Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

PEMAJAKAN PENGHASILAN WAJIB PAJAK LUAR NEGERI

Oleh Kelompok 3

Kadek Dwi Ristia Rahmayani (2007341003)

I Putu Ari Wibhawa (2007341004)

Ni Putu Ragil Diah Purnamasari (2007341018)

I Kadek Surya Pradnyana (2007341019)

Ni Luh Putu Meta Sari (2007341025)

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2021
PEMAJAKAN PENGHASILAN WAJIB PAJAK LUAR NEGERI

Pasal 1 UU PPh menyatakan bahwa Pajak Penghasilan (Indonesia) dikenakan


terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak.
Selintas, ketentuan ini sepertinya menyiratkan bahwa Indonesia dapat mengenakan pajak
kepada siapa saja dan di mana saja. Namun dari penjelasan nampak bahwa subjek yang
dikenakan pajak tersebut terbatas kepada mereka yang disebut Wajib Pajak, yaitu subjek
pajak yang memperoleh atau menerima penghasilan selama tahun pajak.

1. Wajib Pajak Luar negeri


Pasal 2 Ayat 4 UU PPh memberikan batasan tentang siapa WPLN. Sehubungan
dengan Orang Pribadi, yang menjadi WPLN adalah diantaranya
- Tidak bertempat tinggal di Indonesia
- Berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari
- Tidak berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia

Berbeda dengan kriteria penentu apakah seseorang merupakan WPDN yang bersifat
alternatif, kriteria penentu apakah seseorang merupakan WPLN bersifat kumulatif.
Dengan demikian hanya orang yang berada di Indonesia selama tidak lebih dari 183
hari dan tidak bertempat tinggal serta tidak mempunyai niat untuk bertempat tinggal
di Indonesia akan dikategorikan sebagai WPLN.

Sementara itu, badan dapat dikategorikan sebagai WPLN apabila didirikan tidak
tunduk hukum Indonesia dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Sebuah
Perseroan Terbatas walaupun didirikan di Singapura dapat menjadi bukan WPLN
apabila menurut keadaan nyata bertempat kedudukan di Indonesia. Sesuai dengan
ketentuan yang berlaku penentuan apakah suatu badan bertempat kedudukan di
Indonesia dapat mendasarkan pada

- Tempat kedudukan statuter (sebagaimana tercantum dalam akte pendirian)


- Tempat kantor pimpinan perusahaan
- Tempat kedudukan menurut keadaan yang sebenarnya yang ditentukan Direktur
Jenderal Pajak.

Badan hukum memperoleh suatu status hukum (legal) dari negara dengan hukum
mana badan didirikan. Status hukum ini sekaligus memberikan nasionalitas badan dan
koneksi legal antara badan dengan Indonesia sebagai pemegang yuridiksi pemajakan.
Karena secara hukum badan tidak bisa didirikan (tunduk) berdasarkan hukum lebih
dari satu negara, kriteria tempat pendirian sebagai penentu status WP (WPDN) lebih
pasti dibandingkan dengan kriteria tempat kedudukan yang sesuai dengan fakta
berpotensi multi tafsir misalnya tempat kedudukan statuter, manajemen efektif, dan
sebagainya. Hal demikian, dapat menimbulkan status residen ganda (dual residence)
dari badan dimaksud. Berbeda dengan WPDN yang dikenakan Pajak Penghasilan
berdasarkan pertalian subjektif atau personal yang dapat bersifat formal maupun
ekonomis, WPLN dikenakan pajak penghasilan berdasarkan pertalian ekonomis.
Pertalian tersebut dapat dalam bentuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia atau memperoleh atau menerima penghasilan dari sumber di Indonesia.
Karena pertalian fiskalnya dimulai dengan adanya pertalian ekonomis berarti ada
subjek dan objek sekaligus dalam UU PPh secara administratif lebih tepat untuk
langsung memakai sebutan WPLN. Karena pemicu pemajakan WPLN adalah
pertalian, Pasal 2A Ayat 3 dan 4 menyatakan bahwa kewajiban pajak subjektif dan
objektif WPLN timbul bersamaan waktunya pada saat adanya pertalian ekonomi
tersebut yang berupa penerimaan atau perolehan penghasilan atau mulainya kegiatan
ekonomis. Selanjutnya pertalian perpajakan batal pada saat putusnya pertalian
ekonomis tersebut. Berbeda dengan ikatan pajak yang didasarkan pada pertalian
subjektif yang memungkinkan negara pemungut pajak berkemampuan untuk
menjangkau kapasitas pemajakan (taxable capacity) global (karena orangnya berada
dalam jangkauan yurisdiksi negara

