Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

“Sakit kepala yang berhubungan dengan ketinggian”


“MATKUL”
PENCEGAHAN DAN PERAWATAN CEDERA OLAHRAGA
Dosen Pengampuh : Yudi Pratama M.Pd

Di susun oleh kelompok 4 :


- Darul Fiqri 410697420058
- Darul Fiqih 410697420066
- Indra Pratama 410697420067
- Wahyu Alam 410697420037

Fakultas Pendidikan Olahraga


Universitas Mitra Karya
Bekasi
2021
Jl.Mayor Hasibuan No.5,Rt.006/Rw.008,Margahayu,Kec. Bekasi Timur, Kota Bekasi,

Jawa Barat
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................. 1


KATA PENGANTAR.................................................................... 2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang....................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................... 2
1.3 Tujuan..........................................................................................................2
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Gejala altitude sickness…………………………………………...3
2.2 Diagnosis altitude sickness..............................................................3
2.3 Pertolongan pertama pada altitude sickness………………...........….3
2.4 Pengobatan altitude sickness……………..…………………………..3
2.5 Komplikasi altitude sickness............................................................3
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………………………………….....……4
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………….....……5
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan nya tentunya kami tidak
akan sanggup untuk menyelesikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertologannya
kami tidak sanggup untuk menyelasikan makalah ini dengan baik. Shalawat seta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda nabi besar kita yaitu Nabi Muhammad SAW
yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepad Allah SWT atas limpahan nikmatnya ,baik itu berupa
fisik maupun akal pikiran, sehingga penilis mampu untuk menyelesaikan pembuatan makalah
sebagai tugas dari mata kuliah Pencegahan Dan Perawatan Cidera Olahraga dengan judul:
“Sakit Kepala yang Berhubungan Dengan Ketinggian ”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih banyak
terdapat kesalahan serta kekurangan di dalam nya. Untuk itu,penulis mengharapkan kritik
serta saran dari teman-teman untuk makalah ini. Supaya makalah ini menjadi makalah yang
lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf sebesar-besarnya’
Saya juga berterima kasih kepada semuanya khususnya kepada Pak Yudi Pratama,M.Pd
selaku dosen pengampuh yang telah memberikan materi ini kepada saya.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Aamiin Terima kasih,


