Anda di halaman 1dari 103

STUDI LITERATUR OKSIGEN HIPERBARIK TERAPI DALAM

MEMPERCEPAT PENYEMBUHAN ULKUS DIABETIKUM

SKRIPSI

TONI ABAS
NIM. C01419219

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO
GORONTALO
2021
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH

Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Okygen Hiperbarik Terapi


dalam mempercepat penyembuhan ulkus Diabetikum adalah
karya saya di bawa arahan dari komisi pembimbing.Skripsi ini belum pernah di
ajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun dan bebas dari
unsur plagiat.Sumber informasi yang berasal atau di ikuti dari karya oleh penulis
lain telah di sebutkan dalam teks dan di cantumkan dalam daftar Pustaka dengan
jelas sesuai dengan norma,kaidah dan etika penulisan buku pedoman penulisan
skripsi /karya ilmiah Universitas Muhammadiyah Gorontalo.Apabila dikemudian
hari di temukan unsur-unsur plagiat pada skripsi ini maka saya bersedia menerima
sanksi hukum dari akademik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Gorontalo, 2021

Toni Abas
NIM.CO1419219

ii
PENGESAHAN PEMBIMBING

Judul Penelitian : Studi literatur Oksigen Hiperbarik Terapi Dalam Mempercepat


penyembuhan Ulkus Diabetikum
Nama : Toni Aabas
Nim : C01419219
Program Studi : Keperawatan

Disetujui Pembimbing
Tanggal Februari
2021

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Ns.AbdulWahab Pakaya,S.Kep.MM,M.Kep Ns,Fadli Syamsudin,M.Kep.,Sp.Kep.MB

NBM : 8825150017 NIDN : 0924118701

Mengetahui

Dekan Ketua Program Studi


Fakultas Ilmu Kesehatan S1 Keperawatan

Ns. Abdul Wahab Pakaya,S.Kep,MM,M.Kep Ns Harimayanti,M Kep.


NBM: 8825150017 NIDN : 920048704

iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu,padahal ia amat baik bagimu,dan boleh jadi
kamu menyukai sesuatu,padahal ia amat buruk bagimu;Allah mengetahui,sedang
kamu tidak mengetahui
Jika kau tak suka sesuatu,ubahlah.Jika tak bisa,maka ubah cara pandangmu
tentangnya

PERSEMBAHAN
…Jangan pernah berhenti bermimpi atau berharap ,karena harapanmu akan
mengantarkan sebuah keajaiban..
Untuk yang pertama skripsi ini kupersembahkan kepada keluarga” isteri dan anak
yang selalu berdoa memberikan dorongan dan semangat dalam menyelesaikan
semua proses skripsi dari awal sampai akhir.
Dan juga terima kasih yang teramat dalam untuk teman Keperawatan Nonreguler
Angkatan limboto IV tahun 2020 - 2021 khusus jurusan Keperawatan yang telah
membantu,mensupport sampai ke jenjang akhir ini.banyak cerita yang terukir
dilalui bersama yang mungkin akan kita rindukan.Semoga kita senantiasa dalam
lindungannya.
Amin……

Almamaterku Tercinta
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO

iv
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Robbil Alamin, segala puji dan rasa syukur terpanjat ke hadirat
Allah SWT, semata atas karunia, inayah dan nikmat dari-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penyusunan Skripsi dengan judul “Oksigen Hiperbarik Terapi dalam
Mempercepat Penyembuhan Ulkus Diabetikum”
Penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari berbagai kendala, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak sehingga Skripsi ini selesai tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, melalui kesempatan ini saya menyampaikan terima kasih kepada:
1. Rektor Universitas Muhammadiyah Gorontalo BapakProf,Dr.H.Abd..Kadim
Masaong,M.pd
2. Wakil Rektor Bidang Akademik Universitas Muhammadiyah Gorontalo Ibu,Prof
.Dr.,Hj.Moon Otoluwa ,M.Hum
3. Wakil Rektor Bidang Administrasi dan Keuangan Universitas Muhammadiyah
Gorontalo Bapak,Dr.Salahudin Pakaya,S.Ag.MH
4. Wakil Rektor Bidang Riset Pengembangan dan Kerjasama Universitas
Muhammadiyah Gorontalo Bapak,Apris Ara Tilome S.Ag M.Si
5. Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo Ns.
Abdul Wahab Pakaya, M. Kep
6. Ketua Program Studi S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Gorontalo
Ns. Harismayanti M.Kep.
7. Pembimbing 1 Ns., Abdul Wahab Pakaya M. Kep, dan Pembimbing 2 Ns. Fadli
Syamsudin, S.Kep, M. Kep , Sp.KMB yang telah banyak membantu dan
memberikan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Seluruh teman-teman mahasiswa keperawatan atas kerja sama dan
kebersamaannya selama ini. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis
menyadari penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan akibat dari
keterbatasan pengetahuan dan wawasan penulis. Oleh karena itu, penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk
penyempurnaan dalam penulisan skripsi ini.

v
Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan rekan-rekan
mahasiswa.

Gorontalo, Februari 2021

Penulis

vi
ABSTRAK
Toni Abas.Oksigen Hiperbarik Terapi Dalam mempercepat Penymbuhan Ulkus
Diabetikum (Studi Literatur)Dibimbing oleh Ns.Abdulwahab Pakaya,M Kep,MM
sebagai Ketua dan Ns,Fadli Syamsudin S,Kep M,kep.Sp KMB sebagai anggota.
Oksigen Hiperbarik Terapi adalah terapi terkini yang telah di sarankan sebagai
tambahan untuk pengobatan konvensional untuk berbagai indikasi.Tujuan
dilaksanakan penelitian ini untuk mengetahui Terapi oksigen Hiperbarik Dalam
mempercepat penyembuhan Ulkus Diabetikum.Penelitian ini merupakan studi
literatur yang melalui penelusuran Web Sciendirect,Scopus,GARUDA,Pubmed dan
Google Schoolar dengan hasil Literatur jurnal 818,Kemudian di Skring menghasilkan
15 Literatur jurnal,kemudian literatur di uji kelayakan menghasilkan 7 jurnal yang
di review.Jurnal tersebut di inklusi yakni judul yang sesuai,tujuan dan
kesimpulan,serta diterbitkan 5 tahun terakhir.Hasil dari penelitian ini menunjukan
bahwa Oksigen Hiperbarik Terapi dapat mempercepat penyembuhan Ulkus
Diabetikum

Kata Kunci : Oksigen Hiperbarik Terapi,Ulkus Diabetikum

vii
DAFTAR ISI

Halaman sampul
Halaman judul
Halaman Lembar Persetujuan Pembimbing
Daftar Isi ................................................................................................. iii
Daftar Tabel ........................................................................................... iv
Daftar Gambar v
........................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Identifikasi Masalah .................................................................... 4
1.3. Rumusan Masalah ..................................................................... 4
1.4. Tujuan Penelitian ...................................................................... 4
1.5. Manfaat Penenelitian ................................................................ 5
BAB II TINJAUAN 6
TEORI......................................................................
2.1 Konsep Diabetes melitus...................... .................................... 6
2.2 Konsep Ulkus Diabetikum ........................................................... 17
2.3 Konsep Terapi Oksigen Hiperbarik ............................................. 28
2.4. Kerangka Teori.......................................................................... 40
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 41
3.1. Diagram Alur .............................................................................. 41
3.2. Desain Penelitian....................................................................... 41
3.3. Cara Pengumpulan Data ........................................................... 42
3.4. Metode Analisa .......................................................................... 43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................. 45
4.1. hasil Studi Literatur ................................................................... 45
4.2. Pembahasan Studi Literatur...................................................... 62
4.3. Keterbatasan Penelitian ............................................................
BAB V PENUTUP .................................................................................. 63
5.1. Kesimpulan ................................................................................ 63
5.2. Saran ......................................................................................... 63

viii
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria inklusi pada litelature........................................................36

ix
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Kerangka Teori....................................................................34


Gambar 2. Diagram alur........................................................................35
Gambar 3. Diagram Alur Proses Seleksi Literatur................................37

x
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes melitus (DM) merupakan masalah kesehatan yang perlu ditangani
dengan seksama. Prevalensi DM meningkat setiap tahun, terutama di kelompok
risiko tinggi. DM yang tidak terkendali dapat menyebabkan komplikasi metabolik
ataupun komplikasi vascular jangka panjang, yaitu mikroangiopati dan
makroangiopati. Penderita DM juga rentan terhadap infeksi kaki luka yang
kemudian dapat berkembang menjadi gangren, sehingga meningkatkan kasus
amputasi.1-3 (Kartika, 2017).
Menurut WHO diabetes melitus merupakan salah satu dari empat prioritas
penyakit tidak menular. Data American Diabetes Association - Diabetes care,
diperkirakan penderita Diabetes Millietus di seluruh dunia pada tahun 2017 adalah
sebanyak 415 juta jiwa. Diantara penderita Diabetes Millietus tersebut terdapat
di Amerika Utara dan Karibia sebanyak 44,3 juta jiwa, Eropa 59,8 juta jiwa,
Amerika Selatan dan Tengah 29,6 juta jiwa, Afrika 14,2 juta jiwa, Pasifik Barat
153,2 juta jiwa dan Timur Tengah dan Afrika Utara sebanyak 35,4 juta jiwa
(Association Diabetes American, 2017). Menurut data laporan Riset Kesehatan
Dasar (RISKESDAS) tahun 2018, prevalensi persentase jumlah penderita diabetes
militus di Indonesia mencapai 2% dari jumlah penduduk. Jumlah ini mengalami
peningkatan dibandingkan dengan data tahun 2013 yang hanya 1,5%.khusus untuk
provinsi Gorontalo, jumlah yang terdiagnosis diabetes militus selama tahun 2018
mencapai 1,7% atau berada diatas rata-rata persentase nasional (Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia, 2018).
Salah satu komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita diabetes
militus adalah ulkus diabetikum atau luka diabetes. Ulkus kaki diabetik
disebabkan karena gangguan saraf atau neuropati yang menyebabkan penderitan
tidak dapat

1
merasakan infeksi atau peradangan ada kaki. Infeksi atau peradangan yang tidak
ditangani dengan baik
Diabetic Foot Ulcus (DFU) terjadi pada sekitar 15% pasien dengan diabetes
mellitus (DM) dan umumnya terletak pada permukaan kaki atau plantar. Diantara
pasien yang menderita ulkus kaki diabetik, 6% akan dirawat di rumah sakit untuk
infeksi atau komplikasi terkait ulkus lainnya, dan 1% di antaranya akan
memerlukan amputasi. Komplikasi pada pasien dengan diabetes adalah penyebab
utama amputasi ekstremitas bawah nontraumatic (Prasetyono, 2020).
Pasien Diabetes Militus memiliki risiko 15%-25% hidupnya untuk
mengalami ulkus diabetikum yang pada 40-80% kasus. Ulkus diabetikum di
Amerika Serikat sekitar 3% tiap tahun, sedangkan di Inggris berkisar 10%.8 DM
merupakan penyakit yang paling sering dikaitkan dengan amputasi ekstremitas
bagian bawah, dan merupakan penyebab lebih dari 50% amputasi nontraumatik
di Amerika dan Eropa. Di Indonesia angka kematian dan angka amputasi masih
tinggi, masing- masing sebesar 16% dan 25%, sebanyak 14,3% akan mening-
gal setahun paska amputasi, dan sebanyak 37% meninggal dalam tiga tahun
paska amputasi (Langi, 2013).
Ulkus diabetikum memerlukan perawatan multimodal yang kompleks
termasuk kontrol glikemik, perawatan luka lokal yang ekstensif, revaskularisasi
tungkai yang iskemik (terbuka dan / atau endovaskular) untuk meningkatkan
sirkulasi perifer, pengobatan infeksi, dan pembongkaran. Salah satu terapi
modalitas yang saat ini banyak digunakan adalah terapi oksigen hiperbarik. Terapi
oksigen hiperbarik (TOHB) adalah terapi terkini yang telah disarankan sebagai
tambahan yang berharga untuk pengobatan konvensional untuk berbagai indikasi,
termasuk cedera radiasi yang tertunda, infeksi jaringan lunak nekrotikans dan luka
kronis, terutama pada pasien dengan diabetes. Terapi hiperbarik bekerja melalui
inhalasi oksigen konsentrasi tinggi dalam ruang bertekanan. Dalam lingkungan
yang terapeutik, diberikan jumlah oksigen yang telah dilarutkan dalam plasma
yang dapat mencapai dan lebih tinggi 20 kali dari udara ruangan pada tekanan

2
atmosfer

3
normal. Plasma yang kaya oksigen kemudian diangkut ke jaringan yang
mengalami hipoksia atau iskemik untuk mencegah terjadinya angiogenesis,
edema, dan mampu memodulasi respons sistem imun dan kekebalan (Ilmi et al.,
2017)
Terapi oksigen hiperbarik (TOHB) sangat bermanfaat terutama untuk
meningkatkan produksi faktor pertumbuhan endotel vascular (VEGF), varian
faktor pertumbuhan turunan trombosit (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblast
(FGF) sebagian melalui modulasi nitrat oksida. VEGF dan PDGF bertanggung
jawab untuk merangsang pertumbuhan kapiler dan granulasi luka, dan
melakukannya dengan mengubah jalur pensinyalan yang mengarah pada
proliferasi dan migrasi sel. FGF memainkan peran yang sama dalam angiogenesis,
tetapi juga menginduksi perkembangan saraf, organisasi keratinosit, dan
proliferasi fibroblast di lokasi luka yang mengarah ke granulasi dan epitelisasi.
Dalam jaringan iradiasi oksigen hiperbarik lebih efektif daripada oksigen
normobarik pada peningkatan tekanan parsial jaringan oksigen dan
mempromosikan angiogenesis dan penyembuhan luka (Kranke et al., 2015).
Oksigen, seperti gas lainnya, bereaksi terhadap tekanan dan depresurisasi;
dengan meningkatkan konsentrasi oksigen dengan kelarutan gas di bawah
tekanan, gradien difusnya diperkuat, yang memungkinkan penetrasi jaringan
dalam. Untuk prinsip inilah pengobatan dengan oksigenasi hiperbarik membantu
memperbaiki jaringan perfusi, hipoksia, iskemik, infark atau nekrotik yang buruk.
Oksigenasi terbaik memungkinkan untuk memicu proses pemulihan jaringan dan,
selain itu, memfasilitasi reperfusi dan angiogenesis (Rosyanti et al., 2019).
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) telah digunakan dalam praktik klinis,
medis dan kesehatan untuk mengobati penyakit dekompresi, keracunan karbon
monoksida, infeksi klostridial, dan meningkatkan penyembuhan luka.
Berdasarkan permasalahan tersebut, menjadi sangat menarik bagi peneliti untuk
melakukan studi literature tentang “Oksigen Hiperbarik Terapi dalam
Mempercepat Penyembuhan Ulkus Diabetikum”.

4
1.2 Identifikasi masalah

5
1. Diabetes melitus merupakan salah satu dari empat prioritas penyakit tidak
menular yang ditetapkan oleh WHO.
2. Prevalensi persentase jumlah penderita diabetes militus di Indonesia mencapai
2% dari jumlah penduduk. Jumlah ini mengalami peningkatan dibandingkan
dengan data tahun 2013 yang hanya 1,5% (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018).
3. Salah satu komplikasi diatebes militus adalah ulkus diabetikum dan 6% akan
dirawat di rumah sakit untuk infeksi atau komplikasi terkait ulkus lainnya,
dan 1% di antaranya akan memerlukan amputasi.
4. Ulkus diabetes memerlukan perawatan multimodal yang kompleks termasuk
kontrol glikemik, perawatan luka lokal yang ekstensif, revaskularisasi tungkai
yang iskemik (terbuka dan / atau endovaskular) untuk meningkatkan sirkulasi
perifer, pengobatan infeksi, dan pembongkaran.
5. Terapi oksigen hiperbarik (TOHB) adalah terapi terkini yang telah disarankan
sebagai tambahan yang berharga untuk pengobatan konvensional untuk
berbagai indikasi, termasuk cedera radiasi yang tertunda, infeksi jaringan
lunak nekrotikans dan luka kronis, terutama pada pasien dengan diabetes.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut maka rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah apakah oksigen hiperbarik terapi dapat
mempercepat penyembuhan ulkus diabetikum?.

