Disusun Oleh:
STIE AL-WASHLIYAH
2022/2023
1
Halaman Judul
MAKALAH KELOMPOK 5
DISUSUN OLEH:
2022/2023
i
Kata Pengantar
Puji dan syukur Kami panjatkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena
atas izin dan kuasanyalah sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu. Makalah ini berjudul “Hukum Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima segala
saran dan kritik dari Ibu agar kami dapat memperbaikinya lebih baik dimasa
mendatang.
Hormat Kami,
Kelompok 5
ii
Daftar Isi
Halaman Judul..........................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................5
BAB 2......................................................................................................................6
PEMBAHASAAN...................................................................................................6
2.1. KEWAJIBAN PEMBAYARAN DALAM MENCEGAH KEPAILITAN. .6
A. Pengertian Kepailitan..................................................................................6
B. Asas-asas dalam Kepailitan.........................................................................7
C. Tujuan Hukum Kepailitan...........................................................................8
D. Fungsi Undang-Undang Kepailitan.............................................................8
2.2 PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
DI INDONESIA...................................................................................................9
A. Tinjauan Umum Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di
Indonesia..........................................................................................................9
B. Prinsip-prinsip Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia10
C. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia.......12
BAB 3....................................................................................................................14
ANALISIS KASUS...............................................................................................14
3.1 KASUS.........................................................................................................14
BAB 4....................................................................................................................16
PENUTUP..............................................................................................................16
4.1 KESIMPULAN............................................................................................16
4.2 SARAN.......................................................................................................16
iii
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................v
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
Secara prinsip terdapat dua pola PKPU, yakni pertama, PKPU yang
merupakan tangkisan bagi debitor terhadap permohonan kepailitan yang diajukan
oleh kreditornya. Kedua, pengajuan PKPU ini merupakan inisiatif sendiri oleh
debitor yang telah memperkirakan dirinya tidak mampu untuk membayar
utangutangnya kepada kreditor. Namun dalam prakteknya, kebanyakan yang
mengajukan permohonan PKPU adalah debitor itu sendiri sebagai sarana untuk
menghidari dirinya dari kepailitan, bila mengalami keadaan likuid dan sulit untuk
memperoleh kredit.
Di dalam PKPU terdapat upaya perdamaian. Hal tersebut diatur pada Pasal
265 sampai dengan Pasal 294 UUK tahun 2004. Rencana perdamaian ini harus
disediakan di kepaniteraan untuk dapat diperiksa oleh siapa pun tanpa dikenai
biaya dan disampaikan kepada hakim pengawas, dan pengurus serta ahli (bila
ada). Ketentuan ini mengandung maksud agar iktikad baik debitor untuk
menyelesaikan utang-utangnya dapat diketahui oleh umum, khususnya bagi para
kreditornya untuk mendapat persetujuan atau ditolak. Dalam praktiknya, Hakim
Pengawaslah yang menetapkan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditor
yang disampaikan kepada pengurus untuk membicarakan rencana perdamaian
yang ditawarkan oleh debitor pemohon PKPU.
PEMBAHASAAN
A. Pengertian Kepailitan
Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal
dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata
benda dan sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu
faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut.Pailit adalah suatu keadaan dimana
seorang debitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih. Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, pailit adalah keadaan seorang
debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan
yang menghendaki campur tangan Majelis Hakim guna menjamin kepentingan
bersama dari para kreditornya.15 Berdasarkan pendapat ahli yaitu Martias gelar
Iman Radjo Mulano mengemukakan pailit sebagaimana yang ditentukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Pdt) yaitu seluruh harta dari
kekayaan debitor menjadi jaminan untuk seluruh utang-utangnya.
Debitor itu dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga atas permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor itu sendiri atau kreditor.17 Pengertian
kepailitan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun
2004 (selanjutnya disebut UU PKPU) adalah sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang
6
7
”Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawa pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”
1. Agar debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela walaupun telah ada
putusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau
karena tidak mampu untuk membayar seluruh hutangnya, maka seluruh harta
bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan kepada
semua krediturnya menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan;
dipenuhi oleh debitor, bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk
mendapatkan pemenuhan dari harta kekayaan Debitor
memecahkan persoalan hukum yang timbul yang mana tidak dapat dan/atau
belum dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada
b. Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya,
tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan
haknya atau mengagunkannya; dan
Prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan
menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut adalah para
kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip
ini tidak membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan
piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan.
2. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte Prinsip pari passu pro rata parte
berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para
kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka,
kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus
didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Prinsip ini menekankan
pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor
secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond
gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan
memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional
12
dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan
porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki
piutang lebih kecil dari padanya.
3. Prinsip Structured Pro Rata Prinsip structured pro rata atau yang disebut juga
dengan istilah structured creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum
kepailitan yang memberikan jalan keluar keadilan diantara kreditor. Prinsip ini
adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam
debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing.
