Anda di halaman 1dari 21

PROPOSAL PENELITIAN

PENGARUH PEMBERIAN EDUKASI KESEHATAN TERHADAP TINGKAT


KECEMASAN PADA LANSIA DENGAN DIABETUS MILITUS DI RSUD NGUDI
WALUYO WLINGI

PENELITIAN ILMIAH

KURNIA AYU PRATIWI


3A
P17211183056

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG

JURUSAN KEPERAWATAN

SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN MALANG

MEI 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat rahmat-Nya proposal yang berjudul “Pengaruh Pemberian Edukasi kesehatan

Terhadap Tingkat Kecemasan pada Lansia Dengan Diabetus Militus Di RSUD Ngudi

Waluyo wlingi” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Proposal   ini disusun untuk

memenuhi tugas matakuliah Metodologi Penelitian. Dalam penyusunan proposal ini,

penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai

pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus

kepada:

1. Budi Susatia, S.Kp., M.Kes selaku Direktur Politeknik Kesehatan Kemenkes Malang

yangtelah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di

Poltekkes Kemenkes Malang.

2. Imam Subekti, S.Kp., M.Kep., Sp.Kom selaku Ketua Jurusan Keperawatan yang

telah memberikan kesempatan dan bantuan fasilitas pendidikan yang sedang diikuti.

3. Dr. Susimilwati, S.Kp, M.Pd selaku pembimbing yang dalam penyusunan dan

penulisan proposal skripsi ini telah banyak memberikan bimbingan, saran, dan

dukungan kepada penulis.

4. Dr. Diah Widodo, S.Kp, M.Kes selaku pembimbing yang dalam penyusunan dan

penulisan proposal skripsi ini telah banyak memberikan bimbingan, saran dan

dukungan kepada penulis.


5. Kissa Bahari, S.Kep, Ns, M.Kep, PhD.NS selaku pembimbing yang dalam

penyusunan dan penulisan proposal skripsi ini telah banyak memberikan bimbingan,

saran dan dukungan kepada penulis.

6. Orangtua tercinta,serta teman-teman yang telah memberikan motivasi serta semangat

kepada peneliti.

Penulis menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman lebih

lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat

konstruktif demi kesempurnaan proposal ini. Penulis berharap semoga gagasan pada proposal ini

dapat bermanfaat.

Penyusum

Kurnia Ayu Pratiwi


ABSTRAK
Pengaruh Pemberian Edukasi Kesehatan Terhadap Tingkat Kecemasan Pada Lansia Dengan
Diabetus Militus Di Rsud Ngudi Waluyo Wlingi

Kurnia Ayu Pratiwi , Dr. Susi Milwati, S.Kp., M.Pd.


Dr. Diah Widodo, S.Kp., M.Kes. , Kissa Bahari, S.Kep., Ns., M.Kep., PhD., NS.

Program Studi Sarjana Terapan Keperawatan, Poltekkes Kemenkes Malang

Latar Belakang : Diabetes Mellitus (DM) saat ini telah menjadi masalah kesehatan dunia yang
sering ditemukan di masyarakat akibat komplikasinya yang bersifat akut maupun kronik dan
merupakan salah satu penyakit yang memiliki kecenderungan memburuk serta insidennya terus
meningkat dari waktu ke waktu (Bilous & Donelly, 2015) Metode : penelitian ini menggunakan
jenis penelitian quasi eksperimental design. Quasi experimental design adalah jenis desain
penelitian yang memiliki kelompok kontrol dan kelompok eksperimen tidak dipilih secara
random. Peneliti menggunakan desain quasi experimental design karena dalam penelitian ini
terdapat variabel-varibel dari luar yang tidak dapat dikontrol oleh peneliti.

Kata Kunci : Edukasi ; Lansia ; Pengaruh ; Diabetus Militus


ABSTRACK
The Effect of Providing Health Education on Anxiety Levels in Parents
With Diabetus Militus at RSUD Ngudi Waluyo Wlingi

Kurnia Ayu Pratiwi, Dr. Susi Milwati, S.Kp., M.Pd.


Dr. Diah Widodo, S.Kp., M.Kes. , Kissa Bahari, S.Kep., Ns., M.Kep., PhD., NS.

Applied Nursing Undergraduate Study Program, Malang State Health Polytechnic

Introduction : Work accidents in hospitals can interfere with the productivity and quality of
work of nurses in providing nursing care to patients. For this reason, it is necessary to know what
factors affect nurses' work accidents in hospitals so that preventive measures can be taken.
Methods : This study uses a quasi-experimental research design. Quasi experimental design is a
type of research design that has a control group and an experimental group that is not chosen
randomly. The researcher used a quasi-experimental design because in this study there were
external variables that the researcher could not control.

