DISUSUN OLEH:
Jinni, S
NIM : 202107095
PENDAHULUAN
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui Asuhan keperawatan pada anak dengan gangguan kebutuhan
dasar cairan dan elektrolit
2. Tujuan khusus
a. Mahasiswa mengetahui pengkajian keperawatan pasien pada gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
b. Mahasiswa mengetahui Analisa data asuhan keperawatan pasien pada gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
c. Mahasiswa mengetahui rumusan masalah asuhan keperawatan pasien gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit.
d. Mahasiswa mengetahui perencanaan asuhan keperawatan pasien dengan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e. Mahasiswa mengetahui implementasi asuhan keperawatan pasien dengan
gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
f. Mahasiswa mengetahui kriteria hasil evaluasi asuhan keperawatan pasien
dengan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.
BAB 2
PENGELOLAAN KASUS
2. Patofisiologi
Secara patofisiologi, ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan
mukosa lambung, meliputi :
a. Kerusakan mukosa barrier yang menyebabkan difusi balik ion H+meningkat;
b. Perfusi mukosa lambung yang terganggu;
c. Jumlah asam lambung yang tinggi (Wehbi, 2009 dalam Muttaqin dan Kumala
2011).
Faktor- faktor tersebut biasanya tidak berdiri sendiri, contohnya, stress fisik akan
menyebabkan perfusi mukosa lambung terganggu sehingga timbuk daerah-daerah
infark kecil; selain itu sekresi asam lambung juga terpacu. Mucosal barrier pada
pasien strees fisik biasanya tidak terganggu (Muttaqin & Kumala, 2009).
Gastroenteristis Akut akibat infeksi H.pylori biasanya bersifat asimtomatik.
Bakteri yang masuk akan memproteksi dirinya dengan lapisan mukus. Proteksi
lapisan ini akan menutupi mukosa lambung dan melindungi dari asam lambung.
Penetrasi atau daya tembus bakteri ke lapisan mukosa yang menyebabkan terjadinya
kontak dengan sel-sel epithelial lambung dan terjadi adhesi (pelengketan) sehingga
menghasilkan respons peradangan melalui pengaktifan enzim untuk mengaktifkan IL-
8. Hal tersebut menyebabkan fungsi barier lambung terganggu dan terjadilah
gastroenteristis akut (Santacroce, 2008 dalam Muttaqin & Kumala, 2009).
Widagdo (2011) menjelaskan bahwa virus tersebar dengan cara fekaloral bersama
makanan dan minuman, dari beberapa ditularkan secara airborne yaitu norovirus,
Virus penyebab diare secara selektif menginfeksi dan merusak sel-sel di ujung jonjot
yang rata disertai adanya sebukan sel radang mononuclear pada lamina propania
sedang pada mukosa lambung tidak terdapat perubahan walaupun penyakit dikenal
sebagai gastroenteristis. Gambaran patologi tidak berkorelasi dengan gejala klinik,
dan terlihat perbaikan proses sebelum gejala klinik hilang.
Kerusakan akibat virus tersebut mengakibatkan adanya adanya absorpsi air dan
garam berkurang dan terjadi perubahan keseimbangan rasio sekresi dan absorpsi dari
cairan usus, serta aktivitas disakaridase menjadi berkurang dan terjadilah malabsorpsi
karbohidrat terutama laktosa. Faktor penyebab gastroenteristis virus lebih banyak
mengenai bayi dibandingkan dengan anak besar adalah fungsi usus berkurang,
imunitas spesifik kurang, serta menurunnya mekanisme pertahanan spesifik seperti
asam lambung dan mukus. Enteritis virus juga meningkatkan permiabilitas terhadap
makromolekul di dalam usus dan ini diperkirakan sebagai penyebab meningkatnya
resiko terjadinya alergi makanan.
Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau
sekresi.
Terdapat beberapa pembagian diare:
1. Pembagian diare menurut etiologi.
2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan.
a. Absorbsi.
b. Gangguan sekresi.
