Anda di halaman 1dari 20

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

Fakultas Ilmu - Ilmu Kesehatan


Jurusan Farmasi
Laboratorium Farmakologi dan Farmasi Klinik

LAPORAN AKHIR
PRAKTIKUM FARMAKOKINETIKA DASAR

Kelas/Golongan/Kelompok : A / 2-4
Tanggal Praktikum : 15 November 2022
Dosen Pembimbing : Apt. Rozana Oktaviary, M.S.Farm
Nama Anggota Kelompok :
1. Qori Humaira Muslich (I1C021081)
2. Yunizar Lusida Putri (I1C021083)
3. Tiara Azizah Firdaus (I1C021085)
4. Aisy Prita Syafina (I1C021097)

P4. PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP BIOAVAILABILITAS SUATU OBAT DENGAN


MENGGUNAKAN DATA DARAH
1. Skema/Tahapan Kerja
2. Perhitungan (Data)
# Perhitungan dosis
Bobot tikus : 116 gram
Dosis paracetamol pada manusia : 500 mg
Konversi : 0,018
● Dosis paracetamol pada tikus :
500 𝑚𝑔 𝑥 0, 018 = 9 𝑚𝑔
● Dosis paracetamol yang diberikan :
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠 𝑥
200 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 𝑑𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑡𝑖𝑘𝑢𝑠

116 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥
200 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 9 𝑚𝑔

116 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑥 9 𝑚𝑔
𝑥 = 200 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 5, 22 𝑚𝑔

Waktu
Kelompok Sampling Absorbansi Regresi Linier P3 Kadar (C) T vs C
(menit)

0 0,480 A = 0,048 144 A = 137,826


B = 0,003 B = 1,156
5 0,530 160,667
r = 0,966 r = 0,477

15 0,425 125,667
y = a + bx y = a + bx
20 0,473 141,667
y = 0,048 + 0,003x y = 137,826+1,156x
3 dan 4
40 0,377 109,667

60 1,210 387,333

80 0,600 184

100 0,707 219,667


# Kadar ( C )

t=0 t = 20 t = 80

y = 0,048 + 0,003x y = 0,048 + 0,003x y = 0,048 + 0,003x

0,480 = 0,048 + 0,003x 0,473 = 0,048 + 0,003 x 0,600 = 0,048 + 0,003x

0,480 - 0048 = 0,003x 0,473 - 0,048 = 0,003x 0,600 - 0,048 = 0,003x

0,432 = 0,003x 0,425 = 0,003 x 0,552 = 0,003x

x = 114 x = 141,667 x = 184

t=5 t = 40 t = 100

y = 0,048 + 0,003x y = 0,048 + 0,003x y = 0,048 + 0,003x

0,530 = 0,048 + 0,003x 0,377 = 0,048 + 0,003x 0,707 = 0,048 + 0,003x

0,530-0,048 = 0,003x 0,377 - 0,048 = 0,003x 0,707 - 0,048 = 0,003x

0,482 = 0,003x 0,329 = 0,003x 0,659 = 0,003x

x = 160,667 x = 109,667 x = 219,667

t = 15 t = 60

y = 0,048 + 0,003x y = 0,048 + 0,003x

0,425 = 0,048 + 0,003x 1,210 = 0,048 + 0,003x

0,425 - 0,048 = 0,003x 1,210 - 0,048 = 0,003x

0,377 = 0,003x 1,162 = 0,003x

x = 125,667 x =387,333
# AUC

AUC 1 = AUC 5 =

(144 + 160,667) (109,667 + 387,333)


2
𝑥 5 = 761, 166 𝑚𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿 2
𝑥20 = 4970 𝑚𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

AUC 2 = AUC 6 =

(160,667 + 125,667) (387,333 + 184)


2
𝑥10 = 1431, 67 𝑚𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿 2
𝑥20 = 5713, 33 𝑚𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

AUC 3 = AUC 7 =

(125,667 + 141,667) (184 + 219,667)


2
𝑥5 = 668, 335 𝑚𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿 2
𝑥20 = 4036, 67 𝑚𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

AUC 4 = AUC Total = 20.094,511 mg.menit/mL

(141,667 + 109,667)
2
𝑥20 = 2513, 34 𝑚𝑔. 𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡/𝑚𝐿

