Anda di halaman 1dari 50

PROPOSAL SKRIPSI

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (BKO) PADA JAMU PEGAL LINU


YANG BEREDAR DI WILAYAH BREBES DENGAN METODE
KLT DAN SPEKTROFOTOMETRI UV - VIS

Oleh
WILI DWI YANTO
E1021021

PROGRAM STUDI FARMASI PROGRAM SARJANA (S1)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI
2022
PROPOSAL SKRIPSI

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (BKO) PADA JAMU PEGAL LINU


YANG BEREDAR DI WILAYAH BREBES DENGAN METODE
KLT DAN SPEKTROFOTOMETRI UV - VIS

Disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi
(S.Farm.) Program Studi Farmasi Program Sarjana (S1)
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Bhamada Slawi

Oleh
WILI DWI YANTO
E1021021

PROGRAM STUDI FARMASI PROGRAM SARJANA (S1)


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI
2022

i
PERSETUJUAN PROPOSAL

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (BKO) PADA JAMU PEGAL LINU


YANG BEREDAR DI WILAYAH BREBES DENGAN METODE
KLT DAN SPEKTROFOTOMETRI UV - VIS

Dipersiapkan dan disusun oleh:


WILI DWI YANTO
E1021021

Telah diperiksa dan disetujui oleh dosen pembimbing proposal skripsi


Untuk dipertahankan dihadapan tim penguji pada tanggal ….........2022

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Ery Nourika Alfiraza,M.Sc. apt. Osie Listina,M.Sc.


NIPY. 1992.02.10.19.128 NIPY. 1984.04.09.13.076

ii
PENGESAHAN PROPOSAL

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (BKO) PADA JAMU PEGAL LINU


YANG BEREDAR DI WILAYAH BREBES DENGAN METODE
KLT DAN SPEKTROFOTOMETRI UV - VIS

Dipersiapkan dan disusun oleh:


WILI DWI YANTO
E1021021

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji pada tanggal ............. 2022

Tim Penguji:
Ketua:
1. apt. Agung Nur Cahyanta, M. Farm 1. ..........................
NIPY. 1979.06.09.13.079

Anggota:

1. Ery Nourika Alfiraza,M.Sc 1............................


NIPY. 1992.02.10.19.128

2. apt.Osie Listina.M.Sc 2............................


NIPY. 1984.04.09.13.076

iii
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT, karena berkat rahmat dan
hidayat-Nya penulis dapat melakukan tugas proposal skripsi yang berjudul:
ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (BKO) PADA JAMU PEGAL LINU YANG
BEREDAR DI WILAYAH BREBES DENGAN METODE KLT DAN
SPEKTROFOTOMETRI UV-VIS. Proposal skripsi ini disusun sebagai langkah
awal untuk penyusunan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar
Sarjana Farmasi di Universitas Bhamada Slawi. Penulis menyadari tanpa bantuan
dan bimbingan dari berbagai pihak selama ini sangatlah sulit bagi penulis untuk
menyelesaikan proposal skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Dr. Maufur, M.Pd. selaku Rektor Universitas Bhamada Slawi.
2. Ibu Natiqotul Fatkhiyah, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Bhamada Slawi.
3. Ibu apt. Endang Istriningsih, M.Clin, Pharm. selaku Ketua Prodi Farmasi
(S1) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Bhamada Slawi.
4. Ibu Ery Nourika Alfiraza, M. Sc. selaku Pembimbing 1 yang telah
menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
arahan dalam penyusunan proposal skripsi ini.
5. Ibu apt. Osie Listina. M. Sc. selaku pembimbing 2 yang juga telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan serta
arahan dalam penyusunan proposal skripsi ini.
6. Ibu Fiqih Kartikamurti, M. Pd. selaku dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan semangat serta motivasi kepada penulis sehingga penulis
mampu menyelesaikan proposal skripsi ini.
7. Teman-teman Prodi Farmasi (S1) Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Bhamada Slawi yang senantiasa bersama-sama menempuh kuliah,
memberikan motivasi, semangat, nasehat, saran serta berbagi ilmu sehingga
dapat menyelesaikan penyusunan proposal skripsi ini.
8. Orang tua tercinta yang telah membesarkan, mengasuh, dan mendidik
penulis hingga dapat menuntaskan pendidikannya dengan penuh kasih
sayang, pengorbanan dan kesabaran serta doa yang selalu terpanjatkan tiada
henti.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan proposal ini masih jauh dari kata
sempurna sehingga kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.
Akhir kata penulis berharap semoga Allah SWT membalas kebaikan kepada
semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan proposal skripsi ini.
Semoga proposal skripsi ini memberikan manfaat bagi perkembangan ilmu
pengetahuan.

Slawi,

Penulis

iv
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL i
PERSETUJUAN PROPOSAL ii
PENGESAHAN PROPOSAL iii
KATA PENGANTAR iv
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBARviii
DAFTAR LAMPIRAN ix
DAFTAR SINGKATAN x
BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang1
1.2 Rumusan Masalah 4
1.3 Tujuan Penelitian 4
1.4 Manfaat Penelitian 5
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 6
2.1 Pengertian Jamu 6
2.1.1 Sejarah Jamu 6
2.1.2 Cara Pembuatan Jamu8
2.1.3 Cara Memilih Jamu Yang Baik 10
2.1.4 Kandungan Pada Jamu 10
2.1.5 Manfaat Jamu 11
2.1.6 Jenis Obat Tradisional11
2.2 Pegal Linu 16
2.3 Bahan Kimia Obat (BKO) di dalam Obat Tradisional 17
2.4 Parasetamol 18
2.5 Kromatografi Lapis Tipis (KLT) 19
2.6 Spektrofotometri UV-Vis 23
2.7 Hipotesis 26
BAB 3 METODE PENELITIAN 27
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian 27

v
3.2. Alat dan Bahan 27
3.2.1. Alat 27
3.2.2. Bahan 27
3.3. Rancangan Penelitian 27
3.4. Prosedur Penelitian 28
3.4.1. Populasi Sampel dan Pengambilan Sampel 28
3.4.2. Uji Kualitatif dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
28
3.4.3. Uji Kuantitatif dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis 29
3.5. Analisis Data 31
3.6. Jadwal Penelitian 31
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

vi
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3 1 Jadwal Penelitian...............................................................................31

vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2. 1. Logo Jamu...................................................................................12
Gambar 2. 2. Logo Obat Herbal Terstandar......................................................13
Gambar 2. 3. Logo Fitofarmaka........................................................................15
Gambar 2. 4. Struktur Kimia Parasetamol.........................................................19
Gambar 2. 5. Instrumen Single Beam...............................................................24
Gambar 2. 6. Instrumen Double Beam..............................................................24

viii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Spektrum Secara Garis Besar........................................................35


Lampiran 2. Surat Persetujuan Judul.................................................................36
Lampiran 3. Surat Peryataan Mandeley.............................................................37
Lampiran 4. Skema Penelitian...........................................................................38

ix
DAFTAR SINGKATAN

BPOM : Badan Pengawas Obat dan Makanan


cm : centimeter
g : gram
KLT : Kromatografi Lapis Tipis
mg : miligram
mL : milliliter
nm : nano meter
Rf : Retardation factor
μL : mikro Liter
UV : Ultraviolet

x
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jamu merupakan salah satu obat bahan alam Indonesia yang cukup tinggi

diminati masyarakat, karena jamu dinilai memiliki efek samping yang relatif

lebih sedikit, apa bila aspek keamanannya terpenuhi. Jamu pegal linu juga

diminati masyarakat karena penggunaannya tidak harus berkonsultasi dengan

tenaga medis, namun beberapa industri obat tradisional melanggar aturan

dengan cara menambahkan bahan kimia obat yang berbahaya bagi kesehatan.