Keywords : education ; age, parental ; influence ; diabetic


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Diabetes Mellitus (DM) saat ini telah menjadi masalah kesehatan dunia yang sering
ditemukan di masyarakat akibat komplikasinya yang bersifat akut maupun kronik dan
merupakan salah satu penyakit yang memiliki kecenderungan memburuk serta insidennya terus
meningkat dari waktu ke waktu (Bilous & Donelly, 2015). Hasil survey WHO (World Health
Organization) untuk jumlah Pasien Diabetes Mellitus pada tahun 2000 di Indonesia adalah 8,4
juta jiwa dan akan mengalami kenaikan pada tahun 2030 yaitu sekitar 21,3 juta jiwa. Jumlah
tersebut menempati urutan ke-4 di dunia setelah India (31,7 juta jiwa), Cina (20,8 juta jiwa) dan
Amerika Serikat (17,7 juta jiwa) (Lestari, 2013). Kadar gula darah pada Pasien Diabetes Mellitus
jika tidak dapat terkendali dengan baik akan mengakibatkan komplikasi – komplikasi yang dapat
memperparah prognosis, seperti kebutaan, gagal ginjal, stroke, ulkus kaki, dan lain – lain.
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik progresif,
dengan manifestasi gangguan metabolisme glukosa dan lipid, disertai oleh komplikasi kronik
penyempitan pembuluh darah, akibat terjadinya kemunduran fungsi sampai dengan kerusakan
organorgan tubuh (Darmono, 2007). Bahaya Diabetes sangat besar dan dapat memungkinkan
klien menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak komplikasi serius
dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Klien DM menghadapi bahaya setiap harinya
karena kadar gula darah yang tidak terkontrol. Glukosa darah mengandung kadar yang berubah-
ubah sepanjang hari terutama pada saat makan dan beraktifitas (Pangestu, 2007). Diabetes
Mellitus (DM) merupakan salah satu ancaman utama bagi kesehatan umat manusia pada abad 21.
WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2025, jumlah klien DM akan membengkak menjadi
300 juta orang (Sudoyo, 2006). Sedangkan di Amerika Serikat setiap 60 detik seorang
didiagnosa menderita DM dan mencapai lebih dari 14 juta orang Amerika mengidap penyakit
DM (Friedman, 1998).
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut,
“Apakah ada pengaruh edukasi kesehatan Terhadap Tingkat Kecemasan pada Lansia Dengan
Diabetus Militus Di RSUD Ngudi Waluyo wlingi”.
 
1.3. Tujuan
Tujuan dari peneltian ini adalah : 
1. Mengidentifikasi tingkat kecemasan pada pasien lansia dengan diabetus militus
2. Mengidentifikasi apakah ada pengaruh tingkat kecemasan terhadap pasien lansia dengan
diabetus militus.
3. Mengidentifikasi cara-cara untuk mengatasi masalah kecemasan terhadap pasien lansia
dengan diabetus militus.
 
1.4. Manfaat
- Bagi Penulis
Penulis mampu memahami pengaruh tingakat pengetahuan dan mampu untuk
meningkatkan pengetahuan lansia pada Diabetus Militus
- Bagi Masyarakat
Masyarakat lebih memahami dan bisa mendukung dalam pemeliharaan kesehatan pasien
Diabetus Militus
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Dasar Penyakit
2.1.1. Pengertian Diabetus Militus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan penyakit metabolik yang berlangsung kronik
progresif, dengan manifestasi gangguan metabolisme glukosa dan lipid, disertai oleh
komplikasi kronik penyempitan pembuluh darah, akibat terjadinya kemunduran fungsi sampai
dengan kerusakan organorgan tubuh (Darmono, 2007). Bahaya Diabetes sangat besar dan dapat
memungkinkan klien menjadi lemah ginjal, buta, menderita penyakit bagian kaki dan banyak
komplikasi serius dan menyebabkan tingkat kematian yang tinggi. Klien DM menghadapi
bahaya setiap harinya karena kadar gula darah yang tidak terkontrol. Glukosa darah
mengandung kadar yang berubah-ubah sepanjang hari terutama pada saat makan dan
beraktifitas (Pangestu, 2007).

