Anda di halaman 1dari 114

B MOEL K KEPERAWATANplikasi

pada Kasus Obstetri Ginekologi)


Ns. Umi Sukowati, SH, M.Kep., Sp.Mat.
Ns. Yulia Irvani Dewi, M.Kep., Sp.Mat.
Ermiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Santi Wahyuni, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Restuning Widiasih, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Siti Saidah Nasution, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.

MODEL KONSEP
& TEORI KEPERAWATAN
(Aplikasi pada Kasus Obstetri Ginekologi)
RF.KKS.10.01.2010
Model Konsep & Teori Keperawatan (Aplikasi pada Kasus Obstetri Ginekologi)
Ns. Umi Sukowati, SH, M.Kep., Sp.Mat., dkk.
Editor : Aep Gunarsa, SH.
Desain Sampul : Hendra Kurniawan
Setting & Layout Isi : Aep Gunarsa S.H.
Diterbitkan & dicetak oleh PT Refika Aditama
Jl. Mengger Girang No. 98, Bandung 40254
Telp. (022) 5205985, Fax. (022) 5205984
e-mail: penerbit@refika-aditama.com
http://www.refika-aditama.com
Anggota Ikapi
Cetakan Pertama: Oktober 2010
ISBN 978-602-8650-0
© 2010.
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang.
Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
TANPA IZIN TERTULIS dari penerbit.
v
Perawat adalah salah satu tenaga profesional dalam bidang kesehatan. Perawat
melakukan pelayanan kesehatan melalui pendekatan asuhan keperawatan yang
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan. Sebagai tenaga profesional
yang mempunyai peran independen, tentu saja tidak hanya sebatas predikat tanpa
alasan mendasar, namun sebagai tenaga profesional dalam menjalankan peran,
fungsi dan tugasnya berdasarkan body of knowledge dan body of theory yang jelas,
yang merupakan ruh keperawatan, salah satunya adalah model konsep dan teori
keperawatan.
Model konsep dan teori keperawatan tersebut ditetapkan berdasarkan kondisi dan
kebutuhan pasien agar pasien mendapatkan pelayanan asuhan keperawatan yang
berkualitas. Ironinya, model konsep dan teori keperawatan masih belum membudaya
diterapkan di tatanan pelayanan kesehatan, dikarenakan masih minimnya sumbersumber
yang mendukung, serta masih belum banyak tenaga keperawatan yang
memahami model konsep dan teori keperawatan tersebut. Kondisi ini semakin
membuat sentuhan Caring semakin jauh dirasakan oleh provider.
Namun demikian, sebagai tenaga keperawatan yang mempunyai komitmen tinggi
terhadap kemajuan profesionalitas keperawatan, tentunya tidak berhenti begitu saja,
tidak putus asa untuk terus berupaya mensiarkan layanan keperawatan profesional
dengan menggunakan model konsep dan teori keperawatan. Pengaplikasian
model konsep dan teori keperawatan telah terbukti dapat memuaskan pasien dan
keluarganya. Berdasarkan pertimbangan itulah maka buku ini disajikan dalam upaya
memperkaya wawasan keperawatan, dan bila mungkin diharapkan dapat menjadi
salah satu motivator bagi tenaga keperawatan khususnya untuk senantiasa menerapkan
keilmuannya sebagai bentuk tanggung jawab dan tanggung gugat dalam memberikan
layanan profesional.
Penulisan ini diangkat dari tugas akhir ke-enam penulis dalam rangka untuk
memperoleh gelar Ners Spesialis Keperawatann Maternitas pada Program Pascasarjana
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia dibawah bimbingan Dra. Setyowati,
S.Kp., M.App.Sc., PhD, Yenni Rustinna, S.Kp., M.App.Sc, PhD, Imami Nur Rachmawati,
Kata Pengantar
vi
S.Kp., M.Sc., Yati Afiyanti, S.Kp., MN., Dr. Chandra Widjajanti, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.,
dr. Farchan Djoned, SpOG., dr. Aswin W. Sastro, SpOG., Sri Djuwitaningsih, SKp.,
M.Kep., Sp.Mat., dr. Irawan, Sp.OG, Lilis Komariah, SKp, M.Kep., Sp. Mat.
Pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada seluruh
dosen, pembimbing, penguji, serta teman-teman. Terima kasih pula penulis sampaikan
kepada keluarga, suami, anak-anak, orang tua dan saudara. Karena tanpa dorongan
dan keihlasannya tidak mungkin penulis mampu menyelesaikan studi dan tugas akhir
ini, walaupun selama kami menjalani studi banyak aral melintang, yang merampas
kebahagian mereka semua.
Segala kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan materi model
konsep dan teori keperawatan sangat penulis harapkan. Akhir kata, semoga buku ini
bermanfaat dan mampu memacu semangat sejawat perawat terus berkarya walaupun
keberadaan kita sebagai perawat banyak halangan dalam upaya mengaktualisasikan
dalam menerapkan body of knnowledge dan body of theory keperawatan.
April 2010
Penulis
vii
Daftar Isi
Kata Pengantar..................................................................................................Xi
BAGIAN I
Model Konsep Dan Teori Keperawatan..............................................................1
A. Teori Model Konsep Need For Help “Wiedenbach”.............................8
B. Model Konsep dan Teori Self Care Menurut “Dorothea Orem” ........... 9
C. Konsep Model dan Teori Adaptasi “Roy”............................................13
BAGIAN II
Konsep Penyakit...............................................................................................33
A. Grande Multipara................................................................................33
B. Kehamilan Ektopik Terganggu (Ket).....................................................38
C. Infeksi Pasca Sectio Caesaria (SC)........................................................41
D. Hiperemesis Gravidarum....................................................................41
E. Asthma Bronciale Pada Kehamilan.....................................................46
F. Ketuban Pecah Dini............................................................................46
Bagian Iii
Penerapan Model Konsep Dan Teori Keperawatan
Pada Kasus Obstetri Ginekologi.......................................................................85
A. Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need For Helf
Pada Grande Multipara.......................................................................85
B. Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need For Helf
Pada Kehamilan Ektopik Terganggu (Ket)............................................88
C. Aplikasi Model Konsep Self Care “Orem”
Pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi..................................................90
viii
D. Aplikasi Model Konsep Self Care “Orem”
Pada Kasus Hiperemesis Gravidarum..................................................91
E. Aplikasi Konsep MOdel Keperawatan Adaptasi “Roy”
Pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial.............................................94
F. Aplikasi Konsep MOdel Keperawatan Adaptasi “Roy”
Pada Primigravida Dengan KPD..........................................................96

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................115 agian


I
MODEL KONSEP &
TEORI KEPERAWATAN
Teori Model Konsep Need for Help
Ns. Umi Sukowati, SH., M.Kep., Sp.Mat.
Ns. Yulia Irvani Dewi, M.Kep., Sp.Mat.
”Need for help” adalah suatu kegiatan dari seorang tenaga profesional bidang keperawatan
maternitas yang mempunyai potensi dalam memberikan bantuan kepada
individu atau klien agar merasa nyaman (comfortable) dan mampu (capable) sehingga
mempunyai kekuatan melakukan koping dalam mengatasi masalah kesehatannya (for
maintenance or stability in a situation), (Tomey, 2006). Teori yang dikemukakan oleh
Wiedenbach tersebut adalah teori yang menjelaskan bagaimana seorang perawat
maternitas membuat suatu ukuran atau kegiatan tertentu yang diinginkan seseorang
yang memiliki potensi untuk mengurangi atau memperbaiki kemampuan dalam
mengatasi suatu masalah (George, 1995). Dalam teori ini dijelaskan bahwa individu
adalah penerima bantuan dari tenaga keperawatan, berupa pengetahuan, perawatan
dan nasihat. Konsep penting teori ini adalah memberikan pengetahuan keterampilan
sehingga klien mampu melakukan suatu keputusan terkait dengan masalahnya.
Fokus teori ini berupa interaksi perawat-klien dan memandang klien secara
holistik, di mana dalam interaksi ini ada suatu inti dalam melakukan stimuli,
prekonsepsi, interpretasi dan aksi reaksi, sehingga terjalin interaksi perawat-klien yang
dapat menghasilkan koordinasi, validasi untuk kepentingan pelaporan, konsultasi dan
rujukan. Wiedenbach berpendapat bahwa perawat adalah seseorang yang menghormati
martabat ibu, menghargai otonomi, ciri khas dan nilai yang diyakini ibu
akan selalu melakukan tindakan dengan persetujuan ibu dengan melakukan validasi.
Perawat tidak hanya bertindak tetapi juga berpikir dan merasakan apakah sesuatu

Model Konsep Dan Teori Keperawatan


yang terjadi pada ibu merupakan sesuatu yang baik, sejahtera atau sesuatu yang
bermasalah dan memerlukan tindakan bantuan. Perawat dalam setiap tindakannya,
perkataannya, tulisan dalam komunikasinya, gerakan tubuhnya, langsung akan
menggambarkan
sesuatu yang spesifik yang berguna untuk membantu ibu dan pikiran
serta perasaannya mempunyai peran untuk meningkatkan disiplin bagi kebaikan
ibunya (George,1995).
Wiedenbach dalam George (1995), menyebutkan langkah-langkah pemecahan
masalah melalui empat tahap yaitu: (1) Identifikasi kondisi dan persepsi klien
tentang kebutuhan, seperti: pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi, pemenuhan
kesejahteraan ibu dan janin, pemantauan kemajuan persalinan dan pemantauan
terjadinya perdarahan post partum. (2) Seleksi (ministrasi) kebutuhan yang tepat
untuk dibantu, yaitu pemilihan tindakan yang tepat seperti: memberikan cairan
melalui infus, teknik non farmakologis, pemantauan DJJ, manajemen aktif kala III dan
pemantauan kala IV. (3) Validasi kemungkinan masalah dapat diatasi dengan bantuan
yang diberikan, yaitu melakukan evaluasi terhadap setiap tindakan yang diberikan. (4)
Koordinasi yang meliputi laporan, konsultasi yang selanjutnya diinterpretasikan dan
dilakukan tindakan bantuan (Tomey dan Alliogood, 2006).
Wiedenbach mendokumentasikan proses keperawatan dalam rumusan “SOAPIER”.
Pada saat proses pengkajian sebagai tahap identifikasi perawat melakukan data subjektif
(S) dan Objektif (O). Pada tahap menganalisa (A) perawat mengklarifikasi arti
dan ketidaksesuaian yang ada dan mencari penyebab ketidaksesuaian. Pada tahap
ministration perawat menyusun perencanaan pemberian bantuan (P). Selanjutnya
intervensi/implementasinya (I) melalui koordinasi, pendelegasian sesuai protap
mandiri. Tahap terakhir adalah Evaluasi (E) dan dibuat replanning (R), (Fitzpatrick dan
Whall, 1989). Semua yang dilakukan harus didokumentasikan; pendokumentasian ini
tentu saja sejalan dengan kesesuaian untuk kepentingan pencatatan dan pelaporan di
area keperawatan maternitas. Dalam penerapannya, model konsep Need for help juga
dapat dikombinasi dengan teori-teori keperawatan yang lain, misalnya dengan teori
Loss and Grief, social support, dan lain-lain sesuai kebutuhan pasien.
Berikut dicontohkan langkah pemecahan masalah dalam proses keperawatan
pada ibu bersalin grande multipara untuk mencegah perdarahan post partum yang
dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Tahap I: Pengkajian
Berdasarkan teori “Need for Help” Wiedenbach, diterapkan untuk mengidentifikasi
bantuan apa yang dibutuhkan oleh ibu bersalin. Pengkajian yang dilakukan pada ibu
merupakan pengkajian holistik yang meliputi pengkajian fisik dan psikologis.
Teori Model Konsep Need For Help 5
a. Pengkajian fisik
Pengkajian segera saat ibu datang ke rumah sakit yaitu Objektif (O): pengkajian fisik,
pemeriksaan abdomen, detak jantung janin, kontraksi uterus, pengeluaran pervaginam,
dilatasi serviks, tanda-tanda perdarahan dan tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu,
pernapasan). Subjektif (S): HPHT, taksiran persalinan, kebutuhan aktivitas istirahat
yang terganggu terkait dengan nyeri proses persalinan. Nyeri dapat menimbulkan efek
fisiologis dan psikologis yang berkepanjangan dapat menyebabkan kelelahan pada
ibu sehingga power-nya semakin menurun dan mempengaruhi adaptasi ketika post
partum, merawat dan menyusui bayinya. Pengkajian selanjutnya pada ibu bersalin
adalah apakah ibu menggunakan teknik koping seperti pernapasan, relaksasi atau
penggunaan medikasi untuk mengurangi nyeri persalinan.
b. Pengkajian Psikologis (S)
Pengkajian psikologis yaitu riwayat psikososial meliputi perasaan dan harapan ibu
sehubungan dengan proses persalinannya. Nyeri yang berlebihan merupakan ancaman
komplikasi baik pada ibu maupun pada janinnya seperti persalinan yang memanjang.

2. Tahap II: Analisa (A)


a. Merumuskan diagnosa keperawatan
Setelah menyelesaikan pengkajian keperawatan, perawat melanjutkan pada diagnosa
keperawatan yang merupakan penilaian klinis tentang respons klien. Diagnosa keperawatan
adalah pernyataan yang mengambarkan respons aktual atau potensial klien
yang membutuhkan intervensi dari domain praktik keperawatan (Carlson, et al, 1991;
Carpenito, 1995 dalam Potter dan Perry, 2005). Pada ibu bersalin juga dapat dilakukan
diagnosa keperawatan sejahtera. NANDA (1994, dalam Stolte 2004), menyatakan
bahwa diagnosa keperawatan sejahtera menjelaskan respons manusia terhadap
tingkat kesejahteraan individu, keluarga atau komunitas yang memiliki potensi untuk
meningkat pada kondisi yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, Stolte (2004) menjelaskan bahwa diagnosa keperawatan sejahtera
sebagai suatu kesimpulan dari pengkajian data yang berfokus pada pola kesejateraan,
respon kesehatan atau kekuatan klien. Diagnosa keperawatan pada ibu bersalin
grande multipara adalah mempertahankan kontrol selama persalinan. Penilaian ini
didapat dari kesiapan yang telah dilakukan ibu untuk persalinan, menggunakan teknik
relaksasi dan latihan serta keinginkan ibu selama persalinan.
b. Merumuskan tujuan
Secara umum tujuan pengelolaan asuhan keperawatan pada ibu bersalin grande
multipara adalah memberikan bantuan kepada ibu dalam memenuhi kebutuhannya
6 Model Konsep Dan Teori Keperawatan
serta bantuan mencegah terjadinya perdarahan post partum. Perawat memberikan
aktivitas bantuan yang terbaik bagi ibu (Tomey dan Alligood, 2006).

3. Tahap III: Perencanaan (P)


Perawat merencanakan memberikan bantuan (ministration) dengan menyeleksi kebutuhan
yang tepat dibantu (acceptable). Wiedenbach melakukan validasi dengan ibu
tentang bantuan yang dibutuhkan ibu dan perawat mencatat, melakukan konsultasi,
kolaborasi dan koordinasi agar bantuan yang diberikan dapat memenuhi harapan
ibu.
Menurut Wiedenbach bentuk bantuan yang diberikan adalah: (1) bersifat tindakan
spontanitas, (2) tindakan otomatis, (3) tindakan impulsif atau menurut kata hati. Pada
ibu bersalin grande multipara merencanakan intervensi dengan tujuan: mencegah
kegawatan janin dan ibu, mencegah terjadinya perdarahan post partum, menurunkan
tingkat kecemasan, menurunkan nyeri dengan meningkatkan koping.
4. Tahap IV: Pelaksanaan (I)
Ada pun pelaksanaan teori Need for Help ini meliputi: Knowing yang berpusat kepada
orang yang sedang dirawat; Being With yaitu berbagi rasa, perawat hadir dan terbuka
kepada klien; Doing For yaitu memberikan kenyamanan, tindakan antisipasi; Enabling
yaitu menjelaskan kepada klien tentang alternatif yang dapat diambil; Maintaining
belief yaitu memberikan kepercayaan dan menunjukan realitas yang optimis.
Pada ibu bersalin grande multipara perawat memberikan bantuan yang dibutuhkan
ibu. Pada saat memberikan bantuan, perawat memberi petunjuk dan intervensi,
memperhatikan
kenyamanan ibu, menerapkan terapeutik prosedur. Jika ibu menjadi
tidak nyaman dengan apa yang dilakukan perawat, perawat dapat mengidentifikasi
penyebabnya dan membuat penyesuaian dengan rencana tindakan (George, 1995).
5. Tahap V: Evaluasi (E) dan Replanning (R)
Evaluasi merupakan penilaian efektivitas terhadap intervensi keperawatan sehubungan
dengan tingkah laku klien. Evaluasi pada ibu bersalin grande multipara adalah: (a)
mengenali dan segera mencatat tanda dan gejala yang menunjukkan kondisi yang
memburuk bagi ibu dan janin, (b) tidak ada tanda gejala shock maupun gawat janin,
(c) secara verbal ibu menyampaikan rasa cemas dan nyeri berkurang, (d) melahirkan
bayi dengan selamat, (e) tidak ada komplikasi post partum seperti perdarahan/syok
hipovolemik pada kala III/ IV.
Dari uraian tentang penerapan model konsep “Need for Help” pada kasus ibu
bersalin grande multipara dapat di jelaskan melalui skema gambar berikut.
Teori Model Konsep Need For Help 7

Skema 1:
Penerapan Model Konsep dan teori Need for Help dalam Asuhan Keperawatan
Teori dan Konsep
Keperawatan
Proses Keperawatan pada Ibu Bersalin
Grande Multipara untuk Mencegah Terjadinya
Perdarahan Post Partum
“Need for Help”
Wiedenbach
Diagnosa
Keperawatan (A)
Pengkajian (S, O)
- Pengkajian Fisik
- Pengkajian Psikologis
Evaluasi (E) &
Replanning (R)
• Tidak ada komplikasi
post partum:
perdarahan pada kala
III/IV
• Melahirkan bayi
dengan selamat
Perencanaan (P)
(Ministration, Validation,
Coordination)
• Pemantauan
kesejahteraan ibu dan
janin
• Mencegah perdarahan
post partum (kala I - IV)
Implementasi (I)
Knowing, being with, doing
for, enabling, maintaining
belief
Peningkatan Kualitas
Asuhan Keperawatan
Keterangan:
S : Subjektif
O : Objektif
A : Anlisisa

Model Konsep Dan Teori Keperawatan


Model Konsep Dan Teori Self Care Menurut Dorothea Orem 9
Model konsep self care Orem memandang bahwa setiap individu mempunyai
kemampuan dan potensi untuk merawat dirinya sendiri dan mencapai kesejahteraan.
Keperawatan diberikan bila berkurang kemampuannya untuk memenuhi kebutuhan
self care sesuai dengan self care demand-nya (Orem, 2001).
Perawat berperan membantu meningkatkan kemandirian ibu dalam memenuhi
kebutuhan self care-nya melalui suatu proses belajar/latihan dalam bentuk perawatan
diri, menciptakan lingkungan yang memfasilitasi tercapainya kemandirian, sehingga
perawat dari memberikan total care bergeser ke bantuan supportive educative. Teori ini
menekankan bahwa individu adalah agent self care bagi dirinya sendiri (Orem, 2001).
Penerapan konsep self care Orem akan lebih efektif apabila dilengkapi dengan
teori-teori yang lain sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kasehatannya, misalnya
dengan teori transkultural Leininger, teori social support, dan sebagainya. Sebagai
contoh pada penggabungan dengan teori Transkultural Leininger diterapkan pada
kasus yang selain bertujuan untuk memandirikan pasien juga untuk melihat praktikpraktik
budaya hidup sehat atau tidak sehat (membahayakan kesehatan) yang ikut
berpengaruh terhadap perkembangan status kesehatan seseorang, seperti peristiwa
kehamilan, persalinan (kelahiran), perawatan ibu dan bayi, termasuk keadaan proses
penyembuhan luka.
Masyarakat Indonesia mayoritas terdiri dari keluarga besar (extended family)
sehingga berbagai mitos ataupun budaya yang masih diyakini oleh orang tua
dahulu dapat diturunkan kepada generasi berikutnya. Sebagai contoh, makanan

MODEL KONSEP DAN TEORI SELF CARE


MEN URUT DORO THEA ORE M
Ermiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Santi Wahyuni, SKp., M.Kep., Sp.Mat.
10 Model Konsep Dan Teori Keperawatan
merupakan kategori budaya yang penting. Bentuk, fungsi berpantang, dan keharusan
untuk mengkonsumsi jenis makanan tertentu atau melakukan perbuatan tertentu
menunjukkan persamaan atau perbedaan di berbagai tempat di Indonesia, termasuk
berbagai pantangan makanan yang ditujukan bagi ibu. Model dan teori keperawatan
Self Care Orem dalam asuhan keperawatan menggunakan pendekatan proses keperawatan
dapat dilihat pada uraian berikut:
1. Konsep Self Care Dorothea E. Orem
Orem mengembangkan teori self care deficit dalam keperawatan yang disusun
oleh tiga teori, yaitu teori self care, self care deficit, dan nursing system. Self care
adalah penampilan atau aktivitas individu yang dilakukan untuk memelihara
kehidupan, kesehatan dan kesejahteraan hidup (Orem, 2001). Self care yang efektif
dapat membantu untuk mempertahankan integritas struktur dan fungsi tubuh serta
berkontribusi dalam perkembangan individu, misalnya pada kasus infeksi luka post
SC paska pemulangan.
Klien post SC menurut konsep model self care Orem dipandang sebagai individu
yang mempunyai kemampuan atau potensi untuk merawat dirinya sendiri dan
mencapai hidup sejahtera. Teori ini juga menekankan bahwa individu, dalam hal ini
klien post SC yang mengalami luka infeksi pasca pemulangan adalah agent self care
bagi dirinya sendiri (Orem, 2001).
Self care agency adalah kemampuan seseorang, dalam hal ini klien dengan infeksi
luka post SC paska pemulangan untuk merawat diri sendiri atau melakukan self care.
Kemampuan yang dimiliki oleh klien post SC dengan luka infeksi untuk merawat
dirinya sendiri dipengaruhi oleh conditioning factor. Faktor kondisi ini terdiri dari
faktor internal maupun eksternal.
Faktor internal seperti usia, tinggi badan, berat badan, budaya, suku, status
perkawinan, status paritas, tahap perkembangan, status kesehatan secara umum,
agama, pendidikan dan pekerjaan serta riwayat persalinan sebelumnya. Sebagai
contoh dari faktor usia, jika usia klien termasuk kategori kelompok rawan (misalnya
pada klien yang berusia lebih dari 35 tahun), hal ini dapat mempengaruhi kekuatan
(stamina) atau keadaan umum klien, termasuk dalam proses penyembuhan luka
infeksinya. Kondisi ini umumnya akan berbeda dengan klien yang usianya antara 20
sampai 35 tahun. Pada rentang usia tersebut, umumnya klien mempunyai stamina
yang lebih baik sehingga klien lebih mampu melakukan self care-nya sekalipun klien
dengan kondisi infeksi luka post SC paska pemulangan.
Status nutrisi menggambarkan keadaan kesehatan seseorang dan mempengaruhi
kemampuan klien untuk memenuhi kebutuhan self care. Pada klien dengan infeksi luka
post SC paska pemulangan, keadaan nutrisi erat kaitannya dengan proses penyembuhan
luka infeksi. Klien yang mengalami kekurangan energi, protein, umumnya akan merasa
Model Konsep Dan Teori Self Care Menurut Dorothea Orem 11
lemas dan berisiko terhadap proses penyembuhan luka yang lama. Protein, vitamin C
dan D sangat penting untuk pembentukan sel baru pada area luka operasi. Keadaan
tubuh yang lemas dan adanya proses penyembuhan luka infeksi yang lama, berdampak
pada kemampuan klien dalam melakukan aktivitas self care. Klien akan mempunyai
berbagai keterbatasan secara fisik sehingga klien mengalami deficit self care.
Faktor eksternal meliputi keadaan sosial-ekonomi-kultural, dukungan pasangan
dan keluarga, gaya hidup, sistem pelayanan kesehatan, proses persalinan yang lama
dan faktor lingkungan sekitar tempat tinggal klien. Salah satu contoh faktor eksternal
berasal dari dukungan yang diberikan pasangan atau keluarga terhadap klien dengan
infeksi luka post SC paska pemulangan. Jika pemberian dukungan adekuat, umumnya
klien dapat mengurangi kecemasan, ketakutan dan ketegangan yang dialaminya akibat
infeksi luka post SC paska pemulangan. Dampak lebih lanjut dari kondisi psikologis
tersebut akan mempengaruhi pula kondisi fisik klien sehingga klien memiliki motivasi
untuk melakukan aktivitas self care-nya.

Kebutuhan self care dibedakan dalam tiga kategori (Marriner-Tomey, 1994;


George, 1995; Orem, 2001):
a. Universal Self Care Requisites
Merupakan serangkaian kebutuhan yang secara umum dimiliki oleh setiap individu,
meliputi kebutuhan oksigenisasi, makan dan minum, aktivitas dan istirahat, eliminasi,
terbebas dari nyeri, terbebas dari infeksi dan ketidaknyamanan, kebutuhan interaksi
sosial dan peran.
Sebagai contoh, klien post SC dengan luka infeksi paska pemulangan umumnya
akan mengalami kesakitan atau morbiditas yaitu nyeri dan ketidaknyamanan akibat
infeksi luka. Keadaan infeksi dapat ditandai dengan adanya peningkatan suhu tubuh,
keadaan luka terjadi pemisahan tepi luka (dehiscence), kelembutan (tenderness),
keluaran pus atau cairan serous (discharge), kemerahan sepanjang luka insisi,
pembengkakan (swelling) yang terlokalisasi dan bau (odour) pada area luka operasi
serta dari hasil pemeriksaan laboratorium ditemui adanya peningkatan kadar leukosit
dan kultur pus positif.
Dampak infeksi luka terhadap pemenuhan kebutuhan aktivitas, tampak dari
keterbatasan klien dalam melakukan aktivitas terutama ketika klien merasakan nyeri
dan ketidaknyamanan. Klien juga mengalami kurang istirahat akibat nyeri yang
dirasakannya, atau karena kecemasan terhadap kondisi dan prognosis luka infeksi.
Hal ini menimbulkan perubahan pada keadaan umum dan tanda-tanda vital klien.
b. Developmental Self Care Requisites
Kebutuhan self care sesuai dengan proses perkembangan dan kematangan individu
menuju fungsi yang optimal. Pada klien post SC dengan luka infeksi paska pemulangan
12 Model Konsep Dan Teori Keperawatan
akan mengalami perubahan fungsi perkembangan yang berkaitan dengan fungsi
perannya sebagai ibu terutama bila klien harus menjalani perawatan ulang di rumah
sakit. Klien akan terpisah dengan keluarganya dan klien umumnya mengalami
diskontinuitas pemberian ASI.
c. Health Deviation Self Care Requisites
Kebutuhan yang berkaitan dengan penyimpangan status kesehatan, misalnya
keadaan nyeri akibat infeksi luka post SC paska pemulangan yang dapat menurunkan
kemampuan individu dalam memenuhi kebutuhan self care-nya. Kebutuhan ini
meliputi: 1) mencari pengobatan yang tepat dan aman, hal ini dilakukan klien dengan
kembali memeriksakan diri ke rumah sakit; 2) menyadari dampak dan patologi
penyakit; 3) memilih prosedur diagnostik, terapi dan rehabilitasi yang tepat dan efektif;
4) memahami dan menyadari dampak tidak nyaman dari program pengobatan; 5)
memodifikasi konsep diri untuk dapat menerima status kesehatannya; 6) belajar hidup
dengan keterbatasan sebagai dampak kondisi patologi.
Perubahan yang terjadi pada klien dengan infeksi luka post SC paska pemulangan
menurut teori self care akan menyebabkan self care agency (kemampuan) klien dalam
memenuhi kebutuhan self care demand-nya (kebutuhan yang harus dipenuhi). Kondisi
ini disebut self care defisit, yaitu keadaan yang menggambarkan terjadinya ketimpangan
antara self care demand dan self care agency atau keterbatasan klien untuk memenuhi
kebutuhan self care. Keperawatan dibutuhkan oleh klien dengan infeksi luka karena
adanya penurunan kemampuan klien untuk melakukan self care-nya.
Lima area aktivitas praktik keperawatan pada klien dengan infeksi luka post SC
paska pemulangan yaitu: a) membina dan menjaga hubungan antara perawat dengan
klien dan keluarga sampai klien pulang; b) menentukan jika dan bagaimana klien dapat
dibantu oleh perawat, hal ini berdasarkan kondisi dan tingkat ketergantungan klien; c)
berespons terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan akan bantuan perawat, seperti
bantuan dalam perawatan luka infeksi; d) menetapkan, memberikan dan meregulasi
bantuan secara langsung pada klien, disesuaikan dengan kemampuan klien; dan e)
koordinasi dan integrasi keperawatan dengan kegiatan sehari-hari klien, perawatan
kesehatan lain, pemberian pelayanan sosial dan pendidikan yang dibutuhkan.
Nursing system atau sistem keperawatan merupakan sistem yang didesain perawat
berdasarkan kebutuhan self care dan kemampuan klien melakukan aktivitas self care.
Perawat sebagai nursing agency membantu klien dengan infeksi luka post SC paska
pemulangan untuk mengatasi keterbatasan dalam pemenuhan kebutuhan perawatan
diri (self care defisit) berdasarkan tingkat ketergantungan klien.
Dalam memandirikan klien, pelayanan keperawatan yang diberikan diklasifikasikan
pada tiga sistem keperawatan (Orem, 2001) yaitu:
a. Wholly Compensatory Nursing System (perawatan total)
Ditunjukkan oleh situasi di mana individu tidak mampu untuk memenuhi
Model Konsep Dan Teori Self Care Menurut Dorothea Orem 13
kebutuhannya
sendiri secara langsung dan mengontrol pergerakan atau dalam
pengobatan medis supaya tidak melakukan aktivitas. Wholly compensatory
system ditujukan kepada klien dengan tingkat ketergantungan yang tinggi. Perawat
mengambil alih pemenuhan kebutuhan self care-nya secara menyeluruh.
b. Partly Compensatory Nursing System (perawatan sebagian)
Situasi di mana baik perawat maupun klien melakukan perawatan termasuk
manipulasi tugas dan ambulasi. Perawat mengambil alih beberapa aktivitas yang
tidak dapat dilakukan klien dalam pemenuhan kebutuhan self care-nya.
c. Supportive – Educative System (perawatan mandiri)
Klien mampu melakukan dan dapat belajar untuk melakukan self care yang
dibutuhkan, tapi tidak mungkin tanpa bantuan. Pada sistem ini, klien melakukan
semua kebutuhan self care-nya. Klien membutuhkan bantuan untuk membuat
keputusan, mengendalikan perilakunya dan mendapatkan pengetahuan dan
keterampilan. Peran perawat adalah meningkatkan self care agency dari klien.
Aktivitas keperawatan dilakukan berdasarkan pada analisis tingkat kemandirian
klien. Pada klien post SC yang baru dipindah dari ruang pemulihan, membutuhkan
bantuan
secara penuh dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya oleh karena adanya
kelemahan fisik. Setelah 24 jam post SC, kemampuan klien akan meningkat, perawat
memberikan dukungan atas kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari
yang dapat dilakukan secara mandiri dan membantu memenuhi kebutuhan yang tidak
dapat dilakukannya. Pada hari ketiga dan seterusnya klien sudah mampu memenuhi
kebutuhan
sehari-hari secara mandiri, peran perawat terbatas pada membantu klien
meningkatkan kesehatannya melalui edukasi dan pelibatan keluarga dalam perawatan
klien.
Demikian pula pada ibu post SC yang mengalami komplikasi luka infeksi paska
pemulangan. Klien datang kembali ke rumah sakit karena membutuhkan bantuan
untuk mengatasi masalah luka infeksi. Aktivitas keperawatan diberikan kepada klien
berdasarkan pada keadaan dan tingkat kemandirian klien. Klien membutuhkan bantuan
perawat berupa perawatan luka infeksi, mengontrol atau mengurangi nyeri yang
diakibatkan infeksi baik dengan metode relaksasi dan distraksi ataupun penggunaan
obat analgetik, dan memenuhi kebutuhan lain yang tidak dapat dilakukan klien akibat
penurunan kemampuannya untuk melakukan self care.
Beberapa kasus mengharuskan klien untuk dilakukan operasi re-hecting atau reopen,
maka pada kondisi ini umumnya klien membutuhkan bantuan secara penuh
kembali (total), kemudian secara bertahap seiring dengan peningkatan kemampuan
klien, bantuan dapat bersifat partly/sebagian dan akhirnya diharapkan klien dapat
memenuhi kebutuhannya secara mandiri (self care). Klien memerlukan tindakan
supportive dan edukatif, sebagai contoh pemberian informasi cara perawatan luka
yang dapat dilakukan di rumah. Perawatan relatif sederhana dengan mencegah air

Model Konsep Dan Teori Keperawatan


membasahi bagian atas luka (menjaga agar luka tetap kering), mempertahankan
kebersihan luka, memantau tanda-tanda infeksi, mengkonsumsi makanan yang
adekuat, menghindari dari stress, memenuhi kebutuhan aktivitas dan istirahat yang
cukup (Burrows, Meyn, dan Weber, 2004).
Keterkaitan model dan teori keperawatan dalam asuhan keperawatan pada klien
dengan infeksi luka post SC paska pemulangan dapat dilihat pada skema berikut ini:
Skema 2:
Penerapan Model Konsep Teori Self Care Orem pada Asuhan Keperawatan
Konsep dan Teori
Kepe rawatan
Proses Keperawatan pada Klien
dengan Infeksi Luka Post SC Paska Pemulangan
Self Care
Orem
Pengkajian
• Tingkat kemandirian/ kebutuhan
self care:
• Universal self care requisites
• Development self care requisites
• Health deviation self care
requisites
• Pengkajian transkultural: tujuh
aspek (teknologi, agama & filosofi,
sosial, budaya & gaya hidup, politik
& hukum, ekonomi, pendidikan)
Perencanaan
• Meningkatkan kemandirian
• Mengidentifikasi budaya
Diagnosa Kep.
• Diagnosa self care:
• Totally
• Partial
• Self care
• Diagnosa transkultural: iden tifikasi
budaya yang mendukung
dan yang bertentangan dengan
kesehatan
Evaluasi
• Kemandirian klien
• Perilaku klien:
• Mendukung budaya
• Mempertahakan budaya
• Merubah perilaku budaya
Implementasi
• Implementasi self care:
• Wholly compensatory
• Partly compensatory
• Supportive educative (self care)
• Implementasi transkultural:
• Mempertahankan budaya
• Mengganti budaya
• Memodifikasi budaya
• Penanganan masalah yang ditimbulkan akibat komplikasi
infeksi luka post SC pasca pemulangan
• Peningkatan kemandirian klien
• Perubahan perilaku budaya klien yang mendukung
kesehatan
Peningkatan kualitas asuhan dan
pelayanan keperawatan maternitas
Sumber:
Modifikasi dari Aligood dan
Marriner-Tomey (2002).

Konsep Model Dan Teori Adaptasi “Roy” 15


Konsep dan teori keperawatan digunakan oleh perawat dalam mengaplikasikan
praktik keperawatan yang profesional. Salah satu konsep dan teori keperawatan yang
digunakan perawat sebagai landasan teori dalam mengaplikasikan praktik keperawatan
profesional adalah model konseptual keperawatan “adaptasi” Roy.
Konsep adaptasi Roy mengakomodasi pemberian asuhan keperawatan secara
komprehensif pada klien. Roy memandang individu secara holistik yang merupakan
satu kesatuan yang hidup secara konstan dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Dalam proses interaksi akan terus menerus terjadi perubahan baik internal maupun
eksternal yang dapat menjadi stressor, dan individu harus memelihara integritas
dirinya serta selalu beradaptasi dengan perubahan tersebut. Setiap tahap proses
keperawatan
meliputi semua aspek yang terkait dengan proses adaptasi klien misalnya
pada kondisi ibu hamil dengan asma bronchial yang memerlukan dukungan secara
psikologis, terutama dari keluarga dan pasangan. Untuk itu konsep model adaptasi
dapat pula dikombinasi/dilengkapi dengan model caring, karena perawat sebagai
petugas kesehatan yang berhadapan langsung dengan klien dan keluarga harus dapat
berperan dalam mengatasi masalah, salah satunya adalah dengan sifat caring.
Komitmen dan caring seringkali meningkatkan intuisi dan feeling sehingga
menemukan solusi yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh klien dan keluarga (Kozier,
1997). Pendekatan dinamis yang dilakukan perawat dalam asuhan keperawatan
dapat memfasilitasi potensi klien untuk mampu beradaptasi terhadap perubahan-

KONSEP MODEL DAN TEORI “ADAPTASI” RO Y


Restuning Widiasih, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Siti Saidah Nasution, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
16 Model Konsep Dan Teori Keperawatan
perubahan yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis dalam mempertahankan
kesejahteraan ibu dan janin (George, 1995; Pillitteri, 1999). Penerapan caring dalam
asuhan keperawatan bertujuan untuk memberikan pelayanan keperawatan secara
holistik, bermutu, dan berkualitas.
Teori adaptasi merupakan suatu pendekatan yang dinamis, di mana peran perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan adalah dengan memfasilitasi potensi klien
untuk melakukan adaptasi dalam menghadapi perubahan. Roy mengembangkan
model adaptasi dalam keperawatan, dengan asumsi dasar:
1. Pertama, manusia dipandang sebagai sistem adaptif yang mempunyai kemampuan
berespons terhadap stimulus apa pun, baik yang berasal dari lingkungan eksternal
maupun internal untuk mencapai kondisi sehat yang optimal.
2. Kedua, individu selalu berada pada rentang sehat-sakit yang berhubungan dengan
keefektifan yang dilakukan untuk memelihara kemampuan beradaptasi (Roy,1991;
Tomey, 2002).
Menurut Roy (1991), elemen proses keperawatan meliputi pengkajian tingkat
pertama dan kedua, diagnosa keperawatan, penentuan tujuan, intervensi dan evaluasi.
Fokus dari model ini adalah adaptasi dan tujuan pengkajian adalah mengidentifikasi
tingkah laku yang aktual maupun potensial dan memutuskan klien adaptif atau
maladaptif. Termasuk kebutuhan dasar manusia apakah dapat dipengaruhi oleh
kekurangan atau kelebihan. Misalnya pemenuhan kebutuhan oksigen terganggu
akibat penumpukan sekret, kecemasan, dan ketakutan akan keselamatan janin akibat
penyakit kronis yang diderita. Perawat menggunakan wawancara, mengobservasi dan
pengukuran untuk mengkaji perilaku klien sekarang pada setiap model.
Berikut merupakan langkah penerapan konsep model adaptasi Roy yang dicontohkan
pada kasus ibu hamil dengan asma bronchiale.
A. Pengkajian
1. Tahap I: Pengkajian Perilaku
Tahap pengkajian perilaku bertujuan mengumpulkan data dan memutuskan klien
adaptif atau maladaptif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara drastis.
Pengkajian tersebut meliputi: perubahan-perubahan fisiologis seperti terjadi sesak,
kesulitan bernapas, batuk, wheezing, tachicardi pada janin, aktivitas terbatas. Adaptasi
konsep diri meliputi pandangan klien terhadap kondisinya saat ini, harapan klien
terhadap janin dan kehamilan, kecemasan akan keselamatan diri dan janin, perasaan
tidak berdaya, tidak mampu menjalani proses kehamilan dengan normal, kehilangan
kemampuan menjadi wanita yang sempurna yang mampu melahirkan bayi dengan
selamat.
Konsep Model Dan Teori Adaptasi “Roy” 17
Adaptasi fungsi peran berhubungan dengan peran yang terganggu saat ini karena
ibu hamil yang menderita asma harus banyak istirahat, perubahan sebagai seorang
istri yang harus hamil dan melahirkan anak yang sehat dan selamat, mengurus anak
dan melaksanakan kegiatan rumah tangga, dan kesiapan menghadapi peran baru.
Adaptasi interdependensi seperti ketergantungan dan keterkaitan klien dengan orang
terdekat seperti suami, keluarga atau lingkungan sosial selama dirawat.
2. Tahap II: Pengkajian faktor-faktor yang Berpengaruh
Pengkajian tahap kedua, merupakan pengkajian yang berusaha mengenali penyebab
perilaku dengan mengidentifikasi stimulus yang menyebabkan gangguan adaptasi.
Tahap ini sangat penting karena memberi arah pemberian tindakan keperawatan
berdasarkan informasi yang dikumpulkan. Stimulus yang mempengaruhi perilaku
klien yaitu stimulus fokal, kontekstual, dan residual.
a. Identifikasi Stimulus Fokal
Stimulus fokal merupakan perubahan perilaku yang dapat diobservasi. Perawat dapat
melakukan pengkajian dengan menggunakan keterampilan melakukan observasi,
melakukan pengukuran dan wawancara, misalnya stimulus fokal pada ibu hamil
dengan ketuban pecah dini meliputi keluhan keluarnya air-air dari kemaluan dan tidak
dapat dihentikan, perut terasa kencang, kecemasan atau ketakutan yang diungkapkan
klien.
b. Identifikasi Stimulus Kontekstual
Stimulasi kontekstual dapat diidentifikasi oleh perawat melalui observasi, pengukuran,
wawancara dan validasi. Perawat juga perlu memahami faktor kontekstual yang
mempengaruhi mode adaptif adalah genetik, seks, tahap perkembangan, obat, alkohol,
tembakau, konsep diri, peran fungsi, interdependensi, pola interaksi sosial, koping
mekanisme, stress emosi dan fisik religi, dan lingkungan fisik (Martinez, 1976 dalam
Roy 1989). Pada stimulus kontekstual digali penyebab dari keluhan utama seperti
adanya keputihan saat hamil, perasaan sakit yang dirasakan seperti demam, kebiasaan
selama hamil seperti kebiasaan mengkonsumsi obat-obatan, kelelahan yang dialami
selama hamil, dan ekspresi kecemasan atau kegelisahan yang dapat diobservasi.
c. Identifikasi Stimulus Residual
Pada tahap ini yang mempengaruhi adalah pengalaman masa lalu. Helson dalam Roy
(1989) menjelaskan bahwa beberapa faktor dari pengalaman lalu dapat mengidentifikasi
stimuli residual. Tetapi sikap, kepercayaan, karakter adalah faktor residual yang sulit
diukur dan dapat memberikan efek pada situasi sekarang.
18 Model Konsep Dan Teori Keperawatan

B. Diagnosa Keperawatan
Merupakan proses penyesuaian terhadap masalah yang muncul dengan merujuk
pada status adaptasi klien. Dalam menetapkan diagnosa keperawatan, Roy (1991)
menyampaikan tiga alternatif yang digunakan, yaitu pertama, menggunakan tipologi
diagnosa yang berhubungan dengan empat model adaptasi; kedua, mengobservasi
tingkah laku yang berhubungan dengan stimuli; dan ketiga, sebagai kesimpulan
satu atau lebih model adaptasi yang berhubungan dengan stimuli. Contoh,
diagnosa keperawatan pada ibu hamil dengan asma yaitu: 1) Bersihan jalan napas
tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan produksi sekret; 2)
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai O2, dekstruksi
alveoli, kompliance paru tidak maksimal; 3) Risiko tinggi kegawatan pada janin
seperti tachycardia, kelahiran premature, pertumbuhan janin terhambat berhubungan
dengan suplai O2 yang tidak maksimal, terjadinya eksaserbasi dan serangan asma
yang berulang; 4) Cemas berhubungan dengan perubahan terhadap status kesehatan;
5) Antisipasi kehilangan janin, proses berduka berhubungan dengan risiko atau
aktual kehilangan janin atau cacat kongenital; 6) Potensial peningkatan kemampuan
beradaptasi klien, pasangan dan keluarga terhadap kondisi ibu hamil dengan penyakit
pernapasan kronis/asma bronchiale (Smeltzer dan Bare, 2002; Nanda, 2005).
C. Penentuan tujuan
Roy (1991) menyampaikan bahwa penentuan tujuan adalah penetapan yang jelas
tentang gambaran perilaku klien yang ingin dicapai dalam pemberian asuhan keperawatan
yang menunjukkan solusi dari masalah adaptasi. Tujuan keperawatan pada
ibu hamil dengan asma bronchial adalah adaptasi positif terhadap perubahan fisik
maupun psikologis dalam menghadapi proses kehamilannya. Intervensi keperawatan
yang dilakukan adalah tindakan untuk meningkatkan mekanisme koping dan adaptasi
klien terhadap perubahan baik fisik maupun psikologis.
D. Intervensi
Intervensi keperawatan dilakukan dengan tujuan mengubah atau memanipulasi
stimulus fokal, kontekstual dan residual, juga difokuskan pada koping individu atau
zona adaptasi, sehingga seluruh rangsang sesuai dengan kemampuan individu untuk
beradaptasi. Tindakan keperawatan berusaha membantu stimulus menuju perilaku
adaptif. Hal ini menekankan kembali pentingnya mengidentifikasi penyebab selama
pengkajian tahap II. Sebagai contoh intervensi pada ketuban pecah dini antara lain
observasi tanda vital ibu dan monitor terhadap nilai leukosit untuk mendeteksi adanya
infeksi, mempertahankan tirah baring, atur posisi, observasi terhadap kontraksi uterus,
Konsep Model Dan Teori Adaptasi “Roy” 19
tingkatkan kenyamanan dan pengetahuan untuk mengurangi kecemasan.
E. Evaluasi
Tahap akhir dari proses keperawatan menurut Roy adalah penilaian yang efektif terhadap
pelaksanaan rencana keperawatan berhubungan dengan tujuan yang direncanakan
dengan mengobservasi tingkah laku klien (Roy, 1991). Evaluasi dilakukan
dengan melihat pencapaian kriteria hasil. Kriteria hasil secara umum adalah ibu
dapat beradaptasi secara adaptif dengan mekanisme koping yang positif terhadap
kehamilannya dengan penyakit asma bronchial, mampu memenuhi kebutuhan
oksigen pada ibu dan janin, yang ditandai dengan respiratory rate, irama napas dalam
batas normal, pergerakan sputum maksimal dan keluar dari jalan napas, bebas dari
suara wheezing. Tidak ada tanda dan gejala atau komplikasi yang mengarah kepada
kegawatan ibu dan janin, seperti gagal napas, tachicardia, hipoksia, pre eklampsia,
perdarahan, pertumbuhan janin terhambat. Hasil observasi janin, irama dan pergerakan
dalam batas normal.
Model konseptual dan teori keperawatan adaptasi Roy dicontohkan pada kasus
ibu hamil dengan asma bronchiale menggunakan pendeketan proses keperawatan
digambarkan dalam skema berikut:
Skema 3:
Penerapan Model Konsep dan Teori Adaptasi pada Asuhan Keperawatan
Konsep dan Teori
Kepe rawatan
Proses Keperawatan pada Ibu Hamil dengan
Asma Bronchiale
“Adaptasi”
Roy
Pengkajian
Tahap I: fisiologi, konsep diri,
peran, interdependen.
Tahap II: pengkajian perilaku:
stimulus fokal, konstekstual,
dan residual
Perencanaan:
meningkatkan mekanisme
koping, dan daptasi
Diagnosa
Keperawatan
Evaluasi:
adaptif, maladaptif Implementasi: Aplikasi intervensi
dengan caring dan social support
Ibu hamil dengan asma bronchial dapat beradaptasi dengan
proses kehamilan, ibu dan janin sehat, selamat Dikutif dari Roy, 1991;
Tomey, 2002, Friedman, 1992.
20 Model Konsep Dan Teori Keperawatan

Bagian IINYAKIT
Grande Multipara 23
Grande Multipara
Ns. Yulia Irvani Dewi, M.Kep., Sp.Mat.
A. Pendahuluan
Kehamilan dan persalinan merupakan masa yang kritis pada seorang perempuan.
Pada masa ini terjadi perpindahan dari tahapan kehidupan ke tahapan kehidupan
lainnya yang dapat menimbulkan permasalahan. Kehamilan dan persalinan ini dapat
menyebabkan kematian, penyakit, dan kecacatan pada perempuan usia reproduksi.
Berdasarkan hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2002-
2003, angka kematian ibu (AKI) menempati urutan paling tinggi di Asia Tenggara yaitu
307/100.000 (Depkes, 2005). Setiap tahunnya kematian maternal sebanyak 13.778
orang atau setiap 2 jam terdapat 2 ibu hamil meninggal karena beberapa sebab (Azrul,
2005).
Penyebab kematian maternal dikategorikan menjadi dua, yaitu penyebab langsung
dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung kematian maternal pada umumnya
terjadi sekitar persalinan dan 90% karena komplikasi. Penyebab langsung kematian
ibu menurut SKRT 2001 adalah perdarahan (28%), eklamsia (24%), infeksi (11%),
komplikasi
puerperium (11%), abortus (5%), trauma obstetrik (5%), emboli obstetrik
(5%), persalinan lama/macet (5%), serta lainnya (11%) (Depkes, 2005).
Sedangkan penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status
gizi, rendahnya status kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu. SKRT
2001 menunjukkan bahwa 34% ibu hamil mengalami kurang energi kronis (KEK),
sedangkan 40% menderita anemia gizi besi (AGB). SDKI 2002-2003 menunjukkan
24 Konsep Penyakit
bahwa 22,4% ibu masih dalam keadaan “4 terlalu” yaitu 4,1% kehamilan terjadi pada
ibu berumur kurang dari 18 tahun (terlalu muda), 3,8% terjadi pada ibu berumur lebih
dari 34 tahun (tertalu tua), 5,2% persalinan terjadi dalam interval waktu kurang dari
2 tahun (terlalu sering) dan 9,3% ibu hamil mempunyai paritas lebih dari tiga (terlalu
banyak) (Depkes, 2005).
Grande multipara merupakan kehamilan risiko tinggi yang dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas pada ibu. Berdasarkan hasil penelitian bahwa perempuan
yang melahirkan lebih dari empat kali mempunyai risiko tinggi kematian pada masa
childbearing. Penyebab kematian ibu disebabkan oleh ruptur uteri, penyakit hipertensi
kronik, plasenta previa, solutio placenta, anemia, persalinan yang lama, malpresentasi
janin, persalinan dengan alat (vacum dan forcep), persalinan prematur, persalinan
dengan operasi sesar, dan perdarahan post partum (Toohey, 1995; Bugg, Atwal dan
Maresh, 2002; Simonsen, 2005).
Selain berdampak pada ibu, grande multipara juga dapat menimbulkan masalah
pada bayi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dampak grande multipara
pada janin atau bayi di antaranya adalah meningkatnya insiden makrosomia (16%),
neonatal tachypnea, fetal distress, APGAR score yang rendah, kelahiran prematur,
aspirasi mekonium dan kematian janin (Heija, Chalabi, dan Iloubani, 1998; Babinszki,
1999).
Pada persalinan, grande multipara sangat berisiko untuk terjadinya perdarahan
post partum. Perdarahan ini disebabkan oleh kontraksi uterus yang lemah (atonia
uteri) setelah anak lahir (Chalik, 1998; Cunningham 2001). Atonia uteri dialami
sekurang-kurangnya 5% pada perempuan melahirkan, khususnya grande multipara
(Bobak, Lowdermilk, Jensen, 2005). Perdarahan post partum dapat terjadi tiba-tiba
dan bahkan sangat masif. Komplikasi yang paling berat dari perdarahan post partum
adalah syok. Apabila penanganan syok kurang cepat dan tepat akan menyebabkan
kematian (Chalik, 1998).
Kematian dan kesakitan ibu berdampak besar secara sosial dan ekonomi. Apabila
seorang ibu meninggal, keluarga dan masyarakat dari ibu tersebut akan menurun
status ekonomi dan sosialnya. Lebih spesifik, keluarga kehilangan orang yang berperan
mengelola rumah tangga dan merawat anak-anak serta anggota keluarga yang lain.
Dari segi ekonomi akan merugi karena kehilangan kontribusi ibu sebagai tenaga kerja,
masyarakat merugi karena kehilangan anggota penting yang sering berperan sentral
dalam kehidupan sosial, dan anak paling menderita. Penelitian menunjukkan bahwa
apabila seorang ibu meninggal, anak-anaknya berisiko mati 3 sampai 10 kali lebih
tinggi dibanding anak-anak yang hidup dengan kedua orang tuanya. Anak-anak yang
tidak punya ibu dalam perkembangannya cenderung kurang mendapatkan pelayanan
kesehatan dan pendidikan yang memadai (Achadi, 2005).
Melihat masalah tersebut, maka Departemen Kesehatan Republik Indonesia
(Depkes RI) telah menetapkan kebijakan untuk menurunkan AKI sampai tahun 2010
Grande Multipara 25
sebesar 125/100.000 kelahiran hidup (Depkes, 2005). Berbagai kebijakan telah
ditetapkan pemerintah untuk menurunkan AKI seperti safe motherhood, suami siaga
dan berbagai upaya mencegah tiga terlambat (3T), Millennium Development Goals
(MDGs) dan gerakan sayang ibu (GSI) (Depkes, 2005).
Secara preventif pemerintah telah berupaya dengan menggalakkan program keluarga
berencana: pendewasaan usia perkawinan, pengaturan kelahiran dan pemberdayaan
ekonomi keluarga. Tujuan dari program ini adalah untuk mewujudkan keluarga yang
berkualitas. Perempuan berhak menentukan jarak dan waktu kehamilannya demi alasan
kesehatan fisik dan mental seorang ibu, tetapi juga berpengaruh pada anak yang tidak
mendapatkan pengasuhan secara memadai demi orangtua khususnya dari ibunya.
Sehingga akhirnya mempunyai hak dan pilihan tentang kesehatan reproduksinya.
Tindakan lainnya adalah meningkatkan pendidikan perempuan terhadap kesehatannya.
Pendidikan akan membantu perempuan untuk mendapatkan akses informasi
dan kemampuan mengambil keputusan atas tubuhnya. Pendidikan juga akan
menumbuhkan sifat kritis perempuan terhadap kesehatannya, sehingga menjadi sehat
merupakan suatu kebutuhan yang paling tinggi dalam kehidupannya. Namun menjadi
sehat tidak akan terwujud jika pencapaian ketergantungan finansial perempuan
terhadap laki-laki terus berlangsung, perempuan selalu merasa sebagai bagian dari
anggota keluarga yang tidak memiliki kewajiban untuk menghidupi keluarga. Oleh
karena itu perempuan tidak akan pernah keluar dari lingkaran ketergantungan. Hal ini
merupakan salah satu faktor utama tingginya AKI. Seringkali ketika ekonomi keluarga
sangat minim, suami tidak memberikan uang lebih agar dapat memeriksakan kehamilan
(Mulyadin, 2008).
Perempuan juga tidak berdaya untuk menyatakan bahwa ia tidak berkeinginan
untuk mempunyai anak lagi. Jika hal itu diinginkan dan sudah menjadi keputusan
suaminya. Bahkan jika keluarga tersebut merasa belum mempunyai anak laki-laki, dan
yang ada hanya anak perempuan walaupun jumlah anak tersebut sudah berjumlah
tiga atau empat mereka merasa belum pas atau puas.
Dari hasil studi pendahuluan penulis pada 48 orang ibu grande multipara, 14
orang yang melakukan sterilisasi. Berdasarkan hasil wawancara dengan lima orang
ibu bersalin grande multipara ditemukan beberapa alasan dan pandangan mereka
untuk mempunyai anak lebih dari empat orang. Alasan tersebut, di antaranya adalah:
banyak anak banyak rezeki, tidak diizinkan oleh suami untuk menggunakan alat
kontrasepsi, adanya keyakinan dari agama bahwa tidak boleh menghambat kehamilan
atau kehadiran anak, belum mendapatkan anak sesuai harapan keluarga seperti anak
laki-laki atau perempuan, dan kegagalan menggunakan alat kontrasepsi (Komunikasi
personal dengan Ny. A, Ny. S, Ny. R dan Ny. N, September – Desember 2007).
Pada ibu bersalin grande multipara, perawat memberikan bantuan yang tepat dan
cepat untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum. Tindakan tersebut adalah:
eliminasi dengan pengosongan kandung kemih, nutrisi, cairan dengan memasang infus,
26 Konsep Penyakit
pemantauan kontraksi uterus, pemantauan kesejahteraan janin, pemantauan kemajuan
persalinan, pemantauan perdarahan, dan tindakan kenyamanan selama persalinan.
Perawat maternitas merupakan tenaga kesehatan profesional yang memberikan
pelayanan kesehatan kepada individu pada masa kehamilan, melahirkan dan masa
nifas serta perawatan bayi baru lahir sesuai dengan kebutuhannya. Perawat ini
juga berperan untuk mengatasi masalah kesehatan perempuan untuk mencapai
fungsi reproduksi yang optimal berlandaskan pendekatan konsep keluarga (Word,
1997). Keperawatan maternitas mempunyai peranan besar dalam meningkatkan
kesejahteraan ibu dan anak. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan fisik
maupun psikososial. Disiplin ilmu ini memungkinkan perawat untuk menggunakan
berbagai teori dan metode dalam menganalisis permasalahan yang terjadi melalui
studi atau penelitian (Bobak, 2005).
Kelompok kerja keperawatan-Konsorsium Ilmu Kesehatan (CHS, 1993), menyatakan
bahwa keperawatan maternitas adalah pelayanan keperawatan profesional
yang ditujukan kepada klien yaitu perempuan usia subur (wus), pasangan usia subur
(pus) yang berkaitan dengan sistem reproduksi, wanita masa kehamilan, persalinan,
nifas, wanita antara dua kehamilan dan bayi baru lahir sampai usia 40 hari beserta
keluarganya. Pelayanan keperawatan yang diberikan berfokus pada pemenuhan
kebutuhan dasar dalam melakukan adaptasi fisik dan psikososial dengan menggunakan
pendekatan proses keperawatan.
Menurut Reeder et al. (1999) menyatakan bahwa keperawatan maternitas memberikan
asuhan keperawatan yang holistik dengan selalu menghargai klien dan
keluarga serta menyadari bahwa klien dan keluarga berhak menentukan perawatan
yang sesuai bagi dirinya. Semua individu mempunyai hak untuk lahir sehat dan
untuk meyakinkan hal itu maka setiap klien berhak mendapatkan pelayanan yang
berkualitas. Pengalaman melahirkan anak merupakan tugas perkembangan keluarga,
tetapi juga dapat mengkibatkan krisis situasi selama anggota keluarga tersebut tidak
merupakan satu kesatuan yang utuh.
Keperawatan maternitas juga meyakini bahwa peristiwa kelahiran adalah peristiwa
normal dan sehat dalam keluarga, yang membutuhkan adaptasi fisik dan psikososial
dari individu terkait, sehingga pelayanan keperawatan bersifat preventif dan suportif
dari pada kuratif. Dalam mempertahankan kesehatan klien diperlukan partisipasi aktif
dari keluarga (Reeder et al., 1999).

