PAI
IMAN KEPADA QADA DAN QADAR
Jannatun Na’im
Daftar Isi
KATA
PENGANTAR.................................................................................................................
DAFTAR ISI..............................................................................................................
..............
BAB I
PENDAHULUAN............................................................................................................
A. Latar belakang....................................................................................................
B. Tujuan................................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN....................................................................................................... ......
1. Pengertian beriman kepada qada dan qadar.......................................
2. Macam-macam takdir...........................................................................
3. Fungsi beriman kepada qada dan qadar Allah SWT.............................
4. Ciri-ciri orang yang beriman kepada qada dan qadar..........................
5. Hikmah orang yang beriman kepada qada dan qadar..........................
6. Hubungan antara qada dan qadar........................................................
7. Dalil-dalil yang berkaitan dengan qada dan qadar...............................
BAB III PENUTUP.....................................................................................................
..............
A. Kesimpulan.........................................................................................................
B. Saran...................................................................................................................
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A . Latar belakang
Hidup ini memang penuh dengan warna. Dan ingatlah bahwa hakikat warna-warni kehidupan
yang sedang kita jalani di dunia ini telah Allah tuliskan (tetapkan) dalam kitab “Lauhul Mahfudz” yang
terjaga rahasianya dan tidak satu pun makhluk Allah yang mengetahui isinya. Semua kejadian yang
telah terjadi adalah kehendak dan kuasa Allah SWT. Begitu pula dengan bencana-bencana yang
akhir- akhir ini sering menimpa bangsa kita. Gempa, tsunami, tanah longsor, banjir, angin ribut dan
bencana- bencana lain yang telah melanda bangsa kita adalah atas kehendak, hak, dan kuasa Allah
SWT.Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah SWT, seorang
mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan
apa-apa yang telah diberikan Allah SWT.
Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-
ketentuan Ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan
tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka kita harus berlomba-lomba menjadi hamba yang
saleh-muslih, dan berusaha keras untuk menggapai cita-cita tertinggi yang diinginkan setiap muslim
yaitu melihat Rabbul’alamin dan menjadi penghuni Surga.
Keimanan seorang mukmin yang benar harus mencakup enam rukun. Yang terakhir adalah
beriman terhadap takdir Allah, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk. Salah memahami
keimanan terhadap takdir dapat berakibat fatal, menyebabkan batalnya keimanan seseorang.
Terdapat beberapa permasalahan yang harus dipahami oleh setiap muslim terkait masalah takdir ini.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:
Dan sabda Rasulullah SAW yang artinya : “Malaikat akan mendatangi Nuthfa yang telah menetap
dalam rahim selama empat puluh atau empat puluh lima malam seraya berkata; ‘Ya Tuhanku,
apakah nantinya ia ini sengsara atau bahagia? ‘ Maka ditetapkanlah (salah satu dari) keduanya.
Kemudian malaikat itu bertanya lagi; ‘Ya Tuhanku, apakah nanti ia ini laki-laki ataukah perempuan? ‘
Maka ditetapkanlah antara salah satu dari keduanya, ditetapkan pula amalnya, umurnya, ajalnya,
dan rezekinya. Setelah itu catatan ketetapan itu dilipat tanpa ditambah ataupun dikurangi lagi.” (HR.
Muslim)
Allah berfirman yang Artinya : “Tiadalah suatu bencana menimpa di bumi dan (tidak pula) pada
dirimu, melainkan dahulu sudah tersurat dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. Al-Hadiid:22) .
2. MACAM-MACAM TAKDIR
1) Takdir Mu’allaq
Takdir mu’allaq adalah takdir Allah SWT atas makhluknya yang memungkinkan dapat
berubah karena usaha dan ikhtiar manusia. Allah berfirman yang Artinya : “Sesungguhnya
Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka itu mengubah nasibnya
sendiri.” (Ar-Radu
: 11) Contoh :
2) Takdir Mubram
Takdir Mubram ialah takdir yang pasti terjadi dan tidak dapat dielakkan kejadiannya.
Contohnya nasib manusia, lahir, kematian, jodoh, rizkinya, dan terjadinya kiamat dan
sebagainya. Qada’ & qadar Allah SWT yang berhubungan dengan nasib manusia adalah
rahasia Allah SWT, hanya Allah SWT yang mengetahuinya. Manusia diperintahkan
mengetahui qada’ dan qadarnya melalui usaha dan ikhtiar. Kapan manusia lahir, bagaimana
statusnya sosialnya, bagaimana rizkinya ,siapa anak istrinya, dan kapanya meninggalnya,
adalah rahasia Allah SWT. Jalan hidup manusia seperti itu sudah ditetapkan sejak zaman
azali yaitu masa sebelum terjadinya sesuatu atau massa yang tidak bermulaan. Tidak
seorang pun yang mengetahuinya.