2.1.2. Patofisiologi Diabetus Militus


Dalam patofisiologi DM tipe 2 terdapat beberapa keadaan yang berperan yaitu Resistensi
insulin dan Disfungsi sel B pancreas. Diabetes melitus tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, namun karena sel sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu merespon insulin
secara normal.Keadaan ini lazim disebut sebagai resistensi insulin. Resistensi insulin banyak
terjadi akibat dari obesitas dan kurang nya aktivitas fisik serta penuaan.Pada penderita diabetes
melitus tipe 2 dapat juga terjadi produksi glukosa hepatik yang berlebihan namun tidak terjadi
pengrusakan sel-sel B langerhans secara autoimun seperti diabetes melitus tipe 2.
Defisiensi fungsi insulin pada penderita diabetes melitus tipe 2 hanya bersifat relatif dan
tidak absolut.4,5 Pada awal perkembangan diabetes melitus tipe 2, sel B menunjukan gangguan
pada sekresi insulin fase pertama,artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik,pada perkembangan selanjutnya akan terjadi
kerusakan sel-sel B pankreas. Kerusakan sel-sel B pankreas akan terjadi secara progresif
seringkali akan menyebabkan defisiensi insulin,sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin
eksogen. Pada penderita diabetes melitus tipe 2 memang umumnya ditemukan kedua faktor
tersebut, yaitu resistensi insulin dan defisiensi insulin.

2.1.3. Tanda dan Gejala Diabetus Militus


Gejala diabetes melitus dibedakan menjadi akut dan kronik Gejala akut diabetes melitus yaitu :
Poliphagia (banyak makan) polidipsia (banyak minum), Poliuria (banyak kencing/sering kencing
di malam hari), nafsu makan bertambah namu berat badan turun dengan cepat (5-10 kg dalam
waktu 2-4 minggu), mudah lelah. Gejala kronik diabetes melitus yaitu : Kesemutan, kulit terasa
panas atau seperti tertusuk tusuk jarum, rasa kebas di kulit, kram, kelelahan, mudah mengantuk,
pandangan mulai kabur, gigi mudah goyah dan mudah lepas, kemampuan seksual menurun
bahkan pada pria bisa terjadi impotensi, pada ibu hamil sering terjadi keguguran atau kematian
janin dalam kandungan atau dengan bayi berat lahir lebih dari 4kg.

2.1.4. Diagnosa
Diagnosis diabetes mellitus tipe 2 ditegakkan berdasarkan anamnesis mengenai gejala klasik
diabetes, pemeriksaan fisik terkait komplikasi diabetes, serta pemeriksaan laboratorium berupa
pemeriksaan kadar gula darah, tes toleransi glukosa oral, serta HbA1c untuk kontrol keberhasilan
terapi.
Anamnesis
Hal utama yang perlu ditanyakan saat anamnesis diabetes mellitus tipe 2 adalah mengenai gejala
klasik diabetes. Gejala klasik tersebut adalah poliuria, polidipsi, dan polifagia. Dokter juga perlu
menanyakan mengenai gejala lain yang dapat mengarahkan kepada hiperglikemia seperti
penurunan berat badan serta kemungkinan komplikasi diabetes seperti masalah penglihatan,
parestesia ekstremitas bawah, luka yang sulit sembuh, ulkus diabetik, serta disfungsi seksual.
Pada pasien yang telah didiagnosa diabetes mellitus tipe 2 sebelumnya, dokter perlu menanyakan
hal-hal berikut:
 Durasi pasien mengetahui menderita diabetes dan pengobatan yang didapat
 Apakah kontrol dilakukan secara teratur dan hasil kontrol gula darah pasien
 Kejadian hipoglikemia berat akibat pengobatan diabetes pasien dan pengetahuan pasien
mengenai hipoglikemia dan penanganan pertamanya
 Komplikasi diabetes
 Riwayat penyakit lain yang berhubungan seperti hipertensi, dislipidemia, stroke

