Anda di halaman 1dari 186

LAPORAN PELAKSANAAN MAGANG

DI BALAI BESAR TEKNIK KESEHATAN LINGKUNGAN DAN


PENGENDALIAN PENYAKIT (BBTKLPP) SURABAYA

Oleh:
VITARI ELIKA NPM. 2130018001
NADILA IMANIA AWANDA NPM. 2130018010
JIHAN AULIA NPM. 2130018052

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat karunia dan hidayah-
Nya, sehingga penyusunan laporan kegiatan magang ini dapat terselesaikan
dengan baik. Shalawat serta salam semoga Tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap menuju jalan
yang terang benderang.
Penyusunan laporan kegiatan magang ini dilakukan sebagai bentuk
pertanggungjawaban kami selama menjalani kegiatan magang di Balai Besar
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya. Pelaksanaan
magang yang kami Lakukan dimulai dari tanggal 09 Maret 2022 – 06 April 2022.
Pada kesempatan kali ini, izinkan kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kami selama melaksanakan
kegiatan magang serta membantu pada saat penyusunan laporan. Beberapa pihak
tersebut antara lain:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng., selaku Rektor Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya.
2. Bapak Prof. S. P. Edjianto, dr., Sp. PK (K), selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
3. Ibu Dwi Handayani, S.KM., M.Epid., selaku Ketua Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat sekaligus Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan magang.
4. Bapak Abdul Hakim Zakkiy Fasya, S.KM., M.KL., selaku Koordinator
Magang Program Studi S1 Kesehatan Masyrakat.
5. Bapak Dr. Rosidi Roslan, S.KM, S.H, M.PH, M.H, selaku Kepala
BBTKLPP Surabaya.
6. Bapak Hari Gunawan, S.KM, M.M., selaku Koordinator Surveilnas
Epidemiologi.
7. Bapak Yudied Agung Mirasa, S.KM., M.Kes., selaku Pembimbing
Lapangan.
8. Ibu Efi Sriwahyuni, S.KM., M.PH selaku Penanggungjawab Unit Diklat
dan Magang di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabaya.
9. Seluruh staf dan karyawan di BBTKLPP Surabaya khususnya Bapak dan
Ibu pemegang program di Bidang Surveilans Epidemiologi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan serta ilmu yang telah diberikan.
Semoga laporan kegiatan yang kami buat ini dapat diterima dengan baik
oleh pihak yang terkait. Atas segala bantuan dan bimbingan yang telah diberikan,
kami mengucapkan terima kasih.

Surabaya, 17 Maret 2022

Penyusun

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ........................................................................................... iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... vii
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG ............................................ viii
BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................1
A. Latar Belakang ......................................................................................1
B. Tujuan Magang .....................................................................................2
1. Tujuan Umum .................................................................................2
2. Tujuan Khusus ................................................................................2
C. Manfaat..................................................................................................2
1. Bagi Peserta Magang ......................................................................2
2. Bagi Instansi ...................................................................................3
3. Bagi Program Studi .........................................................................3
BAB 2. METODE KEGIATAN MAGANG ...........................................................4
A. Lokasi Magang ......................................................................................4
B. Waktu Magang ......................................................................................4
C. Peserta Magang .....................................................................................4
D. Metode Pelaksanaan Kegiatan ..............................................................4
E. Teknik Pengumpulan Data ....................................................................5
BAB 3. HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................................6
A. Gambaran Umum Instansi Magang ......................................................6
B. Pelaksanaan Magang ...........................................................................13
BAB 4. PENUTUP.................................................................................................18
A. Kesimpulan .........................................................................................18
B. Saran ....................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................20
LAMPIRAN ...........................................................................................................21

iv
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 2. 1 Identitas Peserta Magang ................................................ 4
Tabel 3. 1 Pelaksanaan Magang ....................................................... 14

v
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman


Gambar 3. 1 Wilayah Layanan BBTKLPP Surabaya ................. 7

vi
DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Lampiran Halaman


Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Magang ............................... 21
Lampiran 2. Surat Balasan Permohonan Ijin Magang .................. 22
Lampiran 3. Implementation Arrangement................................... 23
Lampiran 4. Absensi Magang ........................................................ 24
Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kinerja Mahasiswa Magang .... 30
Lampiran 6. Dokumentasi Magang ............................................... 36

vii
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

A. Daftar Arti Singkatan


BBTKLPP :Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit
UPT : Unit Pelaksana Teknis
P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
KLB : Kejadian Luar Biasa

B. Daftar Arti Lambang


. : Titik
, : Koma
: : Titik Dua
“..” : Tanda Petik
% : Persentase
() : Dalam Kurung

viii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Magang merupakan suatu keharusan bagi setiap mahasiswa Fakultas


Kesehatan Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya dalam mencapai gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Kegiatan magang
merupakan pengaplikasian ilmu yang telah diperoleh selama di bangku
perkuliahan dan bagaimana penerapan di dunia kerja. Pelaksanaan magang
disesuai dengan bidang peminatan mahasiswa melalui metode observasi dan
partisipasi. Kegiatan magang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai instansi dan
disesuaikan dengan peminatan. Pada kesempatan ini, mahasiswa melakukan
kegiatan magang di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya.
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
(BBTKLPP) Surabaya merupakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian
Kesehatan yang berada dan bertanggungjawab kepada Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P). Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya memiliki tugas
untuk melaksanakan surveilans epidemiologi, sistem kewaspadaan dini dan
penanggulangan KLB di bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan
serta kesehatan matra. Banyaknya masalah kesehatan yang terjadi di masyarakat
masih menjadi hal yang serius dan harus segera ditangani. Oleh karena itu,
diperlukan adanya kerjasama dari berbagai pihak pemerintah maupun swasta
untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Pelaksanaan magang ini dilaksanakan oleh mahasiswa program studi S1
Kesehatan Masyarakat peminatan Epidemiologi Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya. Pelaksanaan magang ini dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan
kegiatan yang ada di BBTKLP Surabaya serta didasari oleh keingintahuan
mahasiswa untuk mencoba dunia kerja. Mahasiswa ingin belajar dari BBTKLPP
Surabaya sebagai salah satu instansi pemerintah yang berperan sebagai
pencegahan dan pengendalian penyakit.

1
2

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Memperoleh pengalaman keterampilan, penyesuaian sikap dan
penghayatan pengetahuan di dunia kerja dalam rangka memperkaya
pengetahuan, sikap, dan keterampilan bidang ilmu kesehatan
masyarakat, serta melatih kemampuan bekerja sama dengan orang lain
dalam satu tim sehingga diperoleh manfaat bersama baik bagi peserta
magang maupun instansi tempat magang.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari magang ini adalah sebagai berikut:
a. Mempelajari dan menganalisis struktur organisasi dan prosedur
kerja/SOP dalam pelaksanaan surveilans di tempat magang.
b. Mempelajari dan menganalisis capaian dan kendala dalam
penerapan program dan kebijakan terkait pencegahan dan
penanggulangan penyakit dan masalah kesehatan yang
dilaksanakan di tempat magang.
c. Analisis data masalah kesehatan, faktor risiko dan masalah
organisasi di instansi magang, membuat prioritas masalah
kesehatan dan mencari alternatif pemecahan masalah (problem
solving) tentang kesehatan serta melakukan sosialisasi sesuai
temuan masalah.

C. Manfaat
1. Bagi Peserta Magang
Manfaat magang bagi peserta adalah sebagai berikut:
a. Melatih keterampilan mahasiswa yang sesuai dengan bidang ilmu
masing-masing dengan berdasarkan pengetahuan yang diperoleh
dari selama proses perkuliahan.
b. Mengenal praktik dunia kerja mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi program pada unit-
unit kerja dengan mengembangkan wawasan berpikir keilmuan
kreatif dan inovatif.
3

c. Membuat laporan magang berdasarkan data yang diperoleh.


2. Bagi Instansi
Manfaat magang bagi instansi adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh tenaga kerja yang diharapkan berperan serta dalam
proses kerja dan pemecahan masalah di instansi pelaksana
magang.
b. Menumbuhkan kerjasama yang baik, saling menguntungkan,
dinamis dan bermanfaat dengan institusi pendidikan, khususnya
perkembangan ilmu.
3. Bagi Program Studi
Manfaat magang bagi program studi adalah sebagai berikut:
a. Memperoleh umpan balik (feedback) untuk menyempurnakan
kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pengguna (stakeholder)
di lingkungan pemerintah dan swasta.
b. Membangun jejaring (networking) dengan pihak pengguna
lulusan.
BAB 2
METODE KEGIATAN MAGANG

A. Lokasi Magang
Lokasi magang mahasiswa bertempat di bidang Surveilans Epidemiologi
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
(BBTKLPP) Surabaya yang beralamatkan di Jl. Sidoluhur No. 12, Kemayoran,
Kec. Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur.

B. Waktu Magang
Waktu pelaksanaan magang yaitu pada tanggal 09 Maret sampai dengan
06 April tahun 2022. Kegiatan magang ini dilakukan selama 4 minggu. Kegiatan
magang ini disesuaikan dengan jam kerja di Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya pada hari Senin-
Kamis dimulai pukul 07.30 – 16.00 WIB, hari Jum’at dimulai pukul 07.30 – 16.30
WIB.

C. Peserta Magang
Peserta dalam magang ini adalah mahasiswa Program Studi S1 Kesehatan
Masyarakat Semester 8 (delapan) Fakultas Kesehatan Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya.
Tabel 2. 1 Identitas Peserta Magang
No. Nama NIM No. Telp/WhatsApp
1. Vitari Elika 2130018001 085331459760
2. Nadila Imania Awanda 2130018010 082229518195
3. Jihan Aulia 2130018052 081333256813

D. Metode Pelaksanaan Kegiatan


Pelaksanaan magang di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan
(BBTKLPP) Surabaya dilakukan melalui dua metode yaitu observasi dan
partisipatif. Metode observasi dilakukan dengan pengamatan survei rodent terkait
sistem kewaspadaan dini penyakit Pes yang bertempat di Puskesmas Sumberpitu

4
5

dan Laboratorium P2P Nongkojajar Kabupaten Pasuruan. Metode partisipatif


dilakukan dengan diskusi bersama bidang-bidang yang ada di BBTKLPP
Surabaya antara lain: ADKL untuk mendiskusikan kejadian KLB Keracunan
Makanan, bidang SE berdiskusi terkait penyakit menular, program, dan
surveilans. Selain itu juga kami mempelajari teknologi tepat guna yang
merupakan program terkait pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan.
Lokasi pelaksanaan kedua metode tersebut yaitu di dalam Gedung dan di luar
Gedung.

E. Teknik Pengumpulan Data


a) Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan dengan melakukan observasi dan
wawancara kepada pihak instansi di Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
b) Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari dokumen instansi berupa profil instansi
dan laporan surveilans epidemiologi di Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
BAB 3
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Instansi Magang


1. Sejarah BBTKLPP Surabaya
Cikal Bakal B/BTKLPP termasuk BBTKLPP Surabaya telah ada sejak
zaman Belanda. Pada tahun 1920 Dienst voor de volks Gozendheid atau
Dinas Layanan Kesehatan Masyarakat mendirikan profestation voor Rivier
Water Zuivering voor Drinkwater di Manggarai Jakarta yang bertugas
melakukan penyelidikan lapangam, pengolahan-pengolahan, pencarian
jenis-jenis sumber air, dan rancangan konstruksi guna menunjang
penyediaan air minum dan pengawas kualitas air minum dan minuman.
Setelah indonesia merdeka, berubah nama menjadi Laboratorium
Kesehatan Teknik (LKT) dan dipindah ke Yogyakarta sebagai ibukota
negara saat itu. Pada tahun 1953, LKT berubah nama menjadi Lembaga
Ilmu Kesehatan Teknik Bandung Cabang Yogyakarta dan tahun 1967
berubah nama menjadi Laboratorium Kesehatan Teknik di Yogyakarta
yang berada di bawah koordinasi Biro Umum Bagian Teknik Umum dan
Teknik Penyehatan Departemen Kesehatan RI. Pada tahun 1978
Laboratorium Kesehatan Teknik menjadi Balai Teknik Kesehatan
Lingkungan (BTKL) dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
143/Men.Kes/SK/IV/78, berada di bawah Direktorat Jenderal Pelayanan
Medik Depkes RI.
Pada tahun 1983 dibentuk BTKL Pos Surabaya yang masih menjadi
bagian BTKL Yogyakarta. Pada periode ini juga digagas pembentukan
BTKL di 7 wilayah regional lain oleh Ir. Srijanto (Kepala Subdit Elektro
Medik, Direktorat Instalasi Kesehatan, Dirjen Yankes Depkes RI dan
Kepala BTKL Yogyakarta 1980-1985). Pada tahun 1989 Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan dipindahkan di bawah Direktorat Jenderal PPM
dan PLP Depkes RI sesuai dengan surat Menkes
No.426/Menkes/SK/VI/89 tanggal 23 Juni 1989. Pada tahun 1993 BTKL
Pos Surabaya berubah nama menjadi BTKL Surabaya. Pada tahun 1999

6
7

BTKL berada di 10 wilayah regional di seluruh Indonesia, yaitu Medan,


Batam, Palembang, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Banjarbaru, Makassar,
Manado, dan Ambon.
Pada tahun 2004 BTKL Surabaya berubah nama menjadi Balai Besar
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit Menular
(BBTKLPPM) dan pada tahun 2021-2022 berubah nomenklatur menjadi
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
berdasarkan Permenkes RI Nomor 2349/PER/MENKES/XI/2011 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksanaan Teknik di Bidang Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit lalu diganti dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 78 Tahun 2020 tentang Organisasi
dan Tata Kerja Unit Pelaksanaan Teknis Bidang Teknik Kesehatan
Lingkungan.
2. Wilayah Layanan BBTKLPP Surabaya
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
(BBTKLPP) Surabaya memberikan pelayanan pencegahan dan
pengendalian Penyakit melalui upaya deteksi dan respon dini faktor risiko
penyakit dan kejadian penyakit di empat wilayah provinsi Jawa Timur,
Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Wilayah layanan
BBTKLPP Surabaya, meliputi 79 kabupaten/kota, 55,51 juta orang atau
sekitar 21,27% dari penduduk Indonesia, dan 1200 pulau.

Gambar 3. 1 Wilayah Layanan BBTKLPP Surabaya


8

3. Visi dan Misi Balai besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan


pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
(BBTKLPP) Surabaya tidak memiliki Visi dan Misi secara khusus,
sebagaimana Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan Tahun 2020
- 2024 menyesuaikan Visi Misi Presiden Republik Indonesia yaitu:
“Terwujudnya Indonesia Maju yang Berdaulat, Mandiri, Dan
Berkepribadian Berlandaskan Gotong Royong”.
Upaya untuk mewujudkan visi ini dilaksanakan melalui Nawa Cita
Kedua tahun 2020 – 2024 yaitu:
a. Peningkatan kualitas manusia Indonesia.
b. Struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing.
c. Pembangunan yang merata dan berkeadilan.
d. Mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan.
e. Kemajuan budaya yang mencerminkan kepribadian bangsa.
f. Penegakan sistem hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan
terpercaya.
g. Perlindungan bagi segenap bangsa dan memberikan rasa aman pada
seluruh warga.
h. Pengelolaan pemerintah yang bersih, efektif, dan terpercaya.
i. Sinergi pemerintah daerah dalam kerangka negara kesatuan.
Kementerian kesehatan mempunyai peran dan berkontribusi dalam
tercapainyaa seluruh Nawa Cita terutama dalam meningkatkan kualitas
hidup manusia Indonesia. Terdapat dua tujuan Kementerian Kesehatan
pada tahun 2015-2020, yaitu:
a. Meningkatnya status kesehatan masyarakat
b. Meningkatnya daya tanggap (responsiveness) dan perlindungan
masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di bidang kesehatan.
4. Tugas pokok dan Fungsi
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit (BBTKLPP) Surabaya yang mempunyai tugas melaksanakan
surveilans epidemiologi, kajian dan penapisan teknologi, laboratorium
9

rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan, pengembangan


model dan teeknologi tepat guna, kewaspadaan dini dan penanggulangan
KLB di bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan serta
kesehatan matra.
Fungsi:
a. Pelaksanaan surveilans epidemiologi.
b. Pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan.
c. Pelaksanaan laboratorium rujukan.
d. Pelaksanaan pengembangan model dan teknologi tepat guna.
e. Pelaksanaan uji kendali mutu dan kalibrasi.
f. Pelaksanaan penilaian dan respon cepat, kewaspadaan dini, dan
penanggulangan KLB/Wabah dan bencana.
g. Pelaksanaan surveilans faktor risiko penyakit tidak menular.
h. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan.
i. Pelaksanaan kajian dan pengembangan teknologi pengendalian penyakit,
kesehatan lingkungan, dan kesehatan matra.
j. Pengelolaan data dan sistem informasi.
k. Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
l. Pelaksanaan urusan administrasi UPT Bidang Teknik Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit.
10

5. Struktur Organisasi Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Surabaya

Dr. Rosidi Roslan, S.KM, S.H, M.PH, M.H


Kepala BBTKLPP Surabaya

Dwi Sulaksono, S.T, M. Kes


Ka. Subbagian
Administrasi dan Umum

Joko Kasihono, S.T, M.Kes Etty Sri Heriati, S.T, M.M dr. Teguh Mubawadi, M.Si Hari Gunawan, S.KM, M.M
Koordinator Koordinator Pengembangan Koordinator Analisis Koordinator
Tata Usaha Teknologi Laboratorium Dampak Kesehatan Lingkungan Surveilans Epidemiologi

Ambarwati, S. Si Uswatul Choiriyah, S.T Dra.Tri Wahjuniarti, S.T, S.Si

Wahyu Hari Imawan, S.KM, M.PSDM Wakil Koordinator Pengembangan Wakil Koordinator Analisis Wakil Koordinator
Sub – Koordinator Teknologi Laboratorium Dampak Kesehatan Lingkungan Surveilans Epidemiologi
Perencanaan dan Pelaporan

Widi Hartatiek, S. Si, Apt Leli Indahwati, S.T, M.KL Fransisca Susilastuti, S.KM, M.P
Sub – Koordinator Sub – Koordinator Sub Koordinator
Teknologi Pengendalian Penyakit Lingkungan Fisik dan Kimia Advokasi Kejadian Luar Biasa

dr. Zahrotunnisa, M. Biotech Yeni Puji Lestari S.Si, M. Ked. Trop Dr. Yudied Agung Mirasa, S.KM, M.Kes
Sub – Koordinator Sub – Koordinator Sub - Koordinator
Teknologi Laboratorium Lingkungan Biologi Pengkajian dan Desiminasi

Kelompok Jabatan
INSTALASI Fungsional
11

a. Koordinator Tata Usaha


Bagian tata usaha mempunyai tugas melaksanakan penyusunan
program dan laporan, urusan keuangan, kepegawaian, dan umum.
Bagian tata usaha terdiri atas:
1) Sub Koordinator Program dan Lapangan
Penyiapan bahan penyusunan program, evaluasi dan laporan, serta
informasi.
2) Kepala Subbagian Administrasi Umum
Melakukan keuangan, kepegawaian, urusan tata usaha,
perlengkapan, dan rumah tangga.
b. Koordinator Surveilans Epidemiologi
Bidang Surveilans Epidemiologi mempunyai tugas melaksanakan
perencanaan dan evaluasi di bidang surveilans epidemiologi penyakit
menular dan penyakit tidak menular, advokasi dan fasilitas
kesiapsiagaan dan penanggulangan KLB, kajian dan diseminasi
informasi, kesehatan lingkungan, kesehatan matra, kemitraan, dan
jejaring kerja, serta pendidikan dan pelatihan bidang surveilans
epidemiologi.
Bidang Surveilans Epidemiologi terdiri atas:
1) Sub Koordinator Advokasi Kejadian Luar Biasa
Melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi dan koordinasi
pelaksanaan advokasi, dan fasilitasi kejadian luar biasa, serta
wabah dan bencana.
2) Sub Koordinator Pengkajian dan Diseminasi
Melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi dan koordinasi
kajian, pengembangan dan diseminasi informasi, serta pendidikan
dan pelatihan bidang surveilans epidemiologi.
c. Koordinator Pengembangan Teknologi dan Laboratorium (PTL)
Bidang Pengembangan Teknologi dan Laboratorium mempunyai tugas
melaksanakan perencanaan dan evaluasi, pengembangan dan
penapisan teknologi dan laboratorium, kemitraan dan jejaring kerja,
kesehatan lingkungan, kesehatan matra serta pendidikan dan pelatihan
12

bidang pengembangan teknologi dan laboratorium pengendalian


penyakit, kesehatan lingkungan dan kesehatan matra.
Bidang Pengembangan Teknologi dan Laboratorium terdiri dari:
1) Sub Koordinator Teknologi Pengendalian Penyakit
Melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi dan
koordinasi pelaksanaan pengembangan dan penapisan teknologi,
serta pendidikan dan pelatihan di bidang pengendalian penyakit,
kesehatan lingkungan dan kesehatan matra.
2) Sub Koordinator Teknologi Laboratorium
Melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi dan
koordinasi pelaksanaan pengembangan teknologi laboratorium,
pendidikan dan pelatihan di bidang pengendalian penyakit,
kesehatan lingkungan dan kesehatan matra.
d. Koordinator Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan (ADKL)
Bidang Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan mempunyai tugas
melaksanakan perencanaan dan evaluasi pelaksanaan analisis dampak
lingkungan fisik dan kimia, serta dampak lingkungan biologi, dan
pendidikan dan pelatihan di bidang pengendalian penyakit, kesehatan
lingkungan, dan kesehatan matra.
Bidang Analisis Dampak Kesehatan Lingkungan terdiri atas:
1) Sub Koordinator Lingkungan Fisik dan Kimia
Melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi, dan
koordinasi pelaksanaan analisis dampat lingkungan fisik dan
kimia di bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan,
dan kesehatan matra.
2) Sub Koordinator Lingkungan Biologi
Melakukan penyiapan bahan perencanaan, evaluasi, dan
koordinasi pelaksanaan analisis dampak lingkungan biologi di
bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan.
e. Instalasi
Berdasarkan Keputusan Kepala Balai Besar teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian penyakit Surabaya Nomor:
13

HK.02.03/1./859/2020 tentang Penataan Penempatan Sumberdaya


manusia di Lingkungan Balai Besar Teknik kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabaya.
1) Instalasi Laboratorium Faktor Risiko Lingkungan
a) Unit Laboratorium Fisika, Kimia Media Air dan Air Limbah
b) Unit Laboratorium Kimia Fisika Padatan dan Biomarker
c) Unit Laboratorium Fisika Udara
d) Unit Laboratorium Biologi Lingkungan
2) Instalasi Laboratorium Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
3) Instalasi Laboratorium Virologi dan Imunologi
4) Instalasi Laboratorium Mikrobiologi
5) Instalasi Laboratorium Parasitologi
6) Instalasi Laboratorium Teknologi Tepat Guna
7) Instalasi Uji Resistensi dan Efektifitas
8) Instalasi Mutu, Pemeliharaan, dan Kalibrasi
9) Instalasi Media, Reagensia, Limbah, dan Kesehatan Keselamatan
Kerja (K3)
a) Unit Laboratorium Media dan Reagensia
b) Unit Pengelolaan Limbah serta Kesehatan dan Keselamatan
Kerja
10) Instalasi Pelayanan Publik dan Hubungan Masyarakat
a) Unit Pelayanan Publik
b) Unit Hubungan Masyarakat
11) Instalasi Laboratorium Intervensi Perubahan Perilaku.

B. Pelaksanaan Magang
Pelaksanaan magang selama 4 minggu (09 Maret–06 April 2022) di Balai
Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya,
sebagai berikut:
14

Tabel 3. 1 Pelaksanaan Magang

Tanggal Kegiatan
Minggu ke-1
09 Maret Swab di BBTKLPP Surabaya
10 Maret Pembekalan Magang
Mengikuti seminar yang dilaksanakan BBTKLPP Ciloto
dan membuat artikel mengenai materi yang disampaikan

11 Maret Sharing tentang BBTKLPP dan materi tentang KLB


dengan bu siska
Minggu ke-2
14 Maret Diskusi mengenai skripsi dengan bapak yudied
15 Maret Notulensi penguatan dan pencegahan KLB DBD di Sumba
Barat Daya.
Input data Kartu Menuju Sehat Faktor Risiko PTM pada
pegawai di BBTKLPP Surabaya
16 Maret 2022 Cleaning dan analisis data Kartu menuju Sehat Faktor
Risiko PTM pada pegawai di BBTKLPP Surabaya
17 Maret 2022 Seminar Kusta dan Frambusia
18 Maret 2022 Kegiatan lapangan untuk pengambilan sampel darah dan
pinjal pada tikus sebagai pencegahan penyakit PES di
daerah Puskesmas Sumberpitu dan Laboratorium
Nongkojajar, Pasuruan
Minggu ke-3
21 Maret 2022 Diskusi tentang prioritas penyakit, penyakit yang
berpotensi KLB, program P2P
22 Maret 2022 Diskusi tentang Teknologi Tepat Guna (TTG) dan materi
terkait epidemiologi
23 Maret 2022 Review materi TTG dan epidemiologi
24 Maret 2022 Diskusi mengenai Filariasis
25 Maret 2022 Diskusi mengenai PES serta konsultasi laporan
Pelatihan tentang Biosafety dan Biosecurity
Minggu ke-4
28 Maret 2022 Diskusi mengenai Yellow Fever, Japanese Enchepalitis,
dan Chikungunya
29 Maret 2022 Menyusun Laporan kelompok
30 Maret 2022 Diskusi mengenai filariasis
31 Maret 2022 Menyusun laporan kelompok
01 April 2022 Menyusun Laporan Magang
Minggu ke-5
04 April 2022 Menyusun Laporan Magang
05 April 2022 Konsultasi laporan magang dengan Pembimbing Lapangan
06 April 2022 Menyusun Laporan Magang
15