1.4 Tujuan Penelitian


Penelitian studi literature ini bertujuan untuk mereview dan menganalisis
jurnal tentang pengaruh oksigen hiperbarik terapi dalam mempercepat
penyembuhan ulkus diabetikum.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis

6
Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
tentang manfaat dan mekanisme terapi oksigen hiperbarik dalam mempercepat
penyembuhan ulkus diabetikum.
1.5.2 Manfaat Praktis
1. Bagi rumah sakit
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi rumah sakit dalam
pengambilan kebijakan pelayanan terutama penggunaan terapi hiperbarik
oksigen bagi pasien luka diabetic untuk mempercepat penyembuhan luka.
2. Bagi keperawatan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi keilmuan khususnya
bagi perawat dalam meningkatkan pengetahuannya tentang intervensi
hiperbarik oksigen dalam mempercepat penyembuhan luka diabetic.
3. Bagi peneliti
Sebagai sumber informasi bagi peneliti tentang manfaat manfaat penggunaan
terapi hiperbarik oksigen dalam mempecepat penyembuhan luka diabetic.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1 Konsep Diabetes milutus
2.1.1 Pengertian
Diabetes merupakan penyakit kronis yang kompleks yang membutuhkan
perawatan medis yang berkelanjutan dengan strategi pengurangan risiko
multifaktorial di luar kotrol glikemik. Diabetes melitus adalah suatu kondisi
kondisi di mana kadar gula darah lebih tinggi dari normal atau hiperglikemia
karena tubuh tidak bisa mengeluarkan atau menggunakan hormon insulin secara
cukup (Sutjahjo, 2015).
Diabetes Mellitus atau sering disebut dengan kencing manis adalah suatu
penyakit kronik yang terjadi ketika tubuh tidak dapat memproduksi cukup insulin
atau tidak dapat menggunakan insulin (resistensi insulin), dan di diagnosa melalui
pengamatan kadar glukosa di dalam darah. Insulin merupakan hormon yang
dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berperan dalam memasukkan glukosa dari
aliran darah ke sel-sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi (Soelistijo et
al., 2015).
Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa diabetes
militus merupakan suatu kelompok penyakit metabolic dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin dan kerja insulin.
2.1.2 Etiologi
Menurut Soelistijo et al., (2015), secara garis besar patogenesis Diabetes
Mellitus disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pankreas
Pada saat diagnosis Diabetes Mellitus tipe-2 ditegakkan,fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver

8
Pada penderita Diabetes Mellitus tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat
dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam 8 keadaan
basal oleh liver (HGP= hepatic glucoseproduction) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Otot
Pada penderita Diabetes Mellitus tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga
timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis
glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa.Obat yang bekerja di jalur ini
adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan
peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA=Free Fatty
Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses
glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA
juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA
ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah
tiazolidindion.
5. Usus
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau
diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini
diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP
(glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric
inhibitory polypeptide). Pada penderita Diabetes Mellitus tipe-2 didapatkan
defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin
segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam
beberapa menit.
6. Sel Alpha Pankreas

9
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan
sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang
dalam keadaan puasa kadarnya didalam plasma akan meningkat. Peningkatan
ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara
signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi
glukagon atau menghambat reseptor glucagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4
inhibitor dan amylin.
7. Ginjal
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam pathogenesis Diabetes
Mellitus tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan
puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran
SGLT-2 (Sodium Glucose co Transporter) pada bagian convulated tubulus
proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada
tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam
urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat
yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali
glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine.
8. Otak
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat.Pada individu yang obes
baik yang Diabetes Mellitus maupun nonDiabetes Mellitus, didapatkan
hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi
insulin.Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya
resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini
adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
2.1.3 Patofisiologi
Patofisiologi Diabetes Mellitus (DM) dikaitkan dengan ketidakmampuan
tubuh untuk merombak glukosa menjadi energi karena tidak ada atau kurangnya
produksi insulin di dalam tubuh. Insulin adalah suatu hormon pencernaan
yang,dihasilkan oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk memasukkan gula ke

1
dalam sel tubuh untuk digunakan sebagai sumber energi. Pada penderita Diabetes
Mellitus, insulin yang dihasilkan tidak mencukupi sehingga gula menumpuk
dalam darah (Brunner, 2014).
Patofisiologi pada Diabetes Mellitus tipe 1 terdiri atas autoimun dan non-
imun. Pada autoimun-mediated Diabetes Mellitus, faktor lingkungan dan genetik
diperkirakan menjadi faktor pemicu kerusakan sel beta pankreas. Tipe ini disebut
tipe 1-A. Sedangkan tipe non-imun, lebih umun dari pada autoimun Tipe non-
imun terjadi sebagai akibat sekunder dari penyakit lain seperti pankreatitis atau
gangguan idiopatik (Brashers dkk, 2014). Diabetes Mellitus tipe 2 adalah hasil
dari gabungan resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak adekuat hal tersebut
menyebabkan predominan resistensi insulin sampai dengan predominan kerusakan
sel beta. Kerusakan sel beta yang ada bukan suatu autoimun mediated (Price,
2012).
Pada Diabetes Mellitus tipe 2 tidak ditemukan pertanda auto antibody.Pada
resistensi insulin, konsentrasi insulin yang beredar mungkin tinggi tetapi pada
keadaan gangguan fungsi sel beta yang berat kondisinya dapat rendah.Pada
dasarnya resistensi insulin dapat terjadi akibat perubahan-perubahanyang
mencegah insulin untuk mencapai reseptor (praresptor), perubahan dalam
pengikatan insulin atau transduksi sinyal oleh resptor, atau perubahan dalam
salahsatu tahap kerja insulin pascareseptor. Semua kelainan yang menyebab
kangangguan transport glukosa dan resistensi insulin akan menyebabkan
hiperglikemia sehingga menimbulkan manifestasi Diabetes Mellitus (Price, 2012)
2.1.4 Manifestasi klinik
Gejala diabetes melelitus seperti rasa haus yang berlebihan, sering kencing
terutama pada malam hari, banyak makan atau mudah lapar, dan berat badan turun
dengan cepat.Kadang terjadi keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki,
cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar
sembuh, dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4kg (Tjokroprawiro,
2015). Diabetes Mellitus sering muncul dan berlangsung tanpa timbulnya tanda

1
dangejala klinis yang mencurigakan, bahkan kebanyakan orang tidak merasakan

1
adanya gejala.Akibatnya, penderita baru mengetahui menderita Diabetes Mellitus
setelah timbulnya komplikasi (Sutjahjo, 2015).
2.1.5 Klasifikasi
Menurut Soelistijo et al., (2015), klasifikasi Diabetes Melitus atau DM yaitu
DM tipe 1, DM tipe 2, DM gestasional, dan DM tipe lain. Namun jenis DM yang
paling umum yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2.
1. Diabetes Mellitus Tipe 1
Diabetes Mellitus tipe 1 merupakan kelainan sistemik akibat terjadinya
gangguan metabolik glukosa yang ditandai dengan hiperglikemia kronik.
Keadaan ini disebabkan oleh kerusakan sel beta pankreas baik oleh proses
autoimun maupun idiopatik. Proses autoimun ini menyebabkan tubuh
kehilangan kemampuan untuk memproduksi insulin karena sistem kekebalan
tubuh menghancurkan sel yang bertugas memproduksi insulin sehingga
produksi insulin berkurang atau terhenti. Penderita DM tipe 1 membutuhkan
suntikan insulin setiap hari untuk mengontrol glukosa darahnya (IDF, 2015).
Diabetes Mellitus tipe ini seringdisebut juga Insulin Dependent Diabetes
Mellitus (IDDM), yang berhubungan dengan antibody berupa Islet Cell
Antibodies (ICA), Insulin Autoantibodies (IAA), dan Glutamic Acid
Decarboxylase Antibodies (GADA). 90% anak-anak penderita IDDM
mempunyai jenis antibodi ini.
2. Diabetes Mellitus tipe 2
Diabetes Mellitus tipe 2 atau yang sering disebut dengan Non Insulin
DependentDiabetes Mellitus (NIDDM) adalah jenis Diabetes Mellitus yang
paling sering terjadi, mencakup sekitar 85% pasien DM. Keadaan ini ditandai
oleh resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif. Diabetes Mellitus tipe
ini lebih sering terjadi pada usia diatas 40 tahun, tetapi dapat pula terjadi pada
orang dewasa muda dan anak-anak. Diabetes Mellitus tipe 2 bisa
menimbulkan komplikasi. Komplikasi menahun Diabetes Mellitus merajalela
ke mana-mana bagian tubuh. Selain rambut rontok, telinga berdenging atau

1
tuli, sering berganti

1
kacamata (dalam setahun beberapa kali ganti), katarak pada usia dini, dan
terserang glaucoma (tekanan bola mata meninggi, dan bisa berakhir dengan
kebutaan), kebutaan akibat retinopathy, melumpuhnya saraf mata terjadi
setelah 10-15 tahun. Terjadi serangan jantung koroner, payah ginjal
neuphropathy, sarafsaraf lumpuh, atau muncul gangrene pada tungkai dan
kaki, serta serangan stroke.
3. Diabetes Militus Gestasional
Merupakan komplikasi perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko
lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10
tahun setelah melahirkan. DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana
intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada
trimester kedua dan ketiga. DM tipe ini melibatkan suatu kombinasi dari
kemampuan reaksi dan pengeluaran hormon insulin yang tidak cukup. Jenis
diabetes ini terjadi selama kehamilan dan bisa saja meningkat atau lenyap.
4. Diabetes Milutus Tipe Lain
DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel
beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit
metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan
kelainan genetik lain. Misalnya : gangguan genetik pada fungsi sel β,
gangguan genetik pada kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (seperti
cystic fibrosis), dan yang dipicu oleh obat atau bahan kimia (seperti dalam
pengobatan HIV/AIDS atau setelah transplantasi organ).
2.1.6 Diagnosis
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.
Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak ditegakkan atas adanya glucosuria. Menurut
Soelistijo et al (2015), Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal

1
maupun

1
kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: Glukosa
Darah Puasa Terganggu (GDPT) dan Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)
(PERKENI, 2015).
1. GDPT: Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan
pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) glukosa plasma 2 jam
mg/dl. TTGO adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan memberikan larutan
glukosa 75gram untuk diminum. Pemeriksaan glukosa darah dilakukan
sebelum meminum larutan tersebut, lalu akan diperiksa kembali setelah 2 jam.
2. TGT: Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 jam setelah TTGO antara 140-199
mg/dl dan glukosa plasma puasa
3. Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT.
4. Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan
HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi akut terjadi apabila kadar glukosa darah seorang meningkat atau
menurun tajam dalam waktu yang singkat. Komplikasi kronik terjadi apabila
kadar glukosa darah secara berkeoanjangan tidak terkendali dengan baik sehingga
menimbulkan berbagai komplikasi kronik diabetes melitus (Soelistijo et al.,
2015). Menurut Sholeh (2012), Jika dibiarkan dan tidak dikelola dengan baik, DM
akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati
maupun makroangiopati. Komplikasi kronik DM bisa berefek pada banyak sistem
organ. Adapun organ yang mengalami dampak dari diabetes militus yaitu:
1. Kerusakan saraf (Neuropati)
Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum
tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta
susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna.
Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol
dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa
darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa

1
terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil
diturunkan menjadi normal maka akan melemahkan dan merusak dinding
pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi
kerusakan saraf yang disebut neuropati diabetik (diabetic neuropathy).
2. Kerusakan ginjal (Nefropati)
Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah
kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan
yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal
bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang
masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan
ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang dipertahankan
ginjal bocor ke luar. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait
dengan neuropathy atau kerusakan saraf. Nefropati diabetik didefinisikan oleh
proteinuria > 500 mg dalam 24 jam pada keadaan diabetes, tetapi biasanya
diawali dengan derajat proteinuria yang lebih rendah atau
“mikroalbuminuria”. Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi
albumin 30-299 mg/24 jam. Tanpa intervensi, pasien diabetes dengan
mikroalbuminuria biasanya akan mengarah ke proteinuria dan nefropati
diabetic.
3. Kerusakan mata (retinopati).
Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadi penyebab
utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh
diabetes, yaitu:
a. Retinopati
Retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang
sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah
retina.
b. Katarak

1
Lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga
menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya
glukosa darah yang tinggi.
c. Glaukoma
Terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf
mata. Retinopati diabetes merupakan komplikasi mikrovaskuler yang
paling umum. Risiko retinopati diabetes atau komplikasi mikrovaskuler
lainnya tergantung pada durasi dan keparahan hiperglikemia.
Pengembangan retinopati diabetes pada pasien dengan diabetes melitus
tipe 2 diakibatkan karena keparahan hiperglikemia dan hipertensi.
4. Penyakit jantung koroner (PJK)
Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhan yang
dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat
hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan
ginjal, atau stroke. Risiko serang jantung dan stroke menjadi dua kali lipat
apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi.
5. Kerusakan pembuluh darah di perifer
Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan
Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya
lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak menderita
diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama
sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan
wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping
diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi yang sukar sembuh, pasien
biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung.
6. Gangguan pada Hati
Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula
bisa-bisa mengalami kerusakan hati. Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu
akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita

1
diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B
atau hepatitis C.
7. Penyakit Paru
Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan
orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup.
Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikan
glukosa darah.
8. Gangguan saluran cerna
Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol
glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai
saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah
terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan,
sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah
tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan
muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf
otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga
timbul akibat pemakaian obat-obatan yang diminum.
9. Infeksi
Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam
menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah
terkena infeksi.
2.1.8 Penatalaksanaan Diabetes Militus
Tujuan utama terapi diabetes adalah utuk menormalkan aktifitas insulin dan
kadar glukosa darah untuk mengurangi komplikasi yang ditimblkan akibat DM.
caranya yaitu menjaga kadar glukosa dalam batas normal tanpa terjadi
hipoglikemia serta memelihara kualitas hidup yang baik. Menurut Soelistijo et al
(2015), Ada lima macam komponen dalam penatalaksanaan DM tipe 2 yaitu :

1. Manajemen diet

2
Pengelolaan diet menjadikunci utama pengendalian diabetes militus.
Tujuannya adalah untuk mencapai dan mempertahankan kadar glukosa darah
dan lipid mendekati normal, mencapai dan mempertahankan berat badan
dalam batas normal kurang lebih dari 10% dari berat badan idaman, mencegah
komplikasi akut dan kronik serta meningkatkan kualitas hidup
2. Terapi nutrisi
Terapi nutrisi khusus untuk meningkatkan pasien dengan lebih intensif lagi
menilai makan dan asupan gizi, memberikan konseling yang menghasilkan
peningkatan kesehatan dan dapat mengurangi komplikasi DMT2. terapi nutrisi
diabetes dapat menghasilkan penghematan biaya dan peningkatan hasil seperti
pengurangan A1c. terapi nutrisi dapat dipersonalisasi berdasarkan kebutuhan
pasien, komorbiditas, kondisi kronis yang ada dan faktor kunci lainnya.
3. Latihan fisik (olahraga)
Berolahraga dapat mengaktifasi ikatan insulin dan reseptor insulin di
membrane plasma sehingga dapat menurunkan kadar glukosa dalam darah.
Latihan fisik yang rutin dapat memelihara berat badan yang normal dengan
indeks massa tubuh. Manfaat dari latihan fisik ini adalah dapat menurunkan
kadar gula darah dengan meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan
memperbaiki pemakaian insulin, memperbaiki sirkulasi darah dan tonus otot,
mengubaha kadar lemak dalam darah. Latihan fisik adalah intervensi non-
farmakologis yang telah terbukti memiliki efek menguntungkan pada
penurunan faktor risiko metabolik untuk pengembangan komplikasi dan
penyakit kardiovaskular. Menurunkan glukosa dapat mengurangi kebutuhan
obat melalui pengembangan massa otot, HGBA1C, meningkatkan sensitivitas
insulin, kepadatan tulang dan keseimbangan; dan ditoleransi dengan baik,
layak dan aman.

4. Pemantauan kadar gula darah (monitoring)

2
Pemantauan kadar glukosa darah secara mandiri atau self-monitoring blood
glucose (SMBG) memungkinkan untuk deteksi dan mencegah hiperglikemia
atau hipoglikemia, pada akhirnya akan mengurangi komlikasi diabetik jangka
panjang. Beberapa hal yang harus dimonitoring adalah glukosa darah, glukosa
urin, keton darah, keton urin. Selain itu juga pengkajian tambahan seperti cek
berat badan secara regular, pemeriksaan fisik secara teratur dan pendidikan
kesehatan.
5. Perawatan kaki
Pendidikan harus disesuaikan dengan pengetahuan pasien saat ini, kebutuhan
individu dan faktor risiko. Pasien harus menyadari faktor risiko dan langkah
yang tepat untuk menghindari komplikasi. Pendidikan harus mencakup: 1)
memeriksa kaki setiap hari terkait luka, memar, perdarahan, kemerahan dan
masalah kuku. 2) usahakan Cuci kaki setiap hari kemudian keringkan dengan
benar, termasuk di antara sela-sela jari kaki. 3) Jangan merendam kaki kecuali
ditentukan oleh dokter, perawatan atau tenaga kesehatan.