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Acute Mountain Sickness (AMS) merupakan salah satu penyakit di ketinggian di atas
2.400 Mdpl (altitude illness) yang dikarenakan ketidak mampuan tubuh dalam beradaptasi
dengan ditandai adanya sakit kepala atau yang terjadi pada individu yang tidak terjadi
aklimatisasi saat pendakian dan disertai satu atau lebih gejala – gejala sebagai berikut :
masalah Gastro-intestinal (anoreksia, mual, atau muntah), Insomnia, dizziness atau
keliyengan, Kelelahan.
Sepanjang tahun 2019, 11 orang dinyatakan meninggal di Everest yang sebagian
dikarenakan AMS. Penelitian yang dilakukan Andriani Sakina mengenai gambaran
pengetahuan pendaki gunung tentang AMS menunjukkan hasil kejadian AMS sebesar 34,4
%, responden dengan berpengetahuan baik sebanyak 54,2 % dengan kejadian AMS sebesar
32,7 % dan responden yang berpengetahuan kurang sebesar 8,3% dengan mengalami
kejadian AMS sebesar 50%, yang dimana pada penelitian ini menggambarkan bahwa
responden dengan pengetahuan yang kurang angka kejadian AMSnya semakin tinggi. Lebih
dari 300.000 pengunjung setiap tahun mendaki di Gunung Fuji, dan telah dilaporkan
beberapa juta orang mengalami AMS di setiap tahunya. Hal ini dikarenakan sedikitnya
informasi yang tersedia mengenai AMS terkait pendakian di Gunung Fuji. Sedangkan di
Indonesia meningkatnya minat para pendaki untuk mendaki gunung tidak sebanding dengan
informasi mengenai AMS atau masih sedikit studi yang membahas AMS di kalangan pendaki
yang menyebabkan 8,3 % responden yang berpengetahuan kurang memiliki angka kejadian
AMS sebesar 50%.
Menurut Dr. Lia Marliana SpOT.,M.Kes. AMS dapat menyerang siapa saja, dari
berbagai tingkatan usia, karena secara alamiah proses adaptasi penyesuaian diri (aklimatisasi)
harus dilakukan. AMS muncul ketika tubuh mengalami kegagalan dalam melakukan
kompensasi di ketinggian lebih dari 2.400 Mdpl dengan melakukan pendakian terlalu cepat.
Sehingga dalam hal ini, jika meningkatnya para pendaki tidak diimbangi dengan peningkatan
pengetahuan pendaki tentang Acute Mountain Sickness sendiri maka akan berimbas terhadap
sikap pendaki dalam penanganan Acute Mountain Sickness sendiri, secara teori hubungan
pengetahuan dan sikap pendaki. Dan bahkan jika pendaki tersebut mengalami Acute
Mountain Sickness dan tidak tahu cara pencegahanya maka akan berdampak kepada gejala
parah yang lain seperti terjadinya penurunan gangguan mental dan koordinasi pergerakan
yang disebabkan edema serebral diikuti oleh peningkatan tekanan intra kranial sehingga
dapat menyebabkan ataxia, stupor dan kelemahan saraf kranial III dan IV. Sehingga apabila
dibiarkan atau tidak dapat dicegah ataupun tidak tahu cara penanganannya maka akan
mengalami kematian.
Berdasarkan pemaparan diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan
literatur review terkait seberapa jauh atau bagaimana gambaran hubungan pengetahuan
pendaki tentang Acute Mountain Sickness dan sikap pendaki dalam pencegahan Acute
Mountain Sickness. Maka dari itu memiliki pengetahuan yang baik penting bagi pendaki
dalam mencegah kejadian Acute Mountain Sickness. Dengan terus mengupayakan
peningkatan pengetahuan para pendaki tentang Acute Mountain Sickness tentunya akan
berimbas baik terhadap bagaimana sikap para pendaki dalam pencegahan Acute Mountain
Sickness yang pada akhirnya akan menurunkan angka kejadian Acute Mountain Sickness
sendiri. Pada dasarnya penelitian ini bermaksud untuk mengingatkan kembali pepatah lama
bahwasanya ”Berilmu tanpa beriman itu rapuh, dan beriman tanpa berilmu itu buta” maka
dari itu dalam penelitian ini, peneliti dan pendaki akan diingatkan kembali bahwa ilmu itu
penting dimiliki sebelum kita melakukan sesuatu atau dalam penelitian ini melakukan
pendakian. Dan pada dasarnya ilmu adalah kekuatan. Jadi memiliki pengetahuan merupakan
perilaku yang bijak dalam mengantisipasi kejadian yang tidak diingingkan.
1.2  Rumusan Masalah
Dari uraian diatas, kami dapat merumuskan beberapa pertanyaan yang menjadi dasar
pembahasan dalam makalah :
1.      Apa saja gejala yang umum terjadi akibat Altitude sickness?
2.      Bagaimana Pertolongan pertama pada altitude sickness ?
3.      Bagaimana pengobatan pada altitude sickness?
4.      Apa saja komplikasi pada altitude sickness ?

