Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang (PKPU)
DosenPengampu : Sri Ayu Arita Panggabean,SH.,M.H

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Makalah Hukum Bisnis

Disusun Oleh:

Ayu Nikita Girsang 2161201033

Esti Kurniawan Gulo 2161201061

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI

STIE AL-WASHLIYAH

SIBOLGA TAPANULI TENGAH

2022/2023

1
Halaman Judul
MAKALAH KELOMPOK 5

HUKUM KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN


PEMBAYARAN UTANGHUKUM KEPAILITAN

Dosen Pengampuh : Sriayu Aritha Panggabean, S.H, M.H.

DISUSUN OLEH:

Ayu Nikita Girsang 2161201033

Esti Kurniawan Gulo 2161201061

PRODI. MANAJEMEN PERUSAHAAN II/E

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI (STIE) AL


WASHLIYAH SIBOLGA/TAPANULI TENGAH

2022/2023

i
Kata Pengantar

Puji dan syukur Kami panjatkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa karena
atas izin dan kuasanyalah sehingga kami bisa menyelesaikan  makalah  ini dengan
baik dan tepat waktu. Makalah  ini berjudul “Hukum Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Selain itu makalah ini bertujuan menambah wawasan tentang system


politik indonesia. Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada Bu Sri Ayu
Arita Panggabean,SH.,M.H selaku dosen mata kuliah hukum bisnis yang telah
memberikan kami kesempatan untuk menyelesaikan makalah kami ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami menerima segala
saran dan kritik dari Ibu agar kami dapat memperbaikinya lebih baik dimasa
mendatang.

Hormat Kami,

Kelompok 5

Ayu Nikita Girsang, dan

Esti Kurniawan Gulo

ii
Daftar Isi

Halaman Judul..........................................................................................................i
Kata Pengantar.........................................................................................................ii
Daftar Isi.................................................................................................................iii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.......................................................................................1
1.2 Rumusan masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................5
BAB 2......................................................................................................................6
PEMBAHASAAN...................................................................................................6
2.1. KEWAJIBAN PEMBAYARAN DALAM MENCEGAH KEPAILITAN. .6
A. Pengertian Kepailitan..................................................................................6
B. Asas-asas dalam Kepailitan.........................................................................7
C. Tujuan Hukum Kepailitan...........................................................................8
D. Fungsi Undang-Undang Kepailitan.............................................................8
2.2 PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG
DI INDONESIA...................................................................................................9
A. Tinjauan Umum Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di
Indonesia..........................................................................................................9
B. Prinsip-prinsip Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia10
C. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia.......12
BAB 3....................................................................................................................14
ANALISIS KASUS...............................................................................................14
3.1 KASUS.........................................................................................................14
BAB 4....................................................................................................................16
PENUTUP..............................................................................................................16
4.1 KESIMPULAN............................................................................................16
4.2 SARAN.......................................................................................................16

iii
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................v

iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pailit dan kepailitan berawal dari ketidakmampuan membayar namun
dalam praktiknya sering menjadi ketidakmauan debitor untuk membayar utang-
utangnya yang telah jatuh waktu tempo dan dapat ditagih. Jika debitor berada
dalam kondisi demikian, maka debitor, kreditor ataupun pihak lain yang
ditentukan didalam peraturan perundang-undangan dapat mengajukan
permohonan pailit ke pengadilan. Pernyataan pailit ini haruslah dengan putusan
pengadilan. Dan pengadilan yang berwenang ialah Pengadilan Niaga untuk
tingkat pertama dan Mahkamah Agung untuk tingkat kasasi.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan


dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, maka seorang debitor dapat
dinyatakan pailit apabila :

1. Memiliki sedikitnya dua orang kredito


2. Tidak membayar sedikitnya satu utang kepada salah satu kreditor
3. Utang tersebut telah jatuh tempo dan dapat ditagih

Pada dasarnya, setiap keputusan kepailitan melahirkan akibat hukum yang


dinilai dapat merugikan banyak pihak, seperti salah satunya para karyawan yang
terancam kehilangan pekerjaannya karena masifnya pemutusan hubungan kerja
guna menekan biaya produksi. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya
kepailitan maka diadakan aturan mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran
Utang (PKPU).

Munir Fuady menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan tundaan


pembayaran hutang (suspension of payment atau Surseance van Betaling) adalah
suatu masa yang diberikan oleh undang-undang melalui putusan hakim
Pengadilan Niaga dimana dalam masa tersebut kepada pihak kreditur dan debitur
diberikan kesempatan untuk memusyawarahkan cara-cara pembayaran hutangnya
dengan memberikan rencana pembayaran seluruh atau sebagian dari hutangnya,
termasuk apabila perlu untuk merestrukturisasi hutangnya tersebut. Jadi
penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) ini pada dasarnya merupakan
sejenis legal moratorium (rencana perdamaian).