Mendorong anak pada sikap yang seimbang antara optimisme dan tawakkal.Dua hal ini
akan berjalan dengan baik dan seimbang jika kita percaya dengan adanya qadha dan qadar
Allah SWT.
Melatih diri untuk lebih bersyukur dan bersabar kepada Allah SWT.
Misalnya: ketika tertimpa musibah, sikap orang akan berbeda. Ada yang tabah, ada yang
sedih dan tidak terima. Orang yang beriman dengan takdir, ia akan bersabar dan tetap
bersyukur karena ia memahami bahwa semua ini tidak lepas dari ketentuan Allah SWT.
Mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Orang yang percaya pada takdir Allah SWT, pasti dia merasa bahwa semua yang
menimpanya adalah bagian dari karunia Allah SWT. Karena itu, semua kejadian yang
dialaminya kian mendekatnya dirinya kepada Allah SWT.
Melatih seseorang menjadi orang yang giat berusaha, optimis, dan tidak cepat putus asa.
Menghindarkan dari sifat sombong.
Orang yang percaya takdir Allah SWT pasti tidak akan sombong, Karena ia memahami bahwa
semua yang dimiliki adalah bersumber dari Allah SWT. Jadi, apa yang perlu dibanggakan dan
disombong-sombongkan?
Dapat menenangkan jiwa.
Banyak orang yang gelisah karena dia mendapatkan masalah. Ia terjadi sebab mereka tidak
menyadari bahwa yang memberikan masalah.
Hubungan antara qada dan qadar merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan dan satu
kesatuan. Dalam rukun iman agama Islam, penyebutannya juga disatukan, yaitu iman kepada qada
dan qadar.
Hubungan antara qada dan qadar diuraikan melalui pengertian dari keduanya. Melansir buku “KH.
ABDUL KARIM JAMAK DAN PEMIKIRANNYA TENTANG KONSEP KETUHANAN” terbitan Penerbit NEM,
qada adalah ketentuan, hukum atau rencana Allah sejak zaman azali. Sedangkan qadar, merupakan
kenyataan dari ketentuan atau hukum Allah.
Dapat dikatakan hubungan qada dan qadar layaknya rencana dan perbuatan. Sehingga ketetapan
Allah SWT sejak dahulu kala disebut qada dan realitas yang terjadi saat ini disebut qadar.
Qada dan qadar menjadi bagian dari rukun iman keenam yang wajib diimani setiap muslim imani.
Dengan meyakini segala kejadian yang terjadi merupakan ketentuan dan ketetapan Allah SWT,
manusia diciptakan oleh Allah dan Dialah dengan kekuasaan penuh, mengatur jalan gerak dan
tingkah laku manusia.
Dalil yang menunjukkan rukun yang agung dari rukun-rukun iman ini ialah al-Qur-an, as-Sunnah, ijma’,
fitrah, akal, dan Panca Indera.
Dalil-dalil dari al-Qur-an sangat banyak, di antaranya firman Allah Azza wa Jalla
مْق َ
و َكا َن أ ْم ُر ِ َد ُدو ًرا
ل َّ ًرا
ال
“…Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [Al-Ahzab/33 :38]
Juga firman-Nya:
Juga firman-Nya:
“…Kemudian engkau datang menurut waktu yang ditetapkan hai Musa.” [Thaahaa/20 : 40]
Sementara dari sunnah ialah seperti sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang
terdapat dalam hadits Jibril Alaihissalam
ِ
وتُ ْؤ ِم َن اْلَق َد ِر ِه ’ر
ِر و خ ِه
ْي ش
“…Dan engkau beriman kepada qadar, yang baik maupun yang buruk… .” [1]
Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahiih dari Thawus, dia mengatakan, “Saya mengetahui
sejumlah orang dari para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Segala
sesuatu dengan ketentuan takdir.’ Ia melanjutkan, “Dan aku mendengar ‘Abdullah bin ‘Umar
mengatakan, ‘Segala sesuatu itu dengan ketentuan takdir hingga kelemahan dan kecerdasan, atau
kecerdasan dan kelemahan.’”[2]
َ
ه َ شا ع:َكذ وَل ِك ْن ُق ْل
َ َعل ك ا كذ
ْ َ َأ :ْ و ِإ ْن أ صا ْ ف تَُقل
م َ ء َل ل َ
ق َد ُر و،ا ا ن َ ،ِن’ي ت َب ي ئ
ل ا ْو َك
ا و ش
“…Jika sesuatu menimpamu, maka janganlah mengatakan, ‘Se-andainya aku melakukannya, niscaya
akan demikian dan demikian.’ Tetapi ucapkanlah, ‘Sudah menjadi ketentuan Allah, dan apa yang
dikehendakinya pasti terjadi… .’” [3]
Demikianlah (dalil-dalil tersebut), dan akan kita temukan dalam kitab ini dalil-dalil yang banyak dari
al-Qur-an dan as-Sunnah, sebagai tambahan atas apa yang telah disebutkan.