2. Wajib Pajak Luar Negeri Yang Melakukan Kegiatan di Indonesia


 WPLN Yang Melakukan Kegiatan di Indonesia (Memenuhi Ketentuan Bentuk
Usaha Tetap)
WPLN yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
melalui suatu BUT di sana dianggap telah mencapai suatu tingkat penetrasi
ekonomi tertentu setara dengan perusahaan nasional. Mereka bukan hanya
sekadar sebagai investor pasif, namun sudah merupakan partisipan (peserta)
langsung dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Signifikansi dari usaha dan
kegiatan di Indonesia dalam pemajakan penghasilan membawa perbedaan
pemajakan antara penghasilan yang diterima atau diperoleh WPLN dengan
penghasilan yang diatribusikan (dialokasikan) pada usaha yang dijalankan atau
kegiatan yang dilakukan Indonesia. Selanjutnya atas usaha dan kegiatan
tersebut, Indonesia membedakan lagi antara yang merupakan BUT dan yang
tidak memenuhi ketentuan ambang batas pemajakan tersebut. Walaupun
istilah" Usaha" dan "Kegiatan" dipakai dalam beberapa Pasal dalam UU PPh,
namun belum tampak adanya penjelasan tentang pengertian dari kedua istilah
tersebut. Demikian juga dalam aturan pelaksanaannya. Barangkali, apakah
suatu aktivitas ekonomi merupakan suatu usaha atau kegiatan diserahkan
kepada kasus individual yang ditentukan oleh aturan administrasi atau
pengadilan (misalnya dari Pengadilan Pajak).
1. Bentuk Usaha Tetap “Fasilitas Fisik”
BUT kelompok ini ditengarai dengan adanya fasilitas fisik (aset) yang
merupakan tempat untuk menjalankan sebagian atau seluruh usaha atau
melakukan kegiatan perusahaan WPLN di Indonesia. BUT demikian
sering disebut "asset type" BUT. Tempat usaha demikian dapat merupakan
kepunyaan sendiri, disewa dari pihak lain atau dengan cara lain (misalnya
difasilitasi pihak lain) yang memungkinkan pemanfaatan tempat usaha
tersebut.
2. Bentuk Usaha Tetap “Aktivitas”
BUT yang dikaitkan dengan aktivitas merupakan "deemed" atau "fiksi"
BUT karena dari istilah aktivitas tidak nampak adanya "fixed place of
business" yang dipakai sebagai tempat atau pangkalan untuk menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan secara permanen. Karena bersifat
"deemed", berbeda dengan BUT fasilitas yang harus memenuhi
persyaratan pada definisi umum, aktivitas dimaksud selalu merupakan dan
otomatis menjadi BUT walaupun kurang sejalan dengan kriteria dalam
difinisi umum.
3. Bentuk Usaha Tetap “Keagenan”
Selain ditengarai fasilitas fisik dan aktivitas, BUT dapat eksis karena relasi
bisnis yang berupa keagenan. Dengan hubungan keagenan, pengusaha
WPLN dapat memperoleh penghasilan usaha dari Indonesia tanpa harus
memanfaatkan tempat usaha tetap atau punya aktivitas sendiri. BUT
keagenan disebut "agency-type" BUT, Sesuai dengan kelaziman, terdapat
agen independen dan dependen dan agen yang dapat menjadi BUT hanya
tipe kedua. Penentuan dependensi seorang agen dapat berdasarkan kriteria
legal atau ekonomis, walaupun dalam praktik agak sulit memilah-pilahnya.