Dalam penundaan kewajiban pembayaran utang, debitor diberi


kesempatan melakukan “perbaikan keuangan dan manajemen” untuk
memperbaiki kinerja perusahaannya. Caranya yaitu melalui penambahan modal
(composition), maupun dengan cara melakukan reorganisasi perusahaan

1
2

(corporate reorganization). Baik melalui pengggantian pengurus (direksi/menajer)


perusahaan atau menfokuskan/mengecilkan kegiatan usahanya.

Kesempatan ini diberikan kepada debitor setelah mendapat persetujuan


dari (para) pengurusnya untuk menyelamatkan perusahaan dari kepailitan,
sehingga dapat menyelesaikan utang-utangnya. PKPU sendiri dapat diajukan oleh
debitor maupun oleh kreditornya. Ketentuan kreditor dapat mengajukan PKPU
merupakan ketentuan baru dalam Undang-Undang Kepailitan. Hal ini sesuai
dengan Pasal 222 ayat (3) UndangUndang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, “Kreditor yang memperkirakan
bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh
waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada debitor diberi penundaan
kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan debitor mengajukan rencana
perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya
kepada kreditornya”. Sedangkan dalam UUK tahun 1998 dan Faillissement
Verordening, hanya debitor saja yang dapat mengajukan PKPU.

Secara prinsip terdapat dua pola PKPU, yakni pertama, PKPU yang
merupakan tangkisan bagi debitor terhadap permohonan kepailitan yang diajukan
oleh kreditornya. Kedua, pengajuan PKPU ini merupakan inisiatif sendiri oleh
debitor yang telah memperkirakan dirinya tidak mampu untuk membayar
utangutangnya kepada kreditor. Namun dalam prakteknya, kebanyakan yang
mengajukan permohonan PKPU adalah debitor itu sendiri sebagai sarana untuk
menghidari dirinya dari kepailitan, bila mengalami keadaan likuid dan sulit untuk
memperoleh kredit.

Pengajuan PKPU ditujukan kepada Pengadilan Niaga dengan melengkapi


persyaratan:

1. Surat permohonan bermaterai yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Niaga


setempat, yang ditandatangani oleh debitor dan penasihat hukumnya;
2. Surat kuasa khusus asli untuk mengajukan permohonan (penunjukan kuasa
pada orangnya bukan pada law-firm-nya);
3. Izin advokat yang dilegalisir;
4. Alamat dan identitas lengkap para kreditor konkuren desertai jumlah
tagihannya masing-masing pada debitor;
5. Financial report;
6. Dapat dilampirkan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran
seluruh atau sebagian utang kepada para kreditor konkuren.

Disamping persyaratan tersebut, untuk memberikan jaminan bahwa para


kreditor akan menerima pelunasan utang-utangnya, maka setelah menerima surat
3

permohonan, pengadilan niaga segera mengabulkan penundaan kewajiban


pembayaran utang “sementara” dan menunjuk hakim pengawas serta mengangkat
seorang atau lebih pengurus. Dengan diangkatnya seorang atau lebih pengurus,
maka serta-merta kekayaan debitor berada di bawah pengawasan pengurus. Tanpa
persetujuan dan ikut sertanya pengurus, debitor terhitung sejak tanggal
dimulainya penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berwenang melakukan
tindakan kepengurusan dan pengalihan kekayaannya. Hal ini berdasarkan
ketentuan Pasal 240 ayat (1) UUK tahun 2004.

Di dalam PKPU terdapat upaya perdamaian. Hal tersebut diatur pada Pasal
265 sampai dengan Pasal 294 UUK tahun 2004. Rencana perdamaian ini harus
disediakan di kepaniteraan untuk dapat diperiksa oleh siapa pun tanpa dikenai
biaya dan disampaikan kepada hakim pengawas, dan pengurus serta ahli (bila
ada). Ketentuan ini mengandung maksud agar iktikad baik debitor untuk
menyelesaikan utang-utangnya dapat diketahui oleh umum, khususnya bagi para
kreditornya untuk mendapat persetujuan atau ditolak. Dalam praktiknya, Hakim
Pengawaslah yang menetapkan hari, tanggal, waktu dan tempat rapat kreditor
yang disampaikan kepada pengurus untuk membicarakan rencana perdamaian
yang ditawarkan oleh debitor pemohon PKPU.