B. Pengertian Grande Multipara


Grande multipara adalah kondisi di mana seorang ibu pernah melahirkan lebih dari
4 kali (Simonsen et al., 2005). Sedangkan Great grand multiparity adalah ibu pernah
melahirkan lebih dari 10 kali (Jacquemyn et al., 2006).
Grande Multipara 27
Grande multipara merupakan kehamilan risiko tinggi yang dapat menyebabkan
morbiditas dan mortalitas pada ibu. Risiko komplikasi yang dapat ditemukan pada ibu
grande multipara adalah: anemia, penyakit hipertensi kronik, plasenta previa, solutio
placenta, persalinan yang lama, malpresentasi janin, persalinan dengan alat (vacum
dan forcep), persalinan prematur, persalinan dengan operasi sesar, ruptur uteri dan
perdarahan post partum (Toohey, 1995; Bugg, Atwal dan Maresh, 2002; Simonsen
et al., 2005; Matusiak et al., 2006).
Risiko yang paling sering pada persalinan grande multipara adalah terjadi perdarahan
pasca persalinan (Toohey et al., 1995; Lyrenass, 2002). Menurut Fuchhs dkk
(1985 dalam Cunningham, 2001), menyatakan bahwa perempuan yang paritas tinggi
seperti grande multipara kemungkinan berisiko mengalami atonia uteri. Atonia uteri
ini dapat menyebabkan perdarahan post partum sebesar 2,7 %, bahkan kejadiannya
bisa meningkat empat kali lipat dibandingkan dengan populasi obstetrik umum. Hal
ini diperkuat oleh penelitian Babinszki dkk (1999) melaporkan insiden perdarahan
post partum terjadi sebesar 0,3 % pada perempuan dengan paritas rendah, tetapi pada
perempuan paritas tinggi seperti grande multipara sebesar 1,9 %.
C. Perdarahan Post Partum
Perdarahan post partum adalah kehilangan darah 500 ml atau lebih setelah kelahiran
normal (Bobak, Lowdermik, dan Jensen, 2005; Winkjosastro, 2006; Gilbert dan
Harmon, 1998; Schuurmans, 2000; Wainscott, 2004). Chalik (1998) mendefenisikan
perdarahan post partum primer ialah perdarahan yang berjumlah lebih dari 500 ml dan
terjadi dalam batas waktu 24 jam pertama setelah anak lahir. Sedangkan perdarahan
post partum sekunder adalah perdarahan yang berjumlah melebihi lokhia dan yang
terjadi sesudah 24 jam pertama kelahiran sampai berakhirnya masa nifas. Lebih lanjut
Chalik menyatakan bahwa dalam praktik jumlah kehilangan darah sulit diukur dengan
tepat dan jumlahnya sering diperkirakan dengan tidak tepat. Frekuensi perdarahan
post partum adalah sebesar 5-15 % dari seluruh persalinan (Cunningham, 2001).
D. Penyebab Perdarahan Post Partum
Beberapa penyebab terjadinya perdarahan post partum: Atoni uteri (50-60%), Retensio
plasenta (16-17%), Sisa plasenta (23-24%), Laserasi jalan lahir (4-5%), Kelainan darah
(0,5-0,8%). Perdarahan post partum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta
dari rahim dan sebagian lagi belum, karena perlukaan pada jalan lahir atau atonia
uteri. Atoni uteri merupakan sebab terpenting perdarahan post partum. Atonia uteri
dapat terjadi karena proses persalinan yang lama, pembesaran rahim yang berlebihan
28 Konsep Penyakit
pada waktu hamil seperti pada hamil kembar atau janin besar, persalinan yang sering
(grande multipara) atau anestesi yang dalam (Chalik, 1998).
Lebih lanjut Chalik (1998) menyatakan bahwa atonia uteri juga dapat terjadi bila
ada usaha mengeluarkan plasenta dengan memijat dan mendorong rahim ke bawah
sementara plasenta belum lepas dari rahim. Beberapa menit setelah janin lahir, biasanya
mulai terjadi proses pelepasan plasenta disertai sedikit perdarahan. Bila plasenta
sudah lepas dan turun ke bagian bawah rahim maka uterus akan berkontraksi untuk
mengeluarkan plasenta (his pengeluaran plasenta).
Schuurmans dkk (2000) menyatakan ada empat hal penyebab terjadinya perdarahan
pada post partum yang dikenal dengan 4T (tone, tissue, trauma, dan thrombin): (1)
Abnormalitas kontraksi uterus, hal tersebut dapat diakibatkan oleh pembesaran uterus
yang berlebihan, biasanya terdapat pada kondisi hamil kembar, hidramnion, kelelahan
otot uterus, infeksi cairan amnion, anatomi dan fisiologis uterus yang terganggu. (2)
Adanya produk atau hasil konsepsi yang tertahan, misalnya pada kondisi abnormalitas
plasenta, tertahannya sisa kotiledon atau bekuan darah. (3) Trauma traktus genetalia
(laserasi serviks, vagina, perineum, laserasi seksio sesaria, ruptur uteri dan inversio
uteri). (4) Adanya koagulasi yang abnormal, dapat karena kondisi sebelumnya yang
memang sudah ada, misalnya pada kasus haemopholia, Von Willbrand disease, di
dapat saat kehamilan atau pada klien yang mendapat terapi antikoagulan.
Perdarahan post partum adakalanya merupakan perdarahan yang hebat maupun
perdarahan perlahan-lahan tetapi terus-menerus. Keduanya dapat menyebabkan
perdarahan yang banyak dan dapat menjadi syok. Oleh karena itu penting sekali
penatalaksanaan yang tepat untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum.
E. 4 (Empat) Penatalaksanaan Persalinan Grande Multipara
untuk Mencegah Perdarahan Post Partum
Penatalaksanaan dimulai dari kala I-kala IV sebagai berikut:
1. Kala I (Kala Pengeluaran)
Pada kala I serviks membuka sampai terjadi pembukaan 10 cm. Secara klinis dapat
dinyatakan mulainya persalinan apabila timbul his, blody show, disertai dengan
kemajuan persalinan. Pada kala ini terdiri dari 2 fase: fase laten pembukaan 0-4 cm, fase
aktif: 5-7 cm dan fase transisi pembukaan 8-10 cm (May dan Mahlmeismer, 2003).
Pendapat lain menyatakan bahwa fase laten adalah pembukaan serviks 0-3 cm,
dan fase aktif persalinan dari pembukaan 4 dan seterusnya dengan adanya aktivitas
uterus reguler, kontraksi menjadi kuat dan sering sampai kira-kira 3-4 kali kontraksi per
10 menit (Cunningham, 2001; Wiknjosastro, 2006). Lamanya kala I pada multipara
Grande Multipara 29
sekitar 7 jam (Wiknjosastro, 2006), dan persalinan dikatakan normal apabila selesai
dalam 24 jam (Pilliteri, 2003; Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2005).
Pada fase laten, his timbul diawali setiap 10-20 menit, durasi 15-20 detik intensitas
pada awal ringan terus berkembang sampai mencapai rata-rata 40 mmHg. Pada fase
ini ibu merasa tidak nyaman, namun masih dapat tersenyum, komunikasi lancar,
mampu menjawab pertanyaan, tampak gembira, mampu melakukan relaksasi, sadar
bahwa awal persalinan telah dialaminya (Varney, 1987 dalam Ladewig, London dan
Olds, 1998; May dan Malhmeimer, 2003).
Pada fase laten ini tindakan yang diberikan kepada ibu grande multipara adalah:
pasang infus, pemantauan pengeluaran pervaginam (cairan ketuban, darah, lendir
campur darah), pemantauan tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan),
pemantauan
kesejahteraan ibu dan janin, dan pemantauan kemajuan persalinan.
Pada saat fase aktif, mulai terjadi penurunan presentasi secara progresif. Kontraksi
uterus menjadi lebih sering, lebih lama dan intensitas menjadi lebih kuat. Pada fase ini
his terjadi 2-3 menit, durasi 60 detik, dengan intensitas kuat. Ibu merasa cemas karena
dirasakan nyeri setiap his, mulai mengalami rasa takut, kehilangan kontrol, penurunan
kemampuan aktivitas, kehilangan rasa kegembiraan, takut sendirian, kemampuan
relaksasi menurun sampai hilang, tegang, tidak percaya diri (Varney, 1987 dalam
Ladewig, London, dan Olds, 1998; May dan Malhmeimer, 2003).
Pada fase transisi, kontraksi uterus menjadi setiap 2 menit, durasi 60-75 bahkan
90 detik, dengan intensitas kuat. Pada fase ini kondisi yang dominan pada ibu adalah
cemas karena semakin meningkatnya nyeri akibat his, gelisah, takut sendirian, selalu
berubah posisi, gerakan tangan tak terkontrol sebagai tanda adanya nyeri, lelah, ibu
takut perutnya robek setiap munculnya his, muncul keraguan akan kemampuan untuk
melahirkan, iritabel, adakalanya tidak suka mendengarkan pembicaraan atau disentuh
(Varney, 1987 dalam Ladewig, London dan Olds, 1998; May dan Malhmeimer, 2003).
Keluhan utama klien pada kala I adalah nyeri. Nyeri tersebut bersifat viseral yang
disebabkan oleh kontraksi uterus, dilatasi serviks, tekanan bagian terendah janin pada
segmen bawah rahim (SBR), regangan ligamen uterus dan vagina (Gorrie et al, 1998;
Sherwen et al, 1999; May dan Mahlmeister, 2003; Bobak, Lowdermilk, dan Jensen,
2005).
Pada saat fase aktif dan transisi, pemantauan terhadap ibu lebih intensif, memberikan
kenyamanan, memantau kemajuan persalinan, memantau kesejahteraan janin
setiap 10-15 menit, menganjurkan ibu miring kiri, memotivasi ibu menggunakan
teknik relaksasi, memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan, mengosongkan kandung
kemih, memotivasi keluarga untuk memberikan dukungan psikososial.
30 Konsep Penyakit
2. Kala II
Kala II dimulai ketika pembukaan serviks lengkap dan berakhir dengan lahirnya seluruh
tubuh janin. Kala II persalinan berlangsung selama satu jam untuk primigravida dan
setengah jam untuk multigravida. Pada perempuan yang mempunyai paritas lebih
tinggi dengan vagina dan perineum yang lemas untuk menyelesaikan kelahiran bayi,
cukup membutuhkan dua atau tiga dorongan setelah pembukaan serviks lengkap
(Cunningham, 2001).
Pada kala II persalinan, his menjadi lebih kuat dan menjadi cepat, kira-kira 2-3
menit sekali. Pada multigravida biasanya kepala janin sudah masuk di ruang panggul,
maka pada saat his dirasakan tekanan pada dasar-dasar otot panggul yang secara
reflektoris menimbulkan rasa mengedan. Ibu merasa pula tekanan kepada rektum
dan hendak buang air besar (BAB). Kemudian perineum mulai menonjol dan menjadi
lebar serta anus membuka. Hal yang perlu diperhatikan pada ibu grande multipara
adalah terjadinya persalinan presipitatus dan perdarahan.
3. Kala III
Kala III dimulai dengan keluarnya bayi dari uterus dan diakhiri dengan keluarnya
plasenta. Setelah bayi lahir, uterus teraba keras dengan fundus uteri agak di atas pusat.
Beberapa menit kemudian uterus berkontraksi lagi untuk melepaskan plasenta dari
dindingnya. Biasanya plasenta lepas dalam 5 sampai 15 menit setelah bayi lahir dan
keluar spontan atau dengan tekanan pada fundus uteri. Pengeluaran plasenta disertai
dengan pengeluaran darah.
Tindakan pencegahan perdarahan post partum pada grande multipara yaitu menerapkan
manajemen aktif kala III. Tindakan yang dapat dilakukan pada manajemen
aktif kala III menurut WHO (2002) yaitu:
a. Penggunaan Obat Uterotonika
Penyuntikan obat uterotonika segera setelah bayi lahir adalah salah satu intervensi yang
paling penting digunakan untuk mencegah perdarahan post partum. Obat uterotonika
yang paling sering digunakan adalah oksitosin, ergometrin dan misoprostol (Jordan,
2004). Oksitosin sangat efektif dalam mengurangi kasus perdarahan post partum dan
persalinan kala III. Oksitosin diberikan lewat intramuskuler sebanyak 10 Internasional
Unit (IU).
Ergometrin memiliki efek stimulan yang bekerja terhadap uterus. Awitan kerjanya
berada dalam tempo satu menit setelah penyuntikan intravena, tiga hingga tujuh menit
pada penyuntikan intramuskuler, dan sampai sepuluh menit jika preparat ini diberikan
peroral.
Misoprostol (cytotec) adalah suatu analog sintesis dari prostaglandin. Misoprostol
menyebabkan rahim berkontraksi sehingga dapat mengurangi perdarahan pasca
Grande Multipara 31
persalinan. Misoprostol memiliki manfaat potensial termasuk mudah diberikan melalui
mulut atau anus, murah dan stabil. Beberapa studi klinis kecil menunjukkan bahwa
400 sampai 600 mcg misoprostol diberikan lewat mulut memiliki efektivitas seperti
oksitosin atau syntometrine (Bulgaho, 2001; Jordan, 2004).
b. Penjepitan Tali Pusat dan Penegangan Tali Pusat Terkendali
Setelah bayi keluar, tali pusat segera dijepit dan dipotong dan lakukan penegangan
tali pusat. Penegangan tali pusat ini bertujuan untuk melihat pelepasan plasenta.
Pelepasan plasenta diindikasikan dengan tanda-tanda: (1) fundus yang berkontraksi,
(2) perubahan bentuk uterus dari bentuk cakram menjadi bentuk oval bulat, sewaktu
plasenta bergerak ke arah segmen bagian bawah, (3) darah berwarna gelap keluar
dengan tiba-tiba dari introitus, (4) tali pusat bertambah panjang dengan majunya
plasenta mendekati introitus (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2005).
Apabila plasenta belum lahir 1/2 jam setelah anak lahir, harus diusahakan untuk
mengeluarkannya. Salah satu cara untuk mengeluarkan plasenta adalah cara Brandt
(Wiknjosastro, 2006). Dengan salah satu tangan, penolong memegang tali pusat
dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut atas simfisis diarahkan
ke bawah belakang, maka badan rahim akan terangkat. Pada grande multipara,
penarikan tali pusat harus dilakukan secara hati-hati karena tali pusat cenderung rapuh
(Wiknjosastro, 2006).
Apabila plasenta telah lepas, maka tali pusat tidak tertarik keatas. Kemudian
tekanan diatas simfisis diarahkan ke bawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini
dilakukan tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta.
c. Mengeluarkan Plasenta
Setelah plasenta terlepas, meminta ibu untuk meneran sambil penolong menarik
tali pusat ke arah bawah dan kemudian ke atas, mengikuti kurve jalan lahir sambil
meneruskan tekanan berlawanan arah pada uterus (Wiknjosastro, 2006). Jika plasenta
terlihat di introitus vagina, melanjutkan kelahiran plasenta dengan menggunakan kedua
tangan. Penolong memegang kedua plasenta dengan dua tangan dan dengan hati-hati
memutar plasenta sehingga selaput ketuban terpilin. Dengan lembut dan perlahan
melahirkan selaput ketuban tersebut. Setelah plasenta dan membrannya keluar,
perawat memeriksa apakah plasentanya utuh untuk memastikan tidak ada bagian
yang tertinggal di dalam rongga uterus (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2005).
d. Rangsangan Taktil (Pemijatan) Uterus
Segera setelah plasenta dan selaput ketuban lahir, melakukan massage ringan pada
uterus, meletakkan telapak tangan difundus dan melakukan massage dengan gerakan
sirkuler dengan lembut hingga uterus akan berkontraksi (fundus menjadi keras).
32 Konsep Penyakit
Jika terjadi perdarahan hebat setelah plasenta lahir dan kontraksi uterus lemah
telungkupkan telapak tangan pada fundus uteri dan rasakan kontraksi uterus setelah
itu massage dengan gerakan memutar pada fundus uteri dan lakukan terus sampai
uterus dapat berkontraksi. Setelah uterus dapat berkontraksi baik, letakkan jari jemari
di belakang fundus dan dorong keluar agar bekuan darah keluar, simpan wadah di
depan vulva untuk menampung darah yang keluar dan hitung jumlah perdarahan
kemudian dokumentasikan.
4. Kala IV
Disebut dengan Kala IV diawali dengan keluarnya plasenta dan berakhir ketika uterus
tidak kontraksi lagi, yaitu saat bahaya perdarahan post partum telah lewat. Kala IV
mungkin menjadi lebih panjang pada multipara daripada primipara, tetapi biasanya
rata-rata 4 sampai 12 jam.
Selama satu jam pertama, perlu dilakukan pemeriksaan fisik dengan sering.
Semua faktor, kecuali suhu tubuh diperiksa setiap 15 menit selama satu jam. Setelah
pemeriksaan setiap 15 menit yang keempat. Jika semua parameter telah stabil dalam
batas-batas normal, pemeriksaan diulang dua kali lagi dengan selang waktu 30
menit.
Tindakan yang lain untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum adalah
Inisiasi Menyusu Dini (IMD). IMD pada satu jam pertama dapat meningkatkan potensi
keberhasilan menyusui secara ekslusif selama enam bulan dan dilanjutkan dengan
makan pendamping ASI sampai bayi berumur dua tahun. Manfaat yang lain adalah
mencegah terjadinya perdarahan post partum. Isapan bayi pada payudara akan
merangsang pelepasan oksitosin (Jones, 2003; Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2005;
Edmond, 2006).
Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan Klaus (1998) yang
menyatakan bahwa gerakan dan hentakan kaki bayi pada saat mencari puting ibu,
akan memberikan rangsangan secara alami pada uterus ibu. Rangsangan ini akan
membuat uterus berkontraksi sehingga perdarahan tidak terjadi.
Pengkajian tanda-tanda perdarahan intensif untuk grande multipara: (1) Nadi dan
pernapasan lebih cepat, tekanan darah menurun, (2) Oliguria, (3) Perkiraan jumlah
darah yang keluar lebih banyak, (4) Rahim lembek (kontraksi uterus tidak baik), (5)
Tinggi fundus uteri bertambah (Chalik, 1998).
Selama proses bersalin ibu membutuhkan perawatan baik fisik maupun psikososial.
Perawat harus membantu ibu memenuhi kebutuhan fisiknya selama persalinan
dengan melakukan intervensi keperawatan. Beberapa kebutuhan fisik individu pada
proses persalinan yang harus dipenuhi akan dijelaskan sebagai berikut: (1) Nutrisi
dan cairan, diberikan untuk mencukupi kebutuhan kalori dan menjaga hidrasi klien,
makanan padat tidak boleh diberikan selama persalinan aktif karena perubahan sistem
Grande Multipara 33
pencernaan klien; (2) Eliminasi, pengosongan kandung kemih harus dilakukan secara
berkala sepanjang waktu proses persalinan karena kandung kemih yang penuh dapat
menghambat penurunan bagian presentasi janin dan distensi yang berlebihan akan
menyebabkan atonia, cidera dan kesulitan berkemih pada post partum. Eliminasi
fekal harus dilakukan dengan teliti untuk menghindari salah persepsi tekanan rektum
oleh bagian presentasi janin sebagai kebutuhan untuk buang air besar; (3) Higiene
umum, meliputi mandi atau mengelap badan, vulva higiene, oral higiene, rambut
dan pakaian harus dijaga untuk rasa nyaman, menambah rasa percaya diri klien
dan meminimalkan risiko infeksi; (4) Posisi dan aktivitas, bantu ibu untuk mengatur
posisi yang nyaman, sedangkan ambulasi ke kamar mandi dan sekitar ruangan tempat
bersalin diperbolehkan untuk klien jika ketuban belum pecah; (5) Kontrol rasa nyeri,
perawat membantu klien melakukan teknik relaksasi, latihan peregangan otot maupun
upaya mengontrol nyeri lainnya yang bisa dilakukan klien (Hamilton, 1995; Bobak,
Lowdermilk dan Jensen, 2005).
34 Konsep Penyakit
Kehamilan Ektopik Terganggu (Ket) 35
A. Pendahuluan
Kualitas pelayanan kesehatan perempuan dapat dinilai dari angka kematian ibu (AKI),
di mana AKI di Indonesia masih tertinggi di Asia Tenggara, yaitu mencapai 307 per
100.000 kelahiran hidup, dengan demikian kualitas pelayanan kesehatan perempuan
masih rendah. Penyebab utama tingginya AKI di Indonesia adalah perdarahan yang
terjadi saat kehamilan sampai post partum, perdarahan pada kehamilan trimester
pertama terutama oleh karena kehamilan ektopik adalah salah satu penyebabnya
(Depkes RI, 2004).
Ectopic berasal dari bahasa Yunani ektopos yang artinya di tempat luar, dengan
demikian kehamilan ektopik diartikan sebagai suatu kehamilan dengan ovum yang
sudah dibuahi menempel di jaringan yang bukan dinding rahim. Kehamilan ektopik
merupakan masalah besar bagi ibu masa childbearing (Bobak et al, 1995; Gilbert,
Elizabeth, Harmon, 1998; Cunningham, 2006; Prawirohardjo, 2006).
Kehamilan Ektopik Terganggu (KET) adalah kehamilan ektopik yang sudah merupakan
komplikasi kehamilan yang berbahaya bagi ibu yang bersangkutan berhubung
besarnya kemungkinan terjadi keadaan yang gawat darurat yang mengancam nyawa
ibu dan kelangsungan hidup janin. KET merupakan salah satu penyebab mortalitas ibu,
khususnya kehamilan trimester pertama, karena manifestasinya yang cukup dramatis,
perdarahan dan nyeri yang diakibatkan (Tenore, 2000; Sepilian, 2007). Kondisi
gawat darurat yang dimaksud pada kasus KET di atas meliputi syok hipovolemik dan

KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)