Adapun berdasarkan fitrah, bahwa iman kepada qadar adalah sesuatu yang telah dimaklumi
secara fitrah, baik dahulu maupun sekarang, dan tidak ada yang mengingkarinya kecuali sejumlah
kaum musyrikin. Kesalahannya tidak terletak dalam menafikan dan mengingkari qadar, tetapi
terletak dalam memahaminya menurut cara yang benar. Karena itu, Allah Azza wa Jalla berfirman
tentang kaum musyrikin.
“Orang-orang yang mempersekutukan Allah, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami
dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya… .’” [Al-An’aam/6 : 148]
Mereka menetapkan kehendak (masyii-ah) bagi Allah, tetapi mereka berargumen dengannya atas
perbuatan syirik. Kemudian Dia menjelaskan bahwa ini merupakan keadaan umat sebelum mereka,
dengan firman-Nya:
ِه
ك َٰذ ِل َك ك ب اله م
ْم
ذ ِذي َن ْن
ْب ه
ِل
“… Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para Rasul)… .” [Al-
An’aam/6 : 148]
Bangsa ‘Arab di masa Jahiliyyah mengenal takdir dan tidak mengingkarinya, serta di sana tidak ada
orang yang berpendapat bahwa suatu perkara itu memang telah ada sebelumnya (terjadi dengan
sendirinya, tanpa ada Yang menghendakinya).
Hal ini kita jumpai secara nyata dalam sya’ir-sya’ir mereka, sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya, dan sebagaimana dalam ucapan ‘Antarah:
Dan sekiranya Rabb-ku menghendaki, niscaya aku menjadi ‘Amr bin Martsad [7]
Zuhair berkata:
Jangan menyembunyikan kepada Allah apa yang ada dalam jiwa kalian
Sebagaimana kita dapati juga dalam khutbah-khutbah mereka, seperti dalam pernyataan Hani’ bin
Mas’ud asy-Syaibani dalam khutbahnya yang masyhur pada hari Dzi Qar, “Sesungguhnya sikap
waspada (hati-hati) tidak dapat menyelamatkan dari takdir.” [11]
Tidak seorang pun dari mereka yang menafikan qadar secara mutlak, sebagaimana yang ditegaskan
oleh salah seorang pakar bahasa ‘Arab, Abul ‘Abbas Ahmad bin Yahya Tsa’lab Rahimahullah, dengan
ucapannya, “Saya tidak mengetahui ada orang ‘Arab yang mengingkari takdir.” Ditanyakan
kepadanya, “Apakah di hati orang-orang ‘Arab terlintas pernyataan menafikan takdir?” Ia menjawab,
“Berlindunglah kepada Allah, tidak ada pada bangsa ‘Arab kecuali menetapkan takdir, yang baik
maupun yang buruk, baik semasa Jahiliyyah maupun semasa Islam. Pernyataan mereka sangat
banyak dan jelas.” Kemudian dia mengucapkan sya’ir:
Labid berkata:
Siapa yang diberi petunjuk kepada jalan kebajikan, maka dia telah mendapat petunjuk dan hidupnya
menyenangkan
Dan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk disesatkan), maka Dia menyesatkannya [13]
Sedangkan dalil akal, maka akal yang sehat memastikan bahwa Allah-lah Pencipta alam semesta ini,
Yang Mengaturnya dan Yang Menguasainya. Tidak mungkin alam ini diadakan dengan sistim yang
menakjubkan, saling menjalin, dan berkaitan erat antara sebab dan akibat sedemikian rupa ini
adalah
secara kebetulan. Sebab, wujud itu sebenarnya tidak memiliki sistem pada asal wujud-Nya, lalu
bagaimana menjadi tersistem pada saat adanya dan perkembangannya?