Pemeriksaan Fisik
Mayoritas pasien diabetes merupakan pasien dengan berat badan berlebih atau obesitas. Untuk
itu, penting dilakukan pengukuran indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan lingkar pinggul
untuk menentukan status gizi pasien. Dokter juga perlu melakukan pemeriksaan tekanan darah
untuk melihat adanya hipertensi serta memeriksa apakah pasien memiliki hipotensi ortostatik
yang menunjukkan pasien mengalami neuropati otonom. Dokter juga perlu menginspeksi pola
pernapasan pasien apakah pasien memiliki pola respirasi Kussmaul yang
menandakan ketoasidosis diabetik serta inspeksi kulit untuk melihat adanya acanthosis nigricans,
atau infeksi kulit.
- Pemeriksaan Funduskopi
Pemeriksaan funduskopi bertujuan untuk memeriksa retina pasien. Jangan lupa untuk
mendilatasi pupil pasien sebelum melakukan funduskopi. Jika ditemukan tanda
perdarahan atau eksudat, atau terdapat neovaskularisasi, segera rujuk pasien ke spesialis
mata untuk penanganan lebih lanjut.
- Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan neurologis bertujuan untuk menilai tanda-tanda neuropati sensori perifer
pada pasien. Hal yang perlu dicek adalah kemampuan sensori pasien terhadap suhu dan
sentuhan serta refleks tendon.
- Pemeriksaan Kaki
Pemeriksaan kaki bertujuan untuk memeriksa pembuluh darah tibialis posterior dan
dorsalis pedis. Lakukan palpasi pada kedua pembuluh darah tersebut. Pulsasi yang lemah
atau tidak teraba menandakan mikrovaskularisasi yang buruk. Dokter juga perlu
memeriksa tanda-tanda infeksi kaki untuk mencegah terjadinya ulkus kaki dan amputasi.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding utama diabetes mellitus tipe 2 adalah diabetes mellitus tipe 1. Hal ini sangat
penting untuk menentukan apakah pasien 100% memerlukan insulin eksogen atau masih dapat
menggunakan modifikasi gaya hidup dan obat antidiabetes oral untuk penanganan diabetesnya.
Diagnosis banding ini dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan kadar insulin, C-peptida, dan
uji antibodi.
Diagnosis Banding Lain
Kondisi prediabetes dapat dikatakan sebagai faktor risiko DM 2, namun demikian dapat juga
dimasukkan ke dalam diagnosis banding yang mesti dibedakan dengan DM 2, karena tidak
menyingkirkan kemungkinan hal-hal di bawah ini dapat dicegah progresivitasnya ke DM 2.[24]
Prediabetes dibedakan antara toleransi glukosa terganggu dan gangguan glukosa puasa:
 Toleransi glukosa terganggu (TGT) / impaired glucose tolerance: kadar gula darah hasil
tes toleransi glukosa oral sebesar >140-200 mg/dL
 Gangguan glukosa puasa (GGP) / impaired fasting glycaemia (IFG): gula darah
puasa >100-126 mg/dL[25,26]

2.1.5. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang utama untuk diabetes mellitus adalah pemeriksaan kadar gula darah.
Diabetes didefinisikan sebagai kadar gula darah puasa di atas 126 mg/dL atau kadar gula darah
sewaktu di atas 200 mg/dL. Lakukan pemeriksaan ulang pada pasien yang memiliki gejala klasik
diabetes (polidipsi, poliuria, polifagia) dengan kadar gula darah di bawah angka tersebut. Jika
hasil tetap di bawah batas, lakukan pemeriksaan toleransi glukosa.
Pasien yang tidak memiliki gejala klasik diabetes memerlukan pemeriksaan toleransi glukosa
jika kadar gula darah sewaktunya di antara 140-199 mg/dL atau kadar gula darah puasa di antara
100-125 mg/dL. Pasien tanpa gejala klasik dengan kadar gula darah di bawah angka tersebut
dapat langsung didiagnosis sebagai tidak terkena diabetes mellitus dan tidak memerlukan
pemeriksaan lebih lanjut.
- Tes Toleransi Glukosa Oral
Ukur kadar gula darah puasa pasien lalu berikan larutan glukosa oral 75 gram dan ukur
ulang kadar gula darah setelah 2 jam. Pada diabetes gestasional, pengukuran ulang
dilakukan 2 kali, setelah 1 jam dan setelah 2 jam pasca meminum larutan gula. Hasil tes
sebesar >200 mg/dL dikategorikan sebagai diabetes mellitus, 140-199 mg/dL toleransi
glukosa terganggu, hasil di bawah 140 mg/dL normal.[18,24,27]
- HemoglobinA1c (HbA1c)
Hemoglobin A1C (HbA1C) terutama digunakan untuk pengukuran keberhasilan terapi
diabetes. Hal ini disebabkan oleh kemampuan HbA1c untuk melihat perkiraan kadar
glukosa selama 3 bulan ke belakang dari waktu pemeriksaan, berbeda dengan uji kadar
gula darah yang hanya dapat melihat kadar glukosa tepat saat pemeriksaan. Nilai HbA1c
di atas 6,5% menunjukkan kontrol gula darah yang tidak baik selama 3 bulan sebelum
pengukuran.[28]
- Aseton Darah
Pasien dengan kadar aseton plasma 1 mmol/L atau di atas perlu segera dirujuk ke rumah
sakit untuk perawatan selanjutnya.[29]
- Penentuan Tipe Diabetes Mellitus
Untuk membedakan antara diabetes mellitus tipe 1 dan 2, dapat dilakukan pemeriksaan
kadar insulin, C-peptide, dan marker antibodi seperti glutamic acid
decarboxylase (GAD).[26]
- Pemeriksaan Laboratorium Lainnya
Pada pasien yang dicurigai mengalami infeksi atau sepsis, lakukan pemeriksaan hitung
jenis leukosit serta kultur darah dan urin. Kecurigaan akan ketoasidosis diabetik perlu
dilakukan pemeriksaan kadar aseton plasma atau kadar keton darah. Selain itu,
pemeriksaan elektrolit juga diperlukan untuk melihat ada tidaknya gangguan kalium
akibat ketoasidosis diabetik.
Pemeriksaan laboratorium lain yang perlu dilakukan adalah pemeriksaan kadar kolesterol
darah serta pemeriksaan fungsi ginjal jika dicurigai adanya komplikasi nefropati.