2.2 Konsep Ulkus Diabetikum


2.2.1 Pengertian
Ulkus diabetik merupakan salah satu komplikasi kronik dari penyakit
diabetes melitus. Adanya luka terbuka pada lapisan kulit sampai ke dalam dermis
yang terjadi karena adanya penyumbatan pada pembuluh darah di tungkai dan
neuropati perifer akibat kadar gula darah yang tinggi sehingga pasien tidak
menyadari adanya luka (Rendy & Margareth, 2012).
Ulkus diabetikum adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang
melibatkan gangguan pada syaraf periferal dan autonomik. Ulkus diabetikum
adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan syaraf, kelainan pembuluh darah
dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak di atasi dengan baik, hal itu akan
berlanjut menjadi pembusukan bahkan dapat di amputasi (Wijaya & Putri, 2013).

2
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan, ulkus diabetika
merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena adanya komplikasi
makroangiopati dari penyakit diabetes melitus sehingga terjadi vaskuler
insusifiensi dan neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang
sering tidak dirasakan, dan dapat berkembang menjadi infeksi.
2.2.2 Etilogi
Penyebab gangren pada penderita DM adalah bakteri anaerob, yang
tersering Clostridium. Bakteri ini akan menghasilkan gas, yang disebut gas
gangren. Etiologi ulkus diabetik biasanya memiliki banyak komponen meliputi
neuropati sensori perifer, trauma, deformitas, iskemia, pembentukan kalus,
infeksi, dan edema. Selain disebabkan oleh neuropati perifer (sensorik, motorik,
otonom) dan penyakit pembuluh darah perifer (makro dan mikro angiopati) faktor
lain yang berkontribusi terhadap kejadian ulkus kaki adalah deformitas kaki (yang
dihubungkan dengan peningkatan tekanan pada plantar), gender laki-laki, usia tua,
kontrol gula darah yang buruk, hiperglikemia yang berkepanjangan dan kurangnya
perawatan kaki (Brunner, 2014).
2.2.3 Patofisiologi
Proses terjadinya kaki diabetik diawali oleh angiopati, neuropati, dan
infeksi. Neuropati menyebabkan gangguan sensorik yang menghilangkan atau
menurunkan sensasi nyeri kaki, sehingga ulkus dapat terjadi tanpa terasa.
Gangguan motorik menyebabkan atrofi otot tungkai sehingga mengubah titik
tumpu yang menyebabkan ulserasi kaki. Angiopati akan mengganggu aliran
darah ke kaki; penderita dapat merasa nyeri tungkai sesudah berjalan dalam jarak
tertentu. Infeksi sering merupakan komplikasi akibat berkurangnya aliran darah
atau neuropati. Ulkus diabetik bisa menjadi gangren kaki diabetic (Wijaya &
Putri, 2013).

2
Price (2012) mendefinisikan patofisologi pada ulkus diabetik adalah sebagai
berikut:
1. Neuropati perifer
Neuropati sensorik perifer, di mana seseorang tidak dapat merasakan luka
merupakan faktor utama penyebab ulkus diabetik. Kurang lebih 45- 60% dari
semua penderita ulkus diabetik disebabkan oleh neuropati, di mana 45% nya
merupakan gabungan dari neuropati dan iskemik. Bentuk lain dari neuropati
juga berperan dalam terjadinya ulserasi kaki. Neuropati perifer dibagi menjadi
3 bagian, yaitu:
a. Neuropati motorik
Neuropati motorik mempengaruhi semua otot, mengakibatkan penonjolan
abnormal tulang, arsitektur normal kaki berubah, deformitas khas seperti
hammer toe dan hallux rigidus. Deformitas kaki menimbulkan terbatasnya
mobilitas, sehingga dapat meningkatkan tekanan plantar kaki dan mudah
terjadi ulkus.
b. Neuropati sensorik
Neuropatik sensorik yaitu hilangnya sensasi pada kaki. Neuropati sensorik
biasanya cukup berat hingga menghilangkan sensasi proteksi yang
berakibat rentan terhadap trauma fisik dan termal, sehingga
meningkatkan risiko ulkus kaki. Sensasi propriosepsi yaitu sensasi posisi
kaki juga hilang.
c. Neuropati autonomi
Neuropati outonom yaitu berkurangnya sekresi kelenjar keringat yang
mengakibatkan kaki kering, pecah-pecah dan membelah sehingga
membuka pintu masuk bagi bakteri. Neuropati autonom ditandai dengan
kulit kering, tidak berkeringat, dan peningkatan pengisian kapiler sekunder
akibat pintasan arteriovenosus kulit. Hal ini mencetuskan timbulnya
fisura, kerak kulit, sehingga kaki rentan terhadap trauma minimal. Hal
tersebut juga dapat karena penimbunan sorbitol dan fruktosa yang

2
mengakibatkan akson menghilang, kecepatan induksi menurun,
parestesia, serta menurunnya refleks otot dan atrofi otot.
2. Gangguan pembuluh darah
Gangguan pembuluh darah perifer (Peripheral Vascular Disease atau PVD)
jarang menjadi faktor penyebab ulkus secara langsung. Walaupun demikian,
penderita ulkus diabetik akan membutuhkan waktu yang lama untuk sembuh
dan resiko untuk diamputasi meningkat karena insufisiensi arterial. Gangguan
pembuluh darah perifer dibagi menjadi 2 yaitu gangguan makrovaskuler dan
mikrovaskuler, keduanya menyebabkan usaha untuk menyembuhkan infeksi
akan terhambat karena kurangnya oksigenasi dan kesulitan penghantaran
antibiotika ke bagian yang terinfeksi. Oleh karena itu penting diberikan
penatalaksanaan iskemik pada kaki.
2.2.4 Tanda dan Gejala Ulkus Diabetik
Tanda dan gejala pada pasien dengan ulkus diabetikum yaitu sering
kesemutan, nyeri kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan jaringan
(nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit kering (Wijaya & Putri, 2013).
Menurut Brunner (2014), tanda dan gejala ulkus diabetik dapat dilihat berdasarkan
stadium antara lain;
1. Stadium I menunjukkan tanda asimptomatis atau gejala tidak khas (kesemutan
gringgingen).
2. Stadium II menunjukkan klaudikasio intermitten (jarak tempuh menjadi
pendek).
3. Stadium III menunjukkan nyeri saat istirahat.
4. Stadium IV menunjukkan kerusakan jaringan karena anoksia (nekrosis, ulkus)

2
2.2.5 Penilaian Ulkus diabetikum
Terdapat beberapa indicator penilaian luka ulkus diabetic yaitu:
Tabel 1. Klasifikasi ulkus diabetik menurut University of Texas Classification
System
Grade
Stage 0 1 2 3
A Lesi pre atau Lesi superfisial Luka sampai Luka sampai
post ulkus yang tidak sampai pada tendon tulang atau
mengalami pada tendon atau kapsul sensi
epitelisasi kapsul atau
sempurna tulang
B Lesi pre atau Lesi superfisial Luka sampai Luka sampai
post ulkus yang tidak sampai pada tendon tulang atau
mengalami pada tendon, atau kapsul sendi
epitelisasi kapsul atau Mengalami Mengalami
sempurna, tulang, infeks infeksi
mengalami Mengalami
infeksi infeksi
C Lesi pre atau Lesi superfisial Luka sampai Luka sampai
post ulkus yang tidak sampai pada tendon tulang atau
mengalami pada tendon, atau kapsul sendi
epitelisasi kapsul atau Mengalami Mengalami
sempurna tulang iskemia iskemia
dengan iskemia Mengalami
iskemia
(sumber; Price, 2012).

1. Pengkajian luka menurut Megit-Wagner


Tabel 2. Karakteristik ulkus diabetik menurut Megit-Wagner

Grade Karakteristik
0 Belum ada luka kaki yang berisiko tinggi
1 Luka superfisial
2 Luka sampai tendon atau lapisan subkutan yang lebih
dalam namum tidak sampai tulang
3 Luka dalam dengan selulitis atau formasi abses
4 Gangren yang terlokalisir (gangren dari jari-jari atau
bagian depan kaki)
5 Gangren yang meliputi daerah yang lebih luas (sampai
pada daerah lengkung kaki dan belakang kaki)

2
2. Pengkajian luka menurut skor pedis
Tabel 3. Karakteristik ulkus diabetik menurut skor pedis

Karakteristik
Grade
Keparahan Tanda klinis
Luka tanpa nanah atau
1 Tidak ada infeksi
inflamasi
Adanya 2 atau lebih tanda
berikut :
- Bernanah
- Kemerahan
2 Ringan
- Nyeri
- Nyeri Ketika disentuh
- Indurasi (menjadi keras)
- Selulitis pada sekitar luka
Kerusakan terbatas pada
epidermis, dermis atau
lapisan atas dari subkutan
tidak ada tanda komplikasi
Infeksi lokal, terjadi pada
pasien yang secara sistemik
dan metabolik stabil, namum
memiliki ≥1 tanda berikut ini:
3 Berat - Selulitis > 2 cm
- lympphamgitic streaking
(garis kemerahan dibawah
kulit)
- abses pada jaringan dalam
- ganggren
- kerusakan sudah
mengenai otot, tendon,
sendi atau tulang
Tidak ada tanda inflamasi
sistemik. Infeksi pada pasien
4 Parah dengan toksisitas sistemik
dan kondisi metabolik yang
tidak stabil

2.2.6 Faktor resiko terjadinya ulkus diabetikum


Rendy & Margareth (2012) menyebutkan bahwa pasien diabetes melitus
dapat mengalami ulkus diabetik apabila memiliki faktor resiko antara lain:
1. Umur ≥ 60 tahun

2
Umur ≥ 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus diabetika karena pada usia
tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi
penurunan sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh
terhadap pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal.
2. Lama DM ≥ 10 tahun
Semakin lama seseorang mengalami DM, maka makin berisiko mengalami
komplikasi. Ulkus diabetik terutama terjadi pada penderita diabetes mellitus
yang telah menderita selama 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah
tidak terkendali, karena akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan
vaskuler sehingga mengalami makroangiopati-mikroangiopati yang akan
terjadi vaskulopati dan neuropati yang mengakibatkan menurunnya sirkulasi
darah dan adanya robekan/luka pada kaki penderita diabetik yang sering tidak
dirasakan.
3. Obesitas
Pada pasien obesitas dengan indeks masa tubuh atau IMT ≥ 23 kg/m2 (wanita)
dan IMT ≥ 25 kg/m2 (pria) atau berat badan relatif (BBR) lebih dari 120 %
akan lebih sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar insulin melebihi 10
µU/ml, keadaan ini menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat menyebabkan
aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi gangguan
sirkulasi darah sedang/besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai akan
mudah terjadi ulkus diabetik.
4. Neuropati
Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan
mikrosirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut
saraf yang mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut
akan terjadi neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke
otak dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu
juga kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit kering dan mudah robek.

2
5. Hipertensi
Hipertensi (tekanan darah (TD) > 130/80 mmHg) pada penderita diabetes
mellitus karena adanya viskositas darah yang tinggi akan berakibat
menurunnya aliran darah sehingga terjadi defesiensi vaskuler, selain itu
hipertensi yang tekanan darah lebih dari 130/80 mmHg dapat merusak atau
mengakibatkan lesi pada endotel. Kerusakan pada endotel akan berpengaruh
terhadap makroangiopati melalui proses adhesi dan agregasi trombosit yang
berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi hipoksia pada jaringan
yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus diabetik.
6. Glikosilasi Hemoglobin (HbA1C) dan kadar glukosa darah tidak terkendali.
Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam sirkulasi
sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah merah.
Apabila Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) ≥ 6,5 % akan menurunkan
kemampuan pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang mengakibatkan
hipoksia jaringan yang selanjutnya terjadi proliferasi pada dinding sel otot
polos subendotel. Kadar glukosa darah tidak terkontrol ( gula darah puasa
(GDP) > 100 mg/dl dan GD2JPP > 144 mg/dl) akan mengakibatkan
komplikasi kronik jangka panjang, baik makrovaskuler maupun mikrovaskuler
salah satunya yaitu ulkus diabetika.
7. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok akibat dari nikotin yang terkandung di dalam rokok akan
dapat menyebabkan kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan dan
agregasi trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran sehingga lipoprotein
lipase akan memperlambat clearance lemak darah dan mempermudah
timbulnya aterosklerosis.
8. Kolesterol Total, High Density Lipoprotein (HDL), Trigliserida tidak
terkendali.
Pada penderita Diabetes mellitus sering dijumpai adanya peningkatan kadar
trigliserida dan kolesterol plasma, sedangkan konsentrasi HDL

2
(highdensitylipoprotein) sebagai pembersih plak biasanya rendah (≤ 45
mg/dl). Kadar trigliserida ≥ 150 mg/dl , kolesterol total ≥ 200 mg/dl dan HDL
≤ 45 mg/dl akan mengakibatkan buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan
dan menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan, merangsang reaksi
peradangan dan terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis
adalah penyempitan lumen pembuluh darah yang akan menyebabkan
gangguan sirkulasi jaringan sehingga suplai darah ke pembuluh darah
menurun ditandai dengan hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri
dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku
menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus
yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai.
9. Diet
Diet adalah pengaturan terhadap makanan yang dikonsumsi. Jenis diet yang
dilakukan dapat bermacam- macam sesuai dengan tujuan dari diet. Kepatuhan
diet DM mempunyai fungsi yang sangat penting yaitu mempertahankan berat
badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik, menurunkan
kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid, meningkatkan sensitivitas
reseptor insulin dan memperbaiki sistem koagulasi darah.
10. Kurangnya aktivitas Fisik.
Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi
darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin,
sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah yang
terkendali dapat mencegah komplikasi kronik Diabetes mellitus.
11. Perawatan kaki tidak teratur.
Perawatan kaki diabetisi yang teratur dapat mencegah atau mengurangi
terjadinya komplikasi kronik pada kaki. Hal ini berkaitan dengan resiko
infeksi yang akan memperberat penyembuhan luka diabetic.

3
12. Penggunaan alas kaki tidak tepat.
Pasien diabetes tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena tanpa
menggunakan alas kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang
mengakibatkan ulkus diabetik, terutama pada pasien DM yang mengalami
neuropati.
2.1.7 Diagnosis
Menurut Price (2012), penegakkan diagnosis ulkus diabetikum didasarkan
atas pemeriksaan fisik yang meliputi:
1. Pemeriksaan ulkus dan keadaan umum ekstremitas
Ulkus diabetes cenderung terjadi di daerah tumpuan beban terbesar, seperti
tumit, area kaput metatarsal di telapak, ujung jari yang menonjol (jari pertama
dan kedua). Ulkus di malleolus terjadi karena sering mendapat trauma.
Kelainan lain yang dapat ditemukan seperti callus hipertropik, kuku
rapuh/pecah, kulit kering, hammer toes, dan fissure.
2. Penilaian risiko insufisiensi vascular
Pemeriksaan fisik akan rnendapatkan hilang atau menurunnya nadi perifer.
Penemuan lain yang berhubungan dengan aterosklerosis meliputi bising (bruit)
arteri iliaka dan femoralis, atrofi kulit, hilangnya rambut kaki, sianosis jari
kaki, ulserasi dan nekrosis iskemik, serta pengisian arteri tepi (capillary refill
test) lebih dari 2 detik. Pemeriksaan vaskular non-invasif meliputi pengukuran
oksigen transkutan, ankle-brachial index (ABI), dan tekanan sistolik jari kaki.
ABI dilakukan dengan alat Doppler. Cuff dipasang di lengan atas dan
dipompa sampai nadi brachialis tidak dapat dideteksi Doppler. Cuff kemudian
dilepas perlahan sampai Doppler dapat mendeteksi kembali nadi
brachialis.Tindakan yang sama dilakukan pada tungkai, cuff dipasang di
bagian distal dan Doppler dipasang di arteri dorsalis pedis atau arteri tibialis
posterior. ABI didapat dari tekanan sistolik ankle dibagi tekanan sistolik
brachialis. Bila ankle brachial index <0,3, pasien didiagnosis critical limb
ischemia, yang berarti iskemi berat.