Ketidak patuhan ini perlu dicegah dengan melakukan pengawasan secara

teratur dan analisis yang tepat pada jamu tradisional dalam produk obat

tradisional yang digunakan dalam pengobatan agar dinilai lebih aman.

Tindakan produsen jamu yang memproduksi dan pihak- pihak yang

mengedarkan jamu berbahan kimia obat tersebut semata- mata hanya mencari

untung sebanyak-banyaknya tanpa memikirkan kepentingan konsumen. Hal

ini melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No. 8

Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Sampurno, 2002).

Penggunaan jamu sebagai obat tradisional diharapkan dapat digunakan

sebagai pengobatan komplementer alternatif yang dapat disandingkan dengan

pengobatan konvensional (modern) yang sudah berkembang dan telah lama

digunakan di fasilitas kesehatan. Mengacu pada Permenkes No. 1109

/Menkes /Per /IX/ 2007, pengobatan komplementer alternatif dilakukan

sebagai upaya pelayanan yang berkesinambungan untuk meningkatkan

1
2

derajat kesehatan masyarakat melalui dari peningkatan kesehatan (promotif),

pencegahan (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan atau pemulihan

secara lebih detail (Lusia, 2019)

Jamu atau obat tradisional merupakan bahan yang bererasal dari

tumbuhan, hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran

dari bahan-bahan tersebut yang sudah digunakan untuk pengobatan

berdasarkan pengalaman secara turun temurun. Berdasarkan hasil

pemeriksaan contoh produk di pasaran tahun 2012 oleh BPOM, penambahan

bahan kimia obat dalam jamu pegal linu dengan obat pegal linu dan

penghilang sakit itu antara lain parasetamol, (Lusia, 2019).

Sesuai dengan Keputusan Kepala Badan POM no. HK.00.05.41.1384

tahun 2005 Jamu tradisional dilarang menggunakan bahan kimia hasil isolasi

atau sintetik berkhasiat obat, narkotika atau pisikotropika, hewan atau

tumbuhan yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan yang berlaku. Hal serupa juga disebutkan pada Keputusan Menteri

Kesehatan (KEMENKES) nomor 661/ MENKES/ SK/ VII/ 1994 tentang

persyaratan obat tradisional, disebutkan bahwa jamu tradisional atau

suplemen makanan tidak boleh mengandung bahan kimia obat selain yang

dipersyaratkan. Praktek penambahan bahan kimia obat dalam pembuatan

jamu tradisional merupakan perbuatan melawan hukum. Namun dalam

penyidikan masih ditemukan BKO dalam beberapa produk jamu seperti obat

analgetika dan anti inflamasi (Hayun dan Karina, 2016).

Bahan kimia obat ini sering ditambahkan secara ilegal pada jamu pegal
3

linu. Parasetamol merupakan obat analgetika dan anti inflamasi yang sering

digunakan masyarakat, sehingga kemungkinan obat tersebut sebagai salah

satu yang ditambahkan pada jamu pegal linu sangat besar. Pada Mei 2016

dilakukan analisis kualitatif terhadap sampel jamu pegal linu dan didapatkan

3 (tiga) sampel dari delapan sampel jamu yang dianalisis dinyatakan

mengandung parasetamol. Dari hasil analisis tersebut terdapat bercak noda

dengan nilai Rf dan kurva serapan yang identik dengan baku parasetamol.

Hasil analisis kuantitatif pada sampel yang diuji menunjukkan bahwa

kandungan parasetamol pada sampel setara dengan satu dosis tunggal

pemakaian untuk orang dewasa (Hayun dan Karina, 2016).

Karena pada kondisi ini banyak industri Jamu tradisional yang

memproduksi obat tradisional, obat herbal atau pun suplemen seringkali

menyatakan “tanpa efek samping” karena bersifat alami, dan hanya

melaporkan keberhasilannya saja (efektif) sedangkan ketidak berhasilan obat

serta efek samping enggan dilaporkan (Turana,2003). Analisis resiko

terhadap temuan hasil pengawasan jamu tradisional yang mengandung Bahan

Kimia Obat oleh BPOM RI dalam kurun waktu 10 tahun menunjukkan

kecenderungan yang semakin meningkat. Bahan menunjukkan sesuatu yang

berbeda dari tahun - tahun sebelumnya. Pada tahun 2001 sampai dengan 2010

temuan jamu tradisional yang mengandung bahan kimia obat menunjukkan

tren kearah obat rematik, pegal linu dan penghilang rasa sakit. Berdasarkan

hasil pemeriksaan contoh produk di pasaran tahun 2012 oleh BPOM,

penambahan bahan kimia obat. Obat rematik dan penghilang sakit itu antara
4

lain parasetamol, (Lusia, 2012).

Sebagian besar hasil temuan pengawasan tersebut merupakan produk

ilegal atau tidak terdaftar di Badan POM RI, tetapi mencantumkan nomor

pendaftaran fiktif pada labelnya (BPOM RI, 2010). Dalam penelitian ini

dilakukan analisis bahan kimia obat pada sediaan jamu pegal linu bermerk

dengan menggunakan metode Kromatografi Lapis Tipis dan Spektrofotometri

UV-Vis, karena metode KLT mempunyai keuntungan antara lain digunakan

unuk pemisahan dua atau lebih komponen, dapat digunakan untuk analisis

kualitatif dan kuantitatif serta biaya analisis relatif murah. Sehingga

diharapkan dapat digunakan untuk memisahkan dan mengidentifikasi adanya

Bahan Kimia Obat antara lain parasetamol, pada sediaan jamu bermerk yang

beredar di Wilayah Brebes.

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dari penilitian ini yaitu :

1. Apakah Jamu Pegal linu Merk X, Y, Z, di Wilayah Brebes mengandung

Bahan Kimia Obat (BKO) Parecetamol ?

2. Berapa kadar Bahan Kimia Obat Parasetamol yang terkandung dalam

Jamu Pegal linu di Wilayah Brebes ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penilitian ini yaitu :

1. Untuk mengetahui apakah terdapat Bahan Kimia Obat (BKO)

Parasetamol, pada Jamu Pegal linu di wilayah Brebes.

2. Mengetahui kadar kosentrasi bahan kimia obat yang terkandung dalam


5

jamu pegal linu.

1.4 Manfaat Penelitian

Tujuan dari penilitian ini yaitu :

1. Memperoleh informasi jumlah kadar dari jamu Pegal linu merk X,Y,Z,

yang beredar di Wilayah Brebes.

2. Penelitian dapat digunakan sebagai informasi bagi para konsumen agar

lebih memperhatikan kesehatan agar lebih hati – hati menggunakan jamu

pegal linu.
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Jamu

Jamu tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan

tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau

campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan

untuk pengobatan dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di

masyarakat (PERMENKES, 2012). Pada umumnya, jenis ini dibuat dengan

mengacu pada resep peninggalan leluhur yang disusun dari berbagai tanaman

obat yang jumlahnya cukup banyak, berkisar antara 5 -10 macam bahkan

lebih. Golongan ini tidak memerlukan pembuktian ilmiah sampai dengan

klinis, tetapi cukup dengan bukti empiris. Jamu yang telah digunakan secara

turun-menurun selama berpuluh-puluh tahun bahkan mungkin ratusan tahun,

telah membuktikan keamanan dan manfaat secara langsung untuk tujuan

kesehatan tertentu.