Kegiatan Magang dilakukan selama 1 bulan, Minggu Ke-1 pada Tangal 9 Maret
dilakukan pemeriksaan dengan melakukan Test PCR. Tanggal 10 Maret
dilakukukan pembekalan magang yang menjelaskan peraturan saat magang dan
kewajiban serta penempatan pada bidang Surveilans Epidemiologi juga dilakukan
review untuk seminar CILOTO yang kami lakukan tentang Strategi pemerintah
menghadapi perkembangan varian covid-19, tren dan kebijakan global
mengghadapi pandemi covid-19, kesiapan masyarakat dan tenaga kesehatan
dalam menghadapi endemic covid-19, dan juga transisi pandemi menuju endemic
covid-19. Tanggal 11 Maret dilakukan diskusi tentang BBTKLPP Surabaya
dimana dalam diskusi dibahas struktur organisasi di BBTKLPP Surabaya, Tugas
BBTKLPP Surabaya, dan Bagian yang ada di dalam BBTKLPP Surabaya dan
juga diskusi tentang KLB DBD apa saja yang harus disiapkan dan dibutuhkan saat
terjadi KLB DBD.
Kegiatan yang dilakukan pada Minggu Ke-2 Tanggal 15 Notulensi
penguatan dan pencegahan KLB DBD di Sumba Barat Daya yang sasarannya
adalah petugas puskesmas dimana terdapat kendala yaitu masalah surveilans
(SKDR) sehingga dinas Provinsi tidak dapat menganalisa masalah dengan cepat,
dilakukan juga kegiatan Input data Kartu Menuju Sehat Faktor Risiko PTM pada
pegawai di BBTKLPP Surabaya. Tanggal 16 Maret melakukan Cleaning dan
analisis data Kartu menuju Sehat Faktor Risiko PTM pada pegawai di BBTKLPP
Surabaya yang menunjukkan hasil status gula darah pegarai BBTKLPP Surabaya
79% dengan gula darah normal, 19% mengalami prediabetes, dan 2% mengalami
diabetes. Status pemeriksaan kolesterol pada pegawai BBTKLPP Surabaya
menunjukkan 49% dengan kolesterol tinggi, 39% kolesterol normal, 12% dengan
kolesterol rendah. Sedangkan status pemerikasaan asam urat menunjukkan 59%
dengan asam urat normal, 41% dengan kondisi asam urat yang tinggi. Tanggal 19
Maret melakukan Kegiatan lapangan untuk pengambilan sampel darah dan pinjal
pada tikus sebagai pencegahan penyakit PES di daerah Puskesmas Sumberpitu
dan Laboratorium Nongkojajar, Pasuruan.
Kegiatan yang dilakukan pada Minggu Ke-3 Tanggal 21 Maret 2022
diskusi mengenai penyakit yang berpotensi KLB yaitu ada penyakit malaria,
keracunan makanan, chikungunya, leptospirosis, dan DBD. program terkait
16

pencegahan dan pengendalian penyakit di BBTKLPP Surabaya disebut dengan


Teknologi Tepat Guna (TTG). Tanggal 22 Maret Diskusi tentang Teknologi Tepat
Guna (TTG) dimana dalam menyelesaikan masalah kesehatan terdapat beberapa
alat yang dikembangkan oleh BBTKLPP Surabaya dan sudah dipatenkan yaitu
pemeriksaan nitrit, ovitrap, padalpin (pipa pengendali pinjal), penyaring udara
personal untuk menghasilkan udara bersih saat darurat misalnya saat erupsi
gunung dan juga alat-alat yang lain antara lain postable clorine, ICASS (Insect
Control Air Sistem Sofyang), pemeriksaan Boraks dan formalin pada makanan,
juaga menjelaskan materi terkait epidemiologi yang harus diketahui melalui sudut
pandang epidemiologi yaitu mengetahui host, agent, cara penularan, dan
bagaimana cara masuknya penyakit itu dalam tubuh. Tanggal 23 Maret Review
materi TTG dan epidemiologi dan menanyakan kembali masalah tentang
Teknologi tepat guna yang belum jelas.
Pada Tanggal 24 Maret Diskusi mengenai Filariasis tentang kasus filariasis
dan program eliminasi. Situasi filariasis di Indonesia sampai Desember 2021, dari
514 kab/kota terdapat 236 kab/kota merupakan daerah yang dinyatakan endemis
filariasis. Dari 236 kab/kota tersebut 204 kab/kota telah melaksanakan POPM
filariasis selama 5 tahun, sedangkan 32 kab/kota masih melaksanakan filariasis.
Dalam tahapan eliminasi perlu melalui survei darah jari yang dilakukan pada saat
survei endemisitas, midterm, pre-TAS, dan survei TAS. Tanggal 25 Maret Diskusi
mengenai PES bagaimana cara menghitung trap, dan program terkait pes yaitu
PWS pemantauan wilayah setempat yakni terdapat wilayah fokus dan wilayah
terancam. Namun, pada tahun 2019 daerah Kabupaten Pasuruan dinyatakan low
risk dan terlokalisir dan untuk PWS diganti menjadi daerah pengamatan.
Pelatihan tentang Biosafety dan Biosecurity tentang Keselamatan kerja di
laboratorium dan bagaimana mengupayakan keselamatan petugas di laboratorium
meliputi alat-alat yang harus ada di dalam laboratorium, begaimana memisahkan
limbah laboratorim utamanya bahan B3.
Kegiatan yang dilakukan pada Minggu Ke-4 Tanggal 28 Maret Diskusi
mengenai Yellow Fever, Japanese Enchepalitis, dan Chikungunya bagaimana
gejala klinis, menentuan kasus, saat terjadi KLB, cara pengobatan, faktor risiko,
serta cara penularan dan program kesehatannya. Tanggal 29 mulai menyusun
17

laporan kelompok bagian BAB 1. Tanggal 30 Maret melakukan diskusi mengenai


filariasis terkait wilayah yang menjadi lokus di BBTKLPP Surabaya dan
diagnosis masalah berdasarkan pendekatan sistem. Tanggal 31 Maret menyusun
laporan magang BAB 2. Tanggal 1 April menyusun laporan magang BAB 3.
Kegiatan yang dilakukan pada Minggu Ke-5 Tanggal 04 April sampai 06 April
2022 menyusun laporan dan konsultasi laporan magang dengan Pembimbing
Lapangan.
BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Struktur organisasi di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabayadipimpin oleh kepala BBTKLPP
Surabaya yang dibawahnya terdapat Kepala Subbagian administrasi
dan umum, Koordinator Bidang, Wakil Koordinator Bidang, Sub
Koordinator Bidang, Instalasi, dan Kelompok Jabatan Fungsional.
Prosedur kerja di BBTKLPP Surabaya hari senin-kamis dimulai pukul
07.30-16.00 WIB dan hari jum’at dimulai pukul 07.30-16.30 WIB.
2. Identifikasi dan menganalisis data kesehatan dengan turun dilapangan
pengumpulan data sekunder dengan melihat data laporan kesehatan di
BBTKLPP Surabaya.
3. Mahasiswa melakukan perencanaan program dalam pencegahan dan
pengendalian penyakit menular melalui vektor hewan dengan melihat
studi kasus kemudian mengusulkan alternatif pemecahan masalah.
4. Analisis situasi permasalahan penyakit menular melalui vektor hewan
dengan melihat kegiatan-kegiatan upaya pengendalian penyakit
menular dengan metode USG (Urgency, Seriousness, Growth) dan
alternatif pemecahan masalah penyakit menular dengan melihat
permasalahan yang diambil maka mahasiswa mengusulkan
program/kebijakan.
5. Mahasiswa mengambil studi kasus dalam pengendalian penyakit
menular melalui vektor hewan untuk penanggulangan penyakit yang
ada di BBTKLPP Surabaya.
6. Pelaksanaan kegiatan magang dilaksanakan berdasarkan peminatan
mahasiswa program studi S1 Kesehatan Masyarakat yaitu peminatan
Epidemiologi.
7. Kegiatan yang dilaksanakan selama kegiatan magang di BBTKLPP
Surabaya meliputi kegiatan dalam gedung dan diluar gedung. Kegiatan
dalam gedung seperti mempelajari tentang penyakit yang berpotensi

18
19

KLB, penguatan dan pencegahan KLB DBD di Sumba Barat Daya,


diskusi tentang prioritas penyakit, teknologi tepat guna, filariasis, pes,
yellow fever, Japanese encephalitis, dan chikungunya. Sedangkan
kegiatan magang di luar gedung seperti pengambilan trapping,
melakukan pengambilan sampel darah, melakukan penyisiran untuk
mengambil pinjal, melakukan pengukuran dan pencatatan hasil tikus
yang didapatkan.
8. Metode pelaksanaan magang dilakukan dengan dua metode yaitu
observasi dan partisipatif. Metode observasi dilakukan dengan
pengamatan yang ada di BBTKLPP Surabaya, sedangkan metode
partisipatif dilakukan dengan mengikuti kegiatan yang diselenggarakan
oleh BBTKLPP Surabaya
B. Saran
Pencegahan dan pengendalian penyakit di wilayah layanan BBTKLPP
Surabaya menunjukkan adanya peningkatan dengan melakukan kolaborasi,
koordinasi, dan integrasi kegiatan dengan dinas kesehatan dan dinas lainnya.
Kolaborasi dapat dilakukan dari segi kegiatan, tenaga, maupun pembiayaan dan
diharapkan sebagai upaya pencegahan terutama pada penyakit yang berpotensi
KLB seperti: malaria, keracunan makanan, chikungunya, leptospirosis, dan DBD.
DAFTAR PUSTAKA

btklsby, 2021. Instalasi. [Online] Available at:


https://btklsby.go.id/main/profil/9/instalasi [Accessed 11 April 2022].

btklsby, 2021. profil. [Online] Available at:


https://btklsby.go.id/main/profil/3/profil [Accessed 11 April 2022].

btklsby, 2021. Sejarah. [Online] Available at:


https://btklsby.go.id/main/profil/7/sejarah [Accessed 11 April 2022].

btklsby, 2021. Struktur Organisasi. [Online] Available at:


https://btklsby.go.id/main/profil/8/struktur-organisasi [Accessed 11 April
2022].

btklsby, 2021. Tugas Pokok dan Fungsi. [Online] Available at:


https://btklsby.go.id/main/profil/5/tugas-pokok-dan-fungsi [Accessed 11
April 2022].

btklsby, 2021. Visi dan Misi. [Online] Available at:


https://btklsby.go.id/main/profil/4/visi-dan-misi [Accessed 11 April 2022].

20
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Magang

21
22

Lampiran 2. Surat Balasan Permohonan Ijin Magang


23

Lampiran 3. Implementation Arrangement


24

Lampiran 4. Absensi Magang


25
26
27
28
29
30

Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kinerja Mahasiswa Magang


Nama : Vitari Elika
NIM : 2130018001
Tempat Magang : Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit (BBTKLPP) Surabaya
31
32

Nama : Nadila Imania Awanda


NIM : 2130018010
Tempat Magang : Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit (BBTKLPP) Surabaya
33
34

Nama : Jihan Aulia


NIM : 2130018052
Tempat Magang : Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit (BBTKLPP) Surabaya
35
36

Lampiran 6. Dokumentasi Magang


LAPORAN PELAKSANAAN MAGANG

DI BALAI BESAR TEKNIK KESEHATAN LINGKUNGAN DAN


PENGENDALIAN PENYAKIT (BBTKLPP) SURABAYA

GAMBARAN PELAKSANAAN SURVERILANS LEPTOSPIROSIS


DI PROBOLINGGO
TAHUN 2021

OLEH:
VITARI ELIKA
NIM. 2130018001

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat karunia dan hidayahNya
sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pelaksanaan magang ini dengan
tepat waktu dengan judul “Gambaran Pelaksanaan Pengujian Laptosperisis dan
Surveilans Leptospirosis di Probolinggo Tahun 2021/2022”. Dalam penulisan
laporan pelaksanaan magang ini tentunya penulis tidak berjalan sendiri melainkan
juga banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh Karena itu penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M. Eng, selaku Rektor Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya.
2. Prof. S. P. Edijanto, dr, Sp.PK (K), selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
3. Dwi Handayani, S.KM., M. Epid, selaku Ketua Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan
selama persiapan, pelaksanaan hingga pelaporan kegiatan.
4. Bapak Abdul Hakim Zakkiy Fasya, S.KM., M.KL, selaku Koordinator
Lapangan Magang Tahun 2022.
5. Bapak Dr. Rosidi Roslan, S.KM,S.H, M.PH, M.H, selaku Kepala Balai
Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
6. Bapak Dr. Yudied Agung Mirasa, S.KM., M.Kes, Selaku Dosen
Pembimbing magang di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabaya.
7. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat kami sebutkan satu
persatu.
Semoga dengan hadirnya laporan magang ini diharapkan mampu menjadi
tambahan wawasan informasi khususnya bagi Mahasiswa S1 Kesehatan
Masyarakat dan umumnya bagi masyarakat.

Surabaya, 5 April 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... 1


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ v
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG ............................................. vi
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan Magang .................................................................................... 3
C. Manfaat Magang .................................................................................. 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 5
A. Definisi Kasus...................................................................................... 5
B. Sumber dan Cara Penularan ................................................................. 5
C. Faktor Risiko ....................................................................................... 6
D. Kriteria dan Gejala ............................................................................... 7
E. Pengobatan .......................................................................................... 9
F. Epidemiologi ....................................................................................... 9
G. Kejadian Luar Biasa ........................................................................... 10
H. Sistem Kewaspadaan Dini KLB ......................................................... 11
BAB 3 METODE KEGIATAN MAGANG ....................................................... 13
A. Lokasi Magang .................................................................................. 13
B. Waktu Magang .................................................................................. 13
C. Metode Pelaksana Kegiatan Pelaksanaan ........................................... 13
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 14
BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN KASUS ................................................. 15
A. Gambaran Kegiatan Magang .............................................................. 15
B. Gambaran Kasus/Masalah .................................................................. 16
Gambaran Surveilans Sentinel Leptospirosis di Probolinggo yang dilakukan
oleh BBTKLPP Surabaya. ......................................................................... 16
C. Diagnosis Masalah Melalui Pendekatan Sistem .................................. 20
D. Prioritas Masalah ............................................................................... 22
E. Alternatif Pemecahan Masalah Prioritas ............................................. 23
F. Pembahasan dan Usulan Program/Kebijakan ...................................... 24
BAB 5 PENUTUP ............................................................................................. 25
A. Kesimpulan ........................................................................................ 25
B. Saran.................................................................................................. 26
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 27
LAMPIRAN ...................................................................................................... 31
Lampiran 2. Surat Balasan Permohonana Ijin Magang....................................... 32

iii
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 4.1 Distribusi kasus leptospirosis menurut jenis umur 19
Tahun 2022
Tabel 4.2 Lokasi Surveilans Sentinel Tikus dan Jenis Tikus 19
Tahun 2021
Tabel 4.3 Success Trap dan IPU Tahun 2021 20
Tabel 4.4 Identifikasi Masalah Surveilans Leptospirosis di 23
Probolinggo

iv
DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Lampiran Halaman


Lampiran 1. Surat Permohonan Ijin Magang........................... 29
Lampiran 2. Surat Balasan Permohonana Ijin Magang........... 30
Lampiran 3. Implementation Arrangement............................. 31
Lampiran 4. Absensi Selama Magang di BBTKLPP 32
Surabaya..............................................................
Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kinerja Mahasiswa 34
Magang...............................................................
Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan........................................ 36

v
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

A. Daftar Singkatan
KLB : Kejadian Luar Biasa
Ditjen PPM dan PL : Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit
SKD : Sistem kewaspadaan dini
WHO : World Health Organization
MAT : Microscopic Agglutination Test
Rdt : Rapid Diagnostic Test

B. Daftar Lambang
. : Titik
, : Koma
: : Titik Dua
% : Persentase
() : Dalam Kurung

C. Daftar Istilah
Leptospirosis : Penyakit yang disebabkan oleh bakteri Leptospira.
Leptospira : Bakteri yang menyebabkan Leptospirosis
Rodent : Hewan pengerat
Reservoar : Posulasi atau lingkungan yang ditempati patogen
untuk hidup

vi
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira dari famili Trepanometaceae dan ordo Spirochatales (Ramadhani, et al.,
2015). Sumber penyakit leptospirosis adalah hewan pengerat, babi, sapi, kambing,
domba, kuda, anjing, kucing, serangga, burung dan insektivora. Di Indonesia, tikus
merupakan sumber utama penularan. Leptospirosis ditularkan dari hewan ke
manusia melalui urin hewan yang terinfeksi, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung manusia dengan hewan
yang terinfeksi melalui darah, urin, atau cairan tubuh lainnya yang masuk ke dalam
tubuh inang. Sedangkan kontak tidak langsung dapat terjadi melalui genangan air,
sungai, danau, selokan, tanah (lumpur), dan tanaman yang telah terkontaminasi urin
hewan penderita leptospirosis (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017).
Penularan ke manusia kemungkinan terjadi melalui paparan di tempat
kerja, rekreasi atau hobi, dan bencana alam yang berhubungan dengan bakteri
Leptospiracarrier. Bakteri Leptospira dapat masuk ke dalam tubuh melalui
permukaan kulit tangan atau kaki yang terluka dan selaput lendir (mukosa) mata,
hidung, atau telinga (R & Budiyono, 2016). Kasus leptospirosis umum terjadi di
seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan iklim tropis dan subtropis dengan
curah hujan tinggi (Prihantoro & Siwiendrayanti, 2017). Banjir yang masih sering
dijumpai di Indonesia berpotensi menularkan urin tikus ke dalam tubuh manusia.
Air yang tergenang memudahkan air seni tikus hanyut dan akhirnya sampai ke
manusia. Bencana banjir yang mengakibatkan sanitasi yang buruk, sampah yang
tidak dikelola dengan baik, dan kondisi lingkungan yang berantakan,
memungkinkan bakteri Leptospirato hidup dan berkembang biak, serta menginfeksi
seseorang.
Dari tahun 2015 hingga 2019 terjadi fluktuasi jumlah kasus leptospirosis
di Indonesia. Terdapat 366 kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 17,76%
pada tahun 2015. Kemudian jumlah kasus meningkat pada tahun 2016, kemudian
pada tahun 2017 jumlah kasus menurun, jumlah kasus meningkat lagi pada tahun

1
2

2018, dan terus meningkat pada tahun 2019 menjadi 920 kasus. kasus dengan CFR
13,26% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020). Kasus Leptospirosis
selamaperiode 2015 hingga 2019 mencapai puncaknya pada tahun 2019. Namun,
CFR pada tahun 2019 mengalami penurunan sebesar 3,29% dari tahun sebelumnya.
Enam dari sembilan provinsi yang melaporkan kasus leptospirosis pada 2019
mengalami peningkatan kasus terkonfirmasi. Keenam provinsi tersebut adalah DKI
Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Kalimantan Utara, dan Sulawesi
Selatan. Kasus Leptospirosis di Jawa Timur meningkat 19 kasus dari tahun
sebelumnya. Provinsi Jawa Timur menempati posisi ketiga dengan jumlah kasus
leptospirosis tertinggi di Indonesia pada tahun 2017-2019 setelah Jawa Tengah dan
DI Yogyakarta.
Kabupaten Probolinggo merupakan salah satu kabupaten/kota di Jawa
Timur yang terkena penyakit leptospirosis. Pada 2018, 10 kasus leptospirosis
terkonfirmasi, 1 di antaranya meninggal (CFR 10%). Pada tahun 2019 masih
terdapat 10 kasus leptospirosis namun jumlah kematian meningkat menjadi 2 (CFR
20%) (Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo, 2019). Hingga 20 Januari 2020,
terdapat 4 kasus leptospirosis dengan 2 kematian (CFR 50%). Faktor risiko umum
penderita leptospirosis antara lain kondisi yang melekat pada individu dan aktivitas
sehari-hari (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017). Kondisi yang
melekat pada individu terdiri dari usia, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan.
Aktivitas sehari-hari berkaitan dengan kebiasaan dan kondisi lingkungan tempat
tinggal penderita, seperti kebiasaan beraktivitas di tempat berair, tidak merawat
luka dengan baik, tidak menggunakan alas kaki dan sarung tangan, keberadaan
sampah di dalam rumah, keberadaan tikus di dalam rumah, keberadaan hewan
peliharaan, kawasan rawan banjir, tanah tergenang air, kawasan kumuh, dan
selokan tergenang. Informasi yang diberikan oleh dinas kesehatan mengenai
karakteristik, perilaku, dan kondisi lingkungan tempat tinggal penderita
leptospirosis akan sangat berguna sebagai dasar pencegahan Leptospirosis dan
program pengendalian bagi masyarakat. Sektor lain juga dapat bekerja sama untuk
mengurangi faktor risiko, seperti banjir dan keberadaan tikus.
Hingga saat ini kegiatan pemantauan diwilayah setempat masih rutin
dilaksanakan dalam rangka sistem kewaspadaan dini, mulai dari survei rodent,
3

survei human, penguatan laboratorium maupun usaha pengendalian leptospirosis.


Laporan ini bertujuan untuk memberikan gambaran kasus leptospirosis di
Probolinggo dimana Probolinggo sebagai tempat sentinel survey laptospirosis.

B. Tujuan Magang
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pengujian leptospirosis dan seuveilans di wilayah
layanan kerja Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit Surabaya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran kegiatan magang di wilayah Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
b. Menggambarkan pengujian leptospirosis di wilayah layanan Balai
Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Surabaya.
c. Mendiagnosis masalah pada pelaksanan surveilans leptospirosis
melalui pendekatan sistem di wilayah layanan Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
d. Menyusun prioritas masalah pengujian leptospirosis dan surveilans di
wilayah layanan Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabaya.
e. Menyusun alternatif pemecahan masalah pengujian leptospirosis dan
surveilans di wilayah layanan Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.

C. Manfaat Magang
1. Bagi peserta magang
a. Menambah ilmu pengetahuan di bidang Kesehatan terutama yang
berkaitan dengan kejadian pes yang diperlukan oleh sarjana Kesehatan
Masyarakat terutama bagi peminatan Epidemiologi
4

b. Menambah wawasan dan pengalaman kondisi kerja secara nyata di


Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Surabaya.
c. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa dalam
mengimplementasikan teori-teori yang diperoleh ke dalam dunia
kerjaBagi Instansi.
2. Bagi instansi
a. Menjalin kerja sama antara kampus UNUSA dengan Balai Besar
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya
dalam kaitannya meningkatkan sumberdaya manusia.
b. Mendapatkan umpan balik antara mahasiswa dengan pihak Balai Besar
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
3. Bagi program studi
a. Menjalin hubungan kerja sama dunia akademis dan dunia kerja antara
program studi kesehatan masyarakat fakultas kesehatan universitas
nahdlatul ulama surabaya dengan pihak Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
b. Meningkatkan kualitas pendidikan dan melibatkan tenaga keterampilan
dan tenaga lapangan dalam kegiatan magang.
c. Memperoleh masukan yang positif untuk dapat ditetapkan dalam
program magang selanjutnya.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kasus
Leptospirosis adalah penyakit zoonosis akut disebabkan oleh bakteri
Leptospira dengan spektrum penyakit yang luas dan dapat menyebabkan kematian.
Leptospira yang sudah masuk ke dalam tubuh dapat berkembang dan
memperbanyak diri serta menyebar ke organ tubuh. Setelah dijumpai leptospira di
dalam darah (fase leptospiremia) akan menyebabkan terjadinya kerusakan endotel
kapiler (vasculitis) dengan Masa inkubasi Leptospirosis antara 2 - 30 hari, biasanya
rata - rata 7 - 10 hari.

B. Sumber dan Cara Penularan


Risiko manusia terinfeksi tergantung pada paparan terhadap faktor risiko.
Beberapa manusia memiliki risiko tinggi terpapar Leptospirosis karena
pekerjaannya, lingkungan dimana mereka tinggal atau gaya hidup. Kelompok
pekerjaan utama yang berisiko yaitu petani atau pekerja perkebunan, petugas
petshop, peternak, petugas pembersih saluran air, pekerja pemotongan hewan,
pengolah daging dan militer. Kelompok lain yang memiliki risiko tinggi terinfeksi
Leptospirosis yaitu bencana alam seperti banjir dan peningkatan jumlah manusia
yang melakukan olahraga rekreasi air. Manusia dapat terinfeksi Leptospirosis
karena kontak secara langsung atau tidak langsung dengan urine hewan yang
terinfeksi Leptospira.
1. Penularan Langsung:
a) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
Leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu.
b) Dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat pekerjaan, terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani organ tubuh hewan misalnya
pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan
peliharaannya.

5
6

c) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui


hubungan seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita
Leptospirosis ke janin melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
2. Penularan tidak langsung
Terjadi melalui genangan air, sungai, danau, selokan saluran air dan lumpur
yang tercemar urin hewan.
Masyarakat Internasonal Pemerhati Leptospirosis (International Leptospirosis
Society/ILS) menyatakan bahwa Indonesia sebagai negara dengan insiden
Leptospirosis yang tinggi. Dari hasil ritshus vektora Leptospirosis ada di 29
provinsi yang berkaitan dengan keberadaan binatang tikus (Rodent) sebagai
reservoir utama disamping binatang penular lain seperti anjing, kucing, sapi dan
lain-lain, serta lingkungan sebagai faktor resiko. Sedangkan provinsi yang sudah
melaporkan kasus leptospirosis pada manusia sejumlah 11 provinsi yaitu Banten,
DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Kalimantan Utara
(2019), Maluku (2018), Sulawesi Selatan (2019), Kalimantan Selatan (2014),
Sumatera Selatan ( 2018), Laporan insidens lepotospirosis sangat dipengaruhi oleh
tersedianya perangkat laboratorium diagnostik, indeks kecurigaan klinik dan
insidens penyakit itu sendiri. Penularan pada manusia terjadi melalui paparan
pekerjaan, rekreasi atau hobi dan bencana alam. Kontak langsung manusia dengan
hewan terinfeksi di areal pertanian, peternakan, tempat pemotongan hewan, petugas
laboratorium yang menangani tikus, pengawasan hewan pengerat. Sedangkan
kontak tidak langsung penting bagi pekerja pembersih selokan, buruh tambang,
prajurit, pembersih septictank, peternakan ikan, pengawas binatang buruan, pekerja
kanal, petani kebun dan pemotongan gula tebu. Penyakit ini sifatnya musiman. Di
negara beriklim sedang puncak kasus cenderung terjadi pada musim panas dan
musim gugur karena temperatur. Sementara pada negara tropis insidens tertinggi
terjadi selama musim hujan.

C. Faktor Risiko
Leptospirosis Faktor risiko leptospirosis ini sangat bervariasi, tergantung
dari faktor sosial budaya, pekerjaan, perilaku dan lingkungan. Beberapa pekerjaan
yang sangat berisiko untuk terkena leptospirosis adalah pekerjaan yang berkaitan
7

dengan pertanian, peternakan, pekerja kebun, pekerja tambang/selokan, pekerja


rumah potong hewan, pemburu dan tentara. Pekerjaan ini risikonya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan pekerjaan yang lain. Selain itu, pekerjaan sebagai buruh juga
berisiko terkena leptospirosis. Aktivitas rekreasi di tempat yang berair dan
melakukan perjalanan ke wilayah endemis juga merupakan faktor risiko kejadian
leptospirosis.Lingkungan yang berlumpur berupa area persawahan menjadi faktor
risiko kejadian leptospirosis. Lingkungan yang dekat dengan garis pantai juga
berisiko leptospirosis. Selain itu juga daerah rawan banjir, perkebunan dan
peternakan

D. Kriteria dan Gejala


Ada 3 (tiga) kriteria yang ditetapkan dalam mendefinisikan kasus
Leptospirosis yaitu:
1. Kasus Suspek, Demam akut dengan atau tanpa sakit kepala disertai :
a. Nyeri otot
b. Lemah (Malaise) dengan atau tanpa,
c. Conjungtival suffusion (mata merah tanpa eksudat) DAN
2. Ada riwayat terpapar lingkungan yang terkontaminasi atau aktifitas
yang merupakan faktor risiko Leptospirosis dalam 2 minggu
sebelumnya :
a. Kontak dengan air yang terkontaminasi kuman Leptospira/ urine
tikus saat terjadi banjir.
b. Kontak dengan sungai, danau dalam aktifitas mencuci, mandi
berkaitan pekerjaan seperti tukang perahu, rakit bambu dll.
c. Kontak di persawahan atau perkebunan berkaitan dengan pekerjaan
sebagai petani/pekerja perkebunan yang tidak mengunakan alas kaki.
d. Kontak erat dengan binatang lain seperti babi, sapi, kambing, anjing
yang dinyatakan secara Laboratorium terinfeksi Leptospira.
e. Terpapar seperti menyentuh hewan mati, kontak dengan cairan
infeksius saat hewan berkemih, menyentuh bahan lain seperti
placenta, cairan amnion, menangani ternak seperti memerah susu,
menolong hewan melahirkan, dll.
8

f. Memegang atau menangani spesimen hewan/manusia yang diduga


terinfeksi Leptospirosis dalam suatu laboratorium atau tempat
lainnya.
g. Pekerjaan yang berkaitan dengan kontak dengan sumber infeksi
seperti dokter hewan, dokter, perawat, pekerja potong hewan, pekerja
petshop, petani, pekerja perkebunan, petugas kebersihan di rumah
sakit, pembersih selokan, pekerja tambang,pekerja tambak
udang/ikan air tawar, tentara, pemburu, tim penyelamat lingkungan
(SAR).
h. Kontak dengan sumber infeksi yang berkaitan dengan hobby dan olah
raga seperti pendaki gunung, trekking hutan, memancing, berenang,
arung jeram,trilomba juang (triathlon).
3. Kasus Probable
Kasus suspek dengan minimal 2 gejala/tanda klinis dibawah ini:
a. Nyeri betis
b. Ikterus
c. Oliguria/anuria
d. Manifestasi perdarahan
e. Sesak nafas
f. Aritmia jantung
g. Batuk dengan atau tanpa hemoptisis
h. Ruam kulit
‐ Kasus suspek dengan RDT (untuk mendeteksi IgM anti Leptospira)
positif, atau
‐ Kasus suspek dengan 3 dari gambaran laboratorium dibawah ini:
1) Trombositopenia <100 000 sel/mm
2) Lekositosis dengan neutropilia > 80%
3) Kenaikan bilirubin total > 2gr%, atau amilase atau CPK
4) Pemeriksaan urine proteinuria dan/atau hematuria
4. Kasus Konfirmasi
Kasus suspek atau kasus probable disertai salah satu dari berikut ini:
a. Isolasi bakteri Leptospira dari spesimen klinik
9

b. PCR positif
c. Sero konversi MAT dari negatif menjadi positif atau adanya kenaikan
titer 4x dari pemeriksaan awal
d. Titer MAT 320 (400) atau lebih pada pemeriksaan satu sampel.

E. Pengobatan
1. Untuk daerah endemis atau terjadi Kejadian Luar Biasa (KLB), pengobatan
dengan antibiotika yang sesuai dilakukan sejak kasus suspek ditegakkan
secara klinis.
2. Sedangkan untuk daerah bukan endemis dan KLB pengobatan dilakukan
setelah dinyatakan kasus probabel ditegakkan.