Adapun Pengadilan Niaga wajib menolak pengesahan perdamaian apabila:


1. Harta debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan
suatu benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam peradamaian;
2. Pelaksanaan perdamain tidak cukup terjamin;
3. Perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau
lebih kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa
menghiraukan apakah debitor atau pihak lain yang tidak jujur dan tanpa
menghiraukan apakah debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal
ini; dan/atau
4. Untuk perdamaian dalam PKPU, imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh
ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk
pembayarannya.

Jika pemohonan PKPU ditolak atau dengan ditolaknya pengesahan


perdamaian dalam PKPU, pengadilan wajib memutuskan debitor berada dalam
keadaan pailit. Putusan demikian harus diumumkan dalam Berita Negara
Republik Indonesia dan paling sedikit dalam 2 surat kabar harian yang ditetapkan
Hakim Pengawas.

Namun untuk dapat diterima, perdamaian ini harus memenuhi ketentuan


yang ada pada Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 yaitu:
4

1. Persetujuan lebih dari ½ (setengah) jumlah kreditor konkuren yang haknya


diakui dan mereka hadir pada rapat kreditor dimana kreditor yang hadir itu telah
mewakili minimal 2/3 bagian dari seluruh utang yang diakui

2. Adanya persetujuan dari ½ jumlah kreditor yang piutangnyadijamin dengan


gadai, jaminan fidusia, hak tangggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan
lainnya yang hadir dan mewakili paling sedikit 2/3 dari seluruh tagihan kreditor.

Selanjutnya yaitu terkait dengan iktikad baik yang dimaksudkan dalam


paragraf sebelumnya tersebut sangat erat kaitannya dengan asas-asas kebebasan
berkontrak seperti yang dikemukakan oleh Mariam Darus Badrulzaman. Oleh
karenanya, rencana perdamaian itu merupakan bukti-bukti yang secara transparan
dapat diperiksa dan diuji secara terbuka untuk dijadikan dasar bagi para pihak
yakni debitor dan kreditor untuk dan/atau dalam “berkontrak” menjadwalkan
kembali waktu pembayaran utang atau penundaan kewajiban pembayaran
utangnya.

Perdamaian menjadi elemen yang paling esensial sekaligus merupakan


tujuan dalam suatu penundaan kewajiban pembayaran utang. Dengan demikian,
tidak ada gunanya dilakukan penundaan kewajiban pembayaran utang jika para
pihak tidak sungguh-sungguh untuk melaksanakan perdamaian. Oleh karena itu
dalam perdamaian tersebut dimungkinkan ada restrukturisasi utang-utang debitor.

Perkembangan perekonomian dan perdagangan di Indonesia


mengakibatkan makin banyak persoalan yang timbul di masyarakat, karena setiap
orang memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, begitupun dengan
badan usaha memerlukan uang untuk membiayai kegiatan usahanya, namun
adakalanya mereka tidak mempunyai cukup uang untuk memenuhi kebutuhannya
maupun untuk membiayai kegiatan usahanya tersebut. Sampai hari ini Indonesia
telah melakukan dua kali penggantian Undang-Undang Kepailitan. Pertama,
Faillissements Verordening (Staatblad 1905 Nomor 217 juncto Staatblad 1906
Nomor 348) yang tetap berlaku sampai dengan tahun 1998. Kemudian lahir
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-
Undang tentang Kepailitan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU Kepailitan) menggantikan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1998.

Umumnya permasalahan utang piutang yang timbul di masyarakat, tidak


dapat dipungkiri erat kaitannya dengan semakin pesatnya perkembangan
perekonomian dan perdagangan saat ini. Krisis moneter juga berpotensi membawa
5

dampak yang tidak menguntungkan terhadap perekonomian nasional, sehingga


menimbulkan kesulitan besar terhadap dunia usaha dalam menyelesaikan
utangpiutang untuk meneruskan kegiatannya.

1.2 Rumusan masalah

1. Bagaimana upaya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam mencegah


kepailitan berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan
dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?

2. Bagaimana Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di


Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tentang Bagaimana upaya Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang dalam mencegah terjadinya kepailitan berdasarkan Undang-
Undang No 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang.

