Anda di halaman 1dari 17

HUBUNGAN TINGKAT STRES DENGAN POLA MAKAN

PADA REMAJA DALAM KOMUNITAS OMK DI


KABUPATEN NGANJUK

NASKAH PUBLIKASI

OLEH:
RAHAJENG ZELLENCIA
NIM 71416014

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
KAMPUS KOTA MADIUN
2021
DAFTAR ISI

Pendahuluan ............................................................................................................................................ 2

Stres ..................................................................................................................................................... 2

Pola makan .......................................................................................................................................... 4

Metode Penelitian.................................................................................................................................... 6

Partisipan ............................................................................................................................................. 6

Alat Ukur Penelitian ............................................................................................................................ 6

Teknik Analisis Data ........................................................................................................................... 7

Hasil Penelitian ....................................................................................................................................... 9

Kesimpulan ........................................................................................................................................... 13

Keterbatasan dan Saran ..................................................................................................................... 13

Daftar Pustaka ....................................................................................................................................... 14


Hubungan Tingkat Stres Dengan Pola Makan Pada Remaja Dalam
Komunitas OMK Di Kabupaten Nganjuk

Rahajeng Zellencia
Fakultas Psikologi
Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya Kampus Kota Madiun
Zellenciar@gmail.com

Abstrak- Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa yang
menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan termasuk pada aspek psikologis.
Perubahan yang terjadi cenderung menekan para remaja sehingga menimbulkan stres. Stres
yang terjadi memiliki beberapa tingkatan, setiap tingkatan memiliki efek-efek negatif untuk
remaja dan mengakibatkan perubahan perilaku terutama perilaku makan sehari-hari. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk melihat hubungan tingkat stres dengan pola makan pada
remaja. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan skala tingkat
stres dan skala pola makan sebagai alat pengumpul data. Data tersebut diolah menggunakan
Spearman’s rho. Hasil penelitian ini diperoleh koefisien korelasi sebesar 0,537 dengan nilai
signifikansi p=0.000 (p<0.05). Dengan demikian dapat diketahui bahwa ada hubungan antara
tingkat stres dengan pola makan pada remaja.
Kata Kunci: Tingkat Stres, Pola Makan, Remaja
Abstract- Adolescence is a period of transition from childhood to adulthood that lead to
growth and development, including the psychological aspect. The changes that occur tend to
pressure teenagers, causing stress. The stress that occurs has several levels, each level has
negative effects for adolescents and results in changes in behavior, especially daily eating
behavior. The purpose of this study was to see the relationship between stress levels and diet
in adolescents. This study uses quantitative methods using a stress level scale and a dietary
scale as a means of collecting data. The data were processed using Spearman’s rho. The
results of this study obtained a correlation coefficient of 0.537 with a significance value of p
= 0.000 (p <0.05). Thus it can be seen that there is a relationship between stress levels and
diet in adolescents.
Keywords: Stress Level, Eating, Teen