Dapat saja seorang agen yang secara legal bertipe independent, tetapi
karena secara ekonomis, misalnya, hanya melayani satu atau sekelompok
(grup) perusahaan atau dalam menjalankan usahanya mendapat instruksi
rinci dari perusahaan WPLN, untuk keperluan pemajakan, dianggap
menjadi tidak independent dan oleh karenanya menjadi BUT. Aktivitas
keagenan dapat dijalankan oleh orang pribadi atau badan baik WPDN
maupun WPLN. Badan tersebut dapat merupakan badan independen atau
anak, cucu, cicit atau asosiasi perusahaan WPLN. Dengan keberadaan
BUT, untuk tujuan administrasi perpajakan, orang pribadi dan badan yang
menjadi agen tersebut mempunyai dua identitas wajib pajak (WPDN atau
WPLN untuk dirinya sendiri dan WPLN untuk BUT). BUT keagenan
muncul pada saat adanya relasi keagenan dan selesai pada saat putusnya
hubungan dimaksud.
4. Bentuk Usaha Tetap “Perusahaan Asuransi”
Penentuan apakah perusahaan asuransi WPLN mempunyai BUT di
Indonesia tidak hanya dengan berdasarkan tempat usaha atau keagenan,
tetapi dapat juga karena penerimaan premi atau penutupan risiko di
Indonesia melalui pegawai (atau agennya). Tanpa adanya agen yang
memenuhi persyaratan dependen (untuk menjadi BUT), dengan kemajuan
IPTEK dan metode usaha asuransi, perusahaan asuransi dan reasuransi
WPLN masih dapat menerima penghasilan usaha dalam jumlah yang
signifikan dari Indonesia. Dengan demikian, nampak bahwa penerimaan
premi atau penutupan risiko melalui pegawainya atau agen (selain
keagenan dependen) dapat memberikan hak pemajakan kepada Indonesia.
Seperti halnya dengan penghasilan dari pemberian jasa pemajakan atas
penghasilan dari premi asuransi dalam UU PPh dianut standar ganda
karena Pasal 26 Ayat 2 menyatakan bahwa atas premi asuransi yang
dibayarkan kepada perusahaan asuransi WPLN dipotong pajak 20% dari
perkiraan penghasilan neto.
5. Perdagangan dengan Metode Elektronis
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi mempermudah
pelaksanaan perdagangan antar perusahaan dan antara perusahaan dengan
konsumen. Fasilitas komputer dengan website dan intranet menyebabkan
pemanfaatan metode elektronis ini secara global. Produk dari perdagangan
secara elekronis (e.c) dapat berupa penjualan produk (fisik atau digital),
pemberian jasa atau pemberian hak atas suatu produk atau hak
(intangibles) kepada pihak lain. Perangkat komputer sebagai media e.c
dapat disediakan oleh perusahaan WPLN dalam suatu tempat, atau
mungkin ikut di server perusahaan lain atau hanya melalui perusahaan jasa
provaider internet (ISP) atau sekarang lewat warung internet (warnet).
Transaksi internasional e.c dapat melibatkan sejumlah uang yang cukup
besar. Untuk mendapatkan bagian dari penghasilan transnasional kegiatan
e.c dimaksud akhir-akhir ini mengemuka masalah kriteria BUT
sehubungan dengan kegiatan e.c. Pengoperasian komputer untuk kegiatan
e.c tersebut dilakukan dari suatu tempat tertentu dapat menimbulkan
adanya BUT fasilitas. Namun kalau pengoperasiannya hanya lewat
website di internet yang hanya fasilitas fisik tentu akan sulit
diklarifikasikan sebagai BUT. Demikian juga, server baru dapat
merupakan BUT kalau mempunyai kualifikasi sebagai tempat usaha
permanen sebagaimana dimaksud dalam difinisi.
6. Lokasi Usaha dan Kegiatan di Indonesia
Secara eksplisit dalam UU PPh belum nampak ada ketentuan secara tegas
yang mengatur kriteria apa yang menentukan bahwa usaha atau kegiatan
dilakukan di Indonesia, selain ketentuan tentang BUT (Pasal 2(5) UU
PPh). Namun, secara sederhana barangkali dapat diberikan contoh yang
gamblang bahwa seseorang yang memberikan jasa professional di
Indonesia dapat dianggap melakukan kegiatan di Indonesia. Dalam
kaitannya dengan berbagai tipe BUT (fasilitas, aktivitas, keagenan, dan
asuransi), lokasi dari fasilitas (misalnya kantor cabang, pabrik, bengkel
atau wilayah kerja penambangan), kegiatan (lokasi proyek) atau
keberadaan (domisili atau tempat kedudukan) agen dapat dirujuk sebagai
fakta atau keadaan yang menunjukkan letak usaha atau kegiatan dilakukan.
Sementara itu, residensi pembayar premi (WPDN) asuransi atau lokasi
risiko (di Indonesia) dapat dirujuk sebagai lokasi penerimaan premi
asuransi atau penutupan resiko (di Indonesia).
7. Penghasilan Domestik dan Luar Negeri Terkait dengan BUT
BUT Dalam Pasal 5 UU PPh disebutkan bahwa atribusi (alokasi)
penghasilan kena pajak kepada BUT dapat didasarkan atas (1) atribusi
faktual (Pasal 5(1)(a)), (2) atribusi tarik paksa (force of attraction- Pasal
5(1)(b)), dan (3) atribusi atas kaitan efektif (Pasal 5(1)(c)). Atribusi fakta
pada umumnya mendasarkan pada fakta (keadaan) perolehan penghasilan
apakah dilakukan sepenuhnya oleh BUT, sedangkan atribusi tarik paksa
mendasarkan pada kesamaan komoditas atau kegiatan yang dilakukan oleh
BUT dengan perusahaan (prinsipalnya) di luar negeri. Masalah akan
timbul apabila komoditas atau kegiatan yang dilakukan principal adalah
bervariasi (multicomuditas and activities), sedangkan untuk BUT hanya
salah satu jenis saja. Dengan semakin majunya komunikasi dan
transportasi tidak tertutup kemungkinan bahwa perusahaan di negara
tetangga terdekat (Singapura, Filipina, Timor Leste, Australia, dan
Malaysia) untuk menghindari pemajakan oleh Indonesia pengusaha
dimaksud meminimalkan kegiatan BUT-nya di Indonesia atau bahkan
dilakukan ekspor langsung barang-barang (misalnya elektonika) dari
negara domisili.
8. Terminasi Bentuk Usaha Tetap
Terminasi Bentuk Usaha Tetap Terminasi BUT dapat terjadi, antara lain,
karena (1) pemekaran (menjadi badan anak perusahaan), (2)
perngambilalihan, atau (3) penutupan usah atau pembubaran (likuidasi).
Untuk tujuan perpajakan, terminasi BUT dapat dipersamakan dengan
terminasi perusahaan WPDN. Pembubaran BUT yang dükuti dengan
penjualan aset dan pembayaran utang atau penarikan aset tersebut dari
Indonesia dapat dikenakan paiak penghasilan apabila terdapat obyek pajak.
Demikian juga dengan pemekaran BUT menjadi anak perusahaan dan
pengambilalihan BUT oleh perusahaan lain baik WPLN maupun WPDN.