3
3. Penilaian risiko neuropati perifer

3
Tanda neuropati perifer meliputi hilangnya sensasi rasa getar dan posisi,
hilangnya refleks tendon dalam, ulserasi trofik, foot drop, atrofi otot, dan
pembentukan callus hipertropik khususnya di daerah penekanan misalnya
tumit. Status neurologis dapat diperiksa menggunakan monofilamen Semmes-
Weinsten untuk mendeteksi “sensasi protektif”. Hasil abnormal jika penderita
tidak merasakan sentuhan saat ditekan sampai monofilament bengkok. Alat
pemeriksaan lain adalah garpu tala 128 Hz untuk sensasi getar di pergelangan
kaki dan sendi metatarsofalangeal pertama. Pada neuropati metabolik
intensitas paling parah di daerah distal. Pada umumnya, seseorang tidak
merasakan getaran garpu tala di jari tangan lebih dari 10 detik setelah pasien
tidak dapat merasakan getaran di ibu jari kaki. Beberapa penderita normal
menunjukkan perbedaan antara sensasi jari kaki dan tangan pemeriksa kurang
dari 3 detik.
2.1.8 Penatalaksanaan
Menurut Brunner (2014), tujuan dari pentalaksanaan ulkus kaki diabetik
adalah untuk mencapai penutupan luka secepat mungkin. Menurunkan angka
amputasi pada ekstremitas bagian bawah pasien. Area penting dalam
pentalaksanaan ulkus diabetik meliputi evaluasi status vaskuler dan tindakan yang
tepat pengkajian gaya hidup/ faktor psikologi, pentalaksanaan dasar luka dan
penurunan tekanan.
1. Evaluasi status vaskuler Perfusi arteri memegang peranan penting dalam
penyembuhan luka dan harus dikaji pada pasien ulkus, selama sirkulasi
terganggu luka akan mengalami kegagalan penyembuhan dan beresiko
amputasi. Adanya insufisiensi vaskuler dapat berupa edema, karakteristik kulit
yang terganggu, penyembuhan lambat, ekstremitas dingin.
2. Pengkajian gaya hidup Gaya hidup dan faktor psikologi dapat mempengaruhi
penyembuhan luka. Contohnya antara lain alcohol, merokok, penyalahgunaan
obat, kebiasaan makan, obesitas, malnutrisi dan tingkat mobilisas.
3. Penatalaksanaan dasar luka Tujuan dilakukannya debridement adalah

3
membuang jaringan mati atau jaringan yang tidak penting. Kelembapan akan

3
mempercepat proses reepitelisasi pada ulkus. Keseimbangan kelembapan
ulkus meningkatkan proses autolysis dan granulasi. Untuk itu diperlukan
pemilihan balutan yang menjaga kelebapan luka.Dalam pemilihan balutan,
sangat penting diketahui bahwa tidak ada balutan yang paling tepat terhadap
semua ulkus diabetik.
4. Penurunan tekanan (Off Loading) Menurunkan tekanan pada ulkus diabetic
merupakan tindakan yang sangat penting. Off loading mencegah trauma lebih
lanjut dan membantu meningkatkan penyembuhan. Ulkus kaki diabetic
merupakan luka kompleks yang dalam penatalaksanaannya harus sitematik
dengan pendektan tim interdisiplin.
2.3 Konsep Terapi Oksigen Hiperbarik
2.2.1 Pengertian
Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) adalah pemanfaatan klinis oksigen pada
tekanan yang lebih tinggi dari tekanan atmosfer, biasanya pada tekanan 2–3
atmosfer absolut (ATA) dengan paparan oksigen 100%. Menghirup oksigen pada
tekanan tinggi meningkatkan ketersediaan oksigen untuk jaringan tubuh. Selain
itu, HBOT meningkatkan kapasitas plasma darah untuk mengangkut oksigen
dengan memperhatikan kondisi normobarik (Sureda et al., 2016).
Terapi oksigen hiperbarik adalah Tindakan perawatan yang menempatkan
pasien di ruang kompresi, dengan meningkatkan tekanan lingkungan di dalam
ruangan, serta memberikan 100% oksigen untuk respirasi. Dengan cara ini,
dimungkinkan untuk mengirimkan tekanan parsial oksigen yang sangat meningkat
ke jaringan. Biasanya, perawatan melibatkan tekanan udara antara 2,0 dan 2,5
atmosfer absolut (ATA) untuk periode antara 60 dan 120 menit sekali atau dua
kali sehari (Kranke et al., 2015).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa TOHB
terapi oksigen hiperbarik merupakan cara untuk meningkatkan kadar oksigen
jaringan dan oksigen tersebut diharapkan mampu menembus sampai ke jaringan
perifer yang kekurangan oksigen, sehingga suplai nutrisi dan oksigen terpenuhi.

3
2.2.2 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Terapi hiperbarik, meskipun terapi yang relatif lama, meningkat digunakan
sebagai pilihan pengobatan pada manusia seiring bertambahnya ruang tersedia dan
pengetahuan tentang manfaatnya meningkat. Adapun indikasi pemberian terapi
oksigen hiperbarik antara lain keracunan karbon monoksida, keracunan gigitan
hewan berbisa, sindrom kompartemen, dan cedera sistem saraf pusat, serta
penyakit yang lebih kronis seperti penyembuhan luka yang lama (Melissa, 2012).
Pada penelitian yang di lakukan oleh William J. Ennis dkk bahwa terapi oksigen
hiperbarik besar pengaruhnya terhadap penyembuhan luka diabetic dan non
diabetic.Sedangkan menurut Oley dkk Terapi oksigen hiperbarik berpengaruh
secara signifikan terhadap penyembuhan ulkus diabetic dengan meningkatkan
kadar interleukin 6 serum ( IL 6 ) dan Vascular Endothelial Growth
Factor(VEFG) di nilai berdasarkan ukuran,dan kedalaman luka melalui skor
PEDIS
Berikut ini indikasi terapi oksigen hiperbarik sebagaima yang dikemukakan
oleh Mathieu et al (2017):
1. Keracunan karbon monoksida (CO)
Keracunan karbon monoksida dapat terjadi ketika seseorang menghirup gas
karbon monoksida yang menyebabkan penyerapan oksigen oleh darah
terganggu. Terapi oksigen hiperbarik dapat mengatasi kondisi ini dengan cara
menghilangkan karbon monoksida dari dalam darah dengan pemberian
oksigen murni bertekanan tinggi. Adapun rekomendasi yang diberikan terkait
terapi oksigen hiperbarik pada kasus keracunan karbonmonoksida adalah:
a. Merekomendasikan HBOT dalam pengobatan keracunan CO (rekomendasi
Tipe 1, bukti Level B).
b. Merekomendasikan 100% oksigen segera diterapkan pada orang yang
keracunan CO sebagai pengobatan pertolongan pertama (rekomendasi
Tipe 1, bukti Level C).
c. Merekomendasikan HBOT untuk setiap orang yang keracunan CO

3
yang disertai dengan adanya perubahan kesadaran, tanda- tanda klinis

3
gangguan neurologis, jantung, pernapasan atau psikologis dan tingkat
karbokshaemoglobin pada saat masuk rumah sakit (rekomendasi Tipe 1,
bukti Level B).
d. Merekomendasikan HBOT pada wanita hamil yang keracunan CO apapun
gejala klinis mereka dan tingkat karboksihemoglobin saat masuk rumah
sakit (rekomendasi Tipe 1, bukti Level B). Sebaiknya merawat pasien
dengan keracunan CO minor baik dengan oksigen normobarik 12 jam atau
HBOT (rekomendasi Tipe 3, bukti Level B).
e. Tidak merekomendasikan perawatan dengan pasien tanpa gejala HBOT
yang terlihat lebih dari 24 jam setelah akhir paparan CO (rekomendasi
Tipe 1, bukti Level C).
2. Fraktur terbuka dengan crush injury
Merekomendasikan aplikasi awal terapi oksigen hiperbarik setelah fraktur
terbuka parah karena dapat mengurangi komplikasi seperti nekrosis jaringan
dan infeksi. Fraktur terbuka dengan crush injury dianggap sebagai indikasi
untuk HBOT dan cedera yang kurang parah harus dipertimbangkan untuk
perawatan ketika terdapat faktor risiko terkait host atau cedera. Selain itu
HBOT dapat memberikan manfaat pada crush injury dengan luka terbuka
tanpa fraktur, di mana viabilitas jaringan berisiko atau di mana ada risiko
infeksi yang signifikan.
3. Radionekrosis/ lesi yang disebabkan oleh radiasi
a. Merekomendasika HBOT dalam pengobatan osteoradionecrosis mandibula.
b. Merekomendasikan HBOT untuk pencegahan osteoradionekrosis
mandibula setelah pencabutan gigi
c. Merekomendasikan HBOT dalam pengobatan sistitis radiasi hemoragik.
d. Merekomendasikan HBOT dalam pengobatan proktitis radiasi
e. Menyarankan HBOT dalam pengobatan osteoradionekrosis tulang selain
mandibula

3
f. Menyarankan HBOT untuk mencegah kehilangan implan osseointegrasi
pada tulang yang diradiasi
g. Menyarankan HBOT dalam pengobatan radionekrosis jaringan lunak
(selain sistitis dan proktitis), khususnya di daerah kepala dan leher
h. Sebaiknya menggunakan HBOT untuk mengobati atau mencegah lesi yang
diinduksi radio dari laring
i. Sebaiknya menggunakan HBOT dalam pengobatan lesi yang diinduksi
radio dari sistem saraf pusat.
4. Penyakit Dekompresi
Penyakit dekompresi merupakan kondisi yang terjadi pada saat aliran darah di
dalam tubuh terhambat, dikarenakan perubahan tekanan udara. Perubahan
tekanan ini dapat terjadi akibat penerbangan, menyelam, atau hal lain yang
mengakibatkan terjadinya perubahan tekanan udara secara drastis. Perubahan
tekanan udara di luar tubuh yang tiba-tiba dapat menyebabkan timbulnya
gelembung udara di dalam pembuluh darah atau emboli. Terapi oksigen
hiperbarik dapat mengecilkan gelembung di dalam pembuluh darah akibat
perubahan tekanan. Cara kerja HBOT pada kasus DSC, adalah dengan
mneurunkan dan menghilangkan gelembung yang ada dalam jaringan dan
darah; sehingga menjadi metode pengobatan utama. Perawatan HBOT akan
menyebabkan pembentukan gradien konsentrasi gas antara gelembung udara
dan darah, yang secara bertahap menyebabkan terjadinnya pelepasan nitrogen
dan penurunan gelembung. Perawatan dan pengobatan HBOT pada DSC dapat
mengurangi luasnya edema dengan mengurangi permeabilitas vaskular,
menghilangkan leukosit teraktivasi, dan mengurangi kerusakan sel endotel
vaskular
5. Emboli gas
Emboli gas adalah gelembung gas yang berjalan di pembuluh darah, dan bila
mencapai pembuluh darah kecil akan menyumbat pemb. uluh darah.
Penyumbatan pembuluh darah pada otak berakibat stroke, pada jantung

3
berakibat penyakit jantung koroner, pada ginjal menjadi gagal ginjal akut,
pada paru menjadi gagal napas. Volume gelembung gas baik nitrogen ataupun
gas lainnya dapat mengecil bila dalam lingkungan dengan tekanan atmosfer
yang lebih tinggi. Terapi oksigen hiperbarik dapat memperkecil ukuran atau
volume gelembung gas sehingga terhindar dari masalah penyumbatan
pembuluh darah. Gelembung gas tersebut secara perlahan akan dimetabolisme
atau dibuang dari tubuh melalui pernapasan (wash out).
6. Perawatan luka diabetic
Penggunaan HBOT adalah dengan mengatasi terjadinya hipoksia jaringan
pada daerah luka diabetic. Pada luka akut penyembuhan dimungkinkan oleh
hipoksia awal, pH rendah dan konsentrasi laktat tinggi ditemukan pada
jaringan yang baru terluka. Beberapa elemen perbaikan jaringan sangat
bergantung pada oksigen, misalnya elaborasi kolagen dan deposisi oleh
fibroblas dan pembunuhan bakteri oleh makrofag. Adanya keseimbangan
antara hipoksia luka dan oksigenasi luka, penyembuhan yang berhasil
bergantung pada oksigenasi jaringan yang memadai di daerah sekitar luka.
Dalam penyembuhan luka, suplai oksigen yang tidak mencukupi dapat
mencegah proses penyembuhan normal akibat suplai oksigen yang terputus-
putus ke jaringan yang mengalami hipoksia. Pemberian HBOT pada
perawatan luka telah terbukti menyebabkan hiperoksigenasi jaringan,
vasokonstriksi, aktivasi fibroblast, penurunan regulasi sitokin inflamasi,
peningkatan regulasi faktor pertumbuhan, efek antibakteri, potensiasi
antibiotik, dan penurunan kemotaksis leukosit (Kranke et al., 2015).
7. Infeksi bakteri anaerob mixed
Terapi oksigen hiperbarik direkomendasikan untuk infeksi bakteri anaerob
mixed pada keadaan:
a. Pengobatan infeksi jaringan lunak nekrotikans di semua lokasi, terutama
gangren perineum.

4
b. HBOT diintegrasikan dalam protokol pengobatan yang dikombinasikan
dengan pembedahan segera dan memadai dan pemberian antibiotik bakteri
anaerob dan aerobik yang paling sesuai.
c. HBOT diintegrasikan sebagai tindakan kedua dalam pengobatan infeksi
jaringan anaerob atau aerob-anaerob-Mixed lainnya seperti infeksi
pleuropulmonary atau peritoneal.
2.2.3 Fungsi Terapi Oksigen Hiperbarik
Secara umum Kahle & Cooper (2017) membagi fungsi terapi oksigen
hiperbari menjadi fisiologis dan farmakologis.
1. Efek fisiologis
Oksigen terutama digunakan oleh tubuh dalam pembentukan adenosin
trifosfat, molekul yang bertanggung jawab untuk transfer energi intraseluler,
melalui proses yang disebut respirasi sel. Rata-rata manusia menggunakan
sekitar 6 mL O2 / dL darah untuk mempertahankan metabolisme; Oleh karena
itu, HBOT memberikan oksigen plasma yang cukup untuk mendorong
respirasi seluler dan potensi untuk mengatasi anemia hemoragik masif. Efek
fisiologis utama oksigen lainnya berkaitan dengan vasokonstriksi. Peningkatan
kadar oksigen menyebabkan penurunan produksi oksida nitrat lokal (NO) oleh
sel endotel, sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Sebaliknya, peningkatan
kadar karbon dioksida, produk sampingan respirasi, meningkatkan produksi
NO dan vasodilatasi, pentingnya karena berhubungan dengan aliran darah
serebral karena hiperoksia jangka pendek menyebabkan vasokonstriksi
serebral dan Oksigen terutama digunakan oleh tubuh dalam pembentukan
adenosin trifosfat, molekul yang bertanggung jawab untuk transfer energi
intraseluler, melalui proses yang disebut respirasi sel. Rata-rata manusia
menggunakan sekitar 6 mL O2 / dL darah untuk mempertahankan
metabolisme; Oleh karena itu, HBOT memberikan oksigen plasma yang cukup
untuk mendorong respirasi seluler dan potensi untuk mengatasi anemia
hemoragik masif. Efek fisiologis utama oksigen lainnya berkaitan dengan

4
vasokonstriksi. Peningkatan kadar

4
oksigen menyebabkan penurunan produksi oksida nitrat lokal (NO) oleh sel
endotel, sehingga menyebabkan vasokonstriksi. Sebaliknya, peningkatan
kadar karbon dioksida, produk sampingan respirasi, meningkatkan produksi
NO dan vasodilatasi, pentingnya karena berhubungan dengan aliran darah
serebral karena hiperoksia jangka pendek menyebabkan vasokonstriksi
serebral dan berkurangnya aliran darah. Namun, bahkan dengan berkurangnya
aliran darah, lebih banyak oksigen dikirim ke otak besar sebagai akibat dari
keadaan hiperoksik. Selain itu, hiperoksia juga telah terbukti mengurangi
edema serebral, meskipun mekanisme di balik ini masih belum dipahami
dengan baik dan studi lebih lanjut diperlukan untuk mengkarakterisasi
fenomena yang diusulkan ini.
2. Efek farmakologis
Penggunaan HBOT yang paling umum saat ini adalah penyembuhan luka.
Luka yang disebabkan oleh komplikasi diabetes, ulkus tekan, luka bakar,
cedera akibat radiasi yang tertunda, atau cangkok kulit cukup lazim.
Penyembuhan yang buruk sering merupakan hasil dari kombinasi endarteritis,
hipoksia jaringan, dan sintesis kolagen yang tidak memadai. Peningkatan
tekanan oksigen arteri dari HBOT mempromosikan modulasi sejumlah faktor
pertumbuhan, angiogenesis, dan arborisasi, dan meningkatkan respons sistem
kekebalan terhadap infeksi yang mengarah pada peningkatan penyembuhan.
HBOT telah terbukti meningkatkan produksi faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), varian faktor pertumbuhan turunan trombosit (PDGF), dan
faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) sebagian melalui modulasi nitrat oksida.
VEGF dan PDGF bertanggung jawab untuk merangsang pertumbuhan kapiler
dan granulasi luka, dan melakukannya dengan mengubah jalur pensinyalan
yang mengarah pada proliferasi dan migrasi sel. FGF memainkan peran yang
sama dalam angiogenesis, tetapi juga menginduksi perkembangan saraf,
organisasi keratinosit, dan proliferasi fibroblast di lokasi luka yang mengarah
ke granulasi dan epitelisasi. Oksigen juga memiliki efek antibakteri di lokasi

