahan dan
pengobatan T2DM pada orang tua, dan merupakan pilihan pengobatan yang lebih disukai untuk
orang yang rapuh. Aktivitas intensitas sedang hingga tinggi, bertentangan dengan pendapat
umum, lebih efektif untuk kontrol glikemik dan umumnya aman untuk lansia terapi pada pasien
kasus ini harus dimulai obat antidiabetes dosis rendah dengan risiko rendah hipoglikemia
(terutama penghambat metformin dan dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4I)), dengan peningkatan
dosis secara bertahap dan pemantauan respons setelah setiap peningkatan. Obat-obatan yang
terkait dengan risiko tinggi hipoglikemia seperti sulfonylurea dengan insulin, terutama
postprandial dan kombinasi, harus dihindari sebisa mungkin. Beberapa penelitian telah
membuktikan keamanannya dalam pengobatan orang tua. Manfaatnyatermasuk keefektifannya
dalam menurunkan kadar HbA1c, positifefek pada massa tubuh dan profil lipid, dan fakta bahwa
metformin adalah obat yang memperbaiki prognosis.
(Saftarina, 2021)

KASUS 3: Kasus diabetes melitus organ hipofisis


A adalah seorang wanita berusia 35 tahun dengan diabetes tipe 2 yang pertama kali
didiagnosis dua tahun lalu. Masalah medis lainnya termasuk obesitas dan hipotiroidisme. Dia
memiliki riwayat penggunaan alkohol berat tetapi berhenti minum alkohol 2 tahun yang lalu. Dia
hadir sekarang untuk tindak lanjut rutin dan tercatat memiliki tekanan darah 168/100 mmHg. Dia
asimtomatik. Pemeriksaan fisik menunjukkan tinggi 5'8" (172cm), berat 243 pound (110kg),
tekanan darah 160/100 mmHg, dan denyut nadi teratur 84 denyut per menit. Tidak ada retinopati
atau tiromegali. Tidak ada bukti klinis gagal jantung kongestif atau penyakit pembuluh darah
perifer.

Evaluasi laboratorium mengungkapkan trace protein pada urinalisis, kadar kolesterol


low-density lipoprotein (LDL) 134 mg/dL, kadar kolesterol high-density lipoprotein (HDL)
35mg/dl, kadar trigliserida 460mg/dL dan kolesterol total kadar 240 mg/dl, nitrogen urea darah
14 mg/dl, kreatinin serum 1,2 mg/dl, glukosa serum acak 192 mg/dl, kadar hemoglobin
glikosilasi 9,5%, elektrolit normal, dan kadar hormon perangsang tiroid normal . Pengumpulan
urin 24 jam mengungkapkan tingkat ekskresi albumin urin 250mg setiap hari.

Subjektif dan Objektif

1) Pasien tidak menunjukkan gejala


2) PMH penyalahgunaan alkohol (berhenti 2 tahun lalu), obesitas, dan hipotiroidisme
3) Tanda-tanda vital dan Nilai Lab terkait:
 Tekanan Darah : 168/100
 Nadi teratur : 84 bpm
 Kreatinin serum: 1,2 mg/dL
Klirens Kreatinin dihitung pada 105,6ml/menit atau 65,7mL/menit (Berdasarkan ABW
dan IBW, masing-masing)
 BMI dihitung menjadi 36,94kg/m²
Kemungkinan hubungannya dengan hipotiroidisme - Ekskresi albumin 250mg/hari
(tingkat normal antara 50 dan 80mg/24 jam)
 LDL: 134 mg/dL
4) Tes Diagnostik: HgA1C sebesar 9,5%

Assesmen

1) Komplikasi Terkait Tekanan darah tinggi


 Dislipidemia
 Nefropati bermanifestasi sebagai Faktor Risiko proteinuria
2) Faktor Resiko
 Obesitas (BMI lebih besar dari 25)
 A1C >/= 5,7%
3) Tujuan Terapi
 Kontrol glikemik yang ketat Kurangi A1C hingga kurang dari 7% tanpa menyebabkan
hipoglikemia
 Pencegahan penyakit kardiovaskular.
 Tujuan tekanan darah untuk pasien diabetes adalah <130/<80
 Mengurangi risiko CVD dengan mempertahankan kadar kolesterol yang sehat. Tujuan
LDL harus
 <100 Tidak ada obat saat ini yang disebutkan. Ada kebutuhan terapi untuk menurunkan
A1C dan mengelola diabetes pasien dan kondisi terkait.

