Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH

PENGENDALIAN MANAJEMEN DAN PENGARUHNYA


"Disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas kelompok pada mata kuliah
Sistem Pengendalian Manajemen dengan Ibu Dosen Ranti Melasari, SE., M.Si"

Oleh:
KELOMPOK II

1. Desi Safitri (102201010010)


2. Filda Puspita Ayu (102201010011)
3. Juliyanti (102201010012)
4. Lailatul Hilwa (102201010014)
5. Mia Widya Sari (102201010015)
6. Muhammad Fitrah Fuady (102201010016)
7. Muhammad Syahrozi (102201010017)

PRODI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS ISLAM INDRAGIRI
TEMBILAHAN
2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia- Nya
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik. Makalah yang berjudul
“Pengendalian Manajemen dan Pengaruhnya” ini membahas mengenai pengertian
dan penjelasan dari masing masing topik yang kami bahas.
Dalam penulisan makalah ini kami banyak mendapat bantuan dari berbagai
referensi buku dan website. Oleh karena itu, kami ingin mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang turut memudahkan penulisan makalah ini.
Kami sadar bahwa dalam makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, Hal itu
di karenakan keterbatasan kemampuan dan pengetahuan kami. Oleh karena itu,
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para
pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
Akhir kata, kami memohon maaf apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
banyak kesalahan.

Tembilahan, 16 Maret 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
A. Latar Belakang ........................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan ..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 3
A. Kelaziman Pengendalian Hasil ............................................................... 3
B. Pengendalian Hasil dan Masalah Pengendalian ...................................... 7
C. Elemen Pengendalian Hasil .................................................................... 9
D. Kondisi Yang Menentukan ..................................................................... 18
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 28
A. Kesimpulan ............................................................................................. 28
B. Saran ....................................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 30

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sistem pengendalian manajemen penting untuk diterapkan oleh
setiap perusahaan dengan segala jenis bisnis sistem pengendalian
manajemen membantu manajemen dalam mewujudkan visi, misi, strategi,
dan tujuan perusahaan selain itu, sistem pengendalian manajemen
menjadi alat manajemen untuk dapat memberikan pengaruh kepada karyawan
agar bertindak positif guna pencapai tujuan perusahaan. Karyawan akan
kooperatif apabila manajemen dapat mengembangkan dan mengelolah
karyawan dengan tepat, sehingga pengendalian manajemen dapat berjalan
sesuai harapan manajemen.
Sistem pengendalian manajemen juga dirancang untuk memotivikasi
karyawan agar tujuan perusahaan tercapai. Cara untuk memotivikasi
karyawan salah satunya dengan menerapkan sistem reward and
punishment. Pemberian sistem reward and punishment didasarkan pada
penilaian kinerja karyawan. Setiap perusahaan telah menetapkan cara yang
digunakan untuk menilai kinerja karyawan-karyawannya, salah satu
contoh penggunaan balanced scorecard. Hasil penilaian kinerja berupa
angka telah memudahkan perusahaanuntuk memberikan sistem reward
and punishment kepada karyawan. reward berdasarkankinerja berupa gaji
tergolong dalam extrinsic reward lainya berupa bonus, benefit
interpersonal (pengakuan status), dan promosi. bentuk reward yang lainnya
adalah intrinsic reward dikatakan intrinsic reward apabila perusahaan
memberikan otoritas kepada karyawanuntuk membuat keputusan sendiri
yang dianggap penting dalam pencapaian target perusahaan, sehingga
karyawan dapat merasa dihargai kemampuannya dalam
pembuatanstrategi. Intrinsic reward merupakan bentuk reward yang dinilai
seseorang yang berhubungandengan pekerjaan (pembagian dari pekerjaan itu
sendiri). Intrinsic reward antara lain meliputi pemberian kesempatan pada

1
pekerja untuk meyelesaikan suatu tugas dan mencapai tujuan tertentu,
memberikan otonomi yang akan memungkinkan pekerja melakukan tindakan
bebas terbaik dalam situasi tertentu, dan kesempatan bertumbuh
misalnya pengen memperluas kemampuan dan keterampilan pekerja.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kelaziman pengendalian hasil?
2. Bagaimana pengendalian hasil dan masalah pengendalian?
3. Apa saja elemen pengendalian hasil?
4. Apa saja kondisi yang menentukan efektivitas pengendalian hasil?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui kelaziman Pengendalian hasil?
2. Untuk mengetahui pengendalian hasil dan masalah pengendalian?
3. Untuk mengetahui elemen pengendalian hasil?
4. Untuk mengetahui kondisi yang menentukan efektivitas pengendalian
hasil?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kelaziman Pengendalian Hasil


Pengendalian hasil adalah suatu sistem pengendalian yang mengarahkan
agar orang-orang yang ada di dalam organisasi memperoleh hasil kerja seperti
yang diharapkan. Pengendalian hasil merupakan bentuk meritocracies, yaitu
penghargaan diberikan berdasarkan hasil, prestasi, atau kinerja, atau disebut
juga sebagai pay-for-performance (Merchant dan Stede, 2007 dalam Praptapa
dan Rokhayati, 2012). Pembayaran utuk kinerja adalah sebuah contoh
menonjol dari tipe pengendalian yang disebut sebagai pengendalian hasil
karena melibatkan pemberian imbalan pada karyawan untuk hasil yang bagus.
Pengendalian hasil biasanya digunakan untuk mengendalikan perilaku
karyawan pada berbagai tingkatan organisasi. Mereka membutuhkan elemen
dalam pendekatan pemberdayaan karyawan oleh manajemen, yang telah
menjadi trend manajemen utama mulai tahun 1990-an. Pengendalian hasil
umumnya didominasi pengertian pengendalian perilaku dari karyawan
profesional; dengan kekuasaan keputusan, seperti manajer. Pakar rekayasa
ulang Michael Hammer mendefinisikan istilah profesional sebagai "seseorang
yang bertanggung jawab terhadap pencapaian hasil dibandingkan dengan
pengerjaan tugas”.
Pengendalian hasil konsisten dengan, dan membutuhkan, implementasi
dari bentuk desentralisasi organisasi dengan perluasan perwujudan otonomi
atau pusat pertanggungjawaban. Sebagai contoh, pelopor bisnis Alfred Sloan
mengobservasi untuk mencari cara dalam melatih pengendalian yang efektif
pada seluruh perusahaan, tetapi belum mendukung filosofi desentralisasi. Pada
General Motors (dan sejumlah perusahaan lain yang terkait pengendalian hasil
di bawah kepemimpinan Sloan telah membangun return-on-investement (ROI)
sebagai pengukuran kinerja. Dengan menggunakan tipe sistem pengendalian,
manajemen perusahaan dapat meringkas dan menilai efektivitas berbagai
bagian dalam organisasi sementara tetap hidup dengan eksekusi aktual dari

