Anda di halaman 1dari 2

Mataku tak bisa terpejam, kilasan bayangan tentang hari esok terus saja memenuhi pikiran

dan menghantuiku. Ah, besok hari yang mengerikan. Kau tahu apa yang menjadi mimpi
buruk dari anak sekolahan setiap setahun dua kali? Yapp betul. Pembagian hasil rapor.
Jam 02.00 pagi, hatiku tak kian menjadi lebih tenang, yang ada malah semakin risau akan
bagaimana nilai-nilaiku semester ini. Juga terbayang muka mamak yang besok harus
mendengarkan tuturan Ibu Rukmini tentang bagaimana progres belajarku dan tentang
kelakuanku. Perihal perilaku aku tak terlalu mencemaskan, lah wong aku ini anak baik-baik.
Tidak pernah nakal, juga tidak pernah bandel dengan melanggar peraturan yang dibuat oleh
Bapak Kepala Sekolah. Dalam hati untuk sekian kalinya aku berbisik berdoa kepada Tuhan,
berharap Ia mendengar doaku itu. Tuhan selamatkanlah nilaiku, atau kalau tidak mamak
akan memusuhiku berhari-hari setelah puas memukuliku. Oh tidak, punggungku. Menyesal
sekali aku terlalu banyak bermain-main.
Hari yang tidak ditunggu itu tiba, aku sudah menyiapkan batinku untuk mendengar semua
apa yang akan dikatakan Ibu Guru Rukmini. Mamak menggunakan atasan warna hijau tua
dengan rok panjang sampai mata kaki. Pakaian terbaik Mamak yang selalu ia pakai saat ada
acara penting seperti saat ini, kalau kata Mamak, “Meski kita ini miskin, setidaknya yo tidak
malu-maluin pakai baju bulukan macam mamak tiap hari pakai itu.”
Kantong bawah mataku berwarna sedikit hitam, bukti bergadang tadi malam. Sedang gigiku
gemelatukan menahan rasa gugup dan gelisah tatkala namaku dipanggil oleh suara wali
kelasku yang santun dan lembut meski suaranya tidak terlalu terdengar jelas. “Selanjutnya
Pandji Hara, silakan.” Sedikit berbasa-basi Ibu Rukmini menyapa mamak dengan senyuman
khasnya.
“Jadi seperti ini, Ibu dari Hara. Hara ini anaknya baik sekali, anaknya tidak neko-neko.
Dikelas pun dia tidak pernah berbuat aneh, malahan beberapa menjadi anak kesayangan
guru. Bagus sekali, Hara. Ibu senang dengan hasil-hasilmu yang selalu diatas teman-
temanmu yang lain.” Meski aku belum melihat hasilnya aku sedikit merasa lega, dapat
kulihat pula Mamak menaikkan senyumnya. Ada ekspresi bangga disana, ah Mamak.
“Baik Ibu, memang itulah anak saya. Terima kasih sekali sudah mengajari anak kami ini,
tanpa bantuan Bapak-Ibu guru jadilah apa anak kami ini dari orang tua buta huruf ini.”
Mamak membalas Ibu Rukmini dengan merendahkan diri dan berterima kasih. Entah
kenapa aku tidak terlalu suka mendengarnya.
“Ah Ibu ini.” Ibu Rukmini tidak membalas banyak, sambil tersenyum ia menyerahkan buku
rapor itu. Hamdalah, Tuhan mendengarkan doaku.
Sepanjang jalan, sambil memboncengku dengan sepeda, mamak berceloteh pajang lebar.
Aku di belakangnya duduk diam mendengarkan. Jalanan sedikit berbatuan kala ketika
mamak berkata dengan suara cekikikan, “Mamakmu ini sekali lho, Ra. Aduh anakku kok
pinter sekali, menurun dari siapa kamu, Ra? Hahaha!”
“Yo dari Mamak, siapa lagi?” Aku sedikit menggoda mamak yang sedang bahagia itu.
“Owalah ojo ngenyek kowe, ra. Mamakmu iki tidak bisa baca tulis, mana mungkin bisa
begitu. Hahahaha, ada-ada saja anakku iki. Hahaha” Tawa mamak semakin kencang, mau
tak mau akupun ikut tertawa. Sebenarnya aku tidak terlalu menyangka kalau aku bisa
mendapatkan peringkat satu lagi seperti tahun-tahun kemarin padahal aku tidak pernah
serius belajar. Kalau tahu Mamak akan sesenang ini maka harusnya kau bisa membuat
Mamak lebih bahagia dari ini.

Anda mungkin juga menyukai