3. Pembagian diare menurut lamanya diare
a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi.
c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi
Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang
saling tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal: Diare akibat
gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada
kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus,
mengakibatkan absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi
usus halus normal, diare dapat terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau
sekresi di kolon meningkat.
3. Manifestasi Klinis
Menurut Manjoer Arief tanda dan gejala gastroenteritis dapat berupa bayi atau
anak cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan menurun, mengalami
diare, feses cair dengan darah atau lendir, warna tinja berubah menjadi kehijauan
karena tercampur empedu, anus dan sekitarnya menjadi lecet karena tinja menjadi
asam, dehidrasi dan berat badan menurun.
Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya
bila terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala
gastrointestinal bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi
sistemik bervariasi tergantung pada penyebabnya.
Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion
natrium, klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada
muntah dan kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan
dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang
paling berbahaya karena dapat menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan
kematian bila tidak diobati dengan tepat. Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas
plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi hipertonik (hipernatremik) atau
dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa dehidrasi, dehidrasi
ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat
4. Penatalaksanaan Medis
Diare akut secara arbitrer didefinisikan sebagai keluarnya satu atau lebih tinja
diare per hari selama kurang dari 14 hari. Sebagian besar penyakit diare pad anak
disebabkan oleh infeksi. Pada sebagian kasus, tidak perlu melakukan identifikasi
terhadap organisme penyebab karena proses penyakit dan pengobatan serupa apapun
penyebabnya. Terapi utama adalah rehidrasi dan pemeliharaan hidrasi sampai diare
mereda serta menghindari malnutrisi akibat kekurangan asupan nutrisi.
Namun pada beberapa keadaan identifikasi patogen akan mengubah pengobatan
sehingga perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium. Apabila tinja mengandung
leukosit atau darah makroskopik atau anak tampak toksik, kemungkinan infeksi
bakteri invasif meningkat dan harus dilakukan biakan tinja. Demikian juga pada anak
dengan gangguan kekebalan atau yang dirawat inap memerlukan evaluasi yang lebih
ekstensif karena resiko infeksi oportunistik.bayi yang berusia kurang dari 2 bulan
dengan diare merupakan kategori khusus. Infeksi bakteri lebih sering dan lebih parah
pada kelompok usia ini. Selain itu virus atau bakteri enteroptogen dapat menimbulkan
enteropatipasca enteritis yang memerlukan pemantauan nutrisi yang teliti. Pada
kelompok usia ini lebih sering terjadi intoleransi laktosa persisten yang memerlukan
perubahan temporer susu formula. Karena kemungkinan sekali anak perlu diperiksa
untuk mengukur hidrasi dan nutrisi secara objektif (mis. Berat anak) serta dipantau
selama perjalanan penyakitnya. Pada neonatus dengan diare diperlukan (pikiran
terbuka) mengenai kemungkinan kausa noninfeksi dan diagnosis penyakit diare
kongenital, termasuk gangguan malabsorpsi primer, kelainan transfortasi dan defek di
struktur membran brush border, harus dipertimbangkan.
a. Rehidrasi Oral Penggunaan terapi rehidrasi oral (TRO) telah semakin luas
diterimadiseluruh dunia karena merupakan terapi yang cepat, aman, efektif, dan
murah untuk penyakit diare. Larutan rehidrasi oral efektif dalam mengobati anak
apa pun penyebab diare atau beberapa punkadar natrium serum anak saat awitan
terapi. Larutan rehidrasi oral yang optimal harus dapat menggantikan air, natrium,
kalium dan bikarbonat dan larutan tersebut juga harus isotonik atau hipotonik.