Ns. Umi Sukowati, SH., M.Kep., Sp.Mat.
36 Konsep Penyakit
neurogenik, yang apabila tidak mendapat pertolongan segera akan menyebabkan
kematian bagi ibu.
Upaya mengatasi kegawatdaruratan kehamilan ektopik dimulai pada abad ke-11
sampai pertengahan abad ke-18 tetapi saat itu selalu gagal. Intervensi operasi pertama
kali berhasil menangani kehamilan ektopik di New York pada tahun 1759 (Bard
dalam Sepilian, 2007). Angka kematian akibat KET tersebut dapat diturunkan setelah
ditemukan dan berkembangnya anestesi, antibiotik, dan transfusi darah pada awal
abad 20 (Sepilian, 2007).
Akibat lain dari KET adalah kemungkinan terjadi infertil, timbul komplikasi baik
dari tindakan operasi maupun dari transfusi darah. Selain menyebabkan masalah yang
sifatnya fisiologis, KET juga menyebabkan masalah psikologis, yaitu masalah berduka
karena kehilangan janinnya.
KET merupakan kasus yang dapat dihadapi oleh tenaga kesehatan, dari perawat
sampai dokter ahli dalam berbagai bidang. Namun demikian, karena sangat beragamnya
gambaran klinik KET menyebabkan penanganan mengalami keterlambatan. Kondisi
ini semakin memperburuk keadaan ibu dan sekaligus memperburuk prognosa
serta kemungkinan menyebabkan kematian. Oleh karena itu, ibu yang mengalami
keterlambatan haid disertai dengan nyeri perut bagian bawah, perlu dipertimbangkan
kemungkinan KET.
Kehamilan ektopik bisa terjadi tanpa menimbulkan tanda dan gejala yang
mengganggu ibu, karena hasil konsepsi diserap kembali oleh ibu. Hal ini menyebabkan
tidak terdeteksinya jumlah kehamilan ektopik yang sebenarnya, sehingga dokumentasi
insiden dan prevalensi kehamilan ektopik belum sesuai dengan kejadian yang
sebenarnya. Apabila deteksi dini dilakukan dengan baik maka akan ditemukan kehamilan
ektopik yang lebih banyak. Sampai saat ini yang terdeteksi adalah kehamilan
ektopik yang sudah menyebabkan gangguan pada ibu yang disebabkan oleh pecahnya
tuba sehingga menyebabkan perdarahan sampai syok hipovolemik (Tenore, 2000).
Insiden kehamilan ektopik yang menimbulkan masalah kesehatan ibu dan janin
di masyarakat bervariasi, rata-rata sekitar 1 kehamilan ektopik dalam setiap 100
kehamilan, dan 95% di antaranya adalah KET. Insiden KET juga lebih tinggi pada
ibu dengan infeksi tuba, operasi tuba, penggunaan IUD dan resiko kematian akibat
kehamilan ektopik terganggu lebih besar daripada angka persalinan pervaginam atau
induksi aborsi (Tenore, 2000; Cunningham, 2006; Sepilian, 2007).
Dilaporkan adanya kecenderungan terjadinya peningkatan insiden yang signifikan
dari tahun 1970 1992 dari 4,5/1000 kehamilan mencapai 19,7/1000 kehamilan.
Terjadi penurunan angka kematian maternal akibat kehamilan ektopik pada tahun
1979 sampai 1986 sebesar 13% menjadi 9% pada tahun 1992 (Tenore, 2000; Sepilian,
2007).
Adanya kecenderungan peningkatan insiden kehamilan ektopik tersebut disebabkan
karena telah berkembangnya alat diagnostik canggih, semakin banyak kehamilan
Kehamilan Ektopik Terganggu (Ket) 37
ektopik yang didiagnosa sehingga semakin tinggi pula insiden dan prevalensinya.
Demikian juga dengan keberhasilan kontrasepsi juga meningkatkan persentase
kehamilan ektopik, karena kontrasepsi hanya menurunkan angka kejadian kehamilan
intrauterine, bukan kehamilan ektopik. Hal lain yang menyebabkan meningkatnya
kejadian kehamilan ektopik adalah karena meningkatnya prevalensi infeksi tuba
(Tenore, 2000; Cunningham, 2006; Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2006; Sepilian,
2007).
Data insiden kehamilan ektopik secara nasional tidak ditemukan. Penelitian yang
dilakukan di RSUP Manado selama 2 tahun didapatkan 67 kasus KET, terbanyak pada:
usia 25-29 tahun (34,33%), pada paritas 2 (46,27%), akseptor KB suntik (31,34%), lokasi
di ampula tuba (83,58%), terbanyak terdeteksi pada umur kehamilan 5-9 minggu, dan
riwayat PID (31,34%), riwayat operasi apendik (5,97%). Dari hasil penelitian tersebut
disimpulkan bahwa KET berhubungan dengan karakteristik tertentu yaitu infeksi tuba,
penggunaan kontrasepsi dan riwayat operasi sebelumnya (Suryawan dan Suparman,
2004).
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa KET menyebabkan masalah serius
dalam bidang obstetri ginekologi baik secara fisik maupun psikologis yang sangat
menurunkan kualitas kesehatan reproduksi perempuan terlebih bila salah diagnosa
dan terlambat dalam pemberian pertolongan. Insiden KET memang tidak banyak, tetapi
dampaknya sangat serius terutama pada kualitas kesehatan reproduksi perempuan
maka cukup tepat apabila hal ini dibahas dalam makalah.
Masalah yang muncul sebagai akibat KET tentu saja membutuhkan peranan perawat
khususnya perawat maternitas untuk memberikan bantuan kepada ibu yang sedang
dalam ancaman masalah fisiologis ditambah kecemasan dan kesedihan yang dialami
oleh ibu yang mengalami KET untuk meringankan penderitaannya. Peranan perawat
maternitas pada kasus KET adalah bagaimana secepatnya dapat menetapkan adanya
kehamilan ektopik sehingga ibu dengan KET dapat segera mendapat pertolongan
yang tepat dengan demikian akan menurunkan morbiditas dan mortalitas dengan cara
melaksanakan intervensi mandiri maupun kolaborasi dengan tim kesehatan utamanya
dokter. Selain itu perawat maternitas juga harus dapat menghilangkan setidaknya
menurunkan
kecemasan dan kesedihan yang dialami pasien berkaitan dengan masalah
fisiologis akibat KET ataupun masalah psikologis yang berhubungan dengan hilangnya
janin ibu.
B. Definisi
Kehamilan ektopik terjadi bila ovum yang dibuahi berimplantasi dan tumbuh di luar
endometrium kavum uteri. Makna dari definisi tersebut adalah walaupun hasil konsepsi
berimplantasi di dalam organ uterus (intra uteri) tetapi tidak didalam endometrium
38 Konsep Penyakit
misalnya di tuba, di kanalis servikalis dikatakan sebagai kehamilan ektopik. Dengan
demikian istilah kehamilan ektopik lebih tepat daripada istilah kehamilan ekstrauterine
(May dan Mahlmeister, 1994; Bobak, 2006; Wibowo, 2006).
Sebagian besar kehamilan ektopik terjadi di tuba (Cunningham, 2006; Wibowo,
2006; Sepilian, 2007). Berdasarkan implantasi hasil konsepsi pada tuba, terdapat
kehamilan tuba, kehamilan parsisthmika tubae, kehamilan fimbriae. Sedangkan
kehamilan di luar tuba ialah kehamilan ovarial, kehamilan servikal, kehamilan cornual
dan kehamilan abdominal yang primer atau sekunder (May dan Mahlmeister, 1994;
Bobak, 2006; Wibowo dalam Wignjosastro, 2006; Cunningham, 2006; Sepilian
2007).
Gambar 1:
Lokasi Kehamilan Ektopik
Keterangan: (A) Kehamilan Ampularis; (B) Kehamilan Ismika; (C) Kehamilan Fimbriae; (D) Kehamilan
Cornual; (E) Kehamilan Abdominal; (F) Kehamilan Ovarian;
(G) Kehamilan Servikal. (Sumber: Sepilian, 2007)
C. Etiologi dan Faktor Predisposisi
Penyebab kehamilan ektopik bervariasi, dan sebagian besar tidak diketahui dengan
pasti. Pada dasarnya disebabkan segala hal yang menghambat perjalanan zigot
menuju kavum uteri.
Sebagian besar kehamilan ektopik terjadi di tuba, sehingga hal-hal yang berkaitan
dengan adanya suatu masalah di tuba dapat menjadi penyebab terjadinya kehamilan
ektopik, karena fertilisasi hasil konsepsi pada endometrium kavum uteri akan
terhalangi. Faktor-faktor yang menjadi penyebab kerusakan tuba adalah infeksi pada
tuba, hipoplasia lumen tuba sempit dan berkelok-kelok, operasi plastik tuba atau
sterilisasi yang tidak sempurna, perlekatan tuba akibat operasi non ginekologis, AKDR
(Tenore, 2006; Sepilian, 2007).
Kehamilan Ektopik Terganggu (Ket) 39
Faktor lain di luar tuba yang dapat menyebabkan kehamilan ektopik adalah adanya
tumor di luar tuba yang menekan tuba sehingga menyempitkan lumen tuba, migrasi
luar ovum misalnya ovum dari ovarium kanan migrasi ke tuba kiri atau sebaliknya yang
dapat memperpanjang perjalanan telur yang telah dibuahi (Bobak dan Jensen,1984;
Gilbert dan Harmon, 1993; Sepilian, 2007; Prawirohardjo, 2006; Wibowo, 2006).
D. Patologi
Proses implantasi hasil konsepsi di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di
kavum uteri. Namun tuba bukan merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan
hasil konsepsi tersebut. Karena pembentukan desidua di tuba tidak sempurna bahkan
kadang-kadang tidak tampak, selain itu vaskularisasi kurang baik. Kondisi tersebut
menyebabkan villi korialis menembus endosalping dan masuk ke lapisan otot-otot
tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Terdapat tiga kemungkinan yang terjadi dari implantasi hasil konsepsi tersebut
(Prawirohardjo, 2006; Cunningham, 2006):
1. Hasil konsepsi mati dan kemudian diresorbsi, dalam kondisi ini seringkali adanya
kehamilan yang tidak diketahui dan perdarahan yang terjadi dianggap sebagai
perdarahan haid yang terlambat. Ibu tidak mengeluh apa-apa, hanya merasa
haidnya terlambat beberapa hari.
2. Trofoblas dan vilus-vilus korealis menembus lapisan pseudokapsularis dan menyebabkan
perdarahan dalam lumen tuba. Darah tersebut menyebabkan pembesaran
tuba (hematosalping), dan dapat mengalir ke rongga peritonium berkumpul di
kavum Douglasi dan menyebabkan hemato retrouterina. Hasil konsepsi dapat
keluar dari osteum tubae, kondisi ini disebut dengan abortus tuba.
3. Trofoblas dan vilus-vilus korealis menembus lapisan muskularis dan peritonium
pada dinding tuba dan menyebabkan perdarahan langsung ke rongga peritoneum.
Hal tersebut dapat menyebabkan perdarahan banyak karena mengalir bebas dalam
rongga peritoneum sehingga dapat menyebabkan keadan gawat pada penderita.
Implantasi yang terjadi di pars interstisialis di mana sebagian jaringannya adalah
miometrium yang tidak cepat ditembus oleh vilus korealis, sehingga kehamilan
dapat bertahan terus sampai usia kehamilan mencapai 16-20 minggu, menyebabkan
perdarahan hebat saat ruptur. Ruptur juga bisa terjadi pada dinding tuba yang menghadap
ke mesosalping, darah mengalir di antara dua lapisan mesosalping dan kemudian
ke ligamentum latum, sehingga menyebabkan hematoma intraligamenter.
Bila robekan tuba kecil, konsepsi tidak dikeluarkan dari tuba dan dapat diresorbsi
oleh tubuh. Tetapi bila robekan tuba besar, konsepsi keluar dari tuba masuk ke dalam
abdomen sehingga menjadi kehamilan abdominal sekunder (Prawirohardjo, 2006;
Cunningham, 2006).
40 Konsep Penyakit
Walaupun tidak berisi mudigah, tetapi uterus tetap menunjukkan adanya tandatanda
kehamilan, tanda ini disebut dengan ”Arias Stella”. Setelah janin mati, ibu akan
mengalami perdarahan pervaginam yang disebabkan oleh luruhnya endometrium
(Cunningham, 2006; Prawirohardjo, 2006).
E. Gambaran Klinik
Gejala dan tanda KET sangat bervariasi, namun pada prinsipnya gambaran tanda dan
gejala KET meliputi tiga gejala klasik (trias klasik), yaitu adanya nyeri, perdarahan dan
amenorea yang akan diuraikan sebagai berikut.
Nyeri hampir dikeluhkan oleh semua pasien KET yang mula-mula dirasakan pada
bagian perut bawah dan terdapat pada satu sisi tetapi setelah perdarahan banyak rasa
nyeri dirasakan di seluruh perut. Darah dalam rongga perut ini dapat merangsang
diafragma, sehingga menyebabkan nyeri bahu dan bila membentuk hematokel
retrouterina menyebabkan nyeri saat defekasi. Nyeri yang disebabkan oleh rupturnya
tuba dirasakan lebih hebat dibandingkan dengan nyeri yang disebabkan oleh abortus
tuba. Nyeri yang hebat dapat menyebabkan syok neurogenik (Prawirohardjo, 2006;
Cunningham, 2006).
Gejala berikutnya adalah perdarahan pervaginam. Adanya perdarahan merupakan
tanda bahwa janin sudah mati sehingga menyebabkan luruhnya endometrium.
Frekuensi perdarahan ditemukan sekitar 51-93% pada kasus KET (Wibowo, 2006;
Cunningham, 2006).
Trias gejala klasik ketiga adalah adanya keluhan amenorea, namun adakalanya
pasien tidak mengalami amenorea sampai diagnosa KET ditegakkan disebabkan janin
mati sebelum siklus haid berikutnya. Frekuensi amenorea yang ditemukan pada KET
sekitar 23-97% (Wibowo, 2006; Cunningham, 2006). Dari pemeriksaan ginekologi,
didapatkan gejala rasa nyeri pada serviks pada saat digerakkan, kavum douglas menonjol
dan nyeri pada perabaan.
Kondisi pasien secara umum dipengaruhi oleh banyaknya perdarahan. Ruptur
tuba yang besar dapat mengakibatkan perdarahan banyak, sehingga pasien dapat
mengalami syok hipovolemik yang ditandai suhu badan menurun, nadi cepat, tekanan
darah menurun, dan akral teraba dingin. Selain menyebabkan syok, perdarahan
kedalam abdomen juga menyebabkan timbulnya cairan bebas di abdomen sehingga
perut tegang dan nyeri tekan (Prawirohardjo, 2006; Cunningham, 2006).
F. Diagnosis
Diagnosa KET ditegakkan dari keluhan dan hasil pemeriksaan baik fisik maupun
penunjang
diagnostik dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) dari keluhan
Kehamilan Ektopik Terganggu (Ket) 41
didapatkan keluhan nyeri, perdarahan pervaginam dan amenore; 2) pemeriksaan
umum didapatkan pasien tampak kesakitan, penurunan tekanan darah, peningkatan
frekuensi denyut nadi, akral dingin, konjungtiva pucat, perut tegang dan nyeri tekan;
3) pemeriksaan ginekologi didapatkan nyeri saat portio digoyang, kavum douglas
menonjol; 4) pada pemeriksaan laboratorium didapatkan βhCG (+), Hb menurun.
Sedangkan pada pemeriksaan penunjang diagnostik didapatkan sebagai berikut: (1)
dengan kuldosintesis didapatkan adanya cairan bebas (darah) dalam kavum douglas;
(2) dengan lapaoraskopi didapatkan adanya perubahan atau kelainan pada tuba; (3)
dengan USG dapat ditemukan adanya perubahan endometrium yang menunjukkan
tanda kehamilan tetapi tidak ditemukan mudigah, adanya masa dan cairan bebas di
kavum douglas (Prawirohardjo, 2006; Cunningham, 2006).
G. Diagnosis Deferensial
Untuk menegakkan diagnosa KET dapat dibandingkan dengan penyakit lain pada
organ reproduksi dan pencernaan, yang dapat diuraikan berikut ini:
Kehamilan
Ektopik Apendisitis Salpingitis
Ruptur Kista
Korpus Luteum
Abortus
Nyeri Kram unilateral
dan nyeri sebelum
rupture
Nyeri pada
kanan bawah
Nyeri tekan
terlokalisisr
pada titik Mc
Burney, nyeri
saat dilepas.
Nyeri pada kedua
kuadran bawah
dengan atau
tanpa nyeri lepas.
Awal nyeri uni
lateral tetapi
berkembang
menyeluruh jika
disertai
peradarah
progresif.
Kram di garis tengah.
Mual, muntah
Sering setelah
rupture, kadangkadang
sebelum
rupture.
Sering sebelum
nyeri beralih
ke kuadran kanan
bawah.
Jarang Jarang Hampir tidak ada
Menstruasi Tidak menstruasi,
spoting.
Tidak berhubungan
dengan menstruasi.
Hipermenore,
metoragia atau
keduanya.
Menstruasi tertunda
kemudian
terjadi perda
rahan sering
disertai nyeri.
Amenorea, kemudian
spoting disusl peradarahan
cepat.
Temperatur
dan nadi
37,2 – 37,8OC,
nadi normal sebelum
rupture cepat
setelah rupture.
37,2 – 37,8OC,
nadi cepat:
99-100.
37,2 – 40OC, nadi
cepat sesuai peningkatan
suhu.
Tidak lebih dari
37,2OC. Nadi
normal keculai
terjadi perdarahan
banyak.
Sampai 37,2OC jika
spontan, sampai 40OC
jika terinfeksi.
Pemeriksaan
panggul
Nyeri tekan uni
lateral, teruta
ma bila serviks
digerakkan, massa
disatu si si di
kavum Douglas.
Tidak ada
massa, nyeri
tekan pada
rektum pada
bagian atas sisi
kanan.
Nyeri tekan bi
lateral saat ser
viks digerak kan,
teraba ma sa
hanya bila ada
hidrosal ping.
Nyeri tekan
pada ovarium
yang terkena,
tidak teraba
massa.
Servik sedikit melebar,
uterus sedikit membesar,
melunak, nyeri
tekan disertai infeksi.
42 Konsep Penyakit
Sumber: Lowdermilk dan Bobak (1999); Gilbert dan Harmon (2003).
H. Prognosis
Prognosis ibu dengan KET baik apabila diagnosa ditegakkan dini dan segera mendapat
tindakan tepat. Sebaliknya bila diagnosa tidak ditegakkan dini mengakibatkan
terlambatnya
pemberian tindakan sehingga ibu dapat mengalami syok hipovolemik
dan neurogenik bahkan dapat mengakibatkan kematian (Cunningham, 2006;
Prawirohardjo, 2006; Wibowo, 2006).
Penyebab KET pada umumnya bersifat bilateral, misalnya infeksi tuba biasanya
terjadi pada kedua tuba kanan dan kiri, sehingga ibu dengan KET dapat mengalami KET
berulang. Pada kondisi ini, ibu dapat mengalami infertil (Tenore, 2000; Cunningham,
2006; Prawirohardjo, 2006; Wibowo, 2006, Sepilian, 2007).
I. Penatalaksanaan Medis
Walaupun darah dalam perut sebagai akibat abortus tuba tidak selalu berbahaya bagi
jiwa ibu karena dapat diresorbsi oleh tubuh, namun tetap harus segera dioperasi,
karena sisa darah dapat menyebabkan perlekatan dan bahaya terjadinya ileus.
Pembedahan yang dilakukan adalah salpingektomi dan apabila ovarium sulit
dipisahkan dari gumpalan darah terpaksa dilakukan salpingo-ovarektomi. Jika
ibu tersebut sudah mempunyai anak cukup, dan didapati adanya kelainan pada
tuba sebelahnya (yang tidak mengalami KET), maka tetap dipertimbangkan untuk
mengangkat tuba tersebut untuk mencegah terjadinya berulangnya KET. Jika ibu
belum punya anak dapat dipertimbangkan untuk menangani kelainan tuba tersebut
(Lowdermilk, Perry, dan Bobak,1999; Gilbert dan Harmon, 2003.; Cunningham,
2006; Prawirohardjo, 2006; Sepilian, 2007).
Kehamilan
Ektopik Apendisitis Salpingitis
Ruptur Kista
Korpus Luteum
Abortus
Hasil laboratorium
SDP 15.000/
mm³, LED sedikit
meningkat, SDM
sangat rendah
bila peradarahan
banyak.
SDP 10.000 –
18.000/mm³
SDP 10.000 –
18.000/mm³,
SDM normal,
LED sedikit meningkat.
SDP 15.000 –
30.000/mm³,
SDM normal,
LED meningkat
bermakna.
SDP 15.000 – 18.000/
mm³ jika spontan,
SDP 30.000 – 18.000/
mm³ jika induksi atau
infeksi, SDM normal,
LED sedikit meningkat
sampai sedang.
Kehamilan Ektopik Terganggu (Ket) 43
J. Dampak KET
1. Dampak Secara Fisik
Dampak KET secara fisik dapat menurunkan kualitas kesehatan ibu termasuk kesehatan
reproduksi. Akibat perdarahannya dapat menyebabkan terjadinya syok hipovolemik,
dari nyeri dapat mengakibatkan syok neurogenik. Kedua dampak tersebut apabila tidak
segera diatasi dapat mengakibatkan gangguan perfusi jaringan. Apabila mendapatkan
transfusi darah, maka akan mengalami resiko efek samping dari transfusi darah tersebut.
Dari tindakan operasi juga berisiko mendapatkan komplikasi misalnya infeksi atau
perdarahan. Demikian juga akan mendapatkan komplikasi dari anestesinya.
2. Dampak Secara Psikologis
Dampak psikologis akibat KET adalah ibu dan keluarga terutama suami akan mengalami
kehilangan dan berduka akibat kehilangan janinnya. Menurut Stuart dan Sundeen
(1995), yang dimaksud dengan kehilangan adalah suatu situasi aktual maupun potensial
yang dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
baik sebagian atau keseluruhan. Sedangkan yang dimaksud dengan berduka adalah
respon normal terhadap kehilangan di mana masing-masing mewujudkan dengan
berbagai cara yang unik dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, budaya, keyakinan
spiritual (Potter dan Perry, 2005). Perilaku dan perasaan akibat proses kehilangan dan
berduka dapat terjadi pada individu dan keluarga yang mengalami KET.
Bowlby dan Parks (1970), Davidson (1984, dalam Bobak, 2006) menjelaskan
empat karakteristik proses berduka sebagai berikut:
a. Syok dan hilang rasa
Orang tua mengungkapkan perasaan sangat tidak percaya, panik, tertekan, atau
marah, mereka merasa mimpi buruk. Masa ini ditandai dengan mudah emosi, tidak
mampu membuat keputusan. Fase ini berlangsung sekitar dua minggu pertama.
b. Mencari dan merindukan
Ditandai dengan perasaan gelisah, marah, rasa bersalah, sering bertanya mengapa
dapat terjadi, sangat ingin memeluk bayi, mimpi buruk. Masa ini terjadi setelah
dua minggu pertama sampai sekitar empat bulan pertama.
c. Disorganisasi
Masa di mana individu sudah mulai membaik mulai sadar terhadap realita yang
terjadi, tetapi masih didapatkan adanya rasa tertekan, sulit konsentrasi, sulit
menyelesaikan
masalah, merasa tidak nyaman. Fase ini terjadi sekitar lima sampai
sembilan bulan pertama.
d. Reorganisasi
Ditandai dengan sudah dapat beraktivitas normal baik di rumah atau di tempat
kerja, rasa percaya diri sudah mulai muncul.
44 Konsep Penyakit
Menurut Wheeler (1986 dalam Bobak, 2006), intervensi keperawatan harus
dilakukan segera setelah proses kehilangan dengan tujuan memberikan asuhan,
dukungan, informasi dan bimbingan antisipasi untuk untuk membantu klien mengambil
keputusan. Dalam proses kehilangan dan berduka perlu dikaji tentang berbagai
respons dan perasaan, persepsi kehilangan dan peristiwa yang menyertai kehilangan.
Dari hasil pengkajian tersebut akan muncul diagnosa keperawatan misalnya gangguan
pola tidur berhubungan dengan proses berduka, ansietas berhubungan dengan tidak
mampunyai mencapai kehamilan aterm, depresi, cemas, apatis, dan isolasi sosial.
Infeksi Pasca Sectio Caesaria (Sc) 45
A. Pendahuluan
Angka kejadian (insidensi) Sectio Caesarea (SC) hampir di seluruh dunia mengalami
peningkatan. Persalinan SC di Amerika Serikat pada tahun 2000 meningkat 4 %
dibandingkan tahun 1999, yaitu mencapai 22,9 % dari kelahiran hidup (Martin et al,
2002). Sumber data lain mengungkapkan total SC di Amerika Serikat pada periode
tahun 1989-2003 meningkat dari 23 menjadi 27 per 100 kelahiran (The National
Center for Health Statistic, 2003). Rata-rata persalinan SC secara internasional pada
tahun 2002 dapat digambarkan oleh insidensi di beberapa negara seperti Amerika
Serikat sebesar 26%, Australia sebesar 28%, Inggris sebesar 23% dan Skotlandia
sebesar 24% (Anonym, 2002).
Kecenderungan SC di Indonesia pun sejak dua dekade terakhir ini, mengalami
peningkatan meskipun diktum ”Sekali SC selalu SC” di Indonesia tidak dianut
(Roeshadi, 2006). Hasil survei yang dilakukan oleh Wiknjosastro dan Basalamah
(1993) pada 64 rumah sakit di Jakarta, didapatkan kasus SC sebanyak 35,7-55,3 %
dari 17.665 kelahiran. Sumber lain menyatakan bahwa insidensi persalinan SC di
Indonesia pada tahun 2005 mencapai 31,9 % sedangkan tahun 2006 sebesar 31,6 %
(Sub. Bagian Data dan Informasi - Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik, Depkes
RI, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian Gondo tahun 2006 di salah satu rumah sakit besar
Surabaya, pada periode 1 Januari 2000 - 31 Desember 2005 dari 7.062 pasien
INFEKSI PA SCA SECTI O CAESARIA (SC)
Santi Wahyuni, SKp., M.Kep., Sp.Mat.
46 Konsep Penyakit
didapatkan 3.613 kasus persalinan pervaginam (51 %) dan SC sebanyak 3.449 kasus
(49 %). Angka ini jauh di atas angka yang diharapkan oleh Departemen Kesehatan RI,
yaitu untuk rumah sakit target tindakan SC di bawah 20% (Gondo, 2006). Peningkatan
ini seiring dengan meningkatnya keamanan SC dan penggunaan monitoring janin
sehingga dapat mendeteksi secara dini masalah-masalah janin (Gamble dan Creedy,
2000 dalam Pillitteri, 2003). Berbagai indikasi dilakukannya SC, lebih dari 85 % SC
dilakukan karena riwayat SC, distosia persalinan, gawat janin dan letak sungsang.
Keamanan dan kelebihan SC tergambar dari teknik dan fasilitas operasi bertambah
baik, operasi berlangsung lebih asepsis, teknik anestesi bertambah baik, kenyamanan
pasca operasi dan lama rawat yang bertambah pendek (Roeshadi, 2006). Persalinan
SC sebagian besar (65,18 %) dilakukan atas indikasi medis, namun ada pula indikasi
non medis (34,82 %) (Fehervary et al., 2005; Gondo, 2006). Indikasi medis untuk
dilakukan SC seperti cephalo pelvic disporpotion (CPD), fetal distress, distocia, dan
malpresentasi janin (Wiknjosastro, Saifuddin, dan Rachimhadhi, 2001; Lowdermilk,
Perry dan Bobak, 2000; Gondo, 2006). Beberapa indikasi non medis tindakan SC
dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Gondo, 2006).
Fenomena sosial atau trend sosial dapat menyebabkan peningkatan insiden SC, seperti
kehamilan primitua akibat penundaan kehamilan karena wanita dituntut bekerja
terlebih dahulu, adanya keinginan ibu untuk melahirkan dengan nyaman (bebas dari
rasa sakit), keterjangkauan ekonomi dan adat terkait pemilihan hari lahir.
Persalinan dengan tindakan SC memiliki risiko 5-7 kali lebih besar dibandingkan
dengan persalinan pervaginam (Rochelle, et al., 2001; Lilford et al., 1990 dalam
Cunningham, 2005). Sekitar 25-50 % kelahiran SC menimbulkan risiko (komplikasi)
pada ibu berupa endometriosis, perdarahan, infeksi saluran kemih, tromboembolisme,
infeksi luka, luka terbuka (dehisence) (Wong, Perry, dan Hockenberry, 2002;
Cunningham, 2005). Risiko juga dialami oleh bayi, meliputi aspirasi (masalah
pernafasan), kelahiran prematur terutama jika taksiran persalinan tidak tepat, dan
Apgar score yang rendah (Tjipta dkk, 2003).
Komplikasi infeksi luka post SC merupakan suatu masalah yang cukup berat dan
menjadi penyebab terbesar morbiditas post operasi, sekitar seperempat dari semua
infeksi nosokomial (Nichols, 1999). Hal ini selain berdampak terhadap morbiditas dapat
memperpanjang hari perawatan di rumah sakit dan memperbanyak biaya yang harus
dikeluarkan (Vermillion et al., 2000). Sebagai perbandingan, klien setelah persalinan
pervaginam, umumnya dirawat dalam 24 jam, sedangkan klien SC umumnya 3-4 hari,
bahkan jika ada infeksi luka post SC hari perawatan lebih panjang tergantung keadaan
infeksi luka yang dialami klien (Rochelle et al., 2001). Adanya infeksi luka post SC
paska pemulangan berdampak pula pada aspek psikososial, seperti terhambatnya
proses menjadi orangtua karena pemisahan ibu dengan bayinya. Berbagai dampak
yang terjadi dapat memicu kecemasan pada klien dengan infeksi luka post SC.
Infeksi Pasca Sectio Caesaria (Sc) 47
Menurut hasil penelitian Vermillion et al. tahun 2000, infeksi luka post SC terjadi
pada 11 dari 140 ibu (7,8 %). Infeksi luka dilaporkan dialami oleh 2-16 % ibu setelah
persalinan SC (Emmons et al., 1998; Webster, 1998; Loong, Rogers, Chang, 1998).
Banyak kasus-kasus infeksi yang terjadi setelah klien keluar dari rumah sakit (telah
berada di rumah) (Nichols, 1999; Bick, et al., 2002).
Berdasarkan pemaparan di atas, dampak dari permasalahan kesehatan yang
dialami oleh klien post SC paska pemulangan membawa implikasi terhadap pelayanan
keperawatan maternitas. Pelayanan keperawatan maternitas pada kasus risiko
tinggi persalinan SC bertujuan untuk meminimalkan komplikasi selama periode
perinatal dan mempertahankan kesehatan ibu dan keluarga tetap optimal sehingga
masa childbearing dan childrearing dapat dilalui dengan baik (Pilliteri, 2003). Tujuan
tersebut dapat dicapai melalui peran dan fungsi perawat maternitas.
B. Pengertian SC
SC adalah proses kelahiran janin melalui insisi bedah di dinding abdomen (laparotomi)
dan dinding uterus (histerektomi) (Mochtar, 1998; Cunningham et al., 2005; Ladewig,
et al., 2005; Sehdev, 2005; Gondo, 2006). SC adalah tindakan untuk melahirkan janin
melalui insisi transabdomen pada uterus (Bobak dan Jenses, 2004).
Dari beberapa pengertian di atas, SC adalah suatu proses persalinan dengan
membuat insisi pada bagian uterus melalui dinding abdomen dengan tujuan untuk
meminimalkan risiko ibu dan janin yang timbul selama kehamilan atau dalam
persalinan serta mempertahankan kehidupan atau kesehatan ibu dan janinnya.
C. Indikasi SC
Beberapa indikasi dilakukannya tindakan operasi SC secara garis besar digolongkan
menjadi tiga indikasi (Martius, 1997; Bennet dan Brown, 1999; Kasdu, 2003; Pillitteri,
2003; Doris dan Serdar, 2005). Ketiga faktor tersebut adalah:
1. Indikasi janin, merupakan indikasi yang umum terjadi untuk dilakukan SC. Sekitar
60 % SC dilakukan atas pertimbangan keselamatan janin. Indikasi janin antara lain:
bayi terlalu besar (makrosomia), kelainan letak janin seperti letak sungsang atau
letak lintang, presentasi breech/bokong, berat lahir sangat rendah, ancaman gawat
janin (fetal distress), janin abnormal, kelainan tali pusat, bayi kembar (gemelli)
(Kasdu, 2003; Pillitteri, 2003).
Indikasi janin dapat pula dibedakan menjadi indikasi sebelum persalinan (dapat
pula dikategorikan SC elektif) dan indikasi dalam persalinan (dikategorikan SC
emergensi) (Martius, 1997; Bennet dan Brown, 1999; Doris dan Serdar; 2005).
Indikasi janin yang terjadi sebelum persalinan/elektif antara lain: a) terjadinya
48 Konsep Penyakit
insufisiensi plasenta sebagai indikasi yang paling umum, pada keadaan ini janin
akan mengalami hipoksia, tampak jelas pada kelainan pola denyut jantung janin;
b) pada kehamilan berisiko tinggi akan terjadi gangguan pada fetoplasenta, hal ini
menyebabkan janin mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan (PJT/
pertumbuhan janin terhambat) seperti yang terjadi pada primigravida tua, wanita
dengan hipertensi, kehamilan dengan diabetes mellitus dan riwayat infertilitas.
Indikasi janin yang terjadi dalam persalinan/emergensi antara lain: a) kelainan
pola denyut jantung janin (fetal distress) merupakan indikasi yang paling umum;
b) prolapsus tali pusat pada persalinan; c) adanya korioamnionitis sebagai suatu
keadaan yang membahayakan janin, ditandai dengan ibu demam dan cairan
amnion berbau busuk; d) terjadinya ketuban pecah dini; dan e) pada induksi
persalinan dengan obat uterotonika gagal dan terutama jika ada tanda objektif
amnionitis, maka tindakan SC menjadi prioritas atau pilihan utama.
2. Indikasi ibu, dibedakan menjadi dua yaitu indikasi sebelum persalinan dan pada
persalinan. Indikasi sebelum persalinan seperti: a) Cephalo Pelvic Disproportion
(CPD) sebagai indikasi mutlak; b) adanya tumor uterus dan ovarium dalam
kehamilan yang akan menutup jalan lahir; dan c) karsinoma serviks (karena
jika tidak dilakukan persalinan SC akan memperburuk prognosa). Indikasi pada
persalinan emergensi meliputi: a) adanya kecurigaan terjadinya ruptur uteri; b)
terjadinya perdarahan hebat yang membahayakan ibu dan janin; c) ketuban pecah
dini (KPD); d) distocia (Martius, 1997; Bennet dan Brown, 1999; Pillitteri, 2003;
Doris dan Serdar; 2005).
3. Kombinasi indikasi ibu dan janin antara lain: a) perdarahan pervaginam akut, dapat
disebabkan karena plasenta previa atau solusio plasenta. Apabila perdarahan
mengancam nyawa ibu maka harus segera dilakukan SC tanpa memperhatikan
usia kehamilan atau keadaan janin; b) riwayat SC sebelumnya, terutama jika
melalui insisi klasik; c) pada kehamilan dengan letak lintang karena dapat
menyebabkan retraksi progresif segmen bawah rahim sehingga membatasi aliran
darah uteroplasenta yang membahayakan janin dan akan membahayakan ibu
dengan risiko terjadinya ruptur uteri (Bennet dan Brown, 1999; Pillitteri, 2003;
Doris dan Serdar, 2005).
C. Jenis Persalinan SC
Menurut Pilitteri (2003), jenis persalinan dengan SC dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. SC Terencana
Persalinan SC tersebut dapat menimbulkan risiko yang lebih besar bagi ibu dan
bayinya. Ibu yang menjalani kelahiran SC terencana, jika persalinan pervaginam
dikontraindikasikan (misalnya pada kasus CPD); bila kelahiran harus dilakukan
Infeksi Pasca Sectio Caesaria (Sc) 49
tetapi persalinan tidak dapat diinduksi (misalnya pada keadaan hipertensi yang
menyebabkan lingkungan intrauterus yang buruk dan mengancam keselamatan
janin); atau bila ada suatu keputusan yang dibuat antara dokter dan ibu (misalnya
kelahiran SC berulang). Para ibu ini biasanya mempunyai waktu yang cukup untuk
melakukan persiapan secara psikologis.
2. SC darurat (emergensi)
Persalinan SC emergensi dapat dilakukan atas pertimbangan fetal distress. Pada
ibu yang mengalami SC emergensi biasanya menghadapi pembedahan dengan
letih dan tidak bersemangat bila ternyata sebelumnya terjadi kegagalan persalinan
pervaginam. Ibu akan merasa cemas terhadap kondisinya dan bayinya. Ibu dapat
mengalami dehidrasi dan memiliki cadangan glikogen yang rendah. Seluruh
prosedur praoperasi harus dilakukan dengan cepat dan kompeten. Kesempatan
untuk menjelaskan prosedur operasi dilakukan secara singkat sehingga kecemasan
ibu dan keluarganya sangat tinggi, banyak ibu yang telah diinformasikan secara
verbal tidak dapat mengingat atau salah mempersepsikan informasi tersebut.
D. Tipe Pembedahan SC
Tipe pembedahan SC dapat dibedakan berdasarkan tipe insisi bedah. Penentuan tipe
insisi bedah tergantung pada presentasi janin dan kecepatan prosedur yang akan
dilakukan (Pillitteri, 2003). Ada dua jenis utama tipe insisi yaitu insisi pada segmen
bawah rahim dan insisi segmen atas rahim. Berikut ini gambar tipe-tipe insisi uterus
pada SC:
Gambar 2:
Tipe-tipe Insisi Uterus pada SC
(Sumber: Sehdev, 2005)
50 Konsep Penyakit
Pada insisi segmen bawah rahim dapat digunakan insisi transversal dan vertikal
(Wiknjosastro, 2001; Pillitteri, 2003). Insisi transversal lebih populer dan lebih
sering karena beberapa keuntungan seperti: a) prosedur lebih mudah dilakukan; b)
kehilangan darah relatif sedikit karena segmen bawah rahim mengandung sedikit
pembuluh darah; c) mudah dalam proses menjahitnya; d) komplikasi gastroentestinal
postpartum lebih sedikit; e) infeksi pasca operasi lebih kecil karena segmen bawah
terletak diluar kavum peritoneal (infeksi tidak mudah menyebar ke intraabdominal);
f) kesembuhan luka umumnya cepat karena segmen bawah merupakan bagian uterus
yang tidak begitu aktif; g) kejadian ruptur pada kehamilan berikutnya kecil; dan h)
memungkinkan persalinan pervaginam pada kehamilan berikutnya (Pillitteri, 2003;
Cunningham, 2005). Tipe ini mempunyai kelemahan yaitu membutuhkan waktu yang
lama untuk melakukannya sehingga tidak praktis pada SC emergensi dan keluhan
kandung kemih setelah operasi lebih banyak (Wiknjosastro, 2001; Pillitteri, 2003).
Keuntungan insisi segmen atas rahim antara lain: a) memberikan ruangan yang
lebih besar untuk jalan lahir karena insisi vertikal (SC klasik) dilakukan pada korpus
uteri sepanjang 10 cm; b) dapat dilakukan bila diperlukan kelahiran yang cepat
seperti pada kasus presentasi bahu dan plasenta previa, juga pada SC yang dikerjakan
bersamaan dengan histerektomi; c) komplikasi kerusakan kandung kemih lebih kecil.
Namun insisi jenis ini sudah jarang dilakukan karena beberpa kelemahannya: a)
berisiko tinggi untuk terjadinya komplikasi, seperti menghindari terpotongnya plasenta;
b) perdarahan umumnya lebih banyak; c) infeksi mudah menyebar intraabdominal; d)
ruptur uterus pada kehamilan dan persalinan berikutnya lebih besar (Pillitteri, 2003;
Cunningham et al., 2005).
Jenis pembedahan SC lainnya adalah SC ekstraperitoneal, yaitu teknik SC yang
bertujuan untuk melindungi kavitas peritoneal dari infeksi. Tujuan operasi ini adalah
membuka uterus secara ekstraperitoneum dengan melakukan diseksi melalui ruang
Retzius dan disepanjang salah satu sisi dan dibelakang kandung kemih untuk mencapai
segmen bawah uterus. Prosedur ini berlangsung singkat, sebagian besar karena
tersedianya
berbagai obat antimikroba yang efektif (Cunningham et al., 2005). Selain itu ada
jenis histerektomi sesaria yaitu bedah sesar yang diikuti dengan pengangkatan rahim.
Hal ini dilakukan dalam kasus-kasus perdarahan yang sulit tertangani atau plasenta
terimplantasi secara kuat pada rahim (Martius, 1997; Pillitteri, 2003).
E. Pengaruh Pembedahan terhadap Ibu
Persalinan SC, menurut Pillitteri (2003) seperti prosedur pembedahan lainnya,
menyebabkan
pengaruh secara sistemik, meliputi:
1. Respons Stress
Ketika tubuh mengalami ketegangan baik fisik atau psikososial, dapat terlihat
dari fungsi sistem tubuh. Respons stress muncul akibat lepasnya epineprin dan
Infeksi Pasca Sectio Caesaria (Sc) 51
norepineprin dari kelenjar medulla adrenal. Epineprin menyebabkan peningkatan
denyut jantung, dilatasi bronkial, dan peningkatan kadar glukosa darah. Norepineprine
menimbulkan vasokontriksi perifer dan meningkatkan tekanan darah.
2. Penurunan pertahanan tubuh
Kulit merupakan pelindung utama dari serangan bakteri. Ketika kulit diinsisi untuk
prosedur operasi, batas pelindung (garis pertahanan utama) secara otomatis hilang,
sehingga sangat penting untuk memperhatikan teknik aseptik selama pelaksanaan
operasi dan beberapa hari setelah operasi untuk mengimbangi terhadap penurunan
pertahanan tubuh. Jika terjadi ruptur setelah proses persalinan SC, kemungkinan
klien mengalami risiko infeksi akibat pembedahan.
3. Penurunan terhadap fungsi sirkulasi
Pemotongan pembuluh darah terjadi pada prosedur pembedahan, meskipun
pembuluh darah dijepit dan diikat selama pembedahan, biasanya menimbulkan
perdarahan. Kehilangan darah yang banyak menyebabkan hipovolemia dan
penurunan tekanan darah. Hal ini dapat menyebabkan tidak efektifnya perfusi
jaringan di seluruh tubuh jika tidak terlihat dan segera ditangani. Jumlah kehilangan
darah pada prosedur operasi cukup banyak dibandingkan persalinan pervaginam,
yaitu sekitar 500 sampai 1000 ml.
4. Penurunan terhadap fungsi organ
Selama proses SC, uterus cenderung tidak berkontraksi sehingga dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan postpartum. Setelah tindakan SC selain fungsi uterus perlu
pula dikaji fungsi bladder, intestin, dan fungsi sirkulasi.
5. Penurunan terhadap harga diri dan gambaran diri
Pembedahan selalu meninggalkan jaringan parut pada area insisi di kemudian
hari. Biasanya hal ini menyebabkan klien merasa malu. Ada pula klien yang
kurang merasa dirinya sebagai seorang “wanita” karena tidak pernah merasakan
persalinan pervaginam (cultural awareness) (Pillitteri, 2003).
6. Penurunan terhadap fungsi seksual
Adanya perbedaan berkaitan dengan fungsi seksual pada ibu yang melahirkan
pervaginam dengan SC. Klien post SC dan pasangannya umumnya mengalami
ketakutan dan kecemasan untuk memulai aktivitas hubungan seksual pasca
persalinan. Suami merasa takut jika berhubungan seksual dapat menyebabkan
nyeri pada istrinya.
F. Komplikasi SC
Persalinan dengan operasi memiliki komplikasi lima kali lebih besar daripada persalinan
alami (Rochelle et al., 2000). Komplikasi yang sering terjadi setelah SC dapat berupa
komplikasi fisik maupun psikologis. Komplikasi fisik antara lain terjadinya perdarahan
52 Konsep Penyakit
yang dapat menimbulkan keadaan shock hipovolemik karena kehilangan darah saat
pembedahan SC sekitar 500-1000 ml. Risiko transfusi lebih tinggi 4,2 kali pada ibu
bersalin SC primer dibandingkan persalinan spontan pervaginam (Burroes, Meyn, dan
Weber, 2004). Komplikasi fisik lainnya seperti distensi gas lambung, infeksi luka insisi,
endometriosis, infeksi traktus urinarius dan distensi kandung kemih, tromboemboli
(pembekuan pembuluh darah balik), emboli paru (penyumbatan pembuluh darah)
dan risiko ruptur uteri pada persalinan berikutnya (Pillitteri, 2003).
Komplikasi infeksi luka insisi SC dapat terjadi akibat infeksi yang didapat di
rumah sakit (nosokomial) ataupun infeksi yang dialami klien setelah perawatan di
rumah (Nichols, 1999). Diperkirakan sebesar dua dari 1000 ibu dengan persalinan SC
mengalami penyulit pasca operasi yaitu peradangan pada selaput otot akibat jaringan
yang mati (fasciitis nekrotikans). Fasciitis rata-rata didiagnosis 10 hari setelah SC dan
infeksi ini umumnya bersifat polimikroba (Goepfert et al., 1997 dalam Cunningham,
et al., 2005).
Menurut hasil penelitian Burroes, Meyn, dan Weber pada tahun 2004, 523 ibu
post SC (1,6%) mengalami komplikasi endometriosis. Pada persalinan SC primer
dengan upaya persalinan pervaginam sebelumnya, risiko endometriosis meningkat
sebesar 21,2 kali. Berbeda dengan kejadian pada ibu post SC primer tanpa upaya
persalinan spontan sebelumnya berisiko endometriosis 10,3 kali (Burroes, Meyn, dan
Weber, 2004).
Penelitian Rajasekar dan Hall tahun 1997 menunjukkan insidensi laserasi kandung
kemih pada saat SC adalah 1,4 per 1000 prosedur dan cedera uretra adalah 0,3 per
1000. Cedera kandung kemih biasanya terdiagnosa dengan cepat, namun cedera
ureter seringkali terlambat didiagnosis (Cunningham et al., 2005).
Komplikasi SC secara psikologis yang sering dialami ibu antara lain perasaan
kecewa dan merasa bersalah terhadap pasangan dan anggota keluarga lainnya, takut,
marah, frustrasi karena kehilangan kontrol dan harga diri rendah karena perubahan
body image serta perubahan dalam fungsi seksual (Bobak, Lowdermilk, dan Perry,
2000; Wong, Perry, dan Hockenberry, 2003).
Komplikasi pembedahan SC lainnya adalah komplikasi pada janin, berupa
hipoksia janin akibat sindroma hipotensi telentang dan depresi pernapasan karena
anestesi dan sindrom gawat pernapasan. Mortalitas perinatal bagi bayi baru lahir post
SC sekitar 2-4 % (Martius, 1997).
G. Infeksi pada Luka Post SC
Seperti yang telah dibahas sebelumnya bahwa salah satu komplikasi post SC adalah
infeksi. Infeksi luka post operasi adalah infeksi yang terjadi pada tempat pembedahan
(Surgical Site Infections/SSI) (Horan et al., 1992, dalam Nichols, 1999). Infeksi luka
Infeksi Pasca Sectio Caesaria (Sc) 53
dibedakan oleh Centre for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat
sebagai SSI, yaitu:
1. Superficial incisional SSI: infeksi pada bagian insisi jaringan kulit dan subkutan.
2. Deep incisional SSI: infeksi meliputi jaringan yang lebih dalam, seperti facial dan
serabut-serabut otot.
3. Organ/Space SSI: infeksi meliputi bagian dari organ anatomi dan tempat insisi
lainnya, yang terbuka atau dimanipulasi selama tindakan operasi.
Definisi lain luka infeksi adalah luka yang disebabkan masuknya organisme ke
dalam jaringan yang menyebabkan terjadinya infeksi (Anonym, 2005). Menurut
Depkes RI (2003), ILO (Infeksi Luka Operasi) dibedakan menjadi dua jenis yaitu ILO
superfisial dan ILO profunda. ILO superfisial adalah ILO yang terjadi dalam 30 hari
post operasi dan meliputi kulit, subkutan atau jaringan lain di atas fascia dengan salah
satu keadaan: a) adanya pus dari luka operasi; b) biakan positif dari cairan yang keluar
dari luka. Sedangkan ILO profunda adalah ILO yang terjadi setelah 30 hari sampai
satu tahun post operasi yang meliputi infeksi jaringan di bawah fascia dengan salah
satu keadaan: a) pus dari drain di bawah fascia; b) dehiscense luka; c) abses luka.
Kriteria SSI (infeksi luka bedah) menurut Nichols (1999) adalah: 1) infeksi terjadi
dalam 30 hari post operasi; 2) infeksi pada jaringan subkutan dan kulit; 3) adanya
salah satu tanda berikut: terdapat purulen dari permukaan yang terinfeksi (superficial),
purulen dari area pembedahan, purulen dari luka atau drain yang terpasang, atau
adanya organisme pada hasil kultur luka; 4) disertai dengan lebih dari satu tanda
berikut: nyeri, oedem yang terlokalisasi, kemerahan dan teraba hangat; 5) tanda-tanda
lain yang menunjukkan terhambatnya proses penyembuhan luka seperti: perubahan
warna pada area jaringan dan pinggir luka, tercium bau yang abnormal dari area luka,
perdarahan jaringan granulasi walaupun perawatan dan penatalaksanaan adekuat.
Klasifikasi luka, menurut Nichols (1999) adalah: 1) luka bersih (clean), luka mulai
dari jaringan yang tidak terinflamasi, umumnya pada kasus pembedahan elektif dan
penutupan luka secara primer; 2) luka bersih terkontaminasi (clean-contaminated),
luka didapat dari pembedahan darurat; 3) luka terkontaminasi, luka bersifat terbuka;
dan 4) luka kotor, ditandai pengeluaran pus dan terbentuknya abses intraperitonel
atau perforasi visceral.
Menurut laporan hasil survei Nosocomial Infection National Surveillance Service
(NINSS) pada periode Oktober 1997 sampai September 2001, insidensi infeksi yang
didapat di rumah sakit (Hospital Acquired Infections/HAIs) berkaitan dengan luka
operasi adalah lebih dari 10%. Komplikasi infeksi dapat berupa morbiditas, kecemasan,
ketidaknyamanan bagi klien, bahkan mortalitas serta pengeluaran biaya perawatan
yang lebih besar akibat bertambahnya lama hari perawatan. Dapat diperkirakan klien
dengan SSI (surgical site infection) mengalami perpanjangan perawatan di rumah sakit
selama 6,5 hari.
54 Konsep Penyakit
Kontaminasi luka dan perkembangan infeksi dapat terjadi melalui masuknya
mikroorganisme ke dalam luka secara: 1) kontak langsung: seperti perpindahan melalui
perlengkapan atau kontak tangan dengan pemberi perawatan; 2) penyebaran
melalui udara (airborne dispersal): mikroorganisme didapat melalui lingkungan udara
sekitar; 3) kontaminasi sendiri (self contamination): perpindahan fisik, dari kulit klien
atau saluran gastrointestinal.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya luka infeksi antara lain: 1) faktor-faktor umum,
meliputi: usia, obesitas, malnutrisi, gangguan sistem endokrin dan metabolik, hipoksia
dan anemia, penyakit/kelainan maligna, penurunan daya tahan tubuh (immunosuppresion);
2) faktor-faktor karakteristik luka, meliputi: jaringan nekrotik, benda
asing bagi tubuh, iskhemia jaringan, pembentukan haematom, teknik pembedahan
yang kurang baik; 3) faktor-faktor karakteristik operasi, seperti: kurang tepatnya
teknik pembedahan, operasi dalam jangka waktu yang lama (> 2 jam), kontaminasi
intraoperatif, lamanya perawatan preoperatif, hipotermia; dan 4) kontaminasi
mikrobiologik meliputi: tipe dan virulensi organisme, ukuran bakteriologis, resisten
terhadap antibiotik (Nichols, 1999).
Patogen-patogen aerob pada infeksi luka meliputi: Staphylococus aureus (17%),
Enterococci (13%), Coagulas-negative staphylococci (12%), Pseudomonas aeruginosa
(8%), Enterobacter spesies (8%), Proteus mirabilis (4%), Klebsiella pneumoniae (3%),
dan Candida species (2%) (Anonym, 2005).
H. Penatalaksanaan Luka Infeksi
Pencegahan infeksi luka operasi manurut Depkes RI (2003) dapat dilakukan dalam
beberapa tahapan, yaitu sebelum masuk rumah sakit, pra bedah (pra-operasi) dan
intraoperatif. Sebelum masuk rumah sakit dilakukan: a) pemeriksaan dan pengobatan
untuk persiapan operasi hendaknya dilaksanakan sebelum rawat inap sehingga waktu
pra bedah lebih singkat (kurang dari satu hari); b) perbaikan keadaan umum seperti
pada klien dengan diabetes mellitus, malnutrisi, obesitas dan infeksi. Pencegahan pra
bedah antara lain: a) perawatan pre operatif sehari sebelum operasi elektif; b) mandi
dengan antiseptik malam sebelum operasi; c) pencukuran rambut daerah operasi;
d) pencucian daerah operasi; e) kamar operasi yang steril; f) antibiotik profilaksis.
Pencegahan pada tahap intraoperatif meliputi: a) teknik pembedahan yang benar; b)
lama operasi dalam batas yang aman; c) penggunaan peralatan yang steril.
Keadaan infeksi luka dapat dikurangi dengan penggunaan antibiotik profilaksis
(Pillitteri, 2003; Sehdev, 2005; Widodo, dan Govinda, 2006). Pedoman untuk penggunaan
antibiotik profilaksis antara lain: 1) profilaksis adalah penggunaan antibiotik
untuk mencegah terjadinya infeksi; 2) terapi digunakan untuk mengatasi keadaan sepsis;
3) profilaksis penting dalam pembedahan dengan insidensi tinggi terhadap infeksi post
Infeksi Pasca Sectio Caesaria (Sc) 55
operasi (seperti pembedahan kolon); 4) pengunaan antibiotik secukupnya pada kasuskasus
seperti bakteria dan penetrasi jaringan (Widodo dan Govinda, 2006).
Selain dengan melakukan perawatan luka, keadaan luka infeksi dapat diatasi dengan
cara meningkatkan faktor-faktor yang mendukung terhadap proses penyembuhan
luka, seperti makanan, kebersihan diri, daya tahan tubuh, keadaan umum. Makanan
yang dianjurkan dikonsumsi oleh klien yang mengalami infeksi adalah makanan yang
banyak mengandung protein dan vitamin. Sumber protein antara lain diperoleh dari
telur, daging dan ikan. Jenis makanan ini dapat mempercepat proses pertumbuhan
jaringan yang baru (epitelisasi).
56 Konsep Penyakit
Hiperemesis Gravidarum 57
A. Pendahuluan
Kehamilan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seorang wanita
dan keluarganya. Kehamilan yang sehat dan kondisi fisik yang aman dan keadaan emosi
yang memuaskan baik bagi ibu maupun janin adalah hasil akhir yang diharapkan.
Sementara itu semua sistem tubuh mengalami perubahan dari keadaan tidak hamil ke
keadaan hamil, perubahan yang terjadi selama hamil secara umum disebut fisiologi
maternal (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995).
Salah satu sistem tubuh yang mengalami perubahan adalah sistem gastrointestinal.
Perubahan pada sistem gastrointestinal menyebabkan terjadinya mual dan muntah
pada wanita hamil. Mual dan muntah dialami 50-80% wanita hamil, ini merupakan
gejala yang wajar dan sering terjadi diusia kehamilan trimester pertama. Sebagian
besar mual muntah saat hamil dapat diatasi dengan pemberian obat penenang dan
anti muntah dan terkadang hilang sendiri secara perlahan seiring bertambahnya usia
kehamilan (Verberg, Gillott, Al-Fardan, dan Grudzinskasi, 2005; Manuaba, 1998).
Sementara itu beberapa ibu hamil mengalami mual dan muntah yang terus menerus
hingga menyebabkan kehilangan berat badan, dehidrasi, gangguan keseimbangan
elektrolit dan defisiensi nutrisi, keadaan ini disebut dengan hiperemesis gravidarum.
Penyebab hiperemesis gravidarum secara pasti sampai saat ini belum diketahui,
beberapa faktor predisposisi yang diketahui adalah perubahan hormon HCG yang
berfungsi untuk menjaga kecukupan produksi hormon estrogen dan progesteron agar

HIPERE MESIS GRA VIDARU M


Ermiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
58 Konsep Penyakit
kehamilan sehat dan lancar namun peningkatan hormon ini menimbulkan rasa mual
dan muntah bagi ibu hamil (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995; Cunningham et
al., 2001).
Perubahan hormonal yang disertai kondisi stres emosional seperti takut terhadap
kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, kehilangan
pekerjaan, merupakan konflik mental yang memperberat mual dan muntah yang dapat
menjadi hiperemesisi gravidarum (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995). Angka
kejadian hiperemesis gravidarum berkisar 1-3 % dari kehamilan atau 1-20 kasus dari
1000 kehamilan (Philip, 2003).
Hiperemesis gravidarum menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan
nutrisi karena itu penanganan keseimbangan cairan dan nutrisi dengan terapi cairan
intra vena, suplemen vitamin dan koreksi ketidak seimbangan asam basa, pemberian
antiemetik dapat menghilangkan gejala dan mencegah komplikasi yang lebih serius
(Verberg, Gillott, Al-Fardan, dan Grudzinskasi, 2005).
Dehidrasi yang terjadi pada hiperemesis gravidarum yang tidak teratasi dapat
mengakibatkan kerusakan organ hati dan ginjal, kerusakan pada organ-organ tersebut
biasanya permanen atau menetap. Sejumlah kasus hiperemesis dengan penyulit
wernicke’s encephalopathy akibat defisiensi tiamin dapat menyebabkan kebutaan,
kejang, koma bahkan kematian (Cunningham et al., 2001).
Pada kasus hiperemesis yang berkepanjangan diberikan terapi farmakologi,
pemasangan nasogastrik untuk pemberian makanan atau total parenteral nutrisi
yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dengan pemberian nutrisi yang
adekuat. Meskipun demikian terkadang semua program perawatan konvensional
gagal dan kondisi ibu menjadi terancam maka penghentian kehamilan perlu dilakukan.
Penghentian kehamilan yang disebabkan hiperemesis gravidarum kira-kira 2%.
Hiperemesis gravidarum tidak hanya merupakan masalah pada ibu akan tetapi juga
berdampak pada hasil akhir dari kehamilan seperti berat badan lahir rendah, persalinan
pretem, malformasi fetal (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995; Verberg, Gillott, Al-
Fardan, dan Grudzinskasi, 2005).
Adanya permasalahan kesehatan yang dialami ibu dengan hiperemesis gravidarum
membawa implikasi kepada asuhan keperawatan khususnya perawat maternitas.
Perawat maternitas dituntut untuk mampu memberikan pelayanan keperawatan
profesional, sehingga dapat mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan pada
kehamilan dengan hiperemesis gravidarum. Fokus asuhan keperawatan pada ibu
dengan hiperemesis gravidarum adalah memenuhi kebutuhan ibu dan janin yaitu
terjaganya keseimbangan elektrolit, terpenuhinya nutrisi selama kehamilan sehingga
tidak terjadi kerusakan irreversibel pada organ-organ mayor ibu dan kehamilan dapat
dipertahankan hingga aterm.
Hiperemesis Gravidarum 59
B. Konsep Hiperemesis Gravidarum
1. Pengertian
Hiperemesis gravidarum adalah mual dan muntah yang berlebihan dan tidak terkendali
selama kehamilan, yang mengakibatkan ketidak seimbangan elektrolit, metabolik, dan
defisiensi nutrisi tanpa masalah medik lainnya (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995;
Stright, 2001).
2. Etiologi
Penyebab hiperemesis gravidarum belum diketahui secara pasti. Beberapa perkiraan
faktor-faktor penyebab meliputi:
a. Faktor Hormonal
Human Chorionik Gonadotropin (HCG) yang diproduksi oleh plasenta pada wanita
hamil terjadi peningkatan. Peningkatan hormon HCG berefek menimbulkan mual dan
muntah. Hormon HCG berfungsi untuk menjaga kecukupan produksi hormon estrogen
dan progesteron yang berdampak pada kehamilan agar sehat dan lancar (Stright, B.R.
2001; Tiran, 2004). Pada klien dengan mola hidatidosa dan hamil kembar hormon
HCG diproduksi sangat tinggi dan yang menyebabkan terjadi hiperemesis gravidarum
(Wiknjosastro, Saifudin, dan Rachimhadhi, 2006).
Kadar estrogen pada wanita hamil meningkat, yang mengakibatkan terjadinya penurunan
tonus otot-otot traktus digestivus, sehingga motilitas seluruh traktus digestivus
juga berkurang. Makanan lebih lama berada di lambung dan apa yang telah dicerna
lebih lama berada dalam usus hal ini menimbulkan rasa mual (Wiknjosastro, Saifudin,
dan Rachimhadhi, 2006). Hiperemesis gravidarum sering terjadi pada kondisi dengan
tingkat estradiol lebih tinggi seperti paritas rendah dan mola dengan kista teka lutein
(Verberg, Gillott, Al-Fardan, dan Grudzinskasi, 2005).
Progesteron baik sendiri maupun bersama-sama dengan estrogen cukup berperan
dalam menyebabkan terjadinya nausea dan vomitus pada kehamilan. Progesteron
menurunkan kontraktilitas otot polos dan menyebabkan distritmia lambung yang
merangsang terjadinya mual dan muntah. Serum progesteron mencapai puncaknya
pada trimester pertama saat angka kejadian nausea dan vomitus pada kehamilan
meningkat (Wiknjosastro, Saifudin, dan Rachimhadhi, 2006).
b. Infeksi Helicobacter Pylory
Berdasarkan penelitian diketahui 95% ibu hiperemesis gravidarum mengalami infeksi
Helicobacter Pylory (Bagis et al., 2001). Infeksi Helicobacter Pylory terjadi karena
penurunan
keasaman lambung yang disebabkan akumulasi cairan disebabkan peningkatan
produksi hormon steroid pada wanita hamil. Hipo asiditas pada lambung menyebabkan
60 Konsep Penyakit
mudah terjadinya infeksi pada lambung, salah satu infeksi yang terjadi adalah infeksi
pada Helicobacter Pylory (Verberg, Gillott, Al-Fardan, dan Grudzinskasi, 2005).
c. Faktor Psikologik
Stres psikologik seperti keretakan rumah tangga, kehilangan pekerjaan, takut terhadap
kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, dapat menyebabkan
konflik mental yang merangsang peningkatan produksi asam lambung yang
memperberat mual muntah yang dialami ibu hamil (Wiknjosastro, Saifudin, dan
Rachimhadhi, 2006).
3. Tanda dan Gejala
Berdasarkan berat ringannya gejala hiperemesis gravidarum dapat dibagi dalam tiga
tingkatan (Manuaba, 1998; Wiknjosastro, Saifudin, Rachimhadhi, 2006):
Hiperemesis gravidarum tingkat I. Muntah terus menerus yang mempengaruhi
keadaan umum penderita, lemah, nafsu makan tidak ada, berat badan menurun
dan ada nyeri ulu hati. Nadi meningkat sampai 100x/menit, tekanan darah sistolik
menurun, turgor berkurang, lidah mengering dan mata cekung.
Hiperemesis gravidarum tingkat II. Tampak lebih lemah dan apatis turgor lebih
menurun, lidah kering dan tampak kotor. Berat badan turun, mata cekung, tensi turun,
terjadi hemokonsentrasi, oliguria, dan konstipasi. Aseton dapat tercium dari udara
pernapasan.
Hiperemesis gravidarum tingkat III. Keadaan umum lebih parah, muntah berhenti
kesadaran samnolen sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat. Dapat
terjadi komplikasi pada susunan saraf pusat yang dikenal sebagai enselopati wernicke
dengan gejala nistagmus, diplopia dan perubahan mental. Gangguan faal hati terjadi
dengan manifestasi ikterus.
4. Penatalaksanaan
a. Pengobatan Medis
Pengobatan yang dapat diberikan kepada klien dengan hiperemesis gravidarum
adalah vitamin B1, B6, C, dopamin antagonis (fenotiazin, klorpromazin, prometazin,
metoklopramid), antihistamin (doxylamine, diphehydramine, dimenhydrinate, cyclizine,
buclizine) (Wiknjosastro, Saifudin, dan Rachimhadhi, 2006).
Apabila ditemukan kekurangan cairan dan elektrolit maka diberikan cairan
parenteral yang mengandung elekrolit, protein, dan glukosa sebanyak 2-3 liter/24
jam dan hitung cairan yang masuk dan keluar. Bila perlu dapat ditambah kalium dan
vitamin, khususnya vitamin B kompleks dan vitamin C. Bila ada kekurangan protein,
Hiperemesis Gravidarum 61
dapat diberikan pula asam amino secara intravena (Wiknjosastro, Saifudin, dan
Rachimhadhi, 2006).
Bila selama 24 jam penderita tidak muntah dan keadaan umum membaik dapat
dicoba dengan memberikan minuman dan bila klien mentoleransi cairan yang
diberikan tambahkan cairan sedikit demi sedikit dan dapat ditambah dengan makanan
yang tidak cair.
Terapi nutrisi pada hiperemesis gravidarum pada prinsipnya bila memungkinkan
melalui saluran cerna atas. Bila ditemui hambatan peroral maka digunakan nasogastrik
tube, modifikasi diet yang diberikan adalah makan dalam porsi kecil tapi sering,
diet tinggi karbohidrat, rendah lemak dan protein. Pemberian diet diperhitungkan
berdasarkan BMI ditambah 300 kalori (Wiknjosastro, Saifudin, dan Rachimhadhi,
2006).
Penderita sebaiknya diletakkan dalam kamar tersendiri yang tenang dan
bebas bau-bauan kalau bisa hanya dokter dan perawat yang saja diperbolehkan
masuk (Wiknjosastro, Saifudin, dan Rachimhadhi, 2006). Terminasi kehamilan
dipertimbangkan pada keadaan yang tak bertambah baik/mundur, diuresis tak
bertambah/berkurang, asetonuria menetap, nadi bertambah cepat, suhu meningkat
(Wiknjosastro, Saifudin, dan Rachimhadhi, 2006).
b. Terapi psikologik
Terapi psikologik meliputi; bantu klien menyesuaikan diri dengan kehamilannya
dengan memberikan dukungan emosional, informasi dan saran serta mendeteksi
gangguan psikologis, mengurangi ansietas, meredakan stres dan mengidentifikasi
faktor-faktor yang dapat menimbulkan gangguan psikologis, tingkatkan kemampuan
klien untuk berkomunikasi secara efektif, memberikan dukungan empati, dan
kemampuan mendengarkan saat dibutuhkan klien (Henderson dan Jones, 2006).
Meyakinkan pada klien bahwa penyakit dapat disembuhkan, hilangkan rasa takut
karena kehamilan, kurangi pekerjaan, serta menghilangkan masalah dan konflik
yang kiranya dapat menjadi latar belakang penyakit ini (Wiknjosastro, Saifudin, dan
Rachimhadhi, 2006).
62 Konsep Penyakit
Asma Bronchial Pada Kehamilan 63
A. Pendahuluan
Kehamilan dan proses melahirkan merupakan suatu karunia terbesar yang diberikan
Tuhan kepada para ibu. Namun, ibu hamil yang memiliki riwayat predisposisi penyakit
bawaan ataupun menahun seperti hipertensi, asma bronchial, TBC, diabetes dan
jantung digolongkan sebagai kehamilan berisiko tinggi akan cenderung merasa cemas
dalam menjalani kehamilannya (Schatz, 2004). Kekhawatiran ibu akan keselamatan
janin maupun dirinya mengakibatkan stres dan tekanan secara psikologis yang dapat
meningkatkan tekanan darah dan preeklampsia, stres juga merupakan salah satu faktor
pencetus kambuhnya asma bronchial (Barasila, 2000).
Asma bronchial dikenal sebagai penyakit peradangan sistem jalan napas kronis
yang dapat menyerang semua golongan umur (Pillitteri, 2003). Secara klinis asma
bronchial merupakan suatu spektrum penyakit yang luas ditandai dengan batuk, sesak
napas dengan bunyi napas mengik sampai bronkostriksi berat yang berakhir dengan
hipoksia, kegagalan napas dan kematian (Indriyani, 2008). Penyakit asma bronchial
merupakan komplikasi sistim respirasi terbanyak yang dapat mempengaruhi kehamilan
dan persalinan (Cunningham, 1995; Pillitteri, 2003).
Selama tahun 1980-an, insidens asma bronchial di dunia meningkat lebih dari
30% dan mortalitas meningkat menjadi 46%, sedangkan tahun 1994 prevalensi
meningkat lebih tinggi yaitu sebanyak 75% (Mabie, 1996). Tren yang berkelanjutan
ini menggambarkan bahwa insidens asma bronchial meningkat setiap tahun dalam