4
luka. Ketika neutrofil dan makrofag memasuki lingkungan ini untuk
membunuh bakteri dan besar. Oksigen kemudian digunakan oleh sel-sel ini
untuk membuat hidrogen peroksida, anion superoksida, asam hidroklorat, dan
radikal hidroksil. Melalui mekanisme tidak langsung dan langsung, spesies
oksigen reaktif (ROS) ini kemudian dapat membunuh bakteri baik secara
intraseluler maupun ekstraseluler melalui gangguan membran dan denaturasi
protein. Keracunan karbon monoksida dan penyakit dekompresi (DCS)
mungkin adalah kondisi paling klasik yang diobati dengan HBOT. Keracunan
karbon monoksida terjadi setelah penghirupan asap atau asap mobil. Hal ini
terutama mematikan karena karbon monoksida mengikat hemoglobin dengan
afinitas lebih besar dari 200 kali oksigen, sehingga mengganggu respirasi
seluler. HBOT dapat mengurangi beban ini dengan mengurangi waktu paruh
disosiasi karbon monoksida dari hemoglobin melalui hukum aksi massa.
Dalam kondisi normobarik menghirup udara kamar, paruh
karboksihemoglobin adalah 4-6 jam, tetapi menghirup oksigen 100% pada 3
ATA mengurangi waktu paruh menjadi 23 menit.
2.2.4 Mekanisme Terapi Oksigen Hiperbarik
Prinsip dari terapi oksigen hiperbarik adalah membantu tubuh untuk
memperbaiki jaringan yang rusak dengan meningkatkan aliran oksigen ke jaringan
tubuh. Terapi oksigen hiperbarik akan menyebabkan darah menyerap oksigen
lebih banyak akibat peningkatan tekanan oksigen di dalam paru- paru yang
dimanipulasi oleh ruangan hiperbarik. Dengan konsentrasi oksigen yang lebih
tinggi dari normal, tubuh akan terpicu untuk memperbaiki jaringan yang rusak
lebih cepat dari biasanya. Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) memberikan oksigen
di bawah tekanan untuk meningkatkan kadar oksigen jaringan. Oksigen diberikan
2-3 kali lebih tinggi dari tekanan atmosfer, dan didistribusikan di sekitar area yang
terinfeksi; sehingga memungkinkan terjadinya proses penyembuhan alami tubuh
dan memperbaiki fungsi jaringan. HBOT juga merangsang kaskade transduksi
sinyal dengan meningkatkan oksigen reaktif dan spesies nitrogen, maka jaringan

4
akan melepaskan prostaglandin, oksida nitrat, dan sitokin yang menunjukkan

4
respons patofisiologis terhadap luka, pembedahan, dan infeksi. HBOT diketahui
sebagai terapi untuk mengobati penyakit dekompresi, gangren, atau keracunan
karbon monoksida (Gandhi et al., 2018).
Patofisiologi respons HBOT terhadap luka, infeksi, trauma, atau
pembedahan melibatkan berbagai mediator kimia yang mencakup sitokin,
prostaglandin (PG), dan nitrat oksida (NO). Manfaat HBOT dalam penyembuhan
luka, keracunan karbon monoksida, penyakit dekompresi, dan indikasi lainnya
telah didokumentasikan dengan baik, dengan mekanisme yang masih kurang
dipahami. Bagaimana efek HBOT pada PG, NO, dan sitokin yang terlibat dalam
patofisiologi luka dan peradangan pada khususnya. HBOT menyebabkan
penurunan regulasi sitokin dan faktor pertumbuhan naik. HBOT menekan
produksi sitokin proinflamasi yang diinduksi-stimulus dan memengaruhi produksi
TNFa (tumor necrosis factor alpha) dan endotelin. Tingkat VEGF (faktor
pertumbuhan endotel vaskular) meningkat secara signifikan dengan HBOT ,
sedangkan nilai PGE2 dan COX-2 mRNA sangat berkurang (Humphreys & Stern,
2016).
HBOT telah terbukti meningkatkan produksi faktor pertumbuhan endotel
vascular (VEGF), varian faktor pertumbuhan turunan trombosit (PDGF), dan
faktor pertumbuhan fibroblast (FGF) sebagian melalui modulasi nitrat oksida.
VEGF dan PDGF bertanggung jawab untuk merangsang pertumbuhan kapiler dan
granulasi luka, dan melakukannya dengan mengubah jalur pensinyalan yang
mengarah pada proliferasi dan migrasi sel. FGF memainkan peran yang sama
dalam angiogenesis, tetapi juga menginduksi perkembangan saraf, organisasi
keratinosit, dan proliferasi fibroblast di lokasi luka yang mengarah ke granulasi
dan epitelisasi. Dalam jaringan iradiasi oksigen hiperbarik lebih efektif daripada
oksigen normobarik pada peningkatan tekanan parsial jaringan oksigen dan
mempromosikan angiogenesis dan penyembuhan luka (Kranke et al., 2015).
2.2.5 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik
Kontraindikasi mutlak untuk perawatan hiperbarik adalah pneumotoraks

4
yang tidak diobati. Kontraindikasi relatif lainnya adalah jika pasien menggunakan

4
agen kemoterapi tertentu seperti Adriamycin dan Cisplatinum atau Antabuse.
Masalah lain yang menjadi perhatian adalah pasien berventilasi, pasien dengan
hipertensi yang tidak terkontrol, dan penderita diabetes. Masalah dengan pasien
berventilasi adalah varian dalam volume udara dan tekanan dan masalah
barotrauma. Gula darah serum sering jatuh saat menyelam. Oleh karena itu,
disarankan untuk memastikan glukosa serum pada pasien dengan diabetes berada
pada sisi yang tinggi sebelum menyelam (Cho et al., 2018).
Efek samping negatif lain terapi oksigen hiperbarik saat menerima O2
bertekanan, akan terjadi cedera stres oksidatif, kerusakan DNA, metabolisme
seluler, pengaktifan koagulasi, disfungsi endotel, neurotoksisitas akut, dan
toksisitas paru, gangguan metabolism sel, mengaktifkan koagulasi, disfungsi
endotel, neurotoksisitas akut dan toksisitas paru. Efek sampingnya sering ringan
dan reversibel tetapi bisa parah dan mengancam nyawa. Secara umum, jika
tekanan tidak melebihi 300 kPa dan lamanya pengobatan kurang dari 120 menit,
terapi oksigen hiperbarik aman. Secara keseluruhan, gejala sistem saraf pusat yang
parah terjadi pada 1-2% pasien yang diobati, barotrauma reversibel simtomatik
pada 15-20%, gejala paru pada 15-20%, dan gejala optik reversibel pada hingga
20% pasien. Miopia karena keracunan oksigen pada lensa adalah efek samping
yang paling umum dan dapat berlangsung selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan (Mcmonnies, 2015).

2.4 Penelitian relevan

Peneliti/ tahun Metode penelitian Hasil penelitian


Sumarauw et al., (2019) Randomized controlled Hasil penelitian
trial. Sampel yang mendapatkan bahwa
digunakan sebanyak 20 perubahan skor PEDIS
Penderita Ulkus yang terjadi antara
Diabetikum. Data kedua pengukuran
dikumpul menggunakan terlihat lebih besar
lembar observasi dan pada kelompok TOHB
dianalisis menggunakan

4
uji t test dan Mann- dibandingkan kelompok
Whitney kontrol (2 vs 0, P=0,001).
Sedu et al., (2020) Randomized controlled Hasil penelitian
trial. Sampel yang menunjukkan
digunakan sebanyak 20 Perubahan kadar IL 6
Penderita Ulkus serum terlihat lebih
Diabetikum. Data besar pada pasien
dikumpul menggunakan dengan TOHB
lembar observasi dan dibandingkan pasien
dianalisis menggunakan kontrol (b=5,82 pg/mL;
uji Shapiro Wilk p=0,025). Sementara
untuk skor PEDIS dan
ukuran luka, kelompok
TOHB jelas lebih kecil
dibanding pasien
kontrol; Skor PEDIS
(p<0,001)
dan ukuran luka
(p=0,004)..
Ennis et al., (2018) Retrospective study Hasil penelitian
menggunakan 682 data menunjukkan
rekam medik pasien. subkelompok tanpa
Data dianalisis HBOT pasien hanya
menggunakan uji ulkus kaki dengan
Pearson correlation Wagner grade 3 atau 4
coefficient dan chi- tingkat kesembuhan
squared test hanya 56,04%.
Sedangkan Ulkus
diabetik menggunakan
HBOT, tingkat
penyembuhan menjadi
60,01% secara
keseluruhan.

4
Rahman et al., (2019) A randomized controlled Analisis ANOVA dengan
trial study. Sampel yang koreksi Greenhouse-
digunakan sebanyak Geisser menunjukkan
pasien ulkus diabetic bahwa rata-rata ukuran
tipe1 dan 2. Data luka dari waktu ke waktu
dikumpulkan (Hari 0, 10, 20 dan 30) di
menggunakan lembar antara pasien di bawah
observasi dan dianalisis kelompok HBOT
menggunakan Chi berbeda secara
Square dan Repeated signifikan secara statistik
Measures ANOVA [F (1,61) = 30,86, p <
0,001)] dibandingkan
dengan kelompok terapi
konvensional. Analisis
regresi logistik ganda
menunjukkan bahwa
kelompok HBOT
memiliki peluang hampir
44 kali lebih tinggi untuk

5
mencapai pengurangan
ukuran luka setidaknya
30% dalam periode
penelitian (95% CI: 7.18,
268.97, p <0.001).
Teguh et al., (2020) desain studi Hasil penelitian Setelah
prospectively terhadap HBOT, 81% dari semua
248 Pasien yang luka baik ulkus diabetic
memiliki Luka diabetic maupun non diabetic
tidak sembuh. Data Sebagian sembuh total,
dikumpulkan 13% kasus luka stabil,
menggunakan kuisioner dan 2% diamputasi
dan dianalisis minor atau mayor harus
menggunakan uji the dilakukan.
Fisher exact test.

Oley et al., (2020) A randomized controlled Hasil uji statistik


trial study terhadap 20 menunjukkan
pasien ulkus diabetic Perubahan kadar serum
tipe IL-6 dan VEGF lebih
2. Data dikumpulkan besar pada pasien
menggunakan lembar dengan HBOT
observasi dan dianalisis dibandingkan pada
menggunakan the pasien kontrol (p ¼
Shapiro-Wilk test 0,025 dan p ¼ 0,004).
Sedangkan untuk
penilaian skor PEDIS,
kelompok HBOT
menunjukkan hasil yang
signifikan dibandingkan
kelompok control.
Atit Kumar, Usha Shukla prospective, Hasil analisis
& Srivastava, (2018) randomized, double menunjukkan Ulkus
blind study terhadap 54 diabetik pada 78%
pasien ulkus pasien di Grup H
diabetic. Data sembuh total tanpa
dikumpulkan intervensi bedah
menggunakan lembar sementara tidak ada
observasi dan dianalisis pasien di grup S yang
menggunakan uji sembuh tanpa intervensi
unpaired t-test dan Chi bedah (P = 0,001). 2
square test. pasien di grup H
membutuhkan amputasi
distal sedangkan di Grup
S, tiga pasien menjalani
amputasi proksimal

2.5 Kerangka Teori

Terapi Oksigen Hiperbarik 39


1. Neuropati perifer
2. Trauma, Deformitas
3. Iskemia Ulkus
dan pembentukan Diabetiku
kalus
4. Gangguan

1. Efek fisiologis
2. Efek farmakologis

Oksigegen dalam
sirkulasi darah

VGEF meningkat terjadi


perbaikan/ pertumbuhan
endotel pembuluh

Percepatan
penyembuhan
Gambar 1. Kerangka Teori ulkus
Sumber: (Kahle & Cooper, 2017), (Brunner, 2014)

4
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Diagram alur


Secara sistematis, langkah dalam penulisan studi literatur dapat
digambarkan sebagai berikut:

Studi Literature
Pengumpulan data

Konsep yang diteliti

Konseptualitas

Analis
a

Kesimpulan dan
saran

Gambar 2. Diagram Alir Konsep Yang Diteliti

3.2 Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode studi
kepustakaan atau literatur review. Literature riview merupakan pengumpulan data
dan informasi dengan cara menggali pengetahuan atau ilmu dari sumber - sumber
seperti buku, karya tulis, dilihat catatan kuliah, serta beberapa sumber lainnya
yang ada hubungannya dengan objek penelitian (Rusmawan, 2019). Adapun studi
kepustakaan yang akan digunakan dalam literature review ini adalah semua

4
penelitian yang terkait dengan terapi oksigen hiperbarik dan percepatan
penyembuhan luka diabtetik.
Meskipun merupakan sebuah penelitian, penelitian dengan studi literatur
tidak harus turun ke lapangan dan bertemu dengan responden. Data-data yang
dibutuhkan dalam penelitian dapat diperoleh dari sumber pustaka atau dokumen.
Menurut (Zed, 2014) pada riset pustaka (library research), penelusuran pustaka
tidak hanya untuk langkah awal menyiapkan kerangka penelitian (research design)
akan tetapi sekaligus memanfaatkan sumber-sumber perpustakaan untuk
memperoleh data penelitian.
3.3 Pengumpulan data
Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari hasil penelitian yang
sudah dilakukan dan diterbitkan dalam jurnal online nasional dan internasional.
Pengumpulan data dalam studi literatur ini menggunakan data base dalam mencari
sumber literatur yaitu Scientdirect, Scopus, Pubmed, GARUDA dan Google
Schoolar. Peneliti menggunakan kata kunci dalam Bahasa Indonesia: terapi
oksigen hiperbarik dan percepatan penyembuhan luka diabtetik. sedangkan kata
kunci dalam bahasa inggris adalah oxygen therapy hiperbaric and accelerated
diabetic wound healing.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan penyaringan berdasarkan
criteria yang ditentukan oleh penulis dari setiap jurnal yang di ambil. Melakukan
penelitian terhadap jurnal dari abstrak apakah berdasarkan tujuan penelitian dan
melakukan frame work PICOT dengan tool yang ada. Kriteria jurnal sebagai
berikut :
Tabel 1 Kriteria inklusi pada litelature ini yaitu:
Kriteria Inklusi
Jangka waktu tanggal publikasi 5 tahun terakhir
mulai dari tahun 2015-2020
Bahasa Inggris dan Indonesia
Subyek pasien yang luka diabetik
Jenis artikel Original bentuk full teks
Tema isi artikel terapi oksigen hiperbarik dan
percepatan penyembuhan luka
diabtetik

4
Alur seleksi literatur berdasarkan jurnal dapat digambarkan sebagai berikut:

Literatur di
Identifikasi
melalui
Identifikasi 1. Sciendirect
2. Scopus
3. GARUDA
4. pubmed

Literatur di Identifikasi Literat


ur
dikeluarka
Literatur di skrining melalui akses full text 5 tahunnterakhir
Kelayakan
1. Judul dikeluarkan
Literatur
Screening 2.
1. Hanya
Literatur
Literatur kelayakan dikaji abstrak (tidak full
merupakan
text)
ulasan,
3. Google
opini
Inklusi Memenuhi Inklusi
2. akses
Literature review
(tidak

Gambar 3. Diagram Alur Proses Seleksi Literatur


3.4 Metode Analisa
Pada penelitian ini menggunakan analisis literature / analisis isi / content
analisa. Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan
mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media (Bungin,
2011). Setelah dianalisis, isi / content dari literatur penelitian dan text book
kemudian dinarasikan.

4
Studi literatur disintesis menggunakan metode naratif dengan
mengelompokkan data-data hasil ekstraksi yang sejenis sesuai dengan hasil yang
diukur untuk menjawab tujuan. Literatur penelitian yang sesuai dengan criteria
inklusi kemudian dikumpulkan dan dibuat ringkasan literatur meliputi nama
peneliti, tahun terbit literatur, tempat penelitian, judul penelitian, metode dan
ringkasan hasil atau temuan. Ringkasan literature penelitian tersebut dimasukan
ke dalam tabel sesuai dengan format tersebut di atas. Untuk lebih memperjelas
analisis abstrak dan full text literatur dibaca dan dicermati. Ringkasan literature
tersebut kemudian dilakukan analisis terhadap isi yang terdapat dalam tujuan
penelitian dan hasil / temuan penelitian.