3. Operasi Perusahaan Anak


WPLN yang bermaksud untuk memperlebar sayap usaha, kegiatan atau investasinya
di Indonesia dapat melakukannya dengan mendirikan cabang atau anak perusahaan
(subsidiary company). Anak perusahaan dapat terjadi dengan pendirian badan baru
atau pembelian sebagian besar saham badan Indonesia yang sudah berjalan. Dari segi
perpajakan, sementara mendirikan cabang perusahaan dapat memunculkan BUT,
pengoperasian anak perusahaan menimbulkan Wajib Pajak badan dalam negeri
(apabila didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia).
1. Anak Perusahaan Tidak dengan Sendirinya Merupakan Bentuk Usaha Tetap
Berbeda dengan BUT, anak perusahaan merupakan entitas legal mandiri terpisah
dari induk perusahaan walaupun permodalannya dipenuhi dan/atau transaksi usaha
atau kegiatannya dikendalikan oleh induk perusahaan. Sebagai entitas terpisah
dari induk perusahaarn (WPLN), anak perusahaan mempunyai eksistensi sendiri
dan pada umumnya bukan otomatis dengan sendirinya merupakan BUT dari
WPLN dimaksud. Namun, apabila berdasarkan kenyataan anak perusahaan
tersebut bertindak sebagai agen dipenden atau mewakili kepentingan induk
perusahaan anak perusahaan tersebut berpeluang untuk dapat menjadi BUT.
2. Pemajakan Anak Perusahaan
Pemajakan Anak Perusahaan Pada prinsipnya UU PPh tidak menganut
diskriminasi pemajakan antarbadan hanya karena perbedaan status pemegang
sahamnya apakah persero WPDN atau WPLN. Setiap badan, walaupun sahamnya
dimiliki oleh WPDN ataupun WPLN dikenakan pajak dengan ketentuan yang
sama sebagaimana telah dibahas pada Bab II seksi 2. Perbedaan hanya terletak
pada pemajakan atas dividen yang dibagikan kepada badan WPDN (dengan
persyaratan tertentu dapat) dikecualikan dari pengenaan pajak (Pasal 4(3)(f) UU
PPh). Sementara itu, Pasal 26 (1)(a) menyatakan bahwa dividen yang dibagikan
kepada (badan) WPLN selalu terutang pajak per basis bruto dengan tarif 20%.
Karena pembebasan dari pajak atas penghasilan dari partisipasi pemilikan saham
(participation exemption), tidak diperluas dengan persero badan WPLN, tampak
bahwa badan WPDN Iebih mendapat kelonggaran iklim investasi dari WPLN.
Namun hal tersebut dapat dimengerti karena perbedaan status Wajib Pajak.
3. Penghasilan Luar Negeri Anak Perusahaan
4. Penghasilan Luar Negeri Anak Perusahaan Anak perusahaan WPLN pada
umumnya berstatus sebagai WPDN. Oleh karena itu berbeda- dengan BUT yang
dikenakan pajak per basis territorial, anak perusahaan WPLN dikenakan pajak per
basis global. Semua penghasilan yang diperoleh dari luar indonesia baik
penghasilan usaha atau kegiatan melalui suatu BUT diluar indonesia atau
penghasilan pasif maupun katagori lainnya dalam rangka mengaplikasikan
kebijakan netralitas ekspor kapital penghasilan luar negeri tersebut akan
dikenakan pajak (lagi) oleh Indoniesia.
5. Terminasi Anak Perusahaan
Terminasi anak perusahaan dapat terjadi karena, misalnya likuidasi,
penggabungan, peleburan, pengambilalihan. Sedangkan terminasi kepemilikan
saham (mungkin tanpa mengganggu jalannya perusahaan) pada anak perusahaan
dapat terjadi karena pengalihan saham dimaksud. Semua transaksi tersebut di atas
dapat mengakibatkan perolehan atau penerimaan penghasilan (keuntungan).
Keuntungan tersebut merupakan objek pajak. Berbeda dengan terminasi anak
perusahaan, yang keuntungannya dikenakan pajak pertama pada anak perusahaan
tersebut sebagai penghasilan dari pengalihan harta dan baru berikutnya pada
pemegang saham (induk perusahaan sebagai dividen likuidasi), keuntungan dari
terminasi pemilikan saham pada anak perusahaan langsung dikenakan pajak pada
pemegang saham (induk perusahaan sebagai keuntungan pengalihan harta).
Karena anak perusahaannya masih eksis, walaupun pemegang sahamnya (induk)
berbeda, sehubungan dengan terminasi kepemilikan saham tersebut anak
perusahaan tidak tersentuh oleh aspek pemajakan. Apabila pengalihan saham
tersebut dilakukan pada bursa efek di Indonesia, sesuai dengan ketentuan yang
berlaku, penghasilan dari pengalihan tersebut akan dikenakan potongan pajak.
KESIMPULAN

Pajak Penghasilan (Indonesia) dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh dalam tahun pajak. Selintas, ketentuan ini sepertinya menyiratkan
bahwa Indonesia dapat mengenakan pajak kepada siapa saja dan di mana saja. Namun dari
penjelasan nampak bahwa subjek yang dikenakan pajak tersebut terbatas kepada mereka yang
disebut Wajib Pajak, yaitu subjek pajak yang memperoleh atau menerima penghasilan selama
tahun pajak. WPLN dapat memperoleh atau menerima penghasilan dari Indonesia dengan
berbagai cara dan melalui berbagai sarana. Pasal 2 Ayat 4 UU PPh memberikan batasan
tentang siapa WPLN. Sehubungan dengan Orang Pribadi, yang menjadi WPLN adalah
mereka yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, berada di Indonesia tidak lebih dari 183
hari, dan tidak berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai