SKRIPSI
oleh
151101119
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
Kata Kunci: Intensitas Nyeri, Pasien Batak, Pasien Jawa, Pasien Melayu,
Dimensi Sosio-kultural.
iv
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
Jawa, dan Melayu pada saat Insersi Kateter Intravena di RSUP Haji Adam Malik
Medan”.
Selama proses penelitian dan penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak
mendapat do’a, bimbingan, bantuan serta dorongan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih
4. Ibu Siti Saidah Nasution, Skp., M.Kep., Sp.Mat selaku Pembantu Dekan III
dalam pengerjaan skripsi saya dan memberikan kritik maupun saran terhadap
vi
proposal dan sidang skripsi, yang juga sudah banyak memberikan kritik dan
saran;
7. Bapak Asrizal, S. Kep., Ns., M. Kep selaku dosen penguji II saya yang telah
siding skripsi, yang juga sudah banyak memberikan kritik dan saran;
8. Bapak Dudut Tanjung. S. Kep., Ns., M. Kep., Ap. KMB selaku dosen penguji
II saya yang telah bersedia memberikan waktunya kepada saya selama sidang
sidang skripsi, yang juga sudah banyak memberikan kritik dan saran;
9. Kepada kedua orangtua saya tercinta, Mardan Harahap dan Elita Sondang
Siregar yang selalu mendoakan saya dan memberi saya semangat untuk
10. Semua pihak yang dalam kesempatan ini tidak dapat disebutkan namnya satu
persatu yang telah banyak membantu peneliti baik dalam penulisan skripsi ini
Anugerah dan Hidayah dari-Nya. Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat
vii
viii
ix
Tabel 2 distribusi frekuensi dan persentase intensitas nyeri suku Batak, jawa
xi
Nyeri ialah respons subjektif yang disebabkan oleh stressor secara fisik
dan juga stressor secara psikologis. Setiap individu pernah mengalami nyeri pada
beberapa lokasi selama kehidupan mereka. Nyeri adalah tanda-tanda yang sering
mencari layanan kesehatan dan pengobatan jika sudah merasakan nyeri (LeMone
et al, 2015).
melibatkan beberapa dimensi. Enam faktor dimensi dari nyeri yang dialami, yaitu
aspek pada fenomena nyeri ini sama-sama berkaitan, berhubungan serta dinamis.
seseorang. Aspek sosio-kultural nyeri dikaitkan oleh beberapa faktor, yaitu aspek
demografi, adat istiadat, religi, dan aspek-aspek lainnya yang bisa mempengaruhi
dan tradisi yang berbeda di setiap wilayah. Sumatera Utara termasuk provinsi
dengan wilayah yang cukup luas dan terdiri dari beberapa suku daerah, seperti
suku Batak, Nias, dan Melayu. Tetapi etnis Batak merupakan etnis terbanyak yang
dari berbagai provinsi yang menetap di Sumatera Utara, seperti suku Jawa.
dalam pola pikir, kebiasaan, bahkan perbedaan persepsi seseorang mengenai sakit,
seperti nyeri.
bertindak dalam berespons terhadap nyerinya dapat dipengaruhi oleh budaya dan
etnisitas. Sehingga pasien dengan penyebab nyeri yang sama tetapi dengan latar
belakang budaya berbeda mungkin akan melaporkan perasaan nyeri yang berbeda.
nyeri dan pain report, pria Asia Selatan menunjukkan ambang nyeri yang lebih
rendah dan pain report yang lebih tinggi dibandingkan dengan pria Inggris
berkulit putih (Watson, 2005). (Streltzer dan Wade, 1981 dalam Suza, 2007)
menemukan bahwa orang Kaukasia dan orang Hawaii menerima lebih banyak
intevensi yang sesuai, karena jika ada hambatan pada intervensi yang diberikan
merasa terbebani, merasa tidak dipahami dan merasa bahwa budaya mereka
pengobatan dan perawatan sesuai dengan penyakit dan kebutuhan dasar individu,
salah 1 tindakan pengobatan yang sering diberikan yaitu insersi kateter intravena.
Menurut Campbell 1998 (dalam Hampton 2008) diperkiran terdapat kurang lebih
25 juta pasien per tahun di Inggris yang diberikan terapi infus dengan berbagai
macam bentuk alat untuk insesri kateter intravena selama di rawat di rumah sakit.
Sedangkan menurut Lai (1998) dalam Pujasari dan Sumarwati (2002) kurang
lebih 80% pasien yang dirawat di rumah sakit memperoleh tindakan insersi
pasien yang dirawat inap mendapatkan tindakan insersi kateter intravena selama
skill yang cukup pada saat melakukan pemasangannya. Prosedur insersi kateter
perbedaan intensitas nyeri suku Batak, Jawa, dan Melayu pada saat insersi kateter
penelitian ini yaitu perbedaan intensitas nyeri suku Batak, Jawa, dan Melayu pada
a. Bagaimana intensitas nyeri pasien suku Batak pada saat insersi kateter
b. Bagaimana intensitas nyeri pasien suku Jawa pada saat insersi kateter
c. Bagaimana intensitas nyeri pasien suku Melayu pada saat insersi kateter
d. Apakah terdapat perbedaan intensitas nyeri antara suku Batak dan Jawa ?
e. Apakah terdapat perbedaan intensitas nyeri antara suku Batak dan Melayu
f. Apakah terdapat perbedaan intensitas nyeri antara suku Jawa dan Melayu ?
dan Melayu pada saat dilakukan tindakan insersi kateter intravena di RSUP HAM
Medan.
a. Untuk menganalisis intensitas nyeri pada pasien dari suku Batak pada saat
b. Untuk menganalisis intensitas nyeri pada pasien dari suku Jawa pada saat
c. Untuk menganalisis intensitas nyeri pada pasien dari suku Melayu pada
Batak dan Jawa pada saat insersi kateter intravena di RSUP HAM Medan.