2. Untuk mengkaji dan mengetahui bagaimana Pengaturan Penundaan Kewajiban


Pembayaran Utang Di Indonesia.
BAB 2

PEMBAHASAAN

2.1. KEWAJIBAN PEMBAYARAN DALAM MENCEGAH KEPAILITAN

A. Pengertian Kepailitan

Kepailitan secara etimologi berasal dari kata pailit. Istilah pailit berasal
dari kata Belanda yaitu failliet yang mempunyai arti ganda yaitu sebagai kata
benda dan sebagai kata sifat. Istilah failliet sendiri berasal dari Perancis yaitu
faillite yang berarti pemogokan atau kemacetan pembayaran. Sedangkan dalam
bahasa Indonesia pailit diartikan bangkrut.Pailit adalah suatu keadaan dimana
seorang debitor tidak membayar utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih. Menurut R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, pailit adalah keadaan seorang
debitor apabila ia telah menghentikan pembayaran utang-utangnya. Suatu keadaan
yang menghendaki campur tangan Majelis Hakim guna menjamin kepentingan
bersama dari para kreditornya.15 Berdasarkan pendapat ahli yaitu Martias gelar
Iman Radjo Mulano mengemukakan pailit sebagaimana yang ditentukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Pdt) yaitu seluruh harta dari
kekayaan debitor menjadi jaminan untuk seluruh utang-utangnya.

Pailit merupakan penyitaan umum atas seluruh kekayaan debitor untuk


kepentingan kreditor secara bersama-sama.Siti Soemarti Hartono mengartikan
dengan lebih sederhana yaitu pailit berarti mogok melakukan
pembayaran.Kartono mengartikan kepailitan sebagai suatu sitaan umum dan
eksekusi atasseluruh kekayaan debitor untuk kepentingan semua kreditornya.
Sedangkan pengertian kepailitan berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang (PKPU), adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit
yang pengurusan dan/atau pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas.16 Berdasarkan definisi atau pengertian yang
diberikan para sarjana di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kepailitan
merupakan suatu keadaan dimana seorang debitor berhenti membayar utang-
utangnya kepada kreditor.

Debitor itu dapat dinyatakan pailit oleh pengadilan niaga atas permohonan
pernyataan pailit yang diajukan oleh debitor itu sendiri atau kreditor.17 Pengertian
kepailitan menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun
2004 (selanjutnya disebut UU PKPU) adalah sita umum atas semua kekayaan
debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang

6
7

ini. Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit tersebut, pengadilan


niaga dapat menunjuk Kurator untuk melakukan pengurusan dan/atau pemberesan
terhadap harta debitor pailit. Kurator kemudian membagikan harta debitor pailit
kepada para kreditor sesuai dengan piutangnya masing-masing. Istilah pailit
berbeda dengan istilah penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). PKPU
adalah suatu keadaan dimana seorang debitor tidak dapat atau memperkirakan
tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu
dan dapat ditagih. Pengertian Kepailitan menurut Pasal 1 ayat 1 undang-undang
Kepailitan 2004 sebagai berikut:

”Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawa pengawasan
hakim pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini.”

B. Asas-asas dalam Kepailitan

Lembaga kepailitan merupakan lembaga hukum yang mempunyai fungsi


penting, sebagai realisasi dari dua pasal penting dalam KUH Perdata yakni Pasal
1131 dan 1132 mengenai tanggung jawab debitur terhadap utang-utangnya.
Dalam kedua pasal ini memberikan jaminan kepastian kepada kreditur bahwa
kewajiban debitur akan tetap dipenuhi/lunas dengan jaminan dari kekayaan
debitur baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari. Pasal 1131
dan 1132 KUH Perdata ini merupakan perwujudan adanya asas jaminan kepastian
pembayaran atas transaksi- transaksi yang telah diadakan Dalam peraturan
perundangan yang lama yakni dalam Faillisement Verordening maupun UU No.4
Tahun 1998 tentang Kepailitan tidak diatur secara khusus, namun pada UU No. 37
Tahun 2004 yaitu tentang Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasannya menyebutkan bahwa
keberadaan Undang-Undang ini berdasarkan pada sejumlah asas-asas kepailitan
yakni:

a. Asas Keseimbangan Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang


merupakan perwujudan dari keseimbangan, yaitu disatu pihak terdapat ketentuan
yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan
oleh debitur yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat
mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oeh kreditur
yang tidak beritikad baik.

b. Asas Kelangsungan Usaha Dalam Undang-Undang ini, terdapat ketentuan yang


memungkinkan perusahaan debitur yang prospektif tetap dilangsungkan.
8

c. Asas Keadilan Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian bahwa


ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak
yang berkepentingan. Asas keadilan ini untuk mencegah terjadinya
kesewenangwenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas
tagihan masing-masing terhadap debitur, dengan tidak mempedulikan kreditur
lainnya.