ASMA BRONCHIAL PADA KEHAMILAN


Siti Saidah Nasution, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
64 Konsep Penyakit
kehidupan masyarakat. Insiden asma bronchial pada ibu hamil di Amerika Serikat
berkisar antara 0,5 sampai 1,0%, sedangkan insidens asma bronchial yang terjadi
pada keseluruhan masyarakat di negara tersebut adalah sekitar 4% (Wendel, 2001).
Menurut Rengganis (2007) di Indonesia khususnya RS Ciptomangunkusumo Jakarta,
asma bronchial ditemukan pada 4-7% ibu hamil.
Serangan asma bronchial yang terjadi pada ibu hamil umumnya tidak dapat
diprediksi, dari 1.087 klien ibu hamil dengan asma bronchial dilaporkan bahwa
36% derajat asma ibu hamil membaik, 23% memburuk, dan 41% derajat asma tidak
berubah (Mangunnegoro, 2004). Namun secara umum disepakati bahwa derajat asma
pada ibu hamil, sepertiga akan mengalami perbaikan, sepertiga akan memburuk, dan
sepertiga tidak ada perubahan atau menetap, tergantung bagaimana ibu beradaptasi
terhadap kehamilannya dan kemampuan menghindari faktor pencetus (Barasila,
2000). Komplikasi asma bronchial dapat mengakibatkan status asmatikus dan menjadi
penyulit pada sekitar 0,2% kehamilan yang berisiko untuk meningkatkan angka
kematian dan kesakitan, yaitu 30% terjadi pada saat antenatal, 55% saat intranatal
dan 15% saat postnatal (Mabie, 1996).
Di Indonesia kematian ibu yang terjadi akibat kehamilan, persalinan dan nifas,
berkisar 2 orang setiap jam, berarti setiap hari 53 orang dan setiap bulan 1500 orang,
yang merupakan tertinggi di antara negara ASEAN. Penyebab kematian antara lain
preeklampsia-eklampsia, perdarahan, infeksi dan termasuk gangguan pernapasan
salah satunya adalah asma bronchial, (Media, Juli 2004).
Menurut Wendel (2001), ibu hamil yang menderita asma bronchial dapat dilakukan
persalinan dengan SC apabila risiko komplikasi lebih tinggi, misalnya terjadi apnoe
atau henti napas, tachicardia dan bradichardia pada janin, namun tindakan tersebut
tersebut dapat menjadi sumber kecemasan baru bagi ibu dan keluarga yang akan
berpengaruh terhadap perkembangan asma dan menjadi salah satu faktor pencetus.
Terjadinya serangan asma bronchial yang berulang pada ibu hamil, berkaitan
dengan penatalaksanaan dan prosedur pengobatan yang tidak teratur. Masyarakat
Indonesia masih banyak yang beranggapan bahwa terjadinya serangan asma dan
sesak pada ibu hamil merupakan hal yang biasa dan akan sembuh sendiri, sehingga
ibu sering melakukan pengobatan dengan membeli obat di warung tanpa konsultasi
kepada petugas kesehatan, padahal konsumsi obat yang tidak terkontrol pada ibu
hamil dapat menimbulkan risiko pada ibu dan janin (Mangunnegoro, 2004).
Selain itu penatalaksanaan dan pengobatan asma bronchial harus dilakukan
secara rutin dan berlangsung seumur hidup dengan menghindari faktor pencetus,
memerlukan kesabaran dan disiplin yang tinggi. Kondisi ini menimbulkan rasa jenuh
dan frustasi bagi klien dan keluarga sehingga banyak klien termasuk ibu hamil yang
tidak berhasil dalam penatalaksanaan asma bronchial (Samsuridjal, 2007).
Pengaruh asma bronchial pada ibu hamil berkaitan dengan adanya perubahan
fisiologis dari berbagai sistem dan organ tubuh akibat proses kehamilan, terutama pada
Asma Bronchial Pada Kehamilan 65
semester I dan II. Perubahan fisiologis yang berpengaruh terhadap perjalanan penyakit
asma antara lain membesarnya uterus, elevasi diafragma, perubahan hormonal pada
tubuh yang akan mempengaruhi sistim mekanik paru-paru (May dan Mahlmeister,
1990). Beberapa perubahan yang terjadi akibat kehamilan baik secara fisik maupun
psikologis mengakibatkan kecemasan dan stres dalam kehidupan ibu, sedangkan stres
merupakan salah satu faktor pencetus kambuhnya asma, sehingga ibu hamil harus
mampu beradaptasi terhadap kodisinya baik secara fisik maupun psikologis (Boushey,
2000).
Secara fisiologis serangan asma bronchiale yang sering terjadi pada saat kehamilan,
dapat mengakibatkan kekurangan oksigen pada ibu maupun janin, hal ini
dapat dilihat dari rasa sesak dan kesulitan bernapas. Dengan demikian suplai oksigen
kepada janin tidak maksimal yang mengakibatkan hipoksia, perkembangan janin
terhambat, berat badan lahir rendah, dan gawat janin (Rengganis, 2007). Pendapat
lain mengatakan angka abortus, partus prematurus maupun kematian ibu dan janin
mengalami peningkatan pada ibu hamil yang tidak dapat mengontrol asmanya dengan
baik (Cunningham, 1995; Pillitteri, 2003).
Penelitian Liu (2001) di Kanada menyatakan bahwa asma bronchial pada ibu hamil
secara signifikan berhubungan dengan beberapa kondisi seperti kelahiran pretrem, bayi
kecil, preeklampsia, hipertensi selama kehamilan, perdarahan antepartum, korioamnionitas
dan persalinan dengan seksio saesar. Penyulit persalinan lain yang dapat
mengancam nyawa ibu adalah pneumotoraks, kor pulmonal akut, aritmia jantung
dan henti napas, sehingga ibu hamil dengan asma bronchiale memerlukan perhatian
ekstra terhadap kesehatan dan perkembangan ibu dan janin (Schatz, 1999).
Berdasarkan hal di atas ibu yang menderita asma bronchiale merupakan salah
satu kasus risiko tinggi dalam kehamilan. Namun ibu hamil dengan penyakit asma
bronchial bukan berarti berbeda dengan wanita lainnya dan tidak boleh hamil. Ibu
akan dapat menjalani proses kehamilannya dengan baik dan melahirkan bayi dengan
selamat apabila ibu dapat mengontrol penyakit dan beradaptasi dengan kondisinya.
Salah satu cara yang harus dilakukan ibu adalah harus mempersiapkan diri sedini
mungkin dengan mengenali adanya riwayat penyakit asma yang diderita dan lebih
memperhatikan perawatan kesehatan dalam proses kehamilan serta berkonsultasi
dengan petugas kesehatan (Mangunnegoro, 2004; Teirstein, 2000).
Perawatan dengan meningkatkan stamina tubuh merupakan faktor yang perlu
dipertahankan selama hamil. Terapi yang dilakukan secara umum bertujuan untuk
mempertahankan fungsi paru normal, dengan cara mengontrol gejala dan mencegah
komplikasi serta mengikuti prosedur tata laksana asma bronchial yang baik dan efektif
(Ramaiah, 2006). Wanita hamil yang menderita asma bronchial harus tetap berhatihati
pada saat persalinan dan setelah melahirkan. Prosedur penatalaksanaan harus
diikuti sesuai dengan peraturan, karena serangan asma yang terjadi pada kehamilan
66 Konsep Penyakit
sebelumnya, 60% akan terulang lagi pada kehamilan berikutnya, sehingga program
KB harus diutamakan (Indah, 1998).
B. Konsep Asma Bronchiale Pada Kehamilan
1. Pengertian
Secara umum Asma adalah gangguan jalan napas yang bersifat peradangan kronis, di
mana banyak sel dan elemen seluler berperan, khususnya sel mast, eosinofil, limfosit T,
netrofil dan sel epitel (Boushey, 2000). Peradangan kronis menyebabkan peningkatan
hiperresponsif saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengik, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam hari atau
dini hari (Mangunnegoro, 2004).
Penyakit asma dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu asma bronchial dan asma
cardial (Barasila, 2000). Menurut Ramaiah (2006), asma bronchial adalah penyakit
sistem pernapasan yang dapat menyerang semua golongan umur dari anak-anak
sampai orang dewasa, di mana saluran pernapasan menjadi terlalu aktif dan responsif.
Sedangkan asma cardial adalah penyakit sistim pernapasan yang ditandai dengan
batuk, sesak dan berhubungan dengan gangguan pada jantung, keluhan sering terjadi
pada malam hari dan setelah beraktivitas (Barasila, 2000).
2. Etiologi
Penyebab terjadinya asma bronchial sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.
Ada dua faktor utama yang memicu asma bronchial yaitu: pemicu yang menghasilkan
penyempitan saluran napas (bronco-konstriksi) dan penyebab yang menghasilkan
peradangan pada saluran pernapasan. Bronchus penderita asma bronchial sangat peka
terhadap rangsangan immunologi maupun non immunologi, dengan sifat tersebut
berbagai rangsangan fisik, metabolisme, kimia, allergen, dan perubahan hormon
mempercepat terjadinya asma (Pitaloka, 2004).
Faktor-faktor yang sering menimbulkan asma antara lain alergi debu, asap, baubauan,
infeksi saluran napas yang disebabkan virus, perubahan cuaca, aktivitas yang
berlebihan, lingkungan kerja, obat-obatan, kondisi psikologis atau stres (Indriyani,
2008). Asma bronchial juga merupakan salah satu penyakit keturunan dengan faktor
genetik yang cukup kuat. Hal ini berkaitan dengan gen dan beberapa kromosom yang
diturunkan oleh orang tua, yang berpotensi menimbulkan asma bronchiale antara
lain: CD28, IGPB5, CCR4, reseptor agonis beta 2,IRF2, IL-3, dll (Ramaiah, 2006;
Mangunnegoro, 2004).
Asma Bronchial Pada Kehamilan 67
3. Tanda dan Gejala
Gambaran klinis klien yang menderita asma bronchiale secara objektif adalah sesak
napas dengan ekspirasi memanjang yang disertai wheezing, batuk dengan sputum,
menggunakan otot-otot napas tambahan, sianosis, tachicardia, gelisah. Secara subjektif
klien mengeluhkan sukar bernapas, sesak dan anoreksia, secara psikososial klien
mengatakan cemas, takut, mudah tersinggung, kurang pengetahuan dengan kondisi
yang terjadi (Pitaloka, 2003; Somantri, 2008). Sedangkan menurut Ramaiah (2006) ada
tiga gejala utama asma bronchial yaitu napas berbunyi, batuk dan kesulitan bernapas,
dengan gejala yang ditimbulkan bervariasi dan bisa muncul secara mendadak atau
meningkat perlahan-lahan.
4. Patofisiologi
Terjadinya penyempitan saluran pernafasan pada asma bronchial disebabkan oleh
spasme otot polos saluran napas, edema mukosa dan adanya hipersekresi yang kental.
Penyempitan ini akan menyebabkan gangguan ventilasi (hipoventilasi), distribusi
ventilasi tidak merata dalam sirkulasi darah pulmonal dan gangguan difusi gas di
tingkat alveoli yang akhirnya akan berkembang menjadi hipoksemia, hiperkapnia dan
asidosis pada tingkat lanjut. Perubahan akibat inflamasi merupakan dasar kelainan
faal pada penderita asma bronchial (Mangunnegoro, 2004; Bobak, Lowdermilk dan
Jensen, 2000).
Penyempitan saluran napas ini menyebabkan gejala batuk, rasa berat di dada,
mengik dan hiperresponsif bronkus terhadap berbagai stimuli. Penyebab terjadinya
penyempitan adalah multifaktor, terutama kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi
oleh mediator yang dilepaskan stimuli (Somantri, 2004). Perubahan inflamasi di
dinding saluran napas terutama di daerah peribronkial dapat menambah penyempitan
saluran napas selama kontraksi otot polos. Kontraksi otot polos bronkus terjadi karena
pemendekan yang meningkat pada otot polos bronkus saat kontraksi isotonik (Sterk,
Roisin, 2000). Rangsangan seperti allergen, stres, rangsangan ozon dan infeksi saluran
napas oleh virus mengakibatkan terjadinya episode asma yang berulang/eksaserbasi.
Hal ini merupakan situasi yang harus diwasapadai penderita asma bronchial, karena
eksaserbasi yang sering terjadi menentukan derajat berat-ringannya asma seseorang
(Donno, 2004). Lebih jelasnya fatofisiologi akan digambarkan pada skema di bawah
ini.
68 Konsep Penyakit
Skema 2.1: Patofisiologi Penyakit Asma bronchial
(Dikutif dari Mangunnegoro dkk, 2004; Somantri, 2008)
Pencetus serangan
(alergen, emosi/stres, obat-obatan, infeksi)
Reaksi antigen dan antibodi
Dikeluarkannya substansi vasoaktif
(histamine, bradikinin dan anafilatoksin)
Meningkatkan
Permeabilitas Kapiler
Kontraksi
otot polos
Sekresi mukus
meningkat
• Kontraksi otot polos
• Edema mukosa
• Hipersekresi
Brochopasme
Sekresi mucus
bertambah
Obstruksi
saluran napas
Bersihan jalan napas
tidak efektif
ketidakseimbangan
nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh (risiko)
Hipoventilasi
• Disribusi ventilasi tidak merata dengan
sirkulasi darah paru-paru
• Gangguan dipusi gas alveoli
Gangguan
pertukaran gas
Hipoksemia
Hiperkapnia
Asma Bronchial Pada Kehamilan 69
5. Pengaruh Asma Bronchial pada Kehamilan
Selama kehamilan asma bronchial tidak dapat diprediksi, secara umum disepakati
bahwa derajat asma bronchiale pada ibu hamil, sepertiga akan membaik, sepertiga
akan memburuk, dan sepertiga akan menetap (Mangunnegoro dkk, 2004). Wanita
hamil dengan asma bronchial yang tidak terkontrol dengan baik menunjukkan adanya
peningkatan metabolisme dan kebutuhan oksigen pada ibu maupun janin, yang
mengakibatkan sesak walaupun ibu hanya beraktivitas ringan, hal ini menimbulkan
cemas pada ibu dan keluarga (Wendel, 2001). Terjadinya stres dan peningkatan
metabolisme dapat menimbulkan terjadinya risiko preeklamsi, perdarahan dan
peningkatan insidensi operasi sesar (Barasila, 2004; Mabie, 1996).
Kecemasan yang berkepanjangan menjadi sumber stres bagi ibu, sedangkan kondisi
psikologis seperti stres adalah salah satu pememicu kambuhnya asma bronchial.
Dengan situasi seperti ini serangan asma akan terjadi setiap saat, yang menyebabkan
suplai oksigen ke janin mengalami hambatan dan mengakibatkan hipoksia (kekurangan
oksigen). Janin yang mengalami kekurangan oksigen selama dalam kandungan, akan
mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan, berat lahir rendah. Akibat
badan yang kecil, organ tubuh lainnya pun kecil, termasuk otak, kondisi ini harus
dihindari dengan penatalaksanaan yang sedini mungkin (Barasila, 2000; Cunningham
et al., 2005; Pillitteri, 2003).
Menurut Teirstein (2000), ibu hamil yang menderita asma bronchial terjadi
peningkatan insiden hiperemesis, perdarahan, preeklamsi, prematur, berat badan lahir
rendah dan kematian neonatal. Sebanyak 5,4% wanita hamil dengan asma bronchial
mengalami keguguran, selain itu tiga dari 11 bayi yang dilahirkan mempunyai berat
badan kurang dari 2500 gram (Indah, 1998). Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan
bahwa asma bronchial merupakan risiko tinggi pada kehamilan.
Menegakkan diagnosa dan memonitor perkembangan penyakit dengan minum
obat secara teratur merupakan hal yang sangat penting. Pemahaman dan pengertian
sedini mungkin tentang asma bronchial oleh klien dan keluarga terutama ibu hamil
harus menjadi prioritas (Barasila, 2000). Secara umum obat-obatan untuk asma aman
bagi kehamilan, meskipun demikian adanya keluhan dan gejala yang dialami harus
tetap dikonsultasikan dengan dokter (Indriyani, 2008). Selama menjalani pengobatan,
ibu hamil yang menderita asma bronchial setelah melahirkan aman untuk memberikan
ASI kepada bayi, karena kadar obat-obatan yang masuk ke tubuh bayi melalui ASI
hanya sedikit. Sedangkan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya asma kepada
bayi, dianjurkan pemberikan ASI selama mungkin dan ASI eksklusif, karena ASI dapat
menghambat faktor pemicu terjadinya alergi (Evariny, 2007).
70 Konsep Penyakit
6. Pengaruh Kehamilan pada Asma Bronchial
Beberapa perubahan fisiologik selama kehamilan dapat mempengaruhi ibu hamil
dengan asma bronchial termasuk perubahan mekanik dan hormonal. Perubahan
mekanik pada sistem respirasi yaitu pengembangan rongga dada terhambat karena
tekanan dari uterus ke diafragma saat usia kandungan memasuki trimester III dapat
menyebabkan sesak (Barasila, 2000). Pendapat lain mengatakan gejala asma bronchial
sering memburuk ketika kehamilan berusia 24 hingga 36 minggu, tetapi biasanya akan
membaik pada minggu-minggu terakhir kehamilan. Hal ini terjadi disebabkan oleh
posisi bayi yang mulai turun sehingga mengurangi tekanan pada paru-paru (Kwon,
2004).
Perubahan hormonal terutama efek bronkodilator yang disebabkan steroid
meningkatkan terjadinya eksaserbasi, terutama pada kehamilan trimester I dan II
(Rengganis, 2007). Peningkatan hormon progesteron pada masa kehamilan mempunyai
efek langsung terhadap pusat pernapasan (respiratory center) yang menyebabkan
peningkatan frekuensi pernapasan, sehingga terjadi hiperventilasi. Progesteron juga
bersifat “smooth muscle relaxan” terhadap otot-otot polos usus, genitourinarius dan
bronkus (Schatz, 2004). Efek langsung peningkatan hormon progesteron adalah
menghambat kontraksi otot polos (Kwon, 2004).
Menurut Schatz (2004), pada saat hamil terjadi peningkatan ventilasi yang bersifat
progresif, hal ini disebabkan oleh peningkatan volume tidal dan sirkulasi progesteron.
Peningkatan ventilasi ini tidak seimbang dengan penggunaan oksigen yang bertambah
sebesar 20-35% dan kebutuhan metabolisme yang meningkat pada ibu hamil. Keadaan
ini dapat mengakibatkan alkalosis respiratorik terkompensasi selama kehamilan,
yaitu PO2 meningkat (100-106), PCO2 rendah (23-30). Peningkatan ventilasi juga
dipengaruhi
oleh hormon estrogen yang meningkat terutama saat kehamilan trimester
ketiga, hormon estrogen mempunyai efek menurunkan “diffusing capacity” CO2 dan
meningkatkan penggunaan oksigen, hal ini terjadi karena asam mukopolisakharida
kapiler meningkat (Evariny, 2007).
Peningkatan histamin berpengaruh selama kehamilan, karena histamin yang
berasal dari jaringan janin mempunyai efek asmogenik (Mangunnegoro, 2004).
Histamin yang banyak terdapat dalam plasenta, akan memperburuk keadaan apabila
masuk ke paru-paru, risiko terbesar yang ditimbulkan terjadi hipoksia (Pillitteri, 2003;
Rengganis, 2007). Hormon kortisol juga akan mengalami peningkatan akibat klirens
kortisol yang menurun, bukan karena sekresi yang meningkat, sehingga waktu paruhnya
akan memanjang. Kadar kortisol plasma yang meningkat secara progresif diikuti oleh
peningkatan transkortin yang disebabkan oleh meningkatnya kadar estrogen dalam
darah, maka pemberian obat steroid pada masa kehamilan harus disesuaikan dengan
keadaan ini (Garner, 2004).
Asma Bronchial Pada Kehamilan 71
Penggunaan obat-obat anti asma yang tidak terkontrol selama kehamilan dapat
mempengaruhi kesehatan ibu dan janin. Risiko yang akan terjadi pada ibu antara
lain peningkatan insiden hiperemis, preeklampsia, perdarahan, toksemia gravidarum,
perdarahan dan dapat mengakibatkan kematian (Barasila, 2000; Gilbert dan Harmon,
2003; Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 2000). Sedangkan pada janin mengakibatkan
gangguan pertumbuhan dan perkembangan, berat badan bayi lahir rendah dan
kematian perinatal (Mabie, 1996; Selamihardja, 1999).
7. Pemeriksaan diagnostik
Sebelum dilakukan pemeriksaan, harus dikaji terlebih dahulu riwayat penyakit,
kemudian dilakukan pemeriksaan fisik secara keseluruhan. Foto rontgen dada,
pemeriksaan fungsi dan faal paru, seperti spirometri, pemeriksaan alergi Radio Allergo
Sorbentest (RAST), Analisa gas darah, secara umum pH akan meningkat, PaCO2 dan
PaO2 turun (alkalosis respiratori ringan akibat hiperventilasi), kemudian penurunan
pH, penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2 (asidosis respiratorik) hal ini penting
harus dikaji (Barasila, 2000).
Tabel 2.1. Klassifikasi derajat asma bronchial berdasarkan gambaran klinis
(Dikutif dari Mangunnegoro, 2004; Somantri, 2008)
Derajat asma Bronchiale Gejala Faal Paru
I. Intermitten • Gejala<1x/minggu
• Tanpa gejala diluar serangan
• Serangan singkat
• VEP1 ≥ 80% nilai prediksi
• APE ≥ 80% nilai terbaik
• Variabilitas APE ≤ 20%
II. Persisten ringan • Gejala>1x/minggu, tetapi<1x
sehari
• Serangan dapat
mengganggu aktivitas dan
tidur
• VEP1≥ 80% nilai prediksi
• APE ≥ 80% nilai terbaik
• Variabilitas APE <20-30%
III. Persisten sedang • Gejala setiap hari
• Serangan menganggu
aktivitas dan tidur
• Membutuhkan
bronchodilator setiap hari
• VEP1 60-80% nilai prediksi
• APE 60- 80% nilai terbaik
• Variabilitas APE >30%
IV. Persisten berat • Gejala terus-menerus
• Sering kambuh
• Aktivitas fisik terbatas
• VEP1 ≤ 60% nilai prediksi
• APE ≤ 60% nilai terbaik
• Variabilitas APE >30%.
72 Konsep Penyakit
8. Diagnosis
Penegakan diagnosis sangat penting untuk mendeteksi dini terjadinya asma bronchial
pada ibu hamil. Pencegahan terjadinya serangan hebat selama hamil hendaknya
supervisi ketat harus dilakukan, asma harus dikaji dan dipantau sejak awal, termasuk
derajat berat-ringannya asma (Pillitteri, 2003; Schatz, 2004). Asma bronchial dikategorikan
derajat ringan, apabila gejala kambuh sampai terjadinya serangan maksimal
dua kali/minggu dan adanya batuk dan suara mengik setelah beraktivitas. Kondisi
sedang, bila gejala timbul lebih dari dua kali/minggu. Klasifikasi asma dikatakan berat,
apabila gejala terjadi terus menerus dan ibu tidak dapat beraktivitas sehari-hari, sesak
dan menggunakan otot-otot tambahan pernapasan (Mabie, 1996; Mangunnegoro,
2004). Kematian ibu hamil dapat terjadi akibat asma yang berat dan status asmatikus.
Penyulit yang dapat mengancam nyawa adalah pneumothoraks, pneumo mediastinum,
kor pulmonale, aritmia, serta kelelahan otot dan disertai henti napas (Schatz, 1999).
9. Penatalaksanaan
Tujuan penatalaksanaan ibu hamil dengan asma bronchial adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar penderita dapat hidup normal tanpa hambatan
dan mampu menjalani proses kehamilan dan bersalin dengan sehat dan selamat.
Prioritas utama yang harus dicapai adalah mempertahankan fungsi paru dalam batas
normal, mengontrol gejala, mencegah eksaserbasi dan menghindarkan efek yang tidak
diinginkan dari penggunaan obat-obatan, sehingga ibu maupun bayi yang dilahirkan
sehat dan selamat (Nelson, 1991; Teirstein, 2000).
Keberhasilan penanganan asma bronchial pada kehamilan memerlukan kerja
sama multidisiplin antara lain dokter spesialis kebidanan, perawat maternitas, dokter
umum, perawat ruangan, bidan serta klien dan keluarganya. Penatalaksanaan asma
bronchial pada kehamilan hampir sama dengan penderita asma yang tidak hamil,
namun penekanan harus dilakukan pada tindakan yang segera dan tepat karena
adanya gangguan dalam pemenuhan oksigen pada ibu sangat berisiko terhadap
keselamatan janin. Ibu harus mampu memahami perubahan yang terjadi secara
fisik dan psikologis pada kehamilan dan riwayat asma bronchial memerlukan sistem
adaptasi. Mengingat keadaan emosi ibu hamil yang sangat labil, maka stres dan cemas
harus dihindari dalam kehidupan ibu, karena hal ini dapat menjadi salah satu faktor
pencetus kambuhnya asma. Penatalaksanaan dan perawatan dengan menggunakan
pendekatan secara psikologis sangat penting dilakukan.
Selain itu peningkatan stamina tubuh juga perlu diperhatikan. Mempertahankan
fungsi paru normal dengan cara mengontrol gejala dan mencegah komplikasi serta
tata laksana asma yang efektif seperti pemberian oksigen. Fisioterapi dilakukan untuk
mengeluarkan dahak. Jalan kaki santai di udara yang bersih dan segar serta makanan
Asma Bronchial Pada Kehamilan 73
bergizi dan sehat dapat menambah kebugaran ibu dan mengoptimalkan perkembangan
janin (Ramaiah, 2006; Selamihardja, 1999).
Secara umum penatalaksanaan asma bronchial yang dapat dilakukan pada ibu
hamil adalah (Mabie, 1996; Weinberger 1995; Mangunnegoro, 2004) :
a. Monitor fungsi paru ibu dan kesejahteraan janin. Pengukuran fungsi paru sangat
penting dilaksanakan untuk memonitor derajat asma. Keadaan normal, konsumsi
oksigen pada ibu hamil akan meningkat 20% dan laju metabolik maternal akan
meningkat 15%. Situasi ini mengakibatkan terjadinya sesak hiperventilasi secara
fisiologis. Pemeriksaan yang dilakukan untuk memantau fungsi paru adalah pengukuran
FEV1 (forced expiratory volume in 1 second) yaitu volume ekspirasi paksa
dalam satu detik, PEF (peak expiratory flow), aliran ekspirasi/saat membuang napas
puncak (Mangunnegoro, 2004).
Monitor janin meliputi penentuan usia kehamilan, pemeriksaan USG, menilai
pertumbuhan dan perkembangan janin, dan observasi denyut jantung janin.
Indikasi pemeriksaan bunyi jantung janin dengan alat kardiotokografi pada penderita
asma bronchiale dilakukan bila dicurigai adanya gangguan pertumbuhan
janin, penyakit asma sedang sampai berat, terjadi eksaserbasi yang berulang dan
penurunan gerakan janin (Barasila, 2000).
b. Menghindari hal atau bahan yang dapat mencetuskan asma bronchial. Bahan
yang dapat digolongkan sebagai alergen antara lain bulu binatang, debu rumah,
tepung sari tumbuhan, jamur, tungau, kecoa. Bahan yang bersifat iritan seperti
asap rokok, asap kompor, bau-bauan seperti parfum, cat, pembersih, masakan,
polusi udara, obat-obatan dan lain-lain. menghindari tempat polusi dan hal-hal
lain yang mencetuskan eksaserbasi. Vaksinasi influensa juga menjadi pilihan pada
penderita asma derajat sedang sampai berat (Mabie, 1996).
c. Penyuluhan yang baik dan benar oleh petugas kesehatan terutama perawat yang
mendampingi pasien adalah hal yang sangat penting. Tujuan edukasi adalah
membantu penderita agar dapat melakukan penatalaksanaan dan mengkontrol
asma dengan baik. Ibu hamil dengan asma harus memahami apa yang akan
dilakukan segera apabila serangan asma terjadi secara tiba-tiba. Edukasi tentang
pengertian asma, penyebab, proses terjadinya, bagaimana cara mencegah dan
apa akibat pada kehamilan harus diberikan sedini mungkin (Cunningham, 2005;
Pillitteri, 2003).
Ibu hamil dengan kondisi takut dan cemas, membutuhkan perhatian dan motivasi
secara psikologis. Dukungan moril perlu diberikan oleh orang terdekat terutama
keluarga dan suami. Adanya hubungan yang baik dan rasa percaya diharapkan
dapat memfasilitasi ibu dalam beradaptasi terhadap keadaannya. Pemberian
informasi dan kemudahan untuk menghubungi petugas kesehatan merupakan
salah satu hal penting bagi ibu dan keluarga (Kusuma, 2008).
74 Konsep Penyakit
Salah satu cara untuk mencegah terjadinya serangan asma selama hamil, sebaiknya
mengurangi aktivitas dan banyak istirahat, hindari flu, batuk, pilek, atau infeksi
saluran napas lainnya. Apabila terserang flu atau sesak, segera minum obat dan
konsultasi dengan dokter. Jangan memelihara kucing atau hewan berbulu lainnya.
Pilih tempat tinggal yang jauh dari polusi dan membuat alergi, seperti bulu karpet,
kapuk, asap rokok, dan debu. Hindari stres dan ciptakan lingkungan psikologis
yang tenang, rilek, mengatur pernapasan dan olahraga atau senam asma (Pitaloka,
2003; Ramaiah, 2006).
d. Terapi medis/obat-obatan
Hal yang penting diperhatikan adalah memenuhi oksigenisasi janin agar tetap
adekuat. Obat yang digunakan pada dasarnya tidak berbeda banyak dengan obat
pasien asma pada umumnya, namun harus dipertimbangkan kemungkinan efek
obat terhadap janin, usahakan pemakaian obat inhaler saja bila memungkinkan
(Mangunnegoro, 2004). Obat yang secara umum dihindari adalah golongan agonis
adrenergik seperti epinefrin, sulfonamid, tetrasiklin dan quinolon, sedangkan
pemakaian antagonis β-2, steroid inhalasi, metil xantin, ipatropium bromida secara
umum dipakai pada penatalaksanaan asma bronchiale dan dapat ditoleransi
selama kehamilan karena aman untuk janin (Barasila, 2000; Mangunnegoro,
2004).
Kortikosteroid dapat digunakan untuk mengobati asma pada ibu hamil dengan cara
dan alasan yang sama seperti pengobatan asma sebelum hamil. Karena prednisolon
dimetabolisme oleh plasenta hanya sedikit yaitu sekitar 10% yang mencapai fetus.
Beberapa penelitian menunjukkan tidak ada peningkatan risiko aborsi, malformasi
kongenital ataupun kematian prenatal yang disebabkan pemakaian steroid pada ibu
hamil (Schatz, 1997). Kortikosteroid inhalasi mencegah eksaserbasi asma selama
kehamilan dan merupakan pengobatan profilaksis terpilih (Schat, 1999). Namun harus
diingat pemakaian kortikosteroid sistemik terkenal memiliki efek samping yang serius
apabila diberikan dengan dosis yang besar untuk jangka waktu yang lama, sehingga
pemberian obat ini harus dikontrol dan sesuai dengan dosis yang telah ditentukan
(Mabie, 1996). Secara lebih rinci penatalaksanaan asma dapat dilihat pada skema di
bawah ini.
Asma Bronchial Pada Kehamilan 75
Skema 2.2 Penatalaksanaan Asma Bronchial pada Kehamilan
(Dikutif dari Weinberger, 1995; Kwon, 2004; Liu, 2001)
Karakteristik
Klinik
Pengawasan fungsi
paru ibu (VEP 1/APE)
Terapi Hasil
• Gejala
terus- menerus
• aktivitas terbatas
• Sering mengalami
eksaserbasi
• Sering mengalami
sesak malam hari
• Sering
memerlukan
pengobatan
emergensi
< 60% nilai dasar
Sangat bervariasi
20-30 & dengan obat
yang rutin
Variasi > 50%
saat eksaserbasi
Obat antiinflamasi:
• -Inhalasi KS2x4-6
semprot
• -Kromolin 2x/hr
• -Teofilin oral lepas
lambat
• -Agonis β-2
oraldan
• -inhalasi agonis
β-2
Dengan ekstra
(2-4semprot)/
nebulizer saat
eksaserbasi
• Peningkatan
fungsi paru
• Penurunan
variabiliti APE
• Aktiviti dalam
batas normal
• Tidak ada
gangguan
istirahat/ tidur
• Penurunan
eksaserbasi
• Turun
frekwensi
inhalasi agonis
β-2
• Penurunan
pemberian
steroid dosis
tinggi
• Pertumbuhan
janin sesuai
• Tidak terjadi
komplikasi
kehamilan
• Ibu mengerti
dan paham
akan
penyakitnya
Pengawasan janin
trimester II & III
sebelum persalinan
• USG menentukan
usia kehamilan &
pertumbuhan janin
• Ukur tinggi fundus
• Hitung gerak janin/har
• Konsultasi perinatal
Jika pertumbuhan janin
lambat atau turun
Menotoring USG
Bila tidak normal
Segera evaluasi janin
Konsultasi perinatal
• Kortikosteroid
• Gejala aktif 40 mg/
hr, tunggal/dosis
terbagi selama 1
mgg.
• Pertimbangkan
pemakaian tiap/hr
• Review status
asma ibu
• Segera evaluasi
janin
• Evaluasi obstetri
Ibu dapat menjalani
proses kehamilan
dengan normal dan
melahirkan bayi
dengan selamat
76 Konsep Penyakit
Ketuban Pecah Dini 77
A. Pendahuluan
Millenium Development Goals, yang telah disepakati oleh 189 negara, termasuk
Indonesia memuat berbagai target dan indikator kesejahteraan masyarakat yang
harus dicapai oleh setiap negara di tahun 2015. Target dan indikator tersebut
meliputi memberantas kemiskinan dan kelaparan, mewujudkan pendidikan dasar,
meningkatkan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, mengurangi
angka kematian bayi, meningkatkan kesehatan ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria
dan penyakit lainnya, menjamin pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan,
mengembangkan kemitraan global dalam pembangunan (BAPENNAS, 2007).
Saat ini kesehatan ibu dengan indikator Angka Kematian Ibu (AKI), di Indonesia
masih tertinggi di Asia Tenggara. Penyebab tingginya AKI tersebut antara lain disebabkan
karena : perdarahan, toksemia gravidarum, infeksi, partus lama dan komplikasi abortus
(Depkes RI, 2002). Berbagai penyebab AKI tersebut diatas dapat terjadi pada periode
kehamilan, persalinan maupun periode post partum.
Berbagai infeksi perinatal sebagai salah satu penyebab kematian ibu dan kelainan
pada janin, yang dapat terjadi saat kehamilan, antara lain: vaginitis, TORCH, Sexual
Transmitted Disease, HIV-AIDS ataupun infeksi yang terjadi karena selaput amnion
yang telah ruptur sebelum usia kehamilan aterm atau telah aterm. Indrawati dan
Hadiwidjaya (2008), menyebutkan infeksi plasenta terjadi pada 80% kasus Rubella dan
dapat pula berisiko terhadap kerusakan jantung, mata, atau telinga janin sangat tinggi
KETUBAN PECAH DINI
Restuning Widiasih, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
78 Konsep Penyakit
pada trisemester pertama, dan jika infeksi maternal terjadi sebelum usia kehamilan
12 minggu, maka 60% bayi juga akan terinfeksi. Selanjutnya risiko akan menurun
menjadi 17% pada usia kehamilan 14 minggu dan menurun kembali menjadi 6%
setelah usia kehamilan 20 minggu (www.mawarbiru.net).
Ketuban pecah dini (PROM: Premature Rupture Of Membrane) adalah kondisi
yang berhubungan dengan pecah atau rupturnya membran amnion secara spontan
sebelum adanya tanda persalinan aktif, yang muncul saat usia kehamilan preterm
ataupun aterm (Mattson, 2000). Faktor risiko terjadinya ketuban pecah dini antara lain
adalah status social ekonomi rendah, perokok, mempunyai riwayat penyakit menular
seksual, mempunyai riwayat persalinan preterm, pendarahan vaginal, distensi uterus
karena cairan amnion yang jumlahnya lebih dari normal atau polyhydramnion, dan
kehamilan ganda atau lebih, dan klien yang mendapatkan prosedur tertentu seperti
amniocentesis (Mattson, 2000).
Pecahnya selaput amnion pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu, terjadi
pada sekitar 3% kehamilan dan hal tersebut menjadi penyebab sekitar sepertiga
kelahiran preterm. Kondisi kelahiran preterm dapat secara signifikan mendorong
terjadinya peningkatan angka kesakitan bayi yang antara lain meliputi sindrom distres
pernapasan, infeksi neonatal, prolaps tali pusat, solusio plasenta hingga terjadinya
kematian (Fernando, 1998).
Di rumah sakit rujukan di Indonesia menunjukkan insiden ketuban pecah dini yang
meningkat setiap tahunnya, dan dalam tiga tahun terakhir mencapai 8,3%, dengan
primigravida yang mengalami ketuban pecah dini hingga 60%, dan ketuban pecah
dini pada kehamilan preterm mencapai 6,3% (Heliani dan Wijayanegara, 2000). Data
dari Bagian Obstetri Ginekologi Rumah sakit Fatmawati tahun 2008, menunjukkan
peningkatan kejadian ketuban pecah dini setiap tahunnya, tercatat pada tahun 2006
ketuban pecah dini terjadi pada 279 ibu hamil dan tahun 2007 tercatat sebanyak 539
ibu hamil mengalami ketuban pecah dini (Departemen Obstetri & Ginekologi, RSUP
Fatmawati, 2008).
Komplikasi pada ketuban pecah dini dapat terjadi pada ibu maupun janin.
Komplikasi pada ibu antara lain: klien dengan ketuban pecah dini akan melahirkan
segera dalam waktu 24 jam setelah pecah ketuban, sedangkan klien yang tidak
melahirkan segera akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi seperti chorioamnionitis,
endometritis, sepsis, dan neonatal infeksi. Komplikasi terhadap janin, antara lain dapat
terjadinya sindrom distres pernafasan, perdarahan intraventricular, paten duktus
arteriosus dan nekrosis enterokolitis. Kelahiran prematur menjadi suatu penyebab
signifikan yang meningkatkan angka kesakitan bayi dan banyak terjadi setelah selaput
ketuban mengalami ruptur. Prosentase komplikasi ketuban pecah dini pada ibu antara
lain: bersalin segera dalam waktu satu minggu (50-70%), terjadinya chorioamnionitis
(13-60%), dan solusio placenta (4-12%), sedangkan pada janin dapat terjadi sindrom
Ketuban Pecah Dini 79
distres pernapasan (35%), kompresi tali pusat (32-76%), dan kematian antepartum
(1-2%) (Medina, 2002).
Berbagai penelitian menunjang bahwa, kondisi ketuban pecah dini dapat
menyebabkan berbagai komplikasi, seperti penelitian Suwiyoga dan Raka (2000)
menyebutkan terdapat hubungan bermakna antara korioamnionitis, lama ketuban
pecah, dan frekuensi periksa dalam terhadap insiden sepsis neonatorum dini. Dari 113
ibu hamil yang mengalami ketuban pecah dini, diikuti perkembangannya sampai hari
ke 4 pospartum, dan didapatkan insiden sepsis neonatorum dini adalah 4,4%. Risiko
relatif sepsis neonatorum dini pada ibu dengan korioamnionitis adalah 46 kali lebih
besar dibandingkan dengan ibu tidak mengalami korioamnionitis. Lamanya waktu
ketuban pecah juga semakin meningkatkan risiko terjadinya sepsis neonatorum,
pada lama ketuban pecah antara 12-18 jam adalah 6 kali lebih berisiko terjadi sepsis
neonatorum, lama ketuban pecah antara 18-24 jam akan meningkatkan risiko menjadi
9 kali. Risiko terjadinya sepsis neonatorum dini adalah 9 kali lebih berisiko pada ibu
yang dilakukan periksa dalam lebih dari 8 kali (Suwiyoga dan Raka, Cermin Dunia
Kedokteran, 34(5),158-168).
Penelitian lain menunjukkan bahwa ibu hamil dengan ketuban pecah dini mempunyai
risiko yang lebih tinggi terhadap berkembangnya solusio plasenta, dan risiko
menjadi lebih meningkat lagi pada kondisi infeksi intra uteri dan oligihydramnion.
Keseluruhan timbulnya solusio plasenta adalah 0,87% pada ibu hamil, dengan risiko
solusio adalah 3,58 kali lebih tinggi pada ibu hamil dengan ketuban pecah dini
dibandingkan dengan ibu hamil dengan selaput ketuban yang utuh, dan tingkatan
solusio ibu hamil dengan dan tanpa infeksi di dalam kandungan adalah 4,81% dan
0,83%. Oligohidramnion juga meningkatkan risiko terjadinya solusio 7,17 kali,
sedangkan
infeksi intra uteri juga meningkatkan 9, 03 kali dibandingkan dengan yang
tidak mengalami infeksi (Ananta et al., 2002).
Berbagai perubahan fisik maupun psikis harus diadaptasi ibu dengan segera saat
terjadi ketuban pecah sebelum waktunya. Perubahan fisik pada ibu, seperti cairan
amnion yang tiba-tiba keluar dari vagina, uterus yang mulai berkontraksi, pada usia
kehamilan yang belum cukup. Kondisi fisik tersebut berpengaruh terhadap kondisi
psikis ibu, di mana ibu menjadi cemas akan keselamatan bayinya, ketakutan akan
kehilangan bayi, kecemasan juga dapat berhubungan dengan berbagai perlengkapan
kebutuhan bayi yang belum dipersiapkan, juga berkaitan dengan biaya melahirkan
yang belum ada. Selain pada ibu perubahan fisik pun terjadi pada janin, jika terjadi
kompresi tali pusat berarti oksigenasi terganggu, sehingga terjadi gawat janin, akibat
infeksi yang terjadi tumbuh kembang janin dapat terhambat, dan akhirnya janin harus
lahir prematur.
Bagi primigravida, berbagai perubahan fisik maupun psikis di atas dapat menjadi
suatu stressor yang berat, karena kehamilan tidak berjalan sesuai dengan yang
80 Konsep Penyakit
diharapkan, di sisi lain kehamilan yang pertama ini bisa jadi adalah kehamilan
yang sangat diharapkan oleh ibu sendiri, pasangan maupun keluarga. Pengalaman
yang masih terbatas pada primigravida kadang membuat ibu hamil dengan mudah
mempercayai berbagi informasi yang diterimanya dari berbagai pihak, di mana
informasi tersebut tidak selalu sesuai dengan kesehatan, dan berbagai nilai-nilai
budaya pun dapat mempengaruhi primigravida. Kondisi-kondisi di atas dapat berakibat
timbulnya koping yang mal adaptif dan penanganan yang terlambat terhadap masalah
ibu, yang akhirnya berdampak pada janin.
Perubahan psikis yang terjadi pada ibu hamil dengan ketuban pecah dini
juga sesuai dengan penelitian kualitatif dari Peifan (2004) yang meneliti tentang
pengalamanan transisi peran maternal pada ibu hamil yang dirawat dengan PROM:
suatu studi fenomenologi, terhadap 13 pasang partisipan, dengan usia kehamilan
27 minggu, dan telah merasakan gerakan janin, setelah dilakukan analisis Colaizzi’s
mendapatkan tema yaitu: kehilangan yang tertunda, perhatian tentang keselamatan
janin, identifikasi peran maternal, dan proses terbentuknya peran maternal (Peifan,
www.medline.com).
Dengan kondisi tersebut di atas perawat harus dapat mengantisipasi dengan
melakukan asuhan keperawatan menggunakan teori dan model keperawatan yang
sesuai dengan kebutuhan ibu sehingga dapat meminimalisasi atau mencegah berbagai
komplikasi yang dapat timbul akibat ketuban pecah dini, dan akhirnya ibu dapat
beradaptasi serta memiliki koping yang adaptif dalam menghadapi stressor tersebut.
B. Pengertian Ketuban Pecah Dini
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelumnya proses
persalinan berlangsung. KPD dapat terjadi pada kehamilan aterm dan preterm. KPD
aterm atau Term PROM (The Term Prelabor Rupture of The Membrane) adalah KPD
yang terjadi pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
PROM (Premature Rupture of the Membrane) adalah KPD terjadi pada kehamilan
kurang dari 37 minggu (Cuningham et al., 2001).
C. Etiologi dan Faktor Risiko
Mekanisme pecahnya selaput ketuban belum diketahui dengan baik. Biasanya selaput
ketuban tetap utuh dan pecah spontan pada akhir fase aktif dalam persalinan. KPD
dapat terjadi karena penurunan kekuatan selaput ketuban atau peningkatan tekanan
intrauterin yang berlebihan atau kedua-duanya, walaupun penyebab karena tekanan
intrauteri yang berlebihan seperti multiple gestasi, polihidramion tidak didukung oleh
Ketuban Pecah Dini 81
penelitian klinik, karena tidak semua pasien dengan tekanan intrauteri yang tinggi
akan terjadi KPD.
Lemahnya selaput ketuban ini dapat disebabkan oleh protease dari bakteri dan
kontraksi uterus. Secara eksperimental dan klinis adanya infeksi sebagai faktor yang
mendasari lemah dan pecahnya selaput ketuban sudah dibuktikan.
Ada pun penyebab KPD menurut Fernando (1998) adalah:
a. Kelemahan selaput ketuban dapat disebabkan oleh:
1) Abnormalitas atau rendahnya stuktur kolagen amnion tipe III:
- akibat berkurangnya ketebalan kolagen.
- adanya enzyme kolagenase dan protease yang menyebabkan depolimerisasi
dari kolagen, sehingga elastisitas kolagen berkurang.
2) Infeksi bakteri, dapat melalui beberapa mekanisme seperti:
• Meningkatnya jumlah lisolesitin dalam cairan amnion yang dapat mengaktivasi
enzim phospolipase A2. Aktivitas enzim phospolipase A2 akan
merangsang pelepasan prostaglandin, interleukin 1 maternal dan endotoksin
bakteri sehingga terjadi kontraksi uterus yang mengakibatkan
terjadinya KPD.
• Selaput amnion dapat rusak akibat dilepaskannya radikal bebas dan reaksi
peroksidase, dan produksi enzim proteolitik.
• Sperma dan semen dapat mengakibatkan infeksi asenden, pada kondisi
higienis yang buruk.
b. Faktor Obstetrik
1) Inkompetensi serviks
2) Hal-hal yang menyebabkan tekanan intra uteri meningkat, seperti: kehamilan
ganda, hidramnion, solusio plasenta.
c. Diet dan kebiasaan
Defisiensi Cu, Zn, vitamin C dan wanita hamil yang mempunyai kebiasaan
merokok, cenderung untuk mengalami KPD.
d. Aktivitas seksual.
Orgasme dan seminal prostaglandin dapat merangsang timbulnya kontraksi uterus,
yang merupakan faktor predisposisi terjadinya KPD.
D. Pemeriksaan Penunjang pada Ketuban Pecah Dini (Fernando,
1998)
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis ketuban pecah dini dapat dilakukan
dengan cara diagnosis non invasif dan diagnosis invasif. Diagnosis non invasif
meliputi antara lain: Observasi langsung terhadap cairan yang keluar dari vagina, tes
nitrazine, tes fern, tes evaporasi, ultrasonografi, tes diamine oksidase, tes fibronectin
82 Konsep Penyakit
fetal, tes alfa fetoprotein, dan diagnosis invasif antara lain flouresensi intraamniotic
dan amnioskopi. Pemeriksaan penunjang pada ketuban pecah dini adalah:
1. Observasi langsung keluarnya cairan amnion dari dalam vagina
Diagnosis terjadinya KPD mudah dilakukan jika terlihat cairan amnion di vagina
dan jika tidak terlihat cairan mengalir, lakukan penekanan ringan pada uterus atau
pada bagian janin akan dapat memperlihatkan adanya aliran ketuban, selain cara
tersebut ada cara lain dengan meminta pasien untuk batuk atau mengedan (valsava).
Selanjutnya cairan yang mengalir diperiksa ke laboratorium, cairan diambil dari
forniks posterior, dengan menggunakan spekulum steril untuk menghindari bias
karena kontak dengan dinding vagina.
Observasi juga dapat menunjukkan kulit kepala atau rambut janin pada pemeriksaan
inspekulo, yang menunjukkan bahwa ketuban telah pecah.
2. Tes Nitrazin
Tes ini dilakukan dengan menggunakan kertas nitrazin atau kertas lakmus yang
dicelupkan ke cairan amnion. Normalnya pH vagina sekitar 4.5 - 5.5, sedangkan
cairan amnion mempunyai pH alkali sekitar 7.0 - 7.5. Kertas nitrazin akan cepat
berubah menjadi biru jika terkena cairan amnion, namun hasil dapat menunjukkan
positif palsu yang disebabkan karena cairan antiseptik, urin, darah, semen, lendir
serviks dan infeksi vagina (trikomonas, bakteri vagina) yang dapat merubah pH
vagina. Tes nitrazin ini memiliki angka positif palsu sekitar 16% dan angka negatif
palsu 12.7% dan keakuratan tes ini sekitar 90-98%.
3. Tes Fern
Tes dilakukan dengan cara mengambil sample cairan amnion, kemudian diletakkan
di objek glass hingga mengering, kemudian diobservasi menggunakan mikroskop.
Gambaran pakis terlihat pada hasil observasi mikroskop jika cairan amnion.
Keakuratan tes fernig ini sekitar 85-98%, dan mendekati 100% terhadap diagnosis
PROM, jika dikombinasikan dengan tes nitrazine yang hasil tesnya positif.
4. Tes Evaporasi
Tes ini menggunakan sample cairan endoserviks, cairan tersebut diambil dan
dipanaskan sampai airnya menguap dan terdapat residu, jika residu berwarna
putih berarti itu merupakan cairan amnion, sedangkan jika residu berwarna coklat
kemungkinan selaput ketuban masih utuh.
5. Ultra Sonografi (USG)
Dilakukan pemeriksaan USG hanya pada kasus dengan hasil yang tidak jelas
pada pemeriksaan penunjang sebelumnya atau pada hasil pemeriksaan speculum
steril yang hasilnya negatif. Hasil USG dengan indeks cairan amnion yang normal
belum dapat menyingkirkan diagnosis selaput ketuban yang telah pecah.
6. Tes Fluoresensi Intra Amnion
Tes dilakukan jika KPD tidak dapat ditegakkan dengan teknik yang noninvasif.
1 - 5% sodium flouresensi disuntikkan ke dalam rongga amnion disertai dengan
Ketuban Pecah Dini 83
pemasangan tampon pada vagina, kemudian ditunggu 2 jam lalu evaluasi apakah
material flouresesi terdeteksi pada tampon, jika terdapat warna biru pada tampon
yang dipasang di vagina merupakan tanda positif adanya PROM.
7. Amnioskopi
Suatu prosedur invasif yang jarang dilakukan untuk mendiagnosis KPD karena
dapat menyebabkan pecahnya ketuban jika masih utuh dan kemungkinan masuknya
infeksi pada saat tindakan.
8. Tes Diamin oksidasi
Diamin oksidase merupakan suatu enzim yang diproduksi desidua yang terdapat
pada cairan amnion.Tes ini cukup akurat untuk mendeteksi KPD dengan cara
menempelkan kertas strip untuk kontak langsung dengan dinding vagina dan
menilai cairan yang ada, namun karena dinilai cukup rumit test ini sehingga jarang
digunakan.
9. Fetal Fibronectin (FN)
Fibronectin fetal adalah molekul glikoprotein yang jumlahnya cukup banyak
pada cairan amnion. Zat ini dapat dideteksi pada cairan endoserviks atau vagina
klien yang mengalami KPD. Keakuratan test ini mencapai 100% jika telah terjadi
pecahnya selaput ketuban. Jika hasil negatif, menunjukkan tidak adanya ketuban
pecah. Positif palsu dapat terjadi pada perdarahan hebat, persalinan dan hubungan
seksual.
10. Tes Alfa-fetoprotein.
Alfa fetoprotein menunjukkan konsentrasi yang tinggi di cairan amnion, dan
pada keadaan normal tidak akan terdeteksi di sekresi vagina maupun urine. Jika
terdeteksi maka menunjukkan kondisi akurat bahwa klien mengalami KPD.
E. Penatalaksanaan Medis
Menurut Fernando (1998), langkah pertama penatalaksanaan PROM adalah
mengidentifikasi
apakah klien membutuhkan persalinan segera, apabila telah teridentifikasi,
selanjutnya managemen PROM juga berhubungan dengan usia dari kehamilan,
masing-masing tahapan diuraikan sebagai berikut:
a. Identifikasi klien berhubungan dengan kebutuhan untuk segera bersalin.
Klien dalam kala aktif persalinan, di mana dilatasi servik sudah 4 cm atau lebih
dan kontraksi sudah teratur, tidak ada usaha yang berarti yang dapat dilakukan
untuk menghentikan proses dan memperpanjang kehamilan. Pemberian tokolitik
tidak akan berarti dan dapat berisiko terjadinya edema paru.
Klien dengan kondisi paru janin yang sudah matur, kondisi kematangan paru
dapat dilihat dari rasio lesitin: spingomielin, phosphatidylglycerol. Jika sudah
menampakkan paru yang matang sebaiknya dilahirkan.
84 Konsep Penyakit
Klien dengan malformasi janin, penting untuk melibatkan keluarga dalam
pengambilan keputusan. Management konservatif tidak dapat dipisahkan dengan
resiko infeksi pada ibu pada janin yang malformasi.
Klien dengan janin yang mengalami distress pernafasan, jika didapatkan denyut
jantung janin melemah, terjadi deselerasi, atau bradicardia, maka segera
dilahirkan.
Klien dengan infeksi, jika klien mengalami chorioamnionitis, maka dilakukan
persalinan segera secara pervaginam maupun operasi.
b. Penentuan penatalaksanaan medis berdasarkan usia kehamilan.
Usia kehamilan lebih dari 36 minggu, ketuban pecah setelah usia kehamilan 36
minggu, maka persalinan tidak ditunda lagi. Jika dalam 24 jam bayi tidak lahir,
maka induksi diberikan jika serviks sudah matang dengan terus memantau suhu
ibu, denyut jantung janin (DJJ), dan pemberian antibiotik setiap 6 jam.
Usia kehamilan antara 32-36 minggu, komplikasi terbesar pada usia kehamilan
ini adalah chorioamnionitis.Induksi oksitosin dapat dilakukan jika serviks matang,
jika belum matang besar kemungkinan dilakukan operasi SC. Selain itu ibu juga di
therapi antibiotik.
Usia kehamilan 26-32 minggu, pada usia tersebut berisiko terhadap sindrom
distress pernafasan pada janin, pasien harus dirawat di rumah sakit, janin harus
dimonitor kesejahteraannya dengan teknik non stress test (NST), pemberian
tokolitik untuk memperpanjang periode laten, pemberian pematang paru dan
antibiotik. Jika terdapat tanda infeksi maka segera lahirkan.
Usia kehamilan kurang dari 26 minggu, kehamilan ini digolongkan sebagai
persalinan dengan janin yang berisiko. Terdapat 48% janin lahir dalam 3 hari,
67% janin lahir dalam satu minggu, dan 83% janin lahir dalam 2 minggu. Angka
kematian perinatal meningkat 60-90%. Tidak ada manajemen yang menunjukkan
peningkatan kesejahteraan janin. Terapi secara progresif diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan janin yang meliputi pemberian tokolitik,
glucocorticoid, phenobarbital, vitamin K dan antiboitik.
Penatalaksanaan medis sebagai upaya untuk menghindari persalinan pada ketuban
pecah dini adalah:
a. Penatalaksanaan non intervensi atau menunggu atau ekspektatif adalah
penatalaksanaan
persalinan hanya dengan ditunggu hingga terjadi secara spontan.
b. Penatalaksanaan dengan intervensi yaitu pemberian kortikosteroid, dengan
atau tanpa tokolitik untuk menghentikan persalinan preterm, dan kortikosteroid
mempunyai waktu untuk menginduksi pematangan paru (Cuningham et al.,
2001).
Selain penatalaksanaan di atas, Cuningham et al. (2001) menyebutkan tindakan
Amnionfusion dapat dilakukan untuk mengganti cairan amnion yang berkurang
Ketuban Pecah Dini 85
secara patologis, dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kompresi tali pusat.
Amnionfusion dilakukan dengan cara penginfusan normal saline yang dihangatkan
pada suhu tubuh, kemudian dengan menggunakan kateter intrauterin dimasukkan
kedalam rongga uterus untuk meningkatkan jumlah cairan disekeliling tali pusat.