Batak dan Melayu pada saat insersi kateter intravena di RSUP HAM
Medan.
f. Untuk menganalisis perbedaan intensitas nyeri pada pasien dari suku Jawa
dan Melayu pada saat insersi kateter intravena di RSUP HAM Medan.
sumber data dan juga informasi tambahan jika ingin melakukan penelitian lebih
pembuluh darah vena pasien lalu dihubungkan melalui selang kateter intravena
intravena ialah salah satu prosedur life saving pada kasus kehilangan cairan yang
banyak, dehidrasi dan syok, oleh sebab itu keterampilan dasar mengenai
sebagai cairan awal jika kondisi elektrolit klien belum diketahui, misalnya bagi
masalah pasien yang mengalami dehidrasi tidak terpenuhinya asupan melalui oral
(Zainuri, 2012).
a. Untuk menjaga / memperbarui cairan tubuh yang telah hilang atau yang tidak
darah
e. Memberikan cairan atau obat melintasi intravena. Insersi kateter intravena juga
Menurut Perry dan Potter tahun (2005), daerah pembuluh balik perifer
yang kerap digunakan untuk insersi kateter intravena yaitu pembuluh balik
supervisial atau perifer kutan yang berlokasi didalam fasia subkutan dan ialah
akses yang amat efektif guna melakukan tindakan insersi kateter intravena pada
pasien. Lokasi insersi kateter intravena yang dapat menjadi pilihan yaitu
balik basalika, pembuluh balik sefalika), lengan bagian dalam seperti (pembuluh
pembuluh balik median lengan bawah, dan pembuluh balik radialis), permukaan
dorsal seperti (pembuluh balik safena magna, ramus dorsalis). Dougherty et al,
2.1.3.1 Usia pasien : Penentuan tepi yang akan diinsersi merupakan hal yang
2.1.3.2 Aktivitas pasien : seperti pasien merasakan gelisah, pergerakan pasien, tak
2.1.3.3 Klasifikasi cairan intravena: klasifikasi cairan yang relatif pekat akan
membutuhkan vena yang relatif besar oleh karena itu klasifikasi cairan
memelihara vena; pilih vena yang akurat dan baik, rotasi sisi dengan hati-
hati, rotasi sisi pungsi dari distal ke proksimal (misalnya mulai di tangan
2.1.3.6 Penyakit yang diderita : sebaiknya tidak menggunkan bagian tubuh yang
2.1.3.7 Lokasi sesuai kesukaan pasien : tanyakan terlebih dahulu kesukaan pasien
3) biarkan ujung selang infus tertutup dengan plastik hingga insersi kateter
f. pasang tabung larutan infus ditiang infus, larutan infus terletak 1 m dari atas
kepala pasien.
g. Mengecek terlebih dahulu apakah cairan infus dapat keluar dari bilik tetes
infus.
2) buka penjepit cairan agar mengalir lalu perhatikan hingga tidak ada buih-buih
ada di selang,
1) pilih lengan pasien yang tidak terlalu sering digunakan dan yang pembuluh
2) taruh alas dibawah ekstremitas pasien guna mencegah seprei basah dari cairan
dinsersi.
3) lalu perawat memakai handscoon yang bersih serta sterilkan lokasi untuk
insersi kateter intrvena dengan alkohol swab antiseptik dengan cara memutar
dari dalam lalu ke luar, lalu biarkan diamkan sampai cairan alcohol swab kering.
2) kanul dipegang lalu masukkan kedalam vena melalui kulit dengan kemiringan
15 sampai 30 derajat
3) selanjutnya darah akan keluar dari bagian kanul lalu sejajarkan kanul dengan
kulit kemudian dorong kanul lebih dalam kurang lebih 0,5 – 1 cm sampai kanula
mencapai pusatnya.
5) lalu lepaskan tutup selang dan hubungkan ke kanul, lalu pastikan ujung kanul
tetap steril
6) kemudian lepas kanul lalu pasangkan kembali kanul dengan ujung selang
kateter intravena.
Ukuran kateter intravena yang rendah memiliki jarum kateter intravena yang lebih
besar. Jarum kateter intravena menentukan keberhasilan pada saat insersi kateter
intravena dikarenakan ukuran kateter intravena harus sesuai dengan kondisi dan
ukuran vena pasien. Menurut Potter & Perry (2005) ada beberapa macam ukuran
2.1.5.1 Ukuran 16
Biasa digunakan pada orang dewasa untuk bedah mayor, trauma, dan
untuk memasukkan cairan infus dalam jumlah besar. Hal yang perlu diperhatikan
2.1.5.2 Ukuran 18
darah atau cairan infus kental lainnya. Hal yang perlu diperhatikan yaitu sakit
2.1.5.3 Ukuran 20
2.1.5.4 Ukuran 22
Diperuntukan untuk usia lanjut tetapi bisa juga digunakan untuk semua
kalangan usia. Pembuluh balik yang kecil dan tipis lebih mudah menggunakan
ururan 22 karena ukuran ini sulit bila digunakan pada kulit yang keras.
menyebabkan terjadinya penggumpalan darah di dalam jaringan dan hal ini terjadi
b. Infiltrasi, yaitu terjadi karena cairan infus yang telah habis sehingga darah
d. Emboli udara dapat terjadi pada saat ada udara yang masuk ke dalam cairan
e. Flebitis yaitu pengerasan pada pembuluh darah balik yang memiliki tanda-
tanda seperti area sekitar insersi menjadi merah, kemudian bengkak, terdapat
(LeMone et al, 2015). Menurut International Association for the Study of Pain
(IASP) nyeri ialah pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
yaang berkaitan dengan kerusakan jaringan, aktual ataupun potensial (Black &
nyeri sebagai segala sesuatu yang dikatakan oleh individu yang merasakan nyeri
Nyeri ialah sebagai gejala yang dirasakan individu yang menandakan ada
nya kerusakan atau injuri jaringan yang bersifat subjektif (Potter & Perry, 2005).
Nyeri ialah proses pertahanan fisiologis manusia guna untuk melindungi diri.
seseorang yang merasakan nyeri dibagian kaki nya akibat terkilir maka akan
menjauhi segala aktivitas yang dapat membuat rasa nyeri tersebut semakin parah
seperti menghindari mengangkat beban yang berat dan juga berjalan secara
yang diakhiri di pusat nyeri di otak depan. Teori ini memberikan penjelasan
mengenai dasar neurofisiologis nyeri. Selanjutnya pada tahun 1965, Melzack dan
Wall mengeluarkan teori kontrol gerbang (gate control theory) yang menyatakan
pada stimulus taktil aktivasi serat nyeri yang diameter besar dan serat pemicu
yang lebih cepat akan mengaktivasi mekanisme gerbang yang kemudian akan
menghambat impuls dari serat nyeri yang lebih kecil. Mekanisme ini diyakini
control dan modulasi nyeri jauh lebih kompleks dibandingkan dengan penjelasan
neuromatriks yang lebih kompleks dari teori kontrol gerbang. Berdasarkan teori
neuron secara luas yang dipengaruhi oleh factor genetik dan pengalaman sensori.