2.1.6. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan diabates melitus secara umum ada lima sesuai dengan Konsensus
Pengelolaan DM di Indonesia tahun 2006 adalah untuk meningkatkan kualitas hidup pasien DM.
Tujuan Penatalaksanaan DM adalah :2 Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM,
mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. Jangka
panjang: tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati dan
neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas DM. Untuk
mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat
badan dan profil lipid,melalui pengelolaan pasien secara holistik dengan mengajarkan perawatan
mandiri dan perubahan perilaku.
1. Diet Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran
makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan
kalori dan zat gizi masingmasing individu. Pada penyandang diabetes perlu ditekankan
pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama
pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin. Standar yang
dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam hal karbohidrat 60-70%,
lemak 20-25% danprotein 10-15%.
Untuk menentukan status gizi, dihitung dengan BMI (Body Mass Indeks). Indeks Massa
Tubuh (IMT) atau Body Mass Index (BMI) merupupakan alat atau cara yang sederhana
untuk memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan
kelebihan berat badan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat dihitung dengan rumus
berikut:
IMT = BeratBadan (Kg)_______
Tinggi Badan (m) Xtinggi Badan (m)
2. Exercise (latihan fisik/olahraga)
Dianjurkan latihan secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih 30 menit, yang
sifatnya sesuai dengan Continous, Rhythmical, Interval, Progresive, Endurance (CRIPE).
Training sesuai dengan kemampuan pasien. Sebagai contoh adalah olah raga ringan jalan
kaki biasa selama 30 menit. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau
bermalasmalasan.
3. Pendidikan Kesehatan Pendidikan kesehatan sangat penting dalam pengelolaan. Pendidikan
kesehatan pencegahan primer harus diberikan kepada kelompok masyarakat resiko tinggi.
Pendidikan kesehatan sekunder diberikan kepada kelompok pasien DM. Sedangkan
pendidikan kesehatan untuk pencegahan tersier diberikan kepada pasien yang sudah
mengidap DM dengan penyulit menahun.
4. Obat : oral hipoglikemik, insulin Jika pasien telah melakukan pengaturan makan dan latihan
fisik tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar gula darah maka dipertimbangkan pemakaian
obat hipoglikemik
2.1.7. Faktor Penyebab
Diabetes tipe 2 terjadi akibat resistensi insulin, yaitu ketika sel tubuh menjadi kebal atau tidak
responsif terhadap insulin. Insulin membantu sel menyerap dan mengubah gula (glukosa)
menjadi energi. Resistensi insulin menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel.
Akibat kondisi tersebut, pankreas harus bekerja lebih keras untuk memproduksi insulin agar
glukosa dapat masuk ke sel. Namun, seiring waktu, sel pankreas akan mengalami kerusakan
akibat bekerja terlalu keras sehingga tidak dapat menghasilkan insulin. Hal ini menyebabkan
glukosa menumpuk dalam darah.
Belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkan resistensi insulin. Namun, diduga diabetes
tipe 2 dipicu oleh kombinasi dari faktor-faktor di bawah ini:
 Kondisi genetik yang memengaruhi tubuh dalam memproduksi insulin
 Berat badan berlebih atau obesitas, yang berisiko menimbulkan resistensi insulin pada sel
 Sindrom metabolik, berupa gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, kolesterol
tinggi, trigliserida tinggi, dan lingkar pinggang yang melebihi normal
 Produksi glukosa yang berlebihan oleh organ hati
 Kerusakan sel beta, yang mengakibatkan gangguan terhadap proses produksi insulin