d. Asas Integrasi Asas integrasi dalam Undang-Undang ini mengandung


pengertian bahwa sisitem hukum materilnya merupakan suatu kesatuan yang utuh
dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

C. Tujuan Hukum Kepailitan

1. Agar debitur tidak membayar utangnya dengan sukarela walaupun telah ada
putusan pengadilan yang menghukumnya supaya melunasi utangnya, atau
karena tidak mampu untuk membayar seluruh hutangnya, maka seluruh harta
bendanya disita untuk dijual dan hasil penjualan itu dibagi-bagikan kepada
semua krediturnya menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali
ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan;

2. untuk menghindarkan kreditur pada waktu bersamaan meminta pembayaran


kembali        piutangnya dari si debitur;
3. Menghindari adanya kreditur yang ingin mendapatkan hak istimewa yang
menuntut hak-haknya dengan cara menjual sendiri barang milik debitur,
tanpa memperhatikan kepentingan kreditur lainnya;
4. Menghindarkan kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh si debitur
sendiri, misalnya debitur melarikan atau menghilangkan semua harta
kekayaannya dengan maksud melepaskan tanggung jawabnya terhadap para
kreditur, debitur menyembunyikan harta kekayaannya, sehingga para
kreditur tidak akan mendapatkan apa-apa.
5. Menghukum pengurus yang karena kesalahannya telah mengakibatkan
perusahaannya mengalami keadaan keuangan yang buruk sehingga
perusahaan mengalami keadaan insolvensi.

D. Fungsi Undang-Undang Kepailitan


1. Mengatur tingkat Prioritas dan urutan masing-masing piutang para kreditor.
9

2. Mengatur tata cara agar seorang debitur dapat dinyatakan pailit.


3. Mengatur tata cara menentukan kebenaran mengenai adanya suatu piutan
kreditur.
4. Mengatur mengenai sahnya piutang atau tagihan.
5. Mengatur mengenai jumlah yang pasti dari piutang.
6. Mengatur bagaimana cara membagi hasil penjualan harta kekayaan debitur
untuk pelunasan piutang masing-masing kreditur berdasarkan urutan tingkat
prioritasnya.
7. Untuk eksekusi sita umum oleh pengadilan terhadap harta debitur sebelum
pembagian hasil penjualan.
8. Mengatur upaya perdamaian yang ditempuh oleh debitur dengan keditur
sebelum pernyataan pailit dan sesudah pernyatan pailit.

2.2 PENGATURAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG


DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum Tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di


Indonesia
Penundaan pembayaran merupakan proses hukum yang memberikan hak
kepada seiap debitur yang tidak dapat atau memperkirakan bahwa tidak akan
dapat melanjutkan utang-utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat
memohon penundaan kewajiban pembayaran utang dengan maksud untuk
mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran seluruh atau
sebagian utang kepada kreditur konkuren.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan


Kewajiban Pembayaran Utang, Pasal 2 ayat (1) menentukan bahwa Debitor yang
mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang
yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
Pengadilan yang berwenang, baik atas permohonannya sendiri maupun atas
permintaan satu atau lebih Kreditornya.

Berkaitan dengan ketentuan Pasal tersebut, Pasal 1 angka 6 Undang-


Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Utang memberikan definisi atau pengertian mengenai apa yang
dimaksud dengan utang. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat
dinyatakan dalam jumlah uang, baik mata uang Indonesia maupun mata uang
asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau
kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib
10

dipenuhi oleh debitor, bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditor untuk
mendapatkan pemenuhan dari harta kekayaan Debitor

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia pada


hakikatnya bertujuan untuk melakukan perdamaian antara debitor dengan para
kreditornya dan menghindarkan debitor yang telah atau akan mengalami insolven
dari pernyataan pailit. Akan tetapi apabila kesepakatan perdamaian dalam rangka
perdamaian PKPU tidak tercapai, maka debitor pada hari berikutnya dinyatakan
pailit oleh Pengadilan Niaga

Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) terbagi dalam dua (2)


tahap, yaitu tahap PKPU Sementara dan tahap PKPU Tetap. Berdasarkan Pasal
225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, Pengadilan Niaga harus
mengabulkan permohonan PKPU sementara. PKPU sementara diberikan untuk
jangka waktu 45 hari, sebelum diselenggarakan rapat kreditor untuk memberikan
kesempatan kepada debitor untuk mempresentasikan rencana perdamaian yang
diajukannya. Sedangkan PKPU tetap diberikan untuk jangka waktu maksimum
270 hari, apabila pada hari ke-45 atau rapat kreditor belum dapat memberikan
suara mereka terhadap rencana perdamaian tersebut (Pasal 228 ayat (6)
UndangUndang Nomor 37 Tahun 2004).