Tatalaksana

1) Tes fungsi hati


2) Ulangi tekanan darah untuk memastikan hipertensi
3) CBC untuk mengesampingkan dan memantau infeksi.
Diperlukan anamnesis yang lebih rinci
- Daftar obat-obatan (terapi saat ini dan yang gagal)
- Sejarah keluarga
- Imunisasi sebelumnya
- Kepatuhan Regimen Pengobatan dan hambatan kepatuhan

Rekomendasi pengobatan
Untuk mengelola diabetesnya, dokter merekomendasikan agar pasien memulai dengan
Metformin 500 mg sekali sehari sebagai tambahan untuk memulai modifikasi gaya hidup. Dosis
ini dapat ditingkatkan menjadi dosis dua kali sehari sesuai kebutuhan atau sesuai toleransi setiap
1-2 minggu dengan dosis maksimum 2 gram setiap hari. Dalam penatalaksanaan diabetes untuk
pasien ini, obat-obatan yang dapat menyebabkan berat badan pasien bertambah harus dihindari.
Tekanan darah pasien harus dikelola dengan ACE Inhibitor seperti Lisinopril 10 mg
setiap hari. Dosis sekali sehari akan menjadi ideal dan pilihan ACE-inhibitor harus terkait
dengan harga untuk pasien karena sebagian besar ACE inhibitor menunjukkan profil yang
serupa. Hidroklorotiazid dapat ditambahkan untuk kontrol tambahan dan banyak sediaan tersedia
sebagai kombinasi penghambat ACE dan diuretik tiazid. Beta-blocker tidak dianjurkan pada saat
ini dalam terapi karena menutupi hipoglikemia yang mungkin menyertai rejimen diabetes baru.
Terapi obat juga dianjurkan untuk pasien ini untuk mengontrol kolesterol karena nilainya
di atas 130. Penurunan LDL menjadi 99 dari 134 adalah penurunan 26,11%. Dalam
perbandingan mengevaluasi beberapa uji coba dengan titik akhir untuk mengurangi risiko
penyakit kardiovaskular pada pasien dengan diabetes, Simvastatin tampaknya telah menunjukkan
manfaat paling besar dalam studi 45-DM di mana dosis antara 20 dan 40mg setiap hari
menunjukkan penurunan risiko absolut sebesar 42,5% dan pengurangan LDL. dari 36%.
Simvastatin 20mg setiap hari direkomendasikan sebagai pengobatan awal untuk pasien ini.
Meskipun penderita diabetes rentan terhadap peningkatan pembentukan bekuan darah,
Aspirin setiap hari tidak dianjurkan pada saat ini dalam terapi untuk pasien khusus ini. Dia tidak
berisiko tinggi dan tidak memiliki bukti CHF atau pembuluh darah perifer

Parameter Monitoring
1) Penggunaan metformin memerlukan pemantauan rutin tes fungsi hati dan kreatinin serum.
Urin juga harus dipantau untuk glukosa dan keton.
2) Terapi ACE inhibitor memerlukan pemantauan kadar elektrolit (kalium, khususnya), tekanan
darah, fungsi ginjal, dan BUN
3) Penggunaan simvastatin memerlukan pemantauan LFT, serta Kreatinin Kinase, yang
merupakan indikasi miopati yang terkait dengan pengobatan.
4) Perubahan berat badan harus dipantau untuk menilai perlunya perawatan yang lebih agresif
atau pembatasan diet.
Pantau asupan Karbohidrat dan lemak. Total lemak harus kurang dari 7% dari total kalori.
5) Level Target:
- AIC Kurang dari 7% Pantau setiap 2-3 bulan. setiap kunjungan rutin
- Tekanan darah → Kurang dari 130/80 Pantau setiap kunjungan rutin
- LDL Kurang dari 100 Penilaian lipid dapat diulang setiap 1-2 tahun
6) Tes rutin harus dilakukan untuk mengevaluasi kemanjuran terapi serta memantau
perkembangan diabetes untuk mencegah komplikasi lebih lanjut
 Pemeriksaan mata setiap tahun
 Kreatinin serum setidaknya setiap tahun
 Pemeriksaan kaki Skrining untuk neuropati