2.1.8. Faktor Resiko


Risiko terkena diabetes lebih tinggi pada orang yang berusia 45 tahun atau lebih. Risiko yang
sama juga dapat terjadi pada orang yang memiliki keluarga inti penderita diabetes tipe 2.
Meski umumnya diabetes tipe 2 terjadi pada orang dewasa, kondisi ini juga dapat dialami oleh
anak-anak dan remaja, terlebih pada mereka yang memiliki faktor yang dapat meningkatkan
risiko. Orang dewasa lebih rentan terhadap kondisi ini seiring bertambahnya usia.
Risiko terkena diabetes tipe 2 lebih tinggi pada orang yang memiliki beberapa kondisi berikut:
 Prediabetes
 Gangguan jantung dan pembuluh darah
 Kadar kolesterol HDL rendah
 Diabetes gestational, yaitu diabetes yang terjadi selama kehamilan
 PCOS
 Depresi
Selain dipicu oleh kondisi di atas, gaya hidup di bawah ini juga bisa meningkatkan risiko
terjadinya diabetes tipe 2:
 Pola makan yang kurang sehat, seperti sering mengonsumsi makanan cepat saji dan
minuman yang mengandung gula
 Kurang berolahraga atau beraktivitas fisik
 Kebiasaan merokok
 Sering stres
 Kurang istirahat atau kurang tidur
 Terlalu sering tidur

2.1.9. Pencegahan
Pencegahan penyakit diabetes melitus dibagi menjadi empat bagian yaitu7 : Pencegahan
Premordial Pencegahan premodial adalah upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat
yang memungkinkan penyakit tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor
risiko lainnya. Prakondisi ini harus diciptakan dengan multimitra. Pencegahan premodial pada
penyakit DM misalnya adalah menciptakan prakondisi sehingga masyarakat merasa bahwa
konsumsi makan kebarat-baratan adalah suatu pola makan yang kurang baik, pola hidup santai
atau kurang aktivitas, dan obesitas adalah kurang baik bagi kesehatan. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orangorang yang termasuk kelompok
risiko tinggi, yaitu mereka yang belum menderita DM, tetapi berpotensi untuk menderita DM
diantaranya :
- Kelompok usia tua (>45tahun)
- Kegemukan (BB(kg)>120% BB idaman atau IMT>27 (kglm2))
- Tekanan darah tinggi (>140i90mmHg)
- Riwayat keiuarga DM
- Riwayat kehamilan dengan BB bayi lahir > 4000 gr.
- Disiipidemia (HvL)

2.2. Konsep Kecemasan


2.2.1. Konsep Kecemasan
Pada dasarnya kecemasan adalah kondisi psikologis seseorang yang penuh dengan rasa takut
dan khawatir, dimana perasaan takut dan khawatir akan sesuatu hal yang belum pasti akan
terjadi. Kecemasan berasal dari bahasa Latin (anxius) dan dari bahasa Jerman (anst), yaitu suatu
kata yang digunakan untuk menggambarkan efek negatif dan rangsangan fisiologis (Muyasaroh
et al. 2020). Menurut American Psychological Association (APA) dalam (Muyasaroh et al.
2020), kecemasan merupakan keadaan emosi yang muncul saat individu sedang stress, dan
ditandai oleh perasaan tegang, pikiran yang membuat individu merasa khawatir dan disertai
respon fisik (jantung berdetak kencang, naiknya tekanan darah, dan lain sebagainya).
Berdasarkan pendapat dari (Gunarso, n.d, 2008) dalam (Wahyudi, Bahri, and Handayani
2019), kecemasan atau anxietas adalah rasa khawatir, takut yang tidak jelas sebabnya. Pengaruh
kecemasan terhadap tercapainya kedewasaan, merupakan masalah penting dalam perkembangan
kepribadian. Kecemasan merupakan kekuatan yang besar dalam menggerakan. Baik tingkah laku
normal maupun tingkah laku yang menyimpang, yang terganggu, kedua-duanya merupakan
pernyataan, penampilan, penjelmaan dari pertahanan terhadap kecemasan itu. Jelaslah bahwa
pada gangguan emosi dan gangguan tingkah laku, kecemasan merupakan masalah pelik.