Pada hakikatnya PKPU berbeda dengan kepailitan, PKPU tidak


berdasarkan pada keadaan dimana debitor tidak membayar utangnya atau insolven
dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan budel pailit. PKPU tidak
dimaksudkan untuk kepentingan debitor saja, melainkan juga untuk kepentingan
para kreditornya. Menurut Fred B.G. tumbuan, PKPU bertujuan menjaga jangan
sampai seorang debitor, yang karena suatu keadaan semisal keadaan likuid dan
sulit memperoleh kredit, dinyatakan pailit, sedangkan bila ia diberi waktu besar
kemungkinan ia akan mampu untuk melunaskan utang-utangnya, jadi dalam hal
ini akan merugikan para kreditor juga. Oleh karenanya dengan memberi waktu
dan kesempatan kepada debitor melalui PKPU maka debitor dapat melakukan
reorganisasi usahanya ataupun restrukturisasi utang-utangnya, sehingga ia dapat
melanjutkan usahanya dan dengan demikian ia dapat melunasi utang-utangnya.

B. Prinsip-prinsip Penundaaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia

Menurut Black, prinsip diartikan sebagai “a fundamental truth or doctrine,


asof law; a comprehensive rule or doctrine wgich furnishes a basis or origin for
others”. Menurut Satjipto Rahardjo, prinsip hukum dinyatakan sebagai jantung
peraturan hukum dan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu
peraturan hukum. Prinsip-prinsip hukum di dalam hukum kepailitan diperlukan
sebagai dasar pembentukan aturan hukum sekaligus sebagai dasar andalan
11

memecahkan persoalan hukum yang timbul yang mana tidak dapat dan/atau
belum dapat diakomodir oleh peraturan hukum yang ada

Berikut ini akan dikemukakan beberapa prinsip di dalam hukum kepailitan


Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dimana keberadaanya digunakan
sebagai dasar untuk menemukan suatu hukum, yaitu:

1. Prinsip Paritas Creditorium Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan


para kreditor) menentukan bahwa kreditor mempunyai hak yang sama terhadap
semua harta benda debitor. Apabila debitor tidak dapat membayar utangnya, maka
harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor. Prinsip paritas creditorium
mengandung makna bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang
bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah
dipunyai debitor dan barang- barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat
kepada penyelesaian kewajiban debitor.

peraturan kepailitan di dalam Undang-Undang Kepailitan adalah penjabaran dari


Pasal 1131 Burgerlijk Wetboek dan Pasal 1132 Burgerlijk Wetboek. Hal ini
dikarenakan :

a. Kepailitan hanya meliputi harta pailit dan bukan debitornya;

b. Debitor tetap pemilik kekayaannya dan merupakan pihak yang berhak atasnya,
tetapi tidak lagi berhak menguasainya atau menggunakannya atau memindahkan
haknya atau mengagunkannya; dan

c. Sitaan konservatoir secara umum meliputi seluruh harta pailit.

Prinsip ini tidak dapat diterapkan secara letterlijk karena hal ini akan
menimbulkan ketidakadilan berikutnya. Letak ketidakadilan tersebut adalah para
kreditor berkedudukan sama antara satu kreditor dengan kreditor lainnya. Prinsip
ini tidak membedakan perlakuan terhadap kondisi kreditor, baik kreditor dengan
piutang besar maupun kecil, pemegang jaminan, atau bukan pemegang jaminan.

2. Prinsip Pari Passu Pro Rata Parte Prinsip pari passu pro rata parte
berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para
kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional diantara mereka,
kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus
didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya. Prinsip ini menekankan
pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor
secara lebih berkeadilan dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond
gewijs) dan bukan dengan sama rata. Prinsip pari passu pro rata parte ini bertujuan
memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional
12

dimana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar maka akan mendapatkan
porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki
piutang lebih kecil dari padanya.

3. Prinsip Structured Pro Rata Prinsip structured pro rata atau yang disebut juga
dengan istilah structured creditors merupakan salah satu prinsip di dalam hukum
kepailitan yang memberikan jalan keluar keadilan diantara kreditor. Prinsip ini
adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokkan berbagai macam
debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing.