2.1.1 Sejarah Jamu

Masyarakat Indonesia sejak zaman Kerajaan Mataram hingga kini

masih menggunakan jamu. Minuman khas Indonesia ini telah menjadi

kebanggaan tersendiri seperti halnya dengan Ayurveda dari India dan

Zhongyi dari Cina. Sejak saat itu, perempuan lebih berperan dalam

memproduksi jamu, sedangkan pria berperan mencari tumbuhan herbal

alami. Fakta itu diperkuat dengan adanya temuan artefak cobek dan ulekan

alat tumbuk untuk membuat jamu. Artefak itu bisa dilihat di situs

6
7

arkeologi Liyangan yang berlokasi di lereng Gunung Sindoro, Jawa

Tengah.

Selain artefak Cobek dan Ulekan, ditemukan juga bukti- bukti lain

seperti alat-alat membuat jamu yang banyak ditemukan di Yogyakarta dan

Surakarta, tepatnya di Candi Borobudur pada relief Karmawipangga,

Candi Prambanan, Candi Brambang, dan beberapa lokasi lainnya. Konon,

di zaman dulu, rahasia kesehatan dan kesaktian para pendekar dan

petinggi-petinggi kerajaan berasal dari latihan dan bantuan dari ramuan

herbal. Seiring perkembangannya, tradisi minum jamu sempat mengalami

penurunan. Tepatnya saat pertama kali ilmu modern masuk ke Indonesia.

Saat itu kampanye obat-obatan bersertifikat sukses mengubah pola pikir

masyarakat Indonesia sehingga minat terhadap jamu menurun.

Selain soal standar atau sertifikat, khasiat dari jamu pun turut

dipertanyakan pada masa penjajahan Jepang, sekitar tahun 1940-an, tradisi

minum jamu kembali populer karena telah dibentuknya Komite jamu

Indonesia. Dengan begitu, kepercayaan khasiat terhadap jamu kembali

meningkat. Berjalannya waktu, penjualan jamu pun menyesuaikan dengan

teknologi, diantaranya telah banyak dikemas dalam bentuk pil, tablet, atau

juga bubuk instan yang mudah diseduh. Saat itu berbenturan dengan

menurunnya kondisi pertanian Indonesia yang mengakibatkan beralihnya

ke dunia industri termasuk industri jamu (baca: industri Fitofarmaka).

Tahun 1974 hingga 1990 banyak berdiri perusahaan jamu dan

semakin berkembang. Pada era itu juga ramai diadakan pembinaan-


8

pembinaan dan pemberian bantuan dari Pemerintah agar pelaku industri

jamu dapat meningkatkan aktivitas produksinya. Sejak pertama kali

masyarakat Indonesia menggunakan jamu sebagai minuman kesehatan

hingga saat ini, pengolahan Jamu berdasarkan ilmu yang diajarkan secara

turun-menurun. Namun saat ini, tradisi pengajaran pembuatan jamu telah

jarang dilakukan, sehingga penjualan jamu gendong sudah jarang

ditemukan. Sekarang ini, semakin sedikit anak muda yang ingin belajar

membuat jamu. Sebagian besar dari mereka berpikir untuk mendapatkan

jamu cukup dengan memanfaatkan jamu yang dijual sachet dan instan.

Perlu diketahui, jamu dipercaya berasal dari dua kata Jawa Kuno,

Djampi yang bermakna penyembuhan dan Oesodo yang bermakna

kesehatan. Istilah jamu diperkenalkan ke publik lewat orang-orang yang

dipercaya punya ilmu pengobatan tradisonal. Mesti tak bersetifikat, khasiat

jamu telah teruji oleh waktu secara turun-temurun digunakan sebagai obat

tradisional. Sehingga sampai saat ini, minuman berkhasiat khas Indonesia

ini selalu terjaga keberlangsungannya.

2.1.2 Cara Pembuatan Jamu

a) Cara Pembuatan Jamu Secara Tradisional

Pembuatan jamu secara tradisional umumnya dilakukan dengan

menumbuk bahan ramuan dalam lumpang atau menggunakan pipisan.

Setelah bahan halus kemudian ditambahkan air matang secukupnya untuk

memudahkan penyarian dan pemerasan. Selanjutnya air saringan dapat

langsung diminum. Apabila ramuan jamu harus direbus terlebih dahulu,


9

maka bahan- bahan yang telah dicuci bersih ditambah air dalam panci dan

direbus hingga mendidih. Perebusan dilakukan hingga sisa air rebusan

tinggal setengah. Air rebusan didinginkan, disaring dan siap diminum.

Apabila ramuan harus dibuat serbuk maka bahan-bahannya harus bersih

dan dikeringkan dahulu. Kemudian semua bahan ditumbuk dan dicampur

kemudian diayak. Hasil serbuk ini kemudian diseduh dengan air matang

secukupnya dan siap diminum.

b) Cara Pembuatan Jamu Secara Modern

Pembuatan jamu secara modern meliputi beberapa tahap, meliputi

persiapan bahan baku, peracikan, dan pengemasan. Bahan baku yang

digunakan didapat dari petani/ pedagang. Laboratorium pemeriksaan mutu,

pemeriksaan keaslian bahan, kemurnian bahan, kadar air dan kandungan

senyawa aktif. Gudang bahan baku simplisia dibersihkan (menggunakan

blower), dicuci, dan disortir untuk memisahkan kotoran, barang yang

mengalami kerusakan fisik, dan bagian-bagian simplisia yang tak berguna.

Perajangan dilakukan untuk memperoleh ukuran yang lebih kecil

sehingga mempercepat proses pengeringan yang harus melihat sifat bahan

untuk menentukan waktu dan suhu pengeringan. Simplisia kering diproses

lebih lanjut untuk diperoleh ukuran yang sama besar agar memudahkan

proses selanjutnya. Simplisia kering disimpan di gudang racikan dan siap

diolah. Proses peracikan terdiri dari penimbangan bahan baku, peracikan

bahan sesuai formulasi, penggilingan bahan baku (simplisia kering)

menjadi bentuk serbuk (penggilingan kasar, penggilingan halus),


10

pengayakan dengan mesin pengayak untuk diperoleh derajat kehalusan

sesuai yang diharapkan. Penyimpanan serbuk halus di gudang setengah

jadi untuk dilanjutkan dengan pengemasan maupun pengolahan lebih

lanjut.

c) Pengemasan

Pengujian mutu serbuk halus yang telah jadi sebelum proses

pengemasan. Serbuk halus dapat langsung dikemas ataupun dibuat

menjadi bentuk sediaan lain (pil,kapsul, kaplet, sediaan setengah padat,

dan cairan). Proses ekstraksi dapat pula dilakukan pada serbuk halus untuk

mendapatkan ekstrak dari senyawa aktif.

2.1.3 Cara Memilih Jamu Yang Baik

a) Penandaan/ Label: Nama produk (contoh: Galian rapet, Galian singset)

Logo jamu, Nomor Izin Edar (NIE) Nomor Kode Produksi, Jumlah/isi

Tiap Wadah, Tanggal Kedaluarsa Komposisi Bahan, Aturan

Pakai,Khasiat/Manfaat Nama perusahaan, alamat (minimal nama kota di

Indonesia).

b) Wadah/ Bungkus = Wadah tidak bocor, tidak sobek, tidak lusuh.

2.1.4 Kandungan Pada Jamu

Kandungan gizi dan senyawa aktif jamu tradisional untuk kesehatan

ibu melahirkan dan ibu menyusui. Tujuan khususnya adalah

menginventarisir dan mempelajari komposisi bahan-bahan yang digunakan

dalam pembuatan jamu, mempelajari proses pembuatan jamu,

menganalisis kandungan gizi dan senyawa aktif yang terdapat dalam jamu
11

tersebut dan kemungkinan hubungannya dengan kesehatan/ kesegaran ibu

nifas, mempelajari daya simpan jamu dan pengaruhnya terhadap

kandungan kimia jamu.