sentuhan. Pengalaman nyeri bagi individu dipengaruhi oleh input dari system
menjelaskan efek sensibilitas system saraf pusat dan perifer tergadap stimulus
nyeri. Berdasarkan teori ini tanda penyebab membuat perubahan rangkaian pada
Reseptor saraf untuk nyeri disebut dengan nosiseptor. Ujung saraf bebas
merupakan beberapa bagian yang utama pada kulit dan otot. Nyeri terjadi ketika
nyeri yang lebih hebat dibandingkan stimulasi yang singkat dan ringan.
terhadap satu jenis stimulus tunggal sedangkan nosiseptor lain berespons terhadap
biokimia. Biokimia ini memiliki beberapa efek. Zat kimia ini seperti bradikinin,
histamine, serotonin, dan ion kalium merangsang nosiseptor secara langsung, dan
mengahasilkan nyeri. Zat kimia ini dan zat lainnya (seperti ATP dan
diterima sebagai nyeri. Mediator kimia juga bekerja untuk memicu inflamasi,
2.2.3.1 Usia
mungkin tidak melaporkan adanya nyeri karena takut bahwa hal tersebut
berbeda. Nyeri dapat diartikan sebagai manifestasi alami penuaan (Black &
Hokanson, 2014)
yang lebih rendah dan mengalami intensitas nyeri yang lebih tinggi dibandingkan
pria (Toomey, 2008; Wilson, 2006 dalam LeMone et al, 2015 ). Sirkuit yaang
memfasilitasi respons nyeri berbeda antara pria dan wanita, terutama sistem
modulatori nyeri opioid. Karena perbedaan ini, wanita dan pria dapat merespons
secara berbeda terhadap analgesik opioid seperti morfin (Wilson, 2006 dalam
psikologis, seperti perhatian, harapan dan sugesti. Sensasi nyeri dapat dihambat
oleh konsentrasi yang sering (mis., selama aktivitas olahraga) atau kemungkinan
memburuk karena ansietas atau ketakutan. Tidak adanya dukungan orang lain atau
pemberi asuhan yang benar-benar peduli tentang penatalaksanaan nyeri juga dapat
2.2.3.4 Ansietas
Jika penyebab nyeri tidak diketahui, ansietas cenderung lebih tinggi dan nyeri
ekspresi nyeri standar yang tepat dan tidak tepat. Pada umumnya, respons budaya
terhadap nyeri dibagi menjadi dua kategori, yaitu toleransi dan sensitif (Andrew &
Boyle, 2008 dalam LeMone et al, 2015), misalnya jika budaya pasien
mungkin terlihat diam dan menolak (atau tidak meminta) obat nyeri. Jika norma
mungkin menangis dengan bebas dan terlihat nyaman ketika meminta obat nyeri.
sangatlah individual dan nyeri dengan intensitas yang sama akan mungkin dapat
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Intensitas nyeri adalah
sejumlah nyeri yang dialami oleh seseorang dan biasanya diungkapkan oleh kata-
tingkat intensitas nyeri yang lebih objektif. Skala ini berbentuk garis lurus dan
memiliki enam kata pendeskripsi yang disusun sepanjang garis dan memiliki jarak
yang sama. Pendeskripsian ini diurutkan dari “tidak nyeri” hingga “nyeri paling
hebat”. Klien dapat memilih kata pendeskripsi pada skala sesuai dengan nyeri
yang ia rasakan sesuai dengan kategorik yang terdapat pada skala VDS.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
VAS ialah garis lurus yang hanya terdiri dari 2 kata pendeskripsi yang
diurutkan secara bertingkat. Dengan menggunakan skala ini pasien dapat bebas
menggunakan VAS ini diketahui lebih sensitif karena pasien diberi kebebasan
untuk memilih setiap titik yg ada pada sebuah garis lurus, berbeda dengan skala
pengukuran yang lain dimana klien harus memilih satu dari beberapa pilihan
sadar, atau tidak sadar. Praktik-praktik ini terus dilakukan secara berkelanjutan
oleh orang yang berinteraksi dalam 'budaya' ini. Praktik bersama ini, dalam
kerja untuk memahami dan menafsirkan kelompok sosial mereka. Budaya adalah
dapat dibagi lagi menjadi budaya makro dan budaya mikro. Budaya makro adalah
tentang kebangsaan, kelompok ras, dan etnis. Kultur mikro ada di dalam
agama, dan keyakinan spiritual (Berman & Snyder, 2012). Budaya juga
moral, gaya hidup, karakteristik dan tingkah laku yang sama dan mereka
2008).
Mandailing, Dairi, Simalungun, dan Karo (Harahap & Siahaan, 1987). Seseorang
yang disebut sebagai suku Batak dalam arti geneologis, antropologis dan etnologi
kekerabatan dan sosial Dalihan na Tolu atau Singkep Sitelu (Karo). Tujuan hidup
yang ideal menurut suku Batak yaitu terbentuk dalam konsep : hamoraon,
hagabeon, dan hasangapon, yang artinya orang Batak harus mempunyai jaringan
yang luas, pengakuan dan penghargaan sosial yang baik, serta kekuatan ekonomis
yang mapan. Untuk mendapatkan semua itu, dalam kehidupan sosial mereka
dituntut harus pintar bergaul. Tiga konsep dasar orang Batak dalam pergaulan
sosial yakni pertama hati-hati, cermat dan selalu mawas diri ; kedua, menghormati
orang lain ; dan ketiga, bersifat membujuk yang tercantum dalam kata istilah
yang memakai bahasa Jawa secara turun-temurun dan mereka yang memiliki
tempat tinggal dan tempat asal di sekitar daerah Jawa Tengah dan Jawa
(Herusatoto, 2000).
Falsafah dalam budaya Jawa yaitu nrima ing pandum, yang artinya
menerima apapun yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya yang
membuat orang Jawa menjalankan hidupnya dengan tabah dan pasrah. Kemudian
falsafah hidup dalam budaya Jawa lainnya yaitu mawas diri yang memili arti
pedoman dalam cara bertindak orang Jawa ialah senantiasa mengintropeksi diri
sendiri. Dengan mawas diri, maka tindakan yang dilakukan oleh invidu haruslah
istilah Melayu yang lebih umum merujuk kepada suku bangsa yang menuturkan
bahasa Melayu (Gazali, 1992). Orang Melayu memiliki ciri-ciri kepribadian yang
terbentuk tidak lepas dari tuntutan norma-norma adat istiadat yang terdapat dalam
yaitu pertama sifat merendah diri yang ditunjukan dengan sikap tertib, sopan dan
hormat. Kedua, sifat pemalu atau penyegan yaitu segan meminta tolong, segan
menonjolkan diri, segan mengambil muka dan lain-lain. Ketiga, sifat suka damai
atau toleransi yang ditunjukan dengan mudah menjalin kerja sama, tidak cerewet
atau banyak bicara. Keempat, sifat sederhana yaitu tenang, tidak tergesa-gesa,
tidak tamak dan tidak serakah. Kelima, sifat sentimentil dan riang yakni menekan
perasaan-perasaan dan gejolak sedih dan kembali riang gembira dengan tidak larut
yaitu sikap akhir yang diputuskan untuk membela harga diri yang telah
dicemarkan oleh orang lain (Thamrin dan Iskandar (2009) dalam Suciati, 2016).