F. Epidemiologi
Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina,
Brasilia, Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat,
Indonesia, dan sebagainya. Di Indonesia sejak tahun 1936 telah dilaporkan
leptospirosis dengan mengisolasi serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun
hewan peliharaan. Secara klinis leptospirosis pada manusia telah dikenal sejak
tahun 1892 di Jakarta oleh Van der Scheer. Namun isolasi baru berhasil dilakukan
oleh Vervoort pada tahun 1922. Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia
dilaporkan Fresh, di Sumatera Selatan, Pulau Bangka serta beberapa rumah sakit di
Jakarta. Tahun 1986, juga dilaporkan hasil penyelidikan epidemiologi di Kuala
Cinaku Riau, ditemukan serovar pyrogenes, semaranga, rachmati,
icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica, ballum dan tarasovi. Pada tahun 2012 - 2016
kasus Leptospirosis dilaporkan di enam provinsi : DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Pada tahun 2012 terjadi penurunan kasus
tetapi meningkat angka kematiannya yaitu dilaporkan 239 kasus dengan 29
meninggal (CFR 12,13%). Tahun 2013 terjadi KLB di Kabupaten Sampang,
Malang dan meningkatnya kasus di Provinsi DKI Jakarta paska terjadi banjir besar.
Pada tahun tersebut terjadi 640 kasus dengan 60 kematian (CFR 9,38 %).
Sedangkan pada tahun 2014 terjadi 524 dengan 62 kematian (CFR 11, 27 %). Pada
tahun 2015 terjadi 264 kasus dengan 47 kematian (CFR 17,8%). Untuk tahun 2016
10

terjadi KLB Leptospirosis dibeberapa daerah termasuk Kab. Sampang yang


menyebakan peningkatan jumlah kasus yaitu 349 kasus dengan 50 kematian (CFR
14,33%) Tahun 2019 terjadi KLB di Kota Tarakan, Kalimantan Utara dan
peningkatan kasus di provinsi yang sudah endemis menyebabkan peningkatan
jumlah kasus yaitu 845 kasus dengan 125 kematian ( CFR 14, 8 %)Umumnya
menyerang petani, pekerja perkebunan, pelajar, pekerja tambang / selokan, pekerja
rumah potong hewan dan militer. Daerah yang rawan banjir, pasang surut dan areal
persawahan, perkebunan, peternakan memerlukan pengamatan intensif untuk
mengontrol kejadian Leptospirosis di masyarakat.

G. Kejadian Luar Biasa


Penanggulangan KLB leptospirosis ditujukan pada upaya penemuan dini
serta pengobatan penderita untuk mencegah kematian. Intervensi lingkungan untuk
mencegah munculnya sarang- sarang atau tempat persembunyaian tikus.
1. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan kasus dari rumah
sakit atau laporan puskesmas. Penyelidikan kasus Leptospirosis lain di sekitar
tempat tinggal penderita, tempat kerja, tempat jajan atau daerah banjir banjir
sekurang-kurangnya 200 meter dari lokasi banjir.
2. Penanggulangan
a) Penyediaan logistik di sarana kesehatan, koordinasi dengan pemangku
kepentingan dan sektor terkait, penemuan dini penderita dan pelayanan
pengobatan yang tepat di puskesmas dan rumah sakit melalui pengambilan
spesimen serum darah kasus probabel.
b) Lakukan pemeriksaan RDT,
c) Untuk diagnosa pasti (konfirmasi) kirim spesimen kasus Leptospirosis berat
ke laboratorium rujukan Nasional Leptospirosis (RSUP Dr. Kariadi) untuk
dilakukan pemeriksaan MAT.
d) Lakukan pengobatan terhadap pasien Leptospirosis ringan Doksisiklin
2x100 mg selama7 (tujuh) hari kecuali pada anak, ibu hamil, atau bila ada
kontraindikasi Doksisiklin
11

e) Lakukan pencegahan dengan memutuskan rantai penularan hewan /tanah


tercemar ke manusia
f) Rujuk pasien ke RS apabila diperlukan penanganan lebih lanjut.
g) Penyuluhan masyarakat tentang tanda-tanda penyakit, resiko kematian serta
tatacara pencarian pertolongan.
3. Upaya pencegahan terhadap penyakit Leptospirosis dengan cara sebagai berikut:
a) Melakukan kebersihan individu dan sanitasi lingkungan antara lain mencuci
kaki, tangan dan bagian tubuh lainnya setelah bekerja di sawah.
b) Pembersihan tempat penyimpanan air dan kolam renang.
c) Pendidikan kesehatan tentang bahaya, cara penularan penyakit dengan
melindungi pekerja beresiko tinggi dengan penggunaan sepatu bot dan
sarung tangan, vaksinasi terhadap hewan peliharaan dan hewan ternak.
d) Pemeliharaan hewan yang baik untuk menghindari urine hewan-hewan
tersebut terhadap masyarakat.
e) Sanitasi lingkungan dengan membersihkan tempat-tempat habitat sarang
tikus.
f) Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan.
4. Surveilans Ketat Pada KLB
a) Pengamatan perkembangan jumlah kasus dan kematian leptospirosis
menurut lokasi geografis dengan melakukan surveillans aktif berupa data
kunjungan berobat, baik register rawat jalan dan rawat inap dari unit
pelayanan termasuk laporan masyarakat yang kemudian disajikan dalam
bentuk grafik untuk melihat kecenderungan KLB.
b) Memantau perubahan faktor risiko lingkungan yang menyebabkan terjadinya
perubahan habitat rodent (banjir, kebakaran, tempat penampungan
pengungsi, daerah rawa dan gambut).

H. Sistem Kewaspadaan Dini KLB


1. Pemantauan kondisi rentan yang menyebabkan peningkatan kontaminasi
terhadap tanah atau air permukaan, seperti hujan, banjir, dan bencana
lainnya.
12

2. Pemantauan terhadap distribusi dan populasi rodent serta perubahan


habitatnya.
3. Pemantauan kolompok risiko lainnya, seperti petani, pekerja.
4. perkebunan, pekerja pertambangan dan selokan, pekerja rumah potong
hewan, dan militer.
BAB 3

METODE KEGIATAN MAGANG

A. Lokasi Magang
Lokasi kegiatan magang ini dilaksanakan di BBTKLPP Surabaya Jl.
Sidoluhur No.12 Kemayoran, Kecamatan Krembangan Kota Surabaya Provinsi
Jawa Timur.

B. Waktu Magang
Kegiatan magang dilakukan selama 5 minggu, dimulai pada 9 Maret 2022
sampai 6 April 2022. Waktu magang disesuaikan dengan jam kerja yang ada di
BBTKLPP Surabaya. Pada hari senin-kamis dimulai pukul 07.40- 16.00 WIB
dengan jam istirahat pukul 12.00-13.00. Hari jum’at dimulai pukul 07.40-16.30
WIB dengan istirahat dan sholat Jum’at 11.30-13.00.

C. Metode Pelaksana Kegiatan Pelaksanaan


Kegiatan magang di BBTKLPP Surabaya dilaksanakan dengan
menggunakan beberapa model yaitu:
1. Diskusi
Diskusi dilakukan berupa penjelasan dan pemberian masukan dari
pembimbing lapangan maupun dosen pembimbing magang, guna untuk
memperoleh gambaran secara jelas terkait kegiatan yang akan dilakukan
oleh BBTKLPP Surabaya.
2. Partisi aktif
Mengikuti kegiatan lapangan dalam surveilans dan detaksi dini dalam
pengendalian penyakit Pes untuk survei rodent dan pinjal guna
memperoleh gambaran dan praktik untuk pengaplikasian pengetahuan dan
program Pes
3. Studi dokumen
Berperan aktif dalam mengikuti kegiatan magang yang dilakukan oleh
BBTKLPP Surabaya dan mempelajari data sekunder yang ada di

13
14

BBTKLPP Surabaya untuk menunjang pembelajaran pada kegiatan


magang.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dan digunakan dalam laporan ini adalah
menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui artikel surveilans sentinel tikus
2021 Dit. P2PTVZ, data laporan kejadian dari sampel pasif yang dikirim berasal
dari Probolinggo pada bulan Januari sampai dengan Maret Tahun 2022, dan melalui
wawancara kepada pemegang program penyakit Leptospirosis.
BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN KASUS

A. Gambaran Kegiatan Magang


Pelaksanaan kegiatan magang yang dilakukan di BBTKLPP Surabaya yang
terletak di Jl. Sidoluhur No.12, Kemayoran Kecamatan Krembangan Kota Surabaya
Provinsi Jawa Timur Penulis menempuh pelaksanaan magang selama 5 minggu
terhitung sejak 9 Maret 2022-6 April 2022. Selama pelaksanaan kegiatan magang
di BBTKLPP Surabaya dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
1. Kegiatan magang dilaksanakan sesuai dengan jam kerja puskesmas,
dimulai pukul 07.30 WIB pada hari Senin-Jum’at
2. Selama kegiatan magang berlangsung, penulis diwajibkan memakai
pakaian rapi dan sopan.Perserta alat pelindung diri seperti masker
3. Mengikuti kegiatan diskusi di beberapa bidang yang tardapat di
BBTKLPP surabay antara Lain TTG (Teknologi Tepat Guna), ADKL
(Analisis Dampak Kualitas Lingkungan), Laboratorium Micro, dan
Laboratorium Udara, serta kegiatan Lapangan di Sumberpitu di
laboratorium Nongkojajar untuk Deteksi dini PES

15
16

B. Gambaran Kasus/Masalah
Gambaran Surveilans Sentinel Leptospirosis di Probolinggo yang dilakukan
oleh BBTKLPP Surabaya.

Berdasarkan diagram diatas menunjukkan bahwa setiap tahun kasus


Leptospirosis selalu terjadi tiap tahun di Probolinggo dengan jumlah kasus
terbanyak 13 kasus pada tahun 2020, walau jumlah kasusnya tidak banyak namun
harus tetap dilakuan surveilans untuk deteksi dini.
17

Berdasarkan diagram diatas dapat diketahui bahwa berdasarkan distribusi


menurut umur dari tahun 2017-2021. Kasus Leptospirosis banyak ditemukan pada
umur 20-59 tahun.
18

Berdasarkan data diatas informasi yang didapatkan dari distribusi kasus


leptospirosis berdasarkan pekerjaan bahwa petani 2 kasus, wirasawasta 2 kasus,
tidak bekerja 2 kasus, IRT 1 kasus, peternak 1 kasus, sopir 1 kasus.
19

Berdasarkan data di atas didapatkan informasi kasus leptospirosis


berdasarkan pecarian pengobatan 8 kasus dengan pencarian pengobatan di praktik
mandiri, dan 1 kasus dengan pencarian pengobatan di RS

Diagaram 4.1 Distribusi kasus leptospirosis Januari-Maret di Probolinggo

Hasi Uji Labotarorium

47.37
52.63

Positif Negatif

Berdasarkan diagram data kasus leptospirosis menunjukkan hasil uji dari


kasus leptospirosis yang diperiksa 47,37 % positif dan 52,63% negatif.
Tabel 4.2 Lokasi Surveilans Sentinel Tikus dan Jenis Tikus Tahun 2021
Presentase Jenis Tikus
Rattus Rattus Rattus Bandi Mus Mus
Lokasi
No tenezu norve argent cota muscu caroli
Surveilans
mi gicus ivente indica lus
r
1 Asahan 55 45
2 Kab. Serang 4 91 4
3 Bogor 55 20 22 3
4 Demak 78 21 2
5 Kab. Bantul 81 14 2 3
6 Probolinggo 88 4 8
7 Kab. Banjar 98 1 1
8 Tarakan 33 67
9 Enrekang 81 10 10
10 Ambon 49 19 31
Sumber: Surveilans sentinel tikus (Dit. P2PTVz, Kemenkes RI)
Berdasarkan data di atas didapatkan informasi jenis tikus yang paling
banyak tertangkap yaitu Rattus tenezumi, Rattus norvegicus, dan Bandicota indica.
Rattus tenezumi merupakan tikus domestik yang dijumpai pada atap rumah. Rattus
norvegicus sering ditemukan di area sanitasi yang kurang dan sumber makanan
yang melimpah, misalnya saluran air/roil/got. Bandicota indica (tikus wirok)
20

dijumpai di daerah rawa, padang alang-alang, dan kebun sekitar rumah. Jenis tikus
lain yang tertangkap Rattus argentiventer (tikus sawah), Mus musculus (mencit
rumah), dan Mus caroli.
Tabel 4.3 Tabel Success Trap dan IPU Tahun 2021
Success Tap (%) Index
Lokasi
No Feb-Maret Agt-Sept Pinjal
Survei
Umum
1 Asahan - 7,9 0,42
2 Kab. Serang 18,4 5,1 0,96
3 Bogor - 19,6 1,15
4 Demak 14,3 12,9 1,66
5 Kab. Bantul 18,3 12,9 0,64
6 Probolinggo 3,8 5,8 0,81
7 Kab. Banjar - 23,6 0,1
8 Tarakan 12,5 14 2,86
9 Enrekang - 4,7 0,43
10 Ambon - 19,3 0,52
Sumber: Surveilans sentinel tikus (Dit. P2PTVz, Kemenkes RI)

Berdasarkan tabel di atas diperoleh informasi kepadatan tikus berdasarkan


success trap di 10 lokasi survei masih tinggi dan berisiko dalam penularan
leptospirosis.

C. Diagnosis Masalah Melalui Pendekatan Sistem


Diagnosis masalah dilakukan untuk mengetahui permasalahan mengenai
pengujian Leptospirosis Tahun 2022 terhadap kejadian Leptospirosis yang telah
diperiksa di BBTKLPP Surabaya dan surveilans sentinel tikus Tahun 2021
Diagnosis masalah dilakukan berdasarkan pendekatan sistem pendekatan sistem
yang digunakan untuk mngetahui permasalahan yang terjadi pada indikator
pengujian Leptospirosis dan surveilans tikus dengan melihat input, process, output.
Masing-masing bagian tersebut dijelaskan sebgai berikut.
1. Input
Sumber daya yang diperlukan dalam program surveilens tikus terdiri
dari 5 petugas BBTKLPP Surabaya terdiri dari 1 orang entomolog, 1
orang epidemiolog, 2 orang sanitarian, dan 2 orang oranata laboratorium
untuk pemeriksaan PCR yang sudah sesuia dan sesuai kualifikasi untuk
menjalankan program surveilans sentinel tikus. Dana yang diperoleh DIPA
21

untuk menjalankan tugas dan cukup untuk menjalankan program. Sarana


diperlukan meliputi kendaraan untuk melakukan sentinel tikus tersedia
dari BBTKLPP Surabaya, juga jumlah trapp yang sudah cukup untuk
melakukan sentinel tikus, termasuk alat laboratorium untuk pengujian
yang sudah cukup dan memadai.
2. Proses
Dalam hal ini BBTKLPP bertugas sebagai penunjang dan penyedia
pemeriksaan Laptospirosis berupa laboratorium, selain itu BBKLPP juga
bertugas untuk melakukan pelatihan kepada petugas puskemas untuk
mengisi form dan screening bagi pasien yang diduga Leptospirosis yang
datang ke puskesmas agar dideteksi dengan tepat dan diatasi dengan sesuai
prosedur, namun dalam proses ini terdapat hambatan pergantian petugas
puskesmas yang telah dilatih oleh BBTKLPP sehingga petugas puskesmas
yang baru kurang menguasai. BBTKLPP Surabaya juga sebagai penyedia
RDT untuk pemeriksaan Leptospirosis ke Puskesmas yang membutukan
alat untuk pemeriksaan jika alat masih belum tersedia.
Proses Surveilans sentinel leptospirosis dilakukan ada dua macam
surveilans pada manusia biasnya data berasal dari puskesmas dan rumah
sakit sehingga BBTKLPP melakukan surveilans pasif di Yankes karena
menunggu sampel yang dikirim dari puskesmas atau rumah sakit
ditunjukkan dari dikirimnya 19 sampel ke BBTKLPP Surabaya untuk diuji
Leptospirosis, namun karena adanya pandemi proses surveilans terjadi
kendala karena adanya perubahan pola orang dalam mencari fasilitas
kesehatan yang non formal sehingga tidak tersedia data di puskesmas
maupun rumah sakit yang. Proses Surveilans sentinel vektor BBTKLPP
Surabaya melatih petugas puskesmas dan Dinas Kesehatan untuk cara
melakukan trapping dan juga cara mengambil sampel darah tikus agar
tidak lisis, dan cara mengirim dan perlakukuan sampel sehingga jika di uji
hasilnya dapat terbaca dan valid. Namun dalam survei ini ada data yang
tidak tersedia karena pelaksanaan survrilans tidak dilakukan pada akhir
bulan di Tahun 2021. Kegiatan terbaru BBTKLPP Surabaya melakukan
juga melakukan survei kepadatan tikus beseta Puskesmas pada bulan
22

Maret 2022 di Probolinggo sebagai bentuk kewaspadaan dini leptospirosis


di daerah banjir dilakukan untuk mengetahui jenis tikus dan pengambilan
darah tikus dengan tujuan untuk mengetahui dalam darah tikus terdapat
bakteri leptospira atau tidak.
3. Output
Hasil surveilans adalah dengan adanya informasi tentang faktor risiko
terkait pekerjaan, lingkungan, cara pencegahan, penularan penyakit
Leptospirosis.

D. Prioritas Masalah
Sesuai dengan hasil analisis data sekunder di BBTKLPP Surabaya dapat
menemukan berbagai macam masalah yang perlu disimpulkan kemudian dipilih
menjadi tiga macam prioritas masalah leptospirosis ini untuk diberikan tindakan
intervensi. Untuk mendapatkan kesimpulan tersebut, kami menggunakan metode
USG sebagai metode menentukan prioritas masalah. Metode USG merupakan salah
satu metode yang digunakan untuk menentukan prioritas masalah yang dilakukan
dengan menentukan skor atas kriteria tertentu yaitu Urgency (urgensi), Seriousness
(keseriusan), Growth (perkembangan isu ) untuk menyusun urutan prioritas isu
yang harus diselesaikan. Caranya dengan menentukan tingkat dan dengan
menentukan skala nilai 1 – 5 Adapun langkah-langkahnya yaitu, pemberian skor
pada masing-masing masalah dan perhitungan hasilnya:
a. Nilai 1: sangat kecil
b. Nilai 2: kecil
c. Nilai 3: sedang
d. Nilai 4: besar
e. Nilai 5: sangat besar
Serangkaian kriteria USG sebagai berikut:
U = Seberapa mendesak isu tersebut harus dibahas dikaitkan dengan waktu
yang tersedia serta seberapa keras tekanan waktu tersebut untuk
memecahkan masalah yang menyebabkan isu tadi.
S = Seberapa serius isu tersebut perlu dibahas dikaitkan dengan akibat yang
timbul dengan penundaan pemecahan masalah yang menimbulkan isu
23

tersebut atau akibat yang menimbulkan masalah-masalah lain kalau


masalah penyebab isu tidak dipecahkan
G= Seberapa kemungkinan-kemungkinannya isu tersebut menjadi
berkembang dikaitkan kemungkinan masalah penyebab isu akan makin
memburuk kalau dibiarkan.
Setelah masalah atau alternatif pemecahan masalah diidentifikasi, kemudian dibuat
tabel kriteria USG dan diisi skornya. Bila ada beberapa pendapat tentang nilai skor
yang diambil adalah rerata. Nilai total merupakan hasil perkalian: U x S x G
Tabel 4.4 Identifikasi Masalah Surveilans Leptospirosis di Probolinggo
Skor
No Daftar Masalah Hasil Rank
U S G
Surveilans pada Human
terhambat pandemi karena
1 2 3 3 18 4
masyarakat enggan datang
ke Faskes formal
Data surveilans pada
2 vektor miss karena 3 3 3 27 2
pandemi
Petugas yang telah dilatih
3 BBTKLPP Surabaya 3 3 4 36 1
banyak yang berganti
9 dari 10 wilayah sentinel
4 menunjukkan Success 2 4 4 24 3
Trapp >1
Berdasarkan data pada tabel 4.7 diatas mengenai penentuan prioritas
masalah pengujian leptospirosis dan surveilans setinel tikus yang dilakukan
BBTKLPP Surabaya, menggunakan metode USG didapatkan kesimpulan 3 bahwa
daftar masalah yang menjadi prioritas masalah adalah sebagai berikut:
1. Petugas yang telah dilatih BBTKLPP Surabaya banyak yang berganti
2. Terdapat data yang miss karena pandemi
3. Wilayah sentinel menunjukkan 9 dari 10 memiliki success trapp >1

E. Alternatif Pemecahan Masalah Prioritas


Prioritas masalah yang diambil pada laporan ini adalah penyakit menular
melalui tikus yakni penyakit Leptospirosis dalam upaya sistem kewaspadaan dini
kejadian luar biasa pada wilayah sentinel Probolinggo. Dari permasalahan tersebut
direkomendasikan beberapa alternatif pemecahan masalah antara lain:
24

1. Mengadakan monitoring terhadap petugas Puskesmas yang telah dilatih


untuk pengabilan sampel dan pengisian firom suspek Leptospirosis.
2. Memperkuat surveilans untuk deteksi dini yang seharusnya dilakukan
setiap bulan.
3. Penyebaran informasi kepada masyarakat tentang pencegahan
Leptospirosis, gejala, risiko, mengurangi populasi tikus dan apa yang
harus dilakukan ketika muncul gejala Leptospirosis.

F. Pembahasan dan Usulan Program/Kebijakan


Pembahasan dan usulan program/kebijakan dalam upaya sistem
kewaspadaan dini kejadian luar biasa pada daerah sentinel leptospirosis di
Probolinggo adalah sebagai berikut:
1. Mengadakan monitoring terhadap petugas Puskesmas yang telah dilatih
untuk pengabilan sampel dan pengisian firom suspek Leptospirosis.
bertujuan untuk mengetahui kualifikasi SDA di puskesmas dalam
dengambilan sempel, screening dan pengisian form yang sudah
dibuatkankan olah BBTKLPP Surabaya.
2. Pelaksanaan surveilans sentinel leptospirosis.
Memperkuat surveilans untuk deteksi dini yang dilakukan setiap bulan
sebagai pencecahan dan deteksi dini terhadap Leptospirosis.
3. Penyebaran informasi kepada masyarakat karena pandemi yang terjadi
pola masyarakat berubah dalam mencari kesehatan yaitu dengan cara
cara datang ke fasilitas kesehatah non formal yang menyebabkan salah
diagnosis ataupun data tidak terekam karena tidak memperoleh
pelatihan sebelumnya. Penyebaran informasi kepada masyarakat berupa
himbauan, pengetahuan pentang pencegahan Leptospirosis, faktor
risisko, cara mengurangi populasi tikus dan hal yang dilakukan ketika
muncul gejala yang mengindikasikan Leptospirosis.
BAB 5

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kegiatan magang dilaksanakan di Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya selama satu bulan
yang terhitung sejak 09 Maret 2022 hingga 06 April 2022. Kegiatan
dilaksanakan di dalam gedung maupun luar gedung.
2. Data kasus yang ditemukan Probolinggo pada tahun 2022 (Januari-
Maret) ditemukan 9 kasus positif leptospiraosis dari 19 spesimen yang
dikirim ke BBTKLPP Surabaya, menurut jenis kelamin pada penderita
leptospirosis terjadi lebih banyak pada laki-laki, menurut kelompok
umur penderita leptospirosis terjadi pada usis 26-65 tahun, Surveilans
sentinel pada tikus tahun 2021 di 10 lokasi sentinel yang menunjukkan
success trap ≥1 terdapat 9 lokasi dari 10 lokasi lokasi yang artinya
kepadatan tikus dilokasi survei masih tinggi dan berisiko dalam
penulran leptospirosis.
3. BBTKLPP Surabaya tidak ditemukan masalah dari segi tenaga, sarana,
dan dana tapi ditemukan masalah pada pelakana kegiatan yaitu
puskesmas Puskesmas.
4. Petugas yang telah dilatih BBTKLPP Surabaya banyak yang berganti,
terdapat data yang miss karena pandemi, masyarakat enggan datang ke
fasilitas kesehatan formal.
5. Mengadakan monitoring terhadap petugas Puskesmas yang telah dilatih
untuk pengabilan sampel dan pengisian firom suspek Leptospirosis,
memperkuat surveilans untuk deteksi dini yang seharusnya dilakukan
setiap bulan, penyebaran informasi kepada masyarakat tentang
pencegahan Leptospirosis, gejala, risiko dan apa yang harus dilakukan
ketika muncul gejala Leptospirosis.
6. Petugas Puskesmas yang telah dilatih dimotitoring kembali untuk
pengabilan sampel dan pengisian firom suspek Leptospirosis. Bertujuan
untuk mengetahui kualifikasi SDA di puskesmas dalam dengambilan

25
26

sempel, screening dan pengisian form yang sudah dibuatkankan olah


BBTKLPP Surabaya, memperkuat surveilans untuk deteksi dini yang
dilakukan setiap bulan sebagai pencecahan dan deteksi dini terhadap
Leptospirosis, penyebaran informasi kepada masyarakat karena
pandemi yang terjadi pola masyarakat berubah dalam mencari kesehatan
yaitu dengan cara cara datang ke fasilitas kesehatah non formal yang
menyebabkan salah diagnosis ataupun data tidak terekam karena tidak
memperoleh pelatihan sebelumnya. Penyebaran informasi kepada
masyarakat berupa himbauan, pengetahuan pentang pencegahan
Leptospirosis, faktor risisko, dan hal yang dilakukan ketika muncul
gejala yang mengindikasikan Leptospirosis.

B. Saran
1. Mendukung kualifikasi petugas dalam sreening, pengisian form, gejala
khas Leptospirosis, dan cara mengambilan sampel Leptospirosis.
2. Promosis kesehatan kepada masyarakat tentang pengetahuan dan
pencegahan Leptospirosis.
3. Melakukan monitoring terhadap petugas yang sudah dilatih.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2014. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia.. Jakarta:


Depkes RI Ditjen P2M dan PLP

detikjateng, 2022. Waspada! 17 Kasus Leptospirosis di Klaten Selama 3 Bulan Ini,


1 Meninggal. [Online] Available at: https://www.detik.com/jateng/berita/d-
5994143/waspada-17-kasus-leptospirosis-di-klaten-selama-3-bulan-ini-1-
meninggal [Accessed 31 Maret 2022].

Dinas Kesehatan Kabupaten Probolinggo, 2019. Profil Kesehatan Kabupaten


Probolinggo Tahun 2018, s.l.: DINKES KAB PROBOLINGGO.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017. Petunjuk Teknis Pengendalian


Leptospirosis, s.l.: KEMENKES RI.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020. Profil Kesehatan Indonesia


2019.

Ningsih, R., 2009. Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian Leptospirosis di


Jawa Tengah. Semarang: Universitas Diponegoro.

Prihantoro, T. & Siwiendrayanti, A., 2017. arakteristik dan Kondisi Lingkungan


Rumah Penderita Leptospirosis di Wilayah Kerja Puskesmas Pegandan.. J
Heal Educ, 2(2), p. 185–191.

Pusdatin Kemenkes RI, 2020. Profil Kesehatan Indonesia 2019, Jakarta

Ramadhani, T., D.Widyastuti & Priyantol, 2015. Determinasi Serovar Bakteri


Leptospira pada Reservoir di Kabupaten Banyumas.. J Ekol Kesehat, 14(1),
pp. 8-16.

R, N. & Budiyono, N., 2016. aktor Lingkungan dan Perilaku Kejadian Leptospirosis
di Kota Semarang. J Kesehat Masyarakat, 4(1), pp. 407-416.

Subdin Kesmas, 2021. Rekapitulasi Penderita Leptospirosis tahun 2018-2020..


[Online]

27
28

Available at: https://surveilans-dinkesdki.net/chart.php. [Accessed 31 Matet


2022].