2.2.2. Etiologi
Terdapat beberapa teori yang mendasari kecemasan ditinjau dari kontribusi 2 ilmu, yaitu ilmu
psikologi dan ilmu biologi.
1. Teori psikologis
- Teori psikoanalitik Definisi Freud, kecemasan dipandang sebagai hasil dari konflik psikis
antara keinginan seksual atau agresif sadar dan ancaman sesuai dari realitas superego atau
eksternal. Dalam menanggapi sinyal ini, ego mengerahkan mekanisme pertahanan untuk
mencegah pikiran dan perasaan yang tidak dapat diterima dari muncul dalam kesadaran.
- Teori perilaku Teori-teori perilaku atau belajar dari kecemasan mendalilkan bahwa
kecemasan merupakan respon terkondisi terhadap rangsangan lingkungan tertentu.
- Teori eksistensial Konsep utama teori eksistensial adalah bahwa orang-orang mengalami
perasaan hidup di alam semesta tanpa tujuan. Kecemasan merupakan respon mereka
terhadap kekosongan yang dirasakan dalam keberadaan dan makna.
2. Teori biologi
- Otonom Sistem saraf Sistem saraf otonom dari beberapa pasien dengan gangguan
kecemasan, terutama mereka dengan gangguan panik, menunjukkan nada simpatik
meningkat, beradaptasi perlahan terhadap rangsangan berulang, dan merespon berlebihan
terhadap rangsangan moderat.
- Neurotransmitter Tiga neurotransmitter utama yang terkait dengan kecemasan pada basis
studi hewan dan tanggapan terhadap terapi obat adalah norepinefrin (NE), serotonin, dan
Î ³- aminobutyric acid (GABA).

2.2.3. Tanda Dan Gejala Kecemasan


Tanda dan gejala kecemasan sendiri dibagi menjadi 2 yaitu subjektif dan objektif. Berikut
merupakan tanda dan gejala Subyektif kecemasan :
- Tidak nafsu makan
- Diare/konstipasi
- Gelisah
- Berkeringat
- Tangan gemetar
- Sakit kepala dan sulit tidur
- Lelah
- Sulit berfikir
Berikut merupakan tanda dan gejala objektif kecemasan :
- nadi dan tekanan darah naik
- tidak mampu menerima informasi dari luar
- berfokus pada apa yang menjadi perhatiannya
- Ketakutan atas sesuatu yang tidak spesifik/jelas
- Pekerjaan sehati-hari terganggu
- Tidak mampu melakukan kegiatan harian
- Gerakan meremas tangan
- Bicara berlebihan dan cepat
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
penelitian kuantitatif dan dengan pendekatan penelitian Quasy Experimental dan dengan
menggunakan teknik sampling non probability (puposive sampling). Menurut (Sugiyono:
13), metode penelitian kuantitatif dapat diartikan sebagai metode penelitian berlandaskan
pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik
pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data
menggunakan instrument penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/ statistic dengan tujuan
untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan. Secara garis besar peneliatian Quasy
Experimental ini menggunakan The Time Series Experiment atau Longitudinal Time Study
yaitu suatu penelitian yang dilakukan dengan satu kelompok yang diobservasi beberapa kali
sebelum dan sesudah perlakuan.
O1 O2 X O3 O4

O1 : Pre test 1
O2 : Pre test 2
X : Treatment
O3 : Post test 3
O3 : Post test 4
Pada penelitian ini bertujuan untuk menjawab hipotesis yang sudah ditentukan
penelit serta mengetahui pengaruh anatara variabel bebas yaitu teknik kognitif behavior
dengan variabel terikat yaitu cemas pada pasien lansia penderita diabetus militus. Untuk
kerangka kosep penelitian sesuai dengan bagan berikut ini:

POPULASI
LANSIA YANG MENDERITA DIABETUS MILITUS

SAMPLE
PASIEN DIABETUS MILITUS

TEKNIK SAMPLING
NON PROBABILITY SAMPLING DENGAN TEKNIK PURPOSIVE SAMPLING

DISAIN PENELITIAN
PENDEKATAN PENELITIAN QUASY EXPERIMENTAL

PENGOLAHAN DATA
DATA DIPEROLEH DARI KUISIONER YANG DIBERIKAN PADA RESPONDEN DAN
PERLAKUAN LANGSUNG KEPADA RESPONDEN DAN DATA DIANALISIS
MENGGUNAKANTEKNIK STATIK DESKRIPTIF DENGAN MENGGUNAKAN
APLIKASI SPSS

