Anda di halaman 1dari 23

CASE REPORT

Sindrom Nefrotik

Disusun Oleh:
Agung Ayu Putriani
2265050015

Pembimbing:
dr. Hj Siti Rahmah Rahim, Sp. A, M.Si

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. CHASBULLAH ABDULMAJID KOTA BEKASI
PERIODE 17 OKTOBER – 31 DESEMBER 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
JAKARTA
2022
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan hormat,

Presentasi kasus pada Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak RSUD Bekasi periode
17 Oktober - 31 Desember 2022 dengan judul “SINDROM NEFROTIK ” yang disusun oleh:

Nama : Agung Ayu Putriani

NIM : 2265050015

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh Yth:

Pembimbing :
Dr.Hj.Siti Rahmah Rahim, Sp.A,M.Si

Menyetujui,

(Dr.Hj.Siti Rahmah Rahim, Sp.A,M.Si)


BAB I
ILUSTRASI KASUS
I. IDENTITAS
Data Pasien
Nama An. R
Umur 13 Tahun
Jenis Kelamin Perempuan
Graha Wisata, Blok AC5, Tambun Selatan,
Alamat
Bekasi
Agama Islam
Pekerjaan Pelajar

Keterangan Hubungan dengan orang tua : Anak kandung

No. Rekam Medis 18321223


Tanggal masuk RS 25-11-2022

II. ANAMNESIS

a. Keluhan Utama +
Bengkak pada kedua kaki sejak 6 hari SMRS.

b. Keluhan Tambahan
Perut kembung

c. Riwayat Penyakit Sekarang +


1 minggu SMRS pasien mengeluh mata bengkak saat bangun tidur pagi, bengkak dirasakan terus
menerus, sudah dikompres tetapi tidak berkurang. Nyeri (-), secret (-), gatal (-), kemerahan (-), demam(-),
6 hari SMRS, mengeluh bengkak di wajah terutama dahi dan kedua kaki tangan. Betis terasa keras
sehingga pasien sulit jalan, bengka di tangan dan kaki dimulai dari punggung kaki dan tangan. Bengkak
ini dirasakan terus menerus. Selain itu, pasien mengeluh kembung, dibawa ke klinik di berikan antibiotik,
vitamin dan obat kembung (ibu lupa nama obat) tetapi tidak berkurang keluhannya. Nyeri (-), demam(-),
kemerahan(-), sesak kadang-kadang.
1 hari SMRS pasien dibawa ke RS Permata Bekasi lalu di cek urine ditemukan protein +3. lalu hari
besoknya datang ke IGD RSUD CAM Bekasi untuk dirawat inap.

d. Riwayat Penyakit Dahulu +


pasien belum pernah mengalami keluhan seperti bengkak pada hampir seluruh tubuh

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien belum ada yang memiliki keluhan seperti pada pasien yaitu bengkak pada kaki
ataupun tangan dan mata.

e. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran :


Morbiditas -
Kehamilan
KEHAMILAN
Perawatan Ibu pasien rutin kontrol ke puskesmas selama masa
Antenatal kehamilan. Rutin konsumsi tablet besi dan vitamin
Tempat RSUD CAM Kota Bekasi
Kelahiran
Penolong Obgyn
Kelahiran
Cara Persalinan Sectio Cesaerea
Masa Gestasi 9 bulan
Keadaan Bayi BBL 3500 gram
KELAHIRAN
PBL 48 cm
APGAR -
Menangis kuat setelah lahir

Extremitas tampak kebiruan -

Kesan : Riwayat kehamilan dan persalinan baik

h. Riwayat Imunisasi :

Vaksin Usia
0 bulan 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan 9 bulan 18 bulan
Polio V - V V V - V
DPT - - - - - - V
BCG V - V V V - -
MR/MMR - - - - - - -
Hepatitis B V - V V V - V