WHO, 2003. Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and


Control. [Online].
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Ijin Magang

29
30

Lampiran 2. Surat Balasan Permohonana Ijin Magang


31

Lampiran 3. Implementation Arrangement


32

Lampiran 4. Absensi Selama Magang di BBTKLPP Surabaya


33
34

Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kinerja Mahasiswa Magang


35
36

Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan


LAPORAN PELAKSANAAN MAGANG

DI BALAI BESAR TEKNIK KESEHATAN LINGKUNGAN DAN


PENGENDALIAN PENYAKIT (BBTKLPP) SURABAYA

GAMBARAN PELAKSANAAN SURVEILANS SILVATIK RODENT


DI WILAYAH PENGAMATAN PENYAKIT PES
KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2022

OLEH:
NADILA IMANIA AWANDA
NPM. 2130018010

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat karunia dan hidayah-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pelaksanaan magang ini
dengan tepat waktu dengan judul “Gambaran Pelaksanaan Surveilans Silvatik
Rodent Di Wilayah Pengamatan Penyakit Pes Kabupaten Pasuruan Tahun 2022”.
Dalam penulisan laporan pelaksanaan magang ini tentunya penulis tidak berjalan
sendiri melainkan juga banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh
Karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M. Eng, selaku Rektor Universitas Nahdlatul
Ulama Surabaya.
2. Prof. S. P. Edijanto, dr, Sp.PK (K), selaku Dekan Fakultas Kesehatan
Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
3. Ibu Dwi Handayani, S.KM., M. Epid, selaku Ketua Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Universitas Nahdlatul Ulama
Surabaya sekaligus Dosen Pembimbing yang telah memberikan bimbingan
selama persiapan, pelaksanaan hingga pelaporan kegiatan.
4. Bapak Abdul Hakim Zakkiy Fasya, S.KM., M.KL, selaku Koordinator
Lapangan Magang Tahun 2022.
5. Bapak Dr. Rosidi Roslan, S.KM,S.H, M.PH, M.H, selaku Kepala Balai
Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Surabaya.
6. Bapak Hari Gunawan, S.KM, M.M., selaku Koordinator Surveilans
Epidemiologi.
7. Bapak Dr. Yudied Agung Mirasa, S.KM., M.Kes, selaku Pembimbing
magang di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian
Penyakit Surabaya.
8. Ibu Efi Sriwahyuni, S.KM., M.PH selaku Penanggungjawab Unit Diklat
dan Magang di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabaya.
9. Seluruh staf dan karyawan di BBTKLPP Surabaya khususnya Bapak dan
Ibu pemegang program di Bidang Surveilans Epidemiologi yang telah
memberikan arahan dan bimbingan serta ilmu yang telah diberikan.
Semoga dengan hadirnya laporan magang ini diharapkan mampu menjadi
tambahan wawasan informasi khususnya bagi Mahasiswa S1 Kesehatan
Masyarakat dan umumnya bagi masyarakat.

Surabaya, 11 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL .................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................. v
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG ............................................. vii
BAB 1. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan Magang .................................................................................... 2
1. Tujuan Umum ................................................................................ 2
2. Tujuan Khusus ............................................................................... 3
C. Manfaat Magang .................................................................................. 3
1. Bagi peserta magang ...................................................................... 3
2. Bagi instansi ................................................................................... 3
3. Bagi program studi ......................................................................... 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 5
A. Definisi Penyakit Pes ........................................................................... 5
B. Sumber dan Cara Penularan ................................................................. 5
C. Jenis dan Gejala Pes ............................................................................. 7
D. Faktor Risiko Pes ................................................................................. 8
E. Rodent .................................................................................................. 9
E. Pengobatan ......................................................................................... 14
F. Epidemiologi ...................................................................................... 14
G. Kejadian Luar Biasa ........................................................................... 15
H. Sistem Kewaspadaan Dini KLB ......................................................... 17
BAB 3. METODE KEGIATAN MAGANG ........................................................ 19
A. Lokasi Magang ................................................................................... 19
B. Waktu Magang ................................................................................... 19
C. Metode Pelaksanaan Kegiatan ........................................................... 19
D. Teknik Pengumpulan Data ................................................................. 20
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN KASUS ................................................. 21
A. Gambaran Kegiatan Magang .............................................................. 21
B. Gambaran Kasus/Masalah .................................................................. 21
C. Diagnosis Masalah melalui Pendekatan Sistem ................................. 31
D. Prioritas Masalah ................................................................................ 33
E. Alternatif Pemecahan Masalah.......................................................... 34
BAB 5. PENUTUP................................................................................................ 36
A. Kesimpulan......................................................................................... 36
B. Saran ................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 38
LAMPIRAN .......................................................................................................... 39

iii
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 4. 1 Survei Rodent di Wilayah Pengamatan Penyakit PES di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret) .............. 22
Tabel 4. 2 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah
Puskesmas Nongkojajar Kabupaten Pasuruan Tahun
2022 (Januari-Maret). .......................................................... 23
Tabel 4. 3 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah
Puskesmas Tosari Kabupaten Pasuruan Tahun 2022
(Januari-Maret) ..................................................................... 24
Tabel 4. 4 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah
Puskesmas Puspo Kabupaten Pasuruan Tahun 2022
(Januari-Maret) ...................................................................... 26
Tabel 4. 5 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah
Puskesmas Sumberpitu Kabupaten Pasuruan Tahun
2022 (Januari-Maret). ............................................................ 26
Tabel 4. 6 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah
Puskesmas Pasrepan Kabupaten Pasuruan Tahun 2022
(Januari-Maret). ..................................................................... 27
Tabel 4. 7 Infestasi Pinjal pada Tikus yang Tertangkap di Wilayah
Pengamatan Penyakit PES di Kabupaten Pasuruan Tahun
2022 (Januari-Maret) ............................................................. 27
Tabel 4. 8 Indeks pinjal umum dan khusus di Wilayah Pengamatan
Penyakit PES di Kabupaten Pasuruan Tahun 2022
(Januari-Maret). ..................................................................... 28
Tabel 4. 9 Survei Human di Wilayah Pengamatan Penyakit PES di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret). .............. 30
Tabel 4. 10 Identifikasi Masalah Surveilant Silvatik Rodent
Berdasarkan Metode USG di Wilayah Pengamatan Pes
Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret) .................. 33

iv
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman


Gambar 2. 1 Persebaran Tikus Menurut Habitat ................... 9
Gambar 2. 2 Sketsa Tempat Keberadaan Tikus di
Lingkungan Rumah .......................................... 9
Gambar 2. 3 Tikus Rumah Rattus Tanezumi ......................... 10
Gambar 2. 4 Tikus Mencit Rumah Mus musculus ................ 11
Gambar 2. 5 Tikus Ladang Rattus Rattus Exulans ................ 12
Gambar 2. 6 Tikus Belukar Rattus Tiomanicus .................... 13
Gambar 2. 7 Tikus Dada Putih Niviventer fulvescens ........... 13

v
DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Lampiran Halaman


Lampiran 1. Surat Permohonan Ijin Magang .......................... 39
Lampiran 2. Surat Balasan Permohonan Ijin Magang ............ 40
Lampiran 3. Implementation Arrangement ............................. 41
Lampiran 4. Absensi Selama Magang di BBTKLPPSurabaya . 42
Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kinerja Mahasiswa Magang 44
Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan ........................................ 46

vi
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

A. Daftar Singkatan
CDC : Control for Disease Control
CFR : Case Fatality Rate
Ditjen PPM dan PL : Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular
dan Penyehatan Lingkungan
IHR : International Health Regulation
KLB : Kejadian Luar Biasa
SKD : Sistem kewaspadaan dini
WHO : World Health Organization

B. Daftar Arti Lambang


. : Titik
, : Koma
: : Titik Dua
% : Persentase
() : Dalam Kurung

vii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pes merupakan salah satu penyakit yang termasuk dalam International
Health Regulation (IHR), UU Karantina No. 1 & 2 tahun 1962 serta UU. Wabah
No. 4 tahun 1984, sehingga sesuai undang-undang pengelolaan penyakit tersebut
dibawah tugas dan kewenangan pusat (Ditjen PPM dan PL) perlu pengendalian
secara berkala pada pinjalnya (Kementerian Kesehatan RI, 2020). Penyakit pes
pernah menjadi wabah dalam beberapa kurun waktu, yakni pada tahun 541-542
penyakit pes dikenal sebagai wabah justinian. Wabah ini menyerang Kekaisaran
Bizantium dan kota-kota pelabuhan Mediterania. Korban yang tewas akibat
penyakit ini mencapai 30-50 juta jiwa atau sekitar 10 persen dari populasi
Konstantinopel. Pada tahun 1346-1353 terjadi wabah di daratan Eropa dan dikenal
sebagai the black death. Wabah ini menyebabkan 25 jiwa meninggal dan
menghancurkan tiga benua yaitu Asia, Afrika, dan Eropa (Kementerian Kesehatan
RI, 2020).
Wabah penyakit pes pernah terjadi disebagian besar daratan Eropa tahun
1400 yang menelan korban sebanyak 25 juta jiwa. Pada tahun 1984, pandemi pes
sudah menyebar ke empat benua, diduga berasal dari Canton daratan Cina.
Berdasarkan laporan WHO, terjadi kejadian luar biasa pes terakhir terjadi di
Madagaskar pada bulan Agustus 2017 hingga 17 November 2017 melaporkan
sebanyak 2.267 kasus Pes dengan 195 kematian. Penyakit pes yang menjadi
endemis saat ini terdapat pada tiga negara yaitu Republik Demokratis Kongo,
Madagaskar, dan Peru. Sedangkan wilayah yang pernah menjadi kasus pes di
Indonesia yaitu Kabupaten Boyolali Jawa Tengah, Kabupaten Pasuruan Jawa
Timur, Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, dan Kabupaten Bandung Jawa Barat
(Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Pada tahun 1910 kasus pes dilaporkan masuk di Indonesia melalui
pelabuhan Surabaya. Pes di Indonesia diprediksi berasal dari Pelabuhan Rangoon,
Burma pada saat kapal mengangkut beras kebutuhan buruh-buruh perkebunan
milik Belanda berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya yang di dalam

1
2

kapal terdapat tikus dan pinjal terinfeksi bakteri pes yang ikut terbawa turun di
gudang penyimpanan beras. Pada tahun 1910 sampai tahun 1960 pes
menyebabkan 245.375 orang meninggal dunia. Dari total kasus tersebut 17,6%
terjadi di Jawa Timur, 51,5% di Jawa Tengah dan 30,9% di Jawa Barat. Pada
tanggal 3 November 1986, Dinas Kabupaten Pasuruan melaporkan bahwa di Desa
Surorowo, Desa Kayukebek, Kecamatan Tutur telah terjadi KLB Pes. Pada
tanggal 13 Februari 1987 dilakukan penyelidikan epidemiologi yang
menunjukkan bahwa ditemukan 24 orang penderita pes dan 20 orang diantaranya
meninggal (CFR = 83,3%). Pada bulan Februari-April 1987 ditemukan 224
penderita pes dan 1 orang diantaranya meninggal dunia dan sejak terjadinya KLB
tahun 1987 sampai sekarang telah dilakukan pengamatan secara intensif dan
penanggulangan pes baik pada manusia, tikus, maupun pinjalnya (Kementerian
Kesehatan RI, 2020).
Kasus Pes terakhir dilaporkan pada Februari 20007 di Kabupaten
Pasuruan, berdasarkan laporan yang ada sejak tahun 2010 hingga tahun 2016
belum ada laporan mengenai kasus konfirmasi Pes pada manusia. Namun, untuk
sampel vektor yaitu hewan pengerat (tikus) dilaporkan sejak tahun 2010 hingga
tahun 2016 sebanyak 2.621 sampel diperiksa dengan 71 sampel terkonfirmasi
positif Pes (Kementerian Kesehatan RI, 2017). Pada tahun 2019 terdapat penilaian
dari tim ahli WHO dan CDC bahwa Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan
risiko rendah terhadap kejadian pes dan terlokalisir. Hingga saat ini kegiatan
pemantauan diwilayah setempat masih rutin dilaksanakan dalam rangka sistem
kewaspadaan dini, mulai dari survei rodent, survei human, penguatan
laboratorium maupun usaha pengendalian jika ditemukan indeks pinjal yang
melebihi batas. Hal itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui Gambaran
Pelaksanaan Surveilans Silvatik Rodent Di Wilayah Pengamatan Penyakit Pes
Kabupaten Pasuruan Tahun 2022.

B. Tujuan Magang
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pelaksanaan surveilans silvatik rodent di wilayah
pengamatan penyakit pes Kabupaten Pasuruan
3

2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui gambaran kegiatan magang di wilayah Balai Besar
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
b. Menggambarkan pelaksanaan surveilans silvatik rodent di wilayah
Pengamatan Penyakit Pes Kabupaten Pasuruan
c. Mendiagnosis pelaksanaan surveilans silvatik rodent melalui
pendekatan sistem di wilayah pengamatan penyakit pes Kabupaten
Pasuruan
d. Menyusun prioritas masalah pelaksanaan surveilans silvatik rodent di
wilayah pengamatan penyakit pes Kabupaten Pasuruan.
e. Menyusun alternatif pemecahan masalah pelaksanaan surveilans
silvatik rodent di wilayah pengamatan penyakit pes Kabupaten
Pasuruan.

C. Manfaat Magang
1. Bagi peserta magang
a. Menambah ilmu pengetahuan di bidang Kesehatan terutama yang
berkaitan dengan pelaksanaan surveilans silvatik rodnet yang
diperlukan oleh sarjana Kesehatan Masyarakat terutama bagi
peminatan Epidemiologi
b. Menambah wawasan dan pengalaman kondisi kerja secara nyata di
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Surabaya.
c. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa dalam
mengimplementasikan teori-teori yang diperoleh ke dalam dunia
kerja.
2. Bagi instansi
a. Menjalin kerja sama antara kampus UNUSA dengan Balai Besar
Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya
dalam kaitannya meningkatkan sumberdaya manusia.
4

b. Mendapatkan umpan balik antara mahasiswa dengan pihak Balai


Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
Surabaya.
3. Bagi program studi
a. Menjalin hubungan kerja sama dunia akademis dan dunia kerja antara
program studi kesehatan masyarakat fakultas kesehatan universitas
nahdlatul ulama surabaya dengan pihak Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya.
b. Meningkatkan kualitas pendidikan dan melibatkan tenaga
keterampilan dan tenaga lapangan dalam kegiatan magang.
c. Memperoleh masukan yang positif untuk dapat ditetapkan dalam
program magang selanjutnya.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Pes


Pes adalah penyakit Zoonosa yang bersifat akut yang disebabkan oleh
bakteri Yersinia pestis melalui gigitan pinjal tikus atau rodent lain yang dapat
mengigit dan menularkan ke binatang lain/manusia. Penyakit pes dikenal sebagai
“sampar” yakni penyakit yang berat dengan gejala bacteriemia, demam yang
tinggi, shock, penurunan tekanan darah, nadi cepat dan tidak teratur, gangguan
mental, kelemahan, kegelisahan dan tidak sadar (Kementerian Kesehatan RI,
2020a). Penularan pes secara alami terjadi pada tikus melalui gigitan pinjal yang
terinfeksi bakteri Yersinia pestis. Penularan pes pada manusia melalui gigitan
pinjal dan kondisi lingkungan yang mendukung seperti: kelembapan, musim, suhu
dan ketersediaan makanan (Kementerian Kesehatan RI, 2020c).

B. Sumber dan Cara Penularan


Sumber dan cara penularan sumber penyakit pes melalui hewan-hewan
rodent seperti: tikus dan kelinci. Kucing dapat pula sebagai sumber penularan
kepada manusia. Sumber penularan pes di Amerika melalui tupai. Cara penularan
pes dari tikus ke manusia yakni melalui gigitan pinjal. Jenis pinjal yang dikenal
sebagai vektor penyakit pes antara lain : Xenopsylla cheopis, Pulex iiritans,
Neopsylla sondaica, Stivalius cognatus (Kementerian Kesehatan RI, 2020a).
Bakteri Yersinia pestis berkembang di dalam tubuh pinjal yang
mengakibatkan penyumbatan pada tenggorokan pinjal. Jika pinjal menghisap
darah maka akan muntah mengeluarkan Yersinia pestis dan muntahan tersebut
akan masuk ke dalam luka bekas gigitan yang dapat menyebabkan infeksi.
Akibatnya manusia yang terinfeksi tikus pembawa penyakit pes dan kontak
langsung maka akan nampak gejala sakit setelah 2-6 hari sesuai masa inkubasi
bakteri untuk berkembang biak dalam tubuh (Kementerian Kesehatan RI, 2020c).
Ada beberapa kemungkinan cara penularan pes: (Kementerian Kesehatan
RI, 2020c)

5
6

1. Wild Rodent Flea Human


Penularan pes dapat terjadi pada orang-orang yang apabila digigit pinjal
tikus hutan yang dapat terjadi pada pekerja-pekerja dihutan dan orang-
orang yang mengadakan rekreasi di hutan.

Kontak langsung
2. Wild Roddent Human
Penularan pes dapat terjadi pada pekerja yang berhubungan dengan tikus
hutan, seperti biolog yang sedang mengadakan penelitian dihutan dan
terjadi luka kemudian terkena darah atau organ tikus yang mengandung
kuman pes.

3. Tikus Domestik Pinjal Manusia


penularan pes terjadi pada oranng yang digigit oleh pinjal infektif yang
telah menggigit tikus yang mengandung kuman pes.

4. Tikus Silvatik/ Pinjal Tikus Domestik


Peridomestik

Manusia Pinjal

Penularan pes dari tikus hutan ke te tikus komensal melalui gigitan pinjal.
Pinjal yang infektif kemudian menggigit manusia .

5. ManusiaHu Pinjal Manusia Manusia


Penularan pes dari orang ke orang bisa terjadi melalui gigitan pinjal
manusia Pulex irritans (human flea).

droplet
6. Manusia Manusia

Penularan pes dari orang yang menderita pes pneumonik kepada orang lain
melalui percikan ludah atau pernafasan.
7

C. Jenis dan Gejala Pes


Penyakit pes terbagi menjadi 3 jenis berdasarkan bagian tubuh yang
terinfeksi, yaitu:
1. Pes Bubonik
Pes bubonik merupakan kasus pes yang sering ditemui yakni 75% dari
semua kasus pes. Penularan pes melalui gigitan pinjal atau kontaminasi langsung
pada lesi kulit terbuka oleh bahan yang mengandung bakteri pes. Masa inkubasi
yaitu antara 2 dan 8 hari (rata-rata 4 hari) dengan gejala yang khas yakni adanya
pembesaran kelenjar getah bening yang bengkak dan merah pada selangkangan,
ketiak atau leher, demam 41⁰C, menggigil, sakit kepala, kelemahan mendadak,
nyeri otot dan sendi. Pada anak biasanya mengalami pembesaran kelenjar getah
bening di ketiak atau leher.
Bakteri penyebab pes dapat menghasilkan racun yang dapat menyebar ke
seluruh tubuh dan jika tidak diobati maka mengakibatkan komplikasi lanjut yakni
perdarahan di saluran napas, saluran pencernaan, saluran kencing, dan rongga-
rongga tubuh. Selain itu dapat menurunkan kesadaran, kejang, kegagalan aliran
darah, dan kegagalan organ smapai kematian. Apabila dilakukan pengobatan yang
sesuai maka dapat sembuh berkisar 3-5 hari, namun jika tidak diobati maka angka
kematian dapat mencapai lebih dari 50% (Kementerian Kesehatan RI, 2020c).
2. Pes Septikemik
Pada pes septikemik bakteri sudah masuk sistem peredaran darah. Gejala
pes septikemik dapat berupa demam, pucat, lemah, bingung, penurunan kesadaran
hingga koma. Toksin yang dihasilkan dapat menyebabkan gumpalan darah kecil
di seluruh tubuh sehingga menyebabkan hambatan aliran darah yang ditandai
dengan warna kehitaman. Apabila tidak diobati maka pes septikemik
menyebabkan kematian pada hari pertama sampai ketiga setelah timbulnya
demam dengan angka kematian mencapai 80-100% (Kementerian Kesehatan RI,
2020c).
3. Pes pneumonik
Pes pneumonik merupakan penyakit yang paling berbahaya karena bakteri
sudah menyerang paru-paru. Penularan pes dari orang ke orang dapat melalui
udara efektif saat tatapp muka dalam jarak 2 meter. Pneumonia yang diakibatkan
8

oleh pes sangat menular dan berkembang cepat dalam 1-3 hari. Pes pneumonik
ditandai dengan menggigil, demam, sakit kepala, nyeri tubuh, kelemahan, nyeri
dada/rasa tidak nyaman di dada, kesulitan bernapas, hipoksia, dan batuk berdahak
disertai darah. Penderita penyakit pes pneumonik dapat meninggal pada hari ke-
empat sampai lima setelah gejala pertama timbul dan tidak diobati dalam waktu
18 hingga 24 jam dengan case fatality rate (CFR) mecapai 100%.

D. Faktor Risiko Pes


Menurut Schuurman dan Shuurman-Ten Bokkel Huinink (1930), faktor
risiko terjadinya KLB pada tahun 1990-an di Pulau Jawa yaitu faktor lingkungan,
faktor sosial, dan faktor ekonomi. Keadaan ekonomi penduduk di Jawa yang
rendah, bekerja sebagai petani dan buruh dengan penghasilan tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup setiap hari. Faktor geografis seperti tanah rawa,
hutan, sawah, kebun, dan semak-semak merupakan tempat yang sesuai bagi
perkembangbiakan tikus dan pinjal.
Iklim juga ikut mempengaruhi penyebaran penyakit pes seperti panas,
kelembaban, musim hujan, banjir, kekeringan, kegagalan panen, dan kekurangan
pangan. Faktor risiko Pes juga berhubungan dengan kebiasan masyarakat dalam
kehidupan sosial dan budaya orang di perkampungan seperti kebiasaan yang
kurang mengerti tentang kebersihan, kebanyakan tempat diperkampungan
memiliki standar kesehatan yang buruk, rumahnya terbuat dari bambu beratap
ilalang, dan sangat jarang bergenting, lantainya masih tanah, ukuran rumah yang
sempit dan kecil, lembab, dan banyak tikus (Kementerian Kesehatan RI, 2020c).
9

E. Rodent
1. Persebaran Tikus

Gambar 2. 1 Persebaran Tikus Menurut Habitat


Sumber : Tikus jawa teknik survei di bidang kesehatan, 2016

Persebaran tikus dibedakan menjadintiga kelompok berdasarkan jauh atau


dekat hubungannya dengan kehidupan manusia dan kesehatan:
a) Jenis domestik (Domestic species)

Gambar 2. 2 Sketsa Tempat Keberadaan Tikus di Lingkungan


Rumah
Sumber : Tikus jawa teknik survei di bidang kesehatan, 2016

Tikus domestik hidupnya sangat bergantung dengan aktivitas


manusia dan biasanya hidup dilingkungan pemukiman manusia. Jenis
10

ini banyak dijumpai di berbagai bagian lingkungan rumah, gudang,


kantor, dan fasilitas umum lainnya seperti pasar, terminal, stasiun, dan
bandar udara. Tikus ini menyukai tempat gelap dan kotor seprti atap,
sela-sela dinding, sisa bahan bangunan, dan sumber tempat pakan
seperti: dapur, almari, tempat menyimpan hasil panen atau pakan
ternak. Contoh tikus rumah R. diardii, R. tanezumi, R norvegicus, dan
Mus musculus.
b) Jenis peridomestik (Peridomestic species)
Tikus peridomestik atau biasa disebut tikus komensal karena sering
kontak dan berhubungan dengan manusia. Aktivitas hidupnya
sebagian besar diluar rumah seperti: lahan pertanian, perkebunan,
sawah, dan pekarangan rumah. Contoh tikus peridomestik: tikus
R.exulans, R. argentiventer, Bandicota indica, dan M. caroli.
c) Jenis silvatik (Sylvatic species)
Tikus silvatik aktivitas hidupnya dilakukan jauh dari lingkungan
manusia, memakan tumbuhan liar, bersarang di hutan dan ajrang
berhubungan dengan manusia. Contoh tikus silvatik: Niviventer
fulvescens, R. tiomanicus.
2. Jenis Tikus
Menurut tempat hidupnya tikus dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu tikus
rumah (Rattus rattus diardii dan Mus musculus), tikus ladang (Rattus rattus
exulans), tikus belukar (Rattus tiomanicus), dan tikus dada putih (Niviventer
fulvescens) (Yuliadi, Muhidin & Indriyani, 2016).
a) Tikus rumah (Rattus rattus diardii)

Gambar 2. 3 Tikus Rumah Rattus Tanezumi


Sumber : Protocols for field and laboratory rodent studies, 2006
11

Tikus rumah atau Rattus rattus diardii/ tanezumi (jentink)


merupakan tikus yang banyak dijumpai di dalam rumah seperti di
plafon, dapur, dan gudang. Apabila populasi tinggi sering dijumpai
mencari makan dilantai dapur dan gudang, jarang ditemukan di kebun
sekitar rumah. Tikus ini aktif pada malam hari (Nokturnal) tetapi
sering dijumpai pada siang hari ketika mencari makan.
Ciri-ciri tikus rumah atau Rattus rattus diardii:
1) Panjang total 220-380 mm
2) Ekor 101-190 mm
3) Kaki belakang 20-39 mm
4) Telinga 13-23 mm
5) Rumus mamae 2+3=10
6) Warna rambut badang atas coklat tua kekuningan dengan rambut
pemandu lebih panjang dan rambut badan bawah (perut) coklat
kemerahan sampai abu-abu gelap.
b) Mencit rumah (Mus musculus)

Gambar 2. 4 Tikus Mencit Rumah Mus musculus


Sumber : Protocols for field and laboratory rodent studies, 2006

Mencit rumah atau Mus Musculus habitatnya terdapat di dalam


rumah (lemari) dan tempt penyimpanan barang alinnay. Tikus ini aktif
pada malam ahri (Nokturnal).
Ciri-ciri mencit rumah atau Mus musculus:
1) Panjang total kurang dri 175 mm
2) Ekor 81-108 mm
12

3) Kaki belakang 12-18 mm


4) Telinga 8-12 mm
5) Rumus mamae 3+2=10
6) Warna rambut badan atas dan bawah coklat kelabu.
c) Tikus ladang (Rattus rattus exulans)

Gambar 2. 5 Tikus Ladang Rattus Rattus Exulans


Sumber : Tikus jawa teknik survei di bidang kesehatan, 2016

Tikus ladang atau Rattus rattus exulans habitatnya terdapat di


semak padang rumput, kebun atau ladang dan pinggiran hutan. Tikus
ini aktif pada malam hari (Nokturnal) tetapi sering dijumpai pada
siang hari ketika mencari makan.
Ciri-ciri tikus ladang atau Rattus rattus exulans:
1) Panjang total 139-265 mm
2) Ekor 108-147 mm
3) Kaki belakang 22-30 mm
4) Telinga 11-18 mm
5) Rumus mamae 2+2 = 8
6) Warna rambut badan atas coklat kelabu, rambut bagian perut putih
kelabu, dan memiliki rambut pemandu berbentuk duri/spiny.
13

d) Tikus belukar (Rattus tiomanicus)

Gambar 2. 6 Tikus Belukar Rattus Tiomanicus


Sumber : Protocols for field and laboratory rodent studies, 2006

Tikus belukar atau Rattus tiomanicus habitatnya terdapat di


semak-semak, kebun/ladang dan pinggiran hutan/ hutan bambu. Tikus
ini aktif pada malam hari (Nokturnal).
Ciri-ciri tikus belukar atau Rattus tiomanicus:
1) Panjang total 245-397 mm
2) Ekor 123-225 mm
3) Kaki belakang 24-40 mm
4) Telinga 12-20 mm
5) Rumus mamae 2+3=10
6) Warna rambut badan atas coklat kelabu dan rambut bagian perut
putih krem/putih susu.
e) Tikus dada putih (Niviventer fulvescens)

Gambar 2. 7 Tikus Dada Putih Niviventer fulvescens


Sumber : Tikus jawa teknik survei di bidang kesehatan, 2016
14

Tikus dada putih atau Niviventer fulvescens habitatnya terdapat di


semak-semak, rumpun bambu dan hutan daerah pegunungan. Tikus ini
aktif pada malam hari (Nokturnal).
Ciri-ciri tikus dada putih atau Niviventer fulvescens:
1) Panjang total 187-370 mm
2) Ekor 100-210 mm
3) Kaki belakang 18-33 mm
4) Telinga 16-22 mm
5) Rumus mamae 2+2=8
6) Berambut pemandu berbentuk spiny/duri
7) Warna rambut badan atas kuning coklat kemerahan, rambut bagian
perut putih
8) Ekor dwiwarna, bagian atas berwarna coklat dan bagian bawah
putih.

E. Pengobatan
Pengobatannya diberikan Streptomycine dengan dosis 3 gr/hari (IM), 2 kali
sehari selama 2 hari berturut-turut, kemudian dosis dikurangi menjadi 2 gr/hari
selama 5 hari berturut-turut. Setelah demam hilang dilanjutkan dengan pemberian
(Kementerian Kesehatan RI, 2020a):
1) Tetracycline 4-6 gr/hari selama 2 hari berturut-turut, kemudian dosis
diturunkan menjadi 2 gr/hari selama 5 hari berturut-turut
2) Chloramphenicol 6-8 gr/hari selama 2 hari berturut-turut, kemudian
dosis diturunkan menjadi 2 gr/hari selama 5 hari berturut-turut.