3. Pembahasan

Pemberian obat dapat dilakukan dengan berbagai macam rute pemberian. Rute pemberian
mempengaruhi kadar obat yang nantinya akan terdapat dalam sirkulasi sistemik. Pada praktikum kali ini,
rute pemberian obat yang dibahas adalah mengenai rute pemberian obat secara peroral. Rute
pemberian obat secara peroral apabila diberikan ke manusia dikonsumsi dengan ditelan, namun pada
praktikum ini kami menggunakan hewan uji coba tikus yang disonde untuk pemberian obat. Rute
pemberian obat secara peroral sebenarnya merupakan rute paling mudah namun memiliki beberapa
kelemahan, yaitu zat aktif obat yang tidak dapat diabsorbsi seluruhnya, zat aktif obat mengalami first
pass effect, zat aktif dapat terdegradasi akibat pengaruh lingkungan, dan dibutuhkan waktu yang lama
untuk menimbulkan efek terapi (Verma et al, 2010).

Pemberian obat secara oral akan mengalami fase absorbsi yang dapat masuk ke dalam sirkulasi
sistemik melewati dinding usus atau lambung. Profil farmakokinetika dari rute per oral akan didapatkan
tetapan kecepatan absorbsi (ka) dan t ½ absorbsi. Sedangkan, pemberian obat secara intravena tidak
mengalami fase absorbsi yang menyebabkan perbedaan pemberian rute kedua obat tersebut
berpengaruh terhadap bioavailabilitas dan Cmax atau kadar maksimal (Neal, 2006). Bioavailabilitas
adalah jumlah dan kecepatan obat yang diabsorbsi melalui jalur pemberian tertentu yang masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Obat yang diberikan secara intravena memiliki bioavailabilitas sebesar satu
karena dianggap obat masuk ke dalam tubuh 100% (Batubara, 2008). Bioavailabilitas obat yang diberikan
secara per oral tidak sama dengan satu karena terjadinya proses absorbsi dan terdapat eliminasi
first-pass (Holfrod, 1998). Parameter bioavailabilitas penting dalam kontrol kualitas suatu produk obat
serta dapat memperkirakan efektifitas terapi. Parameter farmakokinetika data darah yang berguna untuk
penentuan bioavailabilitas salah satunya adalah AUC (Shargel, 2005).

Cmax atau kadar puncak merupakan kadar tertinggi yang terukur dalam darah, serum dan
plasma serta digunakan sebagai tolak ukur pemberian dosis. Tmax adalah waktu ketika kadar mencapai
puncak. Untuk menentukan hubungan waktu dengan kadar, diperlukan perhitungan regresi linier.
Apabila diketahui kadar obat di dalam plasma setiap waktu setelah pemberian, makn dapat dilakukan
perhitungan parameter farmakokinetika untuk mengetahui bioavailabilitas suatu obat dari tetapan
kecepatan eliminasi (K), waktu paruh eliminasi (t1/2), waktu kadar puncak (T max), kadar puncak (C
max), dan AUC.

Percobaan praktikum kali ini, langkah pertama yang dilakukan adalah dengan menimbang berat
badan tikus dan menghitung konversi dosis untuk pemberian obat paracetamol. Didapatkan hasil berat
badan tikus sebagai berikut: tikus 1 = 107 gram; tikus 2 = 116 gram; tikus 3 = 111 gram. Data yang
digunakan untuk melakukan konversi dosis merupakan berat badan tikus yang paling besar, yaitu berat
badan tikus 2 (116 gram). Setelah ditentukan, maka dapat dilakukan konversi dosis paracetamol dari
manusia ke tikus. Hasil yang didapatkan dosis paracetamol sebesar 5,22 mg.

Selanjutnya, obat diberikan secara per-oral dengan menggunakan sonde dan dilakukan
pengambilan sampel darah pada menit ke 0, 5, 15, 20, 40, 60, 80, dan 100 sebanyak ± 1 𝑚𝑙. sampel
darah tersebut ditambahkan TCA 10% sebanyak 3 ml, divortex selama 30 detik dan disentrifugasi selama
10 menit. Perlakuan vortex dilakukan untuk mencampurkan sampel darah yang sudah didapat dengan
heparin yang ada didalam tabung reaksi. Kemudian, sentrifugasi dilakukan agar dari sampel darah
tersebut, dapat dipisah zat aktif obatnya dalam supernatan. Hasil sampel darah yang telah disentrifugasi
diambil supernatan sebanyak 2 ml dan ditambahkan NaNO₂ 0,07 M sebanyak 0,5 ml. Kemudian,
supernatan diinkubasi pada suhu 37℃ selama 10 menit serta ditambahkan NaOH 8 M sebanyak 0,1 ml.
Langkah terakhir adalah mengukur serapannya menggunakan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 342 nm. Berdasarkan pengukuran serapan tersebut, didapatkan hasil absorbansi 𝑡0= 0,480; 𝑡5