3
kegiatan operasi untuk mempertanggungjawabkan kinerja seluruh bagian-
kesatuan manajer.
DuPont, Merril Lynch, Boeing, Coca-Cola, Alcoa, dan banyak perusahaan
besar lain yang telah berpikir mengenai proses melembagakan bentuk
desentralisasi organisasi yang secara bersamaan menekankan peningkatan
pengendalian hasil. Pada tahun 1993, CEO DuPont merubah hierarki
manajemen yang kompleks dengan memecah perusahaan menjadi 21 unit
bisnis strategis (strategic business unit@SBU), di mana setiap unit bebas
mengoperasikan bagiannya. Manajer SBU diberi tanggung jawab yang lebih
besar dan diminta untuk lebih bersikap berjiwa pengusaha dan lebih fokus pada
konsumen. Mereka juga diminta untuk berani menanggung risiko, karena
sebagian besar kompensasi manajer SBU adalah kinerja SBU (penjualan dan
keuntungan). Manajer diminta untuk berubah. Sebagai contoh, seorang
manajer SBU mengatakan, "Ketika saya bergabung dengan DuPont (21 tahun
yang lalu), jika Anda tetap menjaga hidungmu bersih dan bekerja keras, Anda
akan tetap bisa bekerja selama yang Anda inginkan. (Tetapi sekarang)
keamanan kerja tergantung pada hasil." Perubahan dirasakan sebagai
keberhasilan; Artikel Business Week mencatat bahwa, "Pencitraan DuPont
telah berubah dari raksasa yang malas menjadi rusa."
Pada tahun 2010, Sanofi-Aventis, sebuah perusahaan farmasi besar,
membagi sumber dayanya yang besar secara desentralisasi berdasarkan unit
jenis penyakit, tiap departemen memiliki bidang penelitian dan pengembangan
sendiri, bagian peraturan, pemasaran, dan penjualan-sebuah rencana didesain
untuk mengidentifikasikan obat yang lebih memberikan harapan lebih cepat
dan mengurangi kegagalan yang tidak berguna sebelum sejumlah besar dana
dibelanjakan pada hal tersebut. Seorang ahli industri mencatat bahwa "(model
dari) unit yang benar-benar independen, beroperasi di bawah payung
perusahaan induk, (membentuk) sebuah pecahan model bisnis farmasi
tradisional yang besar, dan mewakili kepentingan perusahaan dalam
menduplikasi fleksibilitas dan efisiensi biaya dari perusahaan bioteknologi
kecil dan perusahaan yang menyerupai bioteknologi"." Dengan membangun

4
akuntabilitas untuk semua hasil entitas yang terintegritas penuh, sehingga
kesatuan manajer terdekat dalam bisnis tersebut membuat pertukaran dan
mengambil tanggung jawab pada seluruh anggaran, perusahaan bertujuan
untuk menanamkan "budaya kinerja" yang mendorong baik disiplin (efisiensi)
dan daya tanggap yang lebih besar terhadap kebutuhan bisnis lokal
(fleksibilitas).
Dengan kata lain, desentralisasi mencoba untuk mereplika "model
entrepreneurial" dalam tipe perusahaan yang lebih besar, tempat seluruh
manajer diberi kekuasaan untuk memutuskan, tetapi kemudian
mempertanggungjawabkan hasil dari keputusan yang dibuat tersebut. Paul
O'Neill, pemimpin Alcoa waktu itu, dan kemudian US Treasury Secretary pada
masa kepresidenan George W. Bush yang pertama, menyimpulkan idenya
sebagai berikut :

Kita tidak akan dapat berhasil jika kita bersikeras menggunakan


manajemen tradisional perintah-dan- sistem pengendalian, di mana ribuan
orang percaya bahwa mereka hanya bertanggung jawab terhadap pada apa
yang mereka katakan untuk mereka lakukan.

Sama halnya, ketika Nick Reily menjadi CEO pada akhir tahun 2009 dari
Opel yang berada dalam masalah, perusahaan manufaktur mobil Jerman milik
General Motor, dia mengumumkan bahwa dia berkeinginan untuk mendorong
semangat kewirausahaan di Opel dengan lebih banyak mendelegasikan
keputusan pada pemimpin wilayah dan mengurangi gaya birokrasi GM dari
manajemen sentralisasi yang mendorong budaya "debilitating culture of
passing the buck". "Hal ini tampak jelas tetapi bukan cara GM mengelola dan
ada beberapa hal yang membingungkan mengenai siapa yang dapat dipercaya,"
katanya. "Dari lini pendapatan teratas sampai lini profit paling bawah, sekarang
merupakan tanggung jawab dari direktur manajer seluruh bagian”.
Akan tetapi, manajer perlu untuk bertindak dengan sikap seorang
wirausaha agar berhasil dalam lingkungan yang kompetitif tidak hanya ketika
mereka dihadapkan pada kekuatan pasar yang sama dan tekanan yang

5
mendorong menjadi jiwa wirausaha yang mandiri, tetapi juga ketika mereka
menjanjikan imbalan yang sepadan untuk risiko yang mereka hadapi. Seperti
Richard Chandler, pendiri Sunrise Medical, sebuah perusahaan medis, yang
tetap mempertahankan perusahaan dengan organisasi yang terdesentralisasi
dan insentif yang menguntungkan dengan mengatakan bahwa "orang ingin
mendapatkan imbalan berdasarkan pada usahanya sendiri. (Tanpa akuntabilitas
divisi) Anda menjadi seperti sistem US Post Office. Ketika tidak ada insentif
(untuk pekerja yang bekerja dengan baik)”.
Sehingga desentralisasi atau "pendelegasian hak untuk mengambil
keputusan" kepada manajer, dan desain sistem insentif untuk memotivasi
manajer mendapatkan hasil yang diinginkan, adalah dua pilihan penting dalam
desain organisasi dalam konteks pengendalian hasil; ini adalah bagian dari apa
yang disebut oleh teoretikus organisasi sebagai arsitektur organisasi. Literatur
ini mempertahankan bahwa pilihan organisasi mengenai desentralisasi dan
sistem insentif seharusnya dibuat secara bersama, dan berkonsentrasi pada
salah satu elemen dengan mengesampingkan elemen yang lain akan membawa
organisasi pada desain yang buruk.
Pengendalian hasil tidak hanya dibutuhkan pada level manajemen saja;
tetapi juga dapat diterapkan pada level yang lebih bawah di dalam organisasi,
karena sebagian besar perusahaan telah memperoleh pengaruh yang baik."
Lincoln Electric, pemimpin dunia dalam memproduksi produk pengelasan,
menggunakan poster anak perusahaan yang digunakan untuk menurunkan hasil
pengendalian pada level organisasi yang lebih rendah. Lincoln Electric
memberikan gaji berdasarkan pada piecework (pekerjaan yang dibayar
berdasarkan hasil yang dikerjakan) untuk sebagian besar pekerjaan di pabrik
dan kinerja yang menguntungkan berdasarkan bonus yang mungkin bisa dua
kali lipat dari gaji karyawan. Sistem insentif ini telah menciptakan
produktivitas yang tinggi pada beberapa industri besar (General Electric,
Westinghouse) mendapatkan hal ini sulit untuk bersaing dalam bisnis Lincoln
Electric (sebagai perusahaan pengelasan) dan di luar pasar. Artikel Business
Week mengobservasi bahwa "dalam caranya yang tertutup, cara iconosastic,

6
Lincoln Electric tetap menjadi salah satu dari perusahaan dengan manajemen
terbaik di Amerika Serikat dan mungkin terbaik di sepanjang Pasifik."" Meski
pemikiran legendaris Lincoln berupa Sistem Kinerja Insentif secara esensial
tetap sama sejak di gunakan pada tahun 1934, perusahaan tetap mengakui
sistem dan kinerja tersebut hingga hari ini, seperti dalam buku yang berjudul
The Modern Firm.
Meskipun desentralisasi adalah cara efektif untuk memberdayakan
karyawan dalam konteks pengendalian-hasil, masih terdapat beberapa
kelemahan untuk pemberdayaan dalam kondisi tertentu. Sebagai contoh, ketika
mengejar pertumbuhan di Cina, Carrefour hypermarket Prancis menghadapi
korupsi yang sistematis pada semua tingkatan manajemen di level lokal. Tidak
seperti pendekatan sentralisasi pada manajemen yang dilakukan Wal-Mart di
Cina, Carrefour memberdayakan manajer lokal untuk bertanggung jawab
terhadap hampir semua aspek untuk menjalankan toko mereka, termasuk
penetapan harga dan promosi, pemilihan pemasok, dan desain toko. Meski
fleksibilitas yang diberikan tinggi dan cukup longgar bagi manajer untuk cepat
memperluas jaringan bangunan ditahap awal, hal ini juga mendorong
meluasnya pengambilan suap pada tingkat lokal dan, sepanjang waktu,
mendorong tingginya biaya operasi dan risiko reputasi dibandingkan dengan
sistem sentralisasi."