ANALISIS KASUS
3.1 KASUS
Pertama, dalam kasus kepailitan yang diajukan oleh PT Bank PDFCI
sebagai Pemohon pailit terhadap PT. Sarana Kemas Utama selaku Termohon
Pailit. Permohonan pailit dikabulkan hakim pengadilan niaga. Persoalan muncul
dalam kasasi karena Pemohon Kasasi keberatan atas status Termohon
Kasasi/Pemohon Pailit sebagai Bank BTO pada saat permohonan pailit diajukan.
Menurut Pemohon Kasasi atau termohon pailit, sejak tanggal 3 April 1998 status
Termohon Kasasi adalah bank BTO dan manajemen telah diambil alih atau
dikuasai oleh dan berada di bawah BPPN. Oleh karena itu surat kuasa Termohon
Kasasi atau Pemohon Pailit harus dengan sepengetahuan atau setidak-tidaknya
diketahui oleh BPPN. Keberataan ini sebenarnya pernah diajukan pada sidang
pengadilan niaga, namun judex factie sama sekali tidak mempertimbangkan
keberatan tersebut dalam putusannya. Karena itu judex factie telah melakukan
kesalahan dalam penerapan hukum.
Majelis Hakim Kasasi memandang bahwa Termohon Kasasi atau
Pemohon Pailit dalam status Bank BTO tetap sah sebagai Pemohon Pailit, karena
pernyataan BTO sama sekali tidak menghapuskan status Termohon Kasasi atau
Pemohon Pailit sebagai badan hukum yang dapat bertindak sebagai pihak dalam
proses perkara dan dengan demikian pembuatan surat kuasapun tetap sah dan
tidak perlu sepengetahuan dan atau ijin pemerintah c.q. BPPN. Karena itu Majelis
Hakim Kasasi membenarkan putusan Judex facxtie. Atas putusan ini Pemohon
Kasasi atau Termohon Pailit mengajukan PK.
Dalam permohonan PK, Pemohon PK atau Pemohon Kasasi atau
Termohon Pailit kembali mempersoalkan kewenangan hukum atau legal capacity
Pemohon Pailit dalam hal ini Bank PDFCI yang telah dikenakan status Bank BTO
pada saat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Menurut Pemohon PK atau
Pemohon Kasasi atau Termohon Pailit, Majelis Hakim Kasasi dan Judex Facxtie
telah melakukan kesalahan berat dalam menerapkan hukum mengenai
kewenangan hukum Bank BTO. Dikatakan bahwa Termohon PK atau Termohon
Kasasi atau Pemohon Pailit sejak tanggal 3 April 1998 telah menjadi Bank BTO
sehingga manajemen dan operasional telah diambil alih oleh BPPN sesuai dengan
15
ketentuan Pasal 37 Ayat (1) UU No.10 Thn 1998. Pada hal permohonan pailit
yang diajukan Termohon PK atau Pemohon Pailit dilakukan pada tanggal 30
September 1998 yaitu pada saat Termohon PK atau Pemohon Pailit sudah
berstatus Bank BTO tanpa persetujuan kuasa dari BPPN.
Majelis Hakim PK dalam perkara ini membenarkan pendapat yang
diajukan Pemohon PK atau Termohon Pailit atau Pemohon Kasasi, karena
menurut Majelis terdapat kesalahan berat dalam menerapkan hukum tentang status
dan kewenangan Bank BTO sebab Direksi Bank PDFCI Tbk yang telah
dinyatakan dalam status BTO sejak 3 April 1998 tidak lagi memiliki kewenangan
untuk melakukan suatu perbuatan hukum ( legal capacity ) termasuk mengajukan
gugatan atau permohonan pailit di muka pengadilan untuk kepentingan bank
tersebut. Karena manajemen dan operasionalnya telah diambilalih atau dikuasai
oleh dan berada di bawah pengawasan BPPN, maka surat kuasa yang dibuat
Direksi yang menjadi dasar permohonan pailit terhadap Pemohon PK atau
Termohon Pailit adalah tidak sah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
MA terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan PT
Sarana Kemas Utama selaku Termohon Pailit atau Pemohon Kasasi atau Pemohon
PK dan membatalkan Putusan MA 14 Desember 1998 No.04 K/N/1998.
BAB 4
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan rumusan masalah dapat disimpulkan bahwa
4.2 SARAN
1. Pemerintah Republik Indonesia seharusnya bekerjasama dengan para akademisi
dalam membentuk pengaturan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), khusus
didalam setiap pasal-pasal harus jelas dan tegas didalam setiap pengaturan
tersebut.
16
DAFTAR PUSTAKA
1. Jurnal
Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 33.
Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Kepailitan Edisi No. 19 Th 11, 2004. Hal 36