1.3 Tujuan Penulisan Makalah


Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1.      Mengetahui apa saja gejala yang umum terjadi akibat altitude sickness
2.      Mengetahui bagaimana pertolongan pada altitude sickness
3.      Mengetahui bagaimana pengobatan pada altitude sickness
4.      Mengetahui apa saja komplikasi pada altitude sickness
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Gejala Altitude Sickness


Gejala Altitude sickness biasanya muncul ketika seseorang berada di ketinggian lebih
dari 3.000 mdpl. Gejalanya bisa muncul bertahap atau tiba-tiba dengan tingkat keparahan
ringan atau berat, tergantung pada kecepatan seseorang saat mendaki dan ketinggian yang
dicapai.
Beberapa gejala yang umum terjadi akibat Altitude sickness adalah:
1. Sulit tidur
2. Kelelahan
3. Mual dan muntah
4. Sakit kepala
5. Jantung berdebar
6. Sesak napas
Pada kasus yang parah, Altitude sickness bisa menyebabkan sejumlah gejala berikut:
1. Kulit membiru (sianosis)
2. Dada terasa seperti ditekan
3. Batuk berdarah
4. Sulit untuk berjalan
5. Linglung dan mudah marah
6. Penurunan kesadaran

2.2 Diagnosis Altitude Sickness


Orang yang mengalami gejala dan keluhan di atas perlu dipindahkan ke tempat yang
lebih rendah. Dengan begitu, keluhan dan gejala yang dialaminya akan berkurang. Altitude
sickness dapat didiagnosis oleh dokter dengan menanyakan gejala yang dialami penderita dan
melakukan pemeriksaan fisik, termasuk memeriksa suara napas menggunakan stetoskop.
Pada penderita Altitude sickness, terdapat penumpukan cairan di dalam paru-paru sehingga
akan muncul suara napas tambahan yang tidak normal. Jika gejala yang dialami penderita
tergolong parah, dokter akan melakukan CT scan dan MRI untuk melihat kemungkinan
adanya penumpukan cairan di otak pasien.
2.3 Pertolongan Pertama pada Altitude Sickness
1. Segera turun atau bawa penderita yang mengalami gejala Altitude sickness ke ketinggian
yang lebih rendah. Penting untuk diingat, jangan mencoba mendaki lebih tinggi lagi
meskipun gejala yang dialami tergolong ringan.
2. Sambil membawa penderita turun ke ketinggian yang lebih rendah, langkah pertolongan
pertama berikut ini dapat dilakukan untuk meredakan gejala Altitude sickness :
3. Longgarkan pakaian penderita dan beri ruang yang cukup agar penderita bisa bernapas.
4. Pastikan penderita minum banyak air putih agar tidak kekurangan cairan.
5. Berikan paracetamol atau ibuprofen untuk mengatasi sakit kepala.
6. Jangan memberikan minuman beralkohol atau obat tidur kepada penderita.
7. Jika penderita sedang berada di gunung dan kondisinya tidak memungkinkan untuk turun,
hubungi petugas evakuasi untuk membawa penderita turun.
8. Sambil menunggu pertolongan datang, jaga suhu tubuh penderita agar tetap hangat, batasi
aktivitas fisik penderita dan biarkan ia beristirahat. Gunakan portable hyperbaric chamber
(kantong udara portabel yang bertekanan tinggi) bila alat ini tersedia dan ada petugas yang
terlatih menggunakannya.
9. Segera bawa penderita ke dokter bila gejala masih berlangsung setelah berada di dataran
yang lebih rendah, meskipun gejala tersebut ringan. Bila gejala Altitude sickness saat di
ketinggian cukup parah, pemeriksaan tetap diperlukan meski gejala sudah reda saat turun.