1
Pendahuluan

Masa remaja adalah masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa yang
dimulai sejak individu matang secara fisik (seksual) dan berakhir ketika individu mencapai
usia matang. Menurut Santrock (2007) masa remaja merupakan periode transisi
perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan
biologis, kognitif, dan sosioemosional, yang dimulai dari rentang usia 10 hingga 13 tahun dan
berakhir pada usia sekitar 18 hingga 22 tahun. Perubahan biologis yang terjadi di antaranya
adalah pertambahan tinggi tubuh yang cepat, perubahan hormonal, dan kematangan alat
reproduksi. Pada kognitif, perubahan yang terjadi seperti meningkatnya kemampuan berpikir
abstrak, idealistik, dan logis. Sementara, perubahan sosioemosional yang dialami remaja
seperti kemandirian, keinginan untuk lebih sering meluangkan waktu bersama teman sebaya,
dan mulai muncul konflik dengan orang tua (Santrock, 2007). Masa remaja juga dikenal
sebagai periode ''badai dan tekanan'' atau ''storm and stress". Pada sebagian besar remaja,
hambatan-hambatan dalam kehidupan mereka akan sangat menganggu kesehatan fisik dan
emosi mereka. Hambatan-hambatan tersebut di antaranya seperti lingkungan sekitar yang
kurang mendukung, lingkungan teman dan keluarganya dan lain-lain.
Stres merupakan suatu fenomena universal yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari
dan tidak dapat dihindari serta akan dialami oleh setiap orang. Stres dapat didefinisikan
sebagai sebuah keadaan yang kita alami ketika ada sebuah ketidak sesuaian antara tuntutan-
tuntutan yang diterima dan kemampuan untuk mengatasinya (Gregson & Looker, 2005).
Slamet dan Markam (2008) mengemukakan bahwa stres adalah suatu keadaan dimana beban
yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu.
Yosep (2009) mengatakan bahwa stres sebagai keadaan atau kondisi yang tercipta bila
transaksi orang yang mengalami stres dan hal yang dianggap mendatangkan stres membuat
orang yang bersangkutan melihat ketidaksepadanan baik nyata atau tidak nyata antara
keadaan atau kondisi dan sistem sumber daya biologis, psikologis dan sosial ada padanya.
McGrath&Welham (2006) menjelaskan bahwa stres merupakan keadaan individu yang
mengalami ketidakseimbangan atau kegagalan dalam memenuhi atau mengatasi sesuatu yang
bersifat jasmani dan rohani. Dari berbagai pengertian, dapat disimpulkan bahwa stres
merupakan keadaan tertekan yang dialami oleh seseorang yang disebabkan oleh tuntutan
internal dan eksternal yang tidak terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri terhadap situasi tersebut dan merupakan keadaan dimana seseorang merasa
2
beban yang dimiliki tidak sepadan dengan kemampuannya untuk mengatasi beban tersebut.
Stres memiliki beberapa aspek. Aspek stres menurut Arden (2006) adalah: a.) aspek fisik
yang meliputi gangguan penernaan, tubuh terasa lemas, perubahan pola makan dan
mengalami insomnia.. b) aspek perilaku, didalamnya terdapat perasaan yang mudah berubah
(moody), ingatan terganggu, cemas dan merasa diri terjepit pleh keadaan dan c) aspek
perilaku yang meliputi agresifitas akibat dari rasa marah, sedih kecewa, menjadi pelupa,
sering mengalami kepanikan. Kemudian Potter & Perry (2005) membagi tingkatan stres
menjadi stres ringan, sedang dan berat. Stres ringan adalah stres yang dihadapi setiap orang
secara teratur, umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya: lupa, kebanyakan tidur,
kemacetan, dikritik. Situasi ini biasanya berakhir dalam beberapa menit atau beberapa jam
dan biasanya tidak akan menimbulkan penyakit kecuali jika dihadapi terus-menerus. Stres
sedang terjadi lebih lama dari beberapa jam sampai beberapa hari. Misalnya perselisihan
kesepakatan yang belum selesai,dikarenakan kerja yang berlebihan, mengharapkan pekerjaan
baru, adanya permasalahan keluarga. Situasi seperti tersebut dapat mempengaruhi pada
kondisi kesehatan seseorang. Stres berat merupakan stres kronis yang terjadi beberapa minggu
sampai beberapa tahun misalnya penyakit fisik yang lama. Makin sering dan makin lama
situasi stres, makin tinggi resiko kesehatan yang ditimbulkan. Amberg (dalam Sunaryo, 2004)
juga membagi stres menjadi enam tingkatan, yang tiap tingkatan-tingkatannya memiliki efek
yang cenderung negatif pada seseorang. Kemunculan stres yang dialami remaja awal
dikarenakan ketidaksesuaian antara angan -angan yang tinggi dengan kenyataan. Keinginan
atau angan-angan remaja yang tidak terwujud, mengakibatkan remaja cepat mengalami stres,
sehingga timbul perilaku negatif (Aryani, 2016). Stres yang dialami remaja cenderung dapat
menimbulkan berbagai masalah fisik seperti badan mudah lelah, gangguan pada pencernaan,
tingkah laku remaja seperti agresifitas, konsentrasi mulai menurun, mudah lupa, dan
kemampuan dalam mengambil keputusan juga menurun. Menurut Nasution (2007) Stres pada
remaja juga disebabkan karena tuntutan dari orangtua dan orang di sekitarnya. Beban berat
yang dialami oleh remaja bisa menyebabkan stres, dan mengganggu pola makan mereka.
Menurut Baldwin (2002) dalam menghadapi pelajaran yang berat di sekolah menimbulkan
stres pada remaja, terutama bagi mereka yang duduk di bangku SMA karena pada saat ini
remaja cenderung mengalami tekanan untuk mendapat nilai yang baik agar bisa masuk ke
universitas favorit. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Walker (2002) pada 60 orang
remaja menghasilkan bahwa penyebab utama masalah yang ada pada remaja berasal dari