Ras, budaya dan etnik ialah faktor penting dalam respons indivdu terhadap
harus ditoleransi, jenis nyeri apa yang harus dilaporkan, kepada siapa harus
melaporkan nyeri, dan apa jenis terapi yang harus dicari. Misalnya pasien
keturunan Eropa Utara mungkin menilai “jadilah pasien yang baik, yang dapat
keturunan Yahudi dapat menilai dan mencari informasi tentang nyeri yang dapat
menyebabkan mereka membahas nyeri secara sering dan detail (LeMone et al,
2015). Sebagai contoh lain, mengutarakan nyeri secara verbal mungkin dianggap
sesuai di komunitas Italia, namun tidak demikian bagi komunitas Jerman yang
Bagi pasien Batak, rasa nyeri memiliki tiga arti: pengalaman mengganggu,
tidak nyaman, dan melelahkan. Rasa melelahkan yang mereka rasakan mungkin
bukan berati lelah secara fisik tetapi juga melelahkan secara psikologis.
pasien Batak terhadap rasa nyeri. Mereka merespons rasa nyeri dengan berteriak,
menganggap nyeri sebagai masalah, ini mungkin karena pengaruh rasa nyeri pada
aktivitas hidup mereka dan gangguan kebahagiaan hidup mereka. Pasien Batak
percaya bahwa rasa nyeri yang mereka alami harus ditunjukkan kepada orang lain
bervariasi ketika mereka merasakan nyeri. Sebagian besar pasien Jawa (7 dari 10)
diajarkan untuk menghadapinya dengan sabar dan mereka tidak diizinkan untuk
takdir mereka. Ditekankan bahwa orang yang kesakitan harus menerimanya atau
hanya menanggungnya. Selain itu, pasien Jawa percaya bahwa rasa sakit adalah
terhadap nyeri, namun menurut Hidir (1996) pada umumnya suku Melayu
ada perbedaan intensitas nyeri pada pasien dari suku Batak, Jawa, dan Melayu
pada saat insersi kateter intravena di RSUP Haji Adam Malik Medan.
sadar, atau tidak sadar. Praktik-praktik ini terus dilakukan secara berkelanjutan
oleh orang yang berinteraksi dalam 'budaya' ini. Praktik bersama ini, dalam
kerja untuk memahami dan menafsirkan kelompok sosial mereka. Budaya adalah
dapat dibagi lagi menjadi budaya makro dan budaya mikro. Budaya makro adalah
tentang kebangsaan, kelompok ras, dan etnis. Kultur mikro ada di dalam
nyerinya. Sehingga individu yang penyebab nyerinya sama tetapi memiliki latar
belakang budaya berbeda mungkin akan melaporkan perasaan nyeri yang berbeda.
24
nyeri sangat subjektif sehingga individu yang mengalami nyeri yang sama
pembuluh darah vena pasien lalu dihubungkan melalui selang kateter intravena
nyeri antar suku budaya, dan peneliti tertarik untuk menganalisis perbedaan
intensitas nyeri suku Batak, Jawa, dan Melayu yang ada di Sumatera Utara pada
Suku
Skema 3.1 Skema Kerangka Penelitian Perbedaan Intensitas Nyeri suku Batak,
Jawa, dan Melayu pada saat insersi kateter intravena.
3.3 Hipotesa
3.3.1 Hipotesa alternatif terdapat perbedaan intensitas nyeri pasien suku Batak,
3.3.2 Hipotesa null yaitu tidak terdapat perbedaan intensitas nyeri pasien suku
atau lebih kelompok sampel (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini bertujuan untuk
mengidentifikasi perbedaan intensitas nyeri pasien suku Batak, Jawa dan Melayu
Populasi dalam penelitian ini ialah seluruh pasien yang di lakukan insersi
kateter intravena di RSUP HAM Medan. Data pasien yang diinsersi kateter
intravena di IGD RSUP HAM Medan pada bulan Maret 2019 berjumlah 1221
orang artinya terdapat ± 40 orang yang diberi tindakan insersi kateter intravena
setiap harinya.
a. Pasien pria/wanita dari suku Batak, Jawa atau Melayu yang di lakukan
27
ruang IGD RSUP HAM Medan mulai dari Oktober 2018 sampai Juli 2019.
Sedangkan pengambilan data mulai dari April sampai Juni 2019. Lokasi
penelitian ini di RSUP HAM Medan yang merupakan salah satu rumah sakit
pendidikan.
bagian pendidikan Fakultas Keperawatan dan direktur RSUP HAM Medan maka
penelitian dapat dilakukan. Prosedur etik yang akan dilakukan selama penelitian
ini yaitu, peneliti akan memaparkan kepada calon responden mengenai tujuan,
kateter intravena. Penelitian ini tidak merugikan responden, dan untuk menjaga
pengkajian.