Penambahan glukosa kedalam larutan meningkatkan penyerapan natrium dengan
memanfaatkan kontransportasi natrium yang digabungkan dengan glukosa yang
maksimal apanila konsentrasi glukosa tidak lebih daripada 110-140mmol/L (2,0-
2,5 g/L).
b. Asi ekslusif
c. Obat antidiare
5. Pathway GEA
Gangguan Hiperperistaltik
Tekanan sekresi
osmosis
meningkat
Kesempata usus
menyerap
makanan
Sekresi air dan
Reabsorbsi elektrolit
usus dalam usus
terganggu meningkat
Merangsang
usus
mengeluarkan
isinya
Gangguan
eliminasi
6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak
diperlukan, hanya pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab
dasarnya tidak diketahui atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada
penderita dengan dehidrasi berat. Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine
dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran kemih. Pemeriksaan laboratorium yang
kadang-kadang diperlukan pada diare akut :
a. Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur
dan tes kepekaan terhadap antibiotika.
b. Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika
c. Tinja :
a) Pemeriksaan makroskopik
Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita
dengan diare meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang
watery dan tanpa mukus atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin
virus, protozoa atau disebabkan oleh infeksi diluar saluran gastrointestinal.
Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri
yang menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan
peradangan mukosa atau parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T.
trichiura. Apabila terdapat darah biasanya bercampur dalam tinja kecuali pada
infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat pada permukaan tinja dan
pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja yang berbau
busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium
dan Strongyloides.
b) Pemeriksaan mikroskopik
Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat
memberikan informasi tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya
proses peradangan mukosa. Lekosit dalam tinja diproduksi sebagai respon
terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon. Lekosit yang positif pada
pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau kuman yang
memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C.
difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas
atau P. shigelloides.
Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada
S. typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit
pada tinjanya, pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya
lekosit pada tinja minimal.
Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi
lekosit dalam jumlah banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk
mencari telur atau parasit kecuali terdapat riwayat baru saja bepergian
kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk enteropatogen, diare lebih
dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien yang dicurigai
menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis
dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi
duodenum atau yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme
ini hidup di saluran cerna bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada
pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi duodenum adalah metoda yang spesifik
dan sensitif untuk diagnosis giardiasis, strongylodiasis dan protozoa yang
membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis dengan pemeriksaan
mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja cair
sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi
dapat membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin
diperlukan oleh karena ekskresi kista sering terjadiintermiten. Sejumlah tes
serologis amubiasis untuk mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga
tersedia. Serologis test untuk amuba hampir selalu positif pada disentri amuba
akut dan amubiasis hati.
Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic
Uremic Syndrome, diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada
tinja, KLB diare dan pada penderita immunocompromised.
7. Komplikasi
a. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik atau hipertonik).
b. Renjatan hipovolemik.
c. Hipokalemia (dengan gejala meteorismus, hipotoni otot, lemah, bradikardi,
perubahan elektrokardiogram).
d. Hipoglikemia.
e. Intoleransi sekunder akibat kerusakan vili mukosa usus dan defisiensi enzim
laktosa.
f. Kejang yang terjadi pada dehidrasi hipertonik.
g. Malnutrisi energi protein akibat muntah dan diare, jika lama atau kronik
2) Terdapat dalam CE, tulang otot rangka dan jaringan saraf. Anak-anak
memiliki kadar fosfat yang lebih tinggi dibanding orang dewasa.
g. Bikarbonat HCO3⁻
2. Analisa data
Data dasar adalah untuk mengindividualiskan rencana asuhan keperawatan,
mengembangkan dan memperbaiki sepanjang waktu asuhan perawatan untuk klien.
Pengumpulan data harus berhubungan dengan masalah kesehatan tertentu dengan
kata lain pengajian harus relevan.
Pengumpulan data yang tidak akurat, tidak lengkap, atau tidak sesuai mengarah
pada identifikasi kebutuhan keperawatan klien yang tidak tepat dan akibatnya
diagnosa keperawatan yang dibuat menjadi tidak akurat, tidak lengkap atau tidak
sesuai.data yang tidak akurat terjadi bila perawat tidak berhasil mengumpulkan
informasi yang relevan dengan area spesifik atau jika perawat tidak tertur atau tidak
terampildalam teknik pengkajian.
3. Rumusan masalah
Perumusan masalah keperawatan didasarkan pada identifikasi kebutuhan klien.