hubungan dengan teman dan keluarga, dan juga dari tekanan dan harapan dari diri mereka
3
sendiri dan orang lain, tekanan dari sekolah, oleh guru dan lain sebagainya. Walker (2002)
mengatakan bahwa stres juga menimbulkan berbagai dampak, salah satunya berdampak pada
pola makan seseorang.
Pola makan merupakan banyaknya atau jumlah pangan, secara tunggal maupun
beragam, yang dikonsumsi seseorang atau kelompok orang yang bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan fisiologis, psikologis, dan sosiologis. Tujuan fisiologis adalah upaya untuk
memenuhi keinginan makan (rasa lapar) atau untuk memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan
tubuh. Tujuan psikologis adalah untuk memenuhi kepuasan emosional atau selera, sedangkan
tujuan sosiologis adalah untuk memelihara hubungan manusia dalam keluarga atau
masyarakat. Pola makan atau pola konsumsi pangan merupakan kegiatan terencana dari
seseorang atau merupakan sebuah acuan dalam pemilihan makanan dan penggunaan bahan
makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi jenis makanan, jumlah makanan,
dan frekuensi makan (sediaoetama, 2000). Menurut Baliwati (2004) pola makan remaja perlu
penanganan yang serius karena mempengaruhi kecerdasan otak dan tingkat kesehatan yang
optimal. Pemberian makanan perlu diatur sesuai dengan kecukupan gizi yang dianjurkan.
Pola makan juga didefinisikan sebagai upaya dalam pemilihan makanan yang akan diasup
secara individu maupun kelompok, sebagai akibat dari adanya efek fisiologis, psikologi,
budaya dan sosial, (Sulistyoningsih, 2011). Sesuai pendapat Carolin (2013) stres dapat
mempengaruhi perubahan fungsi fisiologis sistem tubuh, salah satunya adalah sistem
pencernaan dimana stres menurunkan nafsu makan, membuat lambung kosong, meningkatkan
asam lambung sehingga menimbulkan rasa nyeri pada lambung. Pola makan memiliki
komponen-komponen menurut Sulistyoningsih (2011) yaitu: a) jenis makan. Jenis makan
adlaah bahan makan yang bervariasi yang jika dimakan, dicerna dan diserap menghasilkan
sususanan menu yang sehat dan seimbang dan mengandung nutrisi lengkap seperti
karbohidrat, protein, vitamin, lemak dan mineral. b) jumlah porsi makan. Merupakan suatu
ukuran makan yang dikonsumsi pada setiap kali makan. Dan c) frekuensi makan. Frekuensi
makan adalah jumlah makan dalam sehari-hari
Menurut Musbikin (2004), untuk sebagian orang yang jika mengalami kekecewaan
atau kesedihan akan memilih makan sebagai penawarnya, kemudian ia akan makan sepuas-
puasnya. Pelampiasan tersebut kalau diteruskan berulang-ulang, tentu bobot tubuh akan
bertambah. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan Robiah (2012) di Fakultas
MIPA Universitas Indonesia (FMIPA UI) yang menyatakan bahwa adanya hubungan tingkat
stres dengan pola makan pada mahasiswa tingkat akhir di FMIPA UI. Responden dengan
4
tingkat stres berat beresiko 6,5 kali lebih besar untuk memiliki pola makan yang tidak baik
dibandingkan responden dengan tingkat stres ringan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Surilena & Agus (2006) menyatakan bahwa orang-orang yang menderita stres memiliki
kecenderungan tidak memperhatikan pola makan dan aktivitas fisiknya berkurang sehingga
mengakibatkan berat badan menjadi naik dan menjadi gemuk. Kenaikan berat badan itu
diakibatkan karena asupan karbohidrat, protein dan lemak terlalu tinggi dan tidak ada aktivitas
fisik untuk membakar energi tersebut. Dalam keadaan tertentu, stres tugas beban kerja tinggi
terjadi peningkatan asupan energi, lemak, karbohidrat dan protein (Chaput & Tremblay,
2007). Hal yang sama juga terjadi di lingkungan yang sedang diteliti. Peneliti melakukan
wawancara kepada enam remaja, masing-masing rentang usia antara 15 sampai 19 tahun.
Menurut empat remaja yang diwawancarai, mereka stres karena tuntutan orangtua yang tidak
melihat kemampuan mereka, mereka dipaksa mengikuti berbagai macam les dan bimbingan
belajar agar bisa masuk universitas yang bergengsi, ketika remaja ini menolak karena sudah
capek pagi sekolah dan harus menguras tenaga dan pikiran mereka di tempat bimbingan
belajar, orangtua justru berkata jika tidak patuh orangtua, orangtua mereka kecewa. Remaja
ini ingin sekali membahagiakan orangtua dengan apa yang mereka capai dari hasil
kemampuan mereka sendiri bukan hasil dari paksaan. Hal ini membuat mereka rentan
mengalami stres sehingga menganggu tidur serta mempengaruhi pola makan mereka, keempat
remaja ini memiliki pola makan yang berbeda-beda ketika stres melanda, ada yang makan
sedikit sampai berat badan mereka turun 15kg hingga ada yang makan banyak sampai naik
menjadi 7kg. Sedangkan yang dua remaja adalah remaja awal yang baru memasuki dunia
kuliah, mereka mengatakan bahwa kuliah yang mereka jalani saat ini berbeda dengan apa
yang dibayangkannya. Harus bisa mengontrol keuangan, mengerjakan tugas semaksimal
mungkin yang menurut mereka itu menguras tenaga dan fikiran, dan harus jauh dari orangtua
merupakan tantangan tersendiri dan menjadikan mereka stres dan tanpa disadari mereka mulai
tidak memperhatikan pola makan.
Dari paparan di atas dapat dilihat bahwa ada kemungkinan pola makan dipengaruhi
oleh stres. Maka dari itu peneliti merasa perlu untuk meneliti fenomena yang terjadi karena
fenomena ini akan mempengaruhi fisik serta mental remaja. Juga adanya fenomena ini
membuat peneliti ingin mengetahui lebih lanjut tentang hubungan tingkat stres dengan pola
makan pada remaja.