Konseling Pasien
1) Untuk mengurangi efek samping GI, minum metformin dengan makanan.
2) Hindari minum alkohol. Selain kontribusinya terhadap hiperglikemia, alkohol memiliki
interaksi negatif terhadap obat Metformin dan Simvastatin yang dapat menyebabkan
toksisitas hati.
3) Untuk mencapai pengendalian diabetes yang memadai, modifikasi gaya hidup merupakan
bagian penting dari terapi. Pembatasan diet, peningkatan aktivitas fisik, dan penurunan berat
badan secara bertahap akan lebih bermanfaat daripada minum obat saja.
4) Olahraga harus mencakup aktivitas aerobik, seperti berenang, berjalan, atau berlari, minimal
3 hari setiap minggu.
(Singla dan Jaspreet, 2021)
KASUS 4 : Kasus diabetes melitus tipe 2 dan insulinoma
Seorang pria keturunan campuran menikah berusia 54 tahun dan ayah dari empat anak,
bekerja di industri konstruksi, didiagnosis bersamaan dengan diabetes mellitus tipe 2 dan
hipertensi 8 tahun sebelum masuk. Dia juga memiliki riwayat keluarga yang signifikan dengan
diabetes melitus tipe 2, dengan ayah dan dua saudara laki-lakinya yang terkena, semuanya
meninggal, masing-masing menderita komplikasi gagal jantung iskemik dan gagal ginjal.
Namun, tidak ada saudara kandung yang memiliki riwayat masuk untuk hipoglikemia berulang.
Ayah dari subjek indeks meninggal pada usia 70 tahun, mengalami kardiomiopati iskemik, yang
memerlukan operasi cangkok bypass arteri koroner sebelum kejadian ini, sedangkan dua saudara
laki-lakinya meninggal karena nefropati diabetik pada usia 48 dan 50 tahun. Tambahan, tidak
ada riwayat keluarga yang menunjukkan penyakit hipofisis atau hiperparatiroidisme. Antara
tahun 2010 dan 2017, pasien kami datang beberapa kali ke dokter perawatan primernya dengan
pengukuran glukosa darah lebih dari 26 mmol/L. Pada setiap kunjungan ini, dia menerima
insulin manusia kerja singkat dan cairan infus. Presentasi terakhirnya ke fasilitas perawatan
kesehatan primer dengan hiperglikemia terjadi 12 bulan sebelum masuk.
Presentasinya saat ini pada 27 Juni 2018, melibatkan rujukan ke rumah sakit perawatan
sekundernya, tanpa gejala selama setahun, tanpa episode hiperglikemia kecuali kenaikan berat
badan 14 kg dalam 3 bulan sebelumnya. Menurut keluarganya, ia menderita kebingungan dan
berjalan sambil tidur, terutama pada dini hari antara pukul 03.00 dan 08.00. Gejala-gejala ini
terjadi hampir setiap hari, terkait dengan kelemahan tubuh secara umum dan berkeringat, yang
terlihat setelah setiap episode. Keluarganya melaporkan agresi dan kebingungan fisik dan verbal.
Selama episode tambahan di rumah sakit, dia tercatat agresif dengan staf perawat dan sesama
pasien dan ditemukan hipoglikemik pada beberapa kesempatan. Pasien kami tampaknya
mengembangkan gejala yang menunjukkan ketidaksadaran hipoglikemik, karena ia
bermanifestasi tanpa gejala simpatik, meskipun konsentrasi glukosa di bawah 1,8 mmol/L (3,8–
5,5 mmol/L). Selama pengakuan ini, ia menunjukkan episode puasa berulang dan hipoglikemia
pasca-prandial, yang diukur antara 1,2 dan 3,0 mmol/L.
Kemungkinan kejang nonkonvulsif dipertimbangkan; dengan demikian pemindaian otak
computed tomography (CT) diperintahkan dan ditemukan normal, sedangkan
elektroensefalogram tidak tersedia di fasilitas perawatan sekunder. Dia dipindahkan ke rumah
sakit tersier untuk evaluasi oleh layanan endokrin.
Saat masuk, obat kronisnya adalah metformin, enalapril, hidroklorotiazid, dan
simvastatin.Selain metformin, dia tidak mengonsumsi agen hipoglikemik oral atau insulin dan
menolak menggunakan agen lain. Catatan apotek gagal mengidentifikasi bahwa dia telah
menerima sulfonilurea atau insulin. Pengukuran glukosa bangsal dua jam menunjukkan episode
hipoglikemik berulang mulai dari 1,2 hingga 3,4 mmol/ L, terjadi antara pukul 03:00 dan 08:00.
Pemeriksaan klinis gagal mengidentifikasi tempat penyuntikan insulin atau bukti kerusakan
organ target yang berkaitan dengan diabetes, hipertensi, atau penyakit kronis lainnya. Secara
khusus, dia tidak memiliki indikasi melanoderma.

1. Data Subjektif (S)


 Pria berumur 54 tahun memiliki riwayat keluarga yang signifikan dengan diabetes
melitus tipe 2, dengan ayah dan dua saudara laki-lakinya yang terkena, semuanya
meninggal, masing-masing menderita komplikasi gagal jantung iskemik dan gagal
ginjal. Namun, tidak ada saudara kandung yang memiliki riwayat masuk untuk
hipoglikemia berulang.
 Menurut keluarganya, ia menderita kebingungan dan berjalan sambil tidur,
terutama pada dini hari antara pukul 03.00 dan 08.00. Gejala-gejala ini terjadi
hampir setiap hari, terkait dengan kelemahan tubuh secara umum dan berkeringat,
yang terlihat setelah setiap episode. Keluarganya melaporkan agresi dan
kebingungan fisik dan verbal.

2. Data Objektif (O)


Glukosa darah lebih dari 26 mmol/L. HbA1c-nya adalah 5,3%; fungsi ginjal dan hati,
kadar kalsium dan fosfat serum, kadar kortisol serum (8:00 pagi), hormon paratiroid
(PTH), tes fungsi hipofisis, dan metanefrin normal. Kortisolnya meningkat dari 109
menjadi 556 nmol/l dalam waktu 30 menit dari Synacthen 250 mikrogram.®tes, tidak
termasuk hipoadrenalisme primer. Kalium dan natrium serum adalah 3,2 dan 138
mmol/L, masing-masing Insulin-like growth factor 1 (IGF-1) adalah 215,1 mU/L (55–
248 mU/ L). Kromatografi cair-spektrometri massa tandem plasma dan urin negatif untuk
sulfonilurea berikut: glimepiride, gliclazide, glyburide, glipizide, dan gliquidone

3. Analisis dan Interpretasi Data (A)


Terjadinya hiperglikemia persisten setelah operasi pengangkatan insulinoma
menunjukkan diabetes yang mendasarinya, mengingat kemungkinan kerusakan pankreas
selama prosedur pembedahan dan menimbulkan diabetes, daripada diagnosis diabetes
sebelumnya. Dalam kasus diabetes melitus tipe 1 yang hidup berdampingan, tes darah
mengungkapkan kadar serum C-peptida yang rendah dan titer yang tinggi. antibodi
dekarboksilase asam anti-glutamat; pemeriksaan histologis spesimen yang direseksi dapat
mengungkapkan insulitis pada jaringan pankreas non-tumor di mana sel beta telah
menghilang. Selain itu, ada infiltrasi insulinoma oleh sel inflamasi, seolah-olah itu adalah
insulitis diabetes tipe 1, menunjukkan adanya autoimunitas anti-islet. Tidak adanya
autoimunitas yang terbukti dan infiltrasi inflamasi bersama dengan kontrol glikemik yang
memadai pada agen hipoglikemik oral menunjukkan diabetes mellitus tipe 2.