Instrumen yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data
terdiri dari kode responden, usia, jenis kelamin, suku responden, ukuran kateter
intravena, penyakit yang diderita responden, lama responden dirawat, dan sudah
penelitian ini untuk mengukur intensitas nyeri. Numerical Rating Scale (NRS) ini
digunakan pada saat responden dilakukan tindakan insersi kateter intravena. Pada
skala NRS ini responden mengidentifikasi nyeri menggunakan skala 0-10. Jika
klien memilih angka nol mengartikan responden tidak merasakan nyeri dan angka
sepuluh mengartikan jika klien merasakan nyeri yang sangat hebat (Prasetyo,
2010).
kesahihan suatu instrumen. Instrumen yang valid atau sahih memiliki nilai
validitas yang mendekati angka 1 (Arikunto, 2010). Uji validitasn skala nyeri
pengukuran itu tetap konsisten apabila dilakukan dua kali atau lebih pengukuran
pada kondisi yang sama, dengan menggunakan alat ukur yang sama (Notoatmojo,
2012). Skala nyeri NRS menunjukkan reliabilitas lebih dari 0,95 (Li, Liu & Herr,
2007).
penelitian pada bagian LITBANG RSUP HAM Medan. Jika telah memperoleh
izin dari bagian penelitian rumah sakit, peneliti mencari responden sesuai dengan
dan prosedur pelaksanaan penelitian pada responden, jika pasien bersedia menjadi
responden mengisi kuesioner data demografi, dan menceklist salah satu angka
dari numeric rating scale bila pasien mampu menulis sendiri atau menyebutkan
salah satu angka dari numeric rating scale kemudian peneliti yang menceklist di
lembar pengkajian bila pasien tidak mampu menulis sendiri atau ada kendala lain
dan menyebutkan karakteristik nyeri. Penelitian ini dapat berlangsung sekitar 15-
20 menit, kemudian proses mengolah atau analisa data dilakukan oleh peneliti
telah terkumpul. Prosedur analisa data terdiri dari editing, yaitu mengecek
kembali kelengkapan jawaban pada lembar pengkajian yang telah diisi oleh
telah diubah menjadi kode kedalam program software komputer dan yang terakhir
ialah cleaning, yaitu mengecek kembali data agar tidak terjadi kesalahan.
Metode statistik untuk analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
Pada penelitian ini metode statistik univarat akan digunakan untuk menganalisa
data demografi meliputi usia, jenis kelamin, suku responden, ukuran kateter
dirawat, dan frekuensi insersi kateter intravena selama di rawat di RSUP HAM
Medan.
distribusi frekuensi dan persentase dari tiap variabel. Untuk data numerik
nyeri pasien suku Batak dan Jawa, Batak dan Melayu kemudian Jawa dan Melayu
pada saat insersi kateter intravena. Mann-Whitney merupakan uji statistik yang
digunakan dalam penelitian ini karena sampel pada penelitian ini <30 responden
untuk setiap suku. Uji Mann-Whitney ini digunakan jika mememenuhi syarat
yaitu, data tidak terdistribusi normal untuk skala interval atau rasio dan jika
perbedaan variabel intensitas nyeri antara suku Batak dan Jawa, suku Batak dan
ketentuan:
a. Bila p value < nilai α (0,05), maka terdapat perbedaan intensitas nyeri
antara suku Batak, Jawa, dan Melayu pada saat insersi kateter intravena.
b. Bila p value > nilai α (0,05), maka tidak terdapat perbedaan intensitas
nyeri antara suku Batak, Jawa, dan Melayu pada saat insersi kateter
intravena.
Pada bab ini diuraikan hasil penelitian dan pembahasan penelitian tentang
perbedaan intensitas nyeri suku Batak, Jawa dan Melayu pada saat insersi kateter
tanggal 04 April 2019 - 17 Juni 2019 terhadap 60 orang responden di ruang rawat
responden, intensitas nyeri suku Batak, intensitas nyeri suku Jawa, intensitas nyeri
suku Melayu dan perbedaan intensitas nyeri suku Batak dan Jawa, perbedaan
intensitas nyeri suku Batak dan Melayu dan perbedaan intensitas nyeri suku Jawa
dan Melayu pada saat insersi kateter intravena di RSUP HAM Medan.
suku, diagnosa medis, lamanya dirawat di RS, ukuran kateter intravena, frekuensi
yang menginsersi kateter intravena, dan status perawat yang menginsersi. Dilihat
dari usia, menunjukkan bahwa lebih dari setengah responden (55%) suku Batak
dan suku Jawa berusia dewasa madya dengan rentang 41-60 tahun sedangkan
pada suku Jawa terdapat lebih dari sepertiga responden (45%) berusia 18-40 tahun
dan berusia 41-60 tahun. Berdasarkan jenis kelamin, lebih dari setengah
responden (60%) suku Batak, (55%) suku Jawa dan (50%) suku Melayu adalah
perempuan. Lebih dari setengah responden (55%) suku Jawa dirawat selama 1-3
33
hari begitu juga dengan suku Batak yaitu kurang dari tiga perempat responden
(70%) suku Batak di rawat selama 1-3 hari sedangkan pada suku Melayu terdapat
lebih dari setengah responden (55%) dirawat >3 hari dengan diagnosa kurang dari
seperlima responden (15%) suku Batak dan kurang dari setengah responden
(40%) suku Melayu adalah tumor sedangkan pada suku Jawa kurang dari
digunakan pada suku Batak, Jawa dan Melayu adalah ukuran 20 (100%).
Frekuensi insersi kateter intravena lebih dari setengah responden (55%) suku Jawa
dan responden suku Melayu (75%) yaitu >3 kali selama di rawat di rumah sakit
sedangkan pada suku Batak terdapat tiga perempat responden (75%) telah di
insersi kateter intravena sebanyak 1-3 kali selama dirawat di rumah sakit. Lokasi
insersi mayoritas responden (80%) suku Jawa dan tiga perempat responden (75%)
suku Batak dan Melayu terletak di dorsal tangan. Perawat yang menginsersi
kateter intravena lebih dari sepertiga responden (40%) suku Batak, (45%) suku
jawa dan (40%) suku Melayu berpengalaman selama >9 tahun. Status perawat
yang melakukan insersi kateter intravena pada responden suku Batak, Jawa dan
Responden (n=60)
f % f % f %
Usia
18-40 tahun 7 35 6 30 9 45
41-60 tahun 11 55 11 55 9 45
>60 tahun 2 10 3 15 2 10
Jenis Kelamin
Perempuan 12 60 11 55 13 65
Laki-laki 8 40 9 45 7 35
Lamanya dirawat
1-3 hari 14 70 11 55 9 45
> 3 hari 6 30 9 45 11 55
Diagnosa
Tumor 3 15 2 10 8 40
Kanker 2 10 4 20
Fraktur 1 5 2 10
Obstruksi Jaundice 1 5 1 5 1 5
Cephalgia 1 5 2 10
Koletiasis 1 5 1 5
Febris 1 5 1 5
Hematuria 1 5
Anemia 1 5
Aneurisma Aorta
Abdomminalis 1 5
Batu Ginjal 1 5
Buerger Disease 1 5
Colic Biliary 1 5
Decubitus 1 5
Diffusi Peritonitis 1 5
Diare Kronis 1 5
Dyspepsia 1 5
Efusi Pleura 1 5
Gastritis 1 5
Hemiparesis Sinistra 1 5
Hepatomegali 1 5
Hidronefritis Ringan 1 5
Pansitopenia 1 5
Post Colostomi 1 5
Poli Nasal Bilateral 1 5
SCC Maxila 1 5
SLE 1 5
SOL Intrakranial 1 5
TB Paru 1 5
Trauma Abdominal 1 5
Trauma Capitus 1 5
Trauma Pelvic 1 5
UAP DD Non STEMI 1 5
Uremic Syndrome 1 5
5.1.2 Intensitas Nyeri Suku Batak, Jawa dan Melayu pada saat Insersi Kateter
dirasakan oleh reponden dari suku Batak adalah 3.60 (SD=1.93) dengan lebih dari
setengah responden (55%) merasakan nyeri pada tingkat sedang dan lebih dari
nyeri pada suku Jawa lebih tinggi dibandingkan suku Batak yaitu 3.90 (SD=1.78)
dengan intensitas nyeri yang dirasakan oleh lebih dari seperdua responden (55%)
suku jawa juga berada pada tingkat nyeri sedang dan diikuti dengan lebih dari
sepertiga responden (40%) merasakan nyeri ringan dan sisanya (5%) merasakan
nyeri berat, kemudian hasil rata-rata intensitas nyeri pada suku Melayu lebih
rendah bila dibandingkan dengan suku Jawa yaitu 3.70 (SD=1.45) dengan lebih
dari setengah responden (55%) suku Melayu merasakan nyeri pada tingkat sedang
kemudian diikuti lebih dari sepertiga responden (45%) mengalami nyeri ringan.