Jika ini terbukti secara akal bahwa Allah adalah Pencipta, maka sudah pasti sesuatu tidak terjadi
dalam kekuasaan-Nya melainkan apa yang dikehendaki dan ditakdirkan-Nya.
Di antara yang menunjukkan pernyataan ini ialah firman Allah Azza wa Jalla:
ْعل
ْي َّلال قَ ْد َهه َن ِلتَ ْع َل َ ’ ِ „ء قَ ِدي وأ هه َن َيت ََن َز هل ت و ِم َما هّلال الَ ِذي خل س
ًما هموا َأ َن ْين ّلل ى ’ ˚ر ش َن َا ْ َْل ْم هر ض مْثل َن ا ْْلَ ْر
„ء أَ َحا هك َوا ق ْب
ش ِ’ ل ْي ا علَ ل س َع
ط
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya,
agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah,
ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [Ath-Thalaaq/65 : 12]
Kemudian perincian tentang qadar tidak diingkari akal, tetapi merupakan hal yang benar-benar
disepakati, sebagaimana yang akan dijelaskan nanti.
Adapun bukti secara inderawi, maka kita menyaksikan, mendengar, dan membaca bahwa manusia
akan lurus berbagai urusan mereka dengan beriman kepada qadha’ dan qadar -dan telah lewat
penjelasan tentang hal ini pada pembahasan “Buah Keimanan kepada Qada’ dan Qadar”-. Orang-
orang yang benar-benar beriman kepadanya adalah manusia yang paling berbahagia, paling
bersabar, paling berani, paling dermawan, paling sempurna, dan paling berakal.
Seandainya keimanan kepada takdir tersebut tidaklah nyata, niscaya mereka tidak mendapatkan
semua itu.
Kemudian, qadar adalah “sistem tauhid,” [15] sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu
‘anhu, dan tauhid itu sendiri adalah sebagai sistem kehidupan. Maka kehidupan manusia tidak akan
benar-benar istiqamah (lurus), kecuali dengan tauhid, dan tauhid tidak akan lurus kecuali dengan
beriman kepada qadha’ dan qadar.
Mudah-mudahan apa yang akan disebutkan di akhir kitab ini mengenai kisah-kisah manusia yang
menyimpang dalam masalah takdir akan menjadi bukti atas hal itu.
Kemudian dalam perkara yang telah diberitakan Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
berupa perkara-perkara ghaib di masa mendatang yang telah terjadi, sebagaimana disebutkan dalam
hadits, adalah bukti yang jelas dan nyata bahwa iman kepada qadar adalah hak dan benar.
[Disalin dari kitab Al-Iimaan bil Qadhaa wal Qadar, Edisi Indonesia Kupas Tuntas Masalah Takdir,
Penulis Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd, Penerjemah Ahmad Syaikh, Sag. Penerbit Pustaka Ibnu
Katsir
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPUL
AN
Beriman kepada qada’ dan qadar akan melahirkan sikap optimis, tidak mudah putus asa, sebab
yang menimpanya ia yakini sebagai ketentuan yang telah Allah takdirkan kepadanya dan Allah akan
memberikan yang terbaik kepada seorang muslim, sesuai dengan sifatnya yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Oleh karena itu, jika kita tertimpa musibah maka ia akan bersabar, sebab buruk
menurut kita belum tentu buruk menurut Allah, sebaliknya baik menurut kita belum tentu baik
menurut Allah. Karena dalam kaitan dengan takdir ini seyogyanya lahir sikap sabar dan tawakal yang
dibuktikan dengan terus menerus berusaha sesuai dengan kemampuan untuk mencari takdir yang
terbaik dari Allah.
B.SARAN
Keimanan seseorang akan berpengaruh terhadap perilakunya sehari-hari. Oleh karena itu, penulis
menyarankan agar kita senantiasa meningkatkan iman dan takwa kita kepada Allah SWT agar hidup
kita senantiasa berhasil menurut pandangan Allah SWT. Juga keyakinan kita terhadap takdir Allah
senantiasa ditingkatkan demi meningkatkan amal ibadah kita. Serta Kita harus senantiasa bersabar,
berikhtiar dan bertawakal dalam menghadapi takdir Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
https://almanhaj.or.id/2475-dalil-dalil-iman-kepada-qadha-dan-qadar.html
https://andrilamodji.wordpress.com/makalah/makalah-iman-kepada-qada-dan-qadar/