2.1.5 Manfaat Jamu

Jamu dipercaya sebagai obat tradisional berkat khasiatnya yang baik

untuk tubuh dan kesehatan. Meski rasanya yang identik dengan pahit,

orang-orang masih mencarinya jika sedang membutuhkan. Rasa pahit atau

tidak enak bagi para pemula penikmatnya bisa jadi karena bahannya yang

diambil dari tumbuh-tumbuhan, akar, bunga hingga kulit kayu. Racikan

alami tanpa pemanis atau penambah rasa ini yang membuatnya baik untuk

kesehatan. khasiat yang didapatkan dari mengkonsumsi jamu. Dari jamu

yang baik untuk atasi masuk angin, atau jamu yang ampuh untuk pegal

linu.

2.1.6 Jenis Obat Tradisional

Berdasarkan SK Ka. BPOM HK. 00.05.4.2411 tentang Ketentuan

Pokok Pengelompokan dan Penandaan Obat Bahan Alam Indonesia, obat

tradisional dikelompokkan menjadi tiga :

a) Jamu

Jamu merupakan warisan budaya bangsa Indonesia berupa ramuan

bahan tumbuhan obat yang telah digunakan secara turun temurun lebih

dari tiga generasi yang terbukti aman dan mempunyai manfaat bagi

kesehatan. Pengaruh sosial budaya dalam masyarakat memberikan peran

penting dalam mencapai derajat kesehatan. Kebiasaan minum jamu sering


12

dilakukan masyarakat Indonesia khususnya Jawa. Secara umum jamu

relatif lebih aman dibandingkan dengan obat bahan kimia bila cara

pemilihan dan  penggunaannya secara baik dan benar. Obat bahan alam

dan jamu dapat diperoleh secara  bebas, yang umumnya tidak disertai

informasi ataupun peringatan yang cukup, berbeda dengan obat

konvensional yang diperoleh dengan resep dokter atau disertai berbagai

peringatan (Dewoto, 2007).

Jamu adalah obat tradisional yang seluruhnya mengandung bahan

tanaman yang disajikan secara tradisional dalam bentuk seduhan, serbuk,

cair, pil atau kapsul. Logo jamu berupa ranting daun terletak dalam

lingkaran dicetak dengan warna hijau diatas warna putih atau warna lain

yang menyolok dan ditempatkan pada bagian atas kiri dari wadah/

pembungkus/ brosur jamu harus aman sesuai dengan kriteria yang

ditetapkan, memenuhi persyaratan mutu yang berlaku, dan klaim khasiat

harus dapat dibuktikan berdasarkan data empiris (Tilaar, Widjaja, 2014).

Gambar 2. 1. Logo Jamu

b) Obat Herbal Terstandar

Obat herbal terstandar adalah sediaan obat dari ekstarkasi alam, baik

dari tanaman obat, binatang, maupun mineral lainnya. OHT harus aman
13

dan memenuhi persyaratan mutu, khasiatnya telah dibuktikan secara

ilmiah dengan uji praklinik dan bahan bakunya telah telah di standarisasi

(BPOM, 2004).

Gambar 2. 2. Logo Obat Herbal Terstandar

c) Fitofarmaka

Fitofarmaka adalah obat tradisional yang telah memenuhi berbagai

persyaratan, klaim khasiatnya telah teruji secara uji praklinik dan klinik,

dan bahan baku produk jadinya juga telah distandarisasi (BPOM, 2004)

Jamu dapat dinaikkan kelasnya menjadi herbal terstandar atau fitofarmaka

dengan syarat bentuk sediaannya berupa ekstrak dengan bahan dan proses

pembuatan yang terstandardisasi. Pada saat ini kesadaran akan pentingnya

“back to nature” memang sering hadir dalam produk yang kita gunakan

sehari-hari. Saat ini contohnya kita bisa melihat banyak masyarakat yang

kembali ke pengobatan herbal. Banyak ramuan-ramuan obat tradisional

yang secara turun-temurun digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan.

Fitofarmaka dapat diartikan sebagai sediaan obat bahan alam yang telah

dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis

dan uji klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir (BPOM.

RI., 2004).
14

Ketiga golongan atau kelompok obat tradisional tersebut diatas,

fitofarmaka menempati level paling atas dari segi kualitas dan keamanan.

Khasiat dan penggunaan fitofarmaka dapat lebih dipercaya dan efektif

daripada sediaan jamu-jamuan biasa, karena telah memiliki dasar ilmiah

yang jelas, Dengan kata lain fitofarmaka menurut ilmu pengobatan

merupakan sediaan jamu-jamuan yang telah tersentuh oleh ilmu

pengetahuan dan teknologi modern.

Fitofarmaka telah melewati beberapa proses yang panjang yang setara

dengan obat-obatan modern yang beredar di masyarakat. Fitofarmaka telah

melewati standarisasi mutu, baik dalam proses penanaman tanaman obat,

panen, pembuatan simplisia, ekstrak hingga pengemasan produk, sehingga

dapat digunakan sesuai dengan dosis yang efektif dan tepat. Selain itu

sediaan fitofarmaka juga telah melewati beragam pengujian yaitu uji

praklinis seperti uji toksisitas serta uji efektivitas dengan menggunakan

hewan percobaan dan pengujian klinis yang dilakukan terhadap manusia.

BKO atau bahan kimia obat dalam obat tradisional inilah yang

menjadi titik penjualan bagi produsen. Hal ini kemungkinan disebabkan

kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya mengkonsumsi bahan

kimia obat secara tidak terkontrol, baik dosis maupun cara penggunaannya

atau bahkan semata-mata demi meningkatkan penjualan karena konsumen

menyukai produk obat tradisional yang bereaksi cepat pada tubuh

(Yuliarti, 2010).

Obat-obatan yang mengandung steroid bisa mempercepat


15

osteoporosis, misalnya parasetamol, termasuk jamu atau obat tradisional

yang biasanya juga mengandung steroid yang diberikan pada penyakit

rematik. Makin tinggi dosis dan makin lama pemakaian, risiko

osteoporosis menjadi makin besar (Tandra, 2009).

Parasetamol dosis tinggi atau jangka panjang berisiko mengalami

gagal ginjal. Risiko patah ruas tulang belakang lima kali lebih tinggi

ketimbang orang-orang yang tidak menerima steroid (Cosman, 2011).