B. Pengendalian Hasil dan Masalah Pengendalian


Pengendalian hasil menyediakan beberapa manfaat tipe pencegahan. Hasil
yang didefinisikan dengan baik akan memberi informasi pada karyawan apa
yang diharapkan dari mereka dan mendorong mereka untuk melakukan
tindakan yang dapat mengeluarkan hasil yang diinginkan. Dengan cara ini,
pengendalian hasil mengurangi potensi kurangnya pengarahan. Pengendalian
hasil juga dapat menjadi efektif khususnya terkait dengan masalah motivasi.
Meski tanpa arahan langsung supervisor atau intervensi dari level yang lebih
atas, pengendalian hasil menyebabkan karyawan berperilaku untuk
memaksimalkan peluang mereka dalam mendapatkan hasil yang diinginkan

7
oleh organisasi. Pengaruh motivasi muncul khususnya ketika insentif untuk
mendapatkan hasil yang diinginkan juga memajukan imbalan pribadi bagi
karyawan sendiri. Akhirnya, pengendalian hasil juga dapat mengurangi
keterbatasan individual. Karena pengendalian hasil biasanya menjanjikan
imbalan bagi mereka yang memiliki kinerja bagus, mereka dapat membantu
organisasi untuk menarik dan menahan karyawan yang percaya diri dengan
kemampuan mereka. Pengendalian hasil juga mendorong karyawan untuk
mengembangkan bakatnya dalam memposisikan dirinya untuk memperoleh
hasil-tergantung dari imbalan.
Pengukuran kinerja sebagai bagian dari pengendalian hasil juga
menyediakan beberapa hal nonmotivasi, tipe-deteksi pengendalian manfaat
dari cybernetic (feedback) yang alami. Pengukuran hasil membantu organisasi
menjawab pertanyaan tentang bagaimana berbagai strategi, entitas organisasi,
dan karyawan bertindak. Jika kinerja gagal dan tidak sesuai dengan yang
diharapkan, organisasi dapat mengganti strategi, proses, atau karyawan."
Penelitian dan intervensi ketika kinerja menyimpang dari yang diharapkan
adalah esensi dari pendekatan manajemen management-by-exception, yang
biasa digunakan pada perusahaan besar.
Pengukuran kinerja sebagai bagian dari pengendalian hasil juga
menyediakan beberapa hal nonmotivasi, tipe deteksi pengendalian manfaat
dari feedback yang alami. Pengukuran hasil membenatu organisasi
menjawab pertanyaan tentangbagaimana berbagai strategi, entitas
organisasi, dan karyawan bertindak. Jika kinerja gagal dan tidak sesuai
yang diharapkan, organisasi dapat mengganti strukturnya.
Pengendalian hasil memberikan beberapa manfaat tipe pencegahan,
diantaranya:
1. Membantu dalam menentukan hasil kinerja yang diharapkan.
Pengendalian hasil yang terdefinisi dengan baik memberi tahu
karyawan tentang apa yang diharapkan dari mereka dan mendorong
mereka untuk melakukan apa yang mereka bisa untuk menghasilkan hasil
yang diinginkan.

8
2. Mengurangi potensi kurangnya arah pencapaian tujuan.
3. Membantu dalam masalah motivasi, sehingga dapat memaksimalkan
potensi karyawan. Pengendalian hasil juga sangat efektif dalam mengatasi
masalah kurangnya motivasi. Bahkan tanpa pengawasan langsung atau
campur tangan dari yang lebih tinggi, pengendalian hasil mendorong
karyawan untuk berperilaku sedemikian rupa untuk memaksimalkan
peluang mereka untuk menghasilkan hasil yang diinginkan organisasi.
Pengendalian hasil juga dapat mengurangi keterbatasan pribadi
karyawan, karena pengendalian hasil biasanya menjanjikan
penghargaan bagi karyawan yang berkinerja baik.
4. Mengurangi batasan pribadi, membantu mengembangkan bakat karyawan.
Pengendalian hasil juga mendorong karyawan untuk mengembangkan
bakat mereka untuk memposisikan diri untuk mendapatkan imbalan
yang bergantung pada hasil kinerja

C. Elemen Pengendalian Hasil


Implementasi dari pengendalian hasil melibatkan empat tahap: (1)
mendefinisikan dimensi-dimensi dari hasil yang diinginkan; (2) mengukur
kinerja dari dimensi yang telah dipilih; (3) menentukan target kinerja karyawan
pada tiap-tiap ukuran pencapaian dan; (4) menyediakan imbalan bagi
pencapaian target dan mendorong perilaku yang akan membawa pada hasil
yang diinginkan. Meski tahapan- tahapan mudah untuk dicatat menjadi daftar,
tetapi menerapkannya secara efektif, dapat menjadi sangat menantang.

1. Mendefinisikan Dimensi Kinerja


Mendefinisikan dimensi kinerja yang benar merupakan hal yang
menantang dan melibatkan keseimbangan tanggung jawab organisasi pada
semua pemegang kepentingan, termasuk pemilik (pemilik modal),
pemberi pinjaman, karyawan, pemasok, konsumen, dan masyarakat luas.
Seharusnya satu-satunya tujuan perusahaan adalah memaksimalkan
keuntungan pemegang kepentingan, atau seharusnya juga, meski tidak
utama, berfokus pada konsumen atau karyawan? Apakah fokus kinerja

9
tersebut saling terpisah atau lebih saling menguatkan? Dari mana dimensi
kinerja seperti inovasi dan keberlanjutan berasal? Dan sebagainya.
Mendefinisikan dimensi kinerja yang tepat melibatkan
keseimbangan tanggungjawab organisasi terhadap semua pemangku
kepentingan organisasi, termasukpara pemegang saham, debtholders,
karyawan, pemasok, pelanggan dan masyarakat pada umumnya.
Menentukan dimensi kinerja yang tepat haruslah selaras dengan
tujuan organisasi, agar dimensi kinerja yang ditetapkan dan ukuranyang
dibuat dapat membentuk pandangan karyawan tentang apa yang
harus dilakukan.
Mendefinisikan dimensi kinerja yang diinginkan mungkin sama
menantangnya, sama pentingnya dengan pemilihan pengukuran kinerja
yang sebangun atau selaras dengan dimensi kinerja yang dipilih karena
tujuan yang di tentukan dan pengukuran yang dibuat akan membentuk
pandangan karyawan mengenai hal yang dianggap penting. Atau dengan
kata lain, apa yang Anda ukur itulah yang Anda dapat. Sebagai contoh,
perusahaan mungkin mendefinisikan salah satu dari dimensi kinerja yang
diinginkan menjadi penyusunan nilai pemegang kepentingan, di mana
sekarang pengukuran kinerja diartikan sebagai laba akuntansi (accounting
profit). Hal ini menyiratkan bahwa karyawan untuk mencoba
meningkatkan pengukuran kinerja (dalam contoh ini, laba akuntansi) tanpa
memerhatikan apakah berkontribusi terhadap kinerja yang diinginkan.
Sama halnya dengan, perusahaan mungkin memiliki tujuan untuk
mengembangkan inovasi, tetapi perusahaan berakhir pada pengukuran hak
cipta yang diajukan. Kecemasan untuk mengembangkan inovasi, banyak
perusahaan menawarkan insentif kepada karyawannya untuk
memunculkan ide-de yang dapat dipatenkan, dan dengan demikian insentif
mungkin dapat memberikan hasil; sehingga jumlah pengajuan hak paten
dapat meningkat. Tetapi seperti Tony Chen, seorang pengacara hak paten
bersama Jones Day di Shanghai mencatat, "paten sesuatu yang mudah
untuk di diarsipkan, tetapi batu permata (bisa jadi) sulit untuk ditemukan