Kesan : imunisasi dasar sudah lengkap


III. PEMERIKSAAN FISIK

a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang


b. Tanda Vital
● Kesadaran : composmentis
● Tekanan darah : 139/87 mmHg
● Frekuensi nadi : 137x/menit
● Frekuensi pernapasan : 22x/menit
● Suhu tubuh : 37.6 C o

● Saturasi O2 : 96
c. Data antropometri
● Berat badan : 40 kg
● Panjang badan : 146 kg
● Lingkar lengan atas :-
● Lingkar kepala :-
● BB/U : Normal
● PB/U :-
● BB/PB :-
● BMI :-

d. Kepala
● Bentuk : Normocephal
● Rambut : rambut hitam,tebal
● Wajah : pucat (-), edem (+)
● Mata : conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, pupil isokor, edem -/-
● Telinga : normotia, membran timpani intak, serumen -/-
● Hidung : normal, sekret (-), pernafasan cuping hidung (-)
● Mulut : mukosa mulut tampak lembab, letak lidah ditengah
● Leher : KGB tidak membesar, kelenjar tiroid tidak membesar
e. Thorax
● Inspeksi
: pergerakan dinding dada simetris,
retraksi intercostal (-)/(-)
retraksi supersternal (-)
● Palpasi : gerak napas simetris
● Perkusi :-
● Auskultasi : BND vesikuler, ronki +/-, wheezing -/-
Cor BJ I & II normal, murmur -, gallop -
f. Abdomen
● Inspeksi : perut datar
● Auskultasi : -
● Palpasi : lembek, nyeri tekan (-)
● Perkusi : nyeri ketok (-)
g. Kulit : ikterik (-), petechie (-), kering dan kasar (-)
h. Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-), edema (+), pitting edema (+) pucat (-)
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Lab RSUD CAM Kota Bekasi 21/3/2022


Nama test Hasil Unit Nilai rujukan
Hematologi
Darah
Leukosit 7.6 /uL 5000-10500
Hemoglobin 12.3 g/dL 11-14.5
Hematokrit 34.7 % 37-47
Trombosit 358 ribu/uL 150000-450000

Kimia Klinik
Fungsi hati 1.65 g/dL 3.5-4.5
Albumin
Fungsi ginjal 27 mg/dL 20-40
Ureum
Kreatinin 0.66 mg/dL 0.5-1.3
Kolesterol total 365 mg/dL <200
GDS 81 mg/dL 60-110
Na 140 mmol/L 135-145
K 4.0 mmol/L 3.5-5.0
Cl 105 mmol/L 94-111

Urine Lengkap
Kimia urine
warna Kuning Kuning
Kejernihan Agak Keruh Jernih
pH 5.0 5.0-8.0
Berat Jenis 1020 1005-1030
Albumin Urine Positif 2 (++) Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen 0,2 Mg/dL 0.1-1
Bilirubin Negatif Negatif
Darah samar Positif 1 (+) Negatif
Lekosit esterase Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Mikrokopis Urine
Eritrosit 5-10 /lpb <=2
Lekosit 0-5 /lpb <=5
Silinder Granular cast (+) Negatif
Epitel Gepeng (+) Gepeng (+)
Kristal Negatif Negatif
Bakteri Positif 1 (+) Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Fungsi hati 2.50 g/dL 3.5-4.5
Albumin
(22/3/2022)

V. RESUME

1 minggu SMRS pasien mengeluh mata bengkak saat bangun tidur pagi, bengkak dirasakan terus
menerus, sudah dikompres tetapi tidak berkurang. 6 hari SMRS, mengeluh bengkak di wajah terutama
dahi dan kedua kaki tangan. Betis terasa keras sehingga pasien sulit jalan, bengka di tangan dan kaki
dimulai dari punggung kaki dan tangan. Bengkak ini dirasakan terus menerus. Selain itu, pasien mengeluh
kembung, dibawa ke klinik di berikan antibiotik, vitamin dan obat kembung (ibu lupa nama obat) tetapi
tidak berkurang keluhannya. sesak kadang-kadang.1 hari SMRS pasien dibawa ke RS Permata Bekasi lalu
di cek urine ditemukan protein +3. lalu hari besoknya datang ke IGD RSUD CAM Bekasi untuk dirawat
inap. Pada pemeriksaan fisik ditemukan edema pada wajah, kedua tangan dan kaki serta pitting edema
positif, distensi abdomen.