F. Epidemiologi
Pada tahun 1400 terjadi kejadian luar biasa di sebagian besar daratan
Eropa dengan jumlah korban kurang lebih 25 juta jiwa. Pada tahun 1894 pandemi
pes selama 5 tahun sudah menyebar ke 4 benua yang diduga berasal dari Canton
daratan Cina. Namun hingga tahun 2004-2008 masih ditemukan titer positif pada
manusia, rodent, dan pinjal pada daerah fokus pes yakni di Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Daerah Istimewa Yogyakarta maupun di daearh terancam Jawa
15

Barat. Surveilans aktif dan pasif masih dilakukan secara rutin di 4 daerah tersebut
untuk mengantisipasi terjadinya kejadian luar biasa pes yang biasa terjadi setiap
10 tahun. Kejadian luar biasa pes terakhir terjadi pada tahun 2007 di Dusun
Surolowo Kabupaten Pasuruan. Pada tahun 2008 dan 2009 spesimen pada
manusia yang diperiksa tidak ada yang menunjukkan positif (Kementerian
Kesehatan RI, 2020a).

G. Kejadian Luar Biasa


1. Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan terhadap setiap laporan adanya
tersangka kasus pes pada manusia Tersangka Pes adalah ditandai dengan gejala
klinis. Untuk pemeriksaan serologi, serum dibawa dengan termos es ke Balai
Laboratorium Kesehatan terdekat dan dikonfirmasi ke Laboratorium P2P
BBTKLPP Surabaya di Nongkojajar Pasuruan. Apabila belum dapat dikirim,
serum dapat disimpan di kulkas Puskesmas atau Dinas Kesehatan. Penetapan
diagnosis KLB didasarkan pada peningkatan sero konversi, Flea Index dan
ditemukannya Yersinia pestis.
Penetapan KLB apabila suatu Desa, Dusun, RW memenuhi salah satu
kriteria sebagai berikut :
a) Pada pemeriksaan secara sero kenversi meningkat 4 kali lipat (2 x
pengambilan).
b) Flea Index Umum 2, FI khusus 1
c) Ditemukan Yersinia pestis dari pinjal, tikus, tanah, sarang tikus atau
bahan organik lain, manusia hidup maupun meninggal , pada suatu
desa/lurah/dusun/RW.
Gambaran epidemiologi KLB Pes tersebut diatas dapat digunakan untuk
mengidentifikasi sumber dan cara penularan :
a) Identifikasi hewan sumber penular, terutama adanya sejumlah hewan
tertentu yang mati pada daerah dan dalam periode KLB.
b) Hubungan distribusi kasus dan distribusi hewan sumber penular yang
dicurigai.
16

c) Melakukan identifikasi diagnosis hewan atau produk hewan tersangka,


terutama dengan pemeriksaan laboratorium.
2. Penanggulangan
Penanggulangan yang dilakukan bertujuan untuk mencegah dan atau
membatasi penularan penyakit Pes di lingkungan rumah dan lokasi sekitarnya
serta di tempat-tempat umum yang diperkirakan dapat menjadi sumber penularan
penyakit Pes. Kegiatan penanggulangan yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a) Penemuan dan pengobatan penderita terutama pada daerah fokus.
b) Menghindari kontak dengan penderita Pes.
c) Apabila terjadi Pes Bubo, maka penderita diisolasi di rumah dan kontak
tidak boleh keluar desa.
d) Apabila penderita Pes paru maka penderita dan kontak serumah serta
rumah disekitarnya diisolasi. Rumah sekitarnya dapat seluas RW,
Dusun, dan Desa yang diperhitunan secara epidemiologis dengan
memperhatikan letak dan batas situasi wilayah.
e) Setiap penderita dan kontak mendapat pengobatan sesuai dengan
tatacara yang telah ditentukan.
f) Melakukan pemberantasan pinjal dengan dusting menggunakan
insektisida (fenithrothion) dan tepung pencampur (kaolin, gaplek)
dengan perbandingan 1 : 20 dilakukan didalam dan diluar rumah serta
di sarang-sarang tikus.
g) Penyuluhan tentang bahaya Pes serta pencegahannya kepada
masyarakat
h) Sosialisasi terhadap petugas kesehatan, peternakan, karantina hewan,
Pemda, DPRD, Tokoh Agama (TOGA) dan Tokoh Masyarakat
(TOMA).
3. Surveilans Ketat pada KLB
a) Perkembangan jumlah kasus dan kematian Pes dengan melakukan
surveilans aktif dan pasif.
Pengamatan secara aktif adalah pengamatan yang dilakukan
dengan cara mencari tersangka penderita dengan gejala-gejala panas
meringkil (panas dengan bubo sebesar buah duku pada daerah lipat
17

paha, ketiak) atau panas dengan batuk darahdengan tiba- tiba tanpa
gejala sebelumnya. Kegiatan aktif dilakukan dari rumah ke rumah,
bersamaan waktunya dengan kegiatan pengamatan terhadap rodentia
(trapping). Sedangkan pengamatan secara pasif adalah pengamatan
yang dilakukan di Puskesmas, Puskesmas Pembantu (Pustu),
Puskesmas Keliling (Pusling) maupun rumah sakit terhadap
penderita/tersangka penderita pes dengan gejalaa-gejala seperti
tersebut di atas yang datang ke pusat- pusat pelayanan kesehatan
tersebut.
b) Perkembangan kematian tikus tanpa sebab (ratfall) baik secara aktif
dan pasif. Tikus yang ditemukan mati dimasukkan dalam kantong
plastik untuk diperiksa di laboratorium secara serologi.
c) Perkembangan Flea Index (index pinjal) untuk melihat trend
kemungkinan meningkatnya kasus pes untuk upaya tindakan
penanggulangan segera.

H. Sistem Kewaspadaan Dini KLB


Untuk mengetahui secara dini akan adanya penularan pes dari rodent ke
hewan lain (kucing, kelinci, marmut, anjing dan binatang lainnya) serta pada
manusia di daerah endemis pes perlu adanya sistem kewaspadaan dini (SKD).
Ada beberapa variabel penting yang perlu diperhatikan di dalam
mendiagnosa kemungkinan terjadinya penularan pes di suatu wilayah, antara lain:
1) Variabel umum :
a) Keadaan desa, dusun, RW yang sedang mengalami paceklik atau
pasca panen raya.
b) Terganggunya habitat tikus, kebakaran hutan, gunung berapi
meletus dan gempa bumi.
c) Ditemukan ratfall
d) Peningkatan populasi tikus rumah
2) Variabel Teknis :
a) Flea Index, FI umum >= 2, FI khusus X. cheopis>= 1
b) Positip serologi pada rodent dan manusia
18

Bila ditemukan satu variabel umum dan satu atau lebih variabel teknis
maka perlu diwaspadai (warning). Kewaspadaan yang dimaksud adalah
peningkatan surveilans terhadap manusia, hewan dan lingkungan serta dilakukan
tindakan selanjutnya sesuai dengan alur (flow chart) yang telah ditetapkan.
BAB 3
METODE KEGIATAN MAGANG

A. Lokasi Magang
Lokasi kegiatan magang ini dilaksanakan di Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya, Jl. Sidoluhur
No. 12, Kemayoran, Kec. Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur.

B. Waktu Magang
Kegiatan magang dilaksanakan selama 1 (satu) bulan di mulai pada
09 Maret sampai 06 April 2022. Waktu magang disesuaikan dengan jam
kerja yang ada di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Surabaya. Pada hari senin-kamis dimulai pada
07.30-16.00 WIB dan Hari Jum’at dimulai pukul 07.30-16.30 WIB.

C. Metode Pelaksanaan Kegiatan


Kegiatan magang dilaksanakan dengan menggunakan beberapa
model, yaitu:
1. Diskusi
Diskusi yang dilakukan berupa penjelasan dan pemberian masukan
dari pembimbing lapangan guna memperoleh gambaran secara jelas
tentang pelaksanaan surveilans silatik rodent di wilayah pengamatan
penyakit pes Kabupaten Pasuruan.
2. Partisipasi aktif dengan cara mempelajari data sekunder
Peserta magang mengikuti kegiatan di Puskesmas Sumberpitu dan
Laboratorium P2P Nongkojajar Kabupaten Pasuruan berupa
pengambilan trapp di rumah warga dan kebun, pengambilan sampel
darah tikus, penyisiran tikus untuk mengambi pinjal, mengukur badan
tikus, dan mencatat hasilnya. Serta berpartisipasi aktif mempelajari
data sekunder yang ada di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit Surabaya untuk mendukung pembelajaran
pada kegiatan magang.

19
20

3. Studi Dokumen
Studi dokumen digunakan untuk memperoleh teori yang berkaitan
dengan permasalahan yang diangkat ditempat magang.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam laporan ini yaitu
mdengan melihat data sekunder survei rodent, pinjal, dan human di wilayah
pengamatan penyakit pes Kabupaten Pasuruan tahun 2022 (Januari-Maret).
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN KASUS

A. Gambaran Kegiatan Magang


Pelaksanaan magang dilakukan di Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya yang terletak di Jl. Sidoluhur
No. 12, Kemayoran, Kec. Krembangan, Kota Surabaya, Jawa Timur. Penulis
menempuh magang selama satu bulan yang terhitung sejak 09 Maret 2022 hingga
06 April 2022. Berikut kegiatan yang dilakukan selama pelaksanaan magang di
Balai Besar teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya:
1. Magang dilaksanakan sesuai dengan jam kerja Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit, pada hari senin-kamis
dimulai pukul 07.30-16.00 WIB dan hari jum’at dimulai pukul 07.30-16.30
WIB.
2. Selama magang berlangsung, peserta magang memakai pakaian yang rapi
dan sopan. Selain itu, penulis juga menaati protokol kesehatan yang berlaku
seperti memakai masker dan handsanitizer.
3. Kegiatan lain yang dilakukan adalah pembekalan magang, pemberian materi
oleh beberapa pihak terkait di bidang Surveilans Epidemiologi, melakukan
input data, interpretasi data, dan analisis data mengenai kartu menuju sehat
faktor risiko penyakit tidak menular. Selain itu, terdapat kegiatan lainnya
yaitu observasi mengenai tikus seperti mengambil darah, menyisir bulu tikus
untuk mengambil pinjal, dan melakukan pengukuran pada tikus.

B. Gambaran Kasus/Masalah
Setelah melakukan magang selama satu bulan. Berdasarkan identifikasi di
bidang Surveilans Epidemiologi di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan
dan Pengendalian Penyakit Surabaya. Mahasiswa tertarik untuk mengidentifikasi
gambaran pelaksanaan surveilans silvatik rodent di wilayah pengamatan penyakit
pes Kabupaten Pasuruan. Ketertarikan tersebut dikarenakan penyakit PES masih
menjadi perhatian internasional antar negara dan sebagai sistem kewaspadaan
dini.

21
22

1. Survei Rodent
Survei tikus dilakukan selama lima hari dengan jumlah perangkap
perharinya yang dipasang yaitu 200 trap yang terdiri dari rumah sebanyak 60 trap,
hutan sebanyak 80 trap, dan kebun sebanyak 60 trap. Lokasi survei tikus
dilakukan di lima wilayah puskesmas yaitu Nongkojajar, Tosari, Puspo, Sumber
Pitu, dan Pasrapen. Adapun hasil penangkapan tikus di masing-masing lokasi
secara lengkap tersaji dalam tabel berikut:
Tabel 4. 1 Survei Rodent di Wilayah Pengamatan Penyakit PES di Kabupaten
Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret).
Jumlah Jumlah Tikus
No. Lokasi Trap Succes
Perangkap Terperangkap
Wilayah PKM Nongkojajar
1. Dsn. Surorowo 1000 46 4,6
2. Dsn. Karang Rejo 1000 31 3,1
3. Dsn. Taman 1000 31 3,1
4. Dsn. Ledok 1000 32 3,2
5. Dsn. Bangking 1000 34 3,4
6. Dsn. Dukutan 1000 30 3,0
7. Dsn. Ngepring 1000 31 3,1
8. Dsn. Ngaroh 1000 26 2,6
9. Dsn. Gerdu 1000 26 2,6
10. Dsn. Tuban 1000 29 2,9
Wilayah PKM Tosari
1. Dsn. Tlogosari 1000 36 3,6
2. Dsn.
1000 33 3,3
Banyumeneng
3. Dsn. Ketuwon 1000 37 3,7
4. Dsn. Kertoanom 1000 27 2,7
5. Dsn. Ngadiwono 1000 37 3,7
6. Dsn. Moroseneng 1000 38 3,8
7. Dsn. Tosari 1000 35 3,5
8. Dsn. Sedaeng 1000 27 2,7
9. Dsn. Ledoksari 1000 40 4,0
10. Dsn. Wonokitri 1000 30 3,0
11. Dsn. Wonomerto 1000 28 2,8
12. Dsn. Sanggar 1000 28 2,8
Wilayah PKM Puspo
1. Dsn. Punjul 1000 35 3,5
2. Dsn. Gondosuli 1000 24 2,4
3. Dsn. Jawar-
1000 33 3,3
Kemiri
4. Dsn. Kopek-
1000 28 2,8
Janjangwulung
23

5. Dsn. Krajan
1000 30 3,0
Janjangwulung
Wilayah PKM Sumber Pitu
1. Dsn.
1000 33 3,3
Curahbuntung
2. Dsn. Dempok 1000 52 5,2
Wilayah PKM Pasrapen
1. Dsn. Mangguan
1000 25 2,5
Jowo
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Jumlah tikus pada survei rodent di Wilayah Puskesmas Nongkojajar yang


terbanyak adalah di Dusun Surorowo 46 ekor dan yang paling sedikit adalah
Dusun Ngaroh dan Gerdu 26 ekor. Sedangkan di Wilayah Puskesmas Tosari yang
terbanyak adalah di Dusun Ledoksari 40 ekor dan yang paling sedikit adalah
Dusun kertoanom dan Dusun Sedaeng 27 ekor. Jumlah rodent di Wilayah
Puskesmas Puspo yang terbanyak adalah Dusun Punjul 35 ekor dan yang paling
sedikit adalah Dusun Gondosuli24 ekor. Sedangkan di Wilayah Puskesmas
Sumber Pitu yang terbanyak adalah di Dusun Dempok 52 ekor.
Keberhasilan penangkapan tikus menggambarkan kepadatan populasi tikus
relatif di suatu tempat. Presentase keberhasilan penangkapan atau trapp success
dihitung berdasarkan jumlah tikus yang tertangkap dibagi dengan jumlah
perangkap yang dipasang (Supriyati and Ustiawan, 2013). Trapp success
keberhasilan di Wilayah Puskesmas Nongkojajar, Tosari, Puspo, Sumberpitu, dan
Pasrapen semuanya kurang dari 7% yang berarti kepadatan tikus dilokasi tersebut
termasuk rendah.
2. Spesies dan Jumlah Tikus yang Tertangkap
Tabel 4. 2 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah Puskesmas
Nongkojajar Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret).
No. Spesies Rumah Kebun Hutan Jumlah %
Dusun Surorowo
1. Rattus Rattus Diardii 28 - - 28 60,87
2. Rattus Exulans - 6 - 6 13,04
3. Mus Musculus - 11 - 11 23,91
4. Lain-lain - 1 - 1 2,17
Dusun Karang Rejo
1. Rattus Rattus Diardii 18 - - 18 58,06
2. Rattus Exulans - 12 - 12 38,71
3. Mus Musculus - 1 - 1 3,23
Dusun Taman
24

1. Rattus Rattus Diardii 14 - - 14 45,16


2. Rattus Exulans - 13 - 13 41,94
3. Mus Musculus - 2 - 2 6,45
4. Lain-lain - 2 - 2 6,45
Dusun Ledok
1. Rattus Rattus Diardii 16 - - 16 50
2. Rattus Exulans - 9 - 9 28,12
3. Homilus - 2 - 2 6,25
4. Lain-lain - 5 - 5 15,62
Dusun Bangking
1. Rattus Rattus Diardii 9 - - 9 26,47
2. Rattus Exulans 1 12 - 13 38,23
3. Lain-lain (Tiommanicus) - 12 - 12 35,30
Dusun Dukutan
1. Rattus Rattus Diardii 14 - - 14 46,67
2. Rattus Exulans - 11 - 11 36,67
3. Mus Musculus - 5 - 5 16,67
Dusun Ngepring
1. Rattus Rattus Diardii 29 - - 29 93,55
2. Mus Musculus - 2 - 2 6,45
Dusun Ngaroh
1. Rattus Rattus Diardii 16 - - 16 61,54
2. Rattus Exulans - 7 - 7 26,92
3. Mus Musculus - 3 - 3 11,54
Dusun Gerdu
1. Rattus Rattus Diardii 14 - - 14 53,85
2. Rattus Exulans - 8 - 8 30,77
3. Mus Musculus - 2 - 2 7,70
4. Lain-lain (Tiommanicus) - 2 - 2 7,70
Dusun Tuban
1. Rattus Rattus Diardii 23 - - 23 79,31
2. Mus Musculus - 4 - 4 13,80
3. Lain-lain (Tiommanicus) - 2 - 2 6,89
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.2 menunjukkan spesies dan jumlah tikus yang tertangkap di
Wilayah Puskesmas Nongkojajar terdapat lima spesies dari 316 tikus yang
terperangkap, yaitu Rattus Rattus Diardii, Rattus Exulans, Homilus, Mus
Musculus, dan Tiommanicus. Pada wilayah Puskesmas Nongkojajar spesies tikus
yang dirumah sebagian besar tikus Rattus Rattus Diardii (tikus rumah) dan
terdapat 1 spesies Rattus Exulans (tikus ladang) di Dusun Bangking. Tikus yang
ditemukan dikebun sebagian besar spesies Rattus Exulans (tikus ladang),
Homilus, Mus Musculus (Mencit), dan Tiommanicus (Tikus belukar).
Tabel 4. 3 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah Puskesmas
Tosari Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret).
No. Spesies Rumah Kebun Hutan Jumlah %
Dusun Tlogosari
1. Rattus Rattus Diardii 16 - - 16 44,44
25

2. Rattus Exulans - 11 2 13 36,11


3. Mus Musculus - - 2 2 5,56
4. Lain-lain (Niviventer) - - 5 5 13,89
Dusun Banyumeneng
1. Rattus Rattus Diardii 16 - - 16 48,49
2. Rattus Exulans - 17 - 17 51,51
Dusun Ketuwon
1. Rattus Rattus Diardii 20 - - 20 54,05
2. Rattus Exulans - 17 - 17 45,95
Dusun Kertoanom
1. Rattus Rattus Diardii 14 - - 14 51,85
2. Rattus Exulans - 11 - 11 40,74
3. Mus Musculus - 2 - 2 7,41
Dusun Ngadiwono
1. Rattus Rattus Diardii 19 - - 19 51,35
2. Rattus Exulans - 9 9 18 48,65
Dusun Moroseneng
1. Rattus Rattus Diardii 19 - - 19 50
2. Rattus Exulans - 19 - 19 50
Dusun Tosari
1. Rattus Rattus Diardii 15 - - 15 42,86
2. Rattus Exulans - 10 10 20 57,14
Dusun Sedaeng
1. Rattus Rattus Diardii 15 - - 15 55,56
2. Rattus Exulans - 12 - 12 44,44
Dusun Ledoksari
1. Rattus Rattus Diardii 16 2 - 18 45
2. Rattus Exulans - 10 12 22 55
Dusun Wonokitri
1. Rattus Rattus Diardii 17 - - 17 56,67
2. Rattus Exulans - 13 - 13 43,33
Dusun Wonomerto
1. Rattus Rattus Diardii 17 - - 17 60,71
2. Rattus Exulans - 11 - 11 39,29
Dusun Sangggar
1. Rattus Rattus Diardii 15 - - 15 53,58
2. Rattus Exulans - 13 - 13 46,42
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.3 menunjukkan spesies dan jumlah tikus yang tertangkap di
Wilayah Puskesmas Tosari terdapat empat spesies dari 396 tikus yang
terperangkap, yaitu Rattus Rattus Diardii, Rattus Exulans, Mus Musculus, dan
Niviventer. Pada wilayah Puskesmas Tosari spesies tikus yang dirumah semuanya
tikus Rattus Rattus Diardii (tikus rumah) yang berarti bahwa tikus tersebut sesuai
habitatnya. Sedangkan spesies tikus yang ditemukan dikebun sebagian besar
adalah Rattus Exulans (tikus ladang) dan terdapat 1 spesies Mus Musculus
(Mencit) di Dusun Kertoanom. Pada trap di hutan spesies tikus yang ditemukan
26

Rattus Exulans (tikus ladang), Musculus (Mencit), dan Niviventer (tikus dada
putih).
Tabel 4. 4 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah Puskesmas
Puspo Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret).

No. Spesies Rumah Kebun Hutan Jumlah %


Dusun Punjul
1. Rattus Rattus Diardii 25 10 - 35 100
Dusun Gondosuli
1. Rattus Rattus Diardii 19 5 - 24 100
Dusun Jawar-Kemiri
1. Rattus Rattus Diardii 24 9 - 33 100
Dusun Kopek-Janjangwulung
1. Rattus Rattus Diardii 23 5 - 28 100
Dusun Krajan Janjangwulung
1. Rattus Rattus Diardii 24 6 - 30 100
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.4 menunjukkan spesies dan jumlah tikus yang tertangkap di
Wilayah Puskesmas Puspo terdapat satu spesies dari 150 tikus yang tertangkap
adalah Rattus Rattus Diardii yang ditemukan pada rumah dan kebun.
Tabel 4. 5 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah Puskesmas
Sumberpitu Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret).
No. Spesies Rumah Kebun Hutan Jumlah %
Dusun Curahbuntung
1. Rattus Rattus Diardii 21 5 - 26 100
Dusun Dempok
1. Rattus Rattus Diardii 26 8 - 34 65,39
2. Mus Musculus - 10 - 10 19,23
3. Lain-lain (Tiommanicus) - 8 - 8 15,38
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.5 menunjukkan spesies dan jumlah tikus yang tertangkap di
wilayah Puskesmas Sumberpitu terdapat 3 spesies dari 78 tikus yang
terperangkap, yaitu Rattus Rattus Diardii, Mus Musculus, dan Tiommanicus. Pada
wilayah Puskesmas Sumberpitu semua spesies tikus yang dirumah adalah Rattus
Rattus Diardii (tikus rumah). Sedangkan pada kebun ditemukan spesies tikus
Rattus Rattus Diardii (tikus rumah), Mus Musculus (Mencit), dan Tiommanicus
(tikus belukar).
27

Tabel 4. 6 Spesies dan Jumlah Tikus yang tertangkap di Wilayah Puskesmas


Pasrepan Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret)
No. Spesies Rumah Kebun Hutan Jumlah %
Dusun Mangguan Jowo
1. Rattus Rattus Diardii 23 - - 23 92
2. Rattus Exulans 1 - - 1 4
3. Mus Musculus 1 - - 1 4
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.6 menunjukkan spesies dan jumlah tikus yang tertangkap di
Wilayah Puskesmas Pasrapen terdapat 3 spesies dari 25 tikus yang terperangkap,
yaitu Rattus Rattus Diardii, Rattus Exulans, dan Mus Musculus. Pada Dusun
Mangguan Jowo spesies tikus yang ditemukan dirumah yaitu Rattus Rattus
Diardii (tikus rumah), Rattus Exulans (tikus ladang), dan Mus Musculus (mencit).
3. Infestasi Pinjal pada Tikus yang Tertangkap di Wilayah Pengamatan
Penyakit PES di Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret)
Tabel 4. 7 Infestasi Pinjal pada Tikus yang Tertangkap di Wilayah
Pengamatan Penyakit PES di Kabupaten Pasuruan Tahun
2022 (Januari-Maret)
Jumlah Tikus
Jumlah Tikus
No. Lokasi Terinfestasi Pinjal
Terperangkap
Jumlah %
Wilayah PKM Nongkojajar
1. Dsn. Surorowo 46 15 32,60
2. Dsn. Karang Rejo 31 14 45,16
3. Dsn. Taman 31 9 29,03
4. Dsn. Ledok 32 11 34,38
5. Dsn. Bangking 34 5 14,70
6. Dsn. Dukutan 30 11 36,67
7. Dsn. Ngepring 31 14 45,16
8. Dsn. Ngaroh 26 11 42,31
9. Dsn. Gerdu 26 7 26,92
10. Dsn. Tuban 29 9 31,03
Wilayah PKM Tosari
1. Dsn. Tlogosari 36 24 66,67
2. Dsn. Banyumeneng 33 14 42,42
3. Dsn. Ketuwon 37 16 43,24
4. Dsn. Kertoanom 27 9 33,33
5. Dsn. Ngadiwono 37 17 45,95
6. Dsn. Moroseneng 38 12 31,58
7. Dsn. Tosari 35 11 31,43
8. Dsn. Sedaeng 27 10 37,04
9. Dsn. Ledoksari 40 14 35
10. Dsn. Wonokitri 30 13 43,33
11. Dsn. Wonomerto 28 6 21,43
12. Dsn. Sanggar 28 4 14,29
28

Wilayah PKM Puspo


1. Dsn. Punjul 35 9 25,71
2. Dsn. Gondosuli 24 6 25
3. Dsn. Jawar-Kemiri 33 7 21,21
4. Dsn. Kopek-Janjangwulung 28 6 21,43
5. Dsn. Krajan Janjangwulung 30 5 16,67
Wilayah PKM Sumber Pitu
1. Dsn. Curahbuntung 33 17 51,52
2. Dsn. Dempok 52 27 51,92
Wilayah PKM Pasrepan
1. Dsn. Mangguan Jowo 25 6 24
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.7 Infestasi pinjal pada tikus di Wilayah Puskesmas


Nongkojajar yang tertinggi berada di Dusun Karang Rejo dan Dusun Ngepring
(45,16%), sedangkan pada Wilayah Puskesmas Tosari infestasi pinjal pada tikus
yang tertinggi di Dusun Tlogosari (66,67%). Pada Wilayah Puskesmas Puspo
infestasi pinjal pada tikus yang tertinggi di Dusun Punjul (25,71%), sedangkan
pada Wilayah Puskesmas Sumberpitu infestasi pinjal yang tertinggi di Dusun
Dempok (51,92%) dan pada Wilayah Puskesmas Pasrepan infestasi pinjal pada
tikus di Dusun Mangguan Jowo (24%).
Menurut (WHO, 1988) dan pedoman pemberantasan pes di Indonesia
tahun 2000, suatu wilayah dikatakan waspada terhadap penularan pes jika terdapat
30’% tikus terinfestasi pinjal. Berdasarkan Tabel 4.7 masih ditemukan jumlah
tikus yang terinfestasi pinjal melebihi 30% yang berarti bahwa Kabupaten
Pasuruan termasuk waspada terhadap penularan Pes. Banyaknya tikus yang
terinfestasi pinjal, perlu ditingkatkan kewaspadaan kemungkinan penularan pes
dengan melakukan upaya pengendalian populasi tikus dan pinjal.
4. Pinjal Umum dan Khusus di Wilayah Pengamatan Penyakit PES di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret)
Tabel 4. 8 Indeks pinjal umum dan khusus di Wilayah Pengamatan
Penyakit PES di Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-
Maret).
Indeks
Tikus Indeks
Flea Jumlah Pinjal
No. Lokasi yang pinjal
Flea Khusus
diperiksa Umum
X. cheopis St. cognatus
Wilayah PKM Nongkojajar
1. Dsn. Surorowo 46 27 6 33 0,59 0,72
2. Dsn. Karang Rejo 31 32 3 35 1,03 1,13
3. Dsn. Taman 31 16 5 21 0,52 0,68
4. Dsn. Ledok 32 22 11 33 0,69 1,03
29