10
dari dalam segudang sampah," Memang, apa yang Anda ukur mungkin
saja itu yang Anda dapat.
Pentingnya penyesuaian masalah ini juga terjadi secara umum pada
organisasi nonprofit. Sebagai contoh, sebuah studi oleh UK Home Office
menemukan bahwa perdagangan yang terorganisir sebagai sebuah
"industri yang berkembang" yang "membuat keuntungan besar,"
menghimpun keuntungan yang sehat dengan sedikit risiko yang terdeteksi.
Studi ini menyampaikan bahwa salah satu alasan untuk hal tersebut adalah
tidak jelasnya target kinerja yang harus dipenuhi oleh polisi. Untuk
memecahkan tingginya jumlah kejahatan sederhana seperti pencurian kecil
dan pencurian di rumah-rumah merupakan hal yang mudah dan murah
dibandingkan dengan keluaran jangka panjang dan kerja polisi yang mahal
yang dibutuhkan untuk melakukan tindakan yang keras terhadap lingkaran
perdagangan. Meskipun tujuannya adalah untuk mengurangi kejahatan,
hasilnya mungkin para penjahat tersebut akan dibiarkan bebas.
Karenanya, bukan hanya perusahaan yang perlu untuk menentukan
apa yang diinginkan, mereka juga harus memastikan bahwa
pengukurannya mengenai dimensi kinerja yang diinginkan sesuai dengan
mereka. Jika mereka tidak sesuai, pengendalian hasil mungkin cenderung
mendorong karyawan untuk memproduksi hasil yang tidak diinginkan.
Pengendalian hasil kemudian dapat dikatakan sebagai konsekuensi yang
tidak diinginkan.

2. Pengukuran Kinerja
Pengukuran adalah elemen penting dari sistem pengendalian
hasil. Objek pengukurannya adalah kinerja entitas organisasi atau
karyawan selama periode waktu tertentu. Banyak objek yang dapat
dijadikan sebagai pengukuran yang bersifat finansial seperti, laporan
laba rugi, pendapatan persaham, dan laba atas asset. Sedangkan tujuan
pengukuran yang bersifat non-finansial adalah seperti kepuasan
pelanggan dan penyelesaian tugas tertentu secara tepat waktu. Ukuran
kinerja biasanya berbeda disetiap ukuran organisasi. Seperti yang sudah

11
disebutkan, pengukuran merupakan elemen penting dari sistem
pengendalian hasil. Objek dari pengukuran adalah kinerja yang khusus
dari entitas organisasi atau seorang karyawan pada periode waktu tertentu.
Banyak ukuran keuangan objektif, seperti laba bersih, laba per lembar
saham, dan return on asset (ROA) yang sudah umum digunakan.
Karenanya, bukan hanya perusahaan yang perlu untuk menentukan
apa yang diinginkan, mereka juga harus memastikan bahwa
pengukurannya mengenai dimensi kinerja yang diinginkan sesuai dengan
mereka. Jika mereka tidak sesuai, pengendalian hasil mungkin cenderung
mendorong karyawan untuk memproduksi hasil yang tidak diinginkan.
Pengendalian hasil kemudian dapat dikatakan sebagai konsekuensi yang
tidak diinginkan. Demikian pula, banyak ukuran nonkeuangan objektif,
seperti pasar saham, kepuasan konsumen, dan ketepatan waktu untuk
penyelesaian tugas tertentu. Beberapa pengukuran lain melibatkan
penilaian subjektif. Sebagai contoh, kualitas seperti "kontribusi dalam tim"
atau "efektivitas pengembangan karyawan" mungkin dinilai dalam skala
pengukuran lima poin.
Pengukuran kinerja biasanya bervariasi di seluruh level organisasi.
Pada level organisasi yang lebih tinggi, sebagian besar dari hasil yang
penting didefinisikan dalam pasar yang baik (seperti harga saham)
dan/atau keuangan (seperti return on equity-ROE). Pada tingkat manajer
yang lebih rendah, pada sisi lain, biasanya akan dievaluasi dari pengukuran
operasional yang lebih terkontrol pada tingkat lokal. Hasil penting bagi
manajer yang bertugas di pabrik, sebagai contoh, mungkin merupakan
kombinasi pengukuran yang difokuskan pada efisiensi produksi,
pengendalian persediaan, kualitas produk, dan waktu pengiriman barang.
Variasi penggunaan pengukuran kinerja keuangan dan operasional antara
level manajemen tertinggi dan level terendah menciptakan sebuah
ketergantungan dalam hierarki manajemen. Beberapa hal penting pada
level menengah dalam organisasi, sering kali pada level pusat keuntungan,
manajer harus menerjemahkan tujuan keuangan ke dalam tujuan

12
operasional. Tujuan utama manajer adalah mendefinisikan dengan
pengukuran keuangan, sehingga mereka mengomunikasikan dengan para
atasannya, terutama dalam istilah keuangan. Tetapi karena ukuran
bawahan mereka menggunakan ukuran operasional, komunikasi mereka
dengan bawahan juga dilakukan terutama dalam istilah operasional.
Jika manajer mengidentifikasi lebih dari satu ukuran hasil yang
diberikan kepada karyawan, mereka harus memberi bobot pada masing-
masing pengukuran sehingga penilaian mengenai kinerja dalam tiap-tiap
hasil dapat dikumpulkan dalam evaluasi secara menyeluruh. Pembobotan
dapat ditambahkan. Sebagai contoh, 60% dari seluruh evaluasi didasarkan
pada return on asset (ROA) dan 40% didasarkan pada pertumbuhan
penjualan. Pembobotan dapat juga dikalikan. Sebagai contoh, Browning-
Ferris Industries mengalikan skor pencapaian keuntungan dan tujuan
pendapatan dengan memberi skor yang didasarkan pada penilaian terhadap
tanggung jawab lingkungan. Jika skor tanggung jawab lingkungan kurang
dari 70%, penggandanya menjadi nol, tidak menghasilkan bonus. Sering
kali, organisasi membuat pembobotan pengukuran kinerja secara eksplisit
pada karyawan, contohnya hanya ditunjukkan saja. Akan tetapi,
pembobotan bersifat parsial atau seluruhnya implisit, seperti ketika
evaluasi kinerja dilakukan secara subjektif. Meninggalkan pembobotan
implisit akan mengaburkan komunikasi kepada karyawan mengenai hasil
apa yang penting. Karyawan dibiarkan untuk mengambil kesimpulan
mengenai hasil apa yang paling berpengaruh terhadap keseluruhan
evaluasi.