2.4 Pengobatan Altitude Sickness


Gejala Altitude sickness biasanya akan mereda setelah turun ke ketinggian 300-600
meter lebih rendah daripada ketinggian sebelumnya. Pada sebagian besar kasus, gejala akan
hilang sepenuhnya dalam 3 hari. Pada Altitude sickness parah atau jika terjadi HACE atau
HAPE, terutama pada ketinggian di atas 1.500 mdpl, penderita harus turun ke ketinggian di
bawah 1.200 mdpl dan mendapat pertolongan medis.
Salah satu penanganan yang akan dilakukan oleh dokter untuk mengatasi Altitude sickness
adalah memberikan obat-obatan, seperti:
1. Acetolazamide, untuk meredakan gejala sesak napas
2. Dexamethasone, untuk mengurangi pembengkakan di otak
3. Nifedipine, untuk meredakan nyeri dada dan sesak napas
4. Penghambat fosfodiesterase, untuk meningkatkan aliran darah ke paru-paru
5. Selain obat-obatan di atas, dokter juga akan memberikan alat bantu napas dan terapi
oksigen untuk meredakan gejala Altitude sickness .
2.5 Komplikasi Altitude Sickness
Altitude sickness merupakan kondisi yang sangat berbahaya. Jika tidak segera
ditangani, penderita dapat mengalami komplikasi yang serius, yaitu:
1. Penumpukan cairan di paru-paru (edema paru)
2. Pembengkakan otak
3. Koma
4. Kematian
5. Pencegahan Altitude Sickness
Jika Anda ingin mendaki gunung atau pergi ke dataran tinggi, sebisa mungkin ketahui dulu
ketinggian daerah yang akan dikunjungi. Cari tahu juga apa saja gejala Altitude sickness yang
bisa terjadi, beserta pertolongan pertamanya. Bila Anda menyadari gejala lebih awal dan
gejala tidak hilang setelah 24 jam, segera turun ke ketinggian yang lebih rendah agar gejala
tidak bertambah parah.
Cara terbaik untuk mencegah Altitude sickness adalah dengan aklimatisasi, yaitu
memberikan waktu bagi tubuh untuk beradaptasi dengan kondisi di ketinggian. Caranya
adalah sebagai berikut:
1. Lakukan pendakian secara bertahap, tidak lebih dari 300 meter per hari.
2. Istirahat 1–2 hari tiap mendaki jarak 600 meter. Lakukan istirahat secara berkala jika
mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 2.400 mdpl.
3. Lakukan latihan yang cukup sebelum melakukan pendakian gunung dan pastikan Anda
mampu dan sudah berlatih untuk menuruni gunung dengan cepat.
4. Banyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi dan makan makanan dengan
kandungan karbohidrat tinggi.
5. Jangan merokok, jangan mengonsumsi minuman beralkohol atau berkafein, serta jangan
menggunakan obat tidur saat mendaki gunung.
6. Lakukan pemeriksaan kesehatan ke dokter sebelum melakukan pendakian gunung,
terutama jika Anda belum memiliki pengalaman mendaki sebelumnya.
BAB III
PENUTUP

3.1    Simpulan
Jadi kesimpulan nya kita dapat memahami jika anda ingin mendaki gunung atau pergi
ke dataran tinggi, sebisa mungkin ketahui dulu ketinggian daerah yang akan dikunjungi. Cari
tahu juga apa saja gejala Altitude sickness yang bisa terjadi, beserta pertolongan pertamanya.
Bila Anda menyadari gejala lebih awal dan gejala tidak hilang setelah 24 jam, segera turun ke
ketinggian yang lebih rendah agar gejala tidak bertambah parah. Pengobatan sakit kepala
tergantung dari penyebabnya. Bila tidak ada gejala lain yang berbahaya, sakit kepala dapat
diredakan dengan obat-obatan yang dijual bebas, seperti paracetamol. Bila sakit kepala dirasa
mengkhawatirkan, segeralah berkonsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan
dan penanganan yang sesuai.

Untuk mencegah sakit kepala akibat perilaku sehari-hari, terapkanlah perilaku hidup yang
sehat, misalnya beristirahat dengan cukup dan rutin berolahraga. Sedangkan untuk sakit
kepala akibat suatu penyakit, pencegahan yang terbaik adalah dengan mengobati
penyebabnya.
Daftar Pusaka
BAB 1.pdf (umpo.ac.id) , www.alodokter.com

Anda mungkin juga menyukai