4. Penyelesaian Masalah (P)


 Terapi Farmakologi
Insulinoma dan diabetes, hipoglikemia berhasil diobati dengan diazoksida, dan
reseksi bedah tumor bersifat kuratif
 Terapi Non Farmakologi
 Terapi fisik
 Mengontrol porsi makan
 Menerapkan pola hidup sehat

5. Monitoring dan Evaluasi


Puasa berkepanjangan yang diawasi adalah tes standar emas untuk membangkitkan
episode hipoglikemik dan juga berguna pada pasien dengan diabetes mellitus.
Memonitoring efek samping dari penggunaan obat, Selalu memonitoring kadar glukosa
darah pasien.
(Singbo dkk., 2021)
KASUS 5: Kasus diabetes melitus tipe 2
Kasus klinis seorang wanita berusia 54 tahun, ibu rumah tangga berkunjung pada Mei 2021
Punya hospital Bangalore dengan keluhan buang air kecil berlebihan, penurunan berat badan
tiba-tiba, penglihatan kabur, rasa haus yang meningkat, kelelahan dan keringat berlebih selama
satu bulan terakhir. Pasien menderita Hipertensi sejak 5 tahun terakhir yang menggunakan
Tenormin (Atenolol) 50mg OD dan telah memperhatikan gejala saat ini sejak April 2021, tetapi
dilaporkan ke rumah sakit karena penurunan berat badan dan penglihatan kabur satu setengah
bulan kemudian

Penyelesaian: METODE SOAP

1. Data Subjektif (S)


Seorang wanita berusia 54 tahun, keluhan buang air kecil berlebihan, penurunan berat badan
tiba-tiba, penglihatan kabur, rasa haus yang meningkat, kelelahan dan keringat berlebih
selama satu bulan terakhir.

2. Data Objektif (O)


Berat: 55kg, Tinggi: 5 kaki 2 inci, BMI: 32,01kg/m2, Tenormin (Atenolol) 50mg OD.

3. Analisis dan Interpretasi Data (A)


Kadar glukosa darah acak adalah 189mg/dl dan glukosa puasanya keesokan harinya adalah
134mg/dl. Diagnosis: Berdasarkan ini dia didiagnosis sebagai kasus diabetes Tipe 2

4. Penyelesaian Masalah (P)


 Terapi Farmakologi
Neodipar-250mg BD (Metformin HCL) 5 -10 menit sebelum kedua makanan utama.
Interaksi obat diperiksa, karena tidak ada interaksi antara Atenolol dan Metformin yang
diberikan padanya. Pasien menggunakan obat yang disarankan Neodipar dua kali sehari
setelah menggunakan obat satu bulan kadar glukosa darah pasien dipantau.
Puasa = 104mg/dl, Setelah makan = 140mg/dl,
HbA1c=42 mmol/mol.
Prinsip dasar pengobatan adalah dengan menggunakan suntikan (Insulin) sebelum makan
dan agen hipoglikemia oral lainnya diminum setelah 30-40 menit setiap kali makan. Dalam
rejimen obat tunggal, disarankan untuk diminum (seperti yang disarankan dalam kasus
kami) hanya 5-10 menit sebelum makan utama.
 Terapi Non Farmakologi
1) melakukan olahraga,
2) dengan menghentikan asupan makanan berkadar gula tinggi