VI DIAGNOSIS KERJA
- Sindrom nefrotik

VII. PENATALAKSANAAN
● Amoxilin 3x500mg
● Inj. Kaen 3B
● Furusemid 1x20 mg

IX. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad bonam


Ad functionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Definisi
Sindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis yang
ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif > 3,5 g/hari, hipoalbuminemia <3,5g/dl,
hiperkolesterolemia dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakan
diagnosis tidak perlu semua gejala ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN,
akan tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum rendah, ekskresi protein dalam
urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi
pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen,
hiperkoaguabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormon tiroid sering
dijumpai dalam SN. Umumnya SN dengan fungsi ginjal normal kecuali sebagian kasus yang
berkembang menjadi panyakit ginjal tahap akhir. Pada beberapa episode SN dapat sembuh
sendiri. dan menunjukan respon yang baik terhadap terapi steroid, akan tetapi sebagian lain
dapat berkembang menjadi kronik.

1. Epidemiologi
Sindrom nefrotik pada anak merupakan penyakit ginjal anak yang paling sering
ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-
7 kasus baru per 100.000 anak per tahun, dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000
anak. Di negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6 per 100.000
per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. Perbandingan anak laki-laki dan perempuan
2:1.
Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai gambaran patologi anatomi
kelainan minimal. Gambaran patologi anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal
segmental (FSGS) 7-8%, mesangial proliferatif difus 2-5%, glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM) 1,5%. Pada
pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar penyakit perubahan minimal (94%) mengalami
remisi total (responsif), sedangkan pada FSGS 80-85% tidak responsif (resisten steroid).
1

2. Etiologi dan Klasifikasi


Frekuensi relatif beberapa penyebab sindrom nefrotik bervariasi menurut usia. Pada
anak-anak berusia 1-7 tahun biasanya mengalami sindrom nefrotik yang disebabkan oleh
Penyakit Perubahan Minimal (Minimal Change Disease). 2

Sindrom nefrotik pada lesi primer paling banyak berada pada anak-anak, sedangkan lesi
sekunder atau disebabkan oleh penyakit sistemik banyak terjadi pada orang dewasa. Penyebab
sistemik yang paling sering dari sindrom nefrotik adalah diabetes, amiloidosis, dan lupus
eritematosus sistemik.
Pada penyakit glomerolus primer yang menyebabkan sindrom nefrotik paling banyak
disebabkan oleh Penyakit Perubahan Minimal dan Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental
(FSGS). 2

a. Penyakit Perubahan Minimal (Minimal Change Disease)


Penyakit Perubahan Minimal glomerulus merupakan kelainan yang jinak, penyebab
tersering sindrom nefrotik pada anak-anak yang patofisiologinya belum diketahui dengan jelas.
Secara khas, glomeruli menunjukkan gambaran normal pada pemeriksaan mikroskop cahaya,
namun pada pemeriksaan dengan mikroskop elektron terlihat gambaran adanya
pemendekan/penipisan (effacement) dari kaki podosit yang difus.
Patogenesis dari penyebabnya proteinuria di penyakit perubahan minimal masih belum
diketahui dengan pasti. Tetapi pada beberapa penelitian, terdapat beberapa faktor yang mungkin
menyebabkan kerusakan pada kaki podosit yaitu pada sel T. Sel T menyebabkan kerusakan
podosit dengan cara merangsang keluarnya sitokin yang membuat kerusakan pada kaki podosit.
Sehingga, protein bisa keluar bersama urin.
Penyakit ini bermanifestasi sebagai sindrom nefrotik yang terjadi perlahan pada anak
yang sehat. Tidak ada hipertensi, dan fungsi ginjal masih baik pada sebagian besar penderita
ini. Protein yang hilang biasanya terbatas pada protein plasma dengan ukuran kecil, terutama
albumin (proteinuria selektif). Prognosis pada anak-anak dengan penyakit ini baik. Lebih dari
90% anak memberikan respons yang baik terhadap terapi kortikosteroid jangka pendek; namun,
proteinuria dapat berulang pada lebih dari dua-pertiga pasien dengan respons baik, dan sebagian
akan bergantung kepada steroid.
Karena respons terhadap terapi yang baik pada anak, penyakit perubahan minimal harus
dibedakan dari penyebab lain sindrom nefrotik pada penderita yang tidak responsif. Orang
dewasa dengan penyakit ini juga memiliki respons terhadap terapi steroid, namun respons
tersebut lambat dan kekambuhan lebih lazim terjadi.

