DISUSUN OLEH :
E. CARA KERJA
dilarutkan dalam 50ml Pelarutan sampel
aquades
Penyaringan
+1 ml masukkan
tabung reaksi
+ 1ml reagen D Penambahan
Inkubasi 15 menit
Inkubasi 45 menit
𝑋𝑋1 𝑥𝑥 𝐹𝐹𝐹𝐹 𝑥𝑥 𝑉𝑉
X1(%) = 𝑥𝑥 100%
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠(𝑚𝑚𝑚𝑚)
𝑋𝑋2 𝑥𝑥 𝐹𝐹𝐹𝐹 𝑥𝑥 𝑉𝑉
X2(%) = 𝑥𝑥 100%
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠(𝑚𝑚𝑚𝑚)
𝑋𝑋3 𝑥𝑥 𝐹𝐹𝐹𝐹 𝑥𝑥 𝑉𝑉
X3(%) = 𝑥𝑥 100%
𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠𝑠(𝑚𝑚𝑚𝑚)
0,0918 𝑥𝑥 223,21 𝑥𝑥 1 20,490
= 𝑥𝑥 100% = 𝑥𝑥 100% = 9,14%
224 𝑚𝑚𝑚𝑚 224 𝑚𝑚𝑚𝑚
8,84%+9,03%+9,14%
= = 9,0%
3
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini menentukan kadar protein menggunakan metode
kuantitatif yaitu menggunakan metode lowry, metode lowry merupakan
pengembangan dari metode biuret. Dalam metode ini terlibat 2 reaksi. Awanya
kompleks Cu(II)-protein akan terbentuk sebagaimana metode biuret yang dalam
suasana alkalis Cu(II) akan tereduksi menjadi Cu(I), ion Cu+ kemudian akan
mereduksi reagen folin-cioclteu, kompleks phosphotungstat, menghasilkan
heteropoly-molybdenum blue akibat reaksi oksidasi gugus aromatik terkatalis Cu,
yang memberikan warna biru intensif yang dapat dideteksi secara kolometri.
Kekuatan warna biru terutama bergantung paa kandungan residu tryptophan dan
tyrosinenya. Keuntungan metodde lowry adalah lebih sensitif(100x) daripada metode
biuret sehingga memerlukan sampel protein yang lebih sedikit. Batas deteksinya
berkisar pada konsentrasi 0,01 mg/ml. Namn metode lowry lebih banyak
interfensinya akibat kesensitifannya.
Pada praktikum kali ini menggunakan sampel bahan berupa tepung ikan
gabus dimana tepung ini nantinya akan dicari kadar protein yang terkandung
didalamnya. Pada proses pembuatannya hampir sama seperti praktek sebelumnya
saat menentukan larutan standart BSA yaitu dengan menghaluskan sampel dan
dilarutkan dengan aquades setelah itu dilakukan penyaringan. Penyaringan ini
bertujuan agar sampel tepung ikan gabus yang sudah dilarutkan dapat diambil
ekstraknya untuk kemudian ditambahkan regaen D dan diinkubasi selama 15 menit
disuhu ruangan karena jika suhu inkubasi terlalu panas maka akan terjadi denaturasi
protein atau protein akan menggumpal, proses inkubsi dilakukan sebanyak 2x yang
pertama selama 15 menit dan yang kedua selama 45 menit, masa inkubasi dilakukan
sebanyak 2x kali setelah penambahan reagen D dan E dimaksudkan agar protein
dapat larut dengan baik tanpa harus dengan temperatur yang cukup tinggi. Sebelum
dicek pada spektrofotometer, sampel yang sudah diinkubasi divortex terlebih dahulu
agar tercampur dengan baik, baru setelah itu dilakukan absorbansi pada
spektrofotometer dengan panjang gelombang 750 nm.
Menurut sudarmadji(2010), larutan BSA adalah larutan yang biasa digunakan
untuk membuat kurva standart yang mengggambarkan hubungan antara konsentrasi
dan absorbansi. Setelah konsentrasi larutan diketahui, konsentrasi tersebut
digunakan untuk menghitung kadar protein terlarut tiap bahan dengan rumus yang
telah ditentukan. Suatu bahan memiliki kadar protein terlarut yang lebih rendah
dibandingkan kadar protein total, hal ini disebabkan karena tidak semua protein
dalam suatu bahan mudah dicerna/larut. Untuk praktikum kadar protein dalam
proses inkubasi tidak dengan dipanaskan tapi hanya didiamkan di suhu ruang tapi di
tempat yang tertutup seperti rak, sampel tidak dipanaskan dikarenakan protein akan
menggumpal dan protein akan denaturasi. Penurunan kadar protein dapat
diminimalkan dengan proses pengolahan yang baik dan menghindari suhu yang
terlalu tinggi, proses pemanasan dapat menurunkan kadar protein dengan
mekanisme denaturasi protein. Fungsi dari inkubasi sampel selama beberapa menit
unutk mengoptimalkan reaksi.
Hasil yang diperoleh pada penentuan kadar protein terlarut setelah dilakukan
pengecekkan absorbansi pada spektrofotometer adalah 0,310 ; 0,315 ; 0,318.
Kemudian dilakukan perhitungan untuk mencari nilai X yang akan digunakan untuk
mencari berapa persen(%) kadar protein yang didapatkan, untuk nilai X diperoleh
0,0888 ; 0,0907 ; 0,0918 dan untuk faktor pengencerannya didapatkaan hasil 223,21
didapat dari 50ml aquades dibagi dengan berat sampel sejumlah 0,224 g. Untuk
hasil persen kadar protein yaitu 8,84% ; 9,03% ; 9,14% sehingga rata-rata dari kadar
protein terlarut sejumlah 9,0%.
G. KESIMPULAN
Penentuan kadar protein terlarut dari sampel tepung ikan gabus seberat
0,224 g didapatkan hasil absorbansinya sejumlah 0,310; 0,315 ; 0,318 dan untuk
kadar protein % sejumlah 8,84% ; 9,03% ; 9,14% sehingga rata-rata untuk kadar
proteinnya adalah 9,0% dengan faktor pengenceran 223,21.
H. DAFTAR PUSTAKA
Fivi, Diana Melva., 2010., Fungsi dan Metabolisme Protein di dalam Tubuh Manusia,
Indonesia, Jurnal Kesehatan Masyarakat., Vol. 4, No. 1., Universitas Andalas :
Padang, pp 47 dan 48.
Ghassem M, Keizo A, abdul SB, Mamot S, Saadiah I. 2011. Purification and
identification of ace inhibitory peptides from haruan (Channa striatus)
myofibrillar protein hydrolysate using HPLC–ESI-TOF MS/MS. Food
Chemistry. 129: 1770–1777.
Murray, R. K.., Bender, D. A., dkk., 2014., Biokimia Harper Ed. 29., EGC : Jakarta,
pp 25, 711, 714, dan 715.
Mustafa A, M Aris W, Yohanes K. 2012.Albumin and zinc content of snakehead fish
(Channa striata) extract and its role in health. International Journal of
Science and Technology. 1(2):1-8.
Nahariah, Anang ML, Effendi A, Antonius H, Priyo B, Yoyok BP. 2014. Evaluasi
potensi aktivitas ACE-inhibitor endogenous pada putih telur dari jenis
unggas yang berbeda. Jurnal Fakultas Peternakan dan Pertanian. 1: 207-
213.