Skema 2.3 Penatalaksanaan Medis Ketuban Pecah Dini
Sumber: Fernando (1998)
Identifikasi pasien
yang membuthkan
persalinan
Fase aktif persalinan, paru
matang, malformasi janin,
distress janin, infeksi, resti
infeksi
Gambaran usia
kehamilan
Lebih dari
36 minggu
Serviks matang
Serviks
belum matang
Usia 32-36
minggu
Management
ekspektatif selama
24 jam, ampicilin
Serviks matang
Dilakukan
persalinan
Serviks blm
matang
Usia 26-32
minggu
Usia kurang
dari 26 mg
Management
ekspektatif,
ampicilin.
Manaj ekspektatif,
ampicilin,
celestonen
Manaj ekspektatif,
antibiotic,
Phenobar
bital, vitamin K,
Celestone
Fase aktif
persalinan,
infeksi, fetal
distress
86 Konsep Penyakit
F. Komplikasi yang Dapat Terjadi Akibat Ketuban Pecah Dini
Kondisi ketuban yang sudah pecah sebelum waktunya, dapat menyebabkan berbagai
komplikasi, pada ibu maupun pada janin yang sedang dikandung, komplikasi tersebut
adalah:
a. Komplikasi pada ibu
1) Infeksi
Infeksi chorioamnion adalah kasus yang sering terjadi sebagai komplikasi dari
ketuban pecah premature, dengan insiden chorioamnionitis sekitar 4,2% -
10,5% dari kasus KPD.
Tanda-tanda adanya infeksi antara lain, suhu tubuh yang meningkat lebih
dari 37,8OC, tachicardia pada ibu dan janin, kontraksi uterus, tercium bau
yang tidak sedap dari cairan amnion, dan pada pemeriksaan darah ditemukan
leukositosis.
2) Solusio plasenta
Insiden klien dengan solusio plasenta adalah sekitar 6% pada klien yang
mengalami ketuban pecah dini. Kondisi ini biasanya terjadi pada klien
dengan volume cairan yang berkurang hingga oligohydramnion. Tanda klinis
yang ditemui antara lain perdarahan pervaginam sedang hingga berat, dan
persalinan preterm.
3) Masalah psiko juga dapat terjadi akibat dari keluaran cairan dari vagina secara
terus menerus dalam usia kehamilan yang belum cukup dan persalinan yang
berisiko bayi prematur sehingga meningkatkan biaya untuk perawatan.
b. Komplikasi pada janin
1) Penyakit membran hyaline
Kondisi ini biasanya berkaitan dengan pematangan paru di janin. Terdapat
hubungan yang bermakna antara terjadianya chorioamnionitis dengan
penyakit
ini, 18% ibu yang mengalami chorioamnionitis bayinya mengalami
penyakit ini.
2) Hypoplasia pulmoner
Komplikasi ini biasanya timbul pada janin yang usianya kurang dari 26
minggu. Karakteristik penyakit ini adalah adanya distress pernapasan segera
setelah lahir dan perlunya support ventilator setelah dilahirkan segera.
3) Distress janin
DJJ yang abnormal biasanya ditemukan pada 7,8% janin dengan KPD, dan
deselerasi juga terjadi akibat kompresi talipusat yang terjadi karena adanya
oligohidramnion.
4) Deformitas janin
Deformitas wajah dan skeletal biasanya terjadi pada KPD yang telah terjadi
lama, dan sebagian besar terjadi pada kehamilan kurang dari 26 minggu dan
Ketuban Pecah Dini 87
telah mengalami fase laten 5 hari atau lebih.
5) Kelainan kongenital
Kenyataan yang penting pula untuk diperhatikan bahwa insiden kelainan
konginetal tinggi pada kasus KPD, data dari Yale-New Haven menyebutkan
bahwa 4 dari 20 klien yang tidak mengalami distress pernapasan pada KPD
meninggal karena kelainan konginetal (Fernando, 1998).
88 Konsep Penyakit.
MODEL KONSEP
DAN TEORI KEPERAWATAN PADA
KASUS OBSTETRI GINEKOLOGI
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
Pada Kasus Obstetri Ginekologi
Aplikasi Konsep Model Keperawatan
Need For Help pada Grande Multipara
91
APLIKASI KONSEP
MODEL KEPERAWATAN NEED FOR HELP
PADA GRANDE MULTIPARA
Ns. Yulia Irvani Dewi, M.Kep., Sp.Mat.
A. Latar Belakang Masalah
Perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan mempunyai andil besar dalam membantu
pemerintah untuk menurunkan angka kematian ibu. Melalui perannya sebagai
edukator, konselor, advokat, perawat berkontribusi dalam meningkatkan kualitas
kesehatan reproduksi perempuan Indonesia.
Strategi intervensi spesifik keperawatan yang dilakukan pada ibu bersalin grande
multipara adalah dengan menerapkan konsep “Need for Help” Wiedenbach. Asuhan
keperawatan yang diberikan berfokus pada pemenuhan kebutuhan klien yang memiliki
potensi untuk mengurangi atau memperbaiki kemampuan dalam mengatasi suatu
masalah. Ibu bersalin adalah penerima bantuan dari tenaga keperawatan, berupa
pengetahuan, perawatan dan nasihat. Perawat maternitas memberikan pengetahuan
keterampilan sehingga klien mampu melakukan suatu keputusan terkait dengan
masalahnya (Tomey dan Aligood, 2006).
Pada saat bersalin, ibu juga membutuhkan dukungan psikososial dari orang-orang
yang dicintainya. Menurut Gottlied (1983 dalam Kuntjoro, 2002) dukungan sosial
diartikan sebagai informasi verbal atau non verbal, saran, bantuan yang nyata atau
tingkah laku yang diberikan oleh orang-orang yang akrab dengan subjek di dalam
lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran dan hal-hal yang dapat memberikan
keuntungan emosional atau berpengaruh terhadap tingkah laku penerimanya. Bentuk
asuhan yang diberikan pada pasien digambarkan pada skema berikut ini:
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
Pada Kasus Obstetri Ginekologi
92 Skema 3.1: Integrasi Konsep dan Teori Keperawatan
dalam Asuhan Keperawatan pada Ibu Bersalin Grande Multipara
untuk Mencegah Perdarahan Post Partum
Konsep dan Teori
Keperawatan
Proses Keperawatan pada Ibu Bersalin
Grande Multipara untuk Mencegah Terjadinya
Perdarahan Post Partum
“Need For Help”
Wiedenbach
Diagnosa
Keperawatan (A)
Peningkatan Kualitas Asuhan Keperawatan
Keterangan:
S : Subjektif
O : Objektif
A : Analisa
Pengkajian (S, O)
• Pengkajian Fisik
• Pengkajian Psikologis
Evaluasi (E) & Replanning (R)
• Tidak ada komplikasi post partum:
perdarahan pada kala III/IV
• Melahirkan bayi dengan selamat
Perencanaan (P)
(ministration,validation, coordination)
• Pemantauan kesejahteraan ibu dan janin
• Mencegah perdarahan post partum (kala
I-IV)
Implementasi (I)
Knowing, being with, doing for,
enabling, maintaining belief
Dukungan
Psikososial
B. Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need For Help
dan Dukungan Psikososia pada Kasus Grande Multipara
1. Gambaran Kasus
Ny. A, 43 tahun, SMA, Ibu rumah tangga, Jawa, Islam. Suami Tn. M, 47 tahun,
STM, Sopir, Islam. Pengkajian dilakukan saat klien masuk ke kamar bersalin RS X
pada tanggal 19 September 2009, jam 13.00 WIB. Sebelum masuk ke RS, keluarga
membawa klien ke klinik 24 jam, kemudian dirujuk ke RS karena kehamilan risiko
tinggi (kehamilan yang ke-10). Saat masuk klien sudah merasakan mules-mules sejak
2 hari yang lalu, makin lama makin sering.
Dari hasil pengkajian ditemukan: G10P7A2, klien menyatakan lupa kapan haid
terakhir. Selama hamil klien memeriksakan kehamilan di Puskesmas sebanyak tiga kali.
Penambahan berat badan selama hamil 10 kg. Tanda-tanda vital (TTV): TD: 110/80
mmHg, Nadi: 88 x/menit, suhu: 36,8oC, Respirasi: 20 x/menit. Hasil pemeriksaan
Aplikasi Konsep Model Keperawatan
Need For Help pada Grande Multipara
93
Obstetrik Leopold I: Tinggi Fundus Uteri (TFU) 36 cm, Leopold II: Punggung kiri (puki),
Leopold III: Presentasi kepala, Leopold IV: Bagian terbawah janin sudah masuk pintu
atas panggul (PAP) 3/5. DJJ 140 x/menit teratur, His masih jarang. Periksa dalam: tidak
ada hambatan jalan lahir, portio tebal dan kaku pembukaan 3 cm, ketuban positif,
penurunan kepala di Hodge II. Hasil pemeriksaan laboratorium Hb: 9,6 g/dl. Terapi
yang diberikan: pemasangan infus dengan cairan Ringer Laktat (RL) 500 ml.
2. Asuhan Keperawatan Kasus Grande Multipara Menggunakan
Konsep Model Need for Help dan Dukungan Psikososial
Penerapan teori dan konsep keperawatan “Need for Help” Wiedenbach dan Dukungan
Psikososial pada ibu bersalin grande multipara untuk mencegah perdarahan post
partum adalah menggunakan pendekatan asuhan keperawatan yang meliputi:
pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan dan evaluasi akan dipaparkan pada
satu contoh kasus di bawah ini:
a. Pengkajian
Pengkajian dilakukan di kamar bersalin RS X pada tanggal 19 September 2009, pukul
13.00 WIB.
1) Pengkajian Fisik
S: Ny. A, 43 tahun, SMA, ibu rumah tangga, Jawa, Islam. Suami: Tn. M, 47 tahun,
STM, Sopir, Islam. Klien dan suami tinggal bersama dengan keluarga, menikah
satu kali pada usia ± 18 tahun saat ini usia perkawinan ± 25 tahun. Bahasa yang
digunakan sehari-hari adalah bahasa Indonesia, pengambilan keputusan dominan
oleh suami dan keluarga.
Klien masuk rumah sakit karena merasakan mules-mules sejak 2 hari sebelum
masuk rumah sakit, makin lama makin sering. Klien dibawa oleh keluarga ke
tempat Klinik 24 jam dan dirujuk ke RS X dengan alasan kehamilan risiko tinggi
(kehamilan yang ke-10).
Menarche umur 12 tahun, teratur dengan siklus 28 hari, lama 7 hari, ganti pembalut
2-3 kali sehari, tidak mengalami nyeri saat menstruasi. Semenjak menikah klien
tidak pernah menggunakan alat kontrasepsi.
Klien mengatakan tidak pernah menderita penyakit TBC, Asma, Jantung, DM,
penyakit kandungan juga tidak pernah operasi, begitu juga dengan keluarga.
Kehamilan ini merupakan yang kesepuluh (G10P7A2), HPHT: (lupa) kira-kira
Desember 2009, TP: September 20010. Klien melakukan pemeriksaan kehamilan
di Puskesmas (3x) dan dikatakan anaknya sehat. Klien juga mendapatkan tambahan
tablet besi (Obimin F). Klien mengatakan berat badannya bertambah sebanyak 10
kg (65kg) selama hamil, sebelumnya 55 kg.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
Pada Kasus Obstetri Ginekologi
94 Riwayat Kehamilan dan Persalinan yang lalu dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 2.1 Riwayat Kehamilan dan Persalinan Ny. A
No Tahun Tempat Jenis Jenis BB Keadaan
persalinan Kelamin lahir (gr) Keadaan
1 1987 Bidan Spontan Laki-laki 2800 Baik
2 1990 Bidan Spontan Perempuan 3000 Baik
3 1993 Bidan Spontan Perempuan 3300 Baik
4 Abortus
5 1995 Bidan Spontan Laki-laki 3200 Baik
6 1998 Bidan Spontan Laki-laki 3200 Baik
7 Abortus
8 2003 Bidan Spontan Laki-laki 3200 Baik
9 2006 Bidan Spontan Perempuan 3100 Baik
10 Ini
Pola kehidupan sehari-hari klien: (1) Nutrisi: frekuensi makan 3 kali sehari, porsi
makan 1 piring, jenis makanan; nasi, tempe, sayur, telur. Makanan pantang tidak
ada. Jenis minuman yang sering dikonsumsi air putih. (2) Eliminasi: frekuensi BAB
1-2 kali/hari, konsistensi lembek, warna kuning, klien tidak mengalami kesulitan
saat BAB. Frekuensi BAK 10-13 x/hari, warna kuning jernih, klien tidak mengalami
kesulitan saat BAK. (3) Aktivitas: klien mengatakan tidak mengalami kesulitan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari. (4) Istirahat dan tidur: klien tidur 7 jam/hari,
klien jarang tidur siang dan klien sering terbangun pada malam hari untuk BAK.
(5) Personal Hygiene: frekuensi mandi 2-3 x/hari, menggunakan sabun mandi,
klien mandi terutama saat mengalami kegerahan. Klien menggosok gigi 2 kali
sehari dengan menggunakan pasta gigi, cuci rambut tiap mandi, klien mengganti
pakaian setiap habis mandi dengan mengganti pakaian yang menyerap keringat.
O: Pemeriksaan fisik
Kesadaran kompos Mentis, Keadaan Umum: baik, TTV: T: 36,8oC, Nadi: 88 x/
menit, TD: 110/80 mmHg, Respirasi: 20 x/menit.
1) Muka: terdapat cloasma gravidarum di sekitar pipi kiri dan kanan, tidak ada
oedem.
2) Mata: konjungtiva tak anemis, sclera: tidak ikterus.
3) Hidung: tidak ada polip dan sinusitis.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan
Need For Help pada Grande Multipara
95
4) Mulut: mukosa bibir tidak kering, terdapat karies pada molar kanan bawah
dan geraham kiri atas sudah tanggal.
5) Telinga: pendengaran baik, tidak ada pengeluaran.
6) Leher: tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, terdapat hiperpigmentasi.
7) Jantung dan paru: wheezing (-/-), ronchi basah (-/-). Bunyi jantung I-II regular,
gallop (-), murmur (-).
8) Payudara: kebersihan: baik, simetris, hiperpigmentasi areola, kolostrum (+).
9) Abdomen: striae gravidarum (+), tidak ada bekas operasi, kandung kemih
kosong.
10) Anus: tidak ada hemorrhoid.
11) Ekstremitas: tidak ada varices, oedem (-/-), reflek patella (+/+).
Pemeriksaan Obstetrik: Leopold I: TFU 36 cm, Leopold II: Punggung kiri (puki),
Leopold III: Presentasi kepala, Leopold IV: Bagian terbawah janin sudah masuk
3/5. DJJ 140 dpm teratur, His jarang. Periksa dalam: tidak ada hambatan jalan
lahir, portio tebal dan kaku, pembukaan 3 cm, ketuban positif, penurunan kepala
di HII.
Pemeriksaan Laboratorium (tanggal 20/9/2009): Hb: 9,6 g/dl, Leukosit: 7,8 ribu/
μl, LED: 75 mm, Hitung jenis: Basofil 0%, eosinofil 0%, batang 0%, segmen 78%,
limfosit 20%, monosit 2%, Jumlah eritrosit: 3,32 juta/μl, Jumlah Ht: 27,8%, MCV:
8,7 fl, MCH: 28,9 pg, Jumlah trombosit: 324 ribu/μl, Masa protrombin: 12 detik,
APTT: 34,7 detik.
2) Pengkajian Psikologis
S: Klien berharap persalinan berlangsung lancar dan bayinya sehat. Klien berencana
untuk tidak hamil lagi, pernyataan ini akan didiskusikan dengan suami,
keluarga klien juga menganjurkan untuk dilakukan steril mengingat usia klien
berisiko untuk hamil kembali dan sudah memiliki anak yang hidup 7 orang.
O: Hubungan klien dengan suami, anggota keluarga yang lain dan tetangga baik
hal ini terlihat dukungan dari saudara klien yang datang menjenguk ke rumah
sakit. Pada saat proses persalinan klien ditunggui oleh suami. Suami selalu
memberikan dukungan dan membantu mengurangi rasa nyeri seperti menggosokgosok
punggung klien, membersihkan keringat dan memberi minum.
b. Analisa (A)
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada ibu bersalin grande multipara
adalah sebagai berikut:
1. Risiko tinggi terjadi perdarahan pada ibu berhubungan dengan kontraksi uterus
yang tidak adekuat karena komplikasi grande multipara.
2. Nyeri berhubungan dengan dilatasi jaringan, stimulasi ujung saraf simpatis dan
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
Pada Kasus Obstetri Ginekologi
96 parasimpatis, tekanan mekanik kepala, pola kontraksi semakin intensif, dilatasi
jaringan dan kompresi saraf.
3. Memulai kedekatan maternal-bayi
4. Peningkatan pengetahuan klien dan keluarga tentang keluarga berencana (KB)
c. Planning (P)
Perencanaan berisi tentang tujuan dan rencana intervensi. Perawat merencanakan
memberikan bantuan (Ministration); kebutuhan yang tepat untuk dibantu pada ibu
bersalin grande multipara adalah: (1) Bantuan memenuhi kebutuhan cairan dan
nutrisi, (2) Bantuan mengurangi nyeri dan kecemasan selama proses kelahiran, (3)
Bantuan memenuhi kebutuhan ibu selama proses bersalin, (4) Bantuan agar janin lahir
selamat, (5) Bantuan pemantauan terjadinya perdarahan post partum, (6) Bantuan
bonding attachment.
Validation; kemungkinan masalah dapat diatasi dengan bantuan yang diberikan
adalah: (1) Pemenuhan kebutuhan cairan dan nutrisi pada ibu, (2) Rasa nyaman dan
aman pada ibu, (3) Pemenuhan kebutuhan psikososial.
Coordination; laporan/konsultasi: (1) Pemberian oksitosin 10 unit intramuskuler, (2)
Pemberian cairan infus RL 500 ml dan methergin 1 ampul, (3) Tanda-tanda kelainan,
tanda-tanda perdarahan post partum serta komplikasi selama proses persalinan.
Perencanaan pada Ny. A adalah: Pemenuhan rasa nyaman dan aman kala I aktif
sampai kala IV, Pemenuhan kesejahteraan janin serta pencegahan perdarahan post
partum. Ada pun diagnosa perencanaan pada klien kasus 1 ini adalah:
1) Diagnosa keperawatan 1: Risiko terjadi perdarahan pada ibu berhubungan dengan
kontraksi uterus yang tidak adekuat karena komplikasi grande multipara.
Tujuan: klien selamat setelah melahirkan dan tanpa masalah lebih lanjut atau
komplikasi.
Perencanaan:
• Observasi tanda-tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan).
• Observasi kontraksi uterus.
• Pertahan pemberian cairan dan nutrisi peroral.
• Kolaborasi untuk pemberian cairan parenteral sebagai maintenance cairan.
• Monitor kemajuan persalinan, catat hasil kemajuan persalinan pada lembar
partograf.
• Kosongkan kandung kemih.
• Lakukan manajemen aktif kala III.
• Lakukan Inisiasi menyusu dini.
• Pantau keseimbangan cairan (intake-output).
2) Diagnosa keperawatan 2: Nyeri berhubungan dengan dilatasi jaringan, stimulasi
ujung saraf simpatis dan parasimpatis, tekanan mekanik kepala, pola kontraksi
Aplikasi Konsep Model Keperawatan
Need For Help pada Grande Multipara
97
semakin intensif, dilatasi jaringan dan kompresi saraf.
Tujuan: nyeri berkurang dengan kriteria: klien menggunakan teknik untuk mengontrol
nyeri/ketidaknyamanan, ekpresi rileks/ tenang diantara kontraksi.
Perencanaan:
• Kaji sumber dan sifat nyeri atau rasa ketidaknyamanan melalui isyarat verbal
dan non verbal klien.
• Motivasi ibu menggunakan koping terhadap nyeri, memberikan teknik
manajemen nyeri.
• Pengawasan keadaan umum ibu dan janin (tanda vital ibu dan variabilitas
DJJ).
• Pantau kemajuan persalinan. Hitung waktu dan catat frekuensi, intensitas,
dan durasi pola kontraksi uterus setiap 30 menit.
• Kaji pengeluaran pervaginam, dilatasi servikal, penonjolan, lokasi janin, dan
penurunan janin.
• Lakukan amniotomi apabila pembukaan sudah lengkap serta kaji jumlah dan
karakteristik cairan amnion.
• Bantu klien dalam memilih posisi optimal untuk mengejan.
• Penuhi kebutuhan sehari-hari (ADL).
• Pimpin meneran.
• Bantu kelahiran bayi dan nilai APGAR Score bayi serta perawatan bayi.
• Awasi intake dan output.
• Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat-obat oksitosin
3) Diagnosa keperawatan 3: Memulai kedekatan maternal-bayi
Diagnosa ini muncul dilihat dari perilaku ibu: memanggil bayi dengan nama,
menunjukkan karakteristik bayi dengan anggota keluarga yang lain, memegang
bayi, mengenali bayi merespons suara ibu dan ayah.
Perencanaan:
• Perkuat perilaku kedekatan.
• Lakukan bonding attachment.
• Tunjukkan respon bayi terhadap stimulus cahaya dan suara.
4) Diagnosa keperawatan 4: Peningkatan pengetahuan klien dan keluarga tentang
keluarga berencana (KB).
Tujuan: klien dapat mengambil keputusan yang tepat jenis kontrasepsi yang akan
digunakan.
Perilaku klien dan keluarga: mengungkapkan jenis kontrasepsi yang dibutuhkan,
mengidentifikasi keuntungan dan kerugian kontrasepsi yang akan dipilih.
Perencanaan:
• Kaji pengalaman klien dan keluarga tentang kontrasepsi KB (jenis, indikasi
dan kontraindikasi).
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
Pada Kasus Obstetri Ginekologi
98 Jelaskan pada klien dan keluarga jenis kontrasepsi yang • sesuai untuk klien
grande multipara, keuntungan dan kapan dilakukan.
• Anjurkan klien untuk memonitor tekanan darah sebelum pemilihan
kontrasepsi.
• Motivasi klien untuk menggunakan jenis kontrasepsi yang efektif untuk klien.
d. Implementasi (I)
Pada ibu bersalin grande multipara untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum
perawat memberikan bantuan yang dibutuhkan ibu. Bantuan yang lainnya memberi
petunjuk dan intervensi, memperhatikan kenyamanan ibu, menerapkan terapeutik
prosedur. Implementasi dilakukan melalui koordinasi, kolaborasi, delegasi, kerja tim.
Implementasi untuk diagnosa keperawatan 1 adalah: Mengobservasi tanda-tanda
vital (tekanan darah, nadi, suhu, pernapasan) tiap 4 jam pada kala I, tiap 15 menit jam
pertama dan tiap 30 menit jam kedua pada kala IV. Mengobservasi kontraksi uterus
(frekuensi, durasi, pola, intensitas) setiap 30 menit kala I, 15 menit kala II dan 2-3 kali
dalam 10 menit pertama, setiap 15 menit pada 1 jam pertama, setiap 20-30 menit
pada jam kedua kala IV.
Mempertahan pemberian cairan dan nutrisi peroral air putih sebanyak 300
cc. Memasang infus dengan cairan Ringer Laktat 500 cc dengan tetesan 15 tetes/
menit. Memonitor kemajuan persalinan, mencatat hasil kemajuan persalinan pada
lembar partograf. Mengosongkan kandung kemih dengan nelaton kateter. Melakukan
penatalaksanaan manajemen aktif kala tiga: Menyuntikkan oksitosin 10 IU secara
intramuskuler pada bagian luar paha kanan 1/3 atas setelah melakukan aspirasi
terlebih dahulu, Penegangan tali pusat terkendali, Mengeluarkan plasenta secara
hati-hati serta memeriksa keutuhan plasenta dan selaput membran, Memasase uterus,
Menyuntikkan methergin 1 ampul secara intramuskuler pada bagian luar paha kiri
1/3 atas setelah melakukan aspirasi terlebih dahulu. Melakukan Inisiasi menyusu dini
dengan meletakkan bayi di atas perut ibu. Memantau keseimbangan cairan (intakeoutput).
Implementasi untuk diagnosa keperawatan 2 adalah: Mengkaji sumber dan sifat
nyeri atau rasa ketidaknyamanan melalui isyarat verbal dan non verbal klien. Melakukan
teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri (counter pressure; breathing, touching,
position). Memantau kemajuan persalinan: pemeriksaan dalam tiap 4 jam, menghitung
waktu dan mencatat frekuensi, intensitas, dan durasi pola kontraksi uterus setiap 30
menit, menghitung DJJ. Mengkaji sifat dan jumlah pengeluaran pervaginam, dilatasi
servikal, penonjolan, lokasi janin, dan penurunan janin. Melakukan amniotomi apabila
pembukaan sudah lengkap serta mengkaji jumlah dan karakteristik cairan amnion.
Membantu klien dalam memilih posisi optimal untuk meneran. Memimpin meneran
apabila kepala sudah crowning. Membantu kelahiran bayi dan menilai APGAR Score
Aplikasi Konsep Model Keperawatan
Need For Help pada Grande Multipara
99
menit pertama dan menit kelima. Mengawasi intake dan output.
Implementasi untuk diagnosa keperawatan 3 adalah: Memperkuat perilaku kedekatan
ibu dan bayi. Melakukan bonding attachment dengan langsung meletakkan bayi
di atas perut ibu sebelum plasenta dipotong. Menunjukkan respons bayi terhadap
stimulus cahaya dan suara dengan menganjurkan ibu untuk memanggil bayinya.
Implementasi untuk diagnosa keperawatan 4 adalah: Mengkaji pengalaman klien
dan keluarga tentang kontrasepsi KB (jenis, indikasi, dan kontraindikasi). Menjelaskan
pada klien dan keluarga jenis kontrasepsi yang sesuai untuk klien grande multipara
adalah sterilisasi/metode operasi wanita (MOW), keuntungan metode ini adalah ibu
tidak akan hamil lagi dengan cara mengikat atau memotong kedua saluran telur,
waktu yang tepat untuk melakukan MOW adalah pasca persalinan dilakukan dalam
24 jam atau selambat-lambatnya dalam 48 jam setelah bersalin. Memonitor tekanan
darah klien sebelum pemilihan kontrasepsi. Memotivasi klien untuk menggunakan
jenis kontrasepsi yang efektif untuk klien.
e. Evaluasi (E) dan Replanning (R)
Setelah tindakan keperawatan diberikan pada Ny. A sesuai dengan kebutuhannya.
Maka, langkah selanjutnya dari proses keperawatan adalah melakukan evaluasi (E)
serta menyusun kembali rencana tindakan/replanning (R).
Pada tanggal 19 September 2009, jam 17.00 WIB.
S : Klien mengatakan nyeri berkurang.
O : Skala nyeri 3, jumlah urine 100 cc, DJJ 150 kali/menit teratur, His 3 kali
dalam 10 menit, lamanya > 20 detik , intensitas sedang.
A : Klien dapat menerima dan memiliki koping efektif terhadap rasa nyeri yang
dirasakan, respons klien dan keluarga positif terhadap tindakan perawatan
yang diberikan, klien dapat rileks pada saat tidak ada his, klien dapat bernapas
efektif saat uterus berkontraksi/his.
P : Intervensi dilanjutkan dengan pemantauan kemajuan persalinan, pemenuhan
kebutuhan nutrisi dan cairan dan pemenuhan kebutuhan kenyamanan.
Pada Jam 21.05 WIB:
S : Ibu mengeluhkan mules semakin sering dan semakin kuat. Ibu mempunyai
dorongan yang kuat untuk meneran dan merasakan adanya tekanan pada
anus seperti ingin BAB.
O : Pembukaan sudah lengkap (10 cm) dan ketuban dipecahkan, warna jernih.
Klien mengikuti arahan untuk mengatur posisi yang nyaman dan mengikuti
pimpinan persalinan.
A : Ibu dalam kala II, pimpin meneran.
P : Persiapan pertolongan persalinan.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
Pada Kasus Obstetri Ginekologi
100 pada E : Pada Jam 21.15 WIB Bayi lahir spontan, laki-laki, A/S menit pertama 9 dan
menit kelima 10, berat 3300 gram, panjang badan 50 cm, tidak terdapat
laserasi, Bayi segera diletakkan di atas perut ibu dan dilakukan inisiasi
menyusu dini.
Pada jam 21.30 WIB:
S : Ibu mengeluhkan mules dan perut terasa tegang.
O : Plasenta lahir spontan, lengkap, insersio sentralis, berat 500 gram, ukuran
18x18x2 cm, panjang tali pusat 50 cm, kotiledon lengkap, tidak terdapat
kelainan, perdarahan ± 150 cc.
A : Kala III persalinan normal.
P : Intervensi dilanjutkan untuk pemantauan perdarahan kala III, pemantauan
tanda-tanda vital, pemberian nutrisi dan cairan peroral.
Pada jam 22.30 WIB:
S : Ibu mengatakan sangat lega dan senang karena bayinya lahir selamat serta
tidak jadi dioperasi. Ibu mengatakan lelah dan ingin beristirahat, mengucapkan
terima kasih atas bantuan dan dukungan Ners Spesialis keperawatan
Maternitas.
O : Kontraksi uterus baik, TFU 2 jari bawah pusat, kandung kemih teraba kosong,
keadaan ibu baik, TD 120/80 mmHg, nadi 88 kali/mnt, perdarahan ± 50 cc.
A : Kala IV persalinan normal, perdarahan post partum tidak terjadi.
P : Intervensi dilanjutkan untuk memantau perdarahan post partum.
Pada tanggal 20 September 2009, jam 06.00 wib. Ibu dan bayi dipindahkan ke
ruang rawat post partum kamar 6.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need for Help
pada Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
101
APLIKASI KONSEP
MODEL KEPERAWATAN NEED FOR HELP
PADA KEHAMILAN EKTOPIK TERGANGGU (KET)
Ns. Umi Sukowati, SH, M.Kep., Sp.Mat.
A. Latar Belakang Masalah
Peran perawat maternitas dalam kasus KET adalah memberikan bantuan baik fisik
maupun psikologis yang muncul dalam waktu yang bersamaan. Peranan perawat
maternitas tersebut bertujuan untuk mengatasi kondisi kegawatdaruratan yang terjadi
pada kasus KET dengan cepat dan tepat. Untuk itu, diperlukan pendekatan model
konsep dan teori keperawatan yang diaplikasikan dalam setiap tahapan proses
keperawatan, karena dengan pendekatan tersebut pelayanan keperawatan yang
dilakukan akan jelas arah dan tujuannya.
Ners spesialis keperawatan maternitas harus mempunyai potensi dan kompetensi
dalam mengatasi masalah kegawatdaruratan pada setiap perempuan masa childbearing
termasuk saat mengalami KET baik masalah fisiologis maupun psikologis (Toomey,
1999). Wiedenbach berpendapat bahwa perawat maternitas adalah seseorang yang
mampu mengatasi kegawatdaruratan yang diakibatkan KET dengan tindakannya,
pikirannya, perasaannya, perkataannya, tulisannya, dan gerakan tubuhnya, yang
kesemuanya dilakukan demi untuk kesejahteraan kliennya (Chin dan Jacob, 1983).
Wiedenbach juga berpendapat bahwa seorang perawat maternitas harus dapat
memberikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien yang sifatnya segera
dan tidak segera. Salah satu kondisi yang membutuhkan pemenuhan kebutuhan segera
adalah KET.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
102 Mengingat KET adalah kondisi gawat dan darurat yang membutuhkan penanganan
cepat dan tepat, maka perawat maternitas harus berusaha memberikan asuhan yang
berkualitas agar pasien sesegera mungkin kembali dalam kondisi optimal dengan
menggunakan konsep dan teori keperawatan yang sesuai dengan kondisi dan
kebutuhan pasien.
Berdasarkan hal tersebut diatas, maka segala yang dilakukan oleh perawat
maternitas harus dapat dipertanggungjawabkan dan dipertanggunggugatkan. Hal ini
dapat diwujudkan dengan penerapan model konsep dan teori keperawatan yang tepat
sesuai dengan kondisi pasien dan harus dilakukan oleh perawat yang mempunyai
kompetensi tinggi untuk menangani masalah-masalah yang kompleks yang berkaitan
dengan ancaman kehidupan. Oleh sebab itu penerapan konsep model dan teori
keperawatan ”Need for help” dari Wiedenbach dan dilengkapi dengan model konsep
dan teori ”Loss and grief” dari Wheeler (1986) menjadi pilihan yang tepat untuk kasus
KET.
Peran perawat maternitas yang disebut dengan sembilan peran utama (nine stars)
meliputi peran sebagai pemberi pelayanan kesehatan (care provider), edukator,
konselor, komunilator, kolaborator, inovator, pengelola, advokat, peneliti. Sebagai
care provider, seorang perawat maternitas harus mampu memberikan asuhan pada
perempuan pada semua kondisi sejak pre natal sampai post natal termasuk masalah
gangguan reproduksi.
B. Integrasi Aplikasi Model Konseptual dan Teori Keperawatan
dalam Asuhan Keperawatan Kehamilan Ektopik Terganggu
(KET)
1. Gambaran Kasus
Ny. S, 23 tahun, Islam, G2 P1 A0, anak pertama perempuan umur 5 tahun, pernah
KB suntik Depoprovera. Tanggal 26 Oktober 2009 masuk UGD RSU Sukowati
dengan keluhan utama mengalami 3 kali perdarahan pervaginam disertai nyeri perut
hebat, disertai mual, muntah, nyeri bau, BAB sakit. Hasil pemeriksaan di VK Bersalin
didapatkan: k/u tampak sakit berat, kesadaran CM, T 100/70 mmHg, N 106 x/mnt,
RR 22x/mnt, S 36,30C, akral dingin, conjunctiva pucat, sclera tidak ikterus, tanda akut
abdomen (+). Pemeriksaan ginekologi didapatkan: inspekulo V/U tenang; VT: portio
lunak, ostium tertutup, nyeri goyang portio (+), CD (+) menonjol. USG: uterus tidak
tampak gravida dalam cavum uteri. Pemeriksaan laboratorium didapatkan: (Hb 7,7
gr%, golongan darah O), βhCG (+). Diagnosa: KET.
Ibu dan suami mengatakan sedih sekali karena anak yang memang diharapkan
ternyata sudah tidak dapat diharapkan lagi. Wajah pasien dan suami tampak murung,
menghela nafas panjang, suara pelan, gelisah.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need for Help
pada Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
103
2. Asuhan Keperawatan Kasus KET Menggunakan Konsep Model
Need for Help dan Loss and Grief
Pada bagian ini akan diuraikan aplikasi model konseptual dan teori Need for help dan
Loss and grief, sebagai berikut:
1. Tahap 1: identifikasi yang berupa pengkajian data subjektif dan objektif, serta
pengkajian fisik dan psikologis. Seperti yang dijelaskan dalam konsep teori ”Need
for help” menurut Wiedenbach, konsep ini khas dilakukan pada kasus emergensi
yang membutuhkan penanganan cepat dan tepat, maka perawat maternitas melakukan
pengkajian yang sifatnya fokus ke arah penanganan kondisi emergensi
(here and now), serta tetap mempertahan perilaku caring agar pasien merasakan
kehadiran perawat juga sebagai support system, semua ini dilakukan perawat
semata untuk kepentingan pasien (for good).
a. Pengkajian fisik
Data fokus meliputi:
1) Data subjektif (S): ibu mengatakan tiga kali mengalami perdarahan
pervaginam disertai nyeri perut hebat, mual, muntah, nyeri bau, BAB
sakit.
Keluhan pertama pada tanggal 24 September 2009, keluhan kedua pada
tanggal 15 Oktober 2009, keluhan ketiga disertai pingsan pada tanggal
26 Oktober 2009.
Setiap terjadi perdarahan dan nyeri hebat datang berobat ke klinik 24 jam
dan dikatakan kemungkinan sakit maag atau usus buntu dan diberi obat
tetapi tidak disarankan untuk berobat ke RS.
Pada tanggal 26 Oktober 2009 mengalami perdarahan kembali disertai
nyeri sampai pingsan, untuk saat ini oleh suami pasien langsung dibawa
ke UGD RSU Sukowati karena selama 5 jam kondisi pasien tidak membaik
maka dikonsulkan ke Kamar Bersalin.
2) Data Objektif (O): pada pemeriksaan di Kamar Bersalin didapatkan: k/u
tampak sakit berat; kesadaran compos mentis; tanda vital: TD 100/70
mmHg, N 106 x/mnt, RR 20x/mnt, S 36,3OC; akral dingin; conjunctiva
pucat; sclera tidak ikterus; tanda akut abdomen (+). Pemeriksaan
ginekologi: inspekulo V/U tenang; VT: portio lunak; ostium tertutup;
nyeri goyang portio (+); CD (+) sulit dinilai. Pada pemeriksaan USG: tidak
tampak gravida dalam cavum uteri; terdapat massa di CD 5x4x3; cairan
bebas (+); kesan KET. Pemeriksaan laboratorium: Hb 7,7 gr%, hematokrit
23, lekosit 11.700, trombosit 289.000, eritrosit 2,88, masa perdarahan
1’,3’, masa pembekuan 9’30’, golongan darah O, βhCG (+).
b. Pengkajian psikologis
1) Data Subjektif (S): Ibu mengatakan tidak mengetahui kalau hamil, sehingga
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
104 terkejut, kecewa dan sedih saat dijelaskan bahwa ia dalam kondisi hamil
tetapi di luar kandungan dan harus dioperasi untuk menyelamatkan
nyawa ibu. Dalam kondisi tidak banyak pengetahuan membuat ibu
merasa bingung, takut dan cemas memikirkan segala sesuatunya yang
berhubungan dengan kondisi sakitnya.
2) Data Objektif (O): pasien tampak murung, tampak terkejut, tampak
kecewa, tiba-tiba bicaranya lamban dan pelan, tampak keringat di kening
dan dahinya.
2. Tahap 2: ministration yang meliputi menegakkan diagnosa keperawatan dan
menyusun intervensi, menetapkan tujuan, dan melakukan implementasi.
a. Diagnosa keperawatan (A) yang muncul adalah:
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan syok hipovolemik dan
neurogenik sekunder terhadap perdarahan intra abdominal akibat ruptur
tuba.
2) Nyeri berhubungan dengan rupturnya tuba, hematoretrouterina dan
hematosalping.
3) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan.
4) Ketidakberdayaan membuat keputusan berhubungan dengan berduka
sekunder terhadap kehilangan janinnya.
5) Mencari bantuan kesehatan secara aktif tepat untuk segera mendapatkan
penanganan medis (wellness diagnosis).
b. Perencanaan Keperawatan (P)
Pada tahap ini meliputi penetapan tujuan keperawatan dan rencana tindakan
keperawatan. Tujuan keperawatan pada kasus KET adalah memberikan
pertolongan
untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis. Secara rinci
intervensi pada tiap diagnosa keperawatan sebagai berikut:
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan syok hipovolemik dan
neurogenik sekunder perdarahan intra abdominal akibat rupture tuba.
Tujuan: perfusi jaringan kembali normal dan stabil dengan kriteria: tanda
vital normal, akral hangat, dan nilai laboratorium normal kembali.
Perencanaan:
• Memastikan patensi jalan nafas.
• Observasi ketat hemodinamik.
• Kolaborasi dalam perbaikan perfusi jaringan.
• Menyiapkan pemeriksaan laboratorium: darah lengkap serial (Hb,
hematokrit, lekosit, trombosit, eritrosit, BT, CT, golongan darah).
• Mempersiapkan perlengkapan untuk transfusi darah.
• Mempersiapkan tindakan operasi.
• Mempersiapkan informed consent.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need for Help
pada Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
105
2) Nyeri berhubungan dengan rupturnya tuba, hematoretrouterina dan
hematosalping.
Tujuan nyeri berkurang dan ibu koperatif dalam melakukan manajemen
nyeri baik farmakologis maupun non farmakologis.
Perencanaan:
a) Kaji tingkat nyeri
b) Lakukan menejemen nyeri.
3) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan
Tujuan adalah pasien mampu mempertahankan koping terhadap adanya
proses KET.
Perencanaan:
• Membina hubungan saling percaya.
• Beri kesempatan suami atau keluarga untuk mendampingi ibu.
• Ciptakan lingkungan yang nyaman.
• Memberikan informasi tentang KET.
• Memberi waktu ibu dan keluarga dalam mengekspresikan penyebab
cemas.
• Jelaskan tentang upaya-upaya perawat dalam mempertahankan
kenyamanan
dan keamanan misalnya: vagina toilet, kebersihan diri,
mencukur rambut pubis, mengambil sampel darah.
• Diskusikan tentang hal-hal yang harus diputuskan oleh pasien dan
keluarga.
4) Ketidakberdayaan dalam membuat keputusan berhubungan dengan
berduka sekunder terhadap kehilangan janinnya.
Tujuan adalah pasien dan keluarga mampu mengungkapkan perasaan
dan kebutuhan mereka dalam pengambilan keputusan berkenaan
dengan persetujuan tindakan yang akan dilakukan tim kesehatan dalam
penanganan KET.
Perencanaan:
• Beri kesempatan pasien mengungkapkan rasa berdukanya akibat
kehilangan janinnya.
• Dengarkan keluhan pasien berhubungan dengan kehilangan
janinnya.
• Jelaskan mengapa sampai janinnya mati.
• Jelaskan tentang KET (pengertian, penyebab, tindakan, akibat pada
ibu dan janin).
• Jelaskan masih adanya harapan ibu dapat hamil kembali.
• Gunakan komunikasi terapeutik dan keterampilan konseling untuk
mendukung respons berduka keluarga dan membantu dalam membuat
keputusan.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
106 Terapkan prinsip • perawatan berduka
5) Mencari bantuan kesehatan secara aktif dan tepat untuk segera mendapatkan
penanganan medis (wellness diagnosis).
Perencanaan:
• Perkuat kemampuan ibu dan suami dalam memilih tempat layanan
kesehatan.
• Perluas pengetahuan ibu dan suami dalam memahami pemilihan
layanan kesehatan sesuai kondisi kesehatan.
c. Implementasi keperawatan (I)
Implementasi dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah disusun,
secara rinci implementasi dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan syok hipovolemik dan
neurogenik sekunder terhadap perdarahan intra abdominal akibat ruptur
tuba.
Implementasi yang dilakukan sebagai berikut: (a) memastikan patensi
jalan nafas dengan memberikan oksigen nasal 4 liter/menit, observasi
kelancaran aliran oksigen/patensi jalan nafas; (b) observasi ketat hemodinamik
meliputi tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, akral, tiap 15
menit; (c) kolaborasi dengan tim medis dalam perbaikan perfusi jarinngan
yang meliputi memberikan cairan parenteral RL dan NaCl, mempersiapkan
keperluan untuk transfusi darah dengan kros cek golongan darah,
menjelaskan kepada ibu dan keluarga bila akan dilakukan transfusi darah;
(d) menyiapkan pemeriksaan laboratorium: darah lengkap serial (Hb,
hematokrit, lekosit, trombosit, eritrosit, BT, CT, golongan darah) dengan
mengambil darah vena ibu; (e) mempersiapkan tindakan operasi yang
meliputi mempersiapkan mental ibu dengan memberikan penjelasan
pentingnya tindakan aktif operasi dalam mengatasi masalah perdarahan
dan nyeri ibu, mempertahankan kebersihan badan ibu, vulva higiene,
mencukur rambut pubis, mengganti pakaian ibu dengan pakaian khusus
untuk operasi, melepas benda-benda berharga ibu misalnya perhiasan agar
disimpan oleh keluarga, kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian
obat-obatan skin test antibiotik Amoxiclaf dan analgesik profenid
supositoria; (f) Mempersiapkan informed consent dengan memberikan
penjelasan tentang tujuan dan kemungkinan efek samping dari tindakan
yang akan dilakukan terhadap pasien.
2) Nyeri berhubungan dengan rupturnya tuba, hematoretrouterina dan
hematosalping.
Implementasi yang dilakukan sebagai berikut: (a) mengkaji tingkat nyeri
ibu dengan menanyakan kepada ibu seberapa berat tingkat nyeri yang
Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need for Help
pada Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
107
dirasakan dengan menggunakan skala nyeri 0-10, memperhatikan reaksi
non verbal ibu dalam merespons rasa nyerinya; mengobservasi tekanan
darah dan denyut nadi ibu; (b) melakukan manajemen nyeri meliputi:
mengalihkan perhatian ibu dengan cara mengajak bicara yang berkaitan
dengan kondisi kesehatannya, mengusakan lingkungan nyaman (merapikan
tempat tidur, mempertahankan kebersihan badan, menjaga
privacy ibu), memberikan kesempatan ibu untuk mengekspresikan rasa
nyerinya, menunjukkan sikap empati terhadap yang dirasakan ibu, melakukan
kolaborasi dengan tim medis memberikan analgesik profenid
supositoria.
3) Cemas berhubungan dengan kurang pengetahuan
Tindakan yang dilakukan sebagai berikut: (a) Membina hubungan
saling percaya dengan saling memperkenalkan diri kemudian perawat
menjelaskan tentang peran, tugas dan tanggung jawabnya dalam
memberikan asuhan kepada ibu; (b) memberi kesempatan suami atau
keluarga untuk mendampingi ibu; (c) menciptakan lingkungan yang
nyaman dan tenang; (d) memberikan informasi tentang KET yang
meliputi: pengertian, kiemungkinan penyebab dan akibatnya baik pada
ibu dan janinnya, tindakan yang harus dilakukan untuk menyelamatkan
nyawa ibu; (e) memberi waktu ibu dan keluarga dalam mengekspresikan
penyebab cemas baik secara verbal maupun non verbal; (f) menjelaskan
tentang upaya-upaya perawat dalam mempertahankan kenyamanan dan
keamanan misalnya: vagina toilet, kebersihan diri, mencukur rambut
pubis, mengambil sampel darah; (g) mendiskusikan tentang hal-hal yang
harus diputuskan oleh pasien dan keluarga misalnya menyetujui tindakan
transfusi darah, menyetujui tindakan operasi.
4) Ketidakberdayaan dalam membuat keputusan berhubungan dengan
berduka sekunder terhadap kehilangan janinnya.
Tindakan yang dilakukan adalah: (a) Memberi kesempatan pasien dan
keluarga dalam baik secara verbal maupun non verbal mengungkapkan
rasa berdukanya akibat kehilangan janinnya; (b) Mendengarkan keluhan
pasien dengan sungguh-sungguh berhubungan dengan kehilangan janinnya;
(c) Menjelaskan mengapa sampai janinnya mati; (d) Menjelaskan
tentang KET (pengertian, penyebab, tindakan, akibat pada ibu dan janin);
(e) Menjelaskan pada ibu dan keluarga bahwa harapan hamil lagi masih
ada karena saluran telur sebelah kanan masih bagus dan normal; (f)
Menggunakan komunikasi terapiutik dan keterampilan konseling untuk
mendukung respons berduka keluarga dan membantu dalam membuat
keputusan; (f) Menerapkan prinsip perawatan berduka: knowing, being
with, doing for, enabling, dan maintaining belief.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
108 5) Mencari bantuan kesehatan secara aktif dan tepat untuk segera mendapatkan
penanganan medis (wellness diagnosis).
Tindakan yang dilakukan sebagai berikut: (a) memperkuat kemampuan
ibu dan suami dalam memilih tempat layanan kesehatan yang tepat sesuai
kondisi ibu yang gawat dan darurat; (b) Memperluas pengetahuan ibu
dan suami dalam memahami pemilihan layanan kesehatan sesuai kondisi
kesehatan yaitu bisa mengunujungi Puskesmas atau klinik kesehatan biasa
bila kondisi sakit ringan seperti flu, dan juga dalam kondisi sakit berat
atau perdarahan dan sebagainya sebaiknya harus ke RS, datang ke tempat
layanan sederhana untuk penanganan pertama atau meminta rujukan.
3. Tahap 3: validasi yaitu meliputi evaluasi dan bila perlu replanning (E/R).
• Evaluasi/Replanning (E/R)
Dari semua tindakan yang telah dilakukan kepada pasien maka menghasilkan
evaluasi sebagai berikut:
Data subjektif (S)
Ibu mengatakan mengerti semua yang dijelaskan perawat dan tim kesehatan
lainnya. Ibu mengatakan siap menjalani tindakan yang telah ditetapkan. Ibu
juga mengatakan walau masih sedih tetapi berusaha pasrah dengan kondisi
kehilangan janinnya kalau memang tidak bisa dipertahankan, mungkin semua
kehendak Allah, insya Allah ada hikmahnya, ibu juga berkali-kali bertanya
mengapa bisa terjadi hamil di luar kandungan, ibu juuga masih menyesal
tidak segera berobat ke RSU Sukowati (berduka tahap kedua yaitu mencari
dan merindukan).
Data objektif (O)
Ibu dan keluarga kooperatif dan menerima segala tindakan yang dilakukan
kepada ibu; tanda-tanda vital membaik (TD 110/70 mmHg, N 84x/mnt, akral
hangat, RR 20 x/mnt), DC (+) jumlah urine 350 cc jernih. Tangan kanan
terpasang transfusi darah kolf kedua menetes lancar, tangan kanan terpasang
infus Asrering 20 tts/mnt menetes lancar. Ibu dan keluarga tampak lebih
tenang.
Analisa (A)
Masalah kegawatdaruratan fisik teratasi sebagian.
Secara psikologis, fase berduka ibu dan keluarga pada tahap kedua yaitu
mencari dan merindukan yang ditandai dengan ibu masih dan keluarga
bertanya mengapa bisa terjadi hamil di luar kandungan, ibu juga masih
menyesal tidak segera berobat ke RSU Sukowati.
Implementasi ( I )
Diputuskan segera operasi, jam 19.00 WIB pasien diantar ke Kamar Operasi.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need for Help
pada Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
109
Jam 19.50 - 20.40 WIB pasien dioperasi (laparotomi, tepatnya salpingektomi
sinistra dengan anestesi spinal), jam 22.00 WIB ibu langsung dibawa ke ruang
perawatan pasien post operasi.
• Evaluasi (E) jam 22.00 WIB
Data subjektif (S)
Ibu mengatakan lelah dan mengantuk.
Data objektif (O)
Jam 22.00 WIB masuk ruang rawat post op, kesadaran kompos mentis, tandatanda
vital ( TD 110/70 mmHg, N 80x/,mnt, RR 20x/mnt, S 36,3oC), akral
hangat, conjunctiva pucat, terpasang transfusi darah pada tangan kanan 20
tts/mnt menetes lancar, terpasang infus Asering 20 tts/mnt menets lancar
pada tangan kiri, terpasang dower kateter dan produksi urine 150 cc bening,
kaki belum dapat digerakkan dan masih terasa tebal, pasien mengantuk dan
langsung tidur.
Analisa (A)
Masalah kegawatdaruratan fisik teratasi.
Secara psikologis (fase berduka) ibu dan keluarga belum dievaluasi karena
kondisi ibu yang masih lelah dan mengantuk.
Pelaksanaan (P)
Melaksanakan asuhan sesuai kondisi pasien baik independen maupun
kolaborasi sebagai berikut: observasi (tanda-tanda vital tiap jam, observasi
suhu tiap 4 jam, intake output, tanda perdarahan, tanda akut abdomen, mualmuntah,
evaluasi pemeriksaan laboratorium darah lengkap 2 jam post transfusi
darah, bila kadar Hb < 8 gr% kolaborasi transfusi sampai kadar Hb mencapai
minimal 8 gr%), mempertahankan douer kateter 24 jam, mengistirahatkan ibu
24 jam post operasi, menciptakan suasana nyaman dan tenang, kolaborasi
pemberian obat-obatan Ampicilin 3 x 1000 mg IV, profenid supositoria 3x1.
• Evaluasi tanggal 27 – 10 – 2009
Data subjektif (S)
Ibu mengatakan merasa lega karena nyeri sudah sangat berkurang, saat ini
hanya merasa nyeri pada daerah luka operasi, ibu mengatakan walau sudah
menerima kehilangan janinnya tetapi masih sedih. Ibu juga bertanya apakah
bisa hamil lagi, dan kapan sebaiknya boleh hamil lagi.
Data objektif (O)
K/U tampak lebih segar, TD 120/70 mmHg, N 82 x/mnt, RR 20 x/mnt, S
36,6oC, akral hangat, kadar Hb 7,6 gr%, flatus (+), BU (+) normal, balutan
luka operasi tampak bersih, tanda akut abdomen (-), nyeri tekan sekitar luka
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
110 operasi (+), ibu sudah dapat menggerakkan kedua kakinya, DC (+) urine
jernih, tangan kiri terpasang infuse NaCL 20 tts/mnt menetes lancar.
Analisa (A)
Hemodinamik stabil normal, nyeri luka operasi (+), ibu masih berduka.
Pelaksanaan (P)
Observasi (tanda-tanda vital, tanda akut abdomen, luka operasi, perdarahan,
tanda infeksi); membimbing ibu untuk mulai mobilisasi miring kanan kiri;
memfasilitasi ibu agar makan sesuai diet yang telah ditetapkan yaitu TKTP;
vulva hygiene; menejemen nyeri non farmakologis dengan (menciptakan
lingkungan tenang, nyaman, mendengarkan keluhan ibu, mengajak ibu
ngobrol, memberi perhatian ibu); kolaborasi pemberian obat-obatan ampicillin
1000 mg IV, profenid sup, transfusi darah sampai kadar Hb mencapai minimal
8 gr%. Edukasi tentang pentingnya diet, minum obat, mobilisasi, kebersihan
diri dan lingkungan, istirahat cukup. Memberikan penjelasan bahwa ibu
masih bisa hamil lagi karena saluran telur sebelah kanan masih normal dan
sebaiknya KB dulu sebelum hamil berikutnya sambil menyehatkan badannya
agar bila hamil kondisi kandungan benar-benar sehat dan normal. Af infus,
douer kateter setelah 24 jam post operasi (jam 22.00 WIB).
• Evaluasi tanggal 28 – 10 – 2009
Data subjektif (S)
Ibu mengatakan nyeri berkurang, makan dan minum enak, tidur nyenyak,
sudah berani mandi dan BAK/BAB di kamar mandi sendiri, ibu mengatakan
masih sedih. Ibu juga bertanya kapan boleh pulang karena sudah kangen
anaknya.
Data objektif (O)
K/u baik, TD 120/70 mmHg, N 82 x/mnt, RR 20 x/mnt, S 36,3oC, akral hangat,
kadar Hb 8,5 gr%, ibu tampak bisa duduk dan berjalan serta memenuhi ADL
secara mandiri, balutan luka operasi tampak bersih, tanda akut abdomen (-),
nyeri tekan sekitar luka operasi (+), porsi diet TKTP dari RS dihabiskan.
Analisa (A)
Luka operasi baik, tidak ada tanda infeksi. Ibu masih berduka, ibu ingin
pulang.
Pelaksanaan (P)
Observasi (tanda-tanda vital, tanda akut abdomen, luka operasi, perdarahan,
tanda infeksi); memfasilitasi ibu agar makan sesuai diet yang telah ditetapkan
yaitu TKTP; kolaborasi pemberian obat-obatan ampicillin 500 mg oral, asam
mefinamat 3 x 500 mg oral. Edukasi tentang waktu pulang untuk pasien post
Aplikasi Konsep Model Keperawatan Need for Help
pada Kehamilan Ektopik Terganggu (KET)
111
operasi adalah pada hari ketiga setelah operasi dan kondisi luka operasi
baik. Menjelaskan bahwa bila besuk tgl 29-10-2007 balutan luka operasi
dibuka dan diganti, bila kondisi luka baik, insya Allah ibu bisa pulang. Tetap
menunjukkan empati terhadap rasa berduka ibu. Ibu dipindah ke ruang rawat
biasa.
• Evaluasi tanggal 29 – 10 - 2009
Data subjektif (S)
Ibu mengatakan ingin pulang kangen anaknya, ibu mengatakan sedih terutama
bila melihat bayi atau wanita hamil, tetapi berusaha menerima kenyataan
yang ada.
Data objektif (O)
K/u baik, TD 120/80 mmHg, N 80 x/mnt, RR 18 x/mnt, S 36,4oC, akral
hangat, balutan luka operasi dibuka, luka operasi baik tidak ada tanda infeksi,
ibu melihat bayi-bayi disebelahnya, ibu selalu mengelus-elus perut residen
(sedang hamil).
Analisa (A)
Hemodinamik stabil normal, nyeri luka operasi (+), ibu masih berduka pada
tahap ketiga (disorganisasi).
Pelaksanaan (P)
Edukasi untuk mempersiapkan ibu pulang dari RS: tentang pentingnya diet,
minum obat, mobilisasi, kebersihan diri dan lingkungan, istirahat cukup,
kontrol rutin, KB yang aman bagi kesehatan reproduksi terutama mencegah
KET berulang yaitu kondom, bila hamil kontrol rutin ke tenaga kesehatan
profesional sesuai bidangnya. Melakukan terminasi bahwa asuhan akan
diakhiri berhubung ibu sudah diperbolehkan pulang, mengucapkan selamat
jalan.
• Evaluasi
Ibu pulang tanggal 29-10-2009 jam 13.00 WIB, ibu dan suami mengatakan
puas dan berterima kasih pada asuhan Ners Maternitas sehingga terlepas dari
maut, ibu berjanji akan mematuhi segala arahan perawat agar kehamilan
yang berikutnya merupakan kehamilan yang sehat dan normal.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
112