tidak memperhatikan pola makan.

5
Metode Penelitian

Partisipan
Total partisipan pada penelitian ini adalah 91 remaja perempuan 65 dan remaja laki-laki
sebanyak 26 yang memasuki tahap perkembangan remaja madya yang tergabung dalam OMK
(Orang Muda Katolik) yang berada di Kabupaten Nganjuk dengan karakteristik subjek dalam
penelitian ini sebagai berikut: a) berjenis kelamin laki-laki dan perempuan yang berada di
kabupaten Nganjuk, b) sedang berada pada tahap perkembangan remaja madya yang memiliki
rentang usia 15-17 tahun untuk yang masih bersekolah (SMA) dan rentang usia 18 sampai 19
tahun untuk yang kuliah dan c) sedang bersekolah atau kuliah. Alasan Peneliti memiliki
remaja Komunitas OMK di Kabupaten Nganjuk selain alasan yang telah disebutkan diatas
yaitu karena memiliki karakteristik yang sesuai juga karena Kabupaten Nganjuk merupakan
sebuah Kabupaten yang tergolong kecil dan hanya memiliki satu universitas dan beberapa
sekolah yang bagus dalam hal pendidikan dan itu cenderung membuat mereka memilih untuk
melanjutkan pendidikan di sekolah atau pun di universitas di kota lain. Karena jika di kota
lain maka menjadi banyak pula saingan para OMK untuk bisa masuk di sekolah maupun
universitas tersebut, hal ini membuat mereka merasa tertekan hingga mengalami stres dan
menganggu pola makan mereka karena agar bisa masuk mengikuti bimbingan belajar yang
tidak ada hentinya sehingga membuat mereka lelah dan tertekan secara mental juga fisik.
Sampel pada penelitian ini menggunakan teknik total sampling. Total sampling adalah teknik
pengambilan sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi (sugiyono, 2007). Alasan
menggunakan teknik total sampling karena subjek dibawah 100 jadi seluruh subjek nantinya
akan digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini.