4
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Studi Literature


Berdasarkan hasil pencarian literatur dari database Pubmed, Scientdirect dan
Google Scholar dengan menggunakan kata kunci dalam bahasa Indonesia “terapi
hiperbarik oksigen dan percepatan penyembuhan ulkus diabetik” serta kata kunci
dalam Bahasa inggris “hyperbaric oxygen therapy and healing of diabetic ulcers”.
Pada google scholar menghasilkan literatur sebanyak 53 jurnal, sedangkan
pencarian Scientdirect sebanyak 9 jurnal dan Pubmed sebanyak 756
jurnal.menghasilkan total 818 jurnal Selanjutnya peneliti melakukan screening
pada literatur dengan memperhatikan kriteria inklusi berupa akses full text yang
terbit tahun 2015-2020 dengan original article yang dapat didownload. Jurnal
yang tidak memenuhi kriteria inklusi dikeluarkan jika hanya dalam bentuk abstrak
dan tidak full text kemudian tidak bisa di download atau berbayar dan
memerlukan username atau password untuk login repository.
Literatur di uji kelayakannya dengan membaca, mengamati secara
menyeluruh dan memilih literatur penelitian dengan desain observasional
sehingga mendapatkan 15 jurnal yang teruji kelayakannya.dan Jurnal yang hanya
merupakan ulasan dan opini itu kemudian dikeluarkan sehingga dari 15 jurnal
tersebut kemudian di inklusi sesuai kriteria yaitu tahun publikasi 2015-2020,
jurnal bahasa inggris atau bahasa indonesia, tidak dalam bentuk abstrak saja
maupun buku artikel harus dalam bentuk full text, dapat didownload dan diakses
dan jurnal sesuai topik dan judul sehingga di dapatkan jurnal yang sesuai yaitu
sebanyak 7 jurnal yang meliputi 2 jurnal nasional dan 5 jurnal publikasi
internasional.
Alur seleksi literatur berdasarkan jurnal yang akan dianalisis dapat
digambarkan sebagai berikut:

Berikut adalah alur seleksi jurnal:

Literatur di identifikasi melalui 45


search engine
1. Google Scholar:53
2. PubMed: 756
3. Sciendirect: 9
Total : 818 jurnal
IDENTIFIKASI

Literatur diidentifikasi

Literatur dikeluarkan

Literatur di screening 1. Hanya abstrak (tidak


menggunakan filter tahun full text) : 413
2015-2020, open access, 2. Tidak bisa di
SCREENING full text, research funder
download/ berbayar
dan academic journal
(N:80 :130
3) 3. Memerlukan username
dan password untuk login
:260

Literatur dikaji kelayakan (N:15) Literatur dikeluarkan


KELAYAKAN Literatur merupakan ulasan,
opini (0Jurnal )

Kriteria inklusi
1. Jurnal nasional
dan internasional
2. Rentang waktu
penerbitan jurnal tahun
2015-2020
Literatur yang 3. Dapat diakses/download,
INKLUSI full text dan tidak berbayar
memiliki kriteria
4. Jurnal sesuai dengan
topik penelitian yaitu
mengenai terapi
hiperbarik oksigen
dalam mempercepat

Gambar 5. Alur Seleksi Jurnal

4
Berdasarkan pencarian literatur dari tiga database yang sesuai yaitu tujuh jurnal
dengan rincian jurnal sebagai berikut :

Penulis dan judul Jurnal


1. Ennis et al (2018). “Impact of Hyperbaric Oxygen on More Advanced
Wagner Grades 3 and 4 Diabetic Foot Ulcers: Matching Therapy to
Specific Wound Conditions”.
2. Atit Kumar,Usha Shukia & Srivastava (2018). “Hyperbaric oxygen
therapy as an adjuvant to standard therapy in the treatment of diabetic
foot ulcers”.
3. Rahman et al (2019). “Use of hyperbaric oxygen therapy (HBOT) in
chronic diabetic wound - A randomised trial”.
4. Teguh et al (2020). “Hyperbaric oxygen therapy for nonhealing wounds:
Treatment results of a single center”.
5. Oley et al (2020). “Hyperbaric oxygen therapy in the healing process of
foot ulcers in diabetic type 2 patients marked by interleukin 6, vascular
endothelial growth factor, and PEDIS, score: A randomized controlled
trial study”.
6. Sumarauw et al (2019). “Efek terapi oksigen hiperbarik (TOHB) pada
penyembuhan ulkus kaki DM Tipe 2 berdasarkan pada skor PEDIS”.
7. Sedu et al (2020). “Studi pendahuluan terapi oksigen hiperbarik terhadap
penyembuhan ulkus kaki diabetic penderita Diabetes melitus Tipe 2
dengan penanda interleukin 6 dan skor PEDIS”.

4
Tabel 2. Syntesis Matrix oksigen hiperbarik terapi dalam mempercepat penyembuhan ulkus diabetikum
Metode
Penelitian Design
(D), Populasi (P),
Author (A)
Sample (S),
Judul (T) Tahun Tahun
No Tujuan Lokasi (L), Hasil penelitian Kesimpulan Rekomendasi
Jurnal (J) publikasi publikasi
Variabel (V),
Database (D)
Instrumen
Penelitian (I),
Analisis (A)
1 A: Ennis et al., 2018 Tujuan dari D : Retrospective 2018 Hasil penelitian hasil Studi
2018 penelitian ini study menunjukkan penyembuhan observasional ini
adalah untuk subkelompok dari beberapa meneumkan
T: Impact of mengidentifikasi P: data rekam tanpa HBOT penelitian betapa
Hyperbaric populasi pasien medik Pasien pasien hanya HBOT pentingnya
Oxygen on More ulkus kaki ulkus ulkus kaki sebelumnya pelaporan pada
Advanced Wagner diabetik yang diabetik dengan Wagner serta modalitas tingkat populasi,
Grades 3 and 4 menunjukkan S: 682 data rekam grade 3 atau 4 lanjutan lainnya tingkat etiologi
Diabetic Foot respon yang medik pasien tingkat yang telah luka tertentu,
Ulcers: Matching signifikan kesembuhan digunakan dan tingkat
Therapy to terhadap terapi L :Mexiko hanya 56,04%. dalam risiko serta
Specific Wound oksigen Sedangkan perawatan ulkus memberikan
Conditions hiperbarik I: Lembar Ulkus diabetik kaki diabetik dokter
(HBOT) Observasi menggunakan pemahaman
J : Advances In HBOT, tingkat yang
Wound Care, A: Pearson penyembuhan komprehensif
correlation menjadi 60,01% tentang kapan
D : Pubmed coefficient dan secara harus
chi-squared test keseluruhan. meresepkan

4
oksigen
hiperbarik
2 A: (Atit Kumar, 2018 Tujuan dari D : prospective, 2020 Hasil analisis Penelitian ini Intervensi terapi
Usha Shukla & penelitian ini randomized, menunjukkan menunjukkan oksigen
Srivastava, 2018) adalah untuk double blind Ulkus diabetik bahwa terapi hiperbarik dapat
mengevaluasi study. pada 78% pasien oksigen dijadikan
T : Hyperbaric efektivitas terapi di Grup H hiperbarik intervensi yang
oxygen therapy as oksigen P : pasien ulkus sembuh total merupakan tepat untuk
an adjuvant to hiperbarik diabetik tanpa intervensi adjuvan yang penyembuhan
standard therapy (HBOT) sebagai bedah sementara berguna untuk ulkus diabetik
in the treatment of adjuvan untuk S : 54 pasien tidak ada pasien terapi standar
diabetic foot terapi standar dengan ulkus kaki di grup S yang dan merupakan
ulcers untuk diabetik Wagner sembuh tanpa modalitas
pengobatan grade II-IV intervensi bedah pengobatan
J : Journal of ulkus kaki (P = 0,001). 2 yang lebih baik
Anaesthesiology diabetik. pasien di grup H jika
Clinical L : India membutuhkan dikombinasikan
Pharmacology amputasi distal dengan
I : lembar sedangkan di pengobatan
D : Pubmed observasi Grup S, tiga standar daripada
pasien menjalani pengobatan
A: unpaired t-test amputasi standar saja
dan Chi square proksimal untuk
test. pengelolaan
ulkus kaki
diabetik.
3 A: (Rahman et al., 2019 Tujuan dari D: A randomized 2019 Hasil penelitian Hasil yang Intervensi ini
2019) penelitian ini controlled trial melalui diperoleh dalam dapat digunakan
adalah untuk study pengukuran penelitian ini pada pasien
mengetahui Berulang menunjukkan ulkus diabetic

4
T: Use of pengaruh terapi P: pasien ulkus Analisis bahwa sebagai dalam rangka
hyperbaric oxygen oksigen diabetic tipe1 dan ANOVA dengan terapi tambahan mempercepat
therapy (HBOT) hiperbarik 2 koreksi untuk penyembuhan
in chronic diabetic (HBOT) Greenhouse- perawatan luka luka.
wound - A terhadap pasien S: 60 orang Geisser konvensional,
randomised trial ulkus kaki Sampel menunjukkan HBOT
diabetik (DFU) bahwa rata-rata mempengaruhi
J: Med J Malaysia disamping ukuran luka dari kecepatan
Vol 74 No 5 tatalaksana L : Malaysia waktu ke waktu penyembuhan
October 2019 perawatan luka (Hari 0, 10, 20 ulkus kaki
standar. I : observasi dan 30) di antara diabetik secara
D: Pubmed pasien di bawah signifikan
A : Chi Square kelompok HBOT dalam hal
dan Repeated berbeda secara pengurangan
Measures signifikan secara ukuran luka jika
ANOVA statistik [F (1,61) dibandingkan
= 30,86, p < dengan
0,001)] pemberian
dibandingkan perawatan luka
dengan konvensional
kelompok terapi saja.
konvensional.
Analisis regresi
logistik ganda
menunjukkan
bahwa kelompok
HBOT memiliki
peluang hampir
44 kali lebih
tinggi untuk
mencapai
5
pengurangan
ukuran luka
setidaknya 30%
dalam periode
penelitian (95%
CI: 7.18, 268.97,
p <0.001).
4 A : (Teguh et al., 2020 Penelitian D: desain studi 2020 Hasil penelitian Mayoritas HBOT adalah
2020) bertujuan untuk prospectively Setelah HBOT, pasien dengan pengobatan yang
mengevaluasi 81% dari semua luka yang tidak dapat ditoleransi
T : Hyperbaric hasil pengobatan P : Pasien yang luka baik ulkus sembuh secara dengan baik
oxygen therapy dengan terapi memiliki Luka diabetic maupun klinis membaik sehingga dapat
for nonhealing oksigen diabetic tidak non diabetic ketika diberikan dijadikan
wounds: hiperbarik sembuh Sebagian HBOT. Tidak sebagai
Treatment results (HBOT) pada sembuh total, ada perbedaan intervensi dalam
of a single center pasien dengan 13% kasus luka dalam tingkat penyembuhan
luka kronis yang S: 248 sampel stabil, dan 2% keberhasilan luka diabetic
J : Wound Repair tidak sembuh diamputasi yang terlihat ataupun non
and Regeneration L : Belanda minor atau antara luka diabetic..
mayor harus diabetes dan
D : Google I : Lembar dilakukan. luka
Scholar kuisioner nondiabetes.

A: the Fisher exact


test.
5 A : (Oley et al., 2020 Penelitian D: A randomized 2020 Hasil uji statistik HBOT dapat Intervensi terapi
2020) bertujuan controlled trial menunjukkan membantu oksigen
membuktikan study Perubahan kadar mempercepat hiperbarik dapat
T : Hyperbaric kemampuan serum IL-6 dan proses dijadikan
oxygen therapy in HBOT dalam VEGF lebih penyembuhan intervensi yang

5
the healing mempercepat P: pasien ulkus besar pada luka yang tepat untuk
process of foot proses diabetic tipe 2 pasien dengan dibuktikan penyembuhan
ulcers in diabetic penyembuhan HBOT dengan ulkus diabetik
type 2 patients ulkus diabetik S: 20 orang dibandingkan peningkatan
marked by dengan Sampel pada pasien kadar serum IL-
interleukin 6, meningkatkan kontrol (p ¼ 6 dan VEGF
vascular kadar 0,025 dan p ¼ serta
endothelial Interleukin 6 L : Indonesia 0,004). menurunkan
growth factor, and serum (IL-6) Sedangkan untuk skor PEDIS
PEDIS score: A dan Vascular I : observasi penilaian skor
randomized Endothelial PEDIS,
controlled trial Growth Factor A : the Shapiro- kelompok HBOT
study (VEFG), dinilai Wilk test menunjukkan
dari perfusi, hasil yang
J : International luas, kedalaman, signifikan
Journal of Surgery infeksi dan dibandingkan
Open sensasi. kelompok
(PEDIS). control.
D : Scientdirect
6 A: Sumarauw et 2019 untuk D: Randomized 2019 Hasil penelitian Terapi Intervensi ini
al., 2019 membuktikan controlled trial mendapatkan hiperbarik dapat digunakan
bahwa TOHB bahwa oksigen pada pasien
T: Efek Terapi dapat P: Penderita Ulkus perubahan skor mempercepat ulkus diabetic
Oksigen mempercepat Diabetikum PEDIS yang proses dalam rangka
Hiperbarik proses terjadi antara penyembuhan mempercepat
(TOHB) pada penyembuhan S: 20 sampel kedua UKD dinilai penyembuhan
Penyembuhan UKD, dinilai pengukuran dari penurunan luka.
Ulkus Kaki DM berdasarkan L : Manado terlihat lebih skor PEDIS.
Tipe 2 ukuran dan besar pada
Berdasarkan Skor kedalaman luka V: Terap[I kelompok TOHB
PEDIS Hiperbarik dibandingkan
5
melalui skor Oksigen dan kelompok
J: Jurnal PEDIS Penyembuhan kontrol (2 vs 0,
Biomedik (JBM), Ulkus Kaki DM P=0,001).
Volume 11, Tipe 2
Nomor 2, Juli Berdasarkan Skor
2019 PEDIS

D: Google Scholar I : lembar


observasi

A: tes t atau
Mann-Whitney U
bagi variabel
numerik, dan uji
chi-square untuk
variabel
kategorial serta
regresi linear
7 A: Sedu et al., 2019 Membuktikan D: Randomized 2020 Hasil penelitian TOHB dapat Intervensi ini
2020 bahwa terapi controlled trial menunjukkan membantu dapat digunakan
oksigen Perubahan kadar mempercepat pada pasien
T: Studi hiperbarik P: Penderita Ulkus IL 6 serum proses ulkus diabetic
Pendahuluan (TOHB) dapat Diabetikum terlihat lebih penyembuhan dalam rangka
Terapi Hiperbarik mempercepat besar pada luka yang mempercepat
Terhadap proses S: 20 sampel pasien dengan dinilai melalui penyembuhan
Penyembuhan penyembuhan TOHB peningkatan luka.
Ulkus Kaki ulkus kaki L : Manado dibandingkan kadar IL 6
Diabetik Penderita diabetik (UKD) pasien kontrol serum dan
Diabetes Melitus melalui V: Terap[I (b=5,82 pg/mL; penurunan skor
Tipe-2 dengan peningkatan Hiperbarik p=0,025). PEDIS.
Penanda kadar IL 6 serum Oksigen dan Sementara untuk
5
Interleukin 6 dan dan dapat Penyembuhan skor PEDIS dan
Skor PEDIS memperkecil Ulkus Kaki DM ukuran luka,
ukuran serta Tipe 2 kelompok TOHB
kedalaman luka jelas lebih kecil
J: JBN (Jurnal dinilai melalui I: lembar dibanding pasien
Bedah Nasional) skor PEDIS. observasi kontrol; Skor
PEDIS
D: Google Scholar A : Shapiro Wilk (p<0,001) dan
ukuran luka
(p=0,004)..