5. Dsn. Bangking 34 0 8 8 - 0,24


6. Dsn. Dukutan 30 17 0 17 0,57 0,57
7. Dsn. Ngepring 31 32 6 38 1,03 1,23
8. Dsn. Ngaroh 26 20 0 20 0,77 0,77
9. Dsn. Gerdu 26 12 8 20 0,46 0,77
10. Dsn. Tuban 29 21 10 31 0,72 1,07
Wilayah PKM Tosari
1. Dsn. Tlogosari 36 38 10 48 1,06 1,33
2. Dsn. 33 29 0 29 0,88 0,88
Banyumeneng
3. Dsn. Ketuwon 37 29 7 36 0,78 0,97
4. Dsn. Kertoanom 27 15 0 15 0,56 0,56
5. Dsn. Ngadiwono 37 23 3 26 0,62 0,70
6. Dsn. Moroseneng 38 23 0 23 0,61 0,61
7. Dsn. Tosari 35 20 0 20 0,57 0,57
8. Dsn. Sedaeng 27 16 3 19 0,59 0,70
9. Dsn. Ledoksari 40 25 4 29 0,63 0,73
10. Dsn. Wonokitri 30 23 3 26 0,77 0,87
11. Dsn. Wonomerto 28 8 2 10 0,29 0,36
12. Dsn. Sanggar 28 6 2 8 0,21 0,29
Wilayah PKM Puspo
1. Dsn. Punjul 35 15 0 15 0,43 0,43
2. Dsn. Gondosuli 24 10 0 10 0,42 0,42
3. Dsn. Jawar- 33 13 0 13 0,39 0,39
Kemiri
4. Dsn. Kopek- 28 8 0 8 0,29 0,29
Janjangwulung
5. Dsn. Krajan 30 7 0 7 0,23 0,23
Janjangwulung
Wilayah PKM Sumber Pitu
1. Dsn. 33 34 14 48 1,03 1,45
Curahbuntung
2. Dsn. Dempok 52 23 11 34 0,44 0,65
Wilayah PKM Pasrepan
1. Dsn. Mangguan
25 11 0 11 0,44 0,44
Jowo
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.8 Indeks pinjal umum yaitu untuk mengetahui kepadatan
investasi rata-rata dari pinjal yang ditemukan dibagi jumlah total tikus yang
tertangkap. Flea yang diperoleh adalah dua spesies pinjal yaitu Xenopsylla cheopis
dan Stavilus cognatus. Menurut (WHO, 1988) dan pedoman pemberantasan pes di
Indonesia tahun 2000, indeks pinjal khusus >1 dan indeks pinjal umum >2. Pada
Tabel 4.8 Indeks pinjal umum di wilayah pengamatan penyakit PES di
Kabupaten Pasuruan per 31 Maret 2022 tidak ada yang >2 dan terdapat indeks
pinjal khusus yang >1 di Dusun Karangrejo (1,03), Dusun Ngepring (1,03), Dusun
Tlogosari (1,06), dan Dusun Curahbuntung (1,03). Kegiatan surveilans rodent dan
pinjal di wilayah pengamatan penyakit pes indeks pinjal umum dan khusus dapat
dijadikan parameter untuk memantau sistem kewaspadaan dini terhadap
kemungkinan kejadian pes.
30

5. Survei Human
Indonesia merupakan negara yang berisiko rendah dan terlokalisir terhadap
penularan pes. Kementrian Kesehatan mengupayakan agar pes terpantau secara
intensif, maka daerah yang pernah terjadi KLB pes atau daerah yang pernah
ditemukan kasus pes tetap dilakukan surveilans pes pada manusia secara pasif dan
aktif. Surveilans aktif untuk menemukan atau mengidentifikasi kejadian pes pada
masyarakat dan pintu masuk negara. Sedangkan surveilans pasif yaitu penemuan
kasus di fasilitas pelayanan kesehatan.
Tabel 4. 9 Survei Human di Wilayah Pengamatan Penyakit PES di Kabupaten
Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret).
Rumah di KK Penduduk
No. Lokasi Tersangka
Kunjungi dikunjungi Diperiksa
Wilayah PKM Nongkojajar
1. Dsn. Surorowo 25 30 37 0
2. Dsn. Karang Rejo 20 28 32 0
3. Dsn. Taman 35 35 40 0
4. Dsn. Ledok 25 28 32 0
5. Dsn. Bangking 20 25 30 0
6. Dsn. Dukutan 20 25 30 0
7. Dsn. Ngepring 22 25 32 0
8. Dsn. Kayu Kebek 25 30 31 0
9. Dsn. Gendro 25 33 35 0
10. Dsn. Tuban 26 33 40 0
Wilayah PKM Puspo
1. Punjul 40 40 40 0
2. Gondosuli 40 40 40 0
3. Jawar 40 40 40 0
4. Kopek 40 40 40 0
5. Krajan 40 40 40 0
Wilayah PKM Sumberpitu
1. Curahbuntung 40 40 40 0
2. Dempok 40 40 40 0
Wilayah PKM Pasrepan
1. Jowo 41 41 122 0
Sumber : Data Sekunder BBTKLPP Surabaya 2022

Pada Tabel 4.9 survei human di Wilayah Puskesmas Nongkojajar 339


penduduk yang diperiksa, Wilayah Puskesmas Puspo 200 penduduk yang
diperiksa, Wilayah Puskesmas Sumberpitu 80 penduduk yang diperiksa dan
Wilayah Puskesmas Pasrepan 122 penduduk yang diperiksa semuanya tidak ada
yang tersangka penyakit Pes.
31

C. Diagnosis Masalah melalui Pendekatan Sistem


Diagnosis masalah dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi
di masyarakat terhadap pelaksanaan surveilans silvatik rodent di wilayah
pengamatan pes Kabupaten Pasuruan. Diagnosis masalah dilakukan berdasarkan
pendekatan sistem. Pendekatan sistem yang digunakan untuk mengetahui
permasalahan yang terjadi pada indikator kejadian PES dengan melihat input,
prosess, dan output. Masing-masing bagian tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1) Input
Input terdiri dari tenaga, dana, dan sarana yang ada di BBTKLPP
Surabaya. Tenaga yaitu petugas yang ada di BBTKLPP Surabaya dan petugas di
wilayah Puskesmas (Nongkojajar, Tosari, Puspo, Sumberpitu, Pasrapen). Petugas
yang ada di BBTKLPP Surabaya terdapat 4 orang yang terdiri dari 1 entomologi,
1 epidemiologi, 1 analis, dan 1 pembantu analis. Sedangkan petugas yang ada di
Puskesmas terdiri dari 3 orang rodent surveilans dan 2 orang human surveilans.
Dana yang diperoleh untuk proses berjalannya program berupa dana yang
diperoleh dari DIPA BBTKLPP Surabaya. Sarana yang dipakai termasuk cukup
meliputi trap, kendaraan, dan APD (sarung tangan dan sepatu booth). Namun
untuk pengadaan reagensia sulit didapatkan.
2) Proses
Proses yang dimaksud mulai dari pengumpulan data dan pengolahan data.
Pengumpulan data dilakukan minimal 1 tahun sekali dan dikerjakan oleh 3 orang
yaitu 1 analis, 1 epidemiologi, dan 1 pembantu. Sasaran pelaksanaan surveilans
silvatik rodent yaitu melakukan survei rodent dan survei human di wilayah
pengamatan penyakit pes Kabupaten Pasuruan. Pengumpulan data dilakukan
secara tepat waktu dengan melakukan pengambilan perangkap tikus sebanyak 200
buah setiap hari selama lima hari berturut-turut. Namun pada saat pemasangan
maupun pengambilan trapp di rumah warga ada yang tidak rumah dikarenakan
sudah bekerja maupun pergi ke sawah. Rodent yang tertangkap kemudian
dilakukan prosesing mencakup identifikasi tikus, pinjal, dan pengambilan serum
untuk dilihat keberadaan bakteri Yersinia pestis. Pengolahan data dan analisis
dilakukan oleh 1 orang entomologi yaitu Bu Rezza berpendidikan Diploma III
32

AKL. Proses pengolahan datanya menggunakan komputer yakni menggunakan


microsoft excel dengan menampilkan hasil berupa tabel.
3) Output
Output berupa hasil survei rodent dan human di wilayah pengamatan
penyakit pes di Kabupaten Pasuruan. Informasi hasil survei tersebut di laporkan
kepada Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
Kemenkes RI, kemudian didesiminasikan dengan melakukan intervensi kepada
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur dan Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan.
Informasi yang dihasilkan berupa spesies tikus yang tertangkap (yang berada
dirumah, kebun, hutan), total jumlah tikus, trep sukses, tikus dengan flea, jumlah
flea, jumlah flea St. cognatus, jumlah flea X. cheopis, indeks pinjal umum (IPU),
dan indeks pinjal khusus (IPK), jumlah sampel pinjal, jumlah sampel serum.
Sedangkan untuk survei human meliputi penduduk yang diperiksa, jumlah
tersangka, dan jumlah spesimen.
Berdasarkan survei rodent dari lima wilayah puskesmas tersebut
mempunyai success trap yang rendah yaitu dibawah 7%. Spesies tikus yang
ditemukan di wilayah pengamatan penyakit pes di Kabupaten Pasuruan yaitu
Rattus Rattus Diardii, Rattus Exulans, Homilus, Mus Musculus, Tiommanicus,
dan Niviventer. Indeks pinjal umum di wilayah pengamatan penyakit PES di
Kabupaten Pasuruan per 31 Maret 2022 tidak ada yang >2 dan masih terdapat 4
dusun yang memiliki indeks pinjal khusus yang >1 dan tikus yang terinfestasi
pinjal di wilayah pengematan penyakit pes Kabupaten Pasuruan Tahun 2022
(Januari-Maret) masih diatas 30%, yang berarti daerah tersebut waspada terhadap
penularan pes.
Berdasarkan hasil survei human di Wilayah pengamatan penyakit Pes
Kabupaten Pasuruan Tahun 2022 (Januari-Maret) dari penduduk yang diperiksa
semuanya tidak ada yang tersangka penyakit Pes. Namun, survei human dilakukan
ketika bersamaan pengambilan trapping biasanya seminggu sekali, tidak
dilakukan secara optimal dan jika masyarakat tidak berbicara maka dianggap
negatif. Faktor risiko kejadian pes diwilayah pengamatan Kabupaten Pasuruan
disebabkan oleh faktor geografis (seperti hutan, kebun, sawah, dan semak-semak).
Pes juga berhubungan dengan kebiasaan-kebiasaan lainnya dalam kehidupan
33

sosial dan budaya orang-orang di perkampungan, kurang mengerti tentang


kebersihan, dan tempat yang lembab.

D. Prioritas Masalah
Penentuan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan metode
USG. Metode USG merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
menentukan prioritas masalah yang dilakukan dengan menentukan skor atas
kriteria tertentu yaitu Urgency, Seriousness, Growth (USG). Semakin besar skor,
maka akan semakin besar masalahnya, sehingga semakin tinggi letaknya pada
urutan prioritas.
Adapun langkah-langkahnya yaitu, pemberian skor pada masing-masing
masalah dan perhitungan hasilnya:
a. Nilai 1 = sangat kecil
b. Nilai 2 = kecil
c. Nilai 3 = sedang
d. Nilai 4 = besar
e. Nilai 5 = sangat besar
Setelah masalah atau alternatif pemecahan masalah diidentifikasi,
kemudian dibuat tabel kriteria USG dan diisi skornya. Bila ada beberapa pendapat
tentang nilai skor yang diambil adalah rerata. Nilai total merupakan hasil
perkalian: U x S x G
Tabel 4. 10 Identifikasi Masalah Surveilant Silvatik Rodent Berdasarkan Metode
USG di Wilayah Pengamatan Pes Kabupaten Pasuruan Tahun 2022
(Januari-Maret)
Skor
Tingkat Tingkat Tingkat
No. Daftar Masalah Hasil Ranking
Urgensi Keseriusan Perkembangan
(U) (S) (G)
1. Pemasangan dan
pengambilan trapp
4 4 3 48 III
warga tidak
dirumah
2. Pengadaan
4 3 3 36 IV
reagensia sulit
3. Survei human
5 4 3 60 II
kurang optimal
4. Indeks Pinjal
5 4 4 80 I
Khusus melebihi
34

batas

Berdasarkan data pada tabel 4.1 diatas mengenai penentuan prioritas


masalah surveilans silvatik rodent di wilayah pengamatan penyakit Pes di
BBTKLPP Surabaya, menggunakan metode USG didapatkan kesimpulan bahwa
daftar masalah yang menjadi prioritas masalah adalah sebagai berikut:
1. Indeks pinjal khusus melebihi batas
2. Survei human kurang optimal
3. Pemasangan dan pengambilan trapp warga tidak dirumah
4. Pengadaan reagensia sulit

E. Alternatif Pemecahan Masalah


Prioritas masalah yang diambil pada laporan ini adalah pelaksanaan
surveilans silvatik rodent di wilayah pengamatan penyakit pes Kabupaten
Pausruan dalam upaya sistem kewaspadaan dini. Dari permasalahan tersebut
direkomendasikan beberapa alternatif pemecahan masalah antara lain:
1. Pemasangan dustlon di rumah warga
Pemasangan dustlon di rumah warga untuk mengurangi indeks pinjal
dikarenakan jumlah tikus dengan flea masih dalam kategori waspada
yaitu melebihi 30% dan indeks pinjal khusus masih ada yang >1.
2. Survei human dengan wawancara lebih detail kepada warga
Melakukan survei human dengan wawancara lebih mendalam kepada
warga dengan menanyakan apa ada gejala terkait pes sehingga hasil
yang didapatkan optimal.
3. Koordinasi dengan warga terkait waktu pemasangan dan pengambilan
trapp
Melakukan koordinasi dengan warga terkait waktu pemasangan dan
pengambilan trapp dengan cara memberikan informasi kepada Ketua
RT dan disebarluarkan ke warga bisa juga melalui grup Whatsapp
pada saat sebelum hari pemasangan dan pengambilan trapp.
4. Pengecekan persediaan reagensia secara berkala
35

Pengecekan persediaan reagensia dengan memantau setiap hari


sehingga tidak sampai kehabisan reagensia dan memberikan pekerjaan
dengan cepat dan tepat selesai.
BAB 5
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kegiatan magang dilaksanakan di Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit Surabaya selama satu bulan
yang terhitung sejak 09 Maret 2022 hingga 06 April 2022. Kegiatan
dilaksanakan di dalam gedung maupun luar gedung.
2. Pelaksanaan surveilans silvatik rodent di wilayah Pengamatan
Penyakit Pes Kabupaten Pasuruan yaitu dengan melakukan survei
rodent dan survei human. Survei rodent dilakukan selama lima hari
dengan jumlah perangkap perharinya yang dipasang yaitu 200 trap
yang terdiri dari rumah sebanyak 60 trap, hutan sebanyak 80 trap, dan
kebun sebanyak 60 trap. Sedangkan, survei human dilakukan ketika
bersamaan dengan pengambilan trap selama seminggu sekali.
3. Diagnosis masalah pelaksanaan surveilans silvatik rodent yaitu
pengadaan regensia sulit didapatkan, pemasangan dan pengambilan
trap warga tidak dirumah, indeks pinjal khusus melebihi batas, dan
survei human kurang optimal.
4. Prioritas masalah ditentukan menggunakan metode USG yang
menghasilkan daftar masalah yang menjadi prioritas masalah yaitu
indeks pinjal khusus melebihi batas, survei human kurang optimal,
pemasangan dan pengambilan trapp warga tidak dirumah, dan
pengadaan reagensia sulit.
5. Alternatif pemecahan masalah yang dapat dilakukan yaitu
pemasangan dustlon di rumah warga, saat melakukan survei human
dengan wawancara lebih detail kepada warga, koordinasi dengan
warga terkait waktu pemasangan dan pengambilan trapp, dan
pengecekan persediaan reagensia secara berkala.

B. Saran
1. Petugas kesehatan melakukan pemasangan duslon di rumah warga
untuk mengurangi pinjal.

36
37

2. Petugas kesehatan melakukan survei human dengan wawancara lebih


detail kepada warga dengan menanyakan terkait apa ada gejala pes.
3. Petugas kesehatan berkoordinasi dengan warga terkait waktu
pemasangan dan pengambilan trapp.
4. Petugas kesehatan melakukan pengecekan persediaan reagensia
setiap hari karena pengadaan bahan tersebut sulit didapatkan.
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI, 2020. Buku Pedoman Penyelidikan dan


Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan
Pangan. In: Revisi III. Jakarta.

Kementerian Kesehatan RI. 2017. “Ketika Black Death Membuat Gusar, Ada Apa
Dengan Pes Di Madagaskar?” Masterpie.
https://infeksiemerging.kemenkes.go.id/download/Edisi_4.pdf.

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Penyakit


Pes (Black Death). Jakarta.
https://infeksiemerging.kemkes.go.id/download/SE_Dirjen_P2P_Tentang_
Peningkatan_Kewaspadaan_Terhadap_Penyakit_PES_Black_Death.pdf.

Kementerian Kesehatan RI. 2020. “Penyakit Yang Pernah Menjadi Wabah Di


Dunia.” b2p2vrp.litbang.kemkes.go.id.
http://www.b2p2vrp.litbang.kemkes.go.id/mobile/berita/baca/358/Penyakit
-Yang-Pernah-Menjadi-Wabah-Di-Dunia.

Kementerian Kesehatan RI. 2020. Petunjuk Teknis Pengendalian Pes. Jakarta.

Supriyati, Dina, and Adil Ustiawan. 2013. “Spesies Tikus, Cecurut Dan Pinjal
Yang Ditemukan Di Pasar Kota Banjarnegara, Kabupaten Banjarnegara
Tahun 2013.” BALABA 9: 39–46.

WHO. 1988. “Vector Control in International Health”. Geneva.

Yuliadi, B., Muhidin, and Siska Indriyani. 2016. Tikus Jawa Teknik Survei Di
Bidang Kesehatan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.

38
LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Permohonan Ijin Magang

39
40

Lampiran 2. Surat Balasan Permohonan Ijin Magang


41

Lampiran 3. Implementation Arrangement


42

Lampiran 4. Absensi Selama Magang di BBTKLPP Surabaya


43
44

Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kinerja Mahasiswa Magang


45
46

Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan


LAPORAN PELAKSANAAN MAGANG

DI BALAI BESAR TEKNIK KESEHATAN LINGKUNGAN DAN


PENGENDALIAN PENYAKIT (BBTKLPP) SURABAYA

GAMBARAN PELAKSANAAN SURVEI PREVALENSI MIKROFILARIA


(PRE-TAS)
DI KABUPATEN LEMBATA, NUSA TENGGARA TIMUR

OLEH:
JIHAN AULIA
NPM. 2130018052

PROGRAM STUDI S1 KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat karunia dan hidayah-
Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kegiatan magang ini dengan
judul “Gambaran Pelaksanaan Survei Prevalensi Mikrofilaria (PRE-TAS) di
Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur” dapat terselesaikan dengan baik dan
tepat waktu. Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari jalan yang gelap menuju jalan
yang terang benderang.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kegiatan magang ini tidak akan
selesai tanpa adanya dukungan dari berbagai pihak terkait. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Achmad Jazidie, M.Eng., selaku Rektor Universitas
Nahdlatul Ulama Surabaya.
2. Bapak Prof. S. P. Edjianto, dr., Sp. PK (K), selaku Dekan Fakultas
Kesehatan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya.
3. Ibu Dwi Handayani, S.KM., M.Epid., selaku Ketua Program Studi S1
Kesehatan Masyarakat sekaligus Dosen Pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan arahan selama pelaksanaan magang.
4. Bapak Abdul Hakim Zakkiy Fasya, S.KM., M.KL., selaku Koordinator
Magang Program Studi S1 Kesehatan Masyrakat.
5. Bapak Dr. Rosidi Roslan, S.KM, S.H, M.PH, M.H, selaku Kepala
BBTKLPP Surabaya.
6. Bapak Hari Gunawan, S.KM, M.M., selaku Koordinator Surveilnas
Epidemiologi.
7. Bapak Dr. Yudied Agung Mirasa, S.KM., M.Kes., selaku Pembimbing
Lapangan Magang di BBTKLPP Surabaya yang telah memberikan arahan
dan bimbingan.
8. Ibu Efi Sriwahyuni, S.KM., M.PH., selaku Penanggung Jawab Unit Diklat
dan Magang di BBTKLPP Surabaya.
9. Ibu Juniarsih S.KM., M.Kes., selaku Epidemiolog Kesehatan Muda yang
telah memberikan araahan dan bimbingan kepada penulis terkait topik
yang akan diambil.
10. Bapak Slamet, Ibu Sisca, Ibu Dr. Evi, Ibu Dr. Cresti, dan seluruh staf serta
karyawan di BBTKLPP Surabaya, khususnya Bapak dan Ibu pemegang
program di Bidang Surveilans Epidemiologi yang telah memberikan
arahan dan bimbingan.
Semoga adanya laporan kegiatan ini dapat diterima dengan baik oleh pihak
yang terkait dan diharapkan mampu menjadi informasi bagi seluruh pihak,
khususnya mahasiswa S1 Kesehatan Masyarakat.

Surabaya, 11 Maret 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i


KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii
DAFTAR ISI ......................................................................................................iii
DAFTAR TABEL .............................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... vi
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG ............................................ vii
BAB 1. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang .................................................................................. 1
B. Tujuan Magang .................................................................................. 2
1. Tujuan Umum................................................................................ 2
2. Tujuan Khusus ............................................................................... 2
C. Manfaat Magang ................................................................................ 3
1.Bagi Peserta Magang ...................................................................... 3
2. Bagi Instansi .................................................................................. 3
3. Bagi Program Studi ........................................................................ 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 4
A. Definisi Filariasis .............................................................................. 4
B. Faktor Risiko Filariasis ...................................................................... 4
C. Cara Penularan Filariasis ................................................................... 8
D. Masa Inkubasi Filariasis .................................................................... 9
E. Tahapan Eliminasi Filariasis .............................................................. 9
BAB 3. METODE KEGIATAN MAGANG ...................................................... 15
A. Lokasi Magang ................................................................................ 15
B. Waktu Magang ................................................................................ 15
C. Metode Pelaksanaan Magang ........................................................... 15
D. Teknik Pengumpulan Data............................................................... 15
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN KASUS ................................................ 17
A. Gambaran Kegiatan Magang ........................................................... 17
B. Gambaran Kasus/Masalah ................................................................ 17
C. Diagnosis Masalah Melalui Pendekatan Sistem ................................ 24
D. Prioritas Masalah ............................................................................. 27
E. Alternatif Pemecahan Masalah dan Pembahasan .............................. 29
BAB 5. PENUTUP ............................................................................................ 30
A. Kesimpulan ..................................................................................... 30
B. Saran ............................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 32
LAMPIRAN ...................................................................................................... 33

iii
DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Tabel Halaman


Tabel 4.1 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten 18
Lembata tahun 2015 di BBTKLPP Surabaya………….
Tabel 4.2 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten 19
Lembata tahun 2016 di BBTKLPP Surabaya………….
Tabel 4.3 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten 19
Lembata tahun 2017 di BBTKLPP Surabaya………….
Tabel 4.4 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten 20
Lembata tahun 2018 di BBTKLPP Surabaya………….
Tabel 4.5 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten 20
Lembata tahun 2019 di BBTKLPP Surabaya………….
Tabel 4.6 Frekuensi Responden Survei Filariasis Berdasarkan 21
Jenis Kelamin………………………………………….
Tabel 4.7 Frekuensi Responden Survei Filariasis Berdasarkan 22
Usia…………………………………………………….
Tabel 4.8 Faktor Risiko Penyakit Filariasis……………………... 24
Tabel 4.9 Identifikasi Masalah Pelaksanaan Survei Mikrofilaria 28
(Pre-TAS) Berdasarkan Metode USG di Wilayah
Layanan BBTKLPP Surabaya…………………………

iv
DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Gambar Halaman


Gambar 4.1 Grafik Cakupan POPM Filariasis di Kabupaten 21
Lembata, NTT…………………………………….
Gambar 4.2 Banyaknya Minum Obat Selama POPM…………. 23
Gambar 4.3 Alasan Tidak Minum Obat...................................... 23

v
DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran Judul Lampiran Halaman


Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Magang………………. 33
Lampiran 2. Surat Balasan Permohonan Izin Magang...…… 34
Lampiran 3. Implementation Arrangement…………………. 35
Lampiran 4. Absensi Selama Magang di BBTKLPP 36
Surabaya……………………………………….
Lampiran 5. Penilaian Kinerja Mahasiswa Magang………... 38
Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Magang………………. 40

vi
DAFTAR SINGKATAN DAN ARTI LAMBANG

A. Daftar Arti Singkatan


Mf rate : Microfilaria rate
POPM : Pemberian Obat Pencegahan Massal
Pre-TAS : Prevalensi Transmission Assesement Survey
SDJ : Survei Darah Jari
KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
SPAK : Saluran Pembuangan Air Kotor
TAS : Transmission Assesement Survey
USG : Urgency, Seriuosness, Growth

B. Daftar Arti Lambang


. : Titik
, : Koma
> : Lebih dari
< : Kurang dari
: : Titik Dua
“..” : Tanda Petik
% : Persentase
() : Dalam Kurung

vii
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Filariasis merupakan penyakit menular yang masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat. Penyakit ini telah muncul sejak lama, tetapi
merupakan salah satu penyakit yang terabaikan. Meskipun filariasis jarang
terdapat kasus kematian, tetapi penderita filariasis dapat mengalami kecacatan
seumur hidup pada penderitanya. Selain itu, penyakit filariasis juga dapat
menimbulkan dampak pada sosial dan ekonomi bagi penderita dan keluarga.
Penderita dengan filariasis tidak dapat melakukan aktifitas secara optimal
sehingga tingkat produktivitasnya menurun. Sehingga, hidupnya bergantung
dengan orang lain dan menambah beban bagi keluarga penderita. Sebanyak 67%
total dari pengeluaran rumah tangga perbulan mengalami kerugian ekonomi
akibat ketidakmampuan karena filariasis (Masrizal, 2012).
Kasus filariasis di Indonesia pada tahun 2018 dilaporkan sebanyak 10.681
kasus yang terssebar di 34 provinsi. Kasus filariasis di tahun 2018 terbanyak
terdapat pada provinsi Papua, NTT, Jawa Barat, Papua Barat, dan Aceh. Situasi
kasus filariasis di Indonesia hingga Desember 2021, terdapat 236 kab/kota yang
dinyatakan sebagai endemis filariasis. Dari 236 kabupaten/kota tersebut, 204
diantaranya sudah selesai melaksanakan POPM filariasis selama 5 tahun dan 32
kabupaten/kota melaksanakan POPM filariasis. Dari 204 kabupaten/kota yang
telah melaksanakan POPM filariasis selama 5 tahun, sebanyak 32 kabupaten/kota
telah menerima sertifikat eliminasi filariasis dan sebanyak 172 kabupaten/kota
melakukan tahap Pre-TAS/TAS/surveilans pasca POPM filariasis.
Provinsi NTT merupakan salah satu wilayah layanan BBTKLPP Surabaya.
Berdasarkan data laporan, provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu
daerah dengan endemis filariasis. Hasil survey yang dilakukan di 22
kabupaten/kota, Provinsi NTT menunjukkan bahwa terdapat 18 kabupaten/kota
dalam kategori endemis filariasis. Kasus filariasis di Provinsi NTT pada tahun
2008-2012 ditemukan pada 11 kabupaten. Penderita filariasis yang ditemukan
distribusi kasus berdasarkan kelompok umur >15 tahun di Kabupaten Lembata

1
2

berjumlah sebanyak 7 kasus. Sedangkan, berdasarkan distribusi kasus berdasarkan


jenis kelamin di Kabupaten Lembata ditemukan sebanyak 5 kasus pada laki-laki
dan 2 kasus pada perempuan. Pada tahun 2019, pemeriksaan yang dilakukan
terhadap 300 sampel di provinsi NTT ditemukan nilai endemisitas di Kabupaten
Lembata sebesar 10%. Pelaksanaan jadwal Pre-TAS menyesuaikan dengan
tahapan eliminasi. Pemilihan lokus ditentukan oleh subdit filariasis dan
kecacingan terkait beberapa lokasi. Sehingga, pada tahun 2021 yang menjadi
wilayah layanan BBTKLPP Surabaya di provinsi NTT untuk lokus
dilaksanakannya survei mikrofilaria (Pre-TAS) yaitu Kabupaten Lembata,
Nagekeo, Sumba Timur, Manggarai, dan Ngada.
Dalam rangka mewujudkan Indonesia bebas filariasis, pemerintah
melakukan komitmen untuk melaksanakan pencegahan dan pengendalian
penyakit yang disebabkan oleh vektor. Penyakit yang menuju eliminasi di
Indonesia pada tahun 2030 diantaranya adalah eliminasi malaria, eliminasi
filariasis, dan reduksi DBD (Kemenkes RI, 2020). Salah satu strategi yang
dilakukan dalam upaya eliminasi filariasis adalah memutus rantai penularan
filariasis dengan Pemberian Obat Pencegahan secara Massal (POPM) di
kabupaten atau kota yang merupakan daerah endemis filariasis.

B. Tujuan Magang
1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran pelaksanaan survei prevalensi mikrofilaria (Pre-
TAS) di wilayah layanan BBTKLPP Surabaya.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pelaksanaan kegiatan magang di wilayah layanan
BBTKLPP Surabaya.
b. Menggambarkan pelaksanaan survei prevalensi mikrofilaria (Pre-
TAS) di wilayah Kabupaten Lembata.
c. Mendiagnosis masalah pada pelaksanaan survei prevalensi
mikrofilaria (Pre-TAS) melalui pendekatan sistem di wilayah
Kabupaten Lembata.
3

d. Menyusun prioritas masalah pada pelaksanaan survei prevalensi


mikrofilaria (Pre-TAS) di wilayah Kabupaten Lembata.
e. Menyusun alternaif pemecahan masalah pada pelaksanaan survei
prevalensi mikrofilaria (Pre-TAS) di wilayah Kabupaten Lembata.

C. Manfaat Magang
1. Bagi Peserta Magang
a. Menambah ilmu pengetahuan di bidang kesehatan di wilayah layanan
BBTKLPP Surabaya.
b. Menambah wawasan dan pengalaman kondisi kerja secara nyata
selama magang di wilayah layanan BBTKLPP Surabaya.
c. Meningkatkan kemampuan dan keterampilan mahasiswa dalam
mengaplikasikan teori yang diperoleh selama masa perkuliahan ke
dalam dunia kerja secara langsung.
2. Bagi Instansi
a. Menumbuhkan kerjasama antara instansi kampus dengan instansi
magang di BBTKLPP Surabaya.
b. Mendapatkan umpan balik antara mahasiswa dengan pihak BBTKLPP
Surabaya.
3. Bagi Program Studi
a. Menjalin hubungan kerjasama dalam dunia akademis dan dunia kerja
antara program studi kesehatan masyarakat dengan pihak BBTKLPP
Surabaya.
b. Meningkatkan kualitas pendidikan dan melibatkan tenaga
keterampilan serta kemampuan observasi dalam kegiatan magang.
c. Memperoleh umpan balik (feedback) untuk kurikulum selanjutnya
dalam program magang.
d. Membangun jejaring dengan pihak pengguna lulusan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Filariasis
Filariasis merupakan penyakit menular menahun yang disebabkan oleh
cacing filaria yang menyerang saluran dan kelenjar getah bening. Penyakit ini
ditularkan oleh semua jenis nyamuk dan dapat menimbulkan kecacatan fisik yaitu
adanya pembengkakan pada bagian tangan, kaki, payudara, dan scortum. Penyakit
ini dapat menurunkan produktivitas kerja pada penderita, beban keluarga, dan
menyebabkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit (Burni et al., 2020).
Filariasis termasuk salah satu penyakit tertua dan paling melemahkan di
dunia. Penyakit ini menyebabkan kecacatan fisik dalam jangka waktu yang lama
bahkan seumur hidup bagi penderita filariasis. Filariasis juga termasuk penyakit
terbesar kedua setelah kecacatan mental. Kasus infeksi kasus filariasis di
Indonesia bagi penderita dapat terbaring selama lima minggu pertahun akibat
gejala klinis yang dialami mewakili sebesar 11% dari usia produktif (Wahyono,
2010).

B. Faktor Risiko Filariasis


Penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor risiko kejadian
filariasis yang meliputi faktor lingkungan, faktor sosial ekonomi, dan perilaku
masyarakat. Berdasarkan temuan tersebut, dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Faktor lingkungan
Faktor lingkungan yang meliputi:
a. Habitat nyamuk di sekitar rumah
Faktor lingkungan berperan dalam kejadian filariasis terutama pada
habitat nyamuk itu sendiri. Pada umumnya, nyamuk suka berada di
tempat yang gelap. Selain itu, nyamuk juga terdapat di genangan air
dalam tempat penampungan air seperti bak atau ember yang menjadi
tempat nyamuk untuk bertelur. Adanya genangan air tersebut dapat
memudahkan nyamuk untuk berkembang biak. Jika populasi nyamuk

4
5

semakin banyak, maka penularan filariasis akan meningkat (Ernawati,


2017).
b. Konstruksi plafon yang tidak baik
Plafon berfungsi sebagai pemisah antara genting dengan ruangan agar
nyamuk tidak bisa masuk ke dalam rumah. Jika konstruksi plafon
buruk, maka dapat menyebabkan nyamuk dapat masuk melalui celah-
celah genting. Adanya nyamuk yang masuk tersebut dapat menggigit
manusia sehingga dapat memungkinkan terjadinya penularan filariasis
(Ernawati, 2017).
c. Ventilasi tanpa kawat kasa
Masyarakat yang pada rumahnya tidak terdapat ventilasi dengan
kawat kasa kemungkinan berisiko dapat terkena filariasis.
Pemasangan kawat kasa merupakan salah satu upaya untuk
melindungi dari gigitan nyamuk. Selain itu, kawat kasa dapat
mencegah adanya nyamuk masuk ke dalam rumah sehingga dapat
terhindar dari gigitan nyamuk vektor filariasis (Ernawati, 2017).
d. Adanya kandang ternak dekat rumah
Keberadaan kandang ternak dapat mengurangi risiko penularan
filariasis. Hal ini dikarenakan hewan yang terdapat di kandang
merupakan penghambat (barrier) agar nyamuk tersebut tidak
menggigit manusia. Beberapa nyamuk memiliki perilaku lebih suka
menghisap darah hewan. Jika terdapat kendang ternak maka nyamuk
dapat hinggap di hewan ternak tersebut dibandingkan masuk ke
rumah. Sehingga, dapat menurunkan risiko untuk tertular filariasis
(Santoso, 2014).
e. Kepadatan hunian tinggi
Masyarakat yang tinggal di lokasi yang padat dapat menjadi faktor
risiko filariasis. Kepadatan hunian dapat meningkatkan kelembaban
dalam rumah. Kondisi lingkungan tersebut menyebabkan nyamuk
berdatangan karena udara yang lembab lebih disukai oleh nyamuk.
Kelembaban udara yang tinggi membuat nyamuk lebih aktif dan lebih
6

sering menggigit, sehingga dapat meningkatkan penularan filariasis


(Ernawati, 2017).
f. Adanya barang yang menggantung
Perilaku masyarakat yang suka menggantung barang terutama baju
dapat menjadikan tempat peristirahatan nyamuk. Adanya barang yang
digantung diketahui dapat berhubungan dengan kejadian filariasis.
Nyamuk dapat bersembunyi di tempat tersebut hingga menunggu
proses pematangan telur (Ernawati, 2017).
g. Sanitasi lingkungan yang buruk
Kondisi lingkungan sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan
transmisi penyakit filariasis. Mengingat penyakit filariasis merupakan
penyakit yang berbasis lingkungan, sehingga lingkungan berperan
dalam penularan filariasis. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk
menjaga kebersihan lingkungan antara lain membersihkan tempat
yang mungkin dapat menjadi sarang nyamuk, seperti kaleng atau
potongan bambu berisi hujan. Selain itu juga melakukan pengelolaan
air limbah yang baik (Slamet, 2002).
2. Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi yang meliputi:
a. Pekerjaan
Masyarakat yang memiliki pekerjaan terutama yang bekerja pada
malam hari berisiko tertular filariasis. Hal ini dapat terjadi karena
pada saat jam tersebut nyamuk lebih banyak beraktifitas sehingga
kemungkinan dapat digigit oleh nyamuk (Ernawati, 2017).
b. Jenis kelamin
Jenis kelamin merupakan salah satu faktor risiko filariasis. Pada
umumnya, penyakit filariasis tidak memandang jenis kelamin, baik
laki-laki maupun perempuan, semua dapat berisiko tertular filariasis.
Tetapi, dalam kasus filariasis biasanya lebih banyak ditemukan pada
laki-laki daripada perempuan. Hal ini dapat terjadi karena laki-laki
lebih sering bekerja di malam hari sehingga berpeluang adanya kontak
dengan vektor nyamuk lebih tinggi (Ernawati, 2017).
7

c. Tingkat penghasilan
Tingkat penghasilan merupakan salah satu faktor risiko filariasis.
Tingkat penghasilan sering dikaitkan dengan kemampuan ekonomi
pada individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dinilai
mampu untuk menjangkau fasilitas pelayanan kesehatan yang baik
(Ernawati, 2017).
3. Faktor perilaku masyarakat
Faktor perilaku masyarakat yang meliputi:
a. Tidur tanpa kelambu
Perilaku masyarakat yang tidur tanpa menggunakan kelambu dapat
meningkatkan risiko tertular filariasis, karena kemungkinan untuk
digigit nyamuk semakin besar. Mengingat filariasis dapat ditularkan
oleh semua jenis nyamuk, sehingga risiko penularan filariasis juga
semakin besar. Penggunaan kelambu dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari kontak dengan nyamuk untuk mencegah filariasis
(Ernawati, 2017).
b. Tinggal dengan penderita filariasis
Orang yang tinggal atau berada di lingkungan penderita filariasis
dapat meningkatkan risiko tertular filariasis. Hal ini dapat terjadi
karena vektor penularan filariasis adalah melalui nyamuk. Sehingga,
ketika nyamuk tersebut sudah menggigit penderita filariasis, maka
orang yang sehat dapat memungkinkan terjadinya penularan filariasis
di sekitar lingkungan tersebut (Ernawati, 2017).
c. Kebiasaan keluar rumah pada malam hari
Orang yang sering keluar rumah pada malam hari berisiko tertular
filariasis. Kebiasaan keluar rumah pada malam hari dapat tergigit
nyamuk yang merupakan vektor dari penyakit filariasis. Nyamuk
anopheles memungkinkan menggigit pada malam hari mulai dari
senja hingga tengah malam. Kegiatan yang dilakukan masyarakat
pada malam hari dapat berupa menjaga kebun, ronda, dan mengobrol
di rumah ataupun tempat-tempat umum lainnya (Ernawati, 2017).
d. Tidak memakai baju dan celana panjang pada malam hari
8

Penggunaan baju panjang dan celana panjang dapat mengurangi risiko


terkena filariasis. Penggunaan baju panjang dan celana panjang
merupakan salah satu upaya untuk menghindari gigitan nyamuk
terutama ketika berada di luar rumah pada malam hari (Ernawati,
2017).
e. Tidak menggunakan obat nyamuk
Penggunaan obat nyamuk merupakan salah satu upaya untuk
menghindari gigitan nyamuk. Hal tersebut termasuk metode
perlindungan diri yang dapat dilakukan untuk mencegah adanya
kontak dengan nyamuk. Sehingga, strategi pencegahan dalam
penularan filariasis dapat berkurang (Ernawati, 2017).
f. Kurangnya pengetahuan terkait filariasis
Tingkat pengetahuan berpengaruh terhadap perilaku penduduk terkait
filariasis. Pengetahuan dapat menunjang keberhasilan upaya
pemberantasan penyakit. Upaya pencegahan tersebut dapat dilakukan
dengan meningkatkan pengetahuan masyarakat melalui penyuluhan
terkait cara penularan dan menghindari vektor penyakit filariasis
(Syuhada and W, 2012).

C. Cara Penularan Filariasis


Di Indonesia, kasus filariasis disebabkan oleh 3 jenis spesies cacing, yaitu
Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. Brugia Malayi
merupakan jenis spesies yang banyak tersebar di wilayah Indonesia. Brugia
Timori merupakan jenis spesies yang hanya terdapat di wilayah timur, seperti di
pulau Timor, Flores, Rote, Alor, dan beberapa pulau kecil di wilayah NTT.
Sedangkan, jenis spesies Wuchereria Brancrofti terdapat di pulau Jawa, Bali,
NTB, dan Papua (Burni et al., 2020).
Seorang dapat tertular filariasis apabila orang tersebut mendapat gigitan
nyamuk infektif, yaitu nyamuk yang mengandung larva cacing stadium 3. Pada
saat nyamuk infektif menggigit manusia, larva ini akan keluar dari probosis dan
tinggal di kulit sekitar lubang gigitan nyamuk. Saat nyamuk menarik probosisnya,
larva ini akan masuk melalui luka bekas gigitan nyamuk dan bergerak menuju
9

sistem limfe. Kepadatan nyamuk, suhu dan kelembaban sangat berpengaruh


terhadap penularan filariasis. Mobilitas penduduk dari daerah endemis filariasis ke
daerah lain atau sebaliknya, berpotensi menjadi media penyebaran filariasis antar
daerah.

D. Masa Inkubasi Filariasis


Masa inkubasi penyakit filariasis tergantung dari jenis spesies yang
menginfeksi. Infeksi dengan spesies Brugia spp memiliki masa inkubasi yang
berlangsung selama 2 bulan. Pada infeksi dengan spesies Wuchereria Bancrofti
memiliki masa inkubasi selama 5 bulan (Burni et al., 2020).

E. Tahapan Eliminasi Filariasis


Sebelum dilaksanakannya program untuk eliminasi filariasis, suatu daerah
terlebih dahulu dilakukan survei darah jari. Tahapan yang dilalui berupa survei
endemitas, survei midterm, survei Pre-TAS, dan TAS.
1. Survei Endemisitas
Survei endemisitas dilakukan ketika ditemukan adanya kasus klinis
filariasis. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan dan berdasarkan hasil diagnosis
menunjukkan bahwa positif mikrofilaria. Sehingga, survei endemisitas tersebut
dilakukan untuk mengetahui adanya potensi filariasis di suatu daerah. Survei
darah jari (SDJ) dilakukan dengan mengumpulkan sebanyak 300 sampel pada jam
10 malam sampai pada pukul 03.00 dini hari. Jika ditemukan Mf rate sebesar
>1%, maka daerah tersebut dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis.
2. Survei Midterm
Survei ini dilakukan untuk melihat efektivitas setelah diberikan
pengobatan di tahun kedua. Evaluasi tersebut dilakukan di seluruh desa yang
disurvei untuk melihat adanya penurunan Mf rate. Jika pada periode ini ditemukan
kasus positif, maka pengobatan masal dilanjutkan kembali di tahap periode
berikutnya.
3. Survei Pre-TAS
Survei Pre-TAS dilaksanakan di dua desa, yaitu desa sentinel dan desa
spotcheck. Desa sentinel merupakan desa yang pernah dilaporkan terdapat kasus
10

filariasis pada Survei Data Dasar Prevalensi Mikrofilaria sebelum pelaksanaan


POPM filariasis. Desa spotcheck merupakan pemilihan desa yang dekat dengan
desa sentinel. Desa dalam spotcheck termasuk dalam daerah pelaksanaan POPM
filariasis dan belum pernah dilakuakan SDJ, Survei Data Dasar Prevalensi
Mikrofilaria, dan Survei Evaluasi Prevalensi Mikrofilaria. Desa spotcheck dipilih
terutama yang dicurigai berisiko terjadinya penularan filariasis. Survei Pre-TAS
dilakukan pada penduduk usia 5-65 tahun. Syarat dilakukannya Pre-TAS yaitu
ketika cakupan minum obat pada penduduk sasaran memiliki persentase sebesar
85%. Jika hasil survei Pre-TAS menunjukkan angka Mf rate sebesar <1%, maka
dapat dilanjutkan pada survei TAS-1. Apabila hasil survei Pre-TAS menunjukkan
angka Mf rate sebesar >1%, maka dinyatakan masih memiliki risiko penularan
filariasis yang tinggi. Sehingga, POPM harus dilanjutkan kembali minimal dalam
dua tahun berturut-turut.
4. Survei TAS
Survei ini dilakuakan untuk menilai apakah masih ditemukan adanya
penularan filariasis di daerah tersebut. Survei ini fokus pada sasaran anak SD
kelas 1-2 usia 5-6 tahun. Survei TAS terdiri dari 3 tahapan yaitu TAS-1, TAS-2,
dan TAS-3. Survei TAS-1 dilakukan setelah tahun ke-5 POPM filariasis dan hasil
survei evaluasi prevalensi POPM filariasis tahun kelima menunjukkan angka Mf
rate <1% pada desa sentinel maupun desa spotcheck. TAS-2 dilakukan pada akhir
tahun ke-2 periode stop POPM filariasis dan TAS-3 dilakukan pada akhir tahun
ke-4 periode stop POPM filariasis.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 94 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Filariasis, langkah-langkah untuk merealisasikan strategi
eliminasi filariasis agar dapat dicapai pada tahun 2030 memerlukan rencana yang
sistematis dan berkelanjutan yang mengacu pada tahapan realisasi kegiatan. Pada
pelaksanaan program eliminasi, kegiatan utama yang menjadi prioritas nasional
yaitu dengan melaksanakan POPM Filariasis untuk memutus rantai penularan
filariasis pada penduduk di semua Kabupaten/Kota dengan endemis filariasis dan
seluruh penderita filariasis mendapatkan pelayan kesehatan yang terbaik.
Strategi yang dilakukan:
11

a. Memutus rantai penularan filariasis dengan melakukan POPM di


Kabupaten/Kota yang endemis filariasis.
b. Membatasi kecacatan melalui penatalaksanaan kasus klinis filariasis.
c. Pengendalian terhadap vektor nyamuk.
d. Memperkuat surveilans, jejaring laboratorium, dan mengembangkan
penelitian.
e. Memperkuat kerjasama lintas daerah dan negara untuk memutus rantai
penularan filariasis.
Penanggulangan filariasis merupakan upaya-upaya yang dilakukan untuk
pelaksanaan eliminasi filariasis. Kegiatan yang dilakukan yaitu surveilans
kesehatan, penanganan penderita, pengendalian faktor risiko, serta Komunikasi,
Informasi dan Edukasi (KIE).
1. Surveilans Kesehatan
a. Penemuan penderita dengan melakukan survei penderita filariasis
kronis yang dilaksanakan oleh puskesmas. Survei ini dilakukan untuk
mencari, menemukan, dan menentukan adanya kasus sebaran
penderita filariasis kronis menurut desa atau kelurahan di setiap
wilayah kabupatan/kota. Hasil dari survei tersebut dijadikan sebagai
data dasar sebelum pelaksanaan kegiatan POPM filariasis.
b. Survei data dasar prevalensi mikrofilaria yang digunakan untuk
mengetahui Mf rate pada suatuwilayah sebagai penentuan daerah
tersebut endemis filariasis.
c. Survei evaluasi prevalensi mikrofilaria dilakukan untuk mengetahui
prevalensi mikrofilaria dan kepadatan mikrofilaria setelah
dilaksanakannya POPM filariasis. Survei ini dilakukan hanya pada
desa terpilih yaitu desa sentinel dan desa spotcheck.
d. Survei evaluasi penularan filariasis (TAS) merupakan salah satu
metode survei untuk menilai adanya penularan kasus filariasis di suatu
wilayah. Sasaran dalam survei ini dilakukan pada anak SD kelas 1 dan
2 yang berusia 6-7 tahun.
2. Penanganan Penderita
12

Penanganan penderita dalam penanggulngan filarisis dilakukan dengan


tujuan untuk mencegah ddan membatasi kecacatan akibat filariasis agar penderita
mampu hidup dengan lebih baik serta dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial
di masyarakat. Secara khusus, penangan penderita bertujuan untuk:
a. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan bagi petugas, penderita
filariasis serta keluarga dalam penatalaksanaan penderita secara
mandiri.
b. Menurunnya jumlah kasus akut pada penderita kronis.
c. Mencegah dan membatasi kecacatan.
d. Tindakan medis pada penderita hidrokel.
3. Pengendalian Faktor Risiko
Sumber penularan filariasis yang utama adalah manusia terinfeksi cacing
filaria. Komponen yang menjadi faktor risiko terjadinya penularan filariasis yaitu
adanya vektor nyamuk, hospes pada manusia dan hewan, serta lingkungan baik
fisik, biologis, sosial, ekonomi, dan budaya.
Identifikasi adanya penularan filariasis pada suatu wilayah dapat dilihat
berdasarkan hal-hal berikut:
a. Adanya penderita kasus klinis (akut atau kronis), jika ditemukan
adanya penderita filariasis maka dpat memperkuat dugaan bahwa
wilayah tersebut memungkinan dapat terjadi penularan.
b. Adanya hasil positif mikrofilaria pada penduduk yang diperiksa.
c. Adanya vektor nyamuk penular.
d. Lingkungan yang ada di suatu wilayah.
4. KIE
Sasaran KIE dalam penanggulangan filariasis terbagi menjadi:
a. Sasaran Primer
Sasaran ini ditujukan pada kelompok masyarakat yang mengikuti
kegiatan POPM selama lima tahun berturut-turut, penatalaksanaan
penderita filariasis kronis, dan menghindari kontak dengan vektor
nyamuk.
b. Sasaran Sekunder
13

Sasaran ini ditujukan pada kelompok yang memiliki pengaruh secara


langsung maupun tidak langsung. Sasaran tersebut yaitu Petugas lintas
program, Petugas lintas sektor lain, PKK, Kepala Desa, Tokoh
Masyarakat, Tokoh Agama, Ketua RT/RW, dll.
c. Sasaran Tersier
Sasaran ini ditujukan pada para pengambil keputusan, penentu
kebijakan, dan penyandang dana, seperti Gubernur, Bupati, DPRD
Provinsi maupun Kabupaten/Kota, Bappeda Provinsi maupun
Kabupaten/Kota, Camat, pengelola media cetak dan elektronik, dunia
usaha, serta organisasi profesi.
Keberhasilan KIE yang dilakukan oleh petugas penyuluh dapat dilihat
dari:
a. Perubahan perilaku masyarakat yang ikut melaksanakan SDJ dan
minum obat secara teratur sesuai jangka waktu yang telah ditentukan.
b. Adanya peran serta masyarakat.
c. Adanya usaha yang dilakukan penduduk untuk menghindari kontak
dengan nyamuk.
d. Menurunnya tingkat penularan setelah dilakukan POPM.
e. Cakupan SDJ dan POPM sesuai dengan target.
Tahap-tahap dalam pelaksanaan POPM filariasis antara lain:
a. Tahap I: pemetaan daerah endemis filariasis.
b. Tahap II: pelaksanaan kegiatan POPM filariasis.
c. Tahap III: surveilans pasca POPM filariasis.
d. Tahap IV: sertifikasi eliminasi filariasis nasional.
e. Tahap V: verifikasi eliminasi filariasis.
Monitoring dan Evaluasi dalam program eliminasi filariasis sebagai
berikut:
1. Monitoring dilakukan secara berjenjang yang masing-masing memiliki
fungsi. Kegiatan monitoring secara tingkatan administratif yaitu dari
Puskesmas, Kabupaten/Kota, Provinsi, Dan Pusat.
2. Evaluasi dalam pelaksanaan kegiatan POPM filariasis meliputi sasaran
evaluasi terkait jumlah desa yang melaksanakan POPM filariasis, cakupan
14

pengobatan penduduk, penurunan prevalensi mikrofilaria, dan penurunan


risiko penularan filariasis (TAS), serta pengukuran evaluasi yang terdiri
dari cakupan geografis, cakupan pengobatan, dan survei cakupan wilayah
kabupaten/kota.
BAB 3
METODE KEGIATAN MAGANG

A. Lokasi Magang
Lokasi kegiatan magang dilaksanakan di BBTKLPP Surabaya pada
Bidang Surveilans Epidemiologi yang terletak di Jl. Sidoluhur No.12, Kemayoran,
Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, 60175.

B. Waktu Magang
Kegiatan magang dilaksanakan selama satu bulan, dimulai pada 09 Maret
2022 hingga 06 April 2022. Waktu magang disesuaikan mengikuti jam kerja di
BBTKLPP Surabaya. Jadwal magang dimulai pada hari Senin-Kamis pukul
07.30-16.00 WIB dan hari Jumat pukul 07.30-16.30 WIB.

C. Metode Pelaksanaan Magang


Kegiatan magang dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut:
1. Diskusi
Diskusi yang dilakukan berupa penjelasan dan pemberian materi dari
pembimbing lapangan untuk memperoleh informasi dan gambaran terkait
penyakit filariasis di wilayah layanan BBTKLPP Surabaya.
2. Partisipasi aktif
Peserta magang mengikuti kegiatan secara langsung yang dilaksanakan
oleh pihak BBTKLPP Surabaya. Kegiatan yang dilakukan adalah pengendalian
penyakit Pes di Pasuruan yang terdiri dari pengambilan trap tikus, pengambilan
sampel darah tikus, dan pengambilan pinjal.
3. Studi dokumentasi
Studi dokumentasi dilakukan melalui data sekunder berupa laporan survei
prevalensi mikrofilaria (Pre-TAS) yang terdapat di BBTKLPP Surabaya.

D. Teknik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data dilakukan dengan pengumpulan data sekunder
dengan melihat laporan data kesehatan di Profil BBTKLPP Surabaya. Selain itu,

15
16

juga melalui kegiatan wawancara yang dilakukan bersama Bu Yuni selaku


Penanggungjawab kegiatan terkait Filariasis dan Kecacingan. Tujuan dari
wawancara tersebut untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan topik
permasalahan yang akan diambil di tempat instansi magang. Informasi yang
dihasilkan yaitu terkait program eliminasi filariasis dan pelaksanaan survei
prevalensi mikrofilaria (Pre-TAS) di Kabupaten Lembata, NTT.
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN KASUS

A. Gambaran Kegiatan Magang


Pelaksanaan kegiatan magang yang dilakukan di BBTKLPP Surabaya
yang terletak di Jl. Sidoluhur No.12, Kemayoran, Kecamatan Krembangan, Kota
Surabaya, Provinsi Jawa Timur, 60175. Penulis melaksanakan kegiatan magang
selama satu bulan terhitung sejak tanggal 09 Maret 2022 hingga 06 April 2022.
Selama pelaksanaan kegiatan magang di BBTKLPP Surabaya dilakukan kegiatan
sebagai berikut:
1. Kegiatan magang dilaksanakan mengikuti jam kerja instansi, dimulai pada
hari Senin-Kamis pukul 07.30-16.00 WIB, sedangkan hari Jumat dimulai
pada pukul 07.30-16.30 WIB.
2. Selama kegiatan magang berlangsung, penulis memakai pakaian rapi dan
sopan. Selain itu, penulis juga menaati protokol kesehatan yang berlaku
seperti memakai masker dan handsanitizer.
3. Kegiatan lain yang dilakukan adalah pembekalan magang, pemberian
materi oleh beberapa pihak terkait di Bidang Surveilans Epidemiologi,
melakukan input data, analisis data, dan interpretasi data. Selain itu,
terdapat kegiatan observasi secara langsung yang dilaksanakan di
Pasuruan.

B. Gambaran Kasus/Masalah
Strategi pemerintah dalam melakukan eliminasi penyakit filariasis yaitu
dengan memutus rantai penularan melalui POPM dan mengurangi kecacatan.
Eliminasi filariasis membutuhkan waktu yang lama karena harus melewati
tahapan survei yang dilakukan, dimulai dari survei endemisitas, survei midterm,
survei Pre-TAS, dan survei TAS. BBTKLPP Surabaya turut berpartisipasi dalam
rangka eliminasi filariasis melalui tahapan survei Pre-TAS. Wilayah layanan yang
menjadi sasaran BBTKLPP Surabaya yaitu di Provinsi NTT. Provinsi NTT
menjadi wilayah layanan BBTKLPP dengan memiliki 5 lokus, salah satunya yaitu
Kabupaten Lembata. Pelaksanaan SDJ yang dilakukan pada malam hari dapat

17
18

menganggu waktu istirahat bagi masyarakat setempat. Selain itu, pengambilan


sampel darah yang dilakukan melibatkan banyak responden dan adanya
keterbatasan terkait waktu. Ketersediaan alat mikroskop di lapangan kurang
memadai karena jumlahnya yang terbatas, sehingga sampel harus dibawa pulang
terlebih dahulu untuk dilanjutkan pengecekan. Permasalahan lain yaitu ketika
sampel dibawa pulang terkadang petugas yang membaca hasil sampel tersebut
mendapat tugas dinas di luar, sehingga pembacaan sampel tertunda. Dari 659
responden yang dilakukan pemeriksaan didapatkan hasil bahwa semua responden
yang diperiksa adalah negatif. Artinya, tidak ditemukan mikrofilaria dalam darah
sampel responden.
Berikut ini merupakan hasil cakupan POPM filariasis di Kabupaten
Lembata, NTT:
Tabel 4.1 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten Lembata tahun 2015 di
BBTKLPP Surabaya

Cakupan
(jumlah
No. Kecamatan/Puskesmas Capaian
penduduk
sasaran)
1. Waipukang 91% Tercapai
2. Waiknuit 87% Tercapai
3. Wulandoni 90% Tercapai
4. Hadakewa 87% Tercapai
5. Lamaau 94% Tercapai
6. Loang 92% Tercapai
7. Balauring 85% Tercapai
8. Lewoleba 86% Tercapai
9. Wairiang 78% Belum Tercapai
Sumber: Data Laporan POPM Filariasis Kab. Lembata (BBTKLPP Surabaya)
Berdasarkan tabel 4.1 sumber data pada tahun 2015, diketahui bahwa
terdapat 1 kecamatan yang memiliki persentase cakupan minum obat belum
memenuhi target dari jumlah sasaran yaitu sebesar 85%. Sehingga, dari data
tersebut dapat dilakukan POPM di tahun berikutnya.
19

Tabel 4.2 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten Lembata tahun 2016 di
BBTKLPP Surabaya

Cakupan (jumlah
No. Kecamatan/Puskesmas Capaian
penduduk sasaran)

1. Waipukang 88% Tercapai


2. Waiknuit 87% Tercapai
3. Wulandoni 89% Tercapai
4. Hadakewa 88% Tercapai
5. Lamaau 90% Tercapai
6. Loang 86% Tercapai
7. Balauring 86% Tercapai
8. Lewoleba 64% Belum Tercapai
9. Wairiang 84% Belum Tercapai
Sumber: Data Laporan POPM Filariasis Kab. Lembata (BBTKLPP Surabaya)

Berdasarkan tabel 4.2 sumber data pada tahun 2016, diketahui bahwa
terdapat 7 dari 9 kecamatan memiliki persentase cakupan minum obat telah
memenuhi target dari jumlah sasaran yaitu sebesar 85%. Kecamatan yang telah
memenuhi target tersebut yaitu Waipukang, Waiknuit, Wulandoni, Hadakewa,
Lamaau, Loang, dan Balauring. Tetapi, pada kecamatan Wairiang dan Lewoleba
cakupan minum obat masih belum memenuhi target. Adanya kecamatan yang
belum memenuhi target tersebut, maka dilakukan POPM kembali untuk menilai
tingkat risiko penularan pada tahun berikutnya.
Tabel 4.3 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten Lembata tahun 2017 di
BBTKLPP Surabaya

Cakupan (jumlah
No. Kecamatan/Puskesmas Capaian
penduduk sasaran)

1. Waipukang 98% Tercapai


2. Waiknuit 86% Tercapai
3. Wulandoni 87% Tercapai
4. Hadakewa 85% Tercapai
5. Lamaau 93% Tercapai
6. Loang 87% Tercapai
7. Balauring 96% Tercapai
8. Lewoleba 65% Belum Tercapai
9. Wairiang 85% Tercapai
Sumber: Data Laporan POPM Filariasis Kab. Lembata (BBTKLPP Surabaya)
20

Berdasarkan tabel 4.3 sumber data pada tahun 2017, diketahui bahwa pada
tahun 2017, Kecamatan Lewoleba masih belum memenuhi target dari jumlah
sasaran yaitu sebesar 85%. Namun, persentase cakupan POPM Filariasis di
Kecamatan Lewoleba ini mengalami kenaikan secara signifikan dari tahun
sebelumnya. Sehingga, perlu dilakukan POPM kembali pada tahun berikutnya
untuk menilai tingkat penularan filariasis.
Tabel 4.4 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten Lembata tahun 2018 di
BBTKLPP Surabaya

Cakupan (jumlah
No. Kecamatan/Puskesmas Capaian
penduduk sasaran)

1. Waipukang 97% Tercapai


2. Waiknuit 91% Tercapai
3. Wulandoni 95% Tercapai
4. Hadakewa 91% Tercapai
5. Lamaau 95% Tercapai
6. Loang 94% Tercapai
7. Balauring 84% Tercapai
8. Lewoleba 85% Tercapai
9. Wairiang 87% Tercapai
Sumber: Data Laporan POPM Filariasis Kab. Lembata (BBTKLPP Surabaya)

Berdasarkan tabel 4.4 sumber data pada tahun 2018, diketahui bahwa
secara keseluruhan kecamatan di Kabupaten Lembata memiliki persentase
cakupan minum obat telah memenuhi target dari jumlah sasaran yaitu sebesar
85%. Kecamatan yang telah memenuhi target tersebut yaitu Waipukang,
Waiknuit, Wulandoni, Hadakewa, Lamaau, Loang, Balauring, Lewoleba, dan
Wairiang.
Tabel 4.5 Persentase Cakupan POPM Filariasis Kabupaten Lembata tahun 2019 di
BBTKLPP Surabaya

Cakupan (jumlah
No. Kecamatan/Puskesmas Capaian
penduduk sasaran)

1. Waipukang 95% Tercapai


2. Waiknuit 91% Tercapai
3. Wulandoni 95% Tercapai
4. Hadakewa 90% Tercapai
5. Lamaau 96% Tercapai
6. Loang 90% Tercapai
21

7. Balauring 87% Tercapai


8. Lewoleba 83% Belum Tercapai
9. Wairiang 80% Belum Tercapai
Sumber: Data Laporan POPM Filariasis Kab. Lembata (BBTKLPP Surabaya)

Berdasarkan tabel 4.5 sumber data pada tahun 2019, diketahui bahwa
Kecamatan Lewoleba dan Wairiang memiliki persentase cakupan minum obat
yang kurang dari target sebesar 85%.

Gambar 4.1 Grafik Cakupan POPM Filariasis di Kabupaten Lembata, NTT


Sehingga, berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa terdapat 2
kecamatan yang memiliki persentase cakupan minum obat belum memenuhi
target 85% dari jumlah sasaran yaitu di Kecamatan Lewoleba dan Wairiang.
Meskipun pada tahun ke-4 Kecamatan Lewoleba memiliki persenttase cakupan
minum obat pada penduduk sasaran sudah memenuhi target 85%, tetapi pada
tahun ke-5 kecamatan ini memiliki persentase yang menurun. Sehingga,
berdasarkan grafik cakupan POPM filariasis tersebut yang menjadi daerah fokus
dilakukannya Pre-Tas yaitu di Kecamatan Lewoleba.
Berdasarkan data laporan Survei Pre-TAS di Kabupaten Lembata pada
tahun 2021, survei Pre-TAS di Kabupaten Lembata dilakukan di 2 desa, yaitu
Desa Sentinel dan Desa Spotcheck. Desa sentinel yang menjadi sasaran yaitu
Desa Lewoleba Barat dengan jumlah penduduk sebanyak 3.799 jiwa. Sedangkan,
desa spotcheck yang menjadi sasaran yaitu Desa Balauring dengan jumlah
penduduk sebanyak 16.000 jiwa. Berikut ini merupakan karakteristik responden
yang dilakukan survei:

Tabel 4.6 Frekuensi Responden Survei Filariasis Berdasarkan Jenis Kelamin

Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)


Laki-laki 294 44,61%
Perempuan 365 55,39%
Total 659 100%
22

Berdasarkan tabel 4.6, diketahui bahwa distribusi frekuensi menurut jenis


kelamin pada laki-laki didaptkan sebanyak 294 responden dan pada perempuan
didapatkan sebanyak 365 responden. Data tersebut menunjukkan bahwa hasil
sampel perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Jumlah perempuan yang lebih
banyak dapat menjadi faktor risiko penyakit filariasis, akan tetapi hal ini perlu
adanya penelitian lebih lanjut. Menurut penelitian (Juhairiyah et al., 2019)
“Kepatuhan Masyarakat Minum Obat Pencegah Massal Filariasis (Kaki Gajah):
Studi Kasus Desa Bilas, Kabupaten Tabalong” terkait karakteristik responden dan
kejadian filariasis menytakan bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik
responden dengan kejadian filariasis. Penyakit filariasis bisa menular tanpa
melihat jenis kelamin. Tetapi, dari banyak kasus filariasis paling banyak terjadi
pada laki-laki.
Tabel 4.7 Frekuensi Responden Survei Filariasis Berdasarkan Usia

Usia Frekuensi Persentase


(%)
5-15 tahun 199 30,20%
16-30 tahun 126 19,12%
31-40 tahun 113 17,15%
41-50 tahun 93 14,11%
51-60 tahun 92 13,96%
>60 tahun 36 5,46%
Total 659 100%

Berdasarkan tabel 4.7, diketahui distribusi frekuensi untuk usia pada


responden yang disurvei di dua desa menunjukkan bahwa persentase antara
rentang kelompok umur tersebar secara merata. Sehingga, berdasarkan data
tersebut penularan filariasis memiliki peluang yang sama pada semua kelompok
umur. Menurut penelitian (Juhairiyah et al., 2019) menyatakan bahwa tidak
terdapat hubungan antara usia dengan kejadian filariasis. Namun, beberapa
penelitian ditemukan adanya kasus filariasis terjadi pada responden dengan usia
produktif yaitu pada rentang usia 31-40 tahun.
23

Gambar 4.2 Banyaknya Minum Obat Selama POPM


Berdasarkan gambar 4.2 terkait banyaknya minum obat selama POPM,
diketahui bahwa dari 659 responden, masih banyak responden yang hanya minum
obat satu kali selama POPM yaitu sebanyak 319 responden. Hal ini menunjukkan
bahwa cakupan minum obat pada responden survei Pre-TAS di dua desa terpilih
masih kurang. Sehingga, risiko penularan masih terjadi. Menurut penelitian
(Supranelfy et al., 2019) “Survei Darah Jari di Kabupaten Tanjung Jabung Timur
Provinsi Jambi Tahun 2017” menyatakan bahwa pada saat melakukan SDJ di
Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi pada tahun 2017 ditemukan
kasus positif filariasis. Adanya penemuan kasus tersebut diketahui bahwa dua
orang tersebut masing-masing baru minum obat filariasis satu kali.

Gambar 4.3 Alasan Tidak Minum Obat


Berdasarkan gambar 4.3 terkait alasan tidak minum obat, diketahui bahwa
dari 659 responden terdapat sebanyak 103 responden yang memiliki beragam
alasan untuk tidak minum obat, diantaranya yaitu karena tidak tahu, takut, lupa,
tidak ditempat, sakit, merantau, asma, hipertensi, sibuk, kerja, tidak sempat, tidak
dikasih, darah tinggi, diabetes, lambung, takut disuntik, dan hamil. Berdasarkan
24

data tersebut, alasan terbanyak adalah karena tidak dikasih, tidak tahu, hipertensi,
dan merantau.
Berikut ini merupakan data terkait faktor risiko penyakit filariasis di
Kabupaten Lembata, NTT:
Tabel 4. 8 Faktor Risiko Penyakit Filariasis

Jumlah
No. Faktor Risiko
Iya Tidak
1. Memelihara ternak satu rumah 461 (70%) 198 (30%)
Memiliki saluran pembuangan air
512 (78%) 147 (23%)
2. kotor
Terdapat semak-semak dekat
403 (61%) 256 (39%)
3 rumah
4. Memakai kelambu waktu tidur 517 (79%) 142 (22%)
5. Memkai repellen waktu tidur 126 (19%) 533 (81%)

Berdasarkan tabel 4.8 terkait faktor risiko penyakit filariasis, diketahui


bahwa persentase pada faktor risiko yang paling besar dapat mempengaruhi
kejadian filariasis yaitu pemakaian repellen, memelihara ternak satu rumah,
terdapat semak-semak dekat rumah, kepemilikan SPAK, dan penggunaan
kelambu. Penggunaan obat nyamuk ketika tidur memiliki presentase yang besar.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh (Amelia, 2014) yang
menyatakan bahwa penggunaan obat nyamuk merupakan perlindungan dari vektor
nyamuk. Responden yang tidak menggunakan obat nyamuk berisiko lebih tinggi
terkena filariasis dibandingkan dengan yang menggunakan obat nyamuk.

C. Diagnosis Masalah Melalui Pendekatan Sistem


Diagnosis masalah dilakukan untuk mengetahui permasalahan yang terjadi
di lingkup internal BBTKLPP Surabaya terhadap program yang telah
dilaksanakan oleh BBTKLPP Surabaya. Diagnosis masalah dilakukan
berdasarkan pendekatan sistem. Pendekatan sistem dilakukan melalui input,
process, dan output. Penjelasan pendekatan sistem tersebut dijabarkan sebagai
berikut:
1. Input
25

Input yang terdiri dari tenaga, metode, dana, dan sarana yang ada di
wilayah layanan BBTKLPP Surabaya.
a. Sumber daya manusia yaitu petugas yang ada di BBTKLPP Surabaya
dan petugas daerah setempat. Petugas BBTKLPP Surabaya yang
melakukan survei prevalensi mikrofilaria (Pre-TAS) berjumlah
sebanyak 5 orang yang terdiri dari tim surveilans sebanyak 2 orang,
tim analis sebanyak 2 orang, dan 1 administrator. Tim surveilans yang
memiliki jabatan fungsional di bidang epidemiologi, tim analis yang
memiliki jabatan fungsional di bidang analis kesehatan, dan 1
administrator yang memiliki jabatan fungsional di bidang
administrasi.
b. Metode yang digunakan dalam pelaksanaan survei prevalensi
mikrofilaria (Pre-TAS) sudah mengikuti pedoman yang telah
ditetapkan WHO “Global Programme to Eliminate Lymphatic
Filariasis” dan mengacu pada Permenkes Nomor 94 Tahun 2014
“Penanggulangan Filariasis”.
c. Dana yang diperoleh untuk proses berjalannya program berupa dana
dari DIPA BBTKLPP Surabaya Tahun Anggaran 2021. Dana yang
diberikan cukup untuk melakukan kegiatan survei prevalensi
mikrofilaria (Pre-TAS) di Kabupaten Lembata.
d. Sarana yang dimiliki oleh BBTKLPP Surabaya yaitu terdapat logistik
berupa bahan reagensia dan suplemen responden. Selain itu, terdapat
bahanp-bahan untuk melakukan survei darah jari (Pre-TAS) yaitu kaca
benda, lancet, tabung kapiler mikro hematocrit, tisu gulung, alcohol
swab, sarung tangan, kotak slide, map slide, giemsa solution, gelas
ukur, formulir survei, pipet tetes, spidol OHP medium marker, tas
lapangan, dan FTS.
2. Process
Process yang dimaksud mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pengumpulan data, hingga pelaksanaan.
a. Terkait usulan kegiatan dilakukan pada tahun sebelumnya.
Perencanaan kegiatan diawali pada awal tahun melalui pengajuan
26

kepada Kementerian Kesehatan. Pengajuan yang masuk kemudian


diakses oleh pihak audit, subdit dan kementerian keuangan. Pihak
subdit melakukan akses terkait kegiatan yang dilakukan. Biro
perencanaan anggaran melakukan akses terkait keuangan. Pada awal
tahun dilakukan penyusunan kerangka perencanaan teknis dan
pengajuan logistik. Tahapan selanjutnya melakukan koordinasi
dengan daerah setempat terkait waktu pelaksanaan kegiatan.
b. Pengorganisasian dilakukan untuk mendukung terealisasinya
perencanaan. Proses koordinasi pihak BBTKLPP Surabaya dilakukan
dengan petugas daerah untuk menyampaikan tujuan, sasaran kegiatan
survei, dan waktu pelaksanaannya. Koordinasi melalui pihak Dinkes
Kabupaten, puskesmas, dan desa. Pada saat hari pelaksanaan survei
melakukan koordinasi dengan desa dan puskesmas terkait persiapan
tempat. Pengambilan sampel dilakukan oleh pihak puskesmas dan
BBTKLPP Surabya. Selain itu, pada saat melakukan kegiatan di
lapangan, terdapat tim yang akan bertugas di lapangan. Tim tersebut
terdiri dari petugas surveilans, analis, dan adminsitrasi.
c. Pengumpulan data dilakukan melalui SDJ di dua desa yaitu desa
sentinel dan desa spotcheck. Pengolahan data dilakukan oleh tim yang
bertugas turun ke lapangan.
d. Pelaksanaan kegiatan ini dilakukan pada tanggal 28 Juni 2021 hingga
04 Juli 2021. Pengambilan sampel darah responden dilakukan pada
pukul 22.00-03.00 dini hari.
3. Output
Output berupa luaran yang nantinya dapat dimanfaatkan bagi masyarakat.
Data yang telah dikumpulkan, diolah, dianalisis, dan diinterpretasikan nantinya
akan menjadi suatu laporan untuk rekomendasi yang disebarluaskan kepada para
pemangku kepentingan. Diseminasi informasi tersebut menjadi dasar untuk
penyusunan suatu kebijakan dan program dalam pencegahan dan pengendalian
penyakit filariasis.
a. Output pada kegiatan ini didapatkan sebanyak 659 responden yang
disurvei. Hasil pada laporan survei prevalensi mikrofilaria (Pre-TAS)
27

yaitu berupa informasi terkait jenis kelamin, umur, POPM, dan faktor
risiko. Berdasarkan data dari 659 responden tersebut tidak ditemukan
adanya kasus positif filariasis.
b. Diseminasi hasil disebarluaskan kepada Kementerian Kesehatan di
Subdit Filca, Dinas Kesehatan Provinsi NTT, dan Dinas Kesehatan
Kabupaten Lembata berbentuk soft file yang berupa laporan hasil
survei.

D. Prioritas Masalah
Penentuan prioritas masalah dilakukan dengan menggunakan metode
USG. Metode USG merupakan salah satu metode yang digunakan untuk
menentukan prioritas masalah yang harus diselesaikan. Tahapan dalam metode ini
yaitu dengan menentukan tingkat urgensi, keseriusan, dan perkembangan masalah
yang akan dibahas dengan menggunakan skala pada rentang 1-5. Kriteria
penentuan metode USG dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. U = Urgency merupakan pembahasan terhadap masalah yang dikaitkan
dengan waktu yang tersedia untuk memecahkan suatu masalah tersebut.
Nilai Urgency dapat dilihat dari ketersediaan waktu, mendesak atau tidak
suatu masalah tersebut dapat terselesaikan.
2. S = Seriousness merupakan pembahasan terhadap masalah yang dikaitkan
dengan akibat yang timbul dengan penundaan pemecahan masalah. Nilai
Seriousness dapat dilihat dari dampak masalah terhadap produktivitas
kerja, pengaruh keberhasilan, dan membahayakan sistem atau tidak.
3. G = Growth merupakan perkembangan dari masalah yang dikaitkan
dengan kemungkinan penyebab masalah yang akan memburuk jika tidak
diselesaikan. Nilai Growth dapat diperoleh dari informasi terkait SDM
yang dimiliki, peraturan perundang-undangan, serta kebijakan pemerintah
yang berlaku.
Adapun langkah-langkahnya yaitu, pemberian skala pada masing-masing
masalah dan perhitungan hasilnya:
a. Nilai 1 = sangat kecil
b. Nilai 2 = kecil
28

c. Nilai 3 = sedang
d. Nilai 4 = besar
e. Nilai 5 = sangat besar
Tabel 4.9 Identifikasi Masalah Pelaksanaan Survei Mikrofilaria (Pre-TAS)
Berdasarkan Metode USG di Wilayah Layanan BBTKLPP
Surabaya
Tingkat Tingkat Tingkat
No. Daftar Masalah Urgensi Keseriusan Perkembangan Total Rank
(U) (S) (G)
SDM dari petugas
1. yang membaca 4 3 3 36 III
hasil sampel
Keterbatasan alat
2. mikroskop di 4 4 3 48 II
lapangan
Pelaksanaan SDJ
3. 5 4 3 60 I
di malam hari

Berdasarkan perhitungan pada tabel 4.9 mengenai prioritas masalah


pelaksanaan survei mikrofilaria (Pre-TAS) di wilayah layanan BBTKLPP
Surabaya menggunakan metode USG yang dibahas didapatkan hasil bahwa 3
prioritas masalah tertinggi adalah pelaksanaan SDJ di malam hari, SDM dari
petugas yang membaca hasil sampel, dan keterbatasan alat mikroskop di
lapangan.
Pelaksanaan SDJ menjadi prioritas karena pelaksanaan kegiatan tersebut
memiliki tingkat urgensi yang berkaitan dengan waktu. Kegiatan yang dilakukan
memiliki keterbatasan waktu karena dilakukan pada malam hari saat masyarakat
setempat sedang beristirahat. Masalah kedua adalah keterbatasan alat mikroskop
di lapangan yang terbatas. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan dengan
Penanggungjawab Filariasis dan Kecacingan terkait persediaan alat mikroskop di
lapangan hanya sedikit. Masalah ketiga adalah SDM dari petugas yang membaca
hasil sampel. Berdasarkan hasil wawancara, pembacaan hasil dilakukan oleh
analis yang turun ke lapangan. Tetapi, terkadang petugas tersebut melakukan
tugas dinas di luar sehingga hal tersebut dapat menghambat pembacaan hasil
sampel dan dapat menunda pembuatan laporan.
29

E. Alternatif Pemecahan Masalah dan Pembahasan


Berdasarkan uraian dari permasalahan tersebut, alternatif pemecahan
masalah serta pembahasan yang dapat dilakukan sebagai upaya penyelesaian
masalah dari pelaksanaan survei prevalensi mikrofilaria (Pre-TAS) agar dapat
mencapai target eliminasi pada tahun 2030 sebagai berikut:
1. Solusi pada masalah pelaksanaan SDJ di malam hari yaitu membuat loket
SDJ sekitar 2-3 agar pelaksanaan SDJ dapat berjalan secara efektif dan
efisien.
Adanya keterbatasan waktu pada saat pengambilan sampel di malam hari
dapat mengakibatkan pelaksanaan SDJ kurang maksimal. Solusi yang dapat
diberikan yaitu dengan membuat loket agar pelaksanaan tidak hanya terbatas
dalam satu antrean saja. Selain melibatkan petugas desa setempat, responden juga
dapat diberikan undangan secara tertulis terlebih dahulu agar dapat
memaksimalkan waktu yang tersedia
2. Solusi pada masalah ketersediaan alat mikroskop di lapangan yaitu
melakukan koordinasi dengan petugas daerah.
Ketersediaan alat mikroskop di lapangan dapat menghambat pembacaan
hasil sampel sehingga sampel harus dibawa pulang terlebih dahulu. Namun, hal
tersebut dapat mengakibatkan hasilnya tidak maksimal. Sehingga, solusi yang
dapat diberikan yaitu sebelum dilaksanakannya kegiatan terlebih dahulu
melakukan koordinasi bersama petugas setempat untuk peminjaman mikroskop
agar pembacaan hasil sampel tidak terlalu lama.
3. Solusi pada masalah SDM dari petugas yang membaca hasil sampel yaitu
melibatkan petugas analis lainnya untuk membantu pembacaan hasil
sampel yang dibawa pulang.
Pembacaan hasil sampel yang tertunda bisa disebabkan oleh SDM dari
petugas analis. Sampel yang dibawa pulang terkadang pembacaan hasilnya sempat
tertunda karena petugas sedang melakukan dinas di luar. Solusi yang dapat
diberikan yaitu melibatkan petugas analis lainnya untuk membantu pembacaan
hasil sampel yang dibawa pulang. Sehingga, pembuatan laporan hasil survei dapat
selesai dengan tepat waktu.
BAB 5
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan kegiatan magang yang telah dilakukan di BBTKLPP
Surabaya, didaptkan kesimpulan sebagai berikut:
1. Kegiatan magang di Bidang Surveilans Epidemiologi BBTKLPP Surabaya
dilaksanakan selama satu bulan pada tanggal 09 Maret 2022 sampai
dengan 06 April 2022. Kegiatan yang dilakukan selama magang di Bidang
Surveilans Epidemiologi yaitu melakukan diskusi dengan pemberian
materi mengenai penyakit yang menjadi fokus di BBTKLPP Surabaya dan
kegiatan lapangan mengenai pengendalian penyakit Pes di Pasuruan.
2. Pelaksanaan survei prevalensi mikrofilaria (Pre-TAS) di wilayah layanan
BBTKLPP Surabaya berdasarkan laporan didapatkan hasil bahwa dari
659 sampel responden yang diperiksa, tidak ditemukan adanya
mikrofilaria dalam darah responden. Selain itu, hasil laporan tersebut
terdapat data mengenai jenis kelamin, umur, POPM, dan faktor risiko
penularan filariasis.
3. Diagnosis masalah pada pelaksanaan survei prevalensi mikrofilaria (Pre-
TAS) di wilayah layanan BBTKLPP Surabaya melalui pendekatan sistem
yaitu pada input sudah tercukupi mulai dari SDM, dana, dan sarana. Pada
proses terkait pelaksanaan terdapat hambatan yaitu terkait waktu dan
ketersediaan alat di lapangan. Pada output hasil yang didapatkan bahwa
SDJ yang dilakukan pada 659 responden tidak ditemukan adanya sampel
yang positif mikrofilaria. Diseminasi infoormasi disebarluaskan kepada
Kementerian Kesehatan di Subdit Filca, Dinas Kesehatan Provinsi NTT,
dan Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata.
4. Prioritas masalah yang didapatkan melalui metode USG yaitu
pelaksanaan SDJ di malam hari, keterbatasan alat mikroskop di lapangan,
dan SDM dari petugas yang membaca hasil sampel.
5. Alternatif pemecahan masalah yang mungkin dilakukan yaitu membuat
loket pada saat pelaksanaan SDJ, melakukan koordinasi dengan petugas

30
31

daerah untuk peminjaman mikroskop, dan melibatkan petugas analis


lainnya pada saat pembacaan sampel.

B. Saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan dari kegiatan yang dilakukan, berikut
ini saran yang dapat diajukan pada pelaksanaan survei prevalensi mikrofilaria
(Pre-TAS), antara lain:
1. Pelaksanaan SDJ yang dilakukan pada malam hari dapat dibuatkan loket
agar lebih efektif dan efisien sehingga tidak antre terlalu panjang karena
mengingat sampel responden yang dibutuhkan sangat banyak.
2. Melakukan koordinasi dengan petugas daerah untuk dilakukan pinjaman
alat mikroskop.
3. Melibatkan petugas analis lainnya untuk membantu ketika petugas sedang
melakukan dinas di luar, agar pembacaan hasil sampel tidak tertunda dan
penyusunan laporan dapat terselesaikan tepat waktu.
DAFTAR PUSTAKA

Amelia, R. (2014) ‘Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Filariasis’, Unnes


Journal of Public Health, 3(1), pp. 1–12.

Burni, E. et al. (2020) BUKU PEDOMAN Penyelidikan dan Penanggulangan


Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Makanan.
Jakarta.

Ernawati, A. (2017) ‘Faktor Risiko Penyakit Filariasis (Kaki Gajah)’, Jurnal


Litbang: Media Informasi Penelitian, Pengembangan dan IPTEK, 13(2),
pp. 105–114. doi: 10.33658/jl.v13i2.98.

Juhairiyah, J. et al. (2019) ‘Kepatuhan Masyarakat Minum Obat Pencegah Massal


Filariasis (Kaki Gajah): Studi Kasus Desa Bilas, Kabupaten Tabalong’,
Jurnal Vektor Penyakit, 13(1), pp. 49–58. doi:
10.22435/vektorp.v13i1.956.

Masrizal (2012) ‘PENYAKIT FILARIASIS’, Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7(1),


pp. 32–38.

Santoso (2014) ‘Hubungan Faktor Lingkungan Fisik Dengan Kejadian Filariasis


Di Indonesia’, Indonesian Journal of Health Ecology, 13(3), pp. 210–
218.

Supranelfy, Y. et al. (2019) ‘Survei Darah Jari di Kabupaten Tanjung Jabung


Timur Provinsi Jambi Tahun 2017’, Jurnal Vektor Penyakit, 13(2), pp.
87–96. doi: 10.22435/vektorp.v13i2.915.

Syuhada, Y. and W, N. E. (2012) ‘Studi Kondisi Lingkungan Rumah dan Perilaku


Masyarakat Sebagai Faktor Risiko Kejadian Filariasis di Kecamatan
Buaran dan Tirto Kabupaten Pekalongan ( Study Of Environmental And
Behavioral As Risk Factor Of Filariasis In District Of Buaran And Tirto
Pekalo’, Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11(1), pp. 95–101.

Wahyono, T. Y. M. (2010) ‘Pemberian Obat Massal Pencegahan (POMP)


Filariasis’, Buletin Jendela Epidemiologi, 1(1), pp. 15–19.

32
LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Permohonan Izin Magang

33
34

Lampiran 2. Surat Balasan Permohonan Izin Magang


35

Lampiran 3. Implementation Arrangement


36

Lampiran 4. Absensi Selama Magang di BBTKLPP Surabaya


37
38

Lampiran 5. Instrumen Penilaian Kinerja Mahasiswa Magang


39
40

Lampiran 6. Dokumentasi Kegiatan Magang

Anda mungkin juga menyukai