4. Prinsip Debt Collection Prinsip debt collection (debt collection principle)


adalah suatu konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan
menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor. Prinsip-prinsip kepailitan
dan penundaan kewajiban pembayaran utang di Indonesia menggunakan prinsip
debt collection yang dapat digunakan sebagai mekanisme pemaksaan debitor agar
mau membayar utangnya kepada para kreditornya dengan cara melikuidasi
seluruh aset debitor sampai sejauh kemampuan aset debitor bisa melunasi utang-
utangnya kepada para kreditor. Prinsip ini juga memiliki konsekuensi kepada
debitor agar berhati-hati melaksanakan pengurusan usahanya dan manajemen
usaha agar tidak sampai bangkrut

C. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Di Indonesia


Pengaturan lembaga kepailitan di Indonesia sudah lama ada, yaitu dengan
berlakunya Undang-Undang tentang Kepailitan, yaitu Faillisement verordening
yang diundangkan dalam Staatsblad 1905 Nomor 217 juncto Staatsblad 1906
Nomor 348 (selanjutnya disingkat dengan UUK), tetapi dalam prakteknya
lembaga kepailitan yang diatur dalam UUK tersebut dianggap kurang memadai
dan kurang efisien sebagai cara penyelesaian utang, sehingga pada tahun 1998
dianggap perlu untuk melakukan beberapa perubahan atas UUK.

Karena situasi perekonomian Indonesia saat itu dianggap darurat dengan


adanya krisis moneter di Indonesia, maka perubahan atas UUK tersebut
dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Tentang Kepailitan,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 87 (selanjutnya
disingkat dengan Perpu No.1/1998), yang kemudian dengan Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas UndangUndang
Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 135, Perpu No.1/1998 tersebut ditetapkan sebagai
Undang-Undang (selanjutnya disingkat dengan UU No.4/1998).
13

Adanya lembaga kepailitan yang dilaksanakan dengan prinsipprinsip


tersebut, tentu lembaga kepailitan menjadi sarana penyelesaian sengketa utang-
piutang diantara debitor dengan para kreditor yang lebih efektif. Dengan tujuan
penyempurnaan pengaturan ketentuan hukum lembaga kepailitan, UU No.4/1998
diperbarui dengan pengundangan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131 (selanjutnya disingkat dengan
UUKPKPU).

Undang-Undang Kepailitan juga memberikan pengaturan tentang kondisi


keuangan debitor sebagai syarat untuk bisa dinyatakan pailit. Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 mengandung asas kelangsungan usaha, dimana debitor
yang masih prospektif dimungkinkan untuk melangsungkan usahanya. Untuk
melihat prospektif debitor salah satunya dapat dilihat dari keadaan keuanganya.
Namun, Undang-undang Kepailitan sama sekali tidak menyinggung tentang
kondisi keuangan debitor sebagai syarat dijatuhkanya putusan pailit. Lembaga
kepailitan yaitu pengadilan niaga harusnya digunakan sebagai upaya terakhir.

Namun seiring dengan perkembangan zaman dapat dilihat pula dunia


perdagangan internasional juga berkembang, oleh karenanya aturan mengenai
kepailitan di Indonesia harus berkembang mengikuti perkembangan zaman.
Banyak kreditur asing yang memberi modal bagi debitur di Indonesia menjadi
sangsi dalam berinvestasi karena tidak diberi kepastian oleh hukum kepailitan
Indonesia baik dari segi perlindungan (protection) maupun pelaksanaan
(enforcement).
BAB 3