3. Pengaturan target kinerja


Target kinerja merupakan elemen penting lainnya dalam pengendalian
hasil karena memengaruhi tindakan dalam dua cara. Pertama,
meningkatkan motivasi dengan menyediakan tujuan yang jelas bagi
karyawan untuk dicapai. Sebagian besar orang lebih suka diberikan target
yang spesifik untuk dicapai, dibandingkan dengan hanya diberi pernyataan
yang tidak jelas seperti "lakukan yang terbaik" atau "bekerjalah pada

13
kecepatan yang wajar."" Kedua, target kinerja membuat karyawan dapat
menilai kinerja mereka sendiri. Orang tidak akan memberikan respons
sebagai umpan balik kecuali mereka dapat menginterpretasikannya, dan
bagian penting dari interpretasi melibatkan perbandingan kinerja aktual
relatif terhadap target. Target membedakan kinerja yang baik dan buruk.
Kegagalan untuk mencapai target memberi sinyal perlunya perbaikan.
Contoh berikut menggambarkan kedua poin yang sudah disebutkan
sebelumnya. Maria Giraldo, seorang perawat pada unit gawat darurat di
Long Island Jewish Medical Center, biasa dievaluasi dengan beberapa
kriteria seperti kepemimpinan, penghormatan, dan seberapa baik dia
bekerja dengan orang lain. Beberapa tahun yang lalu, rumah sakitnya
mengimplementasikan sistem kinerja berbasis komputer baru yang
membagi deskripsi kerjanya ke dalam tujuan kuantitatif, seperti menjaga
tingkat infeksi untuk unitnya agar rendah dan tingginya skor kepuasan
pasien, semua relatif dengan level target yang spesifik. Sejak sistem baru
diterapkan, pada saat tinjauan diskusi tidak terpaku pada apa yang telah
dilakukan oleh Ms. Giraldo. Dia memenuhi targetnya atau tidak.
Penjelasan mengenai pengukuran dan tujuan, dan pemeriksaan kembali
"dihitung menggunakan angka" yang mereka tentukan, hal ini telah
merubah pandangan Nona Giraldo mengenai keberhasilan dan apa yang
dia butuhkan untuk dilakukan agar dapat mencapai titik tertinggi dalam
kariernya, segala sesuatu untuk hal yang lebih baik, dia memercayainya.
Target kinerja adalah elemen penting lainnya dalam
pengendalian hasil. Pengendalian hasil memengaruhi perilaku karyawan
dalam dua cara:
a) Pertama dengan meningkatkan motivasi karyawan dengan
memberikan tujuan yang jelas bagi karyawan untuk berusaha
semaksimal mungkin. Kebanyakan orang lebih suka diberi target
tertentu untuk dicapai dari pada hanya diberipernyataan yang tidak
jelas seperti mengatakan “lakukan yang terbaik”.
b) Kedua target kinerja memungkinkan karyawan untuk menilai kinerja

14
merekasendiri. Orang tidak akan memberikan umpan balik kecuali
mereka mampuuntuk menginterpretasikannya, dengan cara
membandingkan kinerja dengan target yang sudah diberikan. Jika
target kinerja belum terpenuhi berarti ada kesalahan dalam kinerja
karyawan yang harus dilakukan pengevaluasian atau perbaikan.

4. Pemberian imbalan
Imbalan atau insentif adalah elemen akhir dari sistem pengendalian
hasil. Imbalan yang termasuk dalam perjanjian insentif bisa dalam
berbagai bentuk yang bernilai bagi karyawan, seperti kenaikan gaji, bonus,
promosi, keamanan kerja, penugasan, kesempatan pelatihan, kebebasan,
pengenalan, dan kekuasaan. Hukuman adalah kebalikan imbalan. Hal ini
merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh karyawan, seperti penurunan
jabatan, penolakan oleh supervisor, kegagalan dalam memperoleh imbalan
yang didapatkan oleh teman kerja lain atau, secara ekstrim, diberi
peringatan atau pemutusan hubungan kerja.
Organisasi dapat mendorong nilai yang memotivasi dari berbagai
hubungan imbalan, sebagai bentuk penilaian hasil yang diperoleh, yang
dapat memengaruhi karyawan. Sebagai contoh, organisasi dapat
menggunakan sejumlah imbalan ekstrinsik. Mereka mendapatkan imbalan
dalam bentuk bantuan keuangan, misalnya dalam bentuk tunai maupun
saham. Mereka dapat menggunakan imbalan yang bukan berbentuk uang,
seperti pemberitahuan kepada publik untuk karyawan yang berkinerja
tinggi dan penambahan otoritas dalam mengambil keputusan.
Alternatifnya, pada entitas saat kinerja kurang baik atau buruk, mereka
dapat diberi peringatan dengan pengurangan otoritas dalam mengambil
keputusan dan kekuasaan manajer dapat mengambil alih pengelolaan
entitas mereka atau mengurangi pendanaan proyek yang diusulkan.
Pengukuran hasil dapat memberikan pengaruh motivasi yang positif
jika tidak ada imbalan secara eksplisit dalam hubungannya dengan
pengukuran hasil. Orang sering kali memperoleh imbalan intrinsik yang
dihasilkan secara internal melalui adanya rasa puas atas pencapaian hasil

15
yang diinginkan. Sebagai contoh, ketika William J. Bratton menjadi
Komisaris Polisi di New York City pada tahun 1990-an, dia memberi
sesuatu yang jelas pada kesatuan kepolisiannya, tujuan yang sederhana:
berantas kejahatan. (Pemikiran yang berkembang sebelumnya adalah
kejahatan disebabkan oleh faktor sosial yang yang berada di luar kendali
departemen, sehingga kepolisian sebagian besar diukur dengan seberapa
cepat mereka merespons panggilan darurat). Dia juga menerapkan sistem
pengendalian hasil. Dia melakukan desentralisasi pada departemen dengan
memberi 76 komandan polisi suatu otoritas untuk lebih banyak membuat
keputusan penting dalam unit kepolisiannya, termasuk hak untuk mengatur
jadwal personelnya, dan dia mulai mengumpulkan dan melaporkan data
kejahatan setiap hari. Meski Komisaris Bratton secara legal tidak
memperoleh penghargaan atas kinerjanya yang bagus dengan kenaikan
gaji atau bonus prestasi, sistem tersebut sangat berhasil. Pada tahun 1994,
tindak pidana besar di New York turun sebesar 12%, dan pada tiga kuartal
pertama 1995, tindak pidana tersebut turun lagi sebesar 18% di bawah
level 1994. Keberhasilan ini dengan jelas bukan disebabkan oleh
pembayaran-atas-kinerja dalam artian paling kaku; bukan pula karena,
setidaknya sebagian, untuk memberikan tujuan yang jelas kepada
kepolisian dan memberdayakan mereka untuk terus memberantas
kejahatan. Dengan melihat hasil inisiatif mereka, memberi pihak
kepolisian rasa puas dan, barangkali, suatu motivasi instrinsik untuk
melakukan kinerja yang baik.
Kekuatan memotivasi dari imbalan yang bersifat ekstrinsik maupun
intrinsik dapat dipahami dari beberapa hal teori motivasi yang telah
dikembangkan dan dipelajari hampir selama 50 tahun, seperti teori
pengharapan (expectancy theory). Teori pengharapan mendalilkan bahwa
kekuatan motivasi individu, atau usaha, adalah suatu fungsi dari (1) angka
harapan atau kepercayaan mereka bahwa hasil tertentu akan diperoleh dari
tindakan mereka (misalnya bonus untuk peningkatan usaha); dan (2)
valensi atau kekuatan preferensi mereka terhadap hasil. Akan tetapi,

16
valensi bonus tidak selalu terbatas pada nilai uang, tetapi mungkin juga
valensi pada jaminan hal-hal bernilai yang lain, seperti status atau prestise.
Organisasi seharusnya berjanji pada karyawannya terkait imbalan
yang disediakan, imbalan yang lebih memberi pengaruh motivasi kuat,
dalam biaya yang lebih efektif dengan cara yang memungkinkan. Namun,
pengaruh motivasi dari berbagai bentuk imbalan dapat sangat beragam
tergantung selera dan kondisi pribadi seseorang. Beberapa orang lebih
tertarik pada penghargaan dalam bentuk uang tunai langsung, sedangkan
yang lain lebih tertarik pada kenaikan manfaat pensiun mereka,
peningkatan otonomi atau peningkatan peluang promisi mereka. Selera
mengenai imbalan juga bervariasi di berbagai negara dengan sejumlah
alasan, termasuk adanya perbedaan budaya dan peraturan pajak
penghasilan." Akan tetapi, jika organisasi dapat menyesuaikan sendiri
kemasan bentuk imbalan yang sesuai dengan preferensi individu
karyawannya, mereka dapat menyediakan imbalan yang lebih berarti
dengan biaya yang lebih efisien. Namun, merancang imbalan untuk
individu atau kelompok kecil di dalam organisasi yang besar tidaklah
mudah untuk dilakukan. Sistem perancangan akan cenderung kompleks
dan mahal dalam pengelolaannya. Ketika implementasinya buruk, hal
tersebut dapat dengan mudah menyebabkan munculnya persepsi karyawan
mengenai ketidakadilan dan berpotensi mendapatkan pengaruh yang
berlawanan dari yang dimaksudkan penurunan motivasi dan semangat
karyawan yang buruk. Kita akan mendiskusikan mengenai pilihan bentuk
insentif yang berbeda-beda dan desain sistem insentif.

D. Kondisi Yang Menentukan Efektivitas Pengendalian Hasil


Diperlukannya kondisi berikut agar pengendalian hasil dapat
digunakan secara efektif. Pengendalian hasil dapat bekerja dengan baik hanya
ketika seluruh kondisi berikut ada didalam perusahaan: (1) Organisasi dapat
menentukan hasil apa yang diinginkan dalam wilayah yang dapat dikendalikan;
(2) Karyawan yang tindakannya dikendalikan memiliki pengaruh yang

17
signifikan terhadap hasil yang mereka pertanggungjawabkan; dan (3)
organisasi dapat mengukur efektivitas hasil.

1. Pengetahuan tentang hasil yang dinginkan


Agar pengendalian hasil berfungsi, organisasi harus mengetahui hasil
apa yangdiinginkan di area yang mereka ingin kendalikan, dan
mereka harus mengkomunikasikan hasil yang diinginkan secara efektif
kepada karyawan yang bekerja di area tersebut. Hasil yang diinginkan,
yang berarti lebih dari hasil kualitas yang diwakili oleh pengukuran hasil,
kurang di sukai karena segala sesuatu dianggap setara.
Seperti sudah disinggung sebelumnya, orang mungkin berpendapat
bahwa (salah satu) tujuan utama pada organisasi laba adalah untuk
memaksimalkan nilai pemegang saham. Akan tetapi, tidak berarti hanya
sekedar berdasarkan hal tersebut, karena tujuan secara keseluruhan harus
dipahami, hasil yang diinginkan juga harus diketahui oleh semua yang
berada di tingkat menengah atau di tingkat bawah dalam organisasi.
Pemilahan tujuan organisasi secara keseluruhan ke dalam harapan-harapan
yang spesifik bagi seluruh karyawan yang lebih rendah dalam hierarki
sering kali sulit. Setiap bagian yang berbeda dalam organisasi akan
menghadapi pengorbanan yang berbeda. Sebagai contoh, manajer
pembelian menciptakan nilai dengan pengadaan kualitas yang baik, biaya
rendah karena bahan baku yang tepat waktu. Ada tiga area hasil (kualitas,
biaya, dan penjadwalan) yang sering kali berlawanan satu sama lain, dan
tujuan organisasi secara keseluruhan adalah untuk memaksimalkan nilai
pemegang saham yang tidak banyak memberi petunjuk dalam pembuatan
pengorbanan. Pentingnya hasil dari masing-masing bagian mungkin akan
bervariasi sepanjang waktu dan antarbagian dalam organisasi hal ini
tergantung pada kebutuhan dan strategi yang berbeda.
Sebagai contoh, sebuah perusahaan (atau entitas) kekurangan uang
tunai mungkin ingin meminimalkan jumlah persediaan yang ada, dengan
lebih mempertimbangkan untuk membuat penjadwalan sebagai
pertimbangan yang lebih dominan. Sebuah perusahaan (atau entitas)

18
dengan strategi cost leadership akan menekankan pada pertimbangan
biaya. Sebuah perusahaan (atau entitas) yang mengejar kesan kualitas
produk yang unik atau strategi diferensiasi mungkin akan menekankan
pada pemenuhan atau melampaui spesifikasi material yang dibeli.
Sehingga, untuk memastikan tindakan manajer dalam melakukan
pembelian yang benar, pemesanan atau pembobotan terpenting atas ketiga
area hasil tersebut harus dibuat jelas.
Jika area yang di pilih salah, atau jika area yang di pilih benar tetapi
salah dalam melakukan pembobotan, kombinasi pengukuran hasil tidak
lagi selaras dengan tujuan organisasi yang diharapkan. Penggunaan
rangkaian pengukuran hasil yang tidak selaras mungkin akan memotivasi
karyawan untuk melakukan tindakan yang salah. Pada rangkaian
sebelumnya, misalnya petunjuk pertimbangan biaya yang buruk mungkin
akan merusak reputasi kualitas yang dihasilkan perusahaan.

2. Kemampuan untuk mempengaruhi hasil yang diinginkan


Kondisi kedua yang diperlukan agar pengendalian hasil menjadi
efektif adalah bahwa karyawan yang perilaku atau tindakannya berada
dibawah kendali harus dapat mempengaruhi hasil secara material dengan
cara yang apapun sesuai denganperiode waktu yang diberikan. Prinsip
pengendalian adalah salah satu prinsip utama Akuntansi
pertanggungjawaban. Berikut beberapa ungkapan yang mewakili bahwa
prinsip ini telah teruji:
Nyaris terbukti dengan sendirinya proposisi bahwa, dalam menilai
kinerja dari manajemen divisi, tidak ada perhitungan yang harus diambil
dari materi di luar kendali divisi. Seorang manajer biasanya tidak
bertanggung jawab terhadap hasil yang tidak menguntungkan atau
dikreditkan dengan hal yang tidak menguntungkan jika secara jelas hal
tersebut tidak ada di bawah kendalinya.
Dasar pemikiran utama di balik prinsip pengendalian adalah
pengukuran hasil berdaya guna hanya pada batasan jika informasi
mengenai tindakan yang diinginkan atau keputusan yang akan diambil

19
telah tersedia. Jika bagian hasil secara total tidak dapat dikendalikan,
pengukuran hasil tidak mengungkapkan apa pun mengenai tindakan apa
atau keputusan apa yang diambil. Sebagian pengendalian mempersulit
dalam pengambilan kesimpulan dari hasil pengukuran, meskipun tindakan
atau keputusan yang diambil tidak bagus.
Pada sebagian besar situasi organisasi, tentu saja, sejumlah faktor
yang tidak terkendali atau sebagian faktor yang tidak terkendali
berpengaruh terhadap pengukuran yang digunakan untuk mengevaluasi
kinerja. Pengaruh yang tidak terkendali tersebut menghambat usaha
penggunaan pengukuran hasil dalam tujuan pengendalian. Sebagai
konsekuensinya, hal tersebut menjadi sulit dalam menentukan apakah
pencapaian hasil disebabkan oleh tindakan atau keputusan yang diambil,
atau lebih tepatnya, untuk faktor yang tidak terkendali. Tindakan dan
keputusan yang bagus tidak selalu memberikan hasil yang bagus.
Tindakan atau keputusan yang buruk akan sama-sama mengaburkan.
Dalam situasi ketika banyak pengaruh besar yang tidak terkontrol
memengaruhi ketersediaan pengukuran hasil, pengendalian hasil menjadi
tidak efektif. Manajer tidak dapat terlepas dari tanggung jawabnya untuk
merespons faktor lingkungan yang relevan, tetapi jika faktor tersebut sulit
untuk dipisahkan dari pengukuran hasil, pengendalian hasil tidak
memberikan informasi yang baik untuk mengevaluasi kinerja atau untuk
memotivasi perilaku yang baik. Kita mendiskusikan metode organisasi
yang digunakan untuk mengatasi faktor yang tidak dapat dikendalikan
dalam sistem pengendalian hasil.