Alat Ukur Penelitian


Alat Ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan alat ukur berupa
skala yaitu skala likert. Skala likert pada penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti berdasarkan
tiga aspek pada stres menurut Arden (2006) yaitu aspek fisik, aspek psikologis, dan aspek
perilaku. Skala pola makan disusun dari komponen pola makan menurut Sulistyoningsih
(2011) yaitu jenis makan, jumlah makan dan frekuensi makan. Alasan peneliti menggunakan
skala likert karena skala ini mempunyai gradasi dari sangat positif hingga sangat negatif,
sedangkan respon jawaban yang akan diberikan pada subjek adalah berupa kata-kata sangat
setuju (SS), setuju (S), tidak setuju (TS), sangat tidak setuju (STS), item pernyataan terdiri
6
dari item-item yang bersifat favorable yang mendukung terhadap indikator variabel yang
diungkap dan item-item yang bersifat unfavorable yang menunjukkan tidak mendukung
terhadap indikator variabel yang diungkap. Penelitian ini meniadakan jawaban Ragu-ragu
karena merupakan pilhan tengah dikarenakan kebanyakan subyek akan memilih pilihan
tengah atau netral sehingga memungkinkan terjadinya bias dan data mengenai perbedaan
antara responden menjadi kurang informatif (Azwar, 2012). Jenis validitas terhadap alat ukur
dilakukan dengan cara validitas isi (Content Validity). Menurut Azwar (2012) validitas isi
adalah validitas yang diestimasi melalui pengujian terhadap isi tes dengan dosen pembimbing
sebagai analisa profesional (profesional judgement) untuk menunjukkan sejauh mana aitem-
aitem dalam tes mencakup keseluruhan kawasan yang akan diukur. Azwar (2012) juga
menyampaikan bahwa reliabilitas merujuk pada pengertian konsistensi atau stabilitas, yaitu
sejauh mana pengukuran tersebut dapat memberikan hasil yang relatif tidak berbeda bila
dilakukan pengukuran kembali terhadap subjek yang sama. Reliabilitas dinyatakan oleh
koefisien reliabilitas (rxy) yang angkanya berada dalam rentang dari 0 sampai dengan 1,00.
Semakin tinggi koefisien reliabilitasnya mendekati angka 1,00 berarti semakin tinggi
reliabilitasnya. Sebaliknya, koefisien yang semakin rendah mendekati 0 berarti semakin
rendah reliabilitasnya. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji reliabilitas dengan nilai
minimal koefisien reliabilitas untuk setiap variabel dengan nilai Alpha Cronbach mencapai ≥
0,7. Kemudian akan menggunakan kategorisasi untuk melihat berapa responden atau subjek
atau partisipan yang mengalami stres dengan pola makan rendah, sedang dan tinggi.
Ditambah pula dengan cross tabulation atau tabulasi silang antar variabel.

Teknik Analisis Data


Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis kuantitatif, merupakan
metode analisis dengan angka-angka yang dapat dihitung dan diukur dengan menggunakan
alat analisis statistik. Dalam penelitian ini menggunakan bantuan program Statistical Package
for Social Sciences (SPSS) untuk menganalisis data kuantitatif. Adapun uji yang digunakan
dalam penelitian ini adalah uji normalitas, uji linieritas, dan uji hipotesis. Uji normalitas
dilakukan untuk mengetahui kedua variabel terdistribusi secara normal atau tidak. Uji
normalitas dalam penelitian ini menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov dengan ketentuan jika
p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa terdistribusi secara normal, dan apabila P < 0,05
maka dapat disimpulkan tidak terdistribusi secara normal. Namun apabila uji normalitas tidak

7
terpenuhi maka data akan diolah menggunakan teknik statistic non parametrik, yaitu
Spearman Rho.iUji Linieritas digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel pada
penelitian yang dihubungkan mempunyai hubungan linier atau tidak secara signifikan. Uji
linier antara satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Uji linieritas dilakukan dengan
menggunakan test for linierity dalam aplikasi Statistical Package for Social Sciences for
Windows versi 19.0 (SPSS). Dua variabel dapat dikatakan linier apabila mempunyai
hubungan yang linier signifkasi (linierity) p < 0.05. Uji Linieritas digunakan untuk
mengetahui apakah variabel-variabel pada penelitian yang dihubungkan mempunyai
hubungan linier atau tidak secara signifikan. Uji linier antara satu variabel bebas dan satu
variabel terikat. Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan test for linierity dalam aