Anda di halaman 1dari 24

TUGAS KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH II

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PENYAKIT TETANUS

Dosen Pengampu : Firman Prastiwi S.Kep., Ns., M.Kep

Kelas : P21A
Kelompok :1
Anggota : 1. Nafta Aurora ( P21004 )
2. Adinda Malika Putri ( P21010 )
3. Agatha Shafira ( P21012 )
4. Ai Gia Eni Hawila S. ( P21013 )
5. Davinda Safa Felisa ( P21021 )
6. Fadhilah Yusrina Ardhi ( P21026 )
7. Galih Puspita Sari ( P21029 )
8. Jani Widyastuti ( P21032 )
9. Mardina Dewi Sitaresmi ( P21036 )
10. Nadya Aroqimah W.R. ( P21039 )
11. Natasya Fitria K. A. ( P21041 )
12. Paskal Nardianto ( P21045 )

PRODI D3 KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS KUSUMA HUSADA SURAKARTA

2023/2024
KATA PEGANTAR

Puji syukur atas hadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebab atas berkat dan
rahmat – Nya penulis dapat menyelesaikan makalah keperawatan medikal bedah
II yang berjudul “Makalah Kasus Asuhan Keperawatan Pada Penyakit Tetanus”.
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini, ialah untuk memenuhi tugas mata
kuliah keperawatan medikal bedah II sekaligus menambah pengetahuan mengenai
definisi, etiologi, gejala dan penyebaran penyakit, kemungkinan komplikasi yang
terjadi, serta pentalaksanaan keperawatan yang tepat pada pasien dengan penyakit
tetanus.
Adapun penyusunan makalah ini tidak terlepas dari adanya bantuan
berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu,
penulis ingin mengucapkan rasa terima kasihnya kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyelesaian makalah ini.
Semoga dengan terselesaikannya makalah ini, penulis dapat memberikan
pengetahuan kepada para pembacanya.

Surakarta, 12 Februari 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PEGANTAR .............................................................................................. ii


DAFTAR ISI ......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH .............................................................. 1
B. RUMUSAN MASALAH .............................................................................. 3
C. TUJUAN MAKALAH .................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................... 4
1. DEFINISI ....................................................................................................... 4
2. ETIOLOGI ..................................................................................................... 4
3. KLASIFIKASI............................................................................................... 5
4. MANIFESTASI KLINIS ............................................................................... 6
5. FAKTOR RISIKO ......................................................................................... 7
6. PATOFISIOLOGI ......................................................................................... 8
7. KOMPLIKASI............................................................................................... 9
8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ............................................................... 10
9. PENATALAKSANAAN ............................................................................. 10
10. PENCEGAHAN .......................................................................................... 12
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN (TEORI) ............................................ 13
A. PENGKAJIAN ............................................................................................ 13
1. Identitas Klien ...................................................................................... 13
2. Riwayat Kesehatan ............................................................................... 13
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN ................................................................. 16
C. INTERVENSI .............................................................................................. 16
D. IMPLEMENTASI........................................................................................ 17
E. EVALUASI ................................................................................................. 17
BAB IV PENUTUP ............................................................................................ 18
A. KESIMPULAN ........................................................................................... 18
B. SARAN ........................................................................................................ 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Menurut Astini (2015), tetanus merupakan suatu kelainan neurotransmisi
yang disebabkan eksotoksin Clostridium tetani yaitu suatu bakteri penghasil
neurotoxin keras. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Putri (2020)
menyebutkan bahwa tetanus berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti
“menegang”, dimana penyakit tersebut bersifat akut dengan ditandai adanya
kekakuan otot dan spasme yang disebabkan oleh Clostridium tetani yang dapat
menimbulkan rasa nyeri dan biasanya terjadi pada bagian rahang bawah dan
leher.
Penyakit tetanus telah menyebar di seluruh dunia terutama di negara
berkembang dengan memiliki frekuensi penderita yang bervariasi. Meskipun
demikian, penyakit tetanus tidak menutup kemungkinan berada dalam sebuah
negara maju. Peningkatan jumlah penderita penyakit tetanus pernah dialami
oleh Indonesia saat terjadinya tsunami di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
pada tahun 2004 silam. Jumlah korban mencapai 106 orang dengan rentang
waktu yang singkat. Penyebab dari kematian para korban dilaporkan karena
adanya manifestasi klinik pneumonia, juga sarana dan prasana yang hilang
dengan kurun waktu yang singkat (Prawira, Witani, & Tini, 2018).
Angka kematian yang terjadi pada negara berkembang lebih tinggi 135 kali
dari pada negara maju yang disebabkan oleh tetanus neonatrum. Pada tahun
2007, 2011, dan 2014 diantara jumlah kasus tetanus neonatrum di negara
ASEAN, Indonesia menduduki posisi kedua dengan jumlah angka kematian
lebih dari 100 orang. Pada tahun 2014, kasus kematian yang disebabkan oleh
tetanus neonatrum mengalami kenaikan (Yani & Munawaroh, 2020). Tahun
2007 – 2011, angka kematian tetanus neonatrum mencapai persentase 48% -
61%. Pada tahun 2013, persentaase angka kematian mencapai 49,6%.
Sedangkan, tahun 2014 angka kematian mencapai 64,3% dengan tercatatnya 84
kasus yang terjadi di Indonesia (Sari, 2017).
Menurut WHO (World Health Organization), sebanyak 10.301 kasus
tetanus tercatat melalui WHO / UNICEF. Akan tetapi, laporan tersebut masih

1
belum bisa menggambarkan kejadian sebenarnya akibat banyaknya insiden
yang tidak dilaporkan (WHO, 2017).
Faktor risiko penyakit tetanus dapat terjadi pada masyarakat yang tidak
mendapatkan vaksinasi, usia masyarakat lansia / lebih dari 65 tahun, serta para
penderita penyakit diabetes. Kurangnya pengetahuan pada masyarakat bahwa
luka menjadi faktor risiko pada penyakit tetanus juga menjadi faktor utama
masih marak terjadinya kasus tetanus (Alifil et al, 2015).
Kasus tetanus yang terjadi pada non-neonatal dominan ditemukan pada
pekerjaan yang memiliki risiko tinggi seperti pekerja agricultural, pekerja
kesehatan, pekerja industri, pekerja kontruksi, hingga pekerja besi. Kasus
tersebut juga dapat ditemukan pada luka yang tidak ditangani dengan benar
seperti luka akibat terpotong gelas ataupun luka tersayat metal (Mahadev, et al.
2020).
Sedangkan kasus tetanus neonatal pada bayi yang berusia kurang dari 28
hari akan muncul gejala pada hari ke 4 - 14 setelah bayi lahir. Pada umumnya
disebabkan akibat pemotongan tali pusar dengan menggunakan alat yang tidak
steril. Hal ini terjadi akibat banyaknya masyarakat yang masih menggunakan
layanan kesehatan dengan tingkat kualitas yang rendah (Sari, 2017).
Guna mencapai Eliminasi Tetanus Maternal dan Neonatal maka diperlukan
adanya pemberian vaksinasi pada ibu hamil, calon pengantin, dan bayi.
Menurut Depkes RI, imunisasi merupakan suatu cara untuk meningkatkan
kekebalan tubuh seseorang guna menghadapi penyakit yang dideritanya agar
menjadi sakit ringan ataupun tidak akan sakit. Imunisasi juga menjadi upaya
preventif guna menjaga kesehatan atau mempertahankan Kesehatan tubuh
masyarakat. Sehingga, dalam kasus tetanus perlu diberikannya imunisasi
tetanus toksoid guna membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan
terhadap penyakit tetanus (Musfirah, Rifai, & Killian, 2021).
Berdasarkan pernyataan tersebut, maka diperlukan adanya informasi yang
dapat memberikan dan meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai
penyakit tetanus. Oleh karena itu, penulis menyusun makalah ini sehubungan
dengan memberikan manfaat pengetahuan pada masyarakat sehingga angka
eliminasi tersebut dapat tercapai.

2
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, maka
rumusan masalah yang didapat ialah sebagai berikut :
1. Apa pengertian dari penyakit tetanus?
2. Apa penyebab terjadinya penyakit tetanus?
3. Bagaimana patofisiologi penyakit tetanus?
4. Apa saja faktor risiko yang dapat ditimbulkan dari penyakit tetanus?
5. Apa saja tanda dan gejala yang nampak akibat penyakit tetanus?
6. Apa saja komplikasi yang mungkin dapat terjadi?
7. Bagaimana pemeriksaan diagnostik pada penyakit tetanus?
8. Bagaimana tata pelaksanaan pada penyakit tetanus?

C. TUJUAN MAKALAH
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penyusunan makalah ini, yaitu :
1. Untuk mengetahui definisi penyakit tetanus.
2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit tetanus.
3. Untuk mengetahui proses terjadinya penyakit tetanus.
4. Untuk mengetahui faktor risiko dan tanda gejala yang nampak pada
penyakit tetanus.
5. Untuk mengetahui kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.
6. Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik apa saja dalam mendeteksi
tetanus.
7. Untuk mengetahui tindakan pengobatan ataupun pencegahannya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Kata tetanus berasal bahasa Yunani, yaitu teinenin yang berarti
menegang. Penyakit tetanus merupakan penyakit infeksi yang terjadi ketika
tubuh mengalami spasme otot tonik dan hiperrefleksia yang menimbulkan rasa
nyeri terutama dibagian rahang bawah dan leher, sebagai akibat dihasilkannya
eksotoxin dari bakteri Clostridium tetani (Price & Sylvia dalam Ilham &
Rachmat, 2019).

2. ETIOLOGI
Clostridium adalah genera heterogen dari bakteri anaerob saprofitik.
Clostridium merupakan bakteri gram positif berbentuk spora yang terdiri dari
209 spesies dan 5 subspesies. Spesies clostridium merupakan bakteri yang
bersifat pathogen, meliputi Clostridium batolinum, Clostridium difficile,
Clostridium perfringens, dan Clostridium tetani. Spesies yang bersifat patogen
ini menghasilkan satu atau lebih eksotoksin yang membuat inangnya jatuh sakit
bahkan menimbulkan kematian pada inangnya (Jonathan, et al dalam Putri,
2019).
Etiologi atau penyebab dari tetanus sendiri adalah bakteri Clostridium
tetani (C.tetani) yang tergolong sebagai bakteri gram positif. Bakteri ini
dijumpai pada tinja binatang, terutama kuda atau pada manusia dan juga pada
tanah yang terkontaminasi dengan tinja binatang tersebut. Bakteri ini bersifat
obligat anaerob dan membentuk spora.
C.tetani masuk ke jaringan tubuh melalui luka trauma, jaringan nekrosis,
dan jaringan yang kurang vaskularisasi. Namun, sebanyak 15 - 25% kasus
tetanus yang terjadi tidak didapatkan riwayat adanya luka.
Dalam kondisi anaerobik seperti jaringan yang mengalami devitalisasi,
nekrosis, atau tertutup kotoran, spora dapat menjadi basil tetanus yang
menghasilkan eksotoksin aktif yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Toksin aktif
yang utama dari basil ini adalah tetanospasmin yang menghambat
neurotransmitter inhibitor seperti GABA, glisin, dopamine, dan noradrenalin
4
dalam sistem saraf pusat. Berkurangnya jumlah neurotransmitter inhibitor
tersebut akan mencegah inhibisi impuls saraf eksitasi sehingga muncul gejala
tetanus.

3. KLASIFIKASI
Menurut Siregar (2019) tetanus dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis,
yaitu:
a. Tetanus Lokal
Tetanus lokal merupakan jenis tetanus yang dapat dianggap sebagai
prekusor klasik atau dipertimbangkan secara terpisah. Prognosis pada
tetanus lokal ini cukup baik asalkan dengan perawatan yang benar untuk
mencegah terjadinya tetanus generalis.
Tatalaksana dengan menetralisir toksin dengan menggunakan tetanus
imunglobulin, dan juga penanganan luka yang baik diperlukan. Pengobatan
alternatif lainnya, yaitu menggunakan penisilin dengan dosis yang telah
ditentukan, akan tetapi dapat menyebabkan kemungkinan perburukan
spasme (Louise dalam Sisy, 2020).
b. Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya tetanus umum berhubungan dengan masuknya kuman ke dalam
tubuh. Biasanya dimulai dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses
ke spasme umum dan opistotonus. Dalam 24 – 48 jam, tubuh akan
mengalami kekakuan otot secara menyeluruh sampai ke ekstremitas.
Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut sukar dibuka,
sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan otot masseter,
pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga wajah penderita akan
menampilkan ekspresi meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus
(alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot – otot leher bagian belakang
yang menyebabkan nyeri ketika melakukan fleksi leher dan tubuh sehingga
memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas, tetanus biasanya diikuti kejang umum
tonik baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal

5
(rabaan, sinar dan bunyi), kenaikan temperatur tubuh, penderita akan
nampak gelisah dan mudah terangsang, serta terjadi retensi urin (Sisy R.P.,
2020).
c. Cephalic tetanus
Tetanus kepala adalah bentuk tetanus yang langka. Masa inkubasinya
berkisar antara 1 - 2 hari dan merupakan salah satu varian tetanus lokal.
Terjadinya tetanus ini apabila luka mengenai daerah mata, kulit kepala,
muka, telinga, otitis media kronis, dan tonsilektomi. Gejalanya berupa
disfungsi saraf loanial antara lain n. III, IV, VII, IX, X, XI, dan dapat berupa
gangguan secara terpisah maupun kombinasi yang menetap dalam beberapa
hari bahkan berbulan - bulan. Cephalic Tetanus dapat berkembang menjadi
tetanus umum.
d. Neonatal tetanus
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada
anak yang memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada
2 hari pertama kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari
ke 3 – 28, serta menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi
karena proses melahirkan yang tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi
pada minggu kedua kehidupan, ditandai dengan kelemahan dan
ketidakmampuan menyusu, kadang disertai opistotonus.

4. MANIFESTASI KLINIS
Masa inkubasi tetanus ialah 3 - 21 hari dengan kemungkinan gejala yang
muncul pada 80 - 90% pasien selama 1 - 2 minggu setelah terjadinya infeksi.
Periode dimulai dari gejala pertama sampai timbulnya serangan pertama yang
disebut fase onset. Onset dan masa inkubasi sangat mempengaruhi prognosis
pada tetanus.
Gejala awal pada penyakit tetanus meliputi:
a. Kaku otot
Kekakuan otot yang terjadi akan mempengaruhi kelompok otot dengan jalur
saraf pendek yang menyebabkan munculnya trismus, leher kaku dan sakit
punggung. Keterlibatan otot wajah dan faring menyebabkan ciri khas
laserasi sinis, sakit tenggorokan, dan disfagia.

6
b. Peningkatan tonus otot
Adanya peningkatan tonus otot pada batang tubuh dapat menyebabkan
Apistotonus. Apistotonus adalah keadaan ketika tubuh kaku akibat
kekakuan otot yang menunjang tubuh.
c. Spasme otot
Spasme otot yang sebagai gejala tetanus terjadi secara spontan dan dapat
dipicu oleh rangsangan fisik, visual, pendengaran, atau emosional. Spasme
otot ini dapat menyebabkan robekan tendon, dislokasi sendi, dan patah
tulang.
d. Spasme laring
Spasme laring merupakan gejala lain tetanus yang muncul dan terjadi
dengan cepat, serta dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas akut
dan gagal napas.

Menurut Haryono, Rudi & Sari Utami (2019), tanda dan gejala tetanus dapat
muncul kapan saja dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah
bakteri tetanus manus ke dalam tubuh melalui luka. Masa inkubasi rata-rat 7
hingga 10 haari. Tanda dan gejala umum yang dapat dirasakan diantaranya:
a. Spasme dan kekakuan pada otot rahang (trismus).
b. Kekakuan pada otot leher.
c. Kesulitan menelan.
d. Kekakuan otot perut.
e. Spasme tubuh yang dapat berlangsung selama beberapa menit.
f. Kemungkinan adanya tanda dan gejala lain seperti berkeringat, tekanan
darah tinggi, dan takikardi.

5. FAKTOR RISIKO
Menurut Haryono, Rudi & Sari Utami (2019), kondisi yang dapat
memungkinkan seseorang terkena tetanus:
a. Tidak mendapatkan vaksinasi tetanus.
b. Cedera yang memungkinkan spora tetanus masuk ke dalam luka.
c. Benda asing, seperti paku maupun serpihan.

7
Kasus tetanus dapat berkembang karena beberapa kondisi berikut:
a. Luka tusuk, termasuk serpihan, tindik, tato, dan obat injeksi.
b. Luka tembak
c. Fraktur kompon
d. Luka bakar
e. Luka operasi
f. Penggunaan narkoba suntik
g. Gigitan binatang atau serangga
h. Bisul kaki yang terinfeksi
i. Infeksi gigi
j. Tunggul umbilical yang terinfeksi pada bayi baru lahir.

6. PATOFISIOLOGI
Bakteri Clostridium tetani memproduksi dua jenis zat toksin, yaitu
tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin adalah toksin yang dikodekan oleh
plasmid. Signifikansi klinis toksin ini tidak diketahui karena sifat tetanolisin
yang mudah dihambat oleh oksigen dan serum kolesterol. Toksin yang
berperan dalam manifestasi klinis tetanus yaitu tetanospasmin. Setelah
tetanospasmin mengikat saraf, ia tidak bisa dihilangkan. Tetanospasmin
menyebar melalui jalur hematogen atau limfogen, dimana nantinya ia akan
mencapai tujuannya di ujung saraf motorik (Jaya dan Aditya, 2018).
Tetanus terjadi saat spora C. tetani yang kerap kali ditemukan pada benda
yang terkontaminasi, masuk ke dalam tubuh melalui bagian kulit yang terbuka
seperti luka tusuk, laserasi, luka bakar kotor, dan lain - lain. Spora C. tetani
kemudian akan menjadi vegetatif dan berkembang biak di jaringan tempat luka
telah terbentuk dan menghasilkan tetanolisin yang merusak jaringan di
sekitarnya dan menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Sementara itu,
tetanospasmin akan berikatan dengan sinaptobrevin/vesicle- associated
membrane protein (VAMP), yang berhubungan dengan pelepasan
neurotransmiter dari ujung saraf, sehingga muncul gejala paralisis flaksid.
Toksin tersebut kemudian akan menyebar secara retrograde di akson lower
motor neuron (LMN) dan mencapai sumsum tulang belakang atau batang otak.
Begitu berada di sistem saraf pusat, toksin tersebut berikatan dengan GABA

8
inhibitor atau saraf glisinergik sehingga toksin tetanus dapat menurunkan
VAMPS dan menghambat pelepasan GABA serta glisin. Sehingga hal ini akan
menimbulkan manifestasi patognomonik berupa kontraksi, kekakuan otot, dan
spasme otot yang terlalu aktif dan nyeri (Tertia, 2019)

Faktor predisposisi

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh dan berpoliferasi

Clostridium tetani mengeluarkan toksik yang bersifat


neurotoksik (tetanospasmin)

Tetanus

Menempel pada cerebral Respon inflamasi pada


Dirangsang oleh cahaya, suara jaringan otak
ganglion side

Kejang berulang Suhu tubuh meningkat


Kekakuan dan kejang otot

Resiko Cidera Hipertermi


Otot
Otot
mastikatorius erector Gangguan
mobilitas fisik
Otot
Penurunan kemampuan
pernapasan batuk
Kaku
Trismus kuduk Nyeri Penumpukan sekret
Sulit bernapas Sesak napas

Sulit menelan Intake nutrisi tidak Defisit nutrisi Pola napas tidak Bersihan jalan
adekuat efektif napas tidak efektif

7. KOMPLIKASI
Komplikasi tetanus yang umum terjadi ialah laringospasme, kekakuan otot
kontraktil atau akumulasi sekresi dalam bentuk pneumonia atau atelektasis, dan
kompresi patah tulang belakang atau laserasi lidah dari serangan. Selain itu,
komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu rhabdomyolysis dan gagal ginjal
(Siregar, 2019).

9
Menurut Haryono, Rudi & Sari Utami (2019), komplikasi yang mungkin
terjadi pada penderita tetanus diantaranya:
a. Patah Tulang
Tingkat keparahan saat terjadinya spasme dapat menyebabkan tulaang
belakang dan tulang lainnya patah.
b. Emboli Paru (Penyumbatan arteri)
Bekuan darah yang bergerak dari tempat lain di dalam tubuh dapat
menghalangi arteri utama paru-paru atau salah satu cabangnya.
c. Kematian
Spasme otot yang parah dapat mengganggu atau membuat fungsi
pernapasan berhenti. Kegagalan pernapasan menjadi suatu penyebab
kematian paling umum. Kurangnya kadar oksigen juga dapat
mengakibatkan terjadinya serangan jantung hingga kematian.

8. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Tetanus didiagnosis berdasarkan pemeriksaan fisik, riwayat medis, dan
imunisasi, serta adanya tanda dan gejala kejang otot, kekakuan, dan rasa sakit
(nyeri). Tes laboratorium umumnya tidak membantu untuk mendiagnosis
tetanus (Haryono, Rudi & Sari Utami, 2019).

9. PENATALAKSANAAN
Tindakan penatalaksanaan merupakan suatu tindakan langsung yang
dilakukan kepada klien untuk mengatasi masalah yang diderita oleh klien
berdasarkan hasil pengkajian, diagnosa, dan intervensi yang telah dilakukan
(M.A. Pruba, 2019).
Penatalaksanaan pasien tetanus secara garis besar terdiri atas tatalaksana
umum dan khusus.
a. Penatalaksanaan Umum
Menurut (Siregar, 2019), tujuan utama dalam penatalaksanaan umum ini
adalah untuk menghilangkan bakteri tetanus, menetralkan sirkulasi racun,
mencegah kejang otot, dan mendukung pernapasan hingga pemulihan. Dari
tujuan tersebut, dapat dikategorikan sebagai berikut :

10
1) Membuang sumber tetanospasmin
Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.
2) Konsumsi kalori dan protein yang cukup.
3) Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita.
4) Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5) Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
6) Penanganan spasme otot dengan pemberian diazepam.
b. Penatalaksanaan Khusus
Untuk penatalaksanaan khusus, tindakan yang dilakukan ialah dengan
memberikan obat – obatan. Jenis obat - obatan yang dapat digunakan untuk
penanganan tetanus, meliputi :
1) Antibiotika
Antibiotika diberikan untuk memerangi bakteri dengan tujuan
pencegahan tetanus secara klinis. Pada salah satu penelitian yang
dilakukan di Indonesia, salah satu antibiotika yang diberikan pada klien
dengan tetatnus ialah pemberian metronidazole.
Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani dalam bentuk
vegetatif. Selain metronidazole, antibiotika lini kedua yang dapat
diberikan ialah penicillin procain 50.000 - 100.000 U/kgBB/hari selama
7-10 hari. Namun, apabila klien memiliki hipersensitivitas terhadap
penicillin dapat diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak
berumur lebih dari 8 tahun). Penicillin membunuh bentuk vegetatif C.
tetani. Sampai saat ini, pemberian penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv,
setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus
(Siregar, 2019).
a) Antitoksin
Pemberian antitoksin harus diberikan untuk menetralkan toksin -
toksin dalam tubuh yang belum berikatan ataupun sebagai profilaksis.

11
Antitoksin yang digunakan dapat berupa ATS atau Human Tetanus
Imunoglobulin (HTIG) (Siregar, 2019)..
b) Tetanus Toksoid
Dosis pertama tetanus toksoid (TT) diberikan bersamaan dengan dosis
antitoksin. TT harus dilanjutkan sampai vaksinasi tetanus pertama
selesai.
c) Antikonvulsan
Penyebab utama kematian pada tetanus neonatorum adalah kejang
klonik yang parah, kejang otot dan laring, dan komplikasinya.
Sehingga dalam mengatasi kejang yang terjadi, diharapkan dengan
penggunaan obat penenang dan relaksan otot.

10. PENCEGAHAN
Pasien yang terpapar tetanus tidak kebal terhadap serangan berulang.
Artinya jika terjadi cedera, mereka bisa terkena tetanus sama seperti orang
lain yang belum pernah divaksinasi.
Setelah pemulihan, tidak ada kekebalan yang terbentuk pada pasien,
karena racun yang masuk ke dalam tubuh tidak dapat merangsang
pembentukan antitoksin (tetanospasmin sangat kuat sehingga bahkan
konsentrasi terendah yang tidak cukup untuk merangsangnya), pembentukan
kekebalan. Sejauh ini, vaksinasi dengan toksoid tetanus adalah satu - satunya
cara untuk mencegah tetanus. Imunisasi agresif memungkinkan vaksinasi
dimulai pada usia 2 bulan (DPT atau DT) (Siregar, 2019).

12
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN (TEORI)

A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dalam memberikan asuhan keperawatan.
Menurut Muttaqin (2008), pengkajian merupakan tindakan pengumpulan data
dari berbagai sumber yang secara sistematis dikumpulkan untuk
mengidentifikasi dan mengevaluasi status klien. Tindakan pengkajian ini
meliputi anamnesis serta tanda dan gejala penyakit (Athifa et.al., 2018).
1. Identitas Klien
Identitas klien biasanya meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat,
pendidikan, dan pekerjaan. Umumnya pada penderita tetanus terjadi pada
nank – anak yang belum pernah mendapatkan imunisasi tetanus (DPT)
maupun keluarga yang belum mengerti pentingnya imunisasi serta
pemeliharaan kebersihan lingkungan dan perorangan (Muttaqin dalam
Athifa et al. 2018).
2. Riwayat Kesehatan
a) Keluhan Utama
Keluhan utama adalah keluhan yang paling dirasakan serta paling
mengganggu kondisi klien dan merupakan alasan klien meminta
pertolongan kesehatan.
b) Riwayat Kesehatan Sekarang
Riwayat penyakit sekarang adalah keluhan yang dirasakan klien saat
pertama kali sampai di rumah sakit dan merupakan faktor predisposisi
penyebab sumber luka. Pada umumnya penderita tetanus mengalami
panas badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin
p. 221 dalam Athifa et al. 2018).
c) Riwayat Kesehatan Yang Lalu
Penyakit yang pernah dialami klien dimasa lalu perlu dilakukan
pengkajian karena memungkinkan adanya hubungan atau menjadi faktor
predisposisi keluhan sekarang. Pengkajian ini meliputi luka yang dialami
dan luka tusuk yang dalam seperti tertusuk paku, pecahan kaca, terkena

13
kaleng, atau luka yang menjadi kotor akibat terjatuh di tempat yang
kotor, serta luka atau kecelakaan yang timbul luka yang tertutup
debu/kotoran juga luka bakar dan patah tulang terbuka. Selain itu, juga
terdapat pengkajian lainnya terkait luka gores yang ringan kemudian
menjadi bernanah dan gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor
(Muttaqin p. 222 dalam Athifa et.al., 2018).
d) Riwayat Kesehatan Keluarga
Pada dasarnya, perawat menanyakan kepada klien atau keluarga
penanggung jawab klien mengenai riwayat penyakit anggota keluarga
yang kemungkinan diderita oleh klien.
e) Riwayat Kebiasaan Sehari – Hari
1) Pola Aktivitas
Penderita tetanus umumnya mengalami demam tinggi, nyeri pada otot
leher, kejang, hingga penurunan tingkat kesadaran.
2) Pola Eliminasi
Umumnya penderita tetanus kesulitan melakukan BAK bahkan volume
urine berkurang.
3) Pola Nutrisi
Penderita tetanus banyak mengalami perubahan pola nutrisi karena
adanya rasa mual yang tak tertahan hingga mengalami muntah dengan
frekuensi yang sering.
4) Pola Istirahat dan Tidur
Pada umumnya ditemukan keluhan adanya gangguan istirahat dan
tidur disebabkan demam tinggi, rasa mual dan muntah, serta kejang
dengan intensitas yang cukup sering.
f) Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan Umum
Keadaan umum klien biasanya diketahui berdasarkan tingkat
kesadaran yang dialami klien. Tingkat kesadaran pada klien dengan
tetanus meliputi composmentis, pada keadaan lanjut tingkat kesadaran
klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka penilaian

14
GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan
evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan. Selain itu, pemeriksaan
terhadap perubahan pada gaya bicara, ekspresi wajah dan aktivitas
motorik, serta 12 sistem saraf kranial (Muttaqin p. 223 dalam Athifa
et.al., 2018).
2) Tanda – Tanda Vital
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui kemungkinan klien
mengalami penerunan denyut nadi, peningkatan frekuensi nafas, dan
peningkatan suhu tubuh.
3) Pernafasan
Pada pengkajian sistem pernafasan, dapat dilakukan pemeriksaan
inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi. Inspeksi digunakan untuk
mengetahui apakah klien mengalami batuk, produksi sputum, sesak
napas, penggunaan otot bantu pernapasan, dan peningkatan frekuensi
pernapasan yang disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas.
Pemeriksaan palpasi pada thorax dilakukan untuk mengetahui
keseimbangan taktil fremitus kanan dan kiri. Sedangkan, auskultasi
dilakukan untuk medeteksi bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk,
serta perkusi dilakukan untuk menentukan apek paru (Muttaqin dalam
Athifa et.al. 2018).
4) Pencernaan
Pada tetanus, klien akan mengalami mual hingga muntah sehubungan
dengan adanya peningkatan produksi asam lambung. Selain itu, terkait
pemenuhan kebutuhan nutrisi pada klien dengan tetanus, klien
biasanya menglami anoreksia dan kaku dinding perut (Muttaqin p. 224
dalam Athifa et.al., 2018).
5) Penglihatan
Keadaan konjungtiva, reaksi terhadap cahaya, kemampuan kontak
mata, dan fungsi penglihatan normal atau tidak.
6) Nutrisi
Bagaimana berat badan sebelum dan setelah sakit dan balance cairan.

15
7) Eliminasi
Adakah keluhan saat melakukan BAK maupun BAB, terutama pada
penderita tetanus yang biasanya mengalami penurunan volume
haluaran urine yang berhubungan dengan perfusi dan penurunan curah
jantung ke ginjal yang berakibat pada retensi urine karena kejang
umum. Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine
dengan menggunakan kateter (Muttaqin, 2008, p. 224 dalam Athifa et
al. 2018).
8) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang, meliputi pemeriksaan darah lengkap, seperti
GDS, SGOT, SGPT, albumin, elektrolit, ureum, kreatinin, serta faal
hemostasis untuk menentukan tatalaksana suportif dan pemeriksaan
EKG untuk mengetahui adanya efek gangguan saraf otonom yang
menyebabkan aritmia hingga asistole ataupun miokarditis dengan
gambaran seperti infark miokard dengan ST elevasi (Hastuti M. dan
Oktarina, 2021).

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosis keperawatan adalah gambaran respon aktual atau potensial oleh
klien untuk mengidentifikasi masalah kesehatan dan melibatkan keluarga
serta untuk menentukan arah atau rencana asuhan keperawatan selanjutnya
(PPNI, 2017). Diagnosa keperawatan berorientasi pada kebutuhan dasar
manusia, gambaran respon individu terhadap proses, kondisi sakit, dan
perubahan respon individu. Unsur dalam diagnosia keperawatan meliputi
problem (P), etiology (E), dan sign/symptom (S).
Umumnya pada penderita tetanus, diagnosa keperawatan yang didapat
adalah bersihan jalan nafas tidak efektif, pola nafas tidak efektif, hipertermia,
defisit nutrisi, defisit pengetahuan, gangguan mobilitas fisik, risiko cedera,
dan nyeri akut.

C. INTERVENSI
Intervensi keperawatan merupakan segala bentuk terapi yang dilakukan
oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian klinis untuk

16
mencapai peningkatan, pencegahan dan pemulihan kesehatan klien, individu,
keluarga, dan komunitas (PPNI, 2018).
Intervensi pada klien tetanus umumnya dilakukan pemeriksaan tanda -
tanda vital, latihan pernafasan, manajemen jalan nafas, manajemen hipertermia,
manajemen nutrisi, edukasi nutrisi, edukasi kesehatan, pencegahan cedera, dan
manajemen nyeri.

D. IMPLEMENTASI
Implementasi adalah pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan
perawat dalam mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan yang telah
ditetapkan guna membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap implementasi adalah
bagaimana berkomunikasi dengan cara yang efektif, saling bantu, kemampuan
melakukan psikomotor, kemampuan melakukan observasi sistematis,
kemampuan memberikan pendidikan kesehatan, kemampuan advokasi, dan
kemampuan evaluasi (Asmadi dalam M.R. Pertiwi et.al., 2022).

E. EVALUASI
Evaluasi keperawatan bertujuan untuk menunjukan penilaian terhadap
capaian yang diinginkan seperti menunjukkan penyembuhan seiring berjalan
waktu serta bebas dari tanda - tanda infeksi, menunjukkan suhu tubuh dalam
batas normal, mempertahankan volume sirkulasi adekuat dengan tanda - tanda
vital dalam keadaan batas normal pasien, nadi perifer teraba, dan luaran urin
adekuat, serta melaporkan peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas
harian), dan adanya indikasi nyeri yang hilang/terkontrol.

17
BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Menurut Astini (2015), tetanus merupakan suatu kelainan
neurotransmisi yang disebabkan eksotoksin Clostridium tetani yaitu suatu
bakteri penghasil neurotoxin keras. Penyebab dari tetanus sendiri adalah
bakteri Clostridium tetani (C.tetani) yang tergolong sebagai bakteri gram
positif. Menurut Siregar (2019) tetanus dapat diklasifikasikan menjadi empat
jenis yaitu tetanus lokal, tetanus umum, cephalic tetanus, dan neonatal tetanus.
Gejala awal pada penyakit tetanus meliputi kaku otot, peningkatan tonus otot,
spasme otot, spasme laring. Tetanus terjadi saat spora C. tetani yang kerap kali
ditemukan pada benda yang terkontaminasi, masuk ke dalam tubuh melalui
bagian kulit yang terbuka seperti luka tusuk, laserasi, luka bakar kotor, dan lain
- lain. Spora C. tetani akan menjadi vegetatif dan berkembang biak di jaringan
tempat luka dan menghasilkan tetanolisin yang merusak jaringan di sekitarnya
dan menyebabkan pecahnya pembuluh darah.
Komplikasi tetanus yang umum terjadi ialah laringospasme, kekakuan
otot kontraktil atau akumulasi sekresi dalam bentuk pneumonia atau
atelektasis, dan kompresi patah tulang belakang atau laserasi lidah dari
serangan. Selain itu, komplikasi lain yang dapat terjadi yaitu rhabdomyolysis
dan gagal ginjal (Siregar, 2019). Penatalaksanaan umum dari tetanus yaitu
membuang sumber tetanospasmin, konsumsi kalori dan protein yang cukup,
Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan terhadap
penderita, oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu, mengatur
keseimbangan cairan dan elektrolit, penanganan spasme otot dengan pemberian
diazepam. Penatalaksanaan khusus yaitu dengan memberikan obat-obat khusus
yaitu antibiotika, antitoksin, tetanus toksoid, antikolvusan. Vaksinasi dengan
toksoid tetanus adalah satu - satunya cara untuk mencegah tetanus. Imunisasi
agresif memungkinkan vaksinasi dimulai pada usia 2 bulan (DPT atau DT)
(Siregar, 2019).

18
B. SARAN
Dengan adanya informasi tentang penyakit tetanus ini diharapkan dapat
mendorong tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan untuk
mengembangkan perbaikan kualitas asuhan keperawatan kepada klien dengan
tetanus. Kelompok menyadari penyusunan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami harapkan demi perbaikan penyusunan makalah kami kedepannya

19
DAFTAR PUSTAKA

Alifil W, Alshahran M, Abdulbaser M, El Fakarany NB. 2015. Severe


Generalized Tetanus: A Case Report and Literature Review. Saudi J Med
SCI. 3(2):167
Astini et al. 2015. Buku Modul Daftar Penyakit Kepanteraan Klinik. Aceh : Syiah
Kuala University Press.
Athifa et al. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Tetanus Dengan Gangguan
Kebutuhan Aktivitas. Akademi Keperawatan Batari Toja Watampone.
Indonesia.
Haryono, Rudi & Sari Utami. 2019. Keperawatan Medikal Bedah II. Pustaka Baru
Press:Yogyakarta.
Hastuti M. dan Oktarina. 2021. Penguatan Dokter Di Layanan Primer – Tetanus.
http://repository.umj.ac.id/3349/1/Modul%20Tetanus.pdf. Diakses pada
tanggal 18 Februari 2023.
Jaya, H. L & Aditya, R. (2018). Pengelolaan Pasien Tetanus di Intensive Care
Unit. Majalah Anestesia dan Critical Care, 36(3), 114-121
Laksamana, H. Dan Aditya, R. 2018. Pengelolan Pasien Tetanus di Intensive Care
Unit. Journal Perdatin. 116(79):155.
Tertia, C., Sumada, I. K., & Wiratmi, N. K. C. (2019). Laporan Kasus: Tetanus
Tipe General pada Usia Tua Tanpa Vaksinasi, Callosum Neurology, 2(3),
110-118.
Mahadev M. Saurab K. Maya G. Gopal K. Mahendra K. 2020. Diagnosis and
Management of Cryptogenis Occupational Tetanus: A Case Report from
Rajasthan India. India; IJOEM. 24(1)36-38.
M.A. Purba. 2019. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Dan Proses Keperawatan
https://osf.io/preprints/inarxiv/pz42x/download. Diakses pada tanggal 19
Februari 2023.
Musfiah, Musfiah, Rifai, & Kilian. 2021. Faktor yang Mempengaruhi Kepatuhan
Imunisasi Tetanus Toksoid Ibu Hamil. Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi
Husada. 10(2).348.

20
M.R. Pertiwi et al. 2022. Komunikasi Terapeutik Dalam Kesehatan. Rizmedia :
Yogyakarta.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Ed.III. Jakarta : DPP
PPNI.
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Ed.II.. Jakarta : DPP
PPNI.
Putri, S. N. 2020. Pencegahan Tetanus. Jurnal Penelitian Perawat Profesional.
2(4). 443-450.
Prawira et al. 2020. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Luaran Klinis
Pasien Tetanus di RSUP Sanglah Pada Bulan Januari 2018 – Oktober
2019. Intsari Sains Medis. 11(3). 948-954.
Sari, Selvy Novita. 2017. Risk Analyses Factor of Infant Mortality Caused by
Tetanus Neonatorum in East Java. Jurnal Berkala Epidemiologi. 5(2). 231-
239.
Siregar, S. F. 2019. Digitized by USU digital library 1.1. 1. 1, 1–16.
Sisy R.P. 2020. Jurnal Penelitian Perawat Profesional : Pencegahan Tetanus.
https://jurnal.globalhealthsciencegroup.com/index.php/JPPP/article/downloa
d/189/141/. Diakses pada tanggal 18 Februari 2023.
World Health Organization. 2017. Weekly Epidemiological Record: Tetanus
vaccines. Switzerland: no 6, 92, 53-76.

21

Anda mungkin juga menyukai