20
3. Kemampuan untuk mengukur efektivitas hasil yang dapat dikendalikan
Kemampuan untuk mengukur efektivitas hasil yang dapat
dikendalikan adalah kendala terakhir yang membatasi kemungkinan dari
pengendalian hasil. Sering kali, hasil yang dapat dikendalikan dari
keinginan organisasi dan karyawan terkait dapat berpengaruh, yang tidak
dapat diukur secara efektif. Pada hampir semua situasi, ada sesuatu yang
dapat diukur-tetapi, terkadang bidang hasil utama tidak dapat diukur
secara efektif.
Kriteria penting yang seharusnya digunakan untuk menilai efektivitas
pengukuran hasil adalah kemampuan untuk membangkitkan perilaku yang
diinginkan. Jika pengukuran menimbulkan perilaku yang benar dalam
situasi tertentu-yaitu, jika pengukuran dapat dikatakan menjadi selaras
dengan bidang hasil yang diinginkan-kemudian hal ini menjadi
pengukuran pengendalian yang bagus. Jika pengukuran tidak demikian,
maka menjadi salah satu pengukuran yang buruk, meskipun pengukuran
dilakukan secara akurat, merefleksikan kuantitas yang diwakili; demikian
pula, meskipun jika pengukuran hanya memiliki kesalahan kecil.
Untuk membangkitkan perilaku yang benar, sebagai tambahan agar
menjadi selaras dan terkendali, pengendalian hasil harus tepat, objektif,
tempat waktu, dan dapat dipahami. Dan bahkan ketika sebuah pengukuran
memiliki semua kualitas tersebut, pengukuran juga harus menggunakan
biaya secara efisien, yaitu biaya pengembangan dan penggunaan
pengukuran seharusnya juga diperhatikan.
Kriteria utama yang digunakan untuk menilai keefektifan ukuran
hasil adalah kemampuan untuk membangkitkan prilaku (tindakan)
karyawan yang diinginkan. Jika tindakan tersebut dapat dikatakan
kongruen dengan area yang diinginkan itu adalah ukuran
pengendalian yang baik dan sebaliknya jika tindakan tersebut tidak
kongruen dengan area yang diinginkan maka itu merupakan hal yang
buruk bagi organasisi.
Selain kongruen dan terkendali ada ukuran lainnya yang dapat

21
dipakai, yaitu;
a) Ketepatan/ Presisi
Presisi adalah sejauh mana pengukuran berulang dalam kondisi
yang sama menunjukkan hasil yang sama. Dalam pengukuran, mau
tidak mau, pasti terdapat kesalahan; beberapa acak, beberapa
sistematis. Kesalahan membuat pengukuran menjadi tidak akurat.
Akurasi pengukuran merujuk pada tingkat kedekatan pengukuran dari
jumlah terhadap nilai yang sesungguhnya (benar). Ketepatan adalah
tingkat di mana pengukuran yang diulang pada situasi yang hampir
sama menunjukkan hasil yang sama, jika hal ini terjadi, pengukuran
dapat dikatakan reliabel. Penggunaan bullseye analogy, akurasi
menggambarkan kedekatan dari anak panah (pengukuran) terhadap
target (nilai yang benar). Ketika semua anak panah mengelompok erat
bersama-sama, kelompok anak panah (pengukuran) akan dilihat dari
ketepatan-nya karena semua anak panah tersebut menuju pada sasaran
yang sama, bahkan jika tidak selalu dekat pada bullseye.
Pengurangan kesalahan sistematis (atau bias) meningkatkan
akurasi tetapi tidak merubah presisi. Akan tetapi, tidak mungkin dapat
mencapai akurasi dalam pengukuran tanpa adanya presisi; yaitu ketika
pengukuran berisi kesalahan secara acak atau, ketika pengukuran
tersebut tidak reliabel. Dengan kata lain, dan dalam bullseye analogy,
jika anak panah tidak mengelompok dengan jarak yang dekat satu
sama lain, anak panah tersebut tidak dapat mendekat pada bullseye.
Oleh karena itu, kurangnya presisi adalah sebuah kualitas yang tidak
diinginkan dari pengukuran hasil yang dimiliki. Meskipun demikian
apabila pengukuran presisi mengalami bias (yaitu mengandung
kesalahan sistematis) mungkin tidak terlalu bermanfaat untuk tujuan
pengendalian. Jika tingkat kesalahan sistematis tidak diketahui;
kemudian pengukuran akan menjadi bias secara sistematis yang
ditunjukkan oleh nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari nilai
sesungguhnya (lihat penjelasan mengenai objektivitas).

22
Sehingga jelas bahwa beberapa aspek kinerja (seperti tanggung
jawab sosial, kecerdasan dalam menjalankan kepemimpinan,
pengembangan pegawai) menjadi sulit, bahkan tidak mungkin, untuk
diukur secara tepat, karena pengukuran mengandung kesalahan acak
atau bias yang sistematis (seperti kasus ketika evaluasi kinerja yang
bersifat subjektif digunakan). Oleh karena itu ketepatan adalah
kualitas yang penting karena tanpanya pengukuran kehilangan banyak
informasi yang berharga. Pengukuran yang tidak tepat meningkatkan
risiko kesalahan evaluasi kinerja. Karyawan akan bereaksi negatif
terhadap ketidakadilan yang pasti akan timbul ketika kinerja yang
sama-sama baik diukur secara berbeda.
b) Objektivitas
Ukuran objektivitas berarti tidak dipengaruhi oleh perasaan
pribadi, keadaan mental, emosi, seleran, atau interpretasi lainnya.
Ada dua cara untuk meningkatkan objektivitas, pertama adalah
dilakukan oleh orang-orang yang independen yang terlibat langsung
dalam prosesnya seperti oleh personel di dapartemen pengontrolan.
kedua adalah agar pengukuran diverifikasi oleh independen, seperti
auditor.
Sebuah pengukuran objektif yang seharusnya diambil, yang
dimaksudkan dalam hal ini tidak dipengaruhi oleh perasaan seseorang
atau interpretasi-oleh sebab itu, hal ini menjadi tidak bias. Objektivitas
pengukuran rendah ketika pilihan ketentuan pengukuran atau
pengukuran yang sebenarnya dilakukan pada seseorang yang
kinerjanya sedang dievaluasi. Objektivitas yang rendah mungkin
terjadi, sebagai contoh, ketika kinerja dilaporkan sendiri atau ketika
proses evaluasi diperbolehkan menggunakan kebijakan yang cukup
besar dalam pemilihan metode pengukuran. Sesungguhnya, dan
merujuk pada definisi sebelumnya yang berhubungan dengan presisi
pengukuran, rendahnya objektivitas memungkinkan munculnya
kesalahan sistematis (contohnya, kinerja yang dilaporkan secara

23
sistematis lebih tinggi dari nilai yang sesungguhnya). Dalam hal ini,
pengukuran mungkin tepat, tetapi mungkin menjadi tidak akurat.
Pengukuran yang baik untuk tujuan pengendalian seharusnya bersifat
presisi (reliabel) dan objektif (tidak bias).
Ada dua cara utama untuk menaikan objektivitas pengukuran.
Alternatif pertama adalah memiliki pengukuran yang dilakukan oleh
orang yang independen dalam proses, seperti orang pada departemen
pengendalian. Alternatif kedua adalah memiliki pengukuran yang
telah diverifikasi oleh pihak yang independen, seperti auditor.
c) Tepat waktu
Ketetapan waktu mengacu pada jeda antara kinerja
karyawan dan pengukuran hasil. Ketetapan aktu memiliki 2 alasan
yang menjadikannya sangat penting yaitu, meningkatkan motivasi
dan meningkatkan nilai intervensi yang mungkin diperlukan.
Tepat waktu merujuk pada kesenjangan antara kinerja karyawan
dan hasil pengukuran (dan pemberian provisi yang didasarkan pada
hasil). Tepat waktu menjadi penting dalam pengukuran kualitas
karena dua alasan. Pertama adalah motivasi. Karyawan membutuhkan
penekanan kembali terhadap kinerjanya agar dapat melakukan kinerja
yang terbaik. Tekanan akan membantu memastikan bahwa karyawan
tidak menjadi mudah berpuas diri, ceroboh, atau boros. Pengukuran,
dan juga imbalannya, yang tertunda untuk jangka waktu yang
signifikan akan kehilangan sebagian besar pengaruh motivasinya.
Tekanan yang berkesinambungan dapat juga menstimulasi kreativitas
dengan meningkatkan kemungkinan bahwa karyawan akan
distimulasi secara berulang kali untuk mencari cara baru dan cara yang
lebih baik dalam proses memperbaiki hasil.
Keunggulan kedua adalah bahwa tepat waktu dapat
meningkatkan nilai intervensi yang mungkin diperlukan. Jika masalah
yang signifikan ada tetapi pengukuran kinerja yang digunakan tidak
tepat waktu, maka tidak mungkin untuk mengintervensi untuk

