Sindrom Nefrotik
Disusun Oleh:
Agung Ayu Putriani
2265050015
Pembimbing:
dr. Hj Siti Rahmah Rahim, Sp. A, M.Si
Dengan hormat,
Presentasi kasus pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode
17 Oktober - 31 Desember 2022 dengan judul “SINDROM NEFROTIK ” yang disusun oleh:
NIM : 2265050015
Pembimbing :
Dr.Hj.Siti Rahmah Rahim, Sp.A,M.Si
Menyetujui,
II. ANAMNESIS
a. Keluhan Utama +
Bengkak pada kedua kaki sejak 6 hari SMRS.
b. Keluhan Tambahan
Perut kembung
h. Riwayat Imunisasi :
Vaksin Usia
0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan 18 bulan
Polio V - V V V - V
DPT - - - - - - V
BCG V - V V V - -
MR/MMR - - - - - - -
Hepatitis B V - V V V - V
● Saturasi O2 : 96
c. Data antropometri
● Berat badan : 40 kg
● Panjang badan : 146 kg
● Lingkar lengan atas :-
● Lingkar kepala :-
● BB/U : Normal
● PB/U :-
● BB/PB :-
● BMI :-
d. Kepala
● Bentuk : Normocephal
● Rambut : rambut hitam,tebal
● Wajah : pucat (-), edem (+)
● Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, edem -/-
● Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
● Hidung : normal, sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)
● Mulut : mukosa mulut tampak lembab, letak lidah ditengah
● Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar
e. Thorax
● Inspeksi
: pergerakan dinding dada simetris,
retraksi intercostal (-)/(-)
retraksi supersternal (-)
● Palpasi : gerak napas simetris
● Perkusi :-
● Auskultasi : BND vesikuler, ronki +/-, wheezing -/-
Cor BJ I & II normal, murmur -, gallop -
f. Abdomen
● Inspeksi : perut datar
● Auskultasi : -
● Palpasi : lembek, nyeri tekan (-)
● Perkusi : nyeri ketok (-)
g. Kulit : ikterik (-), petechie (-), kering dan kasar (-)
h. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema (+), pitting edema (+) pucat (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Kimia Klinik
Fungsi hati 1.65 g/dL 3.5-4.5
Albumin
Fungsi ginjal 27 mg/dL 20-40
Ureum
Kreatinin 0.66 mg/dL 0.5-1.3
Kolesterol total 365 mg/dL <200
GDS 81 mg/dL 60-110
Na 140 mmol/L 135-145
K 4.0 mmol/L 3.5-5.0
Cl 105 mmol/L 94-111
Urine Lengkap
Kimia urine
warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak Keruh Jernih
pH 5.0 5.0-8.0
Berat Jenis 1020 1005-1030
Albumin Urine Positif 2 (++) Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 0,2 Mg/dL 0.1-1
Bilirubin Negatif Negatif
Darah samar Positif 1 (+) Negatif
Lekosit esterase Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Mikrokopis Urine
Eritrosit 5-10 /lpb <=2
Lekosit 0-5 /lpb <=5
Silinder Granular cast (+) Negatif
Epitel Gepeng (+) Gepeng (+)
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Positif 1 (+) Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Fungsi hati 2.50 g/dL 3.5-4.5
Albumin
(22/3/2022)
V. RESUME
1 minggu SMRS pasien mengeluh mata bengkak saat bangun tidur pagi, bengkak dirasakan terus
menerus, sudah dikompres tetapi tidak berkurang. 6 hari SMRS, mengeluh bengkak di wajah terutama
dahi dan kedua kaki tangan. Betis terasa keras sehingga pasien sulit jalan, bengka di tangan dan kaki
dimulai dari punggung kaki dan tangan. Bengkak ini dirasakan terus menerus. Selain itu, pasien mengeluh
kembung, dibawa ke klinik di berikan antibiotik, vitamin dan obat kembung (ibu lupa nama obat) tetapi
tidak berkurang keluhannya. sesak kadang-kadang.1 hari SMRS pasien dibawa ke RS Permata Bekasi lalu
di cek urine ditemukan protein +3. lalu hari besoknya datang ke IGD RSUD CAM Bekasi untuk dirawat
inap. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada wajah, kedua tangan dan kaki serta pitting edema
positif, distensi abdomen.
VI DIAGNOSIS KERJA
- Sindrom nefrotik
VII. PENATALAKSANAAN
● Amoxilin 3x500mg
● Inj. Kaen 3B
● Furusemid 1x20 mg
IX. PROGNOSIS
1. Epidemiologi
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-
7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000
anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi
kelainan minimal. Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal
segmental (FSGS) 7-8%, mesangial proliferatif difus 2-5%, glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada
pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar penyakit perubahan minimal (94%) mengalami
remisi total (responsif), sedangkan pada FSGS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
1
Sindrom nefrotik pada lesi primer paling banyak berada pada anak-anak, sedangkan lesi
sekunder atau disebabkan oleh penyakit sistemik banyak terjadi pada orang dewasa. Penyebab
sistemik yang paling sering dari sindrom nefrotik adalah diabetes, amiloidosis, dan lupus
eritematosus sistemik.
Pada penyakit glomerolus primer yang menyebabkan sindrom nefrotik paling banyak
disebabkan oleh Penyakit Perubahan Minimal dan Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental
(FSGS). 2
c. Nefropati Membranosa
Nefropati membranosa adalah penyakit yang progresif pelan, paling sering pada usia 30
sampai 60 tahun. Penyakit ini ditandai secara morfologik oleh adanya endapan subepitelial
yang mengandungi imunoglobulin di sepanjang GBM (Glomerulus Barrier Membrane).
Nefropati membranosa adalah salah satu tipe glomerulonefritis kompleks imun yang
kronik yang diinduksi oleh antibodi yang menyebabkan reaksi secara in situ terhadap antigen
glomerulus endogen atau yang tertanam. Antigen podosit endogen, reseptor fosfolipase A , 2
d. Glomerulonefritis Membranoproliferatif
MPGN merupakan penyakit inflamasi kronis pada ginjal yang memiliki prognosis yang
buruk. MPGN umumnya muncul pada anak sejak usia 9 tahun. 2,3
3. Patofisiologi
Dalam patogenesis sindroma nefrotik, salah satu komponen yang memiliki peran penting
dalam proses timbulnya proteinuria adalah podosit. Podosit merupakan epitel glomerulus yang
mengalami diferensiasi yang membentuk lapisan visceral yang melapisi seluruh bagian luar dari
kapiler glomerulus.
Pada kondisi normal, podosit berperan mengatur permeabilitas dari kapiler endotelium
glomerulus dengan cara membentuk foot processes dengan podosit lainnya yang kemudian
membentuk celah diafragma (slit diaphragm). Celah diafragma ini sulit untuk dilewati oleh
protein berukuran besar, dan juga proses perpindahan filtrat tidak berlangsung secara difusi
melainkan melalui berbagai kaskade sinyal oleh beberapa protein pada celah diafragma terebut
seperti nephrin, podocin, CD2AP, dan α-acitinin 4 yang menyebabkan keluarnya protein
semakin sulit.1,4,5
Untuk menjaga protein tetap di dalam kapiler, podosit juga memiliki matriks periseluler
yang disebut dengan glikokaliks. Glikokaliks merupakan suatu glikoprotein dan glikolipid yang
memiliki muatan negatif yang menyebabkan protein darah seperti albumin, yang juga
bermuatan negatif, untuk tetap berada di dalam aliran darah dan tidak melewati membran
basalis saat menglamai filtrasi di glomerulus. 6
Segala kerusakan yang terjadi pada podosit dapat menyebabkan kebocoran pada proses
filtrasi menyebabkan protein dapat keluar dari kapiler. Kerusakan pada podosit menyebabkan
pendataran dari foot processes, berkurangnya jumlah podosit, gangguan integritas celah
diafragma, dan juga gangguan pada lapisan glikokaliks tersebut. Protein yang keluar akibat
kerusakan ini tidak hanya albumin, namun protein lainnya seperti immunoglobulin juga keluar
yang menyebabkan gangguan pada respon imun tubuh dikarenakan berkurangnya komponen
imunitas yang beredar dalam tubuh. 1,6
Gambar 1. Patofisiologi Sindrom Nefrotik
4. Manifestasi Klinis
Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebral dan pretibial. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai oliguria dan
gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati adanya
kemungkinan terjadi peritonitis. Infeksi saluran napas atas atau eksantema virus akan
memperberat episode awal atau relapse selanjutnya. Riwayat atopi terdapat pada 30-60% kasus.
Anamnesis riwayat keluarga menunjukkan bahwa 1-3% pasien mempunyai saudara yang juga
menderita sindrom nefrotik.
a. Penegakkan Diagnosis
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
2
Tatalaksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan
tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch- Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka
yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring
tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema
tidak berat, anak boleh sekolah.
4
Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai
dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari. Diet rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. 4
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretik
seperti furosemid 1-3 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgBB/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi
biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload
cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi
asites berulang.1
mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4
minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m LPB (2/3 dosis
2
awal) atau 1,5 mg/kgBB/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi.
Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid.
b. Pengobatan SN Relaps
Pada SN Relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami
proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu
pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan,
dan prednison mulai diberikan.
b. Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan dengan
dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol
adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL,
hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180
mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi.
Gambar 4. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral.
Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL.
Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan
remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian
CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb
bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah
nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Gambar 6. Diagram Pengobatan SN Relaps Sering atau dependen steroid.
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).4,7
2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%
pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,
hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
● Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 1.
nanogram/mL
● Kadar kreatinin darah berkala.
● Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi
karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif. 4
3. Metilprednisolon Puls
Tabel 2. Dosis pemberian metilprenisolon puls. 2
Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,
takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan
tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. 4
b. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular
paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan
radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau
lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan.
c. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol,
trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat
tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular
dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak
memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN
resisten ste- roid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya,
dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti
inhibitor HMgCoA reduktase (statin).
d. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
● Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
● Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3
bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250
IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena. 1
e. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit
perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb
dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan
lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan
furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
f. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN
akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau
antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
g. Efek samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut
meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan
risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN
harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah,
pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak
setiap tahun sekali.
8
Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/ kgbb/ hari atau total
>20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam
keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus
mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.8
Diet normal protein sesuai RDA 1,5- Diet normal protein sesuai RDA:
2g/kgBB/hari 1,5-2g/kgBB/hari
Diet rendah garam untuk edem : 1-2g/hari (1,5-2) x 13 =19,5-26g/kgBB/hari
Diuretik furosemide 1-3mg/kgbb/hari + Diet rendah garam untuk edem : 1-2g/hari
spironolakton 2-4kgbb/hari
Relaps jarang : Diuretik furosemide 1-3mg/kgbb/hari +
Prednisolon 2mg/kgbb/hari sampai spironolakton 2-4kgbb/hari
remisi,kemudian alternating : 1,5mg/kgbb (1-3)x 13 (2-4)x13
13-39g/kgBB/hari 26-52g/kgBB/hari
Prednisolon 2mg/kgbb/hari sampai remisi
2 x 13 = 26g/kgBB/hari
Alternating : 1,5mg/kgbb
1,5x13= 19,5mg/kgbb/hari
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada
Anak. Rekomendasi Tatalaksana Sindrom Nefrtotik Idiopatik pada Anak. 2012.
2. Alpers dan Fogo. Buku Ajar Patologi Robbins. Ginjal dan Sistem Pengumpul. 2013: hal
515-520.
3. Davin J-C, Rutjes NW. Nephrotic Syndrome in Children: From Bench to Treatment. Int J
Nephrol. 2011;2011:1-6.
4. Nilawati. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak RSUP Sanglah Denpasar.
Vol. 14 No. 4. 2012: hal 269-272.
5. Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV. Kompedium Nefrologi Anak.
2011.
6. Lane JC. Pediatric Nephrotic Syndrome. Medscape. 2020
7. Garibotto G, Giannoni M, Salvatore F. Complications of the nephrotic syndrome.
8. Prodjosudjadi, Wiguno. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2006.
9. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Ilmu Kesehatan Anak Esensial.
6th ed. Nelson Essensials of Pediatric; 2018.