Berdasarkan hal tersebut, maka akan dilakukan penelitian identifikasi dan

penentuan kadar bahan kimia obat (BKO)

Gambar 2. 3. Logo Fitofarmaka

Kriteria obat tradisional yang dilarang beredar menurut Peraturan

Menteri Kesehatan No. 007 tahun 2012 yaitu obat tradisional yang

mengandung: Etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan

tingtur yang pemakaiannya dengan pengenceran Bahan kimia obat (BKO)

yang merupakan hasil isolasi atau sintetik bekhasiat obat Narkotika atau

psikotropika bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan atau

berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan. Jika obat tradisional

lulus dari kriteria yang ditentukan maka obat tradisional itu dapat

diedarkan dengan nomor regristrasi dari kepala Badan POM. Nomor


16

registrasi pada obat tradisional terdiri dari 9 (sembilan) digit angka dengan

kode registrasi terletak didepannya. Kode registrasi yang dimaksud yaitu:

TR : untuk obat tradisional dalam negeri

TI : untuk obat tradisional impor

TL : untuk obat tradisional lisensi

TRE : untuk obat tradisional ekspor

FF : untuk produk fitofarmaka

HT : untuk produk herbal terstandar

2.2 Pegal Linu

Pegal linu timbul bila otot-otot meregang yang disebabkan oleh aktivitas

dilakukan secara tidak benar, misalnya duduk terlalu lama dengan posisi yang

sama, makan secara berlebihan, kurang olahraga atau mengangkat benda yang

terlalu berat, melihat televisi terlalu lama. Ketegangan, stress, dan emosi juga

berpengaruh terhadap timbulnya pegal linu. Pada orang berusia lanjut, pegal

linu dapat disebabkan oleh kurang lancarnya peredaran darah. Pegal linu

sering menyerang bagian pundak, leher, dan lengan. Saat serangan datang,

penderita merasakan nyeri yang disertai gelombang rasa sakit. Rasa ini dapat

berlangsung beberapa jam bahkan beberapa hari. Keluhan pegal linu umum

dikeluhkan. Belum tentu penyebabnya sama. Bisa karena kelewat letih

bekerja dan memakai otot, sendi, dan urat. Atau bisa juga pegal linu sebagai

manifestasi gangguan metabolisme atau kimiawi otot.

Penanggulangan pegal linu tentu berbeda, tergantung apa penyebabnya.

Pegal linu normal terjadi bila sebelumnya tidak pernah melakukan pekerjaan
17

fisik. Sebagaimana halnya yang tidak pernah menggerakkan badan atau

berolahraga, keesokan harinya akan pegal linu juga ketika mendadak

menggiatkan fisik dan keluhan akan hilang sendirinya setelah terbiasa bergiat

fisik. Apabila pegal linu tidak berhubungan dengan bobot pekerjaan,

kemungkinan besar tubuh sedang kekurangan vitamin. Umumnya kekurangan

vitamin B, khususnya B1. Tubuh memerlukan vitamin B1 untuk otot selain

saraf, jantung, dan otak. Vitamin ini diperoleh tubuh dari menu harian

khususnya nasi.

Faktor pendukung yang berhubungan dengan pegal linu, antara lain usia

di atas 40 tahun dan prevalensi pada wanita lebih tinggi, genetik, kegemukan

dan penyakit metabolik, cedera sendi yang berulang, dan kepadatan tulang

berkurang. Beban sendi yang terlalu berat, misalnya olahraga atau kerja

tertentu, kelainan pertumbuhan seperti kelainan sel-sel yang membentuk

tulang rawan, seperti kolagen (Nadesul, 2010).

2.3 Bahan Kimia Obat (BKO) di dalam Obat Tradisional

Sampai saat ini Badan POM masih menemukan beberapa produk obat

tradisional yang didalamnya dicampuri bahan kimia obat (BKO). BKO di

dalam obat tradisional inilah yang menjadi selling point bagi produsen, Hal

ini kemungkinan disebabkan kurangnya pengetahuan produsen akan bahaya

mengkonsumsi bahan kimia obat secara tidak terkontrol baik dosis maupun

cara penggunaannya atau bahkan semata-mata demi meningkatkan penjualan,

hal ini disebabkan karena konsumen menyukai produk obat tradisional yang

bereaksi cepat pada tubuh.


18

Konsumen yang tidak menyadari adanya bahaya dari obat tradisional

yang dikonsumsinya, apalagi memperhatikan adanya kontraindikasi

penggunaan beberapa bahan kimia bagi penderita penyakit tertentu maupun

interaksi bahan obat yang terjadi apabila pengguna obat tradisional sedang

mengkonsumsi obat lain, tentunya sangat membahayakan. Untuk itulah

Badan POM secara berkesinambungan melakukan pengawasan yang antara

lain dilakukan melalui inspeksi pada sarana distribusi serta pengawasan

produk di peredaran dengan cara sampling dan pengujian laboratorium

terhadap produk yang beredar. Informasi adanya BKO didalam obat

tradisional juga bisa diperoleh berdasarkan laporan/ pengaduan konsumen

maupun laporan dari Yayasan Badan Perlindungan Konsumen Nasional

(YABPEKNAS).

2.4 Parasetamol

Parasetamol merupakan BKO yang paling sering digunakan dalam

sediaan jamu pegal linu yang sebanarnya penggunaanya dilarang oleh BPOM

dalam Per-Ka BPOM No.19 Tahun 2021. Dalam peraturan tersebut dijelaskan

bahwa produk obat tradisional tidak diperbolehkan mengandung BKO. Jika

penggunaannya pada obat tradisional saja dilarang, tentu sangat ngga lazim

kalau BKO ditambahkan ke produk pangan olahan seperti Jamu. Paracetamol

yang ditambahkan dalam jamu jika dikonsumsi dalam jumlah banyak atau

melebihi dosis yang diperuntukkan bisa menimbulkan pengaruh buruk pada

kesehatan seperti gangguan pada sistem pencernaan, gangguan fungsi ginjal.

Bahkan jika dikonsumsi dalam jangka waktu lama bisa menyebabkan risiko
19

yang lebih fatal, seperti kerusakan hati dan menimbulkan reaksi

hipersensitivitas berat seperti Steven Johnson Syndrome.

Gambar 2. 4. Struktur Kimia Parasetamol

2.5 Kromatografi Lapis Tipis ( KLT )

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah metode yang digunakan untuk

menentukan adanya penambahan bahan kimia obat dalam jamu pegal linu.

Hal ini disebabkan karena KLT merupakan metode yang sederhana dan

cepat,serta digunakan secara luas untuk analisis obat,(Ganjar & Abdul,2012).

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan bentuk kromatografi planar,

selain kromatografi kertas dan elektroforesis. Berbeda dengan kromatografi

kolom yang mana fase diamnya diisikan atau dikemas di dalamnya, pada

KLT fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan

bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat

plastik. Meskipun demikian, kromatografi planar ini dapat dikatakan sebagai

bentuk terbuka dari kromatografi kolom (Gandjar dan Abdul, 2012).

Kromatografi lapis tipis digunakan untuk pemisahan senyawa secara


20

cepat, dengan menggunakan zat penyerap berupa serbuk halus yang

ditempatkan pada penyangga berupa plat gelas, logam atau lapisan yang

cocok. Proses pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan),

selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan dengan sinar

ultraviolet atau larutan kimia sebagai penampak bercak yang sesuai dengan

monografi masing-masing. dan komponen Kromatografi Lapis Tipis (KLT).

a) Fase diam

Fase diam merupakan lapisan yang dibuat dari salah satu bahan

penyerap yang khusus digunakan untuk kromatografi lapis tipis. Penyerap

yang digunakan adalah silika gel, aluminium oksida, kieselgur dan

selulosa. Dari keempat jenis penyerap tersebut yang paling banyak

digunakan adalah silika gel.

b) Fase gerak

Fase gerak merupakan medium angkut dan terdiri dari satu atau

beberapa pelarut. Fase gerak ini bergerak didalam fase diam karena adanya

gaya kafiler.

c) Penotolan sampel

Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh

jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit

mungkin, jika sampel yang digunakan terlalu banyak maka akan

menurunkan resolusi. Penotolan sampel yang tidak tepat akan

menyebabkan bercak yang menyebar dan puncak ganda. Untuk

memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang ditotolkan paling


21

sedikit 0,5 μl. Jika volume sampel yang ditotolkan lebih besar dari 2-10 μl,

maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan dilakukan

pengeringan antar totolan (Gandjar dan Abdul, 2012).

d) Pengembangan

Bila sampel telah ditotolkan maka tahap selanjutnya adalah

mengembangkan sampel dalam bejana kromatografi yang sebelumnya

telah dijenuhi dengan uap fase gerak. Tepi bagian bawah lempeng tipis

yang telah ditotoli sampel dicelupkan kedalam fase gerak kurang lebih 0,5-

1 cm. Tinggi fase gerak dalam bejana harus di bawah lempeng yang telah

berisi totolan sampel. Bejana kromatografi harus tertutup rapat dan sedapat

mungkin volume fase gerak sedikit mungkin akan tetapi harus mampu

mengelusi lempeng sampai ketinggian lempeng yang telah ditentukan.