5. Monitoring dan Evaluasi


Keberhasilan self-management DM mengharuskan individu dengan penyakit sering
memantau kadar glukosa darah mereka dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk
menjaga gula darah dalam tingkat fisiologis. Faktor yang perlu dikelola, gaya hidup,
keluarga, psikososial, budaya, dan masalah ekonomi juga perlu diperhatikan. Bagi orang
yang berisiko tinggi terkena diabetes tipe 2 yang sering disebut sebagai pra-diabetes,
faktor nonmedis bahkan lebih penting.
(Kumar dan Sures, 2021)

KASUS 6 : Kasus Diabetes Melitus Type 1

Seorang pasien Ny. G (65 thn, BB 70kg, TB 155 cm) dibawa kerumah sakit karena pingsan. Ny.G
didiagnosa Diabetes Mellitus sejak 12 tahun yg lalu dan sering mengeluh penglihatannya kabur, sering
lapar, gemetar karena dingin. Ny. G memeriksakan kadar gula darahnya 3 hari yang lalu dengan hasil
puasa: 250 mg%, PP : 350 mg%. Ny.G tidak bersedia diterapi dengan insulin dan selama 3 hari ini obat
yang digunakan adalah glucovance 500/5 (3x1), asetosal 80 (1x1). Hasil pemeriksaan darah :KGD 300
mg%, keton total 30 M/L, pH darah 6,9 dan HCO3 12 mEq/L serta osmolaritas 350 mOsm.

A. Data Subjective ( s )

Nama : Ny. G

Umur : 65 tahun

Jenis Kelamin : 155cm/70 kg

TB/BB : Penglihatan Kabur, sering lapar, gemetar, dan keringat dingin


Riwayat Penyakit : Diabetes Melitus

Riwayat pengobatan : Glucovance 500/5 (3x1)

Asetosal 80 (1x1)

B. Objective (O)

Data-data klinis pasien tersaji pada tabel berikut ini :

Pemeriksaan Data Pasien Data Normal Keterangan


Kadar Gula darah 300 mg% 140/100 L Meningkat
Keton 30 M/L. 5 mEq/L Meningkat
Ph Darah 6,9. 7,35-7,45 Meningkat
HCO3 12 mEq/L. 24 mEq/L Meningkat
Osmolaritas 350 mOsm 280-300 mOsm/Kg Meningkat

 PLAN

TUJUAN TERAPI :

1. JANGKA PENDEK

· Menurunkan KGD pada batas normal (140 mg/100 ml)

· Mengatasi gejala yaitu sering lapar, sering haus, sering kencing dan terjadinya ketoasidosis.

· Memulihkan keadaan pasien kembali normal.

2. JANGKA PANJANG

· Menjaga KGD normal untuk mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut terutama keparahan
retinopati dan ketoasidosis.

· Memperpanjang usia harapan hidup

D.SASARAN TERAPI

Menurunkan kadar glukosa darah

 Meminimalkan gejala
 Mencegah komplikasi lebih lanjut

E. SRATEGI TERAPI

a. Terapi Farmakologi

· Insulin : IV insulin 0,1 u/kg/jam, dilanjutkan hingga asidosis mencapai (pH > 7,3
dan HCO3 > 15) ditambahkan hingga 0,05 u/kg/jam.
· Infuse NaCl 0,9 % : Infuse IV 20 ml/kg/jam

b. Terapi Non Farmakologi

· Menghindari makanan yang mengandung lemak dan kolesterol tinggi, seperti daging, produk susu
full cream, kuning telur, mentega.

· Diet, membatasi konsumsi makanan yang mengandung tinggi gula dan karbohidrat, seperti permen,
minuman bersoida, coklat. Sebagai alternative gunakan minuman (susu) yang diformulasikan khusus
untuk penderita Diabetes Mellitus.

· Menghindari stress fisik dan mental.

· Berolahraga secara rutin, seperti jogging minimal 3x seminggu selama kurang lebih ½ jam.

· Cukup istirahat dan tidur.

· Memeriksakan kesehatan mata secara teratur, untuk mengetahui perkembangan retinopati diabetik.