Data intensitas nyeri suku Batak, Jawa dan Melayu pada saat insersi kateter
intravena di RSUP H. Adam Malik Medan dapat dilihat pada tabel 2 dibawah.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi dan Persentase Intensitas Nyeri suku Batak, Jawa
dan Melayu pada saat Insersi Kateter Intravena di RSUP HAM Medan (n=60).
5.1.3 Perbedaan Intensitas Nyeri suku Batak, Jawa dan Melayu pada saat Insersi
Data penelitian yang diperoleh yaitu 20 sampel untuk setiap suku (<30).
Oleh karena itu, peneliti menggunakan uji non-parametrik (Mann Whitney) untuk
dengan Melayu dan Jawa dengan Melayu pada saat insersi kateter intravena. Hasil
intensitas nyeri suku Batak dengan Jawa Sig=0.81 (>0.05), Batak dengan Melayu
(Sig=0.96) dan Jawa dengan Melayu (Sig=0.73) pada saat insersi kateter intravena
Tabel 3. Hasil uji non-parametrik Mann Whitney perbedaan intensitas nyeri suku
Batak dengan Jawa, Batak dengan Melayu dan Jawa dengan Melayu pada saat
Intensitas Nyeri
Suku
Mean SD z Sig
5.2 Pembahasan
5.2.1 Intensitas Nyeri suku Batak, Jawa dan Melayu pada saat insersi kateter
subjektif dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama
dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda (Tamsuri, 2004).
makna yang melekat padanya. Hal ini karena individu belajar dari kelompok
medis yang diberikan. (Lasch, 2002). Nyeri adalah pengalaman pribadi, namun
perilaku nyeri dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan psikologis. Setiap
kelompok budaya dan sosial memiliki bahasa yang unik dari rasa nyeri. Hal ini
tergantung pada faktor seperti apakah nilai budaya mereka atau ekspresi verbal
dalam menanggapi rasa sakit atau cedera (Peacock, 2008). Etnis merupakan salah
satu bagian dari dimensi sosiokultural, dimana pada beberapa etnis ekspresif
memperlihatkan rasa nyeri yang dirasakannya tetapi ada juga yang memendam
responden suku Batak (55%), Jawa (55%) dan Melayu (55%) merasakan
intensitas nyeri sedang, kemudian lebih dari sepertiga responden suku Batak
(45%), Jawa (40%) dan Melayu (45%) merasakan nyeri ringan dan hanya 1
berdasarkan hasil penelitian lebih dari setengah reponden suku Batak (60%),
Jawa (55%) dan Melayu (65%) berjenis kelamin perempuan. Menurut penelitian
Uchiyama, et al (2006) mengenai perbedaan jenis kelamin pada nyeri post operasi
intensitas nyeri lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki, hal ini di dukung oleh
Sorge (2018) dalam penelitiannya tentang perbedaan jenis kelamin pada respon
nyeri menyebutkan bahwa wanita memiliki sensitivitas lebih tinggi dan kurang
Perbedaaan jenis kelamin terhadap nyeri sering dianggap berasal dari perbedaan
mempengaruhi pemrosesan rasa sakit (McEwen & Milner, 2017) dan menurut
Burri (2018) pengaruh jenis kelamin terhadap nyeri berhubungan dengan faktor
psikologis dan strategi koping, hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan
oleh Sorge (2018) menyebutkan bahwa intesitas nyeri pada laki laki cenderung
dipengaruhi oleh rasa cemas sedangkan pada wanita intensitas nyeri dipengaruhi
oleh rasa takut akan cedera yang terulang kembali, kemudian jika dilihat dari
strategi koping, wanita mengatasi nyeri dengan melibatkan dukungan sosial dan
manjemen diri yang baik, sedangkan pada pria mereka lebih fokus menahan rasa
pada kulit yang mempengaruhi input nosiseptif, hal tersebut didukung oleh hasil
dari penelitian yang dilakukan oleh Li et al (2001) tentang pengaruh usia dengan
menemukan terdapat pengaruh usia terhadap persepsi nyeri akut seseorang pada
usia lebih tua lebih sedikit merasakan nyeri akut jika dibandingkan dengan pasien
yang lebih muda (p = 0.01). Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat lebih
dari setengah responden (55%) suku Batak dan Jawa, dan lebih dari sepertiga
responden (45%) suku Melayu berusia 41-60 tahun (dewasa madya) dan kurang
dari seperlima responden (10%) suku Batak dan Melayu, dan (15%) suku Jawa
Hasil penelitian yang telah dilakukan ditemukan bahwa terdapat kurang dari tiga
perempat responden (70%) suku Batak, lebih dari setengah responden (55%)
suku Jawa dan lebih dari sepertiga responden (45%) suku Melayu dirawat selama
Pada penelitian yanng dilakukan Jacobson (1999) pada dua puluh dua
pasien rawat jalan yang diinsersi kateter intravena ditemukan tidak terdapat
penngaruh lokasi insersi dengan nyeri yanng dirasakan responden, hal ini juga
tidak terdapat penngaruh lokasi insersi kateter intravena dengan nyeri akut yang
responden (80%) suku Jawa dan tiga perempat responden (75%) suku Batak dan
yang diinsersi menggunakan dua ukuran kanula (20 dan 22) secara acak
menemukan bahwa ttidak terdapat perbedaan intensitas nyeri pada pasien yang
besar responden merasakan nyeri yang berbeda-beda telepas dari ukuran kanul
(100%) menggunakan ukuran 20 pada saat insersi kateter intravena, dan hal ini
bahwa tidak terdapat pengaruh antara penyakit yang dialami responden dengan
nyeri yang dialami saat insersi kateter intravena (p = 0.234). Hasil penelitian yang
dilakukan ditemukan bahwa terdapat kurang dari seperlima responden (15%) dan
lebih dari sepertiga responden (40%) suku Melayu menderita tumor. Pada suku
ressponden melaporkan nyeri berat pada saat insersi kateter intravena hal ini
karena pasien menderita kanker payudara dan telah menajalani kemoterapi. Pada
beberapa kali penusukan pada saat insersi, sehingga intensitas nyeri yang
meningkatkan rasa nyeri dan kecemasan pada pasien (Lenhart et al, 2002). Oleh
dirasakan pasien. Salah satu variabel yang sangat signifikan terhadap keberhasilan
ini karena perawat yang berpengalaman lebih terampil untuk menentukan pilihan
yang berhubungan dengan insersi seperti lokasi insersi dan ukuran kateter