Untuk melakukan penjenuhan fase gerak, biasanya bejana dilapisi dengan

kertas saring. Jika fase gerak telah mencapai ujung dari kertas saring,

maka dapat dikatakan bahwa fase gerak telah jenuh. Ada beberapa teknik

untuk melakukan pengembangan dalam kromatografi lapis tipis yaitu

pengembangan menaik (ascending), pengembangan menurun

(descending), melingkar dan mendatar (Gandjar dan Abdul, 2007).

e) Deteksi bercak

Bercak pemisahan pada kromatografi lapis tipis umumnya merupakan

bercak yang tidak bewarna. Untuk penentuannya dapat dilakukan secara

kimia dengan mereaksikan bercak dengan suatu pereaksi melalui cara

penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika yang dapat


22

digunakan untuk menampakkan bercak adalah dengan fluoresensi sinar

ultraviolet. Deteksi untuk pengamatan dilakukan dengan lampu UV

gelombang pendek (254 nm) dan UV gelombang panjang (365 nm)

(Nopiyanti,2016)

f) Identifikasi dan harga-harga Rf

Identifikasi dari berbagai senyawa terpisah di lapisan tipis akan

cenderung akan maksimal melalui pereaksi lokasi kimia dan berbagai

reaksi warna. Namun yang lebih umum untuk mengidentifikasinya melalui

harga Rf (Sastrohamidjojo, 1991). Berikut merupakan bentuk pernyataan

atas derajat retensi pada kromatografi lempeng menjadi suatu faktor

retensi atau Rf:

Harga Rf = Jarak yang ditempuh senyawa terlarut


Jarak yang ditempuh pelarut

Untuk jarak yang harus dilalaui pelarut bisa cukup mudah dihitung

berikut jarak tempuh cuplikannya melalui pusat bercak, atau melalui titik

kerapatan maksimalnya (Sudjadi, 1986). Dalam angka Rf berjangka dari

0,00 dan 1,00 hanya bisa ditetapkan oleh dua desimal. Adapun angka hRf

merupakan suatu angka Rf yang dikali dengan faktor 100 (h), yang

kemudian memberikan hasil berjangka dari 0 hinga 100 (Stahl, 1985).

Beberapa harga Rf pada berbagai senyawa murni bisa diperbandingkan

terhadap harga standarnya (Sastrohamidjojo, 1991).

2.6 Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis ialah alat pengukur serapan (absorbansi) suatu


23

sampel karena terjadinya interaksi kimia dari atom atau molekul zat kimia

dengan radiasi elektromagnetik pada daerah UV-Vis (Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, 1995). Spektrofotometer UV-Vis digunakan terutama

pada analisis kuantitatif. Senyawa organik yang hendak dikaji kadarnya

menggunakan alat ini haruslah memiliki gugus kromofor, dan menyerap

radiasi ultraviolet sinar tampak. Kromofor artinya pembawa warna, sehingga

kromofor merupakan gugus fungsi yang dapat mengabsorbsi radiasi

elektromagnetik baik yang mempunyai warna ataupun tidak. Penentuan kadar

menggunakan alat ini dilakukan melalui pengukuran terhadap serapan sampel

pada maksimalnya panjang gelombang, karena pada panjang gelombang

maksimum akan menghasilkan nilai absorbsi paling tinggi untuk setiap

sampel yang digunakan (Satiadarma, Mulji dan Tjahjono, 2004).

Spektrofotometri dapat dibagi menjadi beberapa macam yang didasarkan

menurut daerah spektrum. Pembagian daerah spektrum bisa diperhatikan dari

tabel 2.1 (Suhartati, 2017)

Tabel 2 1 Pembagian Daerah Spektrum Secara Garis Besar

No. Daerah Spektrum Panjang Gelombang (nm)


1 Ultraviolet jauh 100 – 190
2 Ultravioet dekat 190 – 380
3 Cahaya tampak 380 – 780
4 Inframerah dekat 780 – 3000
5 Inframerah 2,5 µm - 40µm atau 4000 cm-1 – 250cm-1

Spektrofotometri UV-Vis biasanya dibagi menjadi dua tipe, yaitu single

dan double beam. Instrumen single beam biasa dimanfaatkan dalam analisis

kuantitatif pada panjang gelombang tunggal. Keuntungan dari instrumen


24

single beam antara lain, sederhana, murah dan mengurangi biaya. Instrumen

single beam digunakan untuk mengukur absorbansi dengan panjang

gelombang terendah ialah 190 nm hingga 210 nm dan tertinggi ialah 800 nm

hingga 1000 nm. Hasil biasanya dibandingkan dengan blanko (biasanya

pelarut) (Skoog, 1996).

Gambar 2. 5. Instrumen Single Beam

Sedangkan untuk instrumen double beam digunakan untuk mengukur

absorbansi pada panjang gelombang pada kisaran 400 nm hingga 750 nm.

Instrumen double beam memuat 2 sinar yang dihasilkan karena terjadinya

potongan cermin yang bentuknya V, atau disebut juga menjadi pemecah sinar.

Pada sinar pertama secara otomatis akan melalui larutan blanko, sedangkan

sinar kedua secara simultan akan melalui larutan sampel.

Gambar 2. 6. Instrumen Double Beam


25

Syarat sampel untuk bisa dianalisis melalui spektrofotometer UV-Vis

yaitu sampel yang memiliki gugus kromofor, sampel yang tak bergugus

kromofor tetapi berwarna, sampel yang tak bergugus kromofor dengan

turunannya yang memiliki gugus kromofor. Syarat lain agar suatu sampel

dapat dianalisis menggunakan spektrofotometer yaitu sampel yang tidak

memiliki gugus kromofor dan tak berwarna dapat ditambah dengan pereaksi

warna. Sedangkan syarat pelarut untuk bisa dianalisis melalui

spektrofotometer UV-Vis adalah dapat sempruna melarutkan sampel, pelarut

tidak berikatan rangkap terkonjugasi di molekulnya dan tak berwarna (tak

boleh menyerap sinar yang digunakan sampel). Selain itu sampel juga tidak

menyebabkan munculnya interaksi dengan senyawa yang akan dianalisis dan

tingkat kemurniannya memang harus tinggi.

2.6.1 Aspek Spektrofotometri Uv-Vis

Spektrofotometer UV-Vis dapat mengidentifikasi suatu senyawa yang

memiliki gugus kromofor yaitu gugus yang mampu menyerap sinar

ultraviolet,(200-400 nm) dan sinar tampak (400-750 nm) (Ganjar &

Abdul,2007).

a) Aspek Kualitatif

Data spektrofotometri UV–Vis secara tersendiri tidak dapat

digunakan untuk identifikasi obat atau metabolitnya. Akan tetapi jika

digabung dengan cara lain seperti spektroskopi infra merah, resonansi

magnet inti, dan spektroskopi massa, maka dapat digunakan untuk

maksud identifikasi/ analisis kualitatif suatu senyawa tersebut.


26

b) Aspek Kuantitatif

Dalam aspek kuantitatif, suatu berkas radiasi dikenakan pada

cuplikan (larutan sampel) dan intensitas sinar radiasi yang diteruskan

diukur besarnya. Radiasi yang diserap oleh cuplikan ditentukan

dengan membandingkan intensitas sinar yang diteruskan dengan

intensitas sinar yang diserap jika tidak ada spesies penyerapan lainnya.

2.7 Hipotesis

Berdasarkan kerangka berfikir diatas, maka dapat dirumuskan suatu

hipotesis sebagai berikut:

a. H0 menyatakan bahwa terdapat kandungan bahan kimia obat pada

Jamu pegal linu yang beredar di Wilayah Brebes.

b. H1 Menyatakan bahwa tidak terdapat kandungan bahan kimia obat

pada Jamu pegal linu yang beredar di Wilayah Brebes.


BAB 3
METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Farmasi, dan

Laboratorium Biologi Farmasi Prodi Farmasi S1 Fakultas Ilmu Kesehatan

Universitas Bhamada Slawi, mulai bulan Juli sampai dengan September

2022.

3.2. Alat dan Bahan

3.2.1. Alat

Alat yang digunakan adalah Spektrofotometer UV-Vis (Shimadzu 1240),

chamber, pipa kapiler, timbangan analitik (US Solid), labu erlenmeyer 100 ml

(pyrex), cawan uap, gelas ukur 5 ml, 10 ml, dan 100 ml (pyrex), corong gelas

(pyrex), kertas saring, alumunium foil, pipet tetes, pipet ukur, spatel logam,

batang pengaduk, objek glass, dek glass, kuvet dan lempeng silica gel,

3.2.2. Bahan

Bahan yang digunakan adalah Sampel Jamu Pegal Linu Merk A, B, C, D

dan E, paracetamol, etanol 96%, etil asetat dan amonia

3.3. Rancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksperimental dan

penelitian deskritif, dengan variabel bebasnya yaitu jamu seduhan pegal linu,

sedangkan variabel terikatnya yaitu kandungan bahan kimia obat paracetamol

pada jamu seduhan pegal linu dengan metode spektrofotometri UV-Vis.

27
28

3.4. Prosedur Penelitian

3.4.1. Populasi Sampel dan Pengambilan Sampel

Sampel diambil dengan metode random sampling di wilayah

kabupaten Brebes, sampel yang diambil berupa jamu pegal linu seduhan

sebanyak lima sampel. Setiap sampel diberi kode A, B, C, D dan E.

Kemudian dilakukan uji kualitatif menggunakan KLT dan uji kuantitatif

menggunakan Spektrofotometer UV-Vis.

Untuk mendapatkan sampel digunakan kriteria inklusi dan eksklusi.

Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah produk jamu pegal linu

seduhan dan produk yang sering dikonsumsi masyarakat. Kriteria eksklusi

pada penelitian ini adalah produk yang sudah dianalisis sebelumnya terkait

kandungan bahan kimia obat dalam produk jamu tersebut.

3.4.2. Uji Kualitatif dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)

3.4.2.1. Pembuatan Larutan Uji

Dipipet sampel sebanyak 10,0 mL dan dimasukkan dalam labu

ukur 25,0 mL. Ditambahkan dengan etanol 96% secukupnya,

kemudian disonikator selama 15 menit. Kemudian ditambahkan

dengan etanol 96% sampai garis tanda pada labu ukur kemudian

disonikator lagi selama 15 menit. Kemudian disaring dan ditampung

filtratnya, filtrat inilah yang akan ditotolkan pada lempeng KLT.

Preparasi sampel dilakukan replikasi sebanyak 3 kali (Kurniawan,

2018).
29

3.4.2.2. Pembuatan Baku Pembanding Parasetamol 100 ppm

Baku pembanding parasetamol ditimbang 10 mg, dimasukkan

ke dalam labu ukur, dilarutkan dengan etanol hingga 100,0 mL

etanol 96% lalu dihomogenkan (Indriatmoko dkk, 2019).

3.4.2.3. Pembuatan Fase Gerak

Pembuatan fase gerak yaitu dengan menggunakan etil asetat :

etanol : amonia (85:10:5) dibuat sebanyak 10 mL kemudian

dimasukkan ke dalam chamber untuk dijenuhkan (Indriatmoko dkk,

2019).

3.4.2.4. Persiapan Fase Diam dan Penotolan Sampel

Lempeng KLT diaktifkan dengan cara pemanasan pada oven

selama 30 menit pada suhu 120 oC, kemudan diberi tanda dengan

pensil dengan jarak 0,5 cm dari tepi atas dan 1 cm dari tepi bawah.

Skala masing-masing untuk tempat penotolan larutan uji adalah 1,5

cm. Totolkan sampel dan baku pembanding parasetamol dengan pipa

kapiler secara berurutan sesuai ditanda yang sudah disiapkan pada

lempeng KLT, kamudian diamkan hingga totolan kering. Setelah

kering masukkan lempeng KLT pada bejana yang berisi fase gerak

yang telah jenuh tadi. (Indriatmoko dkk, 2019; Kurniawan, 2018).

3.4.3. Uji Kuantitatif dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis

3.4.3.1. Pembuatan Larutan Baku Induk Parasetamol 1000 ppm

Pembuatan larutan baku induk parasetamol dibuat dengan cara

menimbang seksama baku parasetamol sebanyak 100 mg, kemudian


30

dilarutkan dalam etanol 96% dalam labur ukur hingga volume tepat

100,0 mL (Indriatmoko dkk, 2019).

3.4.3.2. Pembuatan Larutan Baku Seri

Larutan baku seri dibuat dengan konsentrasi 2; 4; 6; 8; dan 10

ppm dengan cara mengencerkan dari larutan baku induk

(Indriatmoko dkk, 2019).

3.4.3.3. Pembuatan Larutan Uji

Dipipet sampel sebanyak 10,0 mL dan dimasukkan dalam labu

ukur 25,0 mL. Ditambahkan dengan etanol 96% secukupnya,

kemudian disonikator selama 15 menit. Kemudian ditambahkan

dengan etanol 96% sampai garis tanda pada labu ukur kemudian

disonikator lagi selama 15 menit. Kemudian disaring dan ditampung

filtratnya. Preparasi sampel dilakukan replikasi sebanyak 3 kali

(Kurniawan, 2018).

3.4.3.4. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Larutan baku dengan konsentrasi 2; 4; 6; 8; dan 10 ppm diukur

serapannya pada panjang gelombang antara 200 nm – 400 nm.

Panjang gelombang maksimum tersebut digunakan untuk

menentukan kurva baku dan pengukuran larutan uji (Kurniawan,

2018).

3.4.3.5. Pembuatan Kurva

Pembuatan kurva dilakukan menggunakan larutan baku dengan

konsentrasi 2; 4; 6; 8; dan 10 ppm, kemudian larutan diukur


31

serapannya pada panjang gelombang maksimum dan dibuat

persamaan regresinya (Kurniawan, 2018).

3.4.3.6. Pengukuran Larutan Uji

Larutan uji diukur serapannya pada panjang gelombang

maksimum, lalu kadar dalam sampel dihitung berdasarkan

persamaan garis regresinya (Kurniawan, 2018).

3.5. Analisis Data

Hasil penelitian yang diperoleh dari uji kualitatif dan kuantitatif

dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan gambar,

3.6. Jadwal Penelitian

Tabel 3 1 Jadwal Penelitian

No Jenis kegiatan Bulan


Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
1 Penentuan
judul dan
dosen
pembimbing
2 Penyusunan
proposal
3 Ujian proposal

4 Penelitian
5 Penyusunan
naskah skripsi
6 Ujian hasil
skripsi
DAFTAR PUSTAKA

Badan POM dalam Per-Ka BPOM No.19 Tahun 2021..Hlm:29-48


Badan POM RI, 1994. Izin Badan pengawas bidang Obat Tradisional, Obat
Herbal Tersatandar, fitofarmaka, Jakarta. Hal:15-48
Badan POM RI, 1995. Uji Kualitatif dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis.
Hal 41-48
Badan POM RI, 2010 tetapi mencantumkan nomor pendaftaran fiktif pada
labelnya (BPOM RI, 2010) Hal:14-48
Badan POM, 2004. OHT harus aman dan memeuhi perysaratan mutu, khasiatnya
telah dibuktikan secara ilmiah dengan uji praklinik dan bahan
bakunya di standarisasi. Hal: -47
Badan POM, 2006. Pengawasan makanan dan Obat Tradisional ,marlin suderajat
(1999) Hal15-47
Badan POM, 2019 no. HK.00.05.41.1384 tahun 2005 Jamu tradisional dilarang
menggunakan bahan kimia hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat,
narkotika atau psikotropika, Hal:13-48
Badan POM. RI., 2004. khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinis dan uji
klinis bahan baku serta produk jadinya telah di standarisir .Hal:18-48
Cairns, 2009.Tiap media akan menyerap cahaya pada panjang gelombang tertentu
tergantung pada senyawaan atau warna terbentuk. Hal:34-48
Cosman, 2011. Berdasarkan hal tersebut, maka akan dilakukan penelitian
Identifikasi dan penentuan kadar bahan kimia obat, Hal:21-48
Dewoto, 2007. Obat konvensional yang diperoleh dengan resep dokter atau
disertai berbagai  peringatan. Hal:28-48
Gandjar dan Rohman, 2007. Sampel senyawa dengan memilih fase gerak yang
sesuai. Pemisahan agar maksimal, Rf solute harus terletak antara 0,2-
0,8. Hal:32-48
Gritter, dkk, 1991. Sifat fase diam atau sifat lapisan, dan kedua adalah sifat fase
gerak atau campuran dari berbagai larutan pengembang. Hal:
Hayun dan Karina, 2016. analisis kuantitatif pada sampel yang diuji menunjukkan
bahwa kandungan parasetamol pada sampel setara dengan satu dosis
tunggal pemakaian untuk orang dewasa Hal:14-48 (2019)
Industri Fitofarmaka, (Tahun 1974 hingga 1990) banyak berdiri perusahaan Jamu
dan semakin berkembang, Hal:23-48
Juwita, Yulianis dan Sanuddin, 2021. baku standar, dan baru dilakukan penetapan

32
Parasetamol pada sampel menggunakan alat Spektrofotometer.
Hal:13- 48
KEMENKES, 2019. NO. 661/ MENKES / SK / VII / 1994 tentang persyaratan
obat tradisional, Hal:13-48
Menteri Kesehatan, No.007 tahun (2012) yaitu obat tradisional yang mengandung:
Bahan Kimia Obat (BKO) Hal:
Nadesul, 2010. Kelainan pertumbuhan seperti kelainan sel-sel yang membentuk
tulang rawan, seperti kolagen. Hal:
Permenkes, 2019. No.1109/Menkes/Per/IX/2007, pengobatan sebagai upaya
pelayanan kesehatan masyarakat. Hal:13-48
Rohman, 2009. Semakin sempit kisaran ukuran fase diam, maka semakin baik
kinerja KLT dalam hal efisiensinya dan resolusinya. Hal:33-48
Sampurno, 2019. Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU
No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Hal:12-48
Sastrohamidjojo, 1991. pereaksi lokasi kimia dan berbagai reaksi warna umum
Untuk mengidentifikasinya melalui harga Rf . Hal:
Sudjadi, 1986. jarak tempuh cuplikannya melalui pusat bercak, atau melalui titik
Kerapatan maksimalnya. Hal:
Tandra, n.d. 2009. Makin tinggi dosis dan makin lama pemakaian, resiko
osteoporosis menjadi makin besar, Hal:21-48
Turana, 2003. Obat herbal atau pun suplemen seringkali menyatakan “tanpa efek
samping” karena bersifat alami, Hal:14-48
Yuliarti, 2010. Sesuai dengan peraturan UU yang berlaku, Jamu tradisional
dilarang menggunakan bahan kimia, Hal:21-48

33
LAMPIRAN

34
Lampiran 1. Spektrum Secara Garis Besar
N Daerah Spektrum Panjang Gelombang (nm)
o
.
1 Ultraviolet jauh 100 – 190

2 Ultravioet dekat 190 – 380

3 Cahaya tampak 380 – 780

4 Inframerah dekat 780 – 3000

2,5 µm - 40µm atau 4000 cm-1


5 Inframerah
– 250cm-1

35
Lampiran 2. Surat Persetujuan Judul

YAYASAN PENDIDIKAN TRI SANJA HUSADA


UNIVERSITAS BHAMADA SLAWI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI FARMASI S1
Jl. Cut Nyak Dhien, Kalisapu Telp. (0283) 6197570-
6197571 Fax. (0283) 6198450 Slawi, Kab. Tegal

LEMBAR PERSETUJUAN JUDUL


PROPOSAL/SKRIPSI PROGRAM STUDI FARMASI
PROGRAM SARJANA (S-1)
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (BKO) PADA JAMU PEGAL LINU YANG
BEREDAR DI WILAYAH BREBES DENGAN METODE KLT DAN
SEPEKTROFOTOMETRI UV - VIS

Diajukan oleh: Wili dwi yanto E1021021

Telah disetujui sebagai judul proposal/skripsi pada tanggal 2


Maret 2022

Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing 2

Ery Nourika Alfiraza, M.Sc. Apt. Osie Listina, M.Sc.


NIPY. 1992.02.10.19.128 NIPY. 1984.04.09.13.076

36
Lampiran 3. Surat Peryataan Mandeley
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : WILI DWI YANTO

NIM : E1021021

Judul Proposal : ANALISIS BAHAN KIMIA OBAT (BKO)

PADA JAMU PEGAL LINU YANG BEREDAR DI WILAYAH BREBES

DENGAN METODE KLT DAN SEPEKTROFOTOMETRI UV - VIS Dengan

ini menyatakan bahwa proposal saya telah menggunakan sistem manajemen

pustaka elektronik Mandeley.

Demikian surat peryataan ini kami buatdengansebenar-benarnya.

Slawi, ..................................

Mengetahui,
Mahasiswa Dosen Pembimbing 1

Wili dwi yanto Ery Nourika Alfiraza, M.Sc


NIM. E1021021 NIPY. 1992.02.10.19.128

37
Lampiran 4. Skema Penelitian
1. Analisis Kualitatif dengan Metode Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Sampel Jamu

Pembuatan Larutan Uji

Pembuatan Baku Pembanding


Paracetamol 100 ppm

Pembuatan Fase Gerak

Persiapan Fase Diam

Penotolan Sampel

Kromatografi Lapis Tipis

Hasil

38
2. Analisis Kuantitatif dengan Metode Spektrofotometri UV-Vis

Sampel Jamu

Pembuatan Larutan Uji

Pembuatan Baku Induk


Paracetamol 1000 ppm

Pembuatan Larutan Baku Seri


(2, 4, 6, 8 dan 10 ppm)

Penentuan Gelombang
Maksimum

Pembuatan Kurva Regresi


Linier

Pengukuran Larutan Uji

Hasil

39

Anda mungkin juga menyukai