5
4.2 Pembahasan Studi Literature
Berdasarkan 7 jurnal artikel yang direview, didapatkan menggunakan berbagai metode yaitu
prospective study, A randomized controlled trial study, dan restrospective study dimana sampel
yang digunakan adalah pasien yang menderita ulkus diabetic dan mendapatkan terapi hiperbarik
oksigen. Setiap artikel jurnal dibaca secara menyeluruh, dan ide atau kode kunci yang relevan
dengan topik yang relevan. Akhirnya setiap jurnal disaring dan didiskusikan agar konten yang
review ini bisa menjadi referensi baru bagi perawat luka menggunakan metode terapi hiperbarik
oksigen bagi ulkus diabetic. Hal ini sebagaimana didapatkan dari identifikasi jurnal penelitian
sebelumnya yang disajikan pada tabel Syntesis Matrix Oksigen Hiperbarik Terapi Dalam
Mempercepat Penyembuhan Ulkus Diabetikum.
Studi literatur yang pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Ennis et al (2018)
tentang dampak oksigen hiperbarik pada ulkus kaki diabetik berdasarkan Wagner grade 3 dan 4.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi populasi pasien ulkus kaki diabetik yang
menunjukkan respon yang signifikan terhadap terapi oksigen hiperbarik (HBOT) dengan desain
retrospective study terhadap 682 data rekam medik pasien ulkus diabetic yang kemudian
dianalisis menggunakan uji Pearson correlation coefficient dan chi-squared test. Berbeda dengan
penelitian sebelumnya, pada penelitian ini digunakan indicator wangner grade 3 dan 4 dalam
menilai percepatan penyembuhan luka diabetic. Hasil penelitian menunjukkan subkelompok
tanpa HBOT pasien hanya ulkus kaki dengan Wagner grade 3 atau 4 tingkat kesembuhan hanya
56,04%. Sedangkan Ulkus diabetik menggunakan HBOT, tingkat penyembuhan menjadi 60,01%
secara keseluruhan sehingga didapatkan kesimpulan bahwa oksigen hiperbarik sangat
berpengaruh pada ulkus kaki diabetik melalui penilaian wangner grade 3 dan 4.
Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Atit Kumar, Usha Shukla &
Srivastava (2018) tentang terapi oksigen hiperbarik sebagai adjuvan untuk terapi standar dalam
pengobatan ulkus kaki diabetic. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efektivitas
terapi oksigen hiperbarik (HBOT) untuk pengobatan ulkus kaki diabetic. Penelitian menggunakan
desain prospective, randomized, double blind study pada 54 pasien dengan ulkus kaki diabetik
Wagner grade II-IV yang kemudian dianalisis menggunakan uji unpaired t-test dan Chi square

5
test.

5
Hasil analisis menunjukkan Ulkus diabetik pada 78% pasien di Grup H sembuh total tanpa
intervensi bedah sementara tidak ada pasien di grup S yang sembuh tanpa intervensi bedah (P =
0,001). 2 pasien di grup H membutuhkan amputasi distal sedangkan di Grup S, tiga pasien
menjalani amputasi proksimal. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa terapi oksigen hiperbarik
merupakan adjuvan yang berguna untuk terapi standar dan merupakan modalitas pengobatan yang
lebih baik jika dikombinasikan dengan pengobatan standar daripada pengobatan standar saja
untuk pengelolaan ulkus kaki diabetik.
Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahman et al (2019)
Penggunaan terapi oksigen hiperbarik (HBOT) pada luka diabetes kronis - Sebuah uji coba secara
acak melalui a randomized controlled trial study terhadap 60 pasien ulkus diabetic tipe1 dan 2
dan dianalisis menggunakan uji Chi Square dan Repeated Measures ANOVA. Hasil penelitian
melalui pengukuran Berulang Analisis ANOVA dengan koreksi Greenhouse-Geisser
menunjukkan bahwa rata-rata ukuran luka dari waktu ke waktu (Hari 0, 10, 20 dan 30) di antara
pasien di bawah kelompok HBOT berbeda secara signifikan secara statistik [F (1,61) = 30,86, p <
0,001)] dibandingkan dengan kelompok terapi konvensional. Analisis regresi logistik ganda
menunjukkan bahwa kelompok HBOT memiliki peluang hampir 44 kali lebih tinggi untuk
mencapai pengurangan ukuran luka setidaknya 30% dalam periode penelitian (95% CI: 7.18,
268.97, p <0.001). Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai terapi
tambahan untuk perawatan luka konvensional, HBOT mempengaruhi kecepatan penyembuhan
ulkus kaki diabetik secara signifikan dalam hal pengurangan ukuran luka jika dibandingkan
dengan pemberian perawatan luka konvensional saja.
Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Teguh et al (2020) tentang Terapi
oksigen hiperbarik untuk luka Pasien yang memiliki Luka diabetic tidak sembuh. Penelitian
bertujuan untuk mengevaluasi hasil pengobatan dengan terapi oksigen hiperbarik (HBOT) pada
pasien dengan luka kronis yang tidak sembuh. Penelitian menggunakan desain studi prospectively
terhadap 248 sampel pasien luka diabetic yang kemudian dianalisis menggunakan uji the Fisher
exact test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa setelah HBOT, 81% dari semua luka baik ulkus
diabetic maupun non diabetic Sebagian sembuh total, 13% kasus luka stabil, dan 2% diamputasi

5
minor atau mayor harus dilakukan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa mayoritas pasien dengan
luka yang tidak sembuh secara klinis membaik ketika diberikan HBOT. Penelitian ini juga
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan dalam tingkat keberhasilan yang terlihat antara luka
diabetes dan luka nondiabetes.
Selanjutnya penelitian kelima yaitu penelitian yang dilakukan oleh Oley et al (2020) tentang
terapi oksigen hiperbarik dalam proses penyembuhan ulkus kaki pada pasien diabetes tipe 2 yang
ditandai dengan interleukin 6, faktor pertumbuhan endotel vaskular, dan skor PEDIS melalui studi
uji coba terkontrol secara acak terhadap 20 pasien ulkus diabetic tipe 2. Penelitian bertujuan
membuktikan kemampuan HBOT dalam mempercepat proses penyembuhan ulkus diabetik
dengan meningkatkan kadar Interleukin 6 serum (IL-6) dan Vascular Endothelial Growth Factor
(VEFG), dinilai dari perfusi, luas, kedalaman, infeksi dan sensasi. (PEDIS). Data dianalisis
menggunakan the Shapiro-Wilk test. Hasil uji statistik menunjukkan Perubahan kadar serum IL-6
dan VEGF lebih besar pada pasien dengan HBOT dibandingkan pada pasien kontrol (p ¼ 0,025
dan p ¼ 0,004). Sedangkan untuk penilaian skor PEDIS, kelompok HBOT menunjukkan hasil
yang signifikan dibandingkan kelompok control. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa HBOT
dapat membantu mempercepat proses penyembuhan luka yang dibuktikan dengan peningkatan
kadar serum IL-6 dan VEGF serta menurunkan skor PEDIS.
Penelitian keenam adalah penelitian yang dilakukan oleh Sumarauw et al (2019) tentang
efek terapi oksigen hiperbarik (tohb) pada penyembuhan ulkus kaki DM Tipe 2 berdasarkan skor
PEDIS. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan bahwa TOHB dapat mempercepat proses
penyembuhan UKD, dinilai berdasarkan ukuran dan kedalaman luka melalui skor PEDIS
terhadap 20 orang sampel penderita ulkus diabetic menggunakan desain randomized controlled
trial kemudian dianalisis menggunakan uji T test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan
skor PEDIS yang terjadi antara kedua pengukuran terlihat lebih besar pada kelompok TOHB
dibandingkan kelompok kontrol (2 vs 0, P=0,001) dan melalui hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa terapi hiperbarik oksigen mempercepat proses penyembuhan ulkus diabetikum dinilai dari
penurunan skor PEDIS. Pada penelitian ini digunakan skor kategori PEDIS untuk menentukan
secara cepat dan akurat perkembangan penyembuhan luka pada UKD karena dianggap sebagai

5
metode terbaik dalam menentukan perbedaan kemampuan pengambilan klinis dan memiliki
kapasitas yang baik untuk memrediksi outcome dibandingkan sistem penilaian yang lain.
Menurut Sumarauw et al (2019), dasar terapeutik pada TOHB ialah peningkatan kuantitas oksigen
terlarut yang diangkut oleh darah yang mengakibatkan peningkatan bermakna dari konsentrasi
oksigen dalam jaringan tubuh. Konsentrasi oksigen yang tinggi dapat meningkatkan produksi
ROS; namun disisi lain TOHB menginduksi lingkungan antioksidan dalam plasma dengan
meningkatkan aktivitas katalase plasma. Peningkatan kadar ROS dapat memediasi ekspresi
dari molekul- molekul kunci pada inflamasi, resolusi dan perbaikan luka. Dengan demikian,
pening- katan ini dapat dianggap sebagai mekanis- me utama kerja TOHB dalam penyembuhan
luka diabetic.
Penelitian ketujuh adalah penelitian yang dilakukan oleh Sedu et al (2020) melalui studi
pendahuluan terapi hiperbarik terhadap penyembuhan ulkus kaki diabetik penderita Diabetes
Melitus Tipe-2 dengan penanda interleukin 6 dan Skor PEDIS. Penelitian ini bertujuan untuk
membuktikan bahwa terapi oksigen hiperbarik (TOHB) dapat mempercepat proses
penyembuhan ulkus kaki diabetik (UKD) melalui peningkatan kadar IL 6 serum dan dapat
memperkecil ukuran serta kedalaman luka dinilai melalui skor PEDIS. Penelitian menggunakan
desain Randomized controlled trial terhadap 20 Penderita Ulkus Diabetikum dan dianalisis
menggunakan uji Shapiro Wilk. Berbeda dengan penelitian Sumarraw(2019), selain
menggunakan skor PEDIS untuk melihat percepatan penyembuhan luka diabetic, peneliti juga
menggunakan penilaian peningkatan kadar IL 6 serum. Hasil penelitian menunjukkan pada
kelompok TOHB, dilakukan pengukuran kadar IL 6 serum setelah TOHB sesi pertama
menunjukkan peningkatan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selanjutnya
dilakukan pengukuran nilai skor PEDIS setelah TOHB sesi ketiga dan didapatkan hasil
penurunan secara signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Ini menunjukkan bahwa
TOHB dapat meningkatkan sintesis fibroblast dan deposit kolagen serta memacu makrofag pada
jaringan yang rusak ke fase resolusi proses penyembuhan luka melalui peningkatan IL 6, sehingga
Sedu et al (2020) menyimpulkan bahwa TOHB dapat membantu mempercepat proses
penyembuhan luka yang dinilai melalui peningkatan kadar IL 6 serum dan penurunan skor

5
PEDIS.

6
Berdasarkan studi literatur dari ketujuh jurnal tersebut menemukan bahwa terapi hiperbarik
oksigen secara signifikan dapat mempercepat proses penyembuhan ulkus diabetic. Dalam studi
literatur ini juga didapatkan analisis tentang mekanisme proses penyembuhan luka melalui terapi
hiperbatrik oksigen. Mekanisme ini diawali dari prinsip kerja pemberian oksigen100% tekanan 2-
3 atm. Tahap selanjutnya adalah dengan pengobatan decompression sickness. Kondisi ini akan
memicu peningkatan fibroblast dan agiogenesis yang menyebabkan neovaskularisasi jaringan
luka, sintesis kolagen dan peningkatan efek fagositosis leukosit. Selanjutnya akan terjadi
peningkatan perbaikan aliran darah mikrovaskuler. Densitas kapiler meningkat sehingga daerah
yang mengalamiiskemia akan mengalami referfusi. Sebagai respon, akan terjadi peningkatan nitrit
oksida (NO) hingga 4-5 kali diiringi pemberian oksigen hiperbari 2-3 atm selama 2 jam. Pada sel
endotel ini, oksigen juga akan meningkatkan intermediate vascular endhotelial growth factor
(VEGF). Melalui siklus krebs akan terjadi peningkatan nikotinamid adenin dinekleotida hydrogen
yangmemicu peningkatan fibroblast. Fibroblast diperlukan untuk sintesis proteoglikan dan
Bersama VEGF akan memacu sintesis kolagen pada proses remodeling, salah satu tahapan dalam
penyembuhan luka. Oksigen penting dalan hidroksilasi lisin dan prolin selama proses sintesis
kolagen dan untuk penyatuan dan pematangan kolagen.
Pendapat peneliti ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Langi (2013) bahwa
terapi ajuvan yang sering digunakan dalam pengelolaan UKD ialah terapi oksigen hiperbarik
(TOH). TOH merupakan pemberian oksigen untuk pasien dengan tekanan yang lebih tinggi dari
tekanan atmosfer normal. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi oksigen dalam darah dan
peningkatan kapasitas difusi jaringan.Tekanan parsial oksigen dalam jaringan yang meningkat
akan merangsang neovaskularisasi dan replikasi fibroblas serta meningkatkan fagositosis dan
leucocyte-mediated killing dari bakteri. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Kranke et
al (2015), bahwa penggunaan HBOT adalah dengan mengatasi terjadinya hipoksia jaringan pada
daerah luka diabetic. Pada luka akut penyembuhan dimungkinkan oleh hipoksia awal, pH rendah
dan konsentrasi laktat tinggi ditemukan pada jaringan yang baru terluka. Beberapa elemen
perbaikan jaringan sangat bergantung pada oksigen, misalnya elaborasi kolagen dan deposisi oleh
fibroblas dan pembunuhan bakteri oleh makrofag. Adanya keseimbangan antara hipoksia luka dan

6
oksigenasi luka, penyembuhan yang berhasil bergantung pada oksigenasi jaringan yang memadai
di daerah sekitar luka. Dalam penyembuhan luka, suplai oksigen yang tidak mencukupi dapat
mencegah proses penyembuhan normal akibat suplai oksigen yang terputus-putus ke jaringan
yang mengalami hipoksia. Pemberian HBOT pada perawatan luka telah terbukti menyebabkan
hiperoksigenasi jaringan, vasokonstriksi, aktivasi fibroblast, penurunan regulasi sitokin inflamasi,
peningkatan regulasi faktor pertumbuhan, efek antibakteri, potensiasi antibiotik, dan penurunan
kemotaksis leukosit.
Kelainan neurovaskular pada penderita diabetes diperberat dengan aterosklerosis.
Aterosklerosis merupakan kondisi arteri menebal dan menyempit karena penumpukan lemak di
dalam pembuluh darah. Menebalnya arteri di kaki dapat mempengaruhi otot- otot kaki karena
berkurangnya suplai darah, kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka lama dapat
mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang menjadi ulkus kaki diabetes. Proses
angiopati pada penderita DM berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
tungkai bawah terutama kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal tungkai berkurang (Kartika,
2017).
Patofisiologi respons HBOT terhadap luka, infeksi, trauma, atau pembedahan melibatkan
berbagai mediator kimia yang mencakup sitokin, prostaglandin (PG), dan nitrat oksida (NO).
Manfaat HBOT dalam penyembuhan luka, keracunan karbon monoksida, penyakit dekompresi,
dan indikasi lainnya telah didokumentasikan dengan baik, dengan mekanisme yang masih kurang
dipahami. Bagaimana efek HBOT pada PG, NO, dan sitokin yang terlibat dalam patofisiologi
luka dan peradangan pada khususnya. HBOT menyebabkan penurunan regulasi sitokin dan faktor
pertumbuhan naik. HBOT menekan produksi sitokin proinflamasi yang diinduksi-stimulus dan
memengaruhi produksi TNFa (tumor necrosis factor alpha) dan endotelin. Tingkat VEGF (faktor
pertumbuhan endotel vaskular) meningkat secara signifikan dengan HBOT , sedangkan nilai
PGE2 dan COX-2 mRNA sangat berkurang (Humphreys & Stern, 2016).
Prinsip dari terapi oksigen hiperbarik adalah membantu tubuh untuk memperbaiki jaringan
yang rusak dengan meningkatkan aliran oksigen ke jaringan tubuh. Terapi oksigen hiperbarik
akan menyebabkan darah menyerap oksigen lebih banyak akibat peningkatan tekanan oksigen di

6
dalam

6
paru- paru yang dimanipulasi oleh ruangan hiperbarik. Dengan konsentrasi oksigen yang lebih
tinggi dari normal, tubuh akan terpicu untuk memperbaiki jaringan yang rusak lebih cepat dari
biasanya. Terapi oksigen hiperbarik (HBOT) memberikan oksigen di bawah tekanan untuk
meningkatkan kadar oksigen jaringan. Oksigen diberikan 2-3 kali lebih tinggi dari tekanan
atmosfer, dan didistribusikan di sekitar area yang terinfeksi; sehingga memungkinkan terjadinya
proses penyembuhan alami tubuh dan memperbaiki fungsi jaringan. HBOT juga merangsang
kaskade transduksi sinyal dengan meningkatkan oksigen reaktif dan spesies nitrogen, maka
jaringan akan melepaskan prostaglandin, oksida nitrat, dan sitokin yang menunjukkan respons
patofisiologis terhadap luka, pembedahan, dan infeksi (Gandhi et al., 2018).
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya oleh Humphreys & Stern (2016) bahwa bahwa
HBOT telah terbukti meningkatkan produksi faktor pertumbuhan endotel vascular (VEGF),
varian faktor pertumbuhan turunan trombosit (PDGF), dan faktor pertumbuhan fibroblast (FGF)
sebagian melalui modulasi nitrat oksida. Kranke et al (2015) juga menambahkan bahwa VEGF
dan PDGF bertanggung jawab untuk merangsang pertumbuhan kapiler dan granulasi luka, dan
melakukannya dengan mengubah jalur pensinyalan yang mengarah pada proliferasi dan migrasi
sel. FGF memainkan peran yang sama dalam angiogenesis, tetapi juga menginduksi
perkembangan saraf, organisasi keratinosit, dan proliferasi fibroblast di lokasi luka yang
mengarah ke granulasi dan epitelisasi. Dalam jaringan iradiasi oksigen hiperbarik lebih efektif
daripada oksigen normobarik pada peningkatan tekanan parsial jaringan oksigen dan
mempromosikan angiogenesis dan penyembuhan luka.
Pada studi literatur juga ini didapatkan penilaian percepatan penyembuhan luka berdasarkan
skor pedis dan grade 3 dan 4 Wanger. Skor kategori PEDIS untuk menentukan secara cepat dan
akurat perkembangan penyembuhan luka pada ulkus diabetik karena dianggap sebagai metode
terbaik dalam menentukan perbedaan kemampuan pengambilan klinis dan memiliki kapasitas
yang baik untuk memprediksi outcome dibandingkan system penilaian yang lain. Sensitivitas dan
spesifisitas untuk hasil yang merugikan (adverse outcomes) untuk skor PEDIS ialah 7. Untuk
identifikasi hasil yang merugikan, skor PEDIS memiliki sensitivitas 93% dan spesifisitas 82%.