Bila data pengkajian mulai menunjukkan masalah, perawat diarahkan pada pemilihan
diagnosa keperawatan. Beberapa diagnosis keperawatan akan tampak dengan jelas
berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang saksama. Diagnosis utama yang cocok
untuk bayi atau anak diuraikan dalam rencana asuhan keperawatan. Diagnosis lainnya
akan terbukti berdasarkan usia, kondisi, dan etiologi diare.
4. Perencanan
Fase ketiga dari proses keperawatan adalah perencanaan, selama fase ini
diagnosis diprioritaskan, tujuan dan kriteria hasil disusun, intervensi diidentifikasi,
dan sebuah rencana asuhan tertulis dikembangkan. Berikut ini merupakan tujuan yang
akan dicapai pada bayi atau anak yang mengalami dehidrasi dan bagi keluarganya:
a. Bayi atau anak akan mempertahankan hidrasi yang memadai
b. Bayi atau anak akan mempertahankan status nutrisi yang tepat menurut usia.
c. Keluarga akan mendapat dukungan dan penyuluhan yang tepat.
5. Implementasi
Merupakan fase proses keperawatan dimana rencana diterapkan dalam tindakan.
implementasi melibatkan penilaian yang berkesinambungan mengenai situasi untuk
memprioritaskan secara tepat dan membuat modifikasi saat diperlukan.
Penatalaksanaan sebagian besar kasus diare akut dapat dilaksanakan dirumah dengan
pemberian pendidikan yang benar kepada keluarga tentang penyebab diare,
komplikasi yang potensial, dan terapi yang tepat. Keluarga diajarkan untuk memantau
tanda-tanda dehidrasi, khususnya jumlah popok yang basah atau frekuensi berkemih;
memantau cairan yang masuk lewat mulut; dan menilai frekuensi defekasi serta
jumlah cairan yang hilang lewat feses. Jika anak diare akut dan dehidrasi di rumah
sakit, penimbangan berat badannya harus dikerjakan dengan akurat disamping
dilakukannya pemantauan asupan dan haluaran cairan yang cermat. Anak dapat
memperoleh terapi cairan parenteral tanpa pemberian apapun lewat mulut (puasa)
selama 12 sampai 48 jam. Pemantauan pemberian cairan infus merupakan fungsi
primer keperawatan, dan perawat harus yakin bahwa cairan serta elektrolit yang
diberikan lewat infus tersebut sudah memiliki konsentrasi yang benar; kecepatan
tetesan harus diatur untuk memberikan cairan dengan colume yang dikehendaki
dalam periode tertentu dan lokasi pemberian infus harus dijaga
6. Evaluasi
Fase kelima dari proses keperawatan adalah evaluasi. Dalam proses keperawatan,
evaluasi umumnya merupakan penentuan dari efektivitas rencana asuhan terhadap
seorang pasien.
Evaluasi terhadap gangguan kebutuhan cairan dan elektrolit secara umum dapat
dinilai dari adanya kemampuan dalam mempertahankan keseimbangan cairan dan
elektrolit dengan ditunjukkan oleh adanya keseimbangan antara jumlah asupan dan
pengeluaran, nilai elektrolit dalam batas normal, berat badn sesuai dengan tinggi
badan atau tidak ada penurunan, turgor kulit baik, tidak terjadi edema, dan lain
sebagainya (Hidayat, 2012).
LAPORAN KASUS
JINNI, S
NIM : 202107095
I. PENGKAJIAN
a. Identitas Pasien
Nama : An. S
Tanggal lahir : 13-Agustus-2018
Agama : Islam
Pendidikan :-
Penanggung jawab
Nama : Ny. R
b. Alasan masuk RS
BAB cair >5x bercampur lendir, demam 1 hari, muntah 2x, mual
f. Genogram
Ket:Perempuan: pasien:
Laki-laki: tinggal satu rumah :
g. Riwayat sosial
1) Hubungan dengan keluarga : Hubungan dengan ibu, bapak baik
2) Hubungan dengan teman sebaya : baik
3) Pembawaan secara umum : pada saat komunikasi dengan perawat klien sangat
kooperatif dan mudah akrab
4) Lingkungan rumah : Bersih, aman dan nyaman
h. Kebutuhan dasar
1) Makanan yang disukai / tidak disukai
Klien mengatakan suka nasi goreng, apel, mangga, apel, bubur
2) Pola tidur
Ibu klien mengatakan tidur siang hanya 2-3 jam semenjak sakit dan tidur malam
sekitar 4 jam.