intravena yang akan digunakan (Jacobson et al, 2005). Penelitian yang dilakukan
adalah perawat ruangan dan perawat yang menginsersi responden suku Batak
(40%), responden suku Jawa (45%) dan responden suku Melayu (40%) telah
individu terhadap nyeri, dimana jika seseorang sering mengalami nyeri yang sama
nyeri (Hariyanto & Rini, 2015). Menurut hasil penelitian yang dilakukan lebih
dari setengah respondenn (65%) suku Batak, (55%) suku Jawa, dan (75%) suku
5.2.2 Perbedaan Intensitas Nyeri suku Batak dengan suku Jawa, suku Batak
dengan Melayu dan suku Jawa dengan Melayu pada saat insersi kateter intravena
dialaminya, sesuai dengan suku dan kultur dimana ia berasal, karena kultur akan
mengajarkan orang tersebut dalam merespon nyeri (Akbar et al, 2014) dan
mempengaruhi perilaku nyeri, ekspresi nyeri standar yang tepat dan tidak tepat
dan menurut Calvillo dan Flaskeurd (1991 dalam Perry & Potterr, 2006) terdapat
perbedaan makna dan sikap individu terhadap nyeri sesuai dengan kelompok
yang lebih rendah dibandingkan dengan pasien Kaukasia ,lalu hal ini juga sesuai
pasien Latin dan Afrika-Amerika melaporkan intensitas nyeri yang lebih tinggi
dalam bentuk tingkah laku, perkataan atau raut muka disesuaikan dengan kuat
atau lemahnya nyeri yang sedang dirasakan. Tidak melebih-lebihkan juga tidak
tidak cenderung lemah atau disamarkan, sedangkan karakteristik suku Jawa dalam
penelitian Suza (2007) kebanyakan pasien Jawa (7 dari 10) menyatakan bahwa
mereka mencoba untuk mengabaikan rasa nyeri nya dan tetap diam saja. Dalam
mereka diharapkan untuk menjadi kuat dan menerima takdir mereka. Hal ini
hanya bertahan, kemudian kebudayaan Melayu yaitu lebih netral sehingga mampu
diterima oleh seluruh golongan masyarakat. Ekspresi emosi orang Melayu akan
dipengaruhi oleh budaya Melayu yang lebih netral daripada bentuk ekspresi emosi
Jawa yang tidak ekspresif dengan budaya Batak yang lebih ekspresif (Suciati,
2017). Jika dilihat dari karakteristiknnya suku Batak, Jawa dan Melayu terdapat
yang dilakukan menggunakan uji statistik Mann Whitney didapatkan bahwa tidak
ada perbedaaan yang signifikan antara responden suku Batak dan suku Jawa
(Sig=0.81), suku Batak dengan suku Melayu (Sig=0.96) dan suku Jawa dengan
suku Melayu (Sig=0.73). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang
dilakukan Ani (2004) bahwa tidak ada hubungan suku dengan intensitas nyeri
pada pasien pasca bedah abdomen di RS Dr. Pringadi, hal ini juga didukung oleh
tingkat nyeri anak pra sekolah dengan suku (p = 0.12). Hal ini sesuai dengan
berdoa, dan berharap, sedangkan pada pasien Kaukasia lebih cenderung untuk
Ethnicity and Pain menyebutkan bahwa bagaimana tepatnya tentang budaya atau
metode yang beragam dan menunjukkan bahwa budaya mempunyai peran penting
dieksplorasi dengan baik oleh Bates (1996), yang menerapkan metode kuantitatif
dengan pasien nyeri di pusat rawat jalan di Puerto Rico. Temuannya menunjukkan
pasien New England merasakan intensitas nyeri yang lebih rendah. Kemudian
Bates (1996) membandinngkan orang Latin yang tinggal di New England yang
sebagian besar merupakan imigrasi dari Puerto Rico, dan hasilnya dalam
merespon nyeri orang Latin lebih mirip dengan kelompok New England, hal ini
memang dibentuk kembali oleh budaya tempat mereka tinggal. Menurut Lasch
(2002) dalam IASP dengan judul Pain and Culture menyebutkan ketika
penngalaman nyeri, perilaku nyeri, atau variasi persepsi tenaga kesehatan dan
pengobatan nyeri pasien. Namun variabel yang paling penting dalam perawatan
nyeri pada pasien adalah keselarasan bahasa yang digunakan antara tenaga
inap yang menerima perawatan dari perawat yang berbahasa Arab dan yang tidak
berbahasa Arab, hanya perawat yang dapat berkomunikasi dengan baik pada
pasien yang dapat menyebutkan angka intensitas nyeri pasien yang sesuai dengan
Budaya dengan nyeri merupakan konsep yang luas. Studi klinis dan essai
yang menghubungkan antara budaya dan nyeri membagi menjadi 2 hal pokok
bahasan, yaitu “culture of pain” dan “culture in pain”. Pada “culture of pain”
rasa nyeri, sedangkan pada “culture in pain” ditujukan pada ekspresi, persepsi,
perilaku dan respon koping seseorang terhadap nyeri sesuai dengan budaya yang
mereka percaya sehingga suatu grup etnis akan membuat respon individu terhadap
nyeri dan menerima pengobatan nyeri yang berbeda, namun bagaimana hal
individu dengan etnis atau budayanya yaitu termasuk usia, jenis kelamin,
generasi, faktor sosio-ekonomi, bahasa yang pertama kali dipelajari dan yang
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, derajat isolasi dari individu, tempat yang
ditinggali terdiri dari kelompok etnis tertentu dan level akulturasi budaya. Hal ini
lah yang membuat penelitian yang dilakukan berbeda dengan teori yang ada,
karena responden suku Jawa dan Melayu telah tinggal dilingkungan yang
menyebabkan pencampuran budaya responden yang sudah tidak murni lagi sesuai
tempat individu tersebut tinggal, dan hal ini didukung oleh dan studi klinis yang
menujukkan bahwa hasil antara hubungan etnis dengan nyeri belum konsisten
6.1 Kesimpulan
suku Batak, Jawa dan Melayu pada saat insersi kateter intravena berada pada
tingkat nyeri sedang dengan nilai yang tertinggi yaitu suku Jawa dan diikuti oleh
antara suku Batak dengan suku Jawa, Suku Batak dengan suku Melayu, dan suku
Jawa dengan suku Melayu pada saat insersi kateter intravena di RSUP Haji Adam
Malik Medan. Hal ini disebabkan karena telah terjadinya pencampuran budaya
sehingga budaya responden yang sudah tidak murni lagi sesuai dengan latar
6.2 Saran
pengkajian nyeri dan dikaji lebih lanjut tentang dimana pasien tinggal, karena
49
dan pada pasien yang diberi tindakan yang lain selain insersi kateter intravena.