= 0,530; 𝑡15 = 0,425; 𝑡20 = 0,473; 𝑡40 = 0,377; 𝑡60 = 1,210; 𝑡80 = 0,600; 𝑡100 = 0,707, dengan regresi linier

yang didapat pada praktikum sebelumnya, yaitu y = 0,048 + 0,003𝑥 dengan r = 0,966.

Setelah diketahui nilai absorbansi, dapat dihitung nilai kadar dengan menggunakan regresi linier
tersebut. Hasil yang didapatkan adalah 𝑡0= 144; 𝑡5 = 160,667; 𝑡15 = 125,667; 𝑡20 = 141,667; 𝑡40 = 109,667;

𝑡60 = 387,333; 𝑡80 = 184; 𝑡100 = 219,667. Berdasarkan data tersebut, didapatkan regresi linier y = 137,826

+ 1,156𝑥 dengan r = 0,477. Langkah selanjutnya adalah dengan menghitung nilai AUC, sehingga nilai AUC
total dapat ditentukan.

Gambar 3.1 Kurva t vs C

Saat seluruh hasil perhitungan sudah didapat, maka dapat digambarkan kurva t vs C. Kurva yang
didapat pada praktikum kali ini menunjukkan kurva dengan garis yang tidak linear. Menurut literatur,
kurva pemberian obat secara ekstravaskuler yang baik adalah kurva yang menggambarkan fase absorbsi
dan eliminasi secara melengkung menghadap bawah. Namun, pada praktikum kali ini, kurva t vs C
menunjukkan garis fluktuatif yang naik turun. Artinya, terdapat kesalahan dalam sampel atau supernatan
yang diambil, kemungkinan karena adanya kontaminasi dalam bahan atau kesalahan penambahan bahan
sehingga hasil kurang baik.
4. Kesimpulan

Praktikum kali ini menggunakan rute pemberian obat secara peroral untuk mendapat
data darah yang diambil dari sudut mata hewan uji tikus. Kadar obat yang di dapat dari darah
yang diambil tiap menit yang ditentukan adalah 𝑡0= 144; 𝑡5 = 160,667; 𝑡15 = 125,667; 𝑡20 =

141,667; 𝑡40 = 109,667; 𝑡60 = 387,333; 𝑡80 = 184; 𝑡100 = 219,667 setelah pemberian dosis obat

sebanyak 5,22 mg. Kemudian, di dapat AUC total yang dijadikan sebagai gambaran jumlah obat
dalam sistemik sebesar 20.094,511 mg.menit/mL. Dari hasil data darah, AUC, dan kurva, didapat
kesimpulan bahwa rute pemberian obat berpengaruh terhadap bioavailabilitas obat dalam
tubuh. Proses absorbsi, distribusi, dan eliminasi obat mempengaruhi kadar bioavailabilitas obat.

5. Daftar Pustaka

Batubara, P. L., 2008. Farmakologi dasar, Edisi II. Jakarta: Lembaga Studi dan Konsultasi
Farmakologi

Holford, N. H., 1998. Farmakokinetik dan Farmakodinamik: Pemilihan Dosis yang Rasional dan
Waktu Kerja Obat Dalam Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi IV. Jakarta: Salemba Medika.

Neal, M. J., 2006. Farmakologi Medis. Jakarta: Erlangga.

Shargel, L., Mutnick, A. H., 2005. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan Edisi Kedua.
Surabaya: Airlangga University Press.

Verma, P., A.S. Thakur, K. Deshmukh, Dr. A.K. Jha, S. Verma. 2010. Routes of Drug Administration.
International Journal of Pharmaceutical Studies and Research 1(1): 54-59.
LAMPIRAN

# Kurva t vs C

Anda mungkin juga menyukai