3) Mandi
Klien saat sehat rajin mandi,klien mandi 1 kali sehari tetapi semenjak sakit klien
tidak ada mandi atau hanya di lap dengan waslap basah.
4) Eliminasi BAB BAK
BAB 4x mencret setelah datang ke RS
BAK uang air kecil klien lancar, frekuensi 4-5x sehari, bau pesing,warna kuning,
konsistensi cair dan tidak ada kesulitan BAK
i. Pemeriksaan fisik
Kesadaran :Compos mentis
GCS :E4 M6 V5
TB/BB :12 kg
TD :90/70 mmHg
Rr :22x/menit
Suhu :38,8 ˚C
Nadi :120x/menit
Spo2 :99 %
1) Kepala
a. Rambut
Rambut pendek , rambut warna hitam, tekstur kasar, tidak ada ketombe, tidak
ada benjolan, dan tidak ada pembengkakan pada kepala
b. Mata
Bentuk simetris kanan dan kiri, konjungtiva berwarna merah muda, sclera
berwarna putih, tidak terdapat oedema, bentuk pupil isokor, reflek pada
cahaya meosis.
c. Telinga
Bentuk telinga simetris kiri dan kanan, tidak ada serumen, tidak ada
gangguan pendengaran.
d. Hidung
Bersih, bentuk simetris, tidak ada sekresi, tidak ada polip, tidak ada gangguan
penciuman.
e. Mulut dan Gigi
Bersih, mukosa bibir kering cenderung pecah-pecah, ,gigi rapi, bibir simetris
kiri dan kanan, tidak ada kelainan.
2) Leher
Tidak ada terdapat pembesaran kelenjar tiroid, tida ada kelainan pada leher.
3) Thorak
Paru - Paru
Inspeksi : Pergerakan dada kanan dan kiri simetris, tidak tampak
menggunakan otot bantu penafasan.
Palpasi : Pergerakan dinding dada teratur, traktil fremitus sama, tidak ada oedem
Perkusi : Sonor
4) Jantung
Inspeksi: Simetris kiri dan kanan, Ictus cordis Terlihat, tidak ada palpitasi
Palpasi : Suara jantung vesikuler
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara antung terdenger S1 S2, lup dup
5) Abdomen
Inspeksi : Perut klien tampak simetris, tidak ada bekas operasi, tidak ada lesi
Auskultasi : Bising usus 30 x/menit
Palpas : ada nyeri tekan, tidak ada oedem atau masa, pembesaran hepar tidak ada
Perkusi : timpani
6) Punggung
tidak ada lesi, tidak ada bekas operasi, tidak ada kelainan pada punggung
7) Ekstremitas
Atas : CRT < 2 detik
Bawah : Klien tidak terpasang kateter
8) Genetalia
Tampak bersih, tidak ada kelainan pada genetalia
9) Integument
Turgor kulit kering, warna sawo matang, turgor jelek
j. Data penunjang
1) Laboratorium
Laboratorium tanggal 05-11- 2021 Jam 14 : 59
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12.3 10.7 - 14.7 gr/dL
Leukosit 19.0 * 5.5 - 15.5 10^3/uL
Eritrosit 4.66 3.50 - 5.20 10^6/uL
Hematokrit 36 35 - 47 %
Trombosit 357 229 - 553 10^3/uL
HITUNG JENIS
Basofil 0 0-1 %
Eosinofil 0* 1–3 %
Netrofil batang 0* 4–6 %
Neutrofil segmen 89 * 40 - 70 %
Limfosit 8* 20 -40 %
Monosit 13 2–4 %
INDEX ERITROSIT
MCV 76 * 80 - 100 f1
MCH 26 26 - 34 pg
MCHC 35 32 - 36 G/ dL
KIMIA DARAH
DIABETES
Gula darah 59 * 60-100 mg/dL
sewaktu
Rontgent Thorax AP/PA tanggal 06-11-2021 jam 09.00
-Cor tidak membesar
- sinuses dan diafragma normal
-fulmo :
Hili normal
Corakan bronkovaskular normal
Tidak tampak becak lunak
Kesan :
- Tidak tampak tanda-tanda TB paru aktif/pneumonia
e) Data Fokus
a. Data Subjektif
1) Ibu klien mengatakan bab cair . 5x bercampur lendir
2) Ibu klien mengatakan demam 1 hari
3) Ibu klien mengatakan muntah 2x
4) Ibu klien mengatakan mual
5) Ibu klien mengatakan muntah sehabis makan
b. Data Objektif
1) Klien tampak lemas
TD : 90/70 mmHg P : 22 x/mnt SpO2 : 99%
N: 120x/menit S : 38,8 ˚c
a) Input : 1100 cc
b) Output : 620 cc
c) IWL : 120
d) Balance Cairan : + 480
2) BB klien tidak terjadi penurunan
3) Klien hanya menghabiskan 2 sendok dari porsi yang diberikan
4) Mukosa bibir klien tampak kering
II. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipovolemia berhubungan dengan kehilangan cairan aktif
2. Risiko ketidakseimbangan elektroilit berhubungan dengan diare
3. Hipertermia berhubungan dengan dehidrasi
-Objektif :
1. Suhu tubuh diatas
nilai normal
IV. INTERVENSI
No Diagnosa Tujuan dan KH Intervensi
1 Hipovolemia (D.0023) Status cairan ( L.03028) Manajemen syok
kondisi volume cairan hipovolemik
Penurunan volume cairan intravaskuler, interstisiel (L.02050)
itravaskuler, intertisiel, dan dan intraseluler setelah Mengidentifikasi
atau intraseluler dilakukan tindakan dan mengelola
Gejala dan tanda mayor keperawatan selama ketidak mampuan
-Subjektif : 3x24 jam diharapkan tubuh
(Tidak tersedia) masalah hipovolemia menyediakan
-Objektif teratasi oksigen dan
1. tekanan darah menurun Kriteria hasil : nutrien untuk
2. turgor kulit menurun 1. Tekanan darah mencukupi
3. membran mukosa membaik kebutuhan jaringan
kering 2. Turgor kulit akibat kehilangan
Gejala dan tanda minor : meningkat cairan /darah
-Subjektif 3. Membran mukos berlebih
1. Merasa lemah membaik
2. Mengeluh haus Tindakan
-Objektif Observasi
1.Suhu tubuh meningkat -Monitor status
2. berat badan turun tiba- kardiopulmonal
tiba (frekuensi dan
kekuatan nadi,
frekuensi napas,
TD, MAP)
-Monitor status
oksigenasi
(oksimetri,nasi,
AGD)
-Monitor status
cairan (masukan
dan haluaran,
turgor kulit, CRT)
-Periksa tingkat
kesadaran dan
respon pupil
Terapeutik
-Ambil sample
darah untuk
pemeriksaan darah
lengkap dan
elektrolit
Kolaborasi
-Kolaborasi
pemberian infus
cairan kristaloid 1-
2 L pada dewasa
-Kolaborasi
pemberian
transfusi darah jika
perlu
Terapeutik
-atur interval waktu
peantauan sesuai
dengan kondisi
pasien
-dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi
-jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
-informasikan hasil
pemantauan, jika
perlu
Terapeutik
1. Pertahankan
kepatenan jalan
napas
2. Berikan posisi
semi fowler
atau fowler
3. Fasilitasi
mengubah
posisi senyaman
mungkin
4. Berikan
oksigenasi
sesuai
kebutuhan
(mis.nasal
canul, masker
wajah, masker
rebreathing atau
non
rebreathing)
Edukasi
1. Ajarkan
melakukan
teknik relaksasi
napas dalam
2. Ajarkan
mengubah
posisi secara
mandiri
3. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian
bronkodilator, jika
perlu -