Akbar A., Siti R., Desy A. 2014. Hubungan antara tingkat kecemasan pre-operasi
dengan derajat nyeri pada pasien post sectio caesarea di Rumah Sakit
Muhammadiyah Palembang tahun 2014. Jurnal Keperawatan Sriwijaya.
Alexander, M. Corrigan, A. Gorski, L. Hankins, J. & Perruca, R. (2010). Infusion
Nursing Society, Infusion Nursing: An evidence Based Approach. Third
Edition. St. Louis: Dauders Elsevier.
Bellville, J. Weldon,. Forrest Jr, William H., Miller, Elliot. (1971). Influence of
Age on Pain Relief From Analgesics A Study of Postoprative Patiens.
JAMA, 217 (13). 1835.
Burri, Andrea., Rice, David., Kluger, Nicola et al. (2018). Ethnic, and Sex related
Differences in Pain Characteeristics, Psychological deistress and pain-
related disability in Patients Attending a New Zealand teaching Hospital
Paiin Service.The New Medical Journal Volume 131 Number 1470.
51
Dougherty, L., Bravery, K., & Gabriel, J. (2010). Standards for Infusion Therapy.
The RCN Therapy Forum.
Hankins, J., Lonway, R.A.W., Hedrick, C., & Perdue, M.B. (2001). The infusion
nurse society: Infusion therapy, in clinical practice (2 nd Ed.).
Philadelphia: W.B. Saunders Co.
Lasch, Kathryn E. (2002). Culture and Pain. Boston : New England Medical
Center.
Lemone, P., & Burke, M.K. (2008). Medical-Surgical Nursing: Critical Thinking
In Clien Care. New Jersey: Pearson education Inc.
LeMone, P., Karen M. B., & Gerene B. (2015). Buku Ajar Keperawatan Medical
Bedah Edisi 5. Jakarta: EGC.
Nadapdap, Amir Syamsu. (1991). Kepribadian Suku Bangsa Batak Toba dan
Mandailing di Kota Medan. Tidak dipublikasikan Laporan Penelitian Studi
Antropologi-Psikologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sumatera Utara.
Potter, P & Griffin Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep,
Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 2. Jakarta: EGC.
Prasetyo, Sigit N. (2010). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Sorge, Robert E., Starth, Larissa J. (2018). Sex Differences in Pain Responses. St.
Louis: Dauders Elsevier.
Suciati, Rina & Agung, Ivan Muhammad. (2016). Perbedaan ekspresi Emosi
pada Orang Batak, Jawa, Melayu dan Minangkabau. Fakultas Psikologi
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
Suza, D. E. (2003). Pain experience between Javanese and Batak patients with
major surgery in Medan, Indonesia. Unpublished Master Thesis, Prince of
Songkla University, Songkla, Thailand.
Uchiyama, K., Kawai, M., Tani, M., Ueno, M., Hama, T., & Yamaue, H. (2006).
Gender differences in postoperative pain after laparoscopic
cholecystectomy. Surgical Endoscopy Journal, 20(3), 448-451.
Zainuri, A., Santoso, D. R., & Muslim, M. A. (2012). Monitoring dan Identifikasi
Gangguan Infus menggunakan Mikrokontroler AVR. Jurnal EECCIS
Volume 6.
Tanda Tangan
( ……………..)
Tanggal :
No. Responden : …………(di isi oleh peneliti)
PETUNJUK UMUM
Berilah tanda cek (√) pada satu kotak jawaban yang menurut anda paling tepat
sesuai dengan keadaan saat ini.
A. Data Demografi
1. Kode Responden :
2. Usia : …… tahun
3. Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
4. Suku Bangsa
Batak
Jawa
Melayu
b. Status Perawat
Profesi
Perawat Ruangan
Berilah tanda cek (√) pada kotak dibawah ini sesuai nyeri yang anda rasakan pada
saat insersi kateter intravena.
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jenis Kelamin
Lama dirawat
Cumulative
Frequency Percent Valid Percent Percent
Pengalaman perawat
Status Perawat
Statistics
N Valid 20 20 20
Missing 0 0 0
Minimum 1 1 1
Maximum 6 8 6
Total 40
Test Statisticsb
intensitas nyeri
Mann-Whitney U 191.500
Wilcoxon W 401.500
Z -.236
Total 40
Test Statisticsb
intensitas nyeri
Mann-Whitney U 198.000
Wilcoxon W 408.000
Z -.055
Ranks
Total 40
Test Statisticsb
intensitas nyeri
Mann-Whitney U 187.500
Wilcoxon W 397.500
Z -.344
RIWAYAT HIDUP
Pekerjaan : Mahasiswi
Agama : Islam
Email : septidianasdh@gmail.com
Riwayat pendidikan :