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi
113
A. Pendahuluan
Asuhan keperawatan maternitas dalam menangani klien dengan infeksi luka post SC
paska pemulangan dapat dilakukan dengan mengaplikasikan model konseptual self care
Orem dan transkultural Leininger. Penerapan konsep dan teori model ini memberikan
arah bagi perawat maternitas untuk menjalankan fungsi dan perannya secara tepat.
Berbagai upaya berupa tindakan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif ditempuh
dengan harapan klien dan keluarga dapat hidup sehat, produktif dan memiliki kualitas
hidup yang optimal.
Konsep model self care Orem merupakan konsep yang dapat diterapkan pada klien
dengan infeksi luka post SC paska pemulangan. Teori ini memandang bahwa setiap
individu mempunyai kemampuan dan potensi untuk merawat dirinya sendiri dan
mencapai kesejahteraan (Orem, 2001). Perubahan yang terjadi selama periode post
partum terlebih dengan adanya infeksi luka post SC, berakibat terhadap penurunan
kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhannya. Perawat berperan membantu
meningkatkan kemandirian klien untuk memenuhi kebutuhan self care-nya melalui
proses belajar atau latihan dalam bentuk perawatan diri, menciptakan lingkungan
yang memfasilitasi tercapainya kemandirian sehingga peran perawat dari memberi
bantuan penuh bergeser ke bantuan supportive educative (Orem, 2001).
Selain pendekatan konsep model self care Orem, juga perlu diterapkan teori
transkultural Leininger karena manusia merupakan individu yang unik dan hidup
APLIKASI MODEL KONSEP “SELF CARE” OREM
PADA KASUS INFEKSI LUKA POST OPERASI
Santi Wahyuni, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
114 dalam kondisi sosial budaya yang berbeda-beda (Swasono, 1998). Perawatan pada
klien post partum dengan infeksi luka dipengaruhi oleh nilai budaya yang dianut oleh
keluarga sehingga perlu dilakukan pendekatan budaya.
Dalam memberikan asuhan keperawatan professional kepada klien, maka seorang
Ners Spesialis Keperawatan Maternitas bekerja sesuai dengan tuntutan perannya yang
meliputi sembilan peran utama (nine star) yaitu peran sebagai pemberi pelayanan
kesehatan (care provider), edukator, konselor, komunikator, kolaborator, inovator,
pengelola, advocat, dan peneliti. Perawat maternitas sebagai care provider harus
mampu memberikan asuhan pada perempuan dalam semua kondisi prenatal sampai
postnatal termasuk masalah gangguan reproduksi.
B. Penerapan Teori dan Konsep Keperawatan dalam Kasus
Infeksi Luka Post SC Paska Pemulangan
Aplikasi model konsep dan teori keperawatan self care Orem dan transkultural
Leininger ke dalam asuhan keperawatan pada klien dengan infeksi luka post SC
dengan pendekatan proses keperawatan sebagai berikut:
1. Gambaran Kasus
Ny. Sw, 41 tahun, P2A0, IRT, SMA, Islam, Jawa, menikah. Suami Tn. E.P., 43 tahun,
supir angkot, Islam, Jawa. Alamat Perumnas Kab. X. Klien melahirkan SC tanggal
20 Agustus 2009 atas indikasi PEB (Pre Eklamsia Berat) dan risiko tinggi dari faktor
usia. Saat dilakukan pengkajian klien berada pada post SC hari ke-22 dengan luka
terinfeksi (abses pasca SC). Klien mengatakan jahitan luka operasinya terbuka.
Terdapat rembesan pada area luka operasi, keadaan luka masih basah, jahitan luka
terbuka sepanjang 3 cm, terdapat keluaran cairan bening dan sedikit darah. Klien
mengeluh nyeri pada luka bekas operasi, klien merasa sangat khawatir lukanya tidak
dapat menutup kembali. Keadaan nyeri berkurang bila klien dalam posisi berbaring
dan duduk. Nyeri dirasakan bertambah bila klien banyak mengalami perubahan
posisi ataupun saat dibersihkan luka operasinya. Nyeri dirasakan klien hanya sesekali
(intermitten). TTV: tekanan darah 130/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, RR 28 kali/menit,
suhu 37,1 oC. Leukosit 16,9 ribu/μl dan Hb 10,4 gr/dl. Keadaan infeksi luka post SC
mengakibatkan klien harus dioperasi kembali (hecting ulang).
2. Pengkajian
a. Conditioning Factors dan Pengkajian Transkultural
Ny. Sw., 41 tahun, P2A0, SMA, Jawa, Islam, IRT, menikah. Klien SC tanggal 20
Agustus 2009 atas indikasi PEB. Perawatan luka tidak dilakukan klien dengan cara
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi
115
mengganti balutan luka di rumah karena ketika pulang dari rumah sakit, klien
menggunakan pembalut waterproof. Klien mandi diguyur seperti biasa, tetapi klien
kurang memperhatikan keadaan luka operasinya dan tidak menjaga balutan luka
operasi agar tetap kering. Area sekitar luka operasi teraba keras dan pada luka operasi
timbul rembesan (saat bangun tidur, menetes cairan bening dari luka operasinya).
Klien tidak mengerti penyebab rembesan pada luka operasinya dan klien pun tidak
melakukan tindakan apa pun terhadap luka operasinya (balutan luka operasi tidak
diganti walaupun terjadi rembesan). Klien memeriksakan luka operasinya ke Poliklinik
Obstetri Ginekologi pada tanggal 3 September dan klien direkomendasikan untuk
rawat inap kembali, karena klien direncanakan untuk hecting ulang.
Selama perawatan di rumah, klien banyak mengikuti aturan yang diajarkan oleh
orang tua (sesepuh). Hal ini dikarenakan adanya budaya “manut” yaitu keharusan bagi
seorang anak untuk menuruti segala perintah, ajaran orang tuanya. Padahal apa yang
diajarkan oleh orang tua belum tentu benar atau sesuai dengan aspek kesehatan. Pada
kasus Ny. Sw, klien makan dalam porsi kecil, hanya ½ piring karena diyakini bahwa
orang yang habis operasi tidak boleh makan banyak selama luka operasinya belum
sembuh benar, dapat menyebabkan perut membesar dan bagian luka operasi menjadi
terdesak sehingga jahitan luka operasi akan jebol atau terbuka. Jenis makanan yang
dikonsumsi pun harus dipantang seperti telur, daging dan ikan karena dianggap dapat
menyebabkan luka operasi menjadi basah dan persepsi bahwa di rumah tidak ada lagi
obat penawar/penetralisir seperti ketika klien di rumah sakit.
Faktor ekonomi keluarga Ny. Sw juga mempengaruhi ketidakcukupan nutrien
yang mendukung bagi proses penyembuhan luka operasinya. Suami klien seorang
supir angkot dengan penghasilan yang pas-pasan karena angkot masih dalam status
sewa. Dari penghasilan tersebut, klien berusaha memenuhi berbagai kebutuhan hidup
keluarga termasuk membeli bahan makanan yang seadanya.
Selain masalah pantangan makanan, klien juga meyakini selama sakit, masa
menstruasi dan masa nifas tidak boleh menggunting kuku dan memotong rambut
(bahkan menyisir rambut diusahakan agar tidak ada rambut yang jatuh/rontok)
karena jika dilakukan dapat mendatangkan musibah bagi dirinya. Adanya keyakinan
tersebut mengakibatkan keadaan kuku klien tidak terawat (tampak kotor dan kuku
mulai panjang), sehingga kebersihan diri klien kurang dan hal ini dapat berpengaruh
terhadap keadaan luka operasinya.
Dalam masyarakat yang berada di lingkungan tempat tinggal klien, seorang ibu
bersalin diharuskan untuk cepat kembali beraktivitas (tidak boleh bermalas-malasan
atau banyak diam). Mereka meyakini jika tidak segera melakukan aktivitas seperti
sebelum bersalin dapat menyebabkan kemarahan suami (merasa istrinya tidak
memperhatikan/mengurus rumah tangga dengan baik), selain itu juga istri yang
malas dapat lama pulih kesehatannya setelah bersalin. Adanya keyakinan seperti ini
mengakibatkan klien merasa dirinya sudah sembuh betul dan kuat sejak pulang dari
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
116 rumah sakit. Di rumah, klien melakukan rutinitas sehari-hari bahkan klien kurang
istirahat karena kesibukan dengan pekerjaan rumah tangga (tidak ada pembantu)
termasuk melakukan perawatan terhadap bayinya. Jenis aktivitas yang klien lakukan
termasuk aktivitas sedang-berat seperti mencuci, menimba air, memasak, mengepel
dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Klien merasa apa yang dilakukannya memang
sudah merupakan kewajibannya sebagai ibu rumah tangga.
b. Kebutuhan yang Berkaitan dengan Proses Hidup
Pada saat pengkajian, kebutuhan utama klien adalah terbebas dari luka infeksi. Keadaan
infeksi mempengaruhi kehidupan klien dan keluarganya. Klien mengalami morbiditas
seperti nyeri dan ketidaknyamanan akibat luka infeksi. Klien mengeluh nyeri dan klien
merasa khawatir lukanya tidak dapat menutup kembali. Keadaan nyeri berkurang bila
klien dalam posisi berbaring atau duduk istirahat. Nyeri dirasakan bertambah bila klien
banyak mengalami perubahan posisi atau saat dibersihkan luka operasinya. Nyeri
dirasakan bersifat intermitten. Keadaan nyeri yang dialami klien, menuntut klien akan
kebutuhan terbebas dari nyeri (nyeri berkurang) dan meningkatkannya kenyamanan
klien. Keadaan luka operasi yang mengalami abses ini mengakibatkan klien harus
dioperasi kembali (hecting ulang) dan klien terpisah dengan keluarganya. Hal ini
menimbulkan kecemasan sehingga klien memerlukan bantuan untuk mengurangi
kecemasannya.
Dari hasil pemeriksaan fisik diperoleh data klien post SC hari ke-22 dengan keadaan
umum baik, berat badan 53 kg, tinggi badan 155 cm. Kesadaran compos mentis, TTV:
TD 130/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, RR 28 kali/menit, suhu 37,1 oC. Bentuk wajah
lonjong, tidak ada benjolan pada kepala, kulit kepala tampak cukup bersih, rambut
berwarna hitam, bentuk rambut lurus sebahu, terdapat kloasma gravidarum.
Bentuk mata simetris, konjungtiva ananemis, sklera anikterik, klien dapat membaca
tulisan pada buku catatan perawat, klien tidak menggunakan alat bantu penglihatan.
Bentuk hidung normal, kebersihan hidung cukup baik, tidak ada epistaksis, tidak ada
polip, klien tidak terlihat sesak nafas, tidak terdapat pernafasan cuping hidung, fungsi
indera penciuman cukup baik terbukti dengan klien dapat mencium wangi minyak
kayu putih. Bibir klien tampak simetris, bibir tampak agak kering, kebersihan mulut
cukup baik.
Keadaan telinga simetris, kebersihan cukup baik, tidak terdapat benjolan dan
cairan yang keluar pada kedua telinganya, fungsi pendengaran baik terbukti dengan
klien dapat mendengar panggilan perawat. Pada leher tidak terdapat peningkatan
vena jugularis, tidak ada pembesaran kelenjar lymph. Bentuk dada normal. Bunyi
jantung S1-S2 normal, tidak ada bunyi jantung tambahan. Murmur negatif, gallop
negatif. Bunyi napas vesikuler, tidak ada ronchi, wheezing negatif.
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi
117
Payudara berbentuk normal, tampak simetris, kedua puting susu menonjol keluar,
areola mammae berwarna kehitaman, tidak terdapat benjolan dan pembengkakan
pada kedua payudara, kebersihan payudara cukup baik. Bentuk abdomen mendatar,
tinggi fundus uteri pada pertengahan umbilikus dengan simpisis pubis. Pada area insisi
di bagian abdomen teraba sedikit keras. Terdapat jahitan luka operasi SC berbentuk
melintang, kurang lebih sepanjang 14 cm dengan bagian yang terbuka sekitar 3 cm,
terletak di bagian tengah dari jahitan luka operasi. Area sekitar luka operasi tampak
kemerahan dan terdapat benjolan kecil (nodul) pada bekas simpul jahitan luka. Bising
usus (+) 6 kali/menit. Kandung kemih kosong.
Kebersihan perineum dan genitalia cukup baik, klien tidak menggunakan pembalut
karena lochea sudah tidak ada. Ekstremitas: oedema -/-, varises -/-, tanda homan
-/-, keadaan kuku tampak agak kotor dan kuku mulai panjang. Hasil pemeriksaan
laboratorium tanggal 10 September 2009: Leukosit 16,9 ribu/μl, Hb 10,4 gr/dl,
Hematokrit 36,4 %, Trombosit 257 ribu/μl, Eritrosit 4,98 juta/μl, SGOT 20 U/l, SGPT
10 U/l, Ureum 12,5 mg/dl, Kreatinin 0,65 mg/dl dan Glukosa sewaktu 82 mg/dl.
Riwayat kesehatan: klien mengatakan tidak mempunyai penyakit hipertensi,
asthma, diabetes mellitus, kelainan jantung atau penyakit berat dan menular lainnya.
Klien mengatakan sebelum hamil tidak pernah mengalami tekanan darah tinggi. Pada
kehamilan sebelumnya memang tekanan darahnya juga meningkat, tetapi hanya
berlangsung setelah usia kehamilan memasuki delapan bulan.
Riwayat menstruasi: siklus biasanya teratur (siklus 28 hari), lama 6-7 hari, frekuensi
ganti pembalut 2 kali/hari. Saat menstruasi klien sering merasa nyeri (dismenorhoe)
terutama pada hari pertama dan kedua. Riwayat perkawinan: klien menikah pada saat
usia 24 tahun. Menurut klien, pernikahan ini adalah pernikahan pertama dan sudah
berlangsung selama 17 tahun.
Riwayat kontrasepsi: klien mengatakan pernah menggunakan alat kontrasepsi
berupa suntik tiga bulanan setelah kelahiran anak pertama. Pemakaian suntik selama
beberapa tahun. Klien juga pernah menggunakan pil KB. Riwayat kehamilan dan
persalinan yang lalu: kehamilan pertama pada tahun 2001, usia kehamilan sembilan
bulan. Klien melakukan ANC secara teratur. Klien diketahui mengalami PEB sejak
memasuki usia kehamilan delapan bulan. Lahir anak laki-laki secara spontan. Berat
badan lahir 3200 gram, panjang badan 49 cm, keadaan anak hidup dan sehat.
c. Perkembangan
Status perkembangan klien saat ini berada pada dewasa akhir, sudah menikah dan
mempunyai dua orang anak. Menurut klien, ia stress karena luka operasinya basah
dan terbuka (tampak bolong). Klien juga merasa berat dan sedih meninggalkan bayinya
(dititipkan orang tuanya). Klien merasa terpaksa harus kembali masuk RS karena klien
akan menjalani operasi (re-heacting). Sebagai seorang ibu, klien merasa dirinya tidak
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
118 mampu untuk melakukan perawatan terhadap bayinya dan keluarganya, padahal
menurut keyakinan klien seorang ibu bersalin tidak boleh keluar rumah dalam masa
nifasnya (harus berada di dalam rumah, mengurus rumah tangga dan anak-anaknya).
d. Deviasi Kesehatan
Klien mengeluh masih merasa sakit (nyeri) pada area luka bekas operasi dan ngeri
dengan keadaan luka operasi yang terbuka. Klien mengalami kecemasan menghadapi
tindakan operasi ulang (re-heacting).
e. Masalah Medis dan Perencanaan
Rencana terapi: persiapan operasi re-heacting. Program farmakoterapi yang diberikan:
amoxcilin 500 mg 3 x 1 tablet per oral dan asam mefenamat 500 mg 3 x 1 tablet per
oral.
f. Self Care Defisit
Aktual terjadinya infeksi pada luka operasi terjadi karena ketidakmampuan klien
dalam mempertahankan status nutrisi (intake) yang adekuat untuk menunjang proses
penyembuhan luka dan keadaan kebersihan diri yang kurang baik. Gangguan rasa
nyaman; nyeri pada daerah luka bekas operasi terjadi karena ketidakmampuan klien
dalam mengontrol nyeri. Gangguan rasa aman; cemas terkait dengan proses penyakit
dan menghadapi tindakan operasi (hecting ulang). Gangguan konsep diri; peran diri
ditandai dengan ketidakmampuan klien untuk melakukan perawatan terhadap bayinya
karena kondisi sakit dan terpisahnya ibu dengan bayinya.
3. Merumuskan Diagnosa Keperawatan
Diagnosa yang diangkat pada klien post SC paska pemulangan mencerminkan
masalah aktual, risiko maupun keadaan sejahtera yang perlu dipertahankan. Diagnosa
keperawatan menurut Orem muncul karena ketidakseimbangan antara kebutuhan
dan kemampuan dalam melakukan perawatan diri serta adanya ketidakharmonisan
fisik dan psikis akibat infeksi luka. Lingkup diagnosa mengarah kepada self care Orem
dan transkultural Leininger.
Diagnosa keperawatan yang terjadi pada klien:
a. Aktual terjadinya infeksi pada luka operasi berhubungan dengan asupan nutrisi
yang tidak adekuat dan keadaan kebersihan diri yang kurang baik.
b. Nyeri pada daerah luka operasi b.d. terputusnya kontinuitas jaringan.
c. Gangguan rasa aman; cemas berhubungan dengan proses penyakit dan rencana
tindakan operasi (hecting ulang).
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi
119
d. Diskontinuitas pemberian ASI berhubungan dengan terpisahnya ibu dan bayinya
sekunder terhadap kondisi sakit dan perawatan ulang bagi ibu.
e. Perubahan dalam pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan defisit pengetahuan
sekunder terhadap sistem nilai yang diyakini.
f. Gangguan konsep diri; peran diri berhubungan dengan ketidakmampuan untuk
memenuhi kebutuhan peran sebagai ibu sekunder terhadap kondisi sakit, terpisahnya
ibu dengan keluarganya.
4. Perencanaan
Perencanaan merupakan acuan secara tertulis yang terdiri dari berbagai intervensi
keperawatan yang direncanakan dapat mengatasi diagnosa keperawatan pada klien
dengan infeksi luka post SC paska pemulangan sehingga dapat terpenuhi kebutuhan
dasarnya dan klien mencapai tingkat kemandirian. Perencanaan berisi penetapan
tujuan keperawatan dan rencana tindakan dalam mengatasi masalah keperawatan
dan meningkatkan kemampuan klien dan keluarga, sebagai berikut:
a. Tujuan yang diharapkan berdasarkan pendekatan konsep
1) Infeksi dapat diatasi, proses penyembuhan luka terjadi, dengan kriteria hasil:
tidak terdapat tanda-tanda infeksi, luka operasi mendapatkan perawatan yang
adekuat, keadaan luka operasi tertutup dan kering, klien mengenal tandatanda
bahaya komplikasi infeksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses
penyembuhan luka operasi. Model sistem keperawatan yang digunakan
adalah: partly compensatory nursing system.
2) Rasa nyeri pada daerah luka operasi dirasakan klien berkurang, dengan kriteria:
klien mengatakan nyeri berkurang, skala nyeri menurun, klien tidak tampak
meringis terutama saat diganti balutan lukanya, klien dapat merasa lebih
nyaman, tanda-tanda vital dalam batas normal, tidak ada tanda-tanda infeksi.
Model sistem keperawatan yang digunakan adalah: partly compensatory
nursing system.
3) Rasa cemas klien berkurang, dengan kriteria: klien mengetahui proses penyakit
dan tindakan operasi yang akan dijalaninya, tanda-tanda vital klien dalam
batas normal. Model sistem keperawatan yang digunakan adalah: supportive
educative nursing system.
4) Klien dapat melanjutkan pemberian ASI dengan kriteria: payudara klien
tidak bengkak akibat penumpukan ASI, klien dapat memberikan ASI kepada
bayinya di rumah. Model sistem keperawatan yang digunakan adalah: partly
compensatory nursing system.
5) Klien dapat mengganti sistem nilai yang tidak menunjang dengan kesehatan,
dengan kriteria: klien memahami kebutuhan nutrisi yang adekuat terhadap
penyembuhan luka operasi, klien tidak memantang jenis makanan tertentu.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
120 Model sistem keperawatan yang digunakan adalah: supportive educative
nursing system.
6) Konsep diri klien meningkat, dengan kriteria klien dapat menerima perubahan
peran selama klien di RS, klien tetap mengetahui informasi keadaan perkembangan
anak-anaknya di rumah. Model sistem keperawatan yang digunakan
adalah: supportive educative nursing system.
b. Rencana Intervensi Keperawatan
1) Intervensi Diagnosa Keperawatan 1:
a) Observasi adanya tanda-tanda infeksi.
b) Observasi tanda-tanda vital klien.
c) Lakukan perawatan luka operasi dengan teknik septik dan antiseptik.
d) Kaji keadaan luka operasi klien, karakteristik luka.
e) Berikan makanan yang telah disediakan, motivasi klien untuk menghabiskan
makanannya.
f) Motivasi klien untuk mempertahankan kebersihan diri dan lingkungan.
g) Ajarkan klien dan keluarga untuk mengenali tanda-tanda dan gejala
infeksi.
h) Pantau hasil laboratorium terkait proses infeksi.
2) Intervensi Diagnosa Keperawatan 2:
a) Kaji penyebab terjadinya nyeri.
b) Kaji tingkat kenyamanan klien dengan skala nyeri 1-10 (skala Visual
Analog Scale/VAS).
c) Monitor tanda-tanda vital yang mengindikasikan adanya peningkatan
nyeri seperti peningkatan tekanan darah dan nadi.
d) Catat pengalaman dan penanganan nyeri yang lalu.
e) Atur posisi yang nyaman menurut klien.
f) Ajari cara-cara menurunkan nyeri dengan metode non farmakologi (teknik
distraksi dan relaksasi).
g) Berikan obat antibiotik: amoxcilin 3 x 500 mg.
3) Intervensi Diagnosa Keperawatan 3:
a) Gali faktor-faktor yang menjadi stressor terhadap kecemasan bagi klien.
b) Kaji dampak lebih lanjut akibat kecemasan klien.
c) Kaji tingkat kecemasan yang dialami klien.
d) Kaji mekanisme koping yang dimiliki klien.
e) Observasi keadaan umum, tanda-tanda vital klien.
f) Anjurkan klien untuk berdo’a dan berserah diri kepada Allah SWT.
g) Berikan motivasi (suport mental) kepada klien.
h) Libatkan keluarga klien untuk memberikan support pada klien.
i) Informasikan kepada klien mengenai proses penyakit, pengenalan tandatanda
infeksi, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi
121
luka operasi, serta tindakan operasi yang akan dijalani klien.
4) Intervensi Diagnosa Keperawatan 4:
a) Jelaskan pada klien tentang pentingnya pemberian ASI, cara yang dapat
dilakukan untuk mempertahankan agar ASI tetap diproduksi.
b) Ajari klien cara untuk mengeluarkan ASInya dan anjurkan klien untuk
melakukannya secara rutin.
c) Anjurkan keluarga untuk memfasilitasi pemberian ASI yang berkelanjutan
dengan meminta keluarga untuk membawa botol susu atau alat pompa
ASI serta memberikan ASI yang telah diperas kepada bayinya di rumah.
d) Anjurkan klien untuk menjaga kebersihan dan melakukan perawatan
terhadap payudaranya.
5) Intervensi Diagnosa Keperawatan 5:
a) Kaji pola makan klien sehari-hari, intake nutrisi klien.
b) Gali keyakinan klien terkait makanan yang dikonsumsi dan dipantang
klien.
c) Informasikan kepada klien dan keluarga mengenai kebutuhan nutrisi ibu
nifas, ibu post SC dan ibu menyusui.
d) Diskusikan bersama klien dan keluarga tentang pentingnya pemenuhan
makanan berprotein tinggi seperti telur, daging dan ikan bagi proses
penyembuhan luka.
e) Yakinkan klien dan keluarga bahwa faktor yang menghambat proses
penyembuhan luka klien antara lain pantangan makanan, pantangan
memotong kuku dan menyisir rambut (menjaga kebersihan), keyakinan
ibu nifas untuk langsung beraktivitas (sehingga klien menjadi kurang
istirahat).
f) Negosiasikan berbagai budaya yang diyakini klien dan keluarga sehingga
klien dapat mengganti keyakinan yang bertentangan dengan kesehatan.
g) Libatkan keluarga untuk mendukung klien dalam memenuhi kebutuhan
nutrisi guna penyembuhan luka operasinya.
6) Intervensi Diagnosa Keperawatan 6:
a) Kaji hal-hal yang menyebabkan harga diri klien rendah (merasa dirinya
tidak mampu melakukan peran sebagai ibu bagi bayinya)
b) Kaji peran yang diemban klien.
c) Diskusikan dengan klien mengenai peran yang klien inginkan, hambatan
dalam melakukan peran dan apa yang dapat dilakukan klien saat ini
terkait dengan peran tersebut.
d) Berikan motivasi kepada klien bahwa apa yang dialaminya sekarang
merupakan cobaan dan klien dapat berusaha untuk cepat sembuh dengan
cara mengikuti/mematuhi apa yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan
pada klien.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
122 e) Anjurkan keluarga untuk terus memberikan informasi mengenai keadaan
perkembangan anak klien.
f) Libatkan keluarga dalam pemberian support.
4. Implementasi
Implementasi keperawatan pada klien dengan infeksi luka post SC pasca pemulangan
didasarkan pada analisis tingkat ketergantungan klien, dengan melibatkan keluarga,
memperhatikan aspek budaya dan didasari rasa kepedulian. Tindakan keperawatan
meliputi penatalaksanaan keperawatan, observasi keperawatan dan pendidikan kesehatan/
keperawatan serta penatalaksanaan medik yang dilakukan perawat.
Implementasi untuk masalah keperawatan aktual terjadinya infeksi meliputi: a)
mengobservasi tanda-tanda infeksi; b) mengobservasi tanda-tanda vital setiap 6 jam; c)
melakukan perawatan luka operasi dengan teknik septik dan antiseptik (menggunakan
kompres NaCl 0,9 % 2 kali/hari); d) mengkaji keadaan luka operasi klien, karakteristik
luka; e) memberikan makanan yang telah disajikan dan memberikan motivasi agar
klien menghabiskan makanannya; f) memberikan motivasi pada klien untuk
mempertahankan
kebersihan diri; g) mengajarkan klien dan keluarga untuk mengenali
tanda dan gejala infeksi; h) memberikan obat amoxcilin 3 x 500 mg; i) memantau hasil
pemeriksaan laboratorium terkait proses infeksi, seperti kadar leukosit.
Implementasi untuk masalah keperawatan gangguan rasa nyaman; nyeri meliputi:
a) mengkaji penyebab terjadinya nyeri dengan menggunakan skala VAS; b) mengkaji
tingkat kenyamanan klien; c) memonitor tanda-tanda vital klien; d) menanyakan
pengalaman dan penanganan nyeri yang lalu pada klien; e) membantu klien untuk
mengatur posisi yang nyaman; f) mengajari teknik untuk menurunkan nyeri dengan
metode distraksi (mengalihkan perhatian klien dari nyeri, seperti dengan cara mengajak
klien bercerita atau berinteraksi baik dengan perawat, pasien lain atau keluarganya) dan
relaksasi (dengan cara mengatur pernapasan/menarik napas dalam); g) memberikan
obat asam mefenamat 3 x 500 mg.
Implementasi keperawatan untuk mengatasi masalah kecemasan meliputi: a)
menggali faktor-faktor yang menjadi stressor terhadap kecemasan bagi klien; b) mengkaji
dampak lebih lanjut akibat kecemasan klien: c) mengkaji tingkat kecemasan yang
dialami klien; d) mengkaji mekanisme koping yang dimiliki klien; e) mengobservasi
keadaan umum dan tanda-tanda vital klien; e) menganjurkan klien untuk berdo’a dan
berserah diri kepada Allah SWT ; f) memberikan motivasi (support mental) kepada klien;
g) melibatkan keluarga klien untuk memberikan support pada klien; h) memberikan
informasikan kepada klien mengenai proses penyakit, pengenalan tanda-tanda infeksi,
faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka operasi, serta tindakan
operasi yang akan dihadapi; i) melakukan persiapan pre operasi pada klien.
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi
123
Implementasi untuk masalah keperawatan diskontinuitas pemberian ASI meliputi:
a) mengkaji pengetahuan/wawasan klien terkait pemberian ASI; b) memberikan
penjelasan mengenai pentingnya pemberian ASI dan solusi agar pemberian ASI
dapat dilanjutkan; c) mengajari cara yang dapat dilakukan untuk mempertahankan
agar ASI tetap diproduksi (dengan mengeluarkan ASI, diperas atau dipompa); d)
memberikan motivasi pada klien untuk melakukannya secara rutin; e) melibatkan
keluarga dalam memfasilitasi pemberian ASI yang berkelanjutan dengan meminta
keluarga untuk membawa botol susu atau alat pompa ASI serta memberikan ASI
yang telah diperas kepada bayinya di rumah; f) menganjurkan klien untuk menjaga
kebersihan dan melakukan perawatan terhadap payudaranya; g) meyakinkan pada
klien dan keluarga bahwa yang dilakukan klien dapat mencegah pembengkakan pada
payudara dan sebagai upaya agar ASI tetap diproduksi sehingga pemberian ASI dapat
berkelanjutan.
Implementasi untuk masalah keperawatan perubahan dalam pemeliharaan kesehatan
terkait dengan nilai budaya yang diyakini meliputi: a) mengkaji pola makan
klien sehari-hari; b) mencatat asupan nutrisi klien dengan cara recall dalam 24
jam; c) menggali keyakinan klien terkait makanan yang dipantang; d) memberikan
informasikan kepada klien dan keluarga mengenai kebutuhan nutrisi yang menunjang
proses penyembuhan luka infeksi; e) mendiskusikan bersama klien dan keluarga
tentang pentingnya pemenuhan makanan berprotein tinggi seperti telur, daging
dan ikan bagi proses penyembuhan luka; f) meyakinkan keluarga bahwa faktor
yang menghambat proses penyembuhan luka klien antara lain pantangan makanan
dan pantangan pemeliharaan kebersihan diri, keyakinan ibu nifas untuk langsung
beraktivitas sehingga klien perlu meninggalkan keyakinan (mitos) yang bertentangan
dengan kesehatan; g) memberikan informasi yang adekuat mengenai faktor-faktor lain
(selain nutrisi) yang mempengaruhi proses penyembuhan luka, seperti kebersihan diri
dan lingkungan, daya tahan tubuh, usia dan mobilisasi, stress, aktivitas dan istirahat;
h) melibatkan keluarga untuk mendukung klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi
guna penyembuhan luka operasinya.
Implementasi untuk masalah keperawatan gangguan peran diri meliputi: a)
mengkaji hal-hal yang menyebabkan konsep diri klien rendah; b) mengkaji peran yang
diemban klien; c) mendiskusikan mengenai peran yang diinginkan, hambatan dalam
melakukan peran dan apa yang dapat dilakukan klien saat ini terkait dengan peran
tersebut; d) memberikan motivasi kepada klien bahwa apa yang dialaminya sekarang
merupakan cobaan dan klien dapat berusaha untuk cepat sembuh dengan cara
mengikuti/mematuhi apa yang dianjurkan oleh tenaga kesehatan; e) menganjurkan
keluarga untuk terus menginformasikan keadaan perkembangan anak klien; f) melibatkan
keluarga dalam pemberian support.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
124 5. Evaluasi
Evaluasi menurut Orem adalah keberhasilan intervensi keperawatan yang telah
dilakukan perawat untuk meningkatkan kemandirian klien dalam memenuhi
kebutuhan self care. Evaluasi pada asuhan keperawatan klien post SC dengan luka
yang terinfeksi meliputi: ibu mampu melakukan perawatan diri secara mandiri dan
infeksi dapat diatasi. Sedangkan evaluasi menurut teori transkultural Leininger adalah
perubahan perilaku klien yaitu mengganti budaya atau keyakinan yang bertentangan
dengan kesehatan.
Evaluasi keperawatan yang dilakukan pada tanggal 11 September 2009 pada Ny.
Sw. untuk masalah keperawatan aktual terjadinya infeksi: infeksi masih terjadi ditandai
dengan: a) adanya tanda-tanda infeksi seperti area sekitar luka tampak kemerahan,
teraba keras dan terdapat benjolan kecil (nodul) di bekas simpul jahitan luka operasi,
karakteristik luka: luka terbuka sekitar 3 cm, pus (+), cairan bercampur darah (+),
klien mengeluh nyeri pada area luka operasi, tinggi fundus uteri di pertengahan
pusat dengan simpisis pubis; TTV: TD 130/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, RR 28 kali/
menit, suhu 37,1 OC; leukosit 16,9 ribu/μl; b) klien mengenali tanda-tanda infeksi dan
faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyembuhan luka infeksi; c) klien mampu
mempertahankan agar luka tidak terkena air (tetap kering) dan kebersihan sekitar luka
dijaga.
Evaluasi untuk masalah keperawatan gangguan rasa nyaman; nyeri meliputi: a)
klien mampu melakukan upaya untuk mengurangi nyeri dengan cara melakukan
teknik relaksasi dengan menarik napas dalam saat nyeri terasa dan teknik distraksi
dengan cara berinteraksi, membayangkan sesuatu yang indah; b) skala nyeri menurun
menjadi 3; c) klien mampu mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal
(TTV: TD 130/80 mmHg, nadi 80 kali/menit, RR 28 kali/menit, suhu 37,1 OC).
Evaluasi untuk masalah keperawatan kecemasan meliputi: a) klien mengenali
sumber kecemasan yang dialaminya yaitu keadaan luka operasi yang terbuka, tindakan
operasi yang akan dilakukan besok; b) klien memahami dampak lebih lanjut akibat
kecemasan klien; c) tingkat kecemasan klien berkurang (menjadi sedang); d) klien
dapat mempertahankan TTV dalam batas normal (TD 130/80 mmHg, nadi 80 kali/
menit, RR 28 kali/menit, suhu 37,1 OC); e) klien mengatakan siap menjalani operasi
besok dan sudah berserah diri pada yang Maha Kuasa.
Evaluasi untuk masalah keperawatan diskontinuitas pemberian ASI meliputi: a)
klien mengerti manfaat pemberian ASI dan cara yang dapat dilakukan untuk
mempertahankan
kelangsungan pemberian ASI; b) kedua payudara klien tidak oedem; c) klien
dapat mengeluarkan ASI dari kedua payudaranya dengan cara diperas.
Evaluasi untuk masalah keperawatan perubahan dalam pemeliharaan kesehatan
terkait dengan nilai dan keyakinan yang dimiliki meliputi: a) klien memahami pentingnya
makan makanan yang mengandung tinggi protein untuk penyembuhan luka
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Infeksi Luka Post Operasi
125
infeksinya; b) klien dapat mengganti pandangan atau keyakinan berdasarkan budaya
yang tidak sesuai dengan aspek kesehatan (seperti pantangan makanan, pantangan
memelihara kebersihan diri, keyakinan ibu post partum harus langsung melakukan
aktivitas rumah tangga, larangan ibu post partum keluar rumah selama masa nifas);
c) klien tidak lagi melakukan pantangan makanan (klien mengganti perilaku budaya
yang tidak sesuai dengan kesehatan); d) orang tua klien mengatakan akan mendukung
klien dalam memenuhi kebutuhan nutrisi guna penyembuhan luka operasinya.
Evaluasiuntuk
masalah keperawatan perubahan peran meliputi: a) klien menerima
dan memahami ketidakmampuan menjalankan perannya akibat kondisi dan
keterbatasan yang dialaminya saat ini; b) klien memiliki semangat untuk sembuh
sehingga dapat lebih cepat menjalankan perannya kembali.
Catatan Perkembangan klien post operasi (heacting ulang) pada tanggal 12
September 2009 jam 11.35 WIB sebagai berikut:
S: Klien mengeluh nyeri pada area luka operasi, klien mengatakan badannya masih
terasa kaku.
O: Keadaan umum: baik, kesadaran: compos mentis, TTV: TD 120/70 mmHg, nadi
60 kali/menit, RR 20 kali/menit, suhu 36,3 OC, skala nyeri 7 (pada skala 1-10).
A: Nyeri post operasi.
P: Mengkaji penyebab terjadinya nyeri; mengkaji tingkat kenyamanan klien dengan
skala nyeri 1-10; mengobservasi TTV terutama dalam masa pemulihan; mengatur
posisi yang nyaman menurut klien; mengajari teknik menurunkan nyeri dengan
metode non farmakologi seperti distraksi dan relaksasi; memberikan klien obat
analgetik pronalges suppositoria; memberikan program terapi obat: metronidazole
2 x 100 mg, amoxycilin 4 x 1 gr, transamin 3 x 1 gr dan vitamin C 2 x 400 mg;
memantau pemberian infus: Dextrose 5%; memantau pengeluaran urine: klien
terpasang kateter, mencatat jumlah pengeluaran urine, warna urine; membantu
klien dalam memenuhi kebutuhan dasarnya.
Berdasarkan catatan perkembangan di atas, pada kondisi post re-haecting
(post operasi 2-5 jam pertama) klien mengalami penurunan tingkat kemandirian
sehingga perawat memberikan bantuan yang bersifat totally. Setelah 6-24 jam tingkat
ketergantungan klien berkurang ditandai nyeri mulai berkurang sehingga perawat
memberikan bantuan yang bersifat partly. Selanjutnya setelah lebih dari 24 jam
klien sudah dapat kembali melakukan pemenuhan kebutuhan self care-nya sehingga
perawat memberikan bantuan yang bersifat supportive educative, contohnya dengan
memotivasi klien untuk melakukan teknik relaksasi dan distraksi ketika nyeri dirasakan
(sesuai dengan cara yang telah diajarkan).
Evaluasi keperawatan tanggal 15 September 2009: masalah luka infeksi telah
teratasi ditandai dengan keadaan luka menutup dan kering, klien dapat melakukan
perawatan diri secara mandiri. Klien mengganti perilaku budaya yang bertentangan
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
126 dengan kesehatan seperti klien tidak memantang makanan tertentu; telur, ikan, daging,
klien mau dipotong dan dibersihkan kukunya, klien mengatakan tidak akan melakukan
aktivitas yang berat dan akan memenuhi kebutuhan istirahat.
Klien diperbolehkan pulang pada tanggal 16 September 2009. Sebelum klien
pulang, klien dan keluarga diberikan discharge planning mengenai pencegahan infeksi
melalui perawatan luka di rumah. Klien dianjurkan kontrol satu minggu kemudian
atau sebelum jadual kontrol apabila ditemui tanda dan gejala infeksi.
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Hiperemesis Gravidarum
127
A. Pendahuluan
Kehamilan merupakan suatu peristiwa yang penting dalam kehidupan seorang wanita
dan keluarganya. Kehamilan yang sehat dan kondisi fisik yang aman dan keadaan emosi
yang memuaskan baik bagi ibu maupun janin adalah hasil akhir yang diharapkan.
Sementara itu semua sistem tubuh mengalami perubahan dari keadaan tidak hamil ke
keadaan hamil, perubahan yang terjadi selama hamil secara umum disebut fisiologi
maternal (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995).
Sistem tubuh yang mengalami perubahan salah satunya sistem gastrointestinal.
Perubahan pada sistem gastrointestinal menyebabkan terjadinya mual dan muntah
pada wanita hamil. Mual dan muntah dialami 50-80% wanita hamil, hal ini merupakan
gejala yang wajar dan sering terjadi diusia kehamilan trimester pertama. Sebagian
besar mual muntah saat hamil dapat diatasi dengan pemberian obat penenang dan
anti muntah dan terkadang hilang sendiri secara perlahan seiring bertambahnya usia
kehamilan (Verberg, Gillott, Al-Fardan dan Grudzinskasi, 2005; Manuaba, 1998).
Sementara itu beberapa ibu hamil mengalami mual dan muntah yang terus menerus
hingga menyebabkan kehilangan berat badan, dehidrasi, gangguan keseimbangan
elektrolit dan defisiensi nutrisi, keadaan ini disebut dengan hiperemesis gravidarum.
Penyebab hiperemesis gravidarum secara pasti sampai saat ini belum diketahui,
beberapa faktor predisposisi yang diketahui adalah perubahan hormon HCG yang
berfungsi untuk menjaga kecukupan produksi hormon estrogen dan progesteron agar
APLIKASI MODEL KONSEP “SELF CARE” OREM
PADA KASUS HIPEREMESIS GRAVIDARUM
Ermiati, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
128 kehamilan sehat dan lancar namun peningkatan hormon ini menimbulkan rasa mual
dan muntah bagi ibu hamil (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995; Cunningham et
al., 2001).
Perubahan hormonal yang disertai kondisi stres emosional seperti takut terhadap
kehamilan dan persalinan, takut terhadap tanggung jawab sebagai ibu, kehilangan
pekerjaan, merupakan konflik mental yang memperberat mual dan muntah yang dapat
menjadi hiperemesis gravidarum (Bobak, Lowdermilk, dan Jensen, 1995). Angka
kejadian hiperemesis gravidarum berkisar 1-3% dari kehamilan atau 1-20 kasus dari
1000 kehamilan (Philip, 2003).
Hiperemesis gravidarum menyebabkan gangguan keseimbangan cairan dan
nutrisi karena itu penanganan keseimbangan cairan dan nutrisi dengan terapi cairan
intra vena, suplemen vitamin dan koreksi ketidak seimbangan asam basa, pemberian
antiemetik dapat menghilangkan gejala dan mencegah komplikasi yang lebih serius
(Verberg, Gillott, Al-Fardan, dan Grudzinskasi, 2005).
Dehidrasi yang terjadi pada hiperemesis gravidarum yang tidak teratasi dapat
mengakibatkan kerusakan organ hati dan ginjal, kerusakan pada organ-organ tersebut
biasanya permanen atau menetap. Sejumlah kasus hiperemesis dengan penyulit
wernicke’s encephalopathy akibat defisiensi tiamin dapat menyebabkan kebutaan,
kejang, koma bahkan kematian (Cunningham et al., 2001).
Pada kasus hiperemesis yang berkepanjangan diberikan terapi farmakologi,
pemasangan nasogastrik untuk pemberian makanan atau total parenteral nutrisi
yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dengan pemberian nutrisi yang
adekuat. Meskipun demikian terkadang semua program perawatan konvensional
gagal dan kondisi ibu menjadi terancam maka penghentian kehamilan perlu
dilakukan. Penghentian kehamilan yang disebabkan hiperemesis gravidarum kira-kira
2%. Hiperemesis gravidarum tidak hanya merupakan masalah pada ibu akan tetapi
juga berdampak pada hasil akhir dari kehamilan seperti berat badan lahir rendah,
persalinan preterm, malformasi fetal (Bobak, Lowdermilk, Jensen, 1995; dan Verberg,
Gillott, Al-Fardan, dan Grudzinskasi, 2005).
Adanya permasalahan kesehatan yang dialami ibu dengan hiperemesis gravidarum
membawa implikasi kepada asuhan keperawatan khususnya perawat maternitas.
Perawat maternitas dituntut untuk mampu memberikan pelayanan keperawatan
profesional, sehingga dapat mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan pada
kehamilan dengan hiperemesis gravidarum. Fokus asuhan keperawatan pada ibu
dengan hiperemesis gravidarum adalah memenuhi kebutuhan ibu dan janin yaitu
terjaganya keseimbangan elektrolit, terpenuhinya nutrisi selama kehamilan sehingga
tidak terjadi kerusakan irreversibel pada organ-organ mayor ibu dan kehamilan dapat
dipertahankan hingga aterm.
Berdasarkan uraian di atas seorang perawat maternitas dalam melaksanakan
asuhan keperawatan harus secara profesional. Seorang perawat profesional dalam
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Hiperemesis Gravidarum
129
memberikan asuhan keperawatan harus dengan mensintesa berbagai pengetahuan,
konsep dan prinsip dari berbagai kelompok ilmu, keterampilan interpersonal dan
tehnikal yang tinggi berdasarkan ilmu dan konsep keperawatan. Pada klien dengan
hiperemesis gravidarum konsep model keperawatan yang digunakan adalah konsep
self care Orem.
Model konsep self care Orem memandang bahwa setiap individu mempunyai
kemampuan dan potensi untuk merawat dirinya sendiri dan mencapai kesejahteraan.
Perubahan-perubahan yang terjadi karena kehamilan dengan hiperemesis menyebabkan
menurunnya kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhannya. Perawat
berperan membantu meningkatkan kemandirian ibu dalam memenuhi kebutuhan
self care-nya melalui suatu proses belajar/latihan dalam bentuk perawatan diri,
menciptakan lingkungan yang memfasilitasi tercapainya kemandirian, sehingga
perawat dari memberikan bantuan penuh bergeser kebantuan supportive educative
(Orem, 2001).
Dalam memberikan asuhan keperawatan profesional pada klien, maka seorang
ners spesialis keperawatan maternitas bekerja di dalam tim dan berkolaborasi, sebagai
pemberi asuhan keperawatan klien dengan hiperemesis gravidarum peran dominan
perawat maternitas adalah sebagai pemberi asuhan keperawatan, edukator, konselor,
advokat, kolaborator dan komunikator terhadap klien di samping sebagai agen
pembaharu terhadap managemen asuhan keperawatan yang diberikan, koordinator
dalam manajemen pelayanan klien dan peneliti terhadap bentuk model keperawatan
atau intervensi yang diberikan. Peran perawat maternitas tersebut diterapkan baik
ditatanan pelayanan rumah sakit, puskesmas maupun komunitas.
B. Aplikasi Penerapan Model Konseptual Self Care Orem
pada Hiperemesis Gravidarum
Aplikasi model konsep dan teori keperawatan self care Orem dan social support ke
dalam asuhan keperawatan pada klien dengan hiperemesis gravidarum pendekatan
proses keperawatan adalah sebagai berikut:
1. Gambaran Kasus
Ny. VD, 20 tahun, G1P0A0 hamil 8 minggu, pendidikan terakhir SMU, pekerjaan ibu
rumah tangga, suku Jawa, status perkawinan kawin, Alamat: Jalan Kalinusa Bekasi
Timur. Suami: Tn. TS, 22 tahun, pendidikan terakhir: SMK, pekerjaan: tidak bekerja,
suku Jawa. Alamat: Jalan Kaliasem. Masuk RSUD.B 11 Desember 2009 jam 16:45
wib dengan keluhan mual dan muntah-muntah sampai yang keluar cairan kuning,
klien merasa nyeri pada tenggorokan dan perut, badan terasa lemas sehingga klien
tidak mampu melakukan aktivitas. Pernafasan 20x/menit, Nadi 80x/menit, TD 120/80
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
130 mmHg. Klien mengaku hamil dan merupakan kehamilan yang pertama HPHT: 22
Oktober 2009, TP 29 Juli 2010. Kehamilan anak pertama ini tidak direncanakan
karena klien merasa belum siap dan suami klien saat ini tidak memiliki pekerjaan.
Klien memiliki riwayat gastritis semenjak berusia 14 tahun.
2. Pengkajian
Pengkajian pada klien dilakukan tanggal 11 Desember 2009 jam 16.45 Wib di ruang
dahlia RSUD.B. Klien datang ke rumah sakit diantar keluarga dengan keluhan sakit
perut, mual dan muntah yang terus menerus hingga klien merasa sangat lemas dan tidak
mampu melakukan aktivitas. Saat dikaji keadaan umum lemah, kesadaran kompos
mentis, mual dan muntah (+), klien bedrest, klien berada pada tingkat ketergantungan
partlly.
a. Faktor Personal dan Conditioning Factor
Ny. VD, 20 tahun, G1P0A0 hamil 8 minggu, TB:158 cm, BB: 44 kg (turun 2 kg
semenjak hamil), agama Islam pendidikan terakhir SMU, pekerjaan: ibu rumah
tangga, suku Jawa, status perkawinan kawin. Alamat: Jalan Kaliasem. Suami: Tn. TS,
22 tahun, agama Islam, pendidikan terakhir: SMK, pekerjaan: tidak bekerja, suku:
Jawa. Alamat: Jalan Kaliasem. Kehamilan ini merupakan kehamilan yang pertama,
dan tidak direncanakan/diharapkan karena klien merasa belum siap dan suami
klien saat ini tidak memiliki pekerjaan. Klien pernah mencoba untuk menggugurkan
kandungan dengan minum obat-obatan dan jamu peluntur. Klien memiliki riwayat
gastritis semenjak berusia 14 tahun. Seminggu yang lalu klien dirawat di RSUD. B.
dengan hiperemesis gravidarum.
b. Universal Self Care Requisites
Pada saat pengkajian pemenuhan kebutuhan sehari-hari dibantu. Klien mengalami
kesulitan dalam makan dan minum, klien selalu merasa mual dan setiap kali makan
dan minum klien muntah, semua yang dimakan dimuntahkan sampai muntah klien
berupa cairan kuning, klien merasakan nyeri pada tenggorokan setiap kali muntah dan
klien juga merasa nyeri pada ulu hati.Terpasang IVFD dextrose 5%+ Primperan pada
ektremitas atas kiri. Klien merasa lemas karena muntah yang sering dan tidak dapat
beraktivitas.
Dari hasil pemeriksaan fisik keadaan umum klien lemah, kesadaran compos
mentis, pernapasan 22x/menit, Nadi 84x/menit, TD 100/60 mmHg, Cappilary Refil
Time kurang 3 detik, konjungtiva tidak anemis. Respirasi tidak mengalami kesulitan,
ekspansi dada maksimal, irama reguler kedalaman normal, tidak ada ronchi, wheezing,
stridor, crackles, refleks batuk baik, sekret tidak ada, kuku tidak sianosis. Status nutrisi
normal, TB:158 cm, BB: 44 kg (turun 2 kg semenjak hamil) Lingkar lengan atas 23cm.
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Hiperemesis Gravidarum
131
Turgor menurun, mukosa mulut kering. Mamae membesar, areola menghitam, puting
menonjol, kolostrum (-). Abdomen datar lunak, DJJ belum terdengar dengan doppler.
Eliminasi BAK 2-3 kali sehari, volume berkurang dari biasanya, tidak ada nyeri maupun
rasa terbakar saat BAK. BAB 1 kali sehari tidak ada kesulitan, tidak ada perdarahan.
Riwayat kesehatan klien: klien tidak memiliki penyakit hipertensi, diabetes, jantung
maupun asma, klien menderita gastritis semenjak berusia 14 tahun. Menarche pada
usia 14 tahun dengan lama haid 6 hari, ganti pembalut 2 kali sehari, tidak ada keluhan
selama haid. Klien tidak pernah menggunakan kontrasepsi. Saat ini klien hamil anak
pertama HPHT: 22 Oktober 2009, taksiran partus (TP) 29 Juli 2010 usia kehamilan
saat ini 8 minggu.
c. Development Self Care Requisites
Klien mengandung anak pertama, menikah 3 bulan yang lalu. Kehamilan ini tidak
diharapkan karena klien merasa belum siap dan suami klien tidak bekerja. Klien
pernah mencoba untuk menggugurkan kandungan dengan minum obat-obatan dan
jamu peluntur.
a. Health Deviation Self Care Requisites
Klien mengalami mual muntah yang terus menerus hingga mengalami intoleransi
aktivitas karena kelemahan akibat nutrisi tidak adekuat. Klien khawatir akan
kesejahteraan janin.
b. Medical Problem and Plan
Klien G1P0A0 hamil 8 minggu dengan hiperemesis gravidarum. Rencana terapi:
Bedrest, hidrasi 3000cc/24 jam, IVFD Kaen Mg III: dextrose 5%: Asering: 2:2:1,
oral puasa, anti emetik Primperan 3X1 ampul, Anvomer B6 3x1, Premaston 3x1,
Antasid doen 3x1, Cek DPL, UL.
c. Self Care Defisit
Kekurangan volume cairan karena mual dan muntah yang terus menerus, nutrisi
yang tidak adekuat, klien tidak mampu memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari
seperti makan, minum personal hygiene secara mandiri, klien cemas akan kondisi
kehamilan dan janin yang dikandung.
3. Merumuskan Diagnosa Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang dapat diangkat pada klien hiperemesis gravidarum
adalah:
a. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidak mampuan dalam memenuhi
kebutuhan cairan tubuh dikarenakan asupan cairan yang tidak adekuat
akibat mual dan kehilangan cairan melalui muntah (Rasional: mual dan muntah
yang menetap menyebabkan cairan dan elektrolit dalam tubuh terbuang melalui
muntah yang menyebabkan terjadinya kekurangan cairan dan elektrolit dalam
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
132 tubuh).
b. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan
dalam memenuhi kebutuhan nutrisi dikarenakan penurunan asupan zat
gizi akibat mual dan kehilangan zat gizi karena muntah yang menetap (Rasional:
mual dan muntah yang menetap menyebabkan nutrisi tidak ada yang masuk
ketubuh sehingga kebutuhan nutrisi terganggu/tidak terpenuhi).
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak mampuan dalam beraktivitas
dikarenakan kelemahan sekunder terhadap nutrisi yang tidak adekuat; (Rasional:
kebutuhan nutrisi tidak terpenuhi menyebabkan energi tidak ada sehingga tubuh
menjadi lemah yang menyebabkan aktivitas terganggu).
d. Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang perubahan status
kesehatan, situasi krisis dan khawatir kesejahteraan janin (Rasional: mual dan
muntah yang menetap menyebabkan nutrisi tidak ada yang masuk ketubuh, tubuh
kekurangan nutrisi, tubuh menjadi lemah kondisi sedang hamil, cemas terhadap
kesejahteraan janin dan kondisi kesehatan).
4. Perencanaan (Nursing Model System)
Perencanaan berisi tentang tujuan dan rencana intervensi. Pada tahap ini perlu
dirumuskan bersama-sama klien dan keluarga. Tujuan keperawatan harus sesuai
dengan masalah keperawatan yang terjadi pada klien. Ada pun perencanaan pada
klien tersebut di atas adalah:
a. Tujuan yang diharapkan berdasarkan pendekatan konsep
1) Klien menunjukkan keseimbangan volume cairan. Kriteria: nadi dan tekanan
darah normal, warna kulit normal, turgor kulit normal, klien mampu makan
dan minum secara mandiri. Model sistem keperawatan yang digunakan
adalah: partly compensatory nursing system.
Intervensi keperawatan: 1) pertahankan tirah baring total. 2) pertahankan
status puasa selama 24-48 jam. 3) berikan cairan parenteral dengan vitamin
B kompleks sesuai pesanan. 4) berikan elektrolit pengganti atau nutrisi
parenteral total sesuai pesanan. 5) periksa urin terhadap pH, protein, darah,
glukosa, aseton dan berat jenis setiap shift. 6) pertahankan dan monitor
pemberian cairan infus. 7) ukur masukan dan haluaran tiap 2 sampai 4
jam. 8) berikan obat-obatan sesuai pesanan; dapat meliputi antihistamin,
antiemesis, antikolinergik dan sedatif. 8) kaji dan melaporkan warna, jumlah
dan frekuensi muntah. 9) periksa tanda-tanda vital setiap 4 jam.
2) Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi. Kriteria: klien akan mengkonsumsi kebutuhan
nutrisi harian sesuai dengan tingkat aktivitas dan kebutuhan metabolik,
klien makan dan minum secara mandiri. Model sistem keperawatan yang
digunakan adalah: partly compensatory nursing system.
Aplikasi Model Konsep “Self Care” Orem
pada Kasus Hiperemesis Gravidarum
133
Intervensi keperawatan: 1) kaji kondisi muntahan, meliputi jumlah, frekuensi,
durasi dan waktu terjadinya muntah. 2) catat intake dan output termasuk
muntah. 3) catat perubahan berat badan. 4) anjurkan klien makan dalam porsi
kecil tapi sering sesuai dengan yang ditoleransi klien. 5) anjurkan klien makan
crekers, roti kering atau roti bakar. 6) berikan makanan yang disukai klien.
7) sajikan makanan yang menarik dan dalam keadaan hangat. 8) singkirkan
baki makanan dari tempat tidur segera setelah pasien selesai makan. 9) cegah
timbulnya bau-bauan yang dapat membuat klien mual. 10) tingkatkan jumlah
makanan padat dan minuman perlahan sesuai dengan kemampuan klien. 11)
kolaborasi pemberian antiemetik.
3) Toleransi terhadap aktivitas. Kriteria: Klien dapat memenuhi kebutuhan
sehari-hari dengan mandiri. Model sistem keperawatan yang digunakan
adalah: partly compensatory nursing system.
Intervensi keperawatan: 1) kaji respons klien terhadap aktivitas. 2) bantu dan
memfasilitasi perawatan diri klien sesuai kemampuan klien. 3) bantu klien
dalam mobilisasi bertahap. 4) bantu klien dalam memenuhi kebutuhan seperti
makan, minum. 5) dekatkan alat yang dibutuhkan sehingga dapat dijangkau
klien. 6) latih klien mobilisasi bertahap sesuai kemampuan klien.
4) Cemas teratasi. Kriteria: klien akan lebih tenang, klien dapat mengungkapkan
ketakutannya, ekspresi wajah tidak tegang. Model sistem keperawatan yang
digunakan adalah: Supportif educatif system.
Intervensi keperawatan: 1) perlihatkan sikap menerima rasa takut. 2) dorong
klien untuk mengungkapkan perasaannya. 3) berikan informasi yang jelas
sesuai dengan pertanyaan pasien. 4) berikan dukungan dan pahami respon
emosional pasien. 5) berikan informasi yang jelas kepada klien dan keluarga,
6) libatkan keluarga dalam perawatan klien khususnya pasangan. 7) kolaborasi
USG.
5. Implemetasi
a. Diagnosa Keperawatan 1
Implementasi yang dilakukan: a) mempertahankan tirah baring, b) mempertahankan
status puasa, c) pertahankan dan monitor pemberian cairan IV Dextrose 5%+Primperan
30 tetes/menit, d) Periksa urin terhadap pH, protein, darah, glukosa, aseton dan berat
jenis, e) mengukur masukan dan haluaran, f) berikan obat-obatan sesuai pesanan;
Anvomer B6 3x1, Premaston 3x1, Antasid doen 3x1 tablet, g) Mengkaji kondisi
muntahan, meliputi jumlah, frekuensi, durasi dan waktu terjadinya muntah, h)
memonitor tanda dan gejala kekurangan cairan.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
134 b. Diagnosa Keperawatan 2
Implementasi yang dilakukan: a) Mengkaji kondisi muntahan, meliputi jumlah,
frekuensi, durasi dan waktu terjadinya muntah. b) Mempertahankan dan monitor
pemberian cairan IV Dextrose 5%+primperan 30 tetes/menit. c) Mencatat intake dan
output termasuk muntah. Klien makan hanya 4 sendok, dua potong roti krekers, klien
muntah 3 kali setiap kali muntah sebanyak +100 ml, klien muntah setiap kali makan.
d) Mencatat perubahan berat badan: berat badan klien 44 kg sebelum hamil BB klien
46 kg. e) Menganjurkan klien makan dalam porsi kecil tapi sering, berikan makanan
ringan yang tidak mengandung lemak. f) Menganjurkan klien makan crekers, roti
kering atau roti bakar. g) Menginspeksi keadaan dan kebersihan mulut. h) Mengkaji
tanda-tanda vital dan keadaan abdomen.
c. Diagnosa Keperawatan 3
Implementasi yang dilakukan: a) Mengkaji respons klien terhadap aktivitas. b)
Membantu dan memfasilitasi perawatan diri klien sesuai kemampuan klien. c)
Membantu klien dalam mobilisasi bertahap. d) Membantu klien dalam memenuhi
kebutuhan seperti makan, minum. e) Mendekatkan alat yang dibutuhkan sehingga
dapat dijangkau klien.
d. Diagnosa Keperawatan 4
Implementasi yang dilakukan: a) memperlihatkan sikap menerima rasa takut. b) dorong
klien untuk mengungkapkan perasaannya. c) memberikan informasi yang jelas sesuai
dengan pertanyaan pasien. d) memberikan dukungan dan pahami respons emosional
pasien. e) memberikan informasi yang jelas kepada klien dan keluarga. f) melibatkan
keluarga dalam perawatan klien khususnya pasangan. g) berkolaborasi USG.
6. Evaluasi
Tanggal 14 Desember 2009: 1) kekurangan volume cairan, klien sudah mampu
untuk minum sendiri, klien minum air putih 700 ml, IVFD telah dilepaskan, turgor
baik, mukosa bibir lembab, TD 110/70 mmHg, N 84x/menit, S 36,5OC, R 20x/mnt.
Lab Urin: warna kuning keruh, sel epitel (++), BJ 1,015, PH 7,0, Keton: negatif. 2)
Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, klien mengatakan tidak muntah tapi
masih merasa mual. Klien mampu makan sendiri, porsi makan yang disediakan habis
½ porsi, makan roti krekers 5 potong, makan buah pepaya 150 gr, minum air putih 700
ml. 3) Intoleransi aktivitas, kebutuhan aktivitas terpenuhi. Klien mampu melakukan
aktivitas makan, minum dan personal hygiene secara mandiri. 4) Ansietas, eskpresi
wajah klien tenang, klien telah melakukan USG hasil USG kondisi kehamilan baik.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
135
A. Pendahuluan
Mengingat besarnya dampak yang ditimbulkan oleh kehamilan dengan asma
bronchial, menjadi tantangan khusus bagi ners spesialis keperawatan maternitas untuk
melaksanakan asuhan keperawatan secara maksimal. Tujuan asuhan keperawatan
adalah memenuhi kebutuhan oksigen ibu maupun janin, agar proses kehamilan
dan persalinan sehat dan selamat (Pillitteri, 2003). Tujuan ini akan tercapai melalui
penerapan peran dan fungsi perawat.
Peran dan fungsi perawat dapat diterapkan dengan optimal apabila perawat
mempunyai kemampuan dalam mensintesa berbagai pengetahuan, konsep dan
berbagai kelompok ilmu, mempunyai sikap, keterampilan dan kemampuan interpersonal
yang didasari oleh kode etik keperawatan. Dalam memberikan asuhan
keperawatan, perawat maternitas harus bekerja sama dalam satu tim dan berkolaborasi.
Fungsi perawatan yang harus diterapkan adalah fungsi independen, dependen dan
interdependen. Fungsi independen adalah fungsi mandiri yang dilakukan oleh seorang
ners spesialis keperawatan maternitas.
Fungsi dependen adalah fungsi kolaborasi antar tim kesehatan seperti kolaborasi
dengan tim medis seperti dokter dalam pemberian obat-obatan. Fungsi interdependen
adalah fungsi perawat dalam mengatasi masalah klien melalui kerjasama dengan
disiplin ilmu lain seperti tokoh agama, sosial masyarakat. Selain hal di atas perawat
spesialis maternitas juga dituntut untuk dapat menerapkan program kesehatan
APLIKASI KONSEP
MODEL KEPERAWATAN “ADAPTASI” ROY
PADA IBU HAMIL DENGAN ASMA BRONCHIAL
Siti Saidah Nasution, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
136 reproduksi melalui pihak terkait, kerja sama lintas program dan menerapkan sistem
rujukan. Asuhan keperawatan yang diberikan pada klien ibu hamil dengan asma
bronchiale harus mencakup keseluruhan peran perawat sebagai pemberi asuhan
keperawatan, edukator, konselor, advokat, pengelola, kolaborator dan komunikator
terhadap klien. Perawat juga harus mampu menjadi agen pembaharu manajemen
asuhan keperawatan, koordinator dan peneliti dalam intervensi keperawatan.
Ners spesialis keperawatan maternitas harus dapat memberikan asuhan keperawatan
langsung kepada klien, keluarga, dan masyarakat untuk mencapai derajat
kesehatan yang optimal dengan menggunakan pendekatan model konseptual dan
teori keperawatan yang diaplikasikan dalam setiap tahapan proses keperawatan baik
di tatanan rumah sakit maupun di luar rumah sakit. Berdasarkan hal tersebut maka
dalam kesempatan ini akan dipaparkan asuhan keperawatan klien ibu hamil yang
menderita asma bronchial dengan mengaplikasikan konsep dan teori keperawatan
model “adaptasi” Roy. Penerapan konsep ini diharapkan dapat memberikan arah bagi
perawat dalam melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsi dan perannya.
Pendekatan model adaptasi Roy diterapkan dengan tujuan memfasilitasi potensi klien
untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi.
Penerapan konsep ini dilakukan karena gangguan terhadap perubahan kondisi
fisik dan psikologis yang dialami ibu hamil dengan asma bronchial akan berdampak
dalam proses kehamilan dan persalinannya. Kondisi psikologis yang berkaitan dengan
stres dan kecemasan mendominasi masalah yang terjadi pada beberapa klien yang
dikelola oleh residen. Klien merasa takut, cemas dan frustrasi dengan penyakit yang
diderita, sehingga timbul perasaan tidak mampu untuk menjalani proses kehamilan
dan persalinan secara normal. Berdasarkan hal ini peran serta dan dukungan moril
dari keluarga sangat penting bagi klien untuk dapat beradaptasi dengan keadaannya.
Keberhasilan penatalaksanaan asma bronchial akan lebih optimal dengan melibatkan
sistim pendukung terutama keluarga (Indriyani, 2008).
Penerapan konsep yang dilakukan sesuai dengan tujuan utama perawat maternitas
terhadap komplikasi maternal dan neonatal yaitu menjaga kesehatan keluarga tetap
optimal pada fase childbearing dan childhearing (Pilliteri, 2003). Optimalisasi kondisi
ibu hamil yang mengalami komplikasi dan risiko tinggi merupakan salah satu tujuan
keperawatan maternitas. Komponen penting dari optimalisasi kondisi ibu hamil dengan
asma bronchial adalah kesinambungan perawatan dan tanggung jawab memberikan
asuhan keperawatan maternitas yang berkualitas.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
137
C. Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Kasus Ibu Hamil dengan Asthma Bronchiale
1. Gambaran Kasus
Ny. A, 22 tahun, G2P1A0 hamil 26-27 minggu, dikirim dari puskesmas L tanggal 5
Desember 2007 pukul 13.14 WIB, masuk ke VK RSU P kota G. Keluhan ibu hamil
dengan sesak dan kesulitan bernapas, batuk sejak dua hari yang lalu, sakit pada
pinggang dan nyeri pada perut. Selama hamil ibu periksa kehamilan di bidan dengan
tidak teratur. Persalinan ibu yang pertama bayi lahir tahun 2006 spontan, berat
2600 gram. Saat ini klien mengaku hamil 7 bulan, karena terlambat minum pil KB
dan tidak teratur. Hari pertama haid terakhir tanggal 26 Mei 2007, taksiran partus
diperkirakan tanggal 3 Februari 2008. Klien mengatakan menderita asma sejak kecil,
dan ada keturunan dari ibu kandung. Kehamilan yang pertama serangan asma terjadi
hanya sekali dan tidak menjadi masalah bagi ibu, namun kehamilan saat ini serangan
asma pada awal kehamilan cukup sering. Selama serangan di rumah pasien sering
mengobati sendiri dengan membeli obat Neonapasin di warung, dan menghirup
udara luar dalam-dalam sambil dikipasi oleh suami. Setelah minum obat rasa sesak
bisa berkurang, tetapi kadang-kadang tidak ada perubahan. Sejak satu bulan terakhir
serangan asma lebih sering, dalam satu minggu serangan terjadi tida kali dan ibu
kesulitan bernapas, pada serangan terakhir ibu panik dan cemas karena saat serangan
perut ibu terasa sakit dan mules.
Keluarga membawa ibu berobat ke bidan puskesmas, kemudian di rujuk ke rumah
sakit P, dengan alasan ibu sulit bernapas dan terjadi tachicardi pada janin (DJJ 168x/
mnt), tekanan darah: 100/70 mmHg, nadi: 96 x/m, RR: 32x/mnt, wheezing (+), suhu:
37,2OC, BB bertambah 5 kg. Abdomen: tinggi fundus uteri: 26 cm, terdapat kepala
dibagian fundus, punggung terletak disebelah kiri, presentasi bokong, belum masuk
ke pintu atas panggul. Genitalia: porsio tebal, pembukaan tidak ada, ketuban masih
ada, belum ada blood slym.
Hasil USG: tampak janin presentasi bokong tunggal hidup, TBJ: 900 gram, air
ketuban cukup, usia kehamilan 26-27 minggu. Pemeriksaan CTG tanggal 12 Desember
2006, pukul 14.00 WIB, frekuensi dasar 140 dpm, variability 5-25 dpm, akselerasi
(+), deselerasi (-), his(-), gerakan janin (+). Data laboratorium tanggal 12 Desember
2007, Hb: 10,2 g/dl, hematokrit: 30%, leukosit: 8600 /uL, trombosit: 187.000/uL.
PH:7,5; PCO2:48; PO2:60, Sat O2:99. Terapi: oksigen 5 liter/menit, cairan intravena
RL 20tts/mnt, inhalasi β2 agonis (terbutalin 2 mg), kortikosteroid metilprednison 60
mg, teofilin.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
138 2. Asuhan Keperawatan Kasus
Ibu Hamil dengan Asthma Bronchiale
Menggunakan Konsep Model “Adaptasi” Roy dan “Caring” Watson
serta Dukungan Sosial
Konsep dan teori keperawatan digunakan perawat sebagai landasan teori dalam
mengaplikasikan praktik keperawatan profesional. Pada bagian ini akan dipaparkan
asuhan keperawatan pada klien ibu hamil dengan asma bronchial dan mengaplikasikan
teori dan model konseptual keperawatan “adaptasi” Roy sebagai konsep utama,
dilengkapi dengan “caring” Watson dan dukungan sosial.
Konsep adaptasi Roy mengakomodasi pemberian asuhan keperawatan secara
komprehensif pada klien ibu hamil dengan asma bronchial. Roy memandang
individu secara holistik yang merupakan satu kesatuan yang hidup secara konstan dan
berinteraksi dengan lingkungannya. Dalam proses interaksi akan terus menerus terjadi
perubahan baik internal maupun eksternal yang dapat menjadi stressor, dan individu
harus memelihara integritas dirinya serta selalu beradaptasi dengan perubahan tersebut.
Setiap tahap proses keperawatan meliputi semua aspek yang terkait dengan proses
adaptasi terhadap kondisi ibu hamil dengan asma bronchial memerlukan dukungan
secara psikologis, terutama dari keluarga dan pasangan.
Perawat sebagai petugas kesehatan yang berhadapan langsung dengan klien dan
keluarga harus dapat berperan dalam mengatasi masalah, salah satunya adalah dengan
sifat caring. Komitmen dan caring seringkali meningkatkan intuisi dan feeling sehingga
menemukan solusi yang sebelumnya tidak terpikirkan oleh klien dan keluarga (Kozier,
1997). Pendekatan dinamis yang dilakukan perawat dalam asuhan keperawatan
dapat memfasilitasi potensi klien untuk mampu beradaptasi terhadap perubahanperubahan
yang terjadi, baik secara fisik maupun psikologis dalam mempertahankan
kesejahteraan ibu dan janin (George, 1995; Pillitteri, 1999). Penerapan caring dalam
asuhan keperawatan bertujuan untuk memberikan pelayanan keperawatan secara
holistik, bermutu, dan berkualitas.
Pengkajian Tahap I: tanggal 5 Desember 2009 pukul 13.14 WIB
a. Data demografi
Ny. A, 22 tahun, agama Islam, pendidikan SD, bekerja sebagai ibu rumah tangga,
menikah pertama kali, alamat: Rt01/Rw02. Suami Tn.S. 28 tahun, agama Islam,
pendidikan SMP, sopir, sebagai pengambil keputusan dalam keluarga.
b. Adaptasi fisiologis
- Oksigenasi
Pasien mengatakan sesak dan sulit bernapas, hal ini terjadi apabila klien terlalu
capek, terutama saat bersih-bersih rumah dan cuaca dingin. Sehari sebelum
masuk rumah sakit klien bertengkar dengan suami sehingga klien stres dan
sulit untuk bernapas. Pernapasan 32x/menit, tidak teratur, menggunakan ototAplikasi
Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
139
otot bantu pernapasan, retraksi dinding dada(+), terdengar bunyi wheezing
dan mengik,warna kulit pucat, pengembangan paru simetris, tekanan darah
110/70 mmHg, nadi 96x/menit, bunyi jantung S-1 dan S2 normal, gallop (-),
mur-mur (-). PH:7,3; PCO2:48; PO2 :60, Sat O2:99. Hb: 10,2/dl. Klien dalam
kondisi hamil dan janin mengalami tachicardia DJJ 168x/mnt. Ibu mempunyai
riwayat asma sejak kecil, keluarga ada yang menderita asma yaitu ibu klien.
- Eliminasi
BAK dan BAB dapat dilakukan klien ke kamar mandi dengan dibantu.
Frekwensi BAK sekitar 5 kali/hari. BAB 1 kali/hari setiap pagi, dan tidak ada
masalah.
- Aktivitas dan istirahat
Klien dapat melakukan aktivitas dengan bantuan minimal dan pengawasan,
karena apabila banyak kegiatan klien tiba-tiba terjadi sesak, istirahat dan tidur
sering terganggu karena sesak, namun menurut klien kebutuhan tidur masih
dapat terpenuhi. Aktivitas: klien sebagai ibu rumah tangga, merawat anak,
menyiapkan keperluan keluarga dari pagi hari, hingga malam hari. Suami
tidak terlibat mengurusi pekerjaan rumah, karena bekerja sebagai sopir truk.
Klien tinggal di rumah mertua dan sehari-hari bergaul dengan keluarga.
Waktu luang klien dan keluarga nonton TV dan jarang mengikuti kegiatan di
lingkungannya.
- Fungsi proteksi
Klien mempunyai riwayat asma sejak kecil, saat ini sedang hamil 7 bulan
dan sering kambuh. Dalam menjalani proses kehamilan ibu menganggap
asmanya tidak bermasalah, karena pengalaman waktu hamil anak pertama
klien dapat menjalani proses kehamilan dan persalinan tanpa serangan asma.
Namun kehamilan yang kedua ini mulai bulan pertama kehamilan serangan
asma sering terjadi, tetapi ibu menganggap hal yang biasa sehingga ibu tidak
konsultasi ke petugas kesehatan. Apabila asma kambuh klien menghirup udara
luar dalam-dalam sambil dikipasi oleh suami sambil berusaha mengobati
sendiri dengan membeli obat di warung seperti neonapacyn dan obat batuk
hitam, apabila sesak tidak berkurang maka klien berobat ke bidan. Klien dan
keluarga tidak mengerti bagaimana pengaruh asma dan efek minum obat
sembarangan terhadap kehamilan. Saat ini klien sedang mengikuti proses
perawatan dan pengobatan di rumah sakit, klien tidak pernah merokok,
minum minuman keras ataupun menggunakan obat terlarang.
- Nutrisi
Klien makan 3 x sehari, makanan yang disediakan rumah sakit dihabiskan
hanya setengah porsi dengan alasan tidak suka dengan menu yang disediakan,
dan perasaan kenyang. Kebutuhan makan klien tetap terpenuhi walaupun
makanan yang disediakan rumah sakit habis setengah porsi, karena suami
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
140 sering membawa makanan dari rumah dan dihabiskan oleh klien. Makanan
kesukaan bakso, makan buah dan sayur hanya sekali-sekali dan tidak ada
makanan pantangan.
- Cairan dan elektrolit
Tanda-tanda dehidrasi (-), kebutuhan untuk minum dapat klien lakukan
sendiri, klien dapat minum 6-8 gelas sehari.
c. Adaptasi konsep diri
Klien mengatakan takut dan cemas akan keselamatan ibu dan janin yang dikandung,
khawatir tidak sanggup melewati proses kehamilan dan proses persalinan secara
normal. Sejak satu bulan terakhir serangan asma lebih sering, dalam satu minggu
serangan terjadi tiga kali dan ibu kesulitan bernapas, pada serangan terakhir ibu
panik dan cemas karena saat serangan perut ibu terasa sakit dan mules. Hasil
pemeriksaan abdomen: tinggi fundus uteri: 26 cm, terdapat kepala di bagian
fundus, punggung terletak disebelah kiri, presentasi bokong, belum masuk ke pintu
atas panggul, DJJ: 168 x/m. Genitalia: porsio tebal, pembukaan tidak ada, ketuban
masih ada, belum ada blood slym. Hasil USG: tampak janin presentasi bokong
tunggal hidup, TBJ: 900 grm, air ketuban cukup, usia kehamilan 26-27 minggu.
Pemeriksaan CTG tanggal 12 Desember 2009, pukul 14.00 WIB, frekuensi dasar
140 dpm, variability 5-25 dpm, akselerasi (+), deselerasi (-), his(-), gerakan janin
(+).
Klien selalu merasa was-was akan keadaan anaknya yang masih kecil dan tinggal
dirumah bersama kakak ipar, situasi ini menimbulkan stres dan mengakibatkan
sesak pada klien. Klien mengatakan sering bertengkar dengan keluarga terutama
kakak ipar dan mertua, klien dikatakan tidak sanggup mengurus anak dan purapura
sesak saat mengerjakan pekerjaan rumah. Klien mengatakan suami sangat
menyayangi diri dan anaknya, dukungan dan perhatian suami membuat klien
tetap bertahan di rumah. Suami sering meninggalkan klien ke luar kota karena
pekerjaannya sebagai sopir truk, sehingga klien mengurus kebutuhan rumah
tangga bersama keluarga. Terkadang klien menyalahkan diri sendiri mengapa
Tuhan memberikan penyakit seberat ini pada dirinya dan keluarga yang tidak
mengerti akan keadaannya. Klien menyesali sikap suami yang tidak mau pindah
dari rumah orang tua. Klien percaya dengan pengobatan yang dijalani saat ini
merupakan hal yang tepat, kegiatan ritual lain seperti pengobatan alternatif tidak
dilakukan, karena mereka lebih percaya kepada pengobatan medis.
d. Adaptasi fungsi peran
Klien merasa kehilangan kesempatan untuk berperan sebagai ibu, karena tidak
mampu mengurus anak dan kebutuhan rumah tangganya. Klien khawatir secara
psikologis suami dan keluarganya akan menganggap bahwa penyakit yang di
deritanya bukan penyakit yang serius hanya untuk menarik perhatian suami dan
keluarga. Padahal saat ini klien sangat tergantung pada dukungan dan bantuan
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
141
suami dan keluarga terutama dalam mengasuh anak pertama dan menghindari
terjadinya serangan asma dengan kondisi ibu yang sedang hamil saat ini.
e. Adaptasi interdependensi
Saat ini klien sangat tergantung pada perawatan suami dan keluarga, terutama
dukungan secara psikologis, karena kondisi stres dapat menjadi faktor pencetus
asma. Saat ini klien tinggal dan hidup bersama dengan keluarga suami/mertua
dengan lingkungan yang kurang mendukung dan menerima klien, maka terjadinya
serangan asma sangat tergantung dari keadaan dalam keluarga. Klien membutuhkan
informasi tentang kondisinya saat ini dengan sering menanyakan berapa
lama ia harus dirawat, apakah janin akan sehat dan dapat dilahirkan secara normal,
serta bagaimana dengan kehidupan selanjutnya apakah asmanya bisa sembuh dan
akan kambuh lagi pada kehamilan yang akan datang.
Pengkajian tahap 2
a. Fisiologi
- Stimulus fokal: Mengeluh sesak dan sulit bernapas, terdengar bunyi wheezing,
ekspresi wajah cemas dan takut, janin tachicardia (DJJ 168x/mnt).
- Stimulus konstektual
Sesak terjadi karena bronco-konstriksi yang dicetuskan oleh ibu alergi debu,
cuaca dingin, stres dan piskologis yang dialami dalam kehidupan keluarga.
Kondisi kehamilan juga mempengaruhi kekambuhan asma karena adanya
perubahan hormon terutama progesteron, estrogen, kortisol. Serangan asma
yang sering terjadi mengakibatkan kebutuhan oksigen terganggu terjadi
hipoksia dan tachicradia pada janin.
- Stimulus residual
Pengalaman sesak dan sulit bernapas pada ibu hamil belum pernah dirasakan
sebelumnya. Pada kehamilan anak yang pertama klien mengatakan tidak
pernah mengalami serangan asma yang berarti dan ibu dapat menjalani proses
kehamilan dan persalinan secara normal. Klien menderita asma sejak kecil
dan ada keturunan dari pihak ibu. Kien dan keluarga tidak tahu apa pengaruh
asma pada kehamilan, selama ini apabila asma kambuh klien hanya membeli
obat di warung seperti neonapacyn, bodrek dan balsem gosok.
b. Konsep diri
- Stimulus fokal
Klien merasa cemas dan takut akan keselamatan ibu dan janin yang dikandung,
takut dengan riwayat penyakit asma yang diderita akan kambuh terus dan
tidak akan sembuh selamanya. Klien bertanya bagaimana hubungan asma
dan kehamilan, dan bagaimana menjelaskan kepada keluarga dan suami
tentang penyakit asma dialami klien, karena selama ini keluarga berpendapat
kalau klien sesak hanya untuk mencari perhatian suami.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
142 - Stimulus konstektual
Klien tidak dapat beraktivitas normal dan tidak mampu merawat anak dan
mengurus rumah tangga. Klien yang sedang hamil dan menderita penyakit
asma harus banyak istirahat dan menghindari stres yang menjadi faktor
pencetus asma. Saat ini klien sering khawatir dan takut dianggap sebagai
istri yang tidak mampu hamil dan melahirkan anak secara normal, hanya
menambah beban hidup dalam keluarga. Klien dan keluarga belum pernah
mendapatkan informasi tentang penatalaksanaan asma dan bagaimana
pengaruhnya
terhadap kehamilan.
- Stimulus residual
Klien belum pernah sakit parah dan tidak pernah dirawat di rumah sakit.
Selama ini jika ada anggota keluarga yang sakit, keluarga berusaha mengobati
sendiri dengan membeli obat di warung, apabila tidak sembuh dibawa ke
bidan atau puskesmas. Apabila ada masalah dan stres klien biasanya menangis
dan bercerita kepada ibunya, kadang-kadang kepada ibu bidan dan ustajah
di pengajian Rt. Klien selalu pasrah dan banyak berdoa kepada Tuhan.
c. Fungsi peran
- Stimulus fokal
Sejak klien hamil dengan serangan asma yang berat, maka klien tidak dapat
berperan sebagai istri maupun ibu rumah tangga yang harus mengurus
dan merawat anak yang masih kecil/umur dua tahun. Klien merasa sesak
jika banyak beraktivitas dan kelelahan. Saat ini anak klien dititipkan pada
keluarga/kakak ipar, dan kebutuhan keluarga di urus oleh suami, kakak ipar
dan ibu mertua.
- Stimulus konstektual
Klien merasa stres dengan keadaannya saat ini. Klien sangat cemas dan takut
akan keselamatan diri dan janin. Keluarga suami menganggap penyakit
asma yang diderita tidak serius, sehingga menurut klien keluarga berusaha
mempengaruhi suami agar tidak memperhatikan keluhan klien.
- Stimulus residual
Jika klien sedang sakit, suami berusaha untuk menggantikan peran istri dalam
keluarga. Namun karena keterbatasan dan pekerjaan suami sebagai sopir dan
sering ke luar kota maka peran dalam mengurus anak dan kebutuhan rumah
tangga digantikan oleh kakak ipar dan ibu mertua.
d. Interdependensi
- Stimulus fokal
Klien merasa sedih, karena menderita penyakit kronis dan tidak bisa menjalani
kehamilan secara normal. Saat ini klien harus dirawat di rumah sakit, sehingga
kebutuhan perawatan dan proses pengobatan tergantung pada keluarga
terutama suami. Dukungan keluarga dan suami sangat penting bagi klien,
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
143
agar klien terhindar dari stres yang merupakan salah satu faktor pencetus
asma.
- Stimulus konstektual
Stres dan kecemasan yang dialami klien dapat menjadi faktor pencetus
terjadinya
asma pada ibu, dan mempengaruhi kondisi kehamilan serta janin
yang dikandung. Kondisi ini harus dihindari oleh ibu karena dapat menjadi
faktor pencetus kambuhnya asma. Suami sangat sayang kepada istrinya dan
selalu berusaha memahami kondisi kesehatan klien. Namun menurut klien
keluarga suami terutama mertua dan adik iparnya tidak senang dengan klien,
karena klien tidak bekerja dan sering sakit-sakitan, sehingga dianggap tidak
mampu mengurus rumah tangga dan anak, hanya menghabiskan dana untuk
pengobatan. Saat ini kebutuhan sehari-hari terpenuhi dengan bantuan suami
dan keluarga.
- Stimulus residual
Jika sedang sakit klien dibantu oleh suami dan keluarga, namun suami
jarang di rumah, sedangkan keluarga tidak mengerti dan mau menerima
keadaan klien sepenuhnya. Selama ini klien selalu berusaha mandiri dalam
menyelesaikan masalah yang dihadapi, apabila tidak dapat diselesaikan
maka klien akan mencari orang yang lebih mengerti dan dapapt membantu
pemecahan masalah.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada ibu hamil dengan asma adalah:
Diagnosa keperawatan tanggal 5 Desember 2009 pkl.13.50.
1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan
produksi secret.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai O2, dekstruksi
alveoli, compliance paru tidak maksimal.
3) Risiko tinggi kegawatan pada janin seperti tachycardia, kelahiran premature,
pertumbuhan janin terhambat berhubungan dengan suplai O2 yang tidak maksimal,
terjadinya eksaserbasi dan serangan asma yang berulang.
4) Cemas berhubungan dengan perubahan terhadap status kesehatan, kondisi
kehamilan ibu, takut akan kematian ibu dan janin.
5) Potensial peningkatan kemampuan beradaptasi klien, pasangan dan keluarga
terhadap kehamilan klien dengan menderita penyakit pernapasan kronis/asma.
Perencanaan
Perencanaan meliputi penetapan tujuan keperawatan dan rencana tindakan dalam
mengatasi masalah keperawatan meningkatkan kemampuan adaptasi klien dan
keluarga terhadap masalah yang terjadi. Intervensi dilakukan berdasarkan diagnosa
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
144 dengan penerapan teori adaptasi Roy, caring Watson yaitu perencanaan dengan
pendekatan kebutuhan ibu melalui 10 faktor karatif dan dukungan sosial keluarga.
Diagnosis 1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme,
peningkatan produksi secret
Kriteria evaluasi: klien dapat beradaptasi secara fisiologis dengan kondisinya,
kebutuhan oksigen terpenuhi dengan kepatenan jalan napas yaitu: respiratory rate,
irama napas dalam batas normal, pergerakan sputum maksimal dan keluar dari jalan
napas, bebas dari suara napas tambahan seperti mengik, wheezing.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji riwayat asma dengan tetap memperhatikan ekspresi perasaan negatif dan
positif terhadap kondisi kesehatan, kaji penyebab/pencetus asma dan pengobatan
yang sudah dilakukan. b) Kaji sistem pernapasan, auskultasi bunyi napas, hasil
pemeriksaan faal paru sebagai sumber data adanya perubahan dalam pernapasan.
c) Atur posisi dengan meninggikan bagian kepala, seperti semi-fowler untuk
membantu mengembangkan ekspansi paru. d) Ajarkan latihan napas dalam dan
batuk efektif untuk membantu membersihkan sekret dari paru dan memperbaiki
oksigenasi. e) Lakukan suction jika perlu membantu mengeluarkan secret yang
tidak dapat dikeluarkan sendiri. f) Lakukan fisioterapi dada untuk membantu
pengeluaran sekresi, meningkatkan ekspansi paru. g) Monitor peningkatan dan
pengeluaran sputum sebagai indikasi ada kegagalan paru. h) Kolaborasi pemberian
oksigen sesuai program, bronchodilator sesuai indikasi agar otot pernapasan
menjadi relaks, steroid untuk mengurangi inflamasi (Smeltzer dan Bare, 2002;
Nanda, 2005).
Diagnosis 2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai O2,
dekstruksi alveoli
Kriteria evaluasi: status mental dalam batas normal, sesak berkurang, klien bernapas
dengan mudah, tidak ada sianosis, Saturasi O2, PO2 dan PCO2 dalam batas normal.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan, catat penggunaan otot-otot aksesori,
napas bibir, sianosis membran mukosa, ketidakmampuan bicara/berbincang
karena sesak. b) Atur posisi sesuai dengan kenyamanan klien, seperti tinggikan
kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernapas. c) Ajarkan batuk efektif dan napas dalam perlahan sesuai kebutuhan/
toleransi individu. Karena pengiriman oksigen dapat diperbaiki dengan posisi
duduk tinggi dan latihan napas untuk menurunkan kolaps jalan napas, dispnea,
dan kerja napas. d) Bantu penegeluaran sputum; suction bila diindikasikan sputum
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
145
kental, dan banyak, hal ini merupakan sumber gangguan pertukaran gas pada jalan
napas. e) Observasi tingkat kesadaran, hasil pemeriksaan laboratorium, adanya
perubahan seperti gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
Hasil AGD yang memburuk menunjukkan disfungsi serebral berhubungan dengan
hipoksemia. f) Ciptakan ruangan dan lingkungan yang tenang, nyaman dan
rileks. g) Batasi aktivitas klien atau dorong untuk tidur/istirahat selama fase akut,
anjurkan ibu melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai toleransi
ibu. h) Istirahat yang cukup dan diselingi dengan program latihan ditujukan
untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa menyebabkan dispnea, dan
kelelahan (Smeltzer dan Bare, 2002; Nanda, 2005).
Diagnosis keperawatan 3) Risiko tinggi kegawatan pada janin seperti tachycardia,
kelahiran premature, pertumbuhan janin terhambat berhubungan dengan suplai O2
yang tidak maksimal, terjadinya eksaserbasi dan serangan asma yang berulang
Kriteria evaluasi : tidak ada tanda dan gejala atau komplikasi yang mengarah kepada
kegawatan ibu dan janin, seperti gagal napas, tachicardia, hipoksia, pertumbuhan
janin terhambat. Hasil observasi janin djj, irama dan pergerakan dalam batas normal.
Intervensi keperawatan:
a) Kaji riwayat kehamilan ibu HPHT, taksiran persalinan, taksiran berat janin,
riwayat kehamilan, persalinan sebelumnya, pemeriksaan penunjang antenatal.
b) Kaji status janin melalui monitoring janin elektronik dan Nonreactve Stres
Test (NST), perhatikan variabilitas, perubahan frekuensi, observasi djj dan
kontraksi. c) Kaji TTV ibu dengan kesulitan dalam bernapas. d) Identifikasi faktorfaktor
maternal seperti kecemasan dan stres. e) Anjurkan ibu untuk memonitor
pergerakan janin, jika terasa lemah dan berkurang segera laporkan kepada petugas
kesehatan. f) Berikan terapi O2, jika ditemukan variabel decelerasi. g) Perhatikan
kontraksi uterus, jika kontraksi meningkat dan terjadi pembukaan lengkap lakukan
persalinan pervaginam (apabila usia kehamilan dan kondisi ibu memungkinkan).
h) Jelaskan tentang pengaruh asma pada ibu hamil, risiko yang akan terjadi pada
ibu maupun janin, pemeriksaan dan penatalaksanaan yang akan dilakukan. i)
Minimalkan risiko pada ibu dan janin saat pemberian obat-obatan. j) Kolaborasi
untuk persiapan SC dan tim perinatal saat kelahiran untuk tindakan resusitasi, jika
ada indikasi.
Diagnosis 4) Cemas berhubungan dengan perubahan terhadap status kesehatan,
kondisi kehamilan ibu, takut akan kematian ibu dan janin
Kriteria hasil: rasa cemas dan takut berkurang, penurunan kecemasan, secara verbal
ibu mengatakan mengungkapkan masalah yang dialami dan menerima keadaan diri
dan kehamilannya serta dapat beradaptasi dengan perubahan yang terjadi.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
146 Intervensi keperawatan:
a) Bina trust dengan klien dan keluarga dengan menyediakan waktu untuk
mendengar masalah atau keluhan klien, diskusikan persepsi diri klien sehubungan
dengan perubahan fisik dan pola hidup akibat kehamilannya. b) Kaji stres dan emosi
klien, mengidentifikasi harapan terhadap kehamilan dan janin. c) Dorong klien
untuk mengekspresikan perasaan, ketakutan dan kecemasan. d) Berikan informasi
yang akurat tentang keadaannya. f) Identifikasi kehilangan pada klien atau orang
terdekat dan berpengaruh dalam hidup. g) Berikan penguatan terhadap perilaku
koping adaptif yang telah dilakukan sebelumnya. h) Berikan lingkungan terbuka
pada klien dan memperhatikan adanya perilaku yang bermusuhan, menutup
diri, menganggap diri tidak mampu. i) Libatkan keluarga terutama pasangan atau
orang yang paling berharga dalam hidup klien dan dapat memberikan support
pada proses perawatan dan penatalaksanaan. j) Jika mengalami depresi berat
atau panik konsultasikan ke psikiater, rohaniawan, atau spesialis lain yang dapat
menenangkan secara spritual (Stuart dan Sundeen, 1995).
Diagnosis 5) Potensial peningkatan kemampuan beradaptasi klien, pasangan dan
keluarga terhadap kehamilan klien yang menderita penyakit pernapasan kronis/
asma
Kriteria evaluasi: klien, pasangan dan keluarga mengungkapkan minat untuk
berpartisipasi dalam perawatan. Suami dan keluarga yang merawat klien dapat saling
mendukung dan memahami kondisi klien, pentingnya support moril bagi keselamatan
dan janin yang dikandung ibu.
Intervensi keperawatan:
a) Beri kesempatan suami dan keluarga untuk terlibat dan membantu perawatan
klien. b) Berikan penjelasan pentingnya dukungan keluarga terutama suami, untuk
menghindari stres dan cemas pada klien, bagaimana pengaruh stres terhadap
kekambuhan asma klien, serta bahaya yang akan terjadi bagi keselamatan ibu
dan janin yang. c) Sediakan ruang dan waktu bagi klien, suami dan keluarga/ibu
mertua untuk berbicara lebih luas. d) Dukung kehadiran suami dan keluarga untuk
selalu men-support istri dalam menghadapi masalah dan berupaya menerima
keadaan istri apa adanya. e) Dukung koping keluarga yang positif, seperti adanya
keinginan untuk menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis, kepercayaan
keluarga terhadap pengobatan medis yang sedang dilaksanakan oleh klien (Stuart
dan Sundeen, 1995).
Implementasi
Implementasi yang dilakukan kepada klien disesuaikan dengan prioritas masalah.
Penggunaan konsep dan teori adaptasi Roy caring Watson dengan 10 faktor
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
147
karativ dan dukungan sosial keluarga, diterapkan pada diagnosa keperawatan
yang ditemukan.
Tanggal 5-12-2009 pukul 13.50 WIB.
Diagnosis 1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme,
peningkatan produksi secret.
Implementasi yang dilakukan :a) mengkaji riwayat asma dengan memperhatikan
ekspresi perasaan negatif dan positif terhadap kondisi kesehatan, mengkaji
penyebab dan pengobatan yang sudah dilakukan, b) mengkaji sistem pernapasan,
auskultasi bunyi napas adanya perubahan dalam sistim pernapasan, c) mengatur
posisi semi-fowler untuk mengembangkan ekspansi paru dengan menaikkan tempat
tidur pada bagian kepala, d) mengajarkan batuk efektif dan latihan napas dalam
untuk membantu membersihkan sekret dari paru dan napas dalam memperbaiki
oksigenasi, e) melakukan suction untuk membantu mengeluarkan secret yang
tidak dapat dikeluarkan sendiri, f) melakukan fisioterapi dada untuk membantu
pengeluaran sekresi, h) memonitor peningkatan dan pengeluaran sputum sebagai
indikasi ada kegagalan paru, g) kolaborasi pemberian oksigen 5 liter/menit
sesuai program untuk memperbaiki oksigenasi, cairan intravena RL 20 tts/mnt,
bronchodilator inhalasi β2 agonis (terbutalin 2mg), kortikosteroid metilprednison
60 mg, teofilin untuk mengurangi inflamasi.
Diagnosis 2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplay O2,
dekstruksi alveoli
Implementasi yang dilakukan: a) mengkaji frekuensi, kedalaman pernapasan,
penggunaan otot-otot aksesori, napas bibir, adanya sianosis membran mukosa,
ketidakmampuan
bicara karena sesak, b) mengatur posisi sesuai dengan kenyamanan
klien, membantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk bernapas, c) mendorong
mengeluarkan sputum; penghisapan bila diindikasikan sputum kental, dan
banyak, hal ini merupakan sumber gangguan pertukaran gas pada jalan napas, d)
mengobservasi tingkat kesadaran, adanya perubahan seperti gelisah dan ansietas
adalah manifestasi umum pada hipoksia, e) membatasi aktivitas klien, mendorong
untuk tidur/istirahat selama fase akut, menganjurkan ibu melakukan aktivitas secara
bertahap sesuai toleransi, g) mengobservasi hasil pemeriksaan: laboratorium, AGD
dan kemajuan yang diperoleh.
Diagnosis 3) Risiko tinggi kegawatan pada janin seperti tachycardia, kelahiran
premature, pertumbuhan janin terhambat berhubungan dengan suplay O2 yang tidak
maksimal, terjadinya eksaserbasi dan serangan asma yang berulang.
Implementasi yang dilakukan: a) mengkaji riwayat kehamilan ibu HPHT, taksiran
persalinan, riwayat kehamilan, persalinan sebelumnya, b) mengkaji status janin
melalui monitoring janin dengan memperhatikan variabilitas, perubahan periodik
dan frekuensi, observasi irama jantung janin dan kontraksi, c) mengkaji TTV ibu
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
148 dengan kesulitan dalam bernapas, d) mengidentifikasi faktor-faktor maternal seperti
kecemasan dan stres, e) menganjurkan ibu untuk memonitor pergerakan janin dengan
menghitung dan mencatat pergerakan minimal 10 kali dalam satu hari, jika terasa
lemah dan berkurang segera laporkan kepada petugas kesehatan, f) memperhatikan
kontraksi uterus, dan adanya tanda-tanda kegawatan pada janin. g) Memberikan
edukasi dengan menjelaskan pengaruh asma pada ibu hamil, risiko yang akan terjadi
pada ibu maupun janin serta pemeriksaan dan penatalaksanaan yang akan dilakukan.
Penjelasan yang diberikan yaitu adanya pengaruh asma pada ibu hamil, karena terjadi
perubahan hormon dan perubahan mekanik dalam sistem tubuh, cemas dan stres
pada ibu hamil juga dapat menimbulkan terjadinya serangan asma sehingga ibu harus
dapat beradaptasi dengan kondisinya, mengikuti prosedur perawatan dan pengobatan.
Serangan asma yang sering terjadi mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
janin. Apabila serangan asma terjadi pada kehamilan saat ini, maka kemungkinan
besar serangan akan terjadi lagi pada kehamilan berikutnya, sehingga ibu dianjurkan
untuk menunda kehamilan dengan ber KB. Salah satu cara meminimalkan risiko
bayi yang dilahirkan menderita asma, ibu dianjurkan untuk memberikan ASI selama
mungkin dan secara eksklusif, karena ASI mengandung faktor anti alergi yang dapat
mencegah terjadinya asma pada bayi.
Perilaku caring selama tindakan pada klien dilakukan dengan aplikasi 10 faktor
carativ, dengan memperhatikan emosi dan perhatian secara psikologis terhadap klien
maupun keluarga. Perawat melibatkan keluarga dalam proses perawatan diruangan
untuk memberikang dukungan moril pada ibu. Sikap dan perilaku caring yang
diterapkan perawat diharapkan efektif dalam meningkatkan adaptasi dan kondisi
kesehatan klien baik secara fisik maupun psikologis.
Diagnosa 4) Cemas berhubungan dengan perubahan terhadap status kesehatan,
kondisi kehamilan ibu, takut akan kematian ibu dan janin
Implementasi yang dilakukan adalah: a) mengkaji perasaan ibu dan pemahaman
terhadap situasi, b) mengkaji kebutuhan dukungan pada ibu dan keluarga: orang
yang berarti dan dapat memberikan semangat, faktor ekonomi: mengkaji stres dari
faktor lingkungan dan keluarga, diskusikan waktu untuk mengekpresikan perasaan
dan ketakutan, c) mengkaji respons suami dan keluarga terhadap kondisi klien yang
menderita asma, keadaan janin, rencana proses persalinan, situasi dan manajemen
pengobatan, d) menjelaskan semua prosedur terapi dan perawatan, e) menganjurkan
keluarga terutama suami untuk mendampingi ibu selama proses perawatan dan
memberikan dukungan secara psikologis, f) meningkatkan pengetahuan klien dengan
menjelaskan tentang kehamilan dengan asma, pengaruh dukungan suami dan keluarga
terhadap stres dan kambuhnya asma, risiko yang terjadi jika serangan berulang.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
149
Diagnosis 5) Potensial peningkatan kemampuan beradaptasi klien, pasangan dan
keluarga terhadap kehamilan klien yang menderita penyakit pernapasan kronis/
asma
Implementasi yang dilakukan: a) memberi kesempatan suami dan keluarga untuk
terlibat dan membantu perawatan klien, b) memberikan penjelasan pentingnya support
keluarga terutama suami, untuk menghindari stres dan cemas pada klien, bagaimana
pengaruh stres terhadap kekambuhan asma klien, serta bahaya yang akan terjadi
bagi keselematan ibu dan janin yang dikandung, c) mendukung kehadiran suami dan
keluarga untuk selalu men-support istri dalam menghadapi masalah dan berupaya
menerima keadaan istri apa adanya, e) mendukung dan memberikan reinforcement
koping keluarga yang positif, seperti kepercayaan keluarga terhadap pengobatan
medis dan pernyataan suami dan ibu mertua yang akan menghindari adanya masalah
dalam keluarga.
Evaluasi
Pemecahan masalah klien menurut konsep adaptasi Roy, dapat tercapai apabila
klien mampu beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi baik secara fisik maupun
psikologis dalam proses kehamilan dengan asma bronchial, sehingga klien dan bayi
sejahtera dan terhindar dari komplikasi. Tahap evaluasi dilakukan aplikasi caring
dengan 10 faktor karativ terutama karatif lima yaitu dengan mengembangkan dan
menerima ekspresi perasaan negatif dan positif ibu terkait dengan kondisi ibu dan
janin setelah dilakukan intervensi keperawatan. Dukungan sosial keluarga terutama
suami dan ibu mertua yang dapat mempengaruhi psikologis klien. Hasil evaluasi yang
diperoleh sebagai berikut:
- Tanggal 6-12-2009 jam 08.00 wib
- Diagnosis 1) Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasme.
- Evaluasi: Klien dapat beradaptasi secara fisiologis dan mampu mengeluarkan
sputum dengan efektif, sehingga dapat mengurangi masalah sumbatan jalan napas,
klien mengatakan sesak berkurang apabila diberikan oksigen, pernapasan 28x/
menit, dapat, klien tidak menggunakan bantuan otot-otot pernapasan, wheezing
(-).
Diagnosis 2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kurangnya suplai O2,
dekstruksi alveoli
Evaluasi: klien dapat beradaptasi dengan kondisinya yaitu secara fisiologis
dapat memenuhi kebutuhan oksigen dengan kriteria status mental dalam batas
normal: compos mentis, klien nampak lemas, sesak berkurang, klien dapat bernapas
dengan mudah, tidak ada sianosis, PH:7,45; PCO2:35; PO2:75, Sat O2:98.(dalam
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
150 batas normal). Namun frekuensi pernapasan belum normal secara sempurna (28x/
mnt),TD:110/70 mmHg, nadi 88x/ment, oksigen diberikan 2ltr/mnt.
Diagnosis keperawatan 3) Risiko tinggi kegawatan pada janin seperti tachycardia,
kelahiran premature, pertumbuhan janin terhambat berhubungan dengan suplai O2
yang tidak maksimal, terjadinya eksaserbasi dan serangan asma yang berulang
Kriteria evaluasi : klien dapat beradaptasi dengan kondisi ibu hamil dengan penyakit
asma, kebutuhan oksigen pada janin dapat terpenuhi sehingga tidak ditemukan
adanya tanda dan gejala atau komplikasi yang mengarah kepada kegawatan ibu dan
janin, djj 152x/menit, pergerakan janin lebih dari 10 kali dalam satu hari, kontraksi
(-), mules (-), tidak ada tanda-tanda persalinan. Klien mengatakan akan menghindari
faktor pencetus asma, seperti stres, cuaca dingin, debu, klien akan mengikuti prosedur
perawatan dan pengobatan yang dilakukan agar asmanya tidak kambuh dan janin
lahir dengan selamat.
Diagnosis 4) Cemas berhubungan dengan perubahan terhadap status kesehatan,
kondisi kehamilan ibu, takut akan kematian ibu dan janin
Kriteria hasil: secara verbal ibu mengatakan rasa cemas berkurang, klien mengungkapkan
masalah yang dialami dan akan berusaha menerima dan beradaptasi dengan
keadaan diri dan kehamilannya. Namun klien masih merasa cemas dan takut asmanya
akan kambuh kembali apabila pulang ke rumah, karena klien sering salah paham
dengan keluarga terutama mertua yang menganggap klien sakit hanya ingin mencari
perhatian, situasi ini merupakan sumber stres bagi klien. Intervensi dilanjutkan dengan
memprioritaskan perawat dengan perilaku caring akan bertemu dengan keluarga
(mertua klien) dan menjelaskan keadaan klien serta pentingnya dukungan keluarga.
Diagnosis 5) Potensial peningkatan kemampuan beradaptasi klien, pasangan dan
keluarga terhadap kehamilan klien yang menderita penyakit pernapasan kronis/
asma
Kriteria evaluasi: klien mengatakan akan berusaha memahami kondisi kehamilannya
dengan penyakit yang diderita, klien akan menghindari faktor pencetus asma dan
meningkatkan interaksi positif dalam keluarga. Suami klien mengatakan akan berusaha
memberikan support dan memahami kondisi istrinya, akan berusaha membicarakan
masalah klien dengan keluarga terutama ibunya atau mertua klien. Klien dan suami
mengharapkan agar perawat membantu menjelaskan secara langsung keadaan klien
kepada keluarga khususnya ibu mertua.
Tanggal 7-12-2009 jam 08.00 wib
Diagnosa satu, dua dan tiga sudah dapat diatasi. Tanda-tanda vital dalam batas normal:
TD: 110/80 mmHg, pernapasan 20x/mnt, nadi: 80 kali permenit, suhu 37,2OC, djj
148x/mnt, pergerakan janin aktif, klien mengatakan rasa sesak sudah hilang, bernapas
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Ibu Hamil dengan Asma Bronchial
151
dengan lega tanpa pemberian oksigen, hasil pemeriksaan AGD dalam batas normal
(PH:7,35; PCO2:34; PO2 :75, Sat O2: 98). Diagnosis 4, yaitu cemas berhubungan
dengan perubahan terhadap status kesehatan, dapat diatasi, yaitu setelah perawat
menjelaskan kondisi klien kepada keluarga, khususnya ibu mertua, secara umum
mereka dapat memahami kondisi klien dan akan berusaha memberikan support
kepada ibu dan menghindari salah faham dalam keluarga yang dapat menimbulkan
stres bagi klien. Klien mengatakan merasa lega dan akan berusaha untuk beradaptasi
dengan kondisinya. Klien yakin akan mampu menghadapi kehamilan dan persalinan
secara normal. Suami dan mertua klien berterimakasih atas informasi/penjelasan yang
telah diterima
Diagnosa 5 Potensial peningkatan kemampuan beradaptasi klien, pasangan
dan keluarga dapat tercapai. Secara verbal klien, suami dan mertua mengatakan
mengerti keadaan klien, mereka akan berusaha merawat dan membantu klien dalam
beradaptasi terhadap kehamilannya dengan menghindari faktor pencetus. Keluarga
tampak senang dan semangat merawat klien, jam 13.00 wib klien diijinkan pulang
kerumah, klien banyak tersenyum dan bercerita dengan keluarga. Secara umum
analisa yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa masalah teratasi, dan intervensi yang
dilakukan berhasil. Satu minggu kemudian klien dianjurkan untuk kontrol ke rumah
sakit, tetapi apabila terjadi serangan yang tidak bisa diatasi segera datang ke rumah
sakit. Sebelum pulang perawat memberikan discharge planning dan menjelaskan
perawatan/penatalaksanaan yang akan dilaksanakan di rumah.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
152
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Primigravida dengan KPD
153
A. Pendahuluan
Mengingat kompleksnya masalah yang dihadapi oleh ibu hamil dengan ketuban
pecah dini, dari segi fisik maupun psikis, perawat maternitas bertanggung jawab untuk
memberikan pelayanan profesional sesuai dengan kebutuhan ibu dan janin sehingga
dapat beradaptasi terhadap kondisinya. Strategi intervensi spesifik yang dilakukan
oleh ners keperawatan maternitas adalah memberikan asuhan keperawatan dengan
memperhatikan aspek biopsikososial spiritual sehingga asuhan keperawatan yang
diberikan tidak hanya pada pemenuhan kebutuhan fisik saja, namun juga berfokus
pula pada masalah psikologis dan sosial.
Dalam pendekatannya, model adaptasi Roy, telah meliputi seluruh aspek tersebut