b. Glomerulosklerosis Fokal Segmental (FSGS)


Glomerulosklerosis fokal segmental (FSGS) ditandai secara histologis oleh sklerosis
yang mengenai sebagian namun tidak semua glomerulus (keterlibatan fokal) dan
melibatkan hanya satu atau beberapa segmen dari setiap glomerulus yang terkena
(keterlibatan segmental). Penyakit ini merupakan penyakit yang saat ini semakin
sering menyebabkan sindrom nefrotik pada orang dewasa dan masih menjadi
penyebab yang sering pada anak. Gambaran histologis seringkali berhubungan
dengan sindrom nefrotik. FSGS dapat bersifat primer (idiopatik) atau sekunder
terhadap salah satu kondisi berikut:
● Berkaitan dengan kondisi lain, seperti infeksi HIV (nefropati HIV) atau
penggunaan salah heroin (nefropati heroin)
● Sebagai kejadian sekunder dari bentuk GN yang lain (misalnya,nefropati lgA)
● Akibat adaptasi yang salah (maladaptasi) terhadap kehilangan nefron (seperti
dijelaskan sebelumnya)
● Pada bentuk herediter atau kongenital.
Patogenesis FSGS primer tidak diketahui. Beberapa peneliti telah memperkirakan
bahwa FSGS dan penyakit perubahan minimal adaiah suatu penyakit yang kontinuum dan
penyakit perubahan minimal dapat bertransformasi menjadi FSGS. Peneliti lain percaya bahwa
kedua penyakit tersebut merupakan entitas yang berbeda secara klinikopatologis dari sejak
awal.
Pada semua kasus, jejas terhadap podosit diperkirakan mewakili kejadian yang memulai
terjadinya FSGS primer. Mirip dengan penyakit perubahan minimal, diperkirakan terdapat
faktor yang meningkatkan permeabilitas yang diproduksi oleh limfosit. Endapan massa hialin di
glomerulus menunjukkan terperangbapnya protein dan lipid plasma pada fokus-fokus jejas
tempat terbentuknya sklerosis. lgM dan protein komplemen lazim terihat pada lesi, juga
diangzap nonspesifik pada gomerulus yang rusak.

c. Nefropati Membranosa
Nefropati membranosa adalah penyakit yang progresif pelan, paling sering pada usia 30
sampai 60 tahun. Penyakit ini ditandai secara morfologik oleh adanya endapan subepitelial
yang mengandungi imunoglobulin di sepanjang GBM (Glomerulus Barrier Membrane).
Nefropati membranosa adalah salah satu tipe glomerulonefritis kompleks imun yang
kronik yang diinduksi oleh antibodi yang menyebabkan reaksi secara in situ terhadap antigen
glomerulus endogen atau yang tertanam. Antigen podosit endogen, reseptor fosfolipase A , 2

adalah antigen yang paling sering dikenal oleh autoantibodi penyebab.


Pada awal penyakit, glomerulus dapat tampak normal pada mikroskopi cahaya, namun
kasus yang telah bermanifestasi sempurna menunjukkan penebalan difus dinding pembuluh
kapiler. Pada sekitar 85% kasus, nefropati membranosa disebabkan oleh autoantibodi yang
mempunyai reaksi-silang dengan antigen yang dipaparkan oleh podosit. Pada sisanya (nefropati
membranosa sekunder), terjadi secara sekunder terhadap penyakit lain, termasuk:
● Infeksi (hepatitis B kronik, sifilis, skistosomiasis, malaria)
● Tumor ganas, terutama karsinoma paru dan kolon, dan melanoma
● Lupus eritematosus sistemik dan kelainan autoimun lain
● Pajanan terhadap garam anorganik (emas, merkuri)
● Obat-obatan (penisilamin, kaptopril, obat anti-inflamasi nonsteroid).

d. Glomerulonefritis Membranoproliferatif
MPGN merupakan penyakit inflamasi kronis pada ginjal yang memiliki prognosis yang
buruk. MPGN umumnya muncul pada anak sejak usia 9 tahun. 2,3

Tabel 1. Penyebab Sindrom Nefrotik


Prevalensi (%)
Penyebab
Anak-anak Dewasa
Penyakit Glomerulus Primer
Minimal Change Disease 65 10
Glomerulosklerosis fokal segmental 10 35
Nefropati membranosa 5 30
Glomerulonefritis membranoproliferatif 10 10
Nefropati IgA dan lain-lain 10 15
Penyakit Sistemik dengan Manifestasi Ginjal
Diabetes Melitus
Amiloidosis
Lupus Eritematosus Sistemik
Ingesti Obat (emas, penisilin, dan “heroin jalanan”)
Infeksi (malaria, sifilis, hepatitis B, HIV)
Keganasan (karsinoma, melanoma)
Lain-lain (alergi sengatan lebah, nefritis herediter)

3. Patofisiologi
Dalam patogenesis sindroma nefrotik, salah satu komponen yang memiliki peran penting
dalam proses timbulnya proteinuria adalah podosit. Podosit merupakan epitel glomerulus yang
mengalami diferensiasi yang membentuk lapisan visceral yang melapisi seluruh bagian luar dari
kapiler glomerulus.
Pada kondisi normal, podosit berperan mengatur permeabilitas dari kapiler endotelium
glomerulus dengan cara membentuk foot processes dengan podosit lainnya yang kemudian
membentuk celah diafragma (slit diaphragm). Celah diafragma ini sulit untuk dilewati oleh
protein berukuran besar, dan juga proses perpindahan filtrat tidak berlangsung secara difusi
melainkan melalui berbagai kaskade sinyal oleh beberapa protein pada celah diafragma terebut
seperti nephrin, podocin, CD2AP, dan α-acitinin 4 yang menyebabkan keluarnya protein
semakin sulit.1,4,5

Untuk menjaga protein tetap di dalam kapiler, podosit juga memiliki matriks periseluler
yang disebut dengan glikokaliks. Glikokaliks merupakan suatu glikoprotein dan glikolipid yang
memiliki muatan negatif yang menyebabkan protein darah seperti albumin, yang juga
bermuatan negatif, untuk tetap berada di dalam aliran darah dan tidak melewati membran
basalis saat menglamai filtrasi di glomerulus. 6

Segala kerusakan yang terjadi pada podosit dapat menyebabkan kebocoran pada proses
filtrasi menyebabkan protein dapat keluar dari kapiler. Kerusakan pada podosit menyebabkan
pendataran dari foot processes, berkurangnya jumlah podosit, gangguan integritas celah
diafragma, dan juga gangguan pada lapisan glikokaliks tersebut. Protein yang keluar akibat
kerusakan ini tidak hanya albumin, namun protein lainnya seperti immunoglobulin juga keluar
yang menyebabkan gangguan pada respon imun tubuh dikarenakan berkurangnya komponen
imunitas yang beredar dalam tubuh. 1,6
Gambar 1. Patofisiologi Sindrom Nefrotik

4. Manifestasi Klinis
Pasien sindrom nefrotik biasanya datang dengan edema palpebral dan pretibial. Bila lebih
berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema skrotum. Kadang-kadang disertai oliguria dan
gejala infeksi, nafsu makan berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut hati-hati adanya
kemungkinan terjadi peritonitis. Infeksi saluran napas atas atau eksantema virus akan
memperberat episode awal atau relapse selanjutnya. Riwayat atopi terdapat pada 30-60% kasus.
Anamnesis riwayat keluarga menunjukkan bahwa 1-3% pasien mempunyai saudara yang juga
menderita sindrom nefrotik.

a. Penegakkan Diagnosis
Sindrom nefrotik adalah keadaan klinis yang ditandai dengan gejala:
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
2

protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)


2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema perifer
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
b. Tatalaksana
BATASAN
● Remisi : proteinuria negatif atau trace (proteinuria < 40 mg/m2 LPB/ jam) 3 hari
berturut-turut dalam 1 minggu
● Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria >40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam
1 minggu
● Relaps jarang : relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau
kurang dari 4x per tahun pengamatan.
● Relaps sering (frequent relaps): relaps ≥ 2x dalam 6 bulan pertama setelah respons
awal atau ≥ 4x dalam periode 1 tahun.
● Dependen steroid : relaps 2x berurutan pada saat dosis steroid diturunkan (alternating)
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan.
● Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full
dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu.
● Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh selama 4
minggu. 4

Tatalaksana Umum
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit dengan
tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diit, penanggulangan edema,
memulai pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan berikut:
1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch- Schonlein.
4. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun kecacingan. Setiap
infeksi perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
5. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH
selama 6 bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan
obat antituberkulosis (OAT).
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka
yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring
tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema
tidak berat, anak boleh sekolah.
4

Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah
beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan
sklerosis glomerulus. Bila diberi diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP)
dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet protein normal sesuai
dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgBB/hari. Diet rendah garam (1-2
g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema. 4
Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan loop diuretik
seperti furosemid 1-3 mg/kgBB/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis
aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4 mg/kgBB/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu
disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu
dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena
hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/ dL), dapat diberikan infus albumin 20-25%
dengan dosis 1 g/kgBB selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan interstisial dan
diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgBB. Bila pasien tidak mampu dari segi
biaya, dapat diberikan plasma 20 ml/kgBB/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk
mencegah terjadinya komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload
cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan dapat dilakukan pungsi
asites berulang.1

Gambar 2. 2 Algoritma pemberian diuretik. 2

Pengobatan dengan Kortikosteroid


a. Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid
sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison 60 mg/m LPB/hari atau 2
2

mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis
prednison dihitung sesuai dengan berat badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan).
Prednison dosis penuh (full dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4
minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m LPB (2/3 dosis
2

awal) atau 1,5 mg/kgBB/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari setelah makan pagi.
Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh tidak terjadi remisi, pasien dinyatakan
sebagai resisten steroid.

Gambar 2. Pengobatan Inisial Kortikosteroid.

b. Pengobatan SN Relaps
Pada SN Relaps diberikan prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu)
dilanjutkan dengan dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami
proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison, dicari lebih dahulu
pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat infeksi diberikan antibiotik 5-7
hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila
sejak awal ditemukan proteinuria ≥ ++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan,
dan prednison mulai diberikan.

Gambar 3. Pengobatan SN Relaps

c. Pengobatan SN Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
a. Pemberian steroid jangka panjang
Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid, setelah remisi
dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis 1,5 mg/kgBB secara alternating.
Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu. Penurunan
dosis tersebut dilakukan sampai dosis terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 –
0,5 mg/kgBB alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-12
bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat bertoleransi dengan
prednison 0,5 mg/kgBB, sedangkan anak usia pra sekolah sampai 1 mg/kgBB secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgBB alternating, maka
relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgBB dalam dosis terbagi, diberikan setiap hari
sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgBB diberikan
secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgBB) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau relaps yang
terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumatan > 0,5 mg/kgBB alternating, tetapi < 1,0
mg/kgBB alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba dikombinasikan dengan
levamisol selang sehari 2,5 mg/kgBB selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan siklofosfamid
(CPA).

b. Pemberian levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan dengan
dosis 2,5 mg/kgBB dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol
adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.

c. Pengobatan dengan sitostatik


Obat sitostatik yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/m LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%,
2

diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total
durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar
hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL,
hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan
kembali setelah leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan mempunyai dosis total 180
mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kgBB/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi.
Gambar 4. Pengobatan SN relaps sering dengan CPA oral.

Gambar 5. Pengobatan Sindrom nefrotik dependen Steroid.

d. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)


Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari (100-150 mg/m LPB).
2

Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara 150-250 ng/mL.
Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan
remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan pemantauan pemberian
CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten steroid.
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30 mg/kgbb
bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping MMF adalah
nyeri abdomen, diare, leukopenia.
Gambar 6. Diagram Pengobatan SN Relaps Sering atau dependen steroid.

e. Pengobatan SN dengan Kontraindikasi Steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid, seperti tekanan
darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat, maka dapat diberikan sitostatik
CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat diberikan per oral dengan dosis 2-3
mg/kgBB/hari dosis tunggal, maupun secara intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8
minggu. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
2

larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan).4,7

f. Pengobatan SN Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum memuaskan. Pada pasien
SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran
patologi anatomi, karena gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.
1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat menimbulkan remisi.
Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan pemberian CPA, bila terjadi relaps
dapat dicoba pemberian prednison lagi karena SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif
kembali. Namun bila pada pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten
steroid) atau menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin. Skema pemberian
CPA oral dan puls dapat dilihat pada Gambar 7. 4

2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total sebanyak 20%
pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%. Efek samping CyA adalah hipertensi, hiperkalemia,
hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi
tubulointerstisial. Oleh karena itu pada pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap:
● Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 1.
nanogram/mL
● Kadar kreatinin darah berkala.
● Biopsi ginjal setiap 2 tahun.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan dalam literatur, tetapi
karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA jarang atau sangat selektif. 4

3. Metilprednisolon Puls
Tabel 2. Dosis pemberian metilprenisolon puls. 2
Obat imunosupresif lain
Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS adalah vinkristin,
takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam literatur yang masih sporadik dan
tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka obat ini belum direkomendasi di Indonesia. 4

Tatalaksana Komplikasi Sindrom Nefrotik


a. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera
diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis
primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi dengan
sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14 hari. Infeksi lain
yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi saluran napas atas
karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi
kontak diberikan profilaksis dengan imu- noglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari
96 jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin
intravena (400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500
mg/m2/hari dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis
selama 7 – 10 hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara. 1

b. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti defek
ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis pembuluh vaskular
paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisis dan
radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin selama 6 bulan atau
lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian aspirin dosis rendah, saat ini tidak
dianjurkan.

c. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol,
trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Zat-zat
tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan morbiditas kardiovaskular
dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan tidak
memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak. Pada SN
resisten ste- roid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk tinggi badannya,
dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat penurun lipid seperti
inhibitor HMgCoA reduktase (statin).
d. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
● Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan
osteopenia
● Kebocoran metabolit vitamin D
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3
bulan) dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250
IU). Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena. 1

e. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai sakit
perut. Pasien harus segera diberi infus NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb
dalam 20-30 menit, dan disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan
lambat 10 tetes per menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan
furosemid 1-2 mg/kgbb intravena.
f. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit SN
akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE (angiotensin
converting enzyme), ARB (angiotensin receptor blocker) calcium channel blockers, atau
antagonis β adrenergik, sampai tekanan darah di bawah persentil 90.
g. Efek samping Steroid
Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping tersebut
meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan
risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN
harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah,
pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak
setiap tahun sekali.
8

 Imunisasi
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2 mg/ kgbb/ hari atau total
>20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam
keadaan ini dan dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus
mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela. Semua anak
dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap infeksi pneumokokus dan
varisela.8

 Prognosis & Komplikasi


Prognosis sangat bergantung pada etiologi sindrom nefrotik yang mendasari. SN sensitif
steroid memiliki prognosis baik, meskipun sekitar 60–70% akan mengalami kambuh yang
setengah di antaranya berbentuk kambuh sering atau ketergantungan steroid. Pada umumnya
kambuh pada SN dicetuskan oleh infeksi virus saluran respiratori bagian atas SN resisten steroid
biasanya memiliki prognosis tidak baik dan akan berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik. 9
Analisis kasus
Teori Yang didapatkan:

1. Edema : periorbital, ekstremitas 1.edem: mata,kaki, tangan


bawah (berat: anasarka)
2.muntah
2. Infeksi saluran pernafasan bagian atas
3. Nafsu makan menurun 3.BAK berlebih
4. Diare
5. Gejala infeksi saluran napas atas 4.BAB cair
6. Proteinuria masif :
5. sesak,batuk,pilek
Proteinuria >3,5 gr/24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 6. albumin : 1.33 ( hypoalbuminemia)
2 mg/mg atau pemeriksaan semi
kuantitatif dengan pemeriksaan Bang 7.kolesterol 452 (hiperkolesterolemia)
atau dipstik menunjukkan protein urin 8. riwayat dahulu : keluhan yang sama
≥ 2+. Dengan pemeriksaan esbach,
kadar protein dalam urin 24 jam > 2
gram (kuantitatif).

7. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL


8. Dapat disertai hiperkolesterolemia >
200 mg/dL
Tatalaksana Yang di berikan :

Diet normal protein sesuai RDA 1,5- Diet normal protein sesuai RDA:
2g/kgBB/hari 1,5-2g/kgBB/hari
Diet rendah garam untuk edem : 1-2g/hari (1,5-2) x 13 =19,5-26g/kgBB/hari
Diuretik furosemide 1-3mg/kgbb/hari + Diet rendah garam untuk edem : 1-2g/hari
spironolakton 2-4kgbb/hari
Relaps jarang : Diuretik furosemide 1-3mg/kgbb/hari +
Prednisolon 2mg/kgbb/hari sampai spironolakton 2-4kgbb/hari
remisi,kemudian alternating : 1,5mg/kgbb (1-3)x 13 (2-4)x13
13-39g/kgBB/hari 26-52g/kgBB/hari
Prednisolon 2mg/kgbb/hari sampai remisi
2 x 13 = 26g/kgBB/hari
Alternating : 1,5mg/kgbb
1,5x13= 19,5mg/kgbb/hari

Inhalasi : Salbutamol 3-4x/hari


0,05mg/kgBB
13 x 0.05 = 6,5mg
oksigen sebanyak 1–2 liter/menit (0.5
liter/menit pada bayi muda)
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus Tatalaksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada
Anak. Rekomendasi Tatalaksana Sindrom Nefrtotik Idiopatik pada Anak. 2012.
2. Alpers dan Fogo. Buku Ajar Patologi Robbins. Ginjal dan Sistem Pengumpul. 2013: hal
515-520.
3. Davin J-C, Rutjes NW. Nephrotic Syndrome in Children: From Bench to Treatment. Int J
Nephrol. 2011;2011:1-6.
4. Nilawati. Profil Sindrom Nefrotik pada Ruang Perawatan Anak RSUP Sanglah Denpasar.
Vol. 14 No. 4. 2012: hal 269-272.
5. Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV. Kompedium Nefrologi Anak.
2011.
6. Lane JC. Pediatric Nephrotic Syndrome. Medscape. 2020
7. Garibotto G, Giannoni M, Salvatore F. Complications of the nephrotic syndrome.
8. Prodjosudjadi, Wiguno. Sindrom Nefrotik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2006.
9. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Ilmu Kesehatan Anak Esensial.
6th ed. Nelson Essensials of Pediatric; 2018.

Anda mungkin juga menyukai