24
memastikan penyebab masalah sebelum masalah itu menyebabkan
(lebih banyak) kerugian.
d) Mudah Dipahami
Dua aspek agar mudah dipahami sangat penting. Pertama,
karyawan perilakunya dikendalikan seharusnya memahami bahwa
mereka harus bertanggung jawab terhadap apa yang mereka lakukan.
Hal ini membutuhkan komunikasi. Pelatihan, yang merupakan bentuk
komunikasi, mungkin juga diperlukan jika, sebagai contoh, karyawan
yang bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukan untuk mencapai
tujuan dinyatakan dalam hubungan baru atau hubungan yang berbeda,
seperti ketika fokus pengukuran dari organisasi berpindah dari laba
akuntansi menjadi, apa yang disebut dengan, nilai tambah ekonomi.
Kedua, karyawan seharusnya memahami apa yang harus mereka
lakukan untuk memengaruhi pengukuran, paling tidak dalam artian
luas. Sebagai contoh, manajer pembelian yang bertanggung jawab
terhadap rendahnya biaya pembelian bahan baku tidak akan berhasil
sampai mereka mengembangkan strategi untuk mencapai tujuan
tersebut, seperti memperbaiki negosiasi dengan vendor, menaikkan
persaingan antarvendor, atau bekerja dengan orang teknik untuk
mendesain kembali bagian tertentu. Sama halnya, karyawan yang
bertanggung jawab terhadap kepuasan konsumen harus memahami
apa yang diharapkan oleh konsumen mereka dan apa yang dapat
mereka lakukan untuk memengaruhinya.
Ketika karyawan memahami apa yang digambarkan oleh
pengukuran, mereka diberdayakan untuk mengerjakan apa yang dapat
mereka lakukan untuk dapat memengaruhinya. Pada kenyataannya,
hal ini merupakan keunggulan dari pengendalian hasil; pengendalian
yang baik dapat dicapai tanpa memahami secara pasti bagaimana
karyawan akan memproduksi hasilnya.
e) Efesiensi biaya
Jika semua kualitas terpenuhi tapi biaya yang dikeluarkan

25
melebihi dari nilai manfaat yang didapatkan maka harus
digunakan alternatif yang lebih efisien dalam biayanya. Pengukuran
mungkin memiliki semua kualitas yang sudah disebutkan sebelumnya
tetapi terlalu mahal untuk dikembangkan atau di gunakan (contohnya,
ketika melibatkan pihak ketiga pada survei konsumen, yang disebut,
pengumpulan data), hal ini berarti bahwa biaya melebihi manfaat.
Ketika terjadi hal tersebut, perusahaan mungkin memerlukan
alternatif penyelesaian yang lain, dengan pengukuran yang lebih
efisien dari sisi biaya.
Secara keseluruhan, banyak pengukuran yang tidak dapat
diklasifikasikan dengan jelas (efektif) atau buruk (tidak efektif).
Perbedaan pengorbanan antarkualitas pengukuran menciptakan
beberapa keuntungan dan kerugian. Sebagai contoh, pengukuran
sering kali dapat dibuat lebih selaras, terkendali, tepat, dan objektif
jika ketepatan waktunya dikompromikan. Sehingga, dalam menilai
efektivitas hasil pengukuran, sering kali membutuhkan banyak
pertimbangan yang sulit. Pertimbangan tersebut akan didiskusikan
lebih detail pada beberapa bab dalam buku ini.
Meski merupakan bentuk pengendalian yang penting di dalam
banyak organisasi, pengendalian hasil tidak selalu dapat digunakan
secara efektif. Pengendalian hasil bekerja dengan baik hanya ketika
seluruh kondisi berikut ada di dalam perusahaan:
1. Organisasi dapat menentukan hasil apa yang diinginkan di dalam
wilayah yang dapat dikendalikan;
2. Karyawan yang tindakannya dikendalikan memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap hasil yang mereka
pertanggungjawabkan; dan
3. Organisasi dapat mengukur efektivitas hasil.

26
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pentingnya bentuk pengendalian dan pengendalian hasil yang digunakan
pada berbagai tingkatan dalam organisasi. Pengendalian hasil adalah sebuah
bentuk bentuk pengendalian tidak langsung karena tidak secara eksplisit fokus
pada tindakan atau keptusan yang dilakukan oleh karyawan. Akan tetapi,
secara tidak langsung memberikan beberapa keunggulan penting.
Pengendalian hasil sering kali tetap bisa efektif ketika tidak ada kejelasan
tentang perilaku apa yang paling diinginkan. Selain itu, pengendalian hasil
dapat menghasilkan pengendalian yang baik jika memberikan keleluasaan pada
karyawan untuk berperilaku disertai dengan pengendalian otonomi yang tinggi.
Banyak orang, khususnya yang berada pada hierarki organisasi yang lebih
tinggi, menilai dengan otonomi yang tinggi dan meresponsnya dengan baik.
Akan tetapi, pengendalian hasil tidak efektif pada setiap situasi. Sangat
sulit untuk memengaruhi ketiga kondisi efektivitas pengetahuan mengenai
hasil yang diinginkan, kemampuan untuk memengaruhi hasil yang diinginkan
dan kemampuan untuk mengukur hasil yang bisa dikendalikan secara efektif
hal ini akan membuat hasil yang diinginkan tidak berguna. Hal ini mungkin
juga dapat menimbulkan sejumlah pengaruh sampingan dari yang tidak sesuai
dengan fungsinya.
Pengendalian hasil biasanya merupakan elemen penting dalam SPM yang
digunakan pada semua organisasi termasuk organisasi terkecil sekalipun. Akan
tetapi, pengendalian hasil seringkali didukung oleh tindakan dan pengendalian
budaya/ personel.

B. Saran
Makalah ini mempunyai banyak kekurangan dan jauhnya dari
kesempurnaan, namun diharapkan dengan adanya makalah ini dapat
menambah informasi bagi pembaca tentang memahami pengendalian

27
manajemen dan pengaruhnya, oleh karena itu segala kritik dan saran yang
bersifat membangun sangatlah penulis harapkan dan rekan pembaca sekalian
demi kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat untuk kita
semua.

28
DAFTAR PUSTAKA

Merchant Kenneth A dan Wim A. Van Der Stede. Sistem Pengendalian Manajemen
Pengukuran Kinerja, Evaluasi, dan Insentif. Jakarta Selatan: Salemba Empat,
2016.
Stede, K. A. (2003). MANAGEMENT CONTROL SYSTEM. Edinburgh Gate:
Pearson Education Limited.
studocu.com/id/document/universitas-negeri-makassar/manajemen-
sdm/304971621-bab-2-pengendalian-hasil/19023574 Diakses Tanggal 16
Maret 2023, pukul 17.28 WIB
https://www.scribd.com/document/458749121/17764-SPM# diakses tanggal 16
Maret 2023, pukul 17.30 WIB

29

Anda mungkin juga menyukai