ANALISIS KASUS

3.1 KASUS
 Pertama, dalam kasus  kepailitan yang diajukan oleh PT Bank PDFCI
sebagai Pemohon pailit terhadap PT. Sarana Kemas Utama selaku Termohon
Pailit. Permohonan pailit dikabulkan hakim pengadilan niaga. Persoalan muncul
dalam kasasi karena Pemohon Kasasi keberatan atas status Termohon
Kasasi/Pemohon Pailit sebagai Bank BTO pada saat permohonan pailit diajukan.
Menurut Pemohon Kasasi atau termohon pailit, sejak tanggal 3 April 1998 status
Termohon Kasasi adalah bank BTO dan manajemen telah diambil alih atau
dikuasai oleh dan berada di bawah BPPN. Oleh karena itu surat kuasa Termohon
Kasasi atau Pemohon Pailit harus dengan sepengetahuan atau setidak-tidaknya
diketahui oleh BPPN. Keberataan ini sebenarnya pernah diajukan pada sidang
pengadilan niaga, namun judex factie sama sekali tidak mempertimbangkan
keberatan tersebut dalam putusannya. Karena itu judex factie telah melakukan
kesalahan dalam penerapan hukum.
 Majelis Hakim Kasasi memandang bahwa Termohon Kasasi atau
Pemohon Pailit dalam status Bank BTO tetap sah sebagai Pemohon Pailit, karena
pernyataan BTO sama sekali tidak menghapuskan status Termohon Kasasi atau
Pemohon Pailit sebagai badan hukum yang dapat bertindak sebagai pihak dalam
proses perkara dan dengan demikian pembuatan surat kuasapun tetap sah dan
tidak perlu sepengetahuan dan atau  ijin pemerintah c.q. BPPN. Karena itu Majelis
Hakim Kasasi membenarkan putusan Judex facxtie. Atas putusan ini Pemohon
Kasasi atau Termohon Pailit mengajukan PK.
 Dalam permohonan PK, Pemohon PK atau Pemohon Kasasi atau
Termohon Pailit kembali mempersoalkan kewenangan hukum atau legal capacity
Pemohon Pailit dalam hal ini Bank PDFCI yang telah dikenakan status Bank BTO
pada saat mengajukan permohonan pernyataan pailit. Menurut Pemohon PK atau
Pemohon Kasasi atau Termohon Pailit, Majelis Hakim Kasasi dan Judex Facxtie
telah melakukan kesalahan berat dalam menerapkan hukum mengenai
kewenangan hukum Bank BTO. Dikatakan bahwa Termohon PK atau Termohon
Kasasi atau Pemohon Pailit sejak tanggal 3 April 1998 telah menjadi Bank BTO
sehingga manajemen dan operasional telah diambil alih oleh BPPN sesuai dengan
15

ketentuan Pasal 37 Ayat (1) UU No.10 Thn 1998. Pada hal permohonan pailit
yang diajukan Termohon PK atau Pemohon Pailit dilakukan pada tanggal 30
September 1998 yaitu pada saat Termohon PK atau Pemohon Pailit sudah
berstatus Bank BTO tanpa persetujuan kuasa dari BPPN.
 Majelis Hakim PK dalam perkara ini membenarkan pendapat yang
diajukan Pemohon PK atau Termohon Pailit atau Pemohon Kasasi, karena
menurut Majelis terdapat kesalahan berat dalam menerapkan hukum tentang status
dan kewenangan Bank BTO sebab Direksi Bank PDFCI Tbk yang telah
dinyatakan dalam status BTO sejak 3 April 1998 tidak lagi memiliki kewenangan
untuk melakukan suatu perbuatan hukum ( legal capacity ) termasuk mengajukan
gugatan atau permohonan pailit di muka pengadilan untuk kepentingan bank
tersebut. Karena manajemen dan operasionalnya telah diambilalih atau dikuasai
oleh dan berada di bawah pengawasan BPPN, maka surat kuasa yang dibuat
Direksi yang menjadi dasar permohonan pailit terhadap Pemohon PK atau
Termohon Pailit adalah tidak sah. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
MA terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan PK yang diajukan PT
Sarana Kemas Utama selaku Termohon Pailit atau Pemohon Kasasi atau Pemohon
PK dan membatalkan Putusan MA 14 Desember 1998 No.04 K/N/1998.
BAB 4

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan rumusan masalah dapat disimpulkan bahwa

1. Pengaturan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) di Indonesia


diatur dalam Pasal 222 sampai Pasal 294 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004
tentang Kepailitan dan PKPU merupakan prosedur hukum atau (upaya hukum)
yang memberikan hak kepada setiap Debitor yang tidak dapat atau
memperkirakan tidak dapat melanjutkan pembayaran utang yang sudah jatuh
tempo, untuk memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud
untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pemayaran seluruh
atau sebagian utang kepada Kreditor

4.2 SARAN
1. Pemerintah Republik Indonesia seharusnya bekerjasama dengan para akademisi
dalam membentuk pengaturan Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUKPKPU), khusus
didalam setiap pasal-pasal harus jelas dan tegas didalam setiap pengaturan
tersebut.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Jurnal

Adrian Sutedi, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2009), hlm. 33.

Adrian Sutedi, Ibid, hlm. 34.

Kartini Muliadi. Gunawan Widjaya. Pedoman Menangani Perkara Kepailitan. PT


Raja (Jakarta: Grafindo Persada, 2003). Hal. 199

Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Kepailitan Edisi No. 19 Th 11, 2004. Hal 36

Man S, Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran


Utang, Bandung 2006. hlm 210.

Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hlm. 200.

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailtan Memahami Undang-Undang No. 37


Tahun 2004 Tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2009), hlm. 87.

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Undang- Undang Nomor


37 Tahun 2008 tentang Kepailitan, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2008), hlm.
329.

Anda mungkin juga menyukai