diatas, namun pada aspek sosial, dalam hal budaya yang dianut klien, model adaptasi
Roy kurang menguraikannya secara practice, sehingga residen mengkombinasikan
dengan model transkultural Leininger yang dalam teorinya telah secara spesifik mengarah
pada area transkultural. Dengan kombinasi kedua model tersebut diharapkan
asuhan keperawatan yang diberikan akan komprehensif.
Dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan ketuban pecah dini
peran dominan dari perawat maternitas adalah pemberi pelayanan dalam bentuk
asuhan keperawatan pada klien (care provider), dalam menjalankan perannya sebagai
pemberi asuhan keperawatan pada klien ketuban pecah dini perawat maternitas juga
menjalankan peran memberikan pendidikan kesehatan kepada klien dan keluarga
APLIKASI KONSEP
MODEL KEPERAWATAN “ADAPTASI” ROY
PADA PRIMIGRAVIDA DENGAN KPD
Restuning Widiasih, S.Kp., M.Kep., Sp.Mat.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
154 (edukator), konsultasi berbagai masalah klien (konselor), berkolaborasi dengan
petugas kesehatan lain dalam pelayanan keperawatan maternitas (kolaburator), dan
peran mengelola riset keperawatan sesuai dengan bidang keperawatan maternitas
(researcher).
Peran perawat di atas, juga ditunjang dengan penerapan perawat terhadap fungsi
– fungsi perawatan di antaranya fungsi independen, dependen dan interdepen. Fungsi
independen atau fungsi mandiri perawat adalah tindakan keperawatan yang dilakukan
secara mandiri berdasarkan ilmu keperawatan, seperti pemenuhan kebutuhan dasar
klien, manajemen terhadap stres dalam manghadapi peran baru, pendidikan kesehatan,
dan observasi terhadap tanda kegawatan ibu maupun janin.
Fungsi dependen merupakan fungsi yang berhubungan dengan kolaborasi dengan
tim kesehatan lain, seperti kolaborasi dengan medis untuk pemberian tokolitik, obat
pematangan paru maupun obat antibiotik, kolaborasi dengan laboratorium untuk
pemeriksaan darah, apusan cairan amnion, atau sekresi tubuh lain dan kolaborasi tim
kesehatan lainnya. Fungsi interdependen merupakan fungsi perawat yang berhubungan
dengan kerjasama dengan disiplin ilmu diluar kesehatan untuk mengatasi masalah
yang dialami klien, seperti dengan petugas asuransi kesehatan, tokoh agama atau
lembaga yang berkaitan dengan masalah klien.
Penulis melakukan asuhan keperawatan untuk mengatasi berbagai masalah
klien dengan menggunakan pendekatan konseptual dan model teori keperawatan
yang diaplikasikan pada setiap tahap proses asuhan keperawatan dengan tujuan
memperikan perlayanan profesional, pada klien dan keluarga untuk dapat beradaptasi
terhadap masalah yang sedang dihadapi, dan menggunakan budaya yang sesuai
dengan kesehatan sebagai pendukung dalam pelaksanaan asuhan keperawatan.
Berdasar hal tersebut maka disusunlah asuhan keperawatan klien ketuban pecah dini
pada primigravida dengan penerapan model konseptual Roy yang dilengkapi dengan
teori transkultural Leininger.
B. Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy dan
“Transkultural” Leininger pada Kasus Primigravida
dengan KPD
1. Gambaran Kasus
Ny S, 20 tahun, G1P0A0 H 27 mg, pendidikan SD, Islam, ibu rumah tangga. Suami
Tn H, 26 tahun, pendidikan SMP, Islam, karyawan swasta. Datang ke Ruang Bersalin
tanggal 28 Oktober 2009, jam 20.00 WIB, dengan keluhan keluar air-air, warna agak
keruh sejak 17 jam yang lalu. Klien dirujuk dari puskesmas, karena keluar air-air,
tidak bisa ditahan, dan semakin siang semakin banyak, klien merasakan rembesan
sejak semingguan. HPHT 20 April 2009, mengalami keputihan sejak usia kehamilan 5
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Primigravida dengan KPD
155
bulan, menimbulkan rasa gatal di daerah selangkangan paha, hubungan seks dengan
suami sering dilakukan sampai 2 hari yang lalu.
Pemeriksaan Obstetri: TFU 20 cm, janin presentasi kepala, puka, kepala belum
masuk PAP, DJJ 150 X/mnt, his ada tidak teratur, observasi keluaran vagina nampak
mengalir air ketuban, dengan warna agak keruh, bau khas. Pemeriksaan Inspekulo:
porsio tampak air mengalir, agak keruh, flour negatif, fluksus negatif. USG: Janin
presentasi kepala tunggal hidup, ICA 2, Oligohydramnion. Pemeriksaan Lab darah: Hb
8,6, Ht: 26, Lekosit: 14.800, Trombosit 277.000. NST janin reaktif. Kondisi psikologis
klien mengatakan, binggung, cemas, takut, karena semua begitu tiba-tiba, dan semula
semua baik-baik saja, 2 hari perut merasa kencang, sekarang malah keluar air. Terapi
Nifedipin 4 x 10 gr, Dexametason 2 x 6 mg/ 12 jam, Ampicilin 3 x 1 gr, pasien
bebas kontraksi satelah 2 jam observasi dan dirawat di ruang teratai, observasi intensif
dilakukan selama dirawat terhadap ibu dan janin. Tanggal 31 November 2007, DJJ
janin irregular, NST menunjukkan deselerasi, sehingga direncanakan SC Cito, jam
12.30 WIB janin lahir, dengan berat 1500 gr dan A/S 5/7, janin meninggal setelah 4
jam perawatan.
2. Asuhan Keperawatan Kasus Primigravida dengan Ketuban Pecah
Dini Menggunakan Konsep Model Adaptasi dan Transkultural
PENGKAJIAN
Data Demografi
Ny. S, 20 tahun, Pendidikan SD, pekerjaan IRT, Agama Islam.
Diagnosa medis: Ketuban Pecah Dini 17 Jam. Tanggal masuk: 28 Oktober 2009
jam 20.00. Dilakukan pengkajian pada waktu yang sama.
Nama suami: Tn. H, Umur: 30 tahun, Pendidikan: SMP, Pekerjaan: Karyawan
swasta, Agama: Islam.
Pengkajian Transkultural
Seseorang yang paling berpengaruh pada klien adalah ibu, klien sangat percaya
dengan apa yang disampaikan ibunya, ibu klien mengatakan bahwa rembesan
air yang keluar hampir satu minggu itu adalah kembaran bayi, dan tidak usah
dirisaukan, selama keluarnya tidak banyak yang penting klien jangan lupa
menggunakan peniti, bawang putih, bangle, supaya terhindar dan terlindungi dari
berbagai bahaya yang suka mengganggu orang hamil.
Pengkajian Tahap I
a. Adaptasi Fisiologis
Oksigenasi: Klien tidak mengalami gangguan oksigenasi, RR = 24 kali/menit, N
= 80 kali/menit, TD = 110/70 mmHg, S = 36.6 OC. Respirasi tidak mengalami
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
156 kesulitan, irama reguler kedalaman normal, tidak ada ronchi, wheezing, stridor,
crackles, refleks batuk baik, sekret tidak ada, kuku tidak sianosis. Palpasi: TFU tiga
jari di atas pusat, 20 cm, janin presentasi kepala,puka, kepala belum masuk PAP,
DJJ 150 X/mnt.
Nutrisi: Nafsu makan saat ini baik, klien mengatakan belum makan sejak siang.
Kalo dirumah makan 3 x sehari. Masuk usia kehamilan 5 bulan, klien mulai makan
lebih bernafsu. Pada saat awal kehamilan sempat mual muntah terus sampai usia
kehamilan sekitar empat bulanan dan sempat berat badan turun 2 Kg. Sekarang
sudah naik lagi sekitar 9 Kg.
Eliminasi: Klien BAB 1x sehari, BAK: 5- 6 kali sehari, tidak merasa perih, atau panas
saat BAK. Keluar air-air seperti kencing, tapi tidak bisa dihentikan atau ditahan.
Aktivitas dan Istirahat: Pola aktivitas selama hamil tidak bermasalah, semua
pekerjaan rumah dikerjakan sendiri, kadang terasa lelah, tidur rata-rata 6-8 jam
per hari. Sejak mulai keluar air 1 minggu yang lalu pasien merasa risih saja, karena
rembesan dan harus menggunakan pembalut, sejak 2 hari yang lalu susah tidur
karena perut sering tegang dan kencang sekali rasanya. Klien tirah baring, gelisah
saat ada kontraksi.
Proteksi dan sense: kebersihan tubuh baik, ibu berkeringat, dan kulit lembab. Klien
tampak lemah, air ketuban mengalir. Inspekulo: portio licin, tampak air mengalir
agak keruh, fluor positif, kontraksi positif irregular, DJJ 150 x/mnt, NST: Janin
Reaktif, USG: Janin presentasi kepala, tunggal hidup, ICA 2, Oligohydarmnion.
Gerakan bayi dirasakan ibu masih aktif.
Cairan dan elektrolit: Tidak terdapat tanda-tanda kurang cairan. Hasil pemeriksaan
laboratorium Hb 8,6, Ht 26, Leukosit 14.800 Trombosit 277.000. Terpasang infus
dengan cairan Ringer laktat.
Fungsi neurologi: Kesadaran compos mentis, tidak ada gangguan sistem syaraf.
Perut sering kontraksi. Refleks patella positif dan normal.
Fungsi endokrin: Status mental baik, tidak ada gangguan pengaturan hormonal
seperti iritabilitas. Gula darah sewaktu: 90 mg/dl.
b. Adaptasi Konsep Diri
Ny. S merasa ada keluar rembesan, awalnya diam saja, namun karena tidak keringkering,
sehingga Ny. S berinisiatif untuk menanyakan ke orangtua, jawabannya
supaya tidak dirisaukan itu hanya kembaran air bayi, tidak apa-apa, karena keluar
terus, tanggal 26 Oktober klien berinisiatif memeriksakan diri, setelah diperiksa
dikatakan bayi sehat, dan boleh pulang, tanggal 28 Oktober pagi-pagi, keluaran
semakin banyak setelah sebelumnya perut terasa kencang sekali, keluarga
membawa klien ke puskesmas dan kemudian dirujuk ke RSU, Klien binggung,
cemas, karena dikatakan ketuban habis, tapi kata orang tuanya tidak apa-apa, dan
tidak ada penjelasan lagi, hanya dikatakan ibu harus dirawat, tentang kondisi bayi,
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Primigravida dengan KPD
157
dan apakah akan segera melahirkan tidak dijelaskan. Pandangan klien terhadap
kehamilan ini adalah suatu yang membahagiakan bagi dirinya maupun suami.
Bulan-bulan sebelumnya kehamilannya berjalan dengan baik-baik saja, hanya
keputihan dan ini adalah pengalaman yang pertama, jadi semuanya serba tidak
karuan baik perasaan maupun persiapan, apalagi temannya pernah bilang bahwa
kalau ketuban pecah, bayi bisa minum airnya. Saat ini Ny. S pasrah dengan apa
yang akan terjadi, namun tetap berharap semua akan baik-baik saja, dirinya
maupun bayinya.
c. Adaptasi Fungsi Peran
Selama hamil peran sebagai istri tetap dapat dilaksanakan, yang melayani dan
menemani suami, serta mengurus segala urusan rumah tangga. Selama hamil
hubungan seksual tidak mengalami perubahan, terakhir melakukan hubungan
seksual adalah 1 mgg yang lalu sebelum rembes. Pasien kaget, apa akan melahirkan
sekarang, kan belum bulannya dan belum ada persiapan apa-apa. Klien
mengatakan akan mengurus bayinya sendiri tapi ibunya akan mendampingi.
Saat dikaji, klien dan suaminya merasa bingung, cemas dengan kondisi ibu dan
bayinya, karena belum mendapat penjelasan jelas dari petugas tentang apa yang
terjadi, dan berapa kira-kira biayanya, karena belum ada persiapan.
d. Adaptasi Interdependensi
Hubungan dengan suami, keluarga dan orang lain baik. Suami klien menemani
klien selama di rumah sakit walaupun berada di ruang tunggu, namun jika ada
keperluan suami selalu ada di samping klien. Hubungan dengan orangtua baik,
orangtua terutama ibu selalu membantu pasien jika ada masalah, karena pasien
adalah anak pertama yang kehadiran cucu sangat diharapkan oleh orangtuanya.
Keluarga dan klien kooperatif terhadap perawatan yang diberikan dan bersikap
pasrah dengan tindakan yang dilakukan.
Pengkajian Tahap II
a. Stimulus Fokal
Klien mengeluh perut tegang sejak 2 hari yang lalu, merembes keluar cairan dari
kemaluan sejak seminggu hari yang lalu sedikit-sedikit, seperti kencing, tapi keluar
sendiri tidak dapat ditahan. Keluar paling banyak adalah hari ini tadi pagi setelah
kencang sekali perut selama 2 hari, Klien dan keluarganya selalu menanyakan
apakah bayinya akan sehat dan bisa lahir normal. Selama di rumah janinnya
gerak terus, sekarang juga masih terasa geraknya. Klien binggung, cemas, karena
dikatakan ketuban habis, dan tidak ada penjelasan lagi, hanya dikatakan ibu
harus dirawat, tentang kondisi bayi, dan apakah akan segera melahirkan tidak
dijelaskan. Suami juga merasa binggung, cemas dengan kondisi ibu dan bayinya,
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
158 karena belum mendapat penjelasan jelas dari petugas tentang apa yang terjadi,
dan berapa kira-kira biayanya, karena belum ada persiapan.
b. Stimulus Kontekstual
Klien HPHT tanggal 20 April 2009 , G1P1AO Hamil 27 mgg, TFU 20 cm, letak
memanjang, punggung kanan, kepala belum masuk PAP, kontraksi positif irreguler,
DJJ 155 x/mnt, Inspekulo: porti licin dan terbuka, tampak air mengalir, bau khas
ketuban, tidak bau busuk, jernih NST: Reaktif, sempat takhicardi, USG : ICA 2 ,
mengeluh kepala pusing. Kandung kemih penuh.
Tanda Vital R = 24x/m, N = 80 x/mnt, TD = 110/70 mmHg, S = 36.6 OC. Hasil
pemeriksaan laboratorium Hb 8,6, Ht 26, Leukosit 14.800 Trombosit 277.000,
GDS 90 mg/dl. Therapi Nifedipin 4 x 10 gr, Dexametason 2 x 6 mg/ 12 jam,
Ampicilin 3 x 1 gr. Ekspresi wajah nampak cemas, tegang, dan belum terbuka
dengan perawat. Aktivitas sehari-hari klien sebagai ibu rumah tangga dan mengurus
semuanya sendiri, kadang merasa kelelahan.
c. Stimulus Residual
Bulan-bulan sebelumnya kehamilannya berjalan dengan baik-baik saja, hanya
keputihan dan ini adalah pengalaman yang pertama, jadi semuanya serba tidak
karuan baik perasaan maupun persiapan, apalagi temannya pernah bilang bahwa
kalo ketuban pecah, bayi bisa minum airnya.
Keputihan terjadi bulan ke-5 kehamilan dan tidak memeriksakan diri, karena
dianggap tidak berbahaya.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang ditemukan pada klien Ny. S, berdasarkan pengkajian
tahap I, tahap II dan pengkajian dengan pendekatan transkultural, adalah:
a. Adaptasi Fisiologis
(1) Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan robek atau pecahnya
membran amnion dan kemungkinkan masuknya kuman.
(2) Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan pada janin berhubungan dengan
kompresi tali pusat sekunder terhadap berkurangnya volume cairan amnion.
b. Adaptasi Konsep diri
Kecemasan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya persalinan preterm.
c. Adaptasi Fungsi peran
Antisipasi berduka berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kehilangan
janin.
d. Adaptasi Interdependensi
Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan terapi bedrest sekunder akibat ketuban
pecah dini.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Primigravida dengan KPD
159
Diagnosa keperawatan pada transkultural adalah kebutuhan belajar berhubungan
dengan kurang pengetahuan tentang tanda bahaya kehamilan, tanda-tanda persalinan
dan persiapan persalinan sekunder terhadap nilai budaya yang dianut klien dan
keluarga.
PERENCANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN
1. Diagnosa keperawatan:
Risiko tinggi terjadinya infeksi pada ibu dan janin berhubungan dengan robek atau
pecahnya membran amnion dan kemungkinkan masuknya kuman.
Tujuan:
Tidak terjadi infeksi baik pada ibu maupun janin.
Kriteria Hasil:
Suhu badan klien normal 36-37,5 OC, Leukosit normal < 18.000 mg/dl, Klien
terbebas rasa demam, tidak ada bau yang abnormal dari cairan amnion atau
keluarnya cairan amnion, DJJ Normal 120-160 x/mnt, NST akselerasi, tidak ada
kontraksi uterus.
Rencana Tindakan:
a. Monitor tanda vital ibu: peningkatan suhu tubuh atau nadi mengindikasikan
adanya infeksi.
b. Monitor darah rutin: peningkatan nilai leukosit diatas 18.000 mengindikasikan
adanya infeksi.
c. Observasi bau dan purulensi cairan amnion.
d. Observasi keluaran cairan vagina lain: purulensi atau bau tak sedap
mengindikasikan adanya infeksi.
e. Monitor Janin: observasi adanya takhikardi.
f. Monitor aktivitas uterus: kontraksi.
g. Palpasi abdomen untuk mengkaji kekerasan uterus.
h. Hindari melakukan pemeriksaan vagina.
i. Kolaburasi dan catat pemberian antibiotik.
2. Diagnosa keperawatan:
Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan pada janin berhubungan dengan kompresi
tali pusat sekunder terhadap berkurangnya volume cairan amnion.
Tujuan:
Tidak terjadi gangguan perfusi jaringan pada janin.
Kriteria Hasil:
DJJ Normal 120-160 x/mnt, tidak terjadi deselerasi pada hasil NST, tidak terjadi
prolaps tali pusat.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
160 Rencana Tindakan:
a. Pertahankan Tirah baring.
b. Monitor DJJ secara kontinue setiap 4 jam.
c. Lakukan NST secara kontinu setiap 4 jam.
d. Evaluasi posisi janin dengan Leopold.
e. Posisikan pasien trendelenburg untuk menurunkan risiko prolaps.
f. Observasi adanya kemungkinan adanya kompresi: deselerasi biasanya
nampak pada hasil NST.
g. Observasi tanda-tanda prolaps tali pusat.
h. Kolaburasi therapi pematangan paru, dan tokolisis.
i. Monitor tanda vital ibu.
j. Bantu pemenuhan kebutuhan dasar klien.
3. Diagnosa keperawatan:
Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan terapi bedrest sekunder akibat ketuban
pecah dini.
Tujuan:
Aktivitas klien dan kebutuhan dasar terpenuhi.
Kriteria Hasil:
Kontraksi uterus berhenti, kebutuhan sehari-hari klien terpenuhi, menunjukkan
aktivitas klien yang menurun.
Rencana Tindakan:
a. Berikan informasi yang cukup pada klien kebutuhan akan penurunan aktivitas
dengan tirah baring.
b. Berikan tindakan kenyamanan seperti memasang underpad, dengan tujuan
selain untuk meningkatkan kenyaman juga untuk mengobservasi jumlah
cairan yang keluar.
c. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan klien.
d. Berikan aktivitas pengalihan seperti mengijinkan untuk kunjungan teman
atau keluarga, yang akan membantu klien dalam koping penurunan aktivitas
e. Berikan waktu untuk istirahat tanpa interupsi karena dengan istirahat yang
cukup, kelelahan teratasi dan meningkatkan relaksasi.
4. Diagnosa keperawatan:
Kecemasan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya persalinan preterm.
Tujuan:
Kecemasan klien dan keluarga berkurang atau teratasi.
Kriteria Hasil:
Klien menunjukkan pengetahuan tentang kondisi janin saat ini, klien mempunyai
harapan yang realistis terhadap kelahiran bayi dengan umur kehamilan yang
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Primigravida dengan KPD
161
sekarang, Klien memahami jika terjadi persalinan sebelum kahamilan aterm, Klien
menunjukkan koping yang efektif dan bersedia menggunakan support persons:
suami atau anggota keluarga, berkurangnya tingkat kecemasan, dan meningkatnya
pengetahuan dan menggunakan support system.
Rencana Tindakan:
a. Berikan informasi yang cukup pada pasien tentang ketuban pecah dini.
b. Diskusikan tentang pertumbuhan dan perkembangan dan berfokus pada usia
kehamilan saat ini.
c. Jelaskan kemungkinan perawatan intensif pada bayi, seperti diruang NICU
untuk mempersiapkan klien atau keluarga terhadap lingkungan perawatan
intensif.
d. Libatkan klien dalam perencanaan perawatan dan pembuatan keputusan.
f. Dorong pasien untuk mengungkapkan secara verbal apa yang dirasakan saat
ini.
g. Identifikasi mekanisme koping yang dapat membantu selama kondisi stres.
5. Diagnosa keperawatan:
Antisipasi berduka berhubungan dengan kemungkinan terjadinya kehilangan
janin.
Tujuan:
Menunjukkan koping yang adaptif dengan kondisi yang mungkin terjadi.
Kriteria Hasil:
Klien menunjukkan kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya, menunjukkan
koping yang adaptif dengan situasi dan kondisi yang terjadi, mempertahankan
harga diri yang positif.
Rencana Tindakan:
a. Kaji perasaan klien, pasangan, dan keluarga terhadap situasi yang terjadi.
b. Indentifikasi sistem pendukung, seperti keluarga, teman atau saudara lain
yang dapat membantu klien menyesuaikan diri dengan situasi.
c. Anjurkan klien, pasangan mengungkapkan perasaan meliputi kejadian sebelum
ataupun kejadian saat ini.
d. Diskusikan tentang kenormalan reaksi perasaan sedih atau berduka karena
perasaan kegagalan peran sering dan dapat berdampak negatif.
e. Tinjau ulang informasi tentang kejadian dan diskusikan kemungkinan untuk
kehamilan yang akan datang.
6. Diagnosa keperawatan:
Kebutuhan belajar berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang tanda
bahaya kehamilan, tanda persalinan dan persiapan persalinan sekunder terhadap
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
162 nilai budaya yang dianut klien.
Tujuan:
Pengetahuan ibu dan keluarga tentang tanda bahaya pada kehamilan, tanda bersalin
dan persiapan persalinan meningkat.
Kriteria Hasil:
Klien dan keluarga mendiskusikan tentang tanda bahaya dalam kehamilan,
klien mampu mencatat dan menyebutkan tanda infeksi, klien menunjukkan
kesadaran akan terjadinya infeksi dan komplikasi berhubungan dengan KPD, klien
mendiskusikan tentang pengobatan yang akan dilakukan, klien dapat menyebutkan
tanda dan persiapan persalinan.
Rencana Tindakan:
a. Jelaskan kembali anatomi fisiologis selaput amnion dan fungsinya.
b. Diskusikan tentang tanda bahaya pada kehamilan.
c. Libatkan keluarga dalam diskusi, dan yakinkan bahwa keluarga telah memahami
kondisi bahaya yang sedang terjadi pada ibu.
d. Diskusikan risiko komplikasi dan pengobatan yang akan dilakukan: kemungkinan
terjadinya infeksi.
e. Jelaskan bahwa bayi dan ibu akan dipantau terus menerus: DJJ dan NST, atau
mungkin USG.
f. Jelaskan tentang kemungkinan cara bersalin, seperti persalinan dapat terjadi
secara spontan, ataupun dilakukan opersi.
g. Jelaskan tanda-tanda persalinan.
h. Jelaskan persiapan persalinan yang berhubungan dengan langsung dengan
ibu maupun berkaitan juga dengan perlengkapan waktu bersalin.
TINDAKAN KEPERAWATAN
Tindakan yang telah dilakukan terhadap Ny S meliputi:
Tanggal 28-10-2009 Pukul 20.00 WIB
Diagnosa I: Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan robek atau
pecahnya membran amnion dan kemungkinkan masuknya kuman.
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Memonitor tanda vital ibu, memonitor darah rutin, melakukan observasi bau dan
purulensi cairan amnion serta keluaran cairan vagina lain seperti keputihan atau
darah, memonitor Janin: DJJ, memonitor aktivitas uterus terhadap kontraksi yang
dirasakan ibu, melakukan palpasi abdomen untuk mengkaji kekuatan kontraksi,
menghindari melakukan pemeriksaan dalam (VT), memberikan terapi antibiotik
sesuai instruksi.
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Primigravida dengan KPD
163
Diagnosa 2: Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan pada janin berhubungan dengan
kompresi tali pusat sekunder terhadap berkurangnya volume cairan amnion
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Melakukan monitor DJJ secara kontinue setiap 4 jam, melakukan NST secara
kontinue setiap 4 jam, mengevaluasi posisi janin dengan Leopold, memposisikan
klien posisi trendelenburg untuk menurunkan risiko prolaps talipusat, mengobservasi
adanya kemungkinan kompresi: deselerasi biasanya nampak pada hasil NST,
mengobservasi tanda-tanda prolaps tali pusat, memberikan therapi sesuai instruksi
pematangan paru, dan tokolisis, memonitor tanda vital ibu, membantu pemenuhan
kebutuhan dasar: kebersihan diri, BAK-BAB, pemenuhan nutrisi.
Tanggal 29-10-2009 Pukul 10.00 WIB
Diagnosa I: Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan robek atau
pecahnya membran amnion dan kemungkinkan masuknya kuman.
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Memonitor tanda vital ibu, melakukan observasi bau dan purulensi cairan amnion
serta keluaran cairan vagina lain seperti keputihan atau darah, memonitor Janin:
DJJ, memonitor aktivitas uterus terhadap kontraksi yang dirasakan ibu, melakukan
palpasi abdomen untuk mengkaji kekuatan kontraksi, menghindari melakukan
pemeriksaan dalam (VT), memberikan terapi antibiotik sesuai instruksi.
Diagnosa 2: Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan pada janin berhubungan dengan
kompresi tali pusat sekunder terhadap berkurangnya volume cairan amnion
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Mempertahankan tirah baring, melakukan monitor DJJ secara kontinu setiap 4
jam, mengevaluasi posisi janin dengan Leopold, memposisikan klien posisi
trendelenburg untuk menurunkan risiko prolaps, mengobservasi tanda-tanda
prolaps tali pusat, memberikan therapi sesuai instruksi pematangan paru, dan
tokolisis, memonitor tanda vital ibu, membantu pemenuhan kebutuhan dasar:
kebersihan diri, BAK-BAB, pemenuhan nutrisi.
Diagnosa 3: Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan terapi bedrest sekunder
akibat ketuban pecah dini
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Menjelaskan dengan informasi yang cukup pada klien kebutuhan akan penurunan
aktivitas dengan tirah baring, memberikan tindakan kenyamanan seperti memasang
under pad, dengan tujuan selain untuk meningkatkan kenyaman juga untuk
mengobservasi jumlah cairan yang keluar, melibatkan keluarga dalam pemenuhan
kebutuhan klien, memberikan aktivitas pengalihan seperti mengijinkan untuk
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
164 kunjungan teman atau keluarga, yang akan membantu klien dalam koping penurunan
aktivitas, memerikan waktu untuk istirahat tanpa interupsi karena dengan
istirahat yang cukup, kelelahan teratasi dan meningkatkan relaksasi, membantu
pemenuhan kebutuhan dasar: kebersihan diri, BAK-BAB, pemenuhan nutrisi.
Diagnosa 4: Kecemasan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya persalinan
preterm
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Memotivasi pasien untuk mengungkapkan secara verbal apa yang dirasakan saat
ini, melakukan identifikasi mekanisme koping yang dapat membantu selama
kondisi stres, melakukan identifikasi support system klien.
Diagnosa 5: Antisipasi berduka berhubungan dengan kemungkinan terjadinya
kehilangan janin
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Kaji perasaan klien, pasangan, dan keluarga terhadap situasi yang terjadi, identifikasi
sistem pendukung, seperti keluarga, teman atau saudara lain yang dapat
membantu klien menyesuaikan diri dengan situasi, anjurkan klien, pasangan
mengungkapkan perasaan meliputi kejadian sebelum ataupun kejadian saat
ini, diskusikan tentang kenormalan reaksi perasaan sedih atau berduka karena
perasaan kegagalan peran sering dan dapat berdampak negatif, tinjau ulang
informasi tentang kejadian dan diskusikan kemungkinan untuk kehamilan yang
akan datang.
Tanggal 30-10-2009 Pukul 10.00 WIB
Diagnosa I: Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan robek atau pecahnya
membran amnion dan kemungkinkan masuknya kuman
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Memonitor tanda vital ibu, melakukan observasi bau dan purulensi cairan amnion
serta keluaran cairan vagina lain seperti keputihan atau darah, memonitor Janin:
DJJ, memonitor aktivitas uterus terhadap kontraksi yang dirasakan ibu, melakukan
palpasi abdomen untuk mengkaji kekuatan kontraksi, menghindari melakukan
pemeriksaan dalam (VT), memberikan therapi antibiotik sesuai instruksi.
Diagnosa 2: Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan pada janin berhubungan dengan
kompresi tali pusat sekunder terhadap berkurangnya volume cairan amnion
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Mempertahankan tirah baring, melakukan monitor DJJ secara kontinu setiap 4
jam, mengevaluasi posisi janin dengan Leopold, memposisikan klien posisi
trendelenburg untuk menurunkan risiko prolaps, mengobservasi tanda-tanda
Aplikasi Konsep Model Keperawatan “Adaptasi” Roy
pada Primigravida dengan KPD
165
prolaps tali pusat, memberikan therapi sesuai instruksi tokolisis, memonitor tanda
vital ibu , membantu pemenuhan kebutuhan dasar: kebersihan diri, BAK-BAB,
pemenuhan nutrisi
Diagnosa 4: Kecemasan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya persalinan
preterm
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Memberikan informasi penjelasan yang cukup dan bisa dimengerti oleh pasien
tentang ketuban pecah premature, mendiskusikan tentang pertumbuhan dan
perkembangan difokus pada usia kehamilan kehamilan saat ini, menjelaskan
kemungkinan perawatan intensif pada bayi jika bayi terpaksa lahir, mempersiapkan
pasien terhadap lingkungan perawatan intensif, melibatkan klien dalam perencanaan
perawatan dan pembuatan keputusan jika memungkinkan.
Diagnosa 6: Kebutuhan belajar berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
tanda bahaya kehamilan, tanda persalinan dan persiapan persalinan
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Mendiskusikan tentang tanda bahaya dalam kehamilan, berbagai kemungkinan
cara bersalin, menjelaskan tanda-tanda persalinan dan persiapan persalinan
Tanggal 31-10-2009 Pukul 10.00 WIB
Diagnosa I: Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan robek atau pecahnya
membran amnion dan kemungkinkan masuknya kuman.
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Memonitor tanda vital ibu, melakukan observasi bau dan purulensi cairan amnion
serta keluaran cairan vagina lain seperti keputihan atau darah, memonitor Janin:
DJJ, memonitor aktivitas uterus terhadap kontraksi yang dirasakan ibu, melakukan
palpasi abdomen untuk mengkaji kekuatan kontraksi, menghindari melakukan
pemeriksaan dalam (VT), memberikan terapi antibiotik sesuai instruksi.
Diagnosa 2: Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan pada janin berhubungan dengan
kompresi tali pusat sekunder terhadap berkurangnya volume cairan amnion.
Tindakan Keperawatan yang dilakukan:
Menjelaskan pentingnya tirah baring, melakukan monitor DJJ secara kontinu
setiap 4 jam, mengevaluasi posisi janin dengan Leopold, memposisikan klien
posisi trendelenburg untuk menurunkan resiko prolaps, mengobservasi tandatanda
prolaps tali pusat, memberikan terapi sesuai instruksi tokolisis, memonitor
tanda vital ibu, membantu pemenuhan kebutuhan dasar: kebersihan diri, BAKBAB,
pemenuhan nutrisi.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
166 EVALUASI
Evaluasi dilakukan tanggal 31-10-2009, Pukul 10.30 WIB
a. Diagnosa I: Risiko tinggi terjadinya infeksi berhubungan dengan robeknya
pertahanan membran amnion dan mendekati vagina dan masuknya kuman.
Evaluasi: klien tidak panas, leukosit normal, klien terbebas dari bau yang abnormal
dari cairan amnion atau keluarnya cairan amnion, DJJ Irreguler dan NST deselerasi,
terbebas dari uterus kontraksi, iritabilitas dan uterus yang keras.
b. Diagnosa 2: Risiko tinggi perubahan perfusi jaringan pada janin berhubungan
dengan kompresi tali pusat sekunder terhadap berkurangnya volume cairan
amnion.
Evaluasi: DJJ irregular , terjadi deselerasi, rencana operasi segera. Lahir bayi jam
12.30 melalui operasi dengan berat 1500 gr panjang 39 cm, laki-laki, A/S 5/7.
Bayi meninggal setelah 4 jam dilahirkan.
c. Diagnosa 3: Keterbatasan aktivitas berhubungan dengan terapi bedrest sekunder
akibat ketuban pecah dini.
Evaluasi: klien terbebas kontraksi uterus, kebutuhan sehari-hari klien terpenuhi dan
terbantu oleh keluarga dan petugas, menunjukkan aktivitas klien yang menurun
dimana klien nampak bedrest selama perawatan.
d. Diagnosa 4: Kecemasan berhubungan dengan kemungkinan terjadinya persalinan
preterm.
Evaluasi: klien mempunyai harapan yang realistis terhadap kelahiran bayi
dengan umur, kehamilan yang sekarang, klien memahami jika terjadi persalinan
sebelum kahamilan aterm, klien menunjukkan koping yang efektif dan bersedia
menggunakan support persons, berkurangnya tingkat kecemasan, dan meningkatnya
pengetahuan dan menggunakan support system.
e. Diagnosa 5: Antisipasi
Evaluasi: klien menunjukkan kemampuan untuk mengekspresikan perasaannya,
menunjukkan koping yang adaptif dengan situasi dan kondisi yang terjadi,
mempertahankan
harga diri yang positif, dan mengungkapkan kesiapan dengan
apapun yang terjadi.
f. Diagnosa 6
Evaluasi: klien mengungkapkan tentang pemahaman yang selama ini diyakini
adalah keliru, dan sebenarnya itu adalah tanda bahaya, klien mampu mencatat
dan menyebutkan tanda infeksi, klien menunjukkan kesadaran akan terjadinya
infeksi dan komplikasi berhubungan dengan KPD dan mendiskusikan tentang
pengobatan yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
167
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, E.L. (2005). “Ibu sehat, anak sehat setiap saat”. Warta Kesehatan Ibu: 4.
Alligood, M.R. & Tomey, A. (2002). Nursing theory: Utilization & aplication. St. Louis:
Mosby.
Anonim. (2008). “Ectopic pregnancy”. http://www.patient.co.uk/showdoc/40000050/,
diperoleh tanggal 2008.
Auvenshine, M.A., & Enriquez, M.G. (1990). Maternity nursing: Perinatal and women’s health.
Boston: Jones amd Bartlett Publishers.
Azrul, A. (2005). ¶ 1, http//www.depkes.go.id, diperoleh tanggal 20 Januari 2008.
Bobak, I.M. & Jensen, M.D. (1984). Essentials of maternity ursing. St. Louis: C.V. Mosby
Company.
Bobak, I.M., Lowdermilk, D.L., Jensen, M.D., & Perry, S.E. (1995). Maternity nursing.
Philadelphia: WB Saunders Company.
Bobak, I.M., & Jensen, M.D. (2000). Maternity and ginecology nursing care. Philadelphia: W.B.
Saunders Company.
Bobak, Lowdermilk dan Jensen. (2006). Maternity nursing. (Wijayarini, MA & Anugrah, P.I.
Penerjemah). California: Mosby. (sumber asli diterbitkan 1995).
Babinszki, et al. (1999). Grand multiparity is it a perinatal risk?. Department of Obstetrics and
Gynecology: Clin Perinatol. 25(9): 529-38.
Bugg, G.J, Atwal, G.S & Maresh, M. (2002). “Grandemultiparae in a modern setting”. British
Journal of Obstetrics and Gynecology. 109 (3): 249-53.
Bulgaho, A, et al. (2001). “Misoprostol for prevention of postpartum haemorrhage”. British
Journal of Obstetrics and Gynecology. 29 (5): 149-50.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
168 Barasila A. (2000). “Penatalaksanaan asma pada kehamilan”. Medicinal Obstetri dan
Ginekologi. 3 (2). 42-47.
Breslin. E.T., & Lucas, V. A. (2003). Wommen’s health nursing: Toward evidence-based
practice. Philadelphia: St. Louis.
Boushey HA (2000). Asthma. textbook of respiratory medicine. (3nd Ed). California: WB
Saunders Company.
Bennett, V.R., & Brown, L.K. (1999). Myles textbook for midwives. (13th ed). Toronto: Churchill
Livingstone.
Carpenito,L.J. (1995). Nursing diagnosis: Application to clinical practice. Philadelphi:
Lippincott.
Chalik, T.M.A. (1998). Hemoragi utama obstetri & ginekologi. Jakarta: Widya Medika.
Chin, P.L. & Jacobs, M.K. (1983). Theory and nursing: A systematic approach. USA: Mosby
Company.
Clark, Ann L, Alfonso, Dyane D. & Harris, Thomas R. (1979). Childbearing: A nursing
perspective. Philadelphia: F.A. davis Company.
Cunningham, F.G., et.al. (1995). Text book william obstetric. (19th Ed.). London: Appleton
Lange.
Cunningham, F.G., MacDonal, P.C., & Gant, N.F. (2001). Text book: William obstetric, 21th
ed. London: McGraw-Hill Companies, Inc.
Cunningham, F.G., et.al. (2006). Obstetrics Williams. (Hartono, Andry. dkk. Penerjemah). New
York: McGraw-Hill. (Sumber asli diterbitkan 2001).
Dep.Kes.RI. 2004. Setiap Jam 2 orang Ibu bersalin meninggal. www.depkes.go.id/ index.php?
option=news&task=viewarticle&sid=448&Itemid=2, diperoleh tanggal 27 Pebruari 2007.
Depkes. (2005). Kebijakan dan strategi nasional kesehatan reproduksi di Indonesia. Jakarta.
Djauzi. (2005). “Asma dan faktor genetik garis ibu”. http://kompas.com/kesehatan/news/
0501/23/100937.htm, diperoleh tanggal 10 Februari 2008.
Doengoes, M., & Moorhouse, M. (1994). Rencana keperawatan maternal dan bayi. Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Doenges, M.E., & Moorhouse, M.F. (2001). Rencana perawatan maternal/bayi: Pedoman untuk
perencanaan dan dokumentasi perawatan klien. Alih bahasa Ester, M. Edisi 2. Jakarta:
EGC.
Donno, M.D., et.al. (2000). The effect of inflammation on mucocilliary in asthma. Philadelphia:
WB Saunders Company.
Edmon, K.,et al. (2006). Delayed breastfeeding initiation increases risk of neonatal mortality.
Americans Academy of Pediatrics. 117: 380-386.
Evariny. (2007). “Penatalaksanaan asma pada kehamilan”, http://www.hypno-birthing.web.
id/?p=393, diperoleh tanggal 30 Maret 2008.
Farrer, H. (1990). Maternity care. New York: Churchill Livingstone.
Farrer, H. (1996). Maternity care. (Hartono, Andry. Penerjemah). Melbourne: Limited. (sumber
asli diterbitkan 1987.
DAFTAR PUSTAKA
169
Fawzett Jacquelin. (2005). Contemporary nursing knowledge analysis and evaluation of nursing
models and theories. Second Edition. Philadelphia: Davis Company.
George, JB. (1995). Nursing theories; the base for professional nursing practice. (fourth edition).
California: appletonton & Lange.
Gilbert, E.S., & Harmon, J.S. (1998). Manual of high risk pregnancy & delivery. (3 rd Ed). St
Louis: Mosby.
Gilbert, E.S.& Harmon, J.S. (2003). High risk pregnancy & delivery. St Louis: Mosby.Inc.
Gorrie, T.M., McKinney, E.S., & Murray, S.S. (1998). Foundations of maternal-newborn nursing.
(2nd ed). Philadelphia: W.B. Saunders Company.
Heija, A, Chalabi, H & Iloubani, N. (1998). Abruption placentae: risk factors and perinatal
outcome. Obstetric and Gynecoloy. Apr, 24 (2): 141-4.
Hill, Lyndon M. (2008). Sonographic evaluation of ectopic pregnancies. http://www.iame.
com/learning/ectopic/ectopic.html, diperoleh tanggal 28 April 2008.
Hamilton, P.M. (1995). Dasar-dasar keperawatan maternitas. Alih bahasa Asih, N.I.G.Y.
Jakarta: EGC.
Henderson, C., & Jones, K. (2006). Essential midwifery. (Anjarwati Ria; Komalasari Renata;
Adiningsih Dian. Penerjemah). California: Mosby. (sumber asli diterbitkan 1997).
Holyroyd, E., et al. (1999). Hongkong Chines women’s perception of support from midwifes
during labor. Midwifery, 13(2): 66-72.
Indah. (1998). “Penatalaksanaan asma dalam kehamilan”. http://www.bergaul.com/ pages/
blog/ showblog. php?blogid=2741, diperoleh tanggal 10 Februari 2008.
Indriyani. (2008). Buku pintar kehamilan: Kiat mengatasi gangguan dan penyakit kehamilan.
Yogyakarta: Mumtaz Press.
Jacquemyn, et al. (2006). “A Systematic Review of Grand Multiparity”. Current Women’s
Health Reviews: February, 2: (8): 25-32.
Jensen, M.D., Bobak. (1985). Maternity and gynecology care. St.Louis Missouri: Mosby
Company.
Jensen, M.D., & Bobak, I.M. (2000). Maternity and gynecologic care: The nurse and the family.
St. Louis: The Mosby Year Book Inc.
Johnson, M., Maas, M., & Moorhead, S. (2000). Nursing Outcomes Classificatin (NOC). (2nd
Ed). St. Louis: Mosby Year Book.
Johnson, R., & Taylor, W. (2005). Skill for midwifery practice. (Samba. S, Penerjemah). London.
Churchill Livingstone. (Sumber asli diterbitkan tahun 2001).
Jones, et al., (2003). Under 5 child deaths (%) saved with preventive interventions. Americans
Academy of Pediatrics, 362: 65-71.
Jordan, S. (2004). Pharmacology for midwives. (Hartono, A, Penerjemah). Jakarta: EGC. (Sumber
asli diterbitkan tahun 2002).
Kee, J.L., (1997). Handbook of laboratory and diagnostic tests with nursing implication. (Nurses,
E, Penerjemah). Jakarta: EGC. (Sumber asli diterbitkan tahun 1994).
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
170 Klaus, M. (1998). Mother and infant: early emotional ties. Americans Academy of Pediatrics,
102: 1244.
Kozier, B., Erb, G., Blais, K., & Wilkinson, J.M. (1997). Fundamental of nursing: Concepts,
process, practice. St. Louis: The Mosby Year Book Inc.
Kozier, B. (2000). Fundamental of nursing. California: Addisson Wesley.
Kuntjoro, Z.S. (2002). Dukungan sosial pada lansia. http://www.E.e-psikologi.htm, diperoleh
tanggal 17 April 2008.
Kusuma. (2007). “Asma dan kehamilan”, http://www.bergaul.com/pages/blog/showb.php?
blogid=2741, diperoleh tanggal 1 Maret 2008.
Kwon, H.L., et.al. (2004). “Effect of pregnancy and stage of pregnancy on asthma severity”.
Journal Obstetry Gynecology Investigation. 55 (7). 112-116.
Ladewig, P.W., London, M.L., & Olds, S.B. (1994). Maternal newborn nursing care: The nurse,
the family, and community. (4th ed). Canada: Addison Wesley Longman, Inc.
Ladewig, P.W., London, M.L., & Olds, S.B.(1998). Maternal newborn nursing care: The nurse,
the family, and the community. California: Addison Wesley Longman.
Ladewig, P.W., London, M.L., & Olds, S.B. (2002). Clinical handbook: Contemporary
maternalnewborn
nursing care. (5th ed). New Jersey: Pearson Education
Ladewig, P.W, et al. (2006). Clinical Handbook; Contemporary maternal- Newborn Nursing
Care. (Salmiyatun penerjemah). New. Jersey: Pearson. (sumber asli di terbitkan 2002).
Liu, S. (2001). “Maternal asthma and pregnancy outcomes : A retrospective cohort study”.
Journal Obstestric Gynecologi. 25 (4). 91-99.
Lyrenass, S. (2002). “Labor in the grand multipara”. Gynecology Obstetric Invest. 53: 6-12.
Mabie,W. (1996). Asthma in pregnancy. London: Arnold.
Manuaba, I.B.G. (1998). Ilmu kebidanan penyakit kandungan & keluarga berencana untuk
pendidikan bidan. Jakarta. EGC.
MacLaren, A. (1991). Nurse clinical guide to maternity Care. USA: Springhouse Corporation.
Mangunnegoro. (2004). Pedoman diagosis dan penatalaksanaan asma di Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka FKUI.
Matusiak, R. et al. (2006). “Is grand multiparity an obstetrical risk factor?”. Journal Gynecology
Obstetric. 77 (12): 937-44.
May, K.A., & Mahlmeister, L.R. (1990). Comprehensive maternity nursing: Nursing process and
childbearing family. (2nd Ed.). Philadelphia: JB Lippincott Company.
May, K.A., & Mahlmeister, L.R. (1994). Maternal and neonatal nursing: Family centered care,
(3th ed). Philadephia: JB Lippincott Company.
May, A.K & Mahlmeister, M. (2003). Maternal and newborn nursing. Philadelphia, J.B
Lippincott.
Mayers, M., & Jacobson, A. (1995). Clinical care plane: Perinatal/neonatal nursing. New York:
McGraw-Hill.
Mc Closkey, J., & Bulechek, G. (1996). Nursing Interventions Classification (NIC). (2nd Ed). St.
Louis: Mosby Year Book.
DAFTAR PUSTAKA
171
McFarland, G.K., & McFarlane, E.A. (1997). Nursing diagnosis & intervention: Planning for
patien care. (3 ed). St. Louis: Mosby Years Book Inc.
Media Indoesia Juli. (2004). “Laporan program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2004”,
http://www.undp.or.id/pubs/imdg2004/BI/Indonesia, diperoleh tanggal 11 februari 2008.
Meleis, A.I. (2007). Theoritical nursing: Development and progress. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Military Obstetrics & Gynecology. (2006). “Ectopic pregnancy”. http://www. brooksidepress.
org/Products/Military_OBGYN/Textbook/PregnancyProblems/ectopic_pregnancy.htm,
diperoleh tanggal 28 April 2008.
Mochtar, R. (1998). Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi. (Ed. 2). Jakarta: EGC.
Mulyadin, Y.M. (2008). “Menghargai tubuh perempuan”. Center for Community Development
and Education. http://.www.ccde.or.id, diperoleh tanggal 10 Mei 2008-05-11
NANDA. (1994). Nursing diagnosis: definition & classification. Philadelphia : North American
Nursing Dagnosis Association.
Nelson, S., et.al. (1991). “Asthma and pregnancy’. Journal of Maternal Fetal and Neonatal
Medicine. http://www.national jewish.org/com, diperoleh tanggal 10 Februari 2008.
Nichols, F.H & Humenick, S.S (2000). Childbirth education. (2nd ed) , Philadelphia: W.B
saunders Company.
Old, S.B, London M.L & Ladewig, P.W. (1998). Maternal newborn nursing family and
community based approach. New Jersey: Prentice Hall Health.
Orem, D.E.(2001). Nursing concepts of practice. Philadelphia: Mosby Year Book Inc.
Pearson, A & Vaughan, B. (1999). Nursing models for practice. London: Heinemann Nursing.
Philips, C.E. (1996). Family centered maternity and newborn care. 4th ed. Philadelphia:
Lippincott Company.
Pilliteri, A. (2003). Maternal And Child Health Nursing: Care Of The Childbearing And
Childrearing Family. 4rd ed. Philadelphia: lippincott.
POGI. (1991). Standar pelayanan medik obstetri dan ginekologi. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Potter, P.A., & Perry, A.G. (1997). Fundamental of nursing: Concepts, process, and practice.
(4th Ed). Philadelphia: The Mosby Years Book Inc.
Potter, P.A & Perry, A.G. (2005). Fundamentals of nursing; concepts, process and practice.
Philadelphia: Mosby-year Book Inc.
Potter, P.A., Perry, A.G. (2006). Fundamental of nursing: Concepts, process, and practice.
(Komalasari, R dkk. Penerjemah). Sint Louis Missouri: Mosby. (Buku asli diterbitkan 1997).
Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Ramaiah, S. (2006). Asma mengetahui penyebab, gejala dan cara penanggulangnnya. Jakarta:
Gramedia.
Reeder, S.J., & Martin, L. (1992). Maternity nursing: Family, newborn & women’s health care.
(7th Ed.). Philadelphia: JB. Lippincott Company.
Reeder, S.J., Martin, L.L., & Koniak, D. (1997). Maternity nursing, family, newborn & women’s
health care. Philadelphia: J.B.Lippincot.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
172 Reeder, S.J, Martin, L.L & Griffin, K.D. (1999). Maternity nursing: family, newborn & women’s
health care. (8 ed). Philadelphia-Lippincott.
Rengganis. (2007). ‘Penatalaksanaan kehamilan dengan asma”. http://bibilung.wordpress.
com/2007/07/14/asma-di-saat-hamil, diperoleh tanggal 10 Februari 2008.
Roy & Adrew. (1991). The roy adaptation model: The definitive statement. New Jersey: Prentice
Hall.
Saifudin, A.B & Affandi, B. (2003). Buku panduan praktis pelayanan kontrasepsi. Jakarta:
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo bekerjasama dengan JNPKKR/POGI, BKKBN,
DEPKES, dan JHPIEGO/STARH Program.
Sambas, E.K. (2005). “Pengaruh suportif perawat dan bidan terhadap intensitas nyeri persalinan
pada intrapartum kala I di RS Hasan Sadikin dan RS Cibabat Bandung”. Tesis. Jakarta: FIKUI
(tidak dipublikasikan).
Samsuridjal. (2007). “Asma dan faktor genetik garis ibu”, http://kompas.com/kesehatan/news/
0501/23/100937.htm, diperoleh tanggal 10 Februari, 2008.
Schatz, M., et.al (2004). The relation ships of asthma medication use to perinatal outcomes.
Canadian: Medical Association.
Selamihardja. (1999). Asma dan kehamilan. http://www.indomedia.com/intisari/agustus/asma.
htm, diperoleh tanggal 11 Februari 2008.
Sepilian, Vicken, S. (2007). Ectopic pregnancy. http://www.emedicine.com/med/ topic3212.
htm, diperoleh tanggal 28 April 2008.
Sherwen, L.N., Scoloveno, M.A., & Weingarten, C.T. (1995). Nursing care of the childbearing
familly. Philadelphia: Appleton & Lange.
Sherwen, L.N., Scoloveno, M.A., & Weingaerten, C.T. (1999). Nursing care of the childbearing
family. (2th ed). Norwalk: Appleton & Lange.
Silbernagl, S. & Lang, F. (2007). Color atlas of pathophysiologi. (Setiawan, I &Mochtar, I,
Penerjemah), Jakarta: EGC. (Sumber asli diterbitkan tahun 2000).
Simonsen. S.M, Lyon, J.L, Alder, S.C & Varner, M.W. (2005). “Effect of Grand Multiparity
on Intrapartum and Newborn Complications in Young Women”. Jounal of Obstetrics &
Gynecology. 106: 454-460.
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2002). Medical surgical nursing. Philadelphia: Lippincot W&W.
Somantri, I. (2008). Asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistim pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Sterk, P.J. & Roisin, R.R. (2000). Phatophysiology of asthma. (4th Ed.). London: Arnold.
Stolte M. Karen, (2003). Wellness nursing diagnosis. (Noviestari, E, Penerjemah), Jakarta: EGC.
(Sumber asli diterbitkan tahun 1996).
Stright, B.R. (2001), Lippincott’s review series: Maternal-newborn nursing. (3ed). Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins.
Stuart, G.W. & Laraia, M.T. (2001). Principles and practice of psychiatric nursing. (Ed). St.
Louis: Mosby Year Book.
DAFTAR PUSTAKA
173
Suparman, E & Suryawan, A. (2004). “Karakteristik kehamilan ektopik terganggu di
Rumah Sakit Umum Pusat Manado”. http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/158_11
Karakteristikkehamilanektopikterganggudirsupmanado.pdf/158_11Karakteristikkehamilan
ektopikterganggudirsupmanado.pdf, diambil tanggal 28 April 2008.
Teirstein, A.S., et.al (2000). Respiratory disease: complication of pregnancy. Philadelphia:
Lippincott Williams.
Tenore, Josie L. (2000). Efctopic pregnancy. http://www.aafp.org/afp/20000215/ 1080.html,
diperoleh tanggal 28 April 2008.
Tiran. D. (2004). Nausea and vomiting in pregnancy: An integrated approach to care. Toronto:
Churchill Livingstone.
Tomey, M.A. (1999). Nursing theorists and their work. (3rd Ed). St. Louis: Mosby Year Book,
Inc.
Tomey, A.M & Alligood, M.R. (2006). Nursing theories and their work. 6th ed. St.Louis:
Mosby.
Toohey, J.S, et al, (1995). “The ‘Dangerous multipara’: fact or fiction?”. American journal
obstetric and gynecology. Feb: 172 (2): 683-6.
Tucker, S.M., Canobbio,M.M., Paquette.E.V & Wells, M.F. (1999). Standar perawatan pasien:
proses keperawatan, diagnosis dan evaluasi. Jakarta: EGD.
Verberg, M.F.G., Gillott, D.J., Al-Fardan, N., & Grudzinskasi, J.G. (2005). “Hyperemesis
gravidarum, a literatur review”. Human Reproduction Update, 11 (5), 527-539.
Wainscott, M.P. (2004). “Pregnancy; Postpartum Hemorrage”. http:/ /www.e.Medicine. com,
diperoleh pada tanggal 15 Maret 2008.
Wiknjosastro, H. (2006). Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Weinberger, S.E., Weiss, S.T. (1995). Pulmonary disease. Medical complication during
peregnancy. (4th Ed.). Philadelphia: WB. Saunders Company.
Wendel, P.J., et.al. (2001). “Asthma in pregnancy”. Obstetric and Gynecology Investigation.
42 (6). 212-226.
Wibowo, B. (2006). Prawirohardjo, S (editor ketua). Ilmu kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka.
Wikipedia Indonesia. (2008). “Kehamilan ektopik”. http://id.wikipedia.org/wiki/Kehamilan
Ektopik , diperoleh tanggal 28 April 2008.
Wilkinson, J.M. (2007). Buku saku diagnosis keperawatan dengan intervensi NIC dan kriteria
hasil NOC. Jakarta: EGC.
Word, G.T.D. (1997). Contempory maternity nursing. New York: Mosby Company.
______.(1994). Maternal and neonatal nursing: Family center care. (3rd ed.). Philladelphia:
Lippincot Company.
______. (1999). Asthma and pregnancy. Philadelphia: Lippincott Williams.
______. (2002). Panduan praktis pelayanan maternal dan neonatal. Jakarta.
Penerapan Model Konsep dan Teori Keperawatan
pada Kasus Obstetri Ginekologi
174

Anda mungkin juga menyukai