HASIL PENELITIAN
APAKAH ADA PENGARUH PEMBERIAN EDUKASI KESEHATAN PADA LANSIA
DENGAN DIABETUS MILITUS

Gambar : Kerangka Konsep Penelitian Pengaruh teknik kognitif behavior terhadap


tingkat kecemasan lansia dengan diabetus militus

3.2. Populasi Sampel 


Menurut sugiyono (2011: 80), populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas
obyek/subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulanya. Pendapat di atas menjadi salah satu acuan
bagi penulis untuk menentukan populasi. Populasi yang akan digunakan sebagai penelitian
adalah pasien pre operasi.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin di teliti oleh peneliti. Menurut Sugiyono
(2011:81), Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi
tersebut. Sehingga sampel merupakan bagian dari populasi yang ada, sehingga untuk
pengambilan sampel harus menggunakan cara tertentu yang didasarkan oleh pertimbangan-
pertimbangan yang ada. Dalam teknik pengambilan sampel ini penulis menggunakan teknik
sampling purposive. Sugiyono (2011:84) menjelaskan bahwa Sampling Purposive adalah teknik
penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
Populasi sampel merupakan keseluruhan dari kumpulan elemen yang memiliki sejumlah
karakteristik umum, yang terdiri dari bidang – bidang untuk di teliti atau populasi adalah
keseluruhan kelompok dari orang – orang, peristiwa atau barang – barang yang diminati oleh
peneliti untuk diteliti (Malhotra: 1996). 

3.3. Sampling
Sampling adalah suatu sub kelompok dari populasi yang dipilih untuk digunakan dalam
penelitian atau sampling adalah suatu cara pengumpulan data yang sifatnya tidak menyeluruh,
yaitu tidak mencakup seluruh objek penelitian (populasi) akan tetapi sebagian saja dari populasi.
Menurut Sugiyono (2014:16) teknik sampling adalah merupaka teknik pengambilan sampel
untuk menentukan sampel yang akan digunakan dalam penelitian, dan terdapat berbagai teknik
sampling yang digunakan. Pada penelitian ini menggunakan non probability sampling dengan
pendekatan purposive sampling serta dengan metode penelitian kuantitatif korelasional.
Sampel – sampel yang telah ada akan disaring kembali sesuai dengan kriteria – kriteria yang
telag ditetapkan oleh peneliti hal ini merupakan non probability sampling dengan pendekatan
purposive sampling. Berikut ini adalah kriteria inklusi dan eksklusi pada penelitian ini:
3.3.1. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi adalah kriteria dimana subjek penelitian dapat mewakili dalam sampel
penelitian yang memenuhi syarat sebagai sampel. Kriteria inklusi penelitian ini sebagai berikut:
- Pasien lansia
- Pasien dengan kecemasan ringan hingga berat
- Bersedia untuk menjadi responden
3.3.2. Kriteria Eksklusi
Kriterua eksklusi merupakan kriteria dimana subjek penelitian tidak dapat mewakili
sampel karena tidak memenuhi syarat sebagai sampel penelitian. Kriteria eksklusi penelitian ini
adalah sebagai berikut:
- Pasien darurat
- Pasien dengan diabetus militus

3.4. Variabel 
3.4.1. Variabel Bebas 
Variable bebas adalah Variabel yang menerangkan sering. Menurut Sugiyono (2012: 59),
pengertian variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab
peruabahan atau timbulnya variabel dependend (terikat). Pada penelitian ini variabel bebasnya
yaitu teknik kognitif behavior.
3.4.2. Variabel terikat 
Variable terikat  yaitu variabel yang menerangkan dengan tujuan untuk memperkirakan
ataupun meramalkan nilai-nilai dari variabel yang menerangkan sudah diketahui. Menurut
Sugiyono (2012:59), pengertian variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi
akibat, karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini, yang menjadi variabel terikat adalah
cemas.

3.5. Definisi operasional


Definisi operasional variabel penelitian menurut Sugiyono (2015, h.38) adalah suatu atribut
atau sifat atau nilai dari objek atau kegiatan yang memiliki variasi tertentu yang telah ditetapkan
oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan. Definisi operasional dalam
penelitian ini tercantum pada tabel.

Anda mungkin juga menyukai