6
Nilai ini dianggap lebih baik jika dibandingkan dengan sistem skor Wagner yang masing- masing
memiliki sensitivitas 88%.
Analisis peneliti sebagaimana dijelaskan dalam penelitian Sedu et al (2020) bahwa untuk
menilai proses penyembuhan luka pada penderita UKD digunakan klasifikasi PEDIS.
Kriterianya adalah perfusi, luas luka, kedalaman luka, infeksi dan sensasi. Perfusi yang ditentukan
oleh kombinasi pemeriksaan fisik dan studi vaskular noninvasif, termasuk ankle brachial index
(ABI), toebrachial index (TBI), tekanan oksigen transkutan (TcpO2) dan ankle/toe pressure.
Luas luka, diperkirakan dengan mengalikan diameter terbesar dengan diameter terbesar kedua
yang diukur tegak lurus terhadap diameter pertama dan dinyatakan sebagai cm2. c) Kedalaman
luka, dievaluasi secara klinis dan tes pencitraan. Infeksi, diagnosisnya terutama didasarkan pada
ada atau tidak adanya gejala dan tanda- tanda peradangan, dan adanya sekresi, hasil tes
laboratorium dan tes pencitraan. Sensasi, dievaluasi dengan monofilamen 10-g dan / atau sensasi
garpu tala 128-Hz pada satu atau lebih lokasi kaki. Nilai ambang batas yang memaksimalkan
sensitivitas dan spesifisitas untuk hasil yang merugikan (adverse outcomes) untuk skor PEDIS
adalah 7. Untuk identifikasi hasil yang merugikan (adverse outcomes), skor PEDIS memiliki
sensitivitas 93% dan spesifisitas 82%.
Berdasarkan hasil penelitian studi literatur ini maka dapat disimpulkan bahwa pemberian
terapi hiperbarik oksigen sangat efektif dalam mempercepat penyembuhan ulkus diabetic
terutama bila dilihat dari perubahan kondisi luka berdasarkan penilaian skor PEDIS dan
perubahan interleukin 6 yang berfungsi untuk menilai fase resolusi proses penyembuhan luka.
4.3 Keterbatasan penelitian
Dalam penelitian ini ,peneliti memiliki beberapa hambatan yang di karenakan
oleh metode,design dan instrument yang di gunakan oleh ketujuh jurnal itu berbeda-
beda.

6
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi literature maka dapat disimpulkan bahwa terapi hiperbarik oksigen
dapat mempercepat penyembuhan luka ulkus diabetic melalui mekanis referfusi jaringan sekitar
luka dengan pemberian oksigen 100% pada tekana2-3 atm. Melalui referfusi ini akan
menyebabkan pertumbuhan endotel jaringan luka dan menekan proses inflamasi penyebab infeksi
sehingga kondisi jaringan sekitar luka akan cepat sembuh. Penilaian percepatan penyembuhan
luka dilihat dari penurunan skor PEDIS dan perubahan pada interleukin 6 sebagai indicator
penyembuhan luka diabetic.
5.2 Saran
1. Bagi rumah sakit
Rumah sakit dapat mengambil kebijakan pelayanan terutama penggunaan terapi hiperbarik
oksigen sebagai intervensi untuk mempercepat penyembuhan luka bagi pasien luka diabeti.
2. Bagi keperawatan
Perawat dapat menggunakan terapi hiperbarik oksigen sebagai intervensi untuk mempercepat
penyembuhan luka bagi pasien luka diabeti disamping perawatan luka secara konvensional.
3. Bagi peneliti selanjutnya
Diharapkan peneliti selanjutnya dapat mempertimbangkan melakukan penelitian lanjutan
tentang manfaat terapi hiperbarik oksigen bagi masalah luka trauma ataupun masalah penyakit
dekompresi atau keracunan karbondioksida pada pasien dan fraktur terbuka..

6
DAFTAR PUSTAKA

Association, A. D. (2017). Classification and diagnosis of diabetes. Diabetes Care, 40(January),


S11–S24. https://doi.org/10.2337/dc17-S005

Atit Kumar, Usha Shukla, T. P., & Srivastava, D. (2018). Hyperbaric oxygen therapy as an
adjuvant to standard therapy in the treatment of diabetic foot ulcers Atit. Journal of
Anaesthesiology Clinical Pharmacology, 34(3), 46–50. https://doi.org/10.4103/joacp.JOACP

Brunner, S. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC.

Cho, K., Minami, T., Okuno, Y., Kakuda, Y., Tsutsumi, T., Kogame, T., Ohtsuru, S., Sato, N., &
Koike, K. (2018). Convulsive seizure and pulmonary edema during hyperbaric oxygen
therapy: A case report. Journal of Medical Investigation, 65(3–4), 286–288.
https://doi.org/10.2152/jmi.65.286

Ennis, W. J., Huang, E. T., & Gordon, H. (2018). Impact of Hyperbaric Oxygen on More
Advanced Wagner Grades 3 and 4 Diabetic Foot Ulcers: Matching Therapy to Specific
Wound Conditions. Advances in Wound Care,
7(12), 397–407. https://doi.org/10.1089/wound.2018.0855

Gandhi, J., Seyam, O., Smith, N., Joshi, G., Vatsia, S., & Khan, S. (2018). Clinical utility of
hyperbaric oxygen therapy in genitourinary medicine. Medical Gas Research, 8(1), 29–33.
https://doi.org/10.4103/2045-9912.229601

Humphreys, M. R., & Stern, K. L. (2016). Hyperbaric Oxygen for Refractory Dystrophic
Calcifications of the Prostate: A Case Series and Review of the Literature. J Urol Res, 3(4),
1–4. https://www.jscimedcentral.com/Urology/ urology-3-1058.pdf

Ilmi, M. I., Yunus, F., Suryokusumo, M. G., Damayanti, T., Samoedro, E., Nazaruddin, A. M., &
Nurwidya, F. (2017). Comparison of lung function values of trained divers in 1.5 ATA
hyperbaric chamber after inhaling 100% oxygen and regular air: A crossover study.
Advances in Respiratory Medicine, 85(5), 233–238.
https://doi.org/10.5603/ARM.a2017.0038

Kahle, A. C., & Cooper, J. S. (2017). Hyperbaric Physiological And Pharmacological Effects
Gases.

Kartika, R. W. (2017). Pengelolaan gangren kaki Diabetik. Continuing Medical Education -


Cardiology, 44(1), 18–22.

Kementerian Kesehatan, R. . (2018). Laporan Nasional RISKESDAS 2018. In Badan Penelitian


dan Pengembangan Kesehatan (p. 198).
http://labdata.litbang.kemkes.go.id/images/download/laporan/RKD/2018/Laporan_Nasional_
6
RKD2018_FINAL.pdf

Kranke, P., Bennett, M. H., Martyn-St James, M., Schnabel, A., Debus, S. E., & Weibel, S.
(2015). Hyperbaric oxygen therapy for chronic wounds. Cochrane Database of Systematic
Reviews, 2015(6). https://doi.org/10.1002/14651858. CD004123.pub4

Langi, Y. A. (2013). Penatalaksanaan Ulkus Kaki Diabetes Secara Terpadu. Jurnal Biomedik
(Jbm), 3(2), 95–101. https://doi.org/10.35790/jbm.3.2.2011.864

Mathieu, D., Marroni, A., & Kot, J. (2017). Tenth european consensus conference on hyperbaric
medicine: Recommendations for accepted and non-accepted clinical indications and practice
of hyperbaric oxygen treatment. Diving and Hyperbaric Medicine, 47(1), 24–31.
https://doi.org/10.28920/dhm47.1.24-32

Mcmonnies, C. W. (2015). Hyperbaric oxygen therapy and the possibility of ocular complications
or contraindications. Clinical and Experimental Optometry, 98(2), 122–125.
https://doi.org/10.1111/cxo.12203

Melissa. (2012). Hyperbaric Oxygen Therapy and Veterinary Medicine CLINICAL ARTICLES.

Oley, M. H., Oley, M. C., Tjandra, D. E., Sedu, S. W., Sumarauw, E. R. N., Aling, D. M. R.,
Kalangi, J. A., Islam, A. A., Hatta, M., & Faruk, M. (2020). Hyperbaric oxygen therapy in
the healing process of foot ulcers in diabetic type 2 patients marked by interleukin 6,
vascular endothelial growth factor, and PEDIS score: A randomized controlled trial study.
International Journal of Surgery Open, 27(56), 154–161.
https://doi.org/10.1016/j.ijso.2020.11.012

Prasetyono. (2020). Terapi Hiperbarik Ulkus Diabetikum. Orphanet Journal of Rare Diseases,
21(1), 1–9. https://doi.org/10.1155/2010/706872

Price, S. A. (2012). Wilson LM Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi


Keenam.
Jakarta: EGC.

Rahman, N. H. N. A., Mohammad, W. M. Z. W., Bajuri, M. Y., & Shafee, R. (2019). Use of
hyperbaric oxygen therapy (Hbot) in chronic diabetic wound-a randomised trial. Medical
Journal of Malaysia, 74(5), 418–424.

Rendy, M. C., & Margareth, T. H. (2012). Asuhan keperawatan medikal bedah dan penyakit
dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Rosyanti, L., Hadi, I., Syanti, R. D. Y., & Wida, A. B. B. W. (2019). MEKANISME YANG
TERLIBAT DALAM TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK ( Theoritical Review Hyperbaric
Oxygen Therapy /HBOT). HIJP : Health Information Junal Hiperbarik, 11(2), 182–205.
6
Rusmawan, U. (2019). Teknik Penulisan Tugas Akhir dan Skripsi Pemrograman. Elex media

6
komputindo.

Sedu, S. W., Oley, M. H., Tjandra, D. E., & Langi, F. F. (2020). Studi Pendahuluan Terapi
Hiperbarik Terhadap Penyembuhan Ulkus Kaki Diabetik Penderita Diabetes Melitus Tipe-2
dengan Penanda Interleukin 6 dan Skor PEDIS. JBN (Jurnal Bedah Nasional), 4(1), 19.
https://doi.org/10.24843/jbn.2020.v04.i01.p04

Sholeh, N. (2012). Buku panduan lengkap ilmu penyakit dalam. Jogjakarta: CV. Sagung Seto.

Soelistijo, S., Novida, H., Rudijanto, A., Soewondo, P., Suastika, K., Manaf, A., Sanusi, H.,
Lindarto, D., Shahab, A., Pramono, B., Langi, Y., Purnamasari, D., & Soetedjo, N. (2015).
Konsesus Pengelolaan Dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe2 Di Indonesia 2015. In
Perkeni. https://www.google.com/url?sa=
t&source=web&rct=j&url=https://pbperkeni.or.id/wp-content/uploads/2019/01/4.-
Konsensus-Pengelolaan-dan-Pencegahan-Diabetes-melitus-tipe-2-di-Indonesia -PERKENI-
2015.pdf&ved=2ahUKEwjy8KOs8cfoAhXCb30KHQb1Ck0QFjADeg QIBhAB&usg=AOv

Sumarauw, E. R. N., Hatibie, M. J., Tjandra, D. E., & Langi, F. G. (2019). Efek Terapi Oksigen
Hiperbarik (TOHB) pada Penyembuhan Ulkus Kaki DM Tipe 2 Berdasarkan Skor PEDIS.
Jurnal Biomedik (Jbm), 11(2), 110. https://doi.org/10.35790/jbm.11.2.2019.23323

Sureda, A., Batle, J. M., Martorell, M., Capó, X., Tejada, S., Tur, J. A., & Pons, A. (2016).
Antioxidant response of chronic wounds to hyperbaric oxygen therapy. PLoS ONE, 11(9), 1–
14. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0163371

Sutjahjo, A. (2015). Dasar-dasar ilmu penyakit dalam. Airlangga University Press.

Teguh, D. N., Bol Raap, R., Koole, A., Knippenberg, B., Smit, C., Oomen, J., & van Hulst, R. A.
(2020). Hyperbaric oxygen therapy for nonhealing wounds: Treatment results of a single
center. Wound Repair and Regeneration, November, 1–7. https://doi.org/10.1111/wrr.12884

Tjokroprawiro, A. (2015). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Ed. 2: Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya. Airlangga University Press.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan medikal bedah. Yogyakarta: Nuha Medika.

Zed, M. (2014). Metode Penelitian Kepustakaan (3rd Editio). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

Lampiran 1

7
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Toni Abas.


Lahir di Gorontalo pada tanggal 7 juli 1972.Penulis terlahir dari orang tua bernama Bapak
Usman T Abas dan ibu Sarah Hajalali.Penulis anak bungsu dari 12 bersaudara.

Penulis lulus di Sekolah Dasar Inpres I Tolinggula Kecamatan Sumalata Kabupaten


Gorontalo pada tahun 1986.Kemudian melanjutkan pendidikan Sekolah menengah pertama
Isimu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo dan tamat pada tahun 1990.Melanjutkan
pendidikan di Sekolah perawat Kesehatan pada tahun 1991 dan selesai pendidikan pada
tahun 1993.Kemudian penulis menjadi Calon pegawai negeri sipil pada tahun 1994,dan
melanjutkan Studi D3 Keperawatan di poltekes Kemenkes Gorontalo tahun 2018.setelah 2
tahun kemudian penulis menempuh pendidikan SI Kepaerawatan di Universitas
Muhammadiyah Gorontalo.

Lampiran 2

Lampiran seleksi literatur

7
1.Pubmed

Kata Kunci Impact of Hyperbaric Oxygen on More Advanced Wagner Grades 3 and 4 Diabetic
Foot Ulcers: Matching Therapy to Specific Wound Conditions
Identifikasi Melalui Search Engine: Pubmed
screening Penerbitan 5 tahun terakhir (2018)

2.Pubm
6
Kata Kunci Hyperbaric oxygen therapy as an adjuvant to standard therapy in the treatment of
diabetic foot ulcers
Identifikasi Melalui Search Engine: Pubmed
screening Penerbitan 5 tahun terakhir (2018)

3.Pubm

6
Kata Kunci hyperbaric oxygen therapy (HBOT) in chronic diabetic wound - A randomised trial
Identifikasi Melalui Search Engine: Pubmed
screening Penerbitan 5 tahun terakhir (2019)

4. Google Scholar

7
Kata Kunci Hyperbaric oxygen therapy for nonhealing wounds: Treatment results of a single
center
Identifikasi Melalui Search Engine: Google Scholar
screening Penerbitan 5 tahun terakhir (2020)

5. Scientdirect

7
Kata Kunci Hyperbaric oxygen therapy in the healing process of foot ulcers in diabetic type 2
patients marked by interleukin 6, vascular endothelial growth factor, and PEDIS
score: A randomized controlled trial study
Identifikasi Melalui Search Engine: Scientdirect
screening Penerbitan 5 tahun terakhir (2020)

6. Google Scholar

7
7
Kata Kunci Efek Terapi Oksigen Hiperbarik (TOHB) pada Penyembuhan Ulkus Kaki DM Tipe 2
Berdasarkan Skor PEDIS
Identifikasi Melalui Search Engine: Google Scholar
screening Penerbitan 5 tahun terakhir (2019)

7. Google Scholar

7
Kata Kunci Studi Pendahuluan Terapi Hiperbarik Terhadap Penyembuhan Ulkus Kaki Diabetik
Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 dengan Penanda Interleukin 6 dan Skor PEDIS

Identifikasi Melalui Search Engine: Google Scholar


Screening Penerbitan 5 tahun terakhir (2020)

7
7

Anda mungkin juga menyukai