(Jingwen Jiang dkk., 2022)

KESIMPULAN
Penyakit diabetes melitus merupakan penyakit yang terdiri dari 2 tipe yaitu diabetes tipe
1 yang berasal dari kerusakan sel beta pankreas sedangkan diabetes tipe 2 disebabkan karena
adanya resistensi dari insulin. Adapun pengobatan yang dapat dilakukan untuk penderita diabetes
melitus yaitu dengan terapi insulin, mengonsumsi obat diabetes, mencoba pengobatan alternatif,
menjalani operasi dan memperbaiki life style (pola hidup sehat) dengan memakan makanan yang
bergizi atau sehat serta berolahraga.
DAFTAR PUSTAKA

Baynes, H.W., 2015. Classification, pathophysiology, diagnosis and management of diabetes


mellitus. J diabetes metab, 6(5), pp.1-9.

DeFronzo, R.A., Ferrannini, E., Groop, L., Henry, R.R., Herman, W.H., Holst, J.J., Hu, F.B.,
Kahn, C.R., Raz, I., Shulman, G.I. and Simonson, D.C., 2015. Type 2 diabetes
mellitus. Nature reviews Disease primers, 1(1), pp.1-22.

Harrington FR., Helen W dan Tafadzwa M., 2015, CASE REPORT Type 2 diabetes presenting
with hyperglycaemic hyperosmolar state in an adolescent renal transplant patient, BMJ
Case Rep Published, doi:10.1136/bcr-2014-207124
Jingwen Jiang, Yi Zou, Zhao Zhu, Ling Li, Shibo Liao, Shuyu Huang, Min Wu., 2022., Fulminant type 1
diabetes mellitus associated with heavy drinking: J Clin Exp Med., Vol. 15., 7.

Kahn, S.E., Cooper, M.E. and Del Prato, S., 2014. Pathophysiology and treatment of type 2
diabetes: perspectives on the past, present, and future. The Lancet, 383(9922), pp.1068-
1083.

Kemenkes RI. 2019. Pedoman Pelayanan Kefarmasian pada Diabetes Melitus. Kementerian
Kesehatan RI. Jakarta.

Kumar, A., dan Sures K., 2021, Diabetes Mellitus: A stitch in time saves Nine Early Diagnosis
and Management minimizes complications- A Case Study, Global Journal of Obesity,
Diabetes, and Metabolic Syndrome, Vol. 8(2), ISSN: 2455-8583.
Muliani, E. L., 2015. Penggunaan obat tradisional oleh penderita diabetes mellitus dan faktor-
faktor yang berhubungan di wilayah kerja Puskesmas Rejosari Pekanbaru Tahun 2015.
Jurnal Kesehatan Komunitas. vol. 3(1): 47-52.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. 2021. Pedoman Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes
Melitus Tipe 2 di Indonesia 2021. PB. Perkeni. Jakarta.

Putra, K.N. 2015. Empat pilar penatalaksanaanpasien diabetes mellitus Tipe 2. Majority. vol.
4(9): 8-12.

Saftarina, F. (2021). Case Report: Type 2 Diabetes Mellitus for The Elderly with Less Family
Support. Review of Primary Care Practice and Education (Kajian Praktik Dan
Pendidikan Layanan Primer), 4(2), 22. https://doi.org/10.22146/rpcpe.67181

Sartika, N.H. 2019. Kadar HbA1c pada pasien wanita penderita diabetes mellitus tipe 2 di RSUD
dr. Doris Sylvanus Palangka Raya. Borneo Journal Of Medical Laboratory Technology.
vol. 2(1): 97-101.
Singbo, J., Michael, L., dan Ian, L. R., 2021, Challenge of coexisting type 2 diabetes mellitus
and insulinoma: a case report, Journal Of Medical Case Reports.
Singla,M., and Jaspreet, K. S., 2021. Diabetes Mellitus of Pituitary Origin: A Case Report,
Touch Medical Media. Hal: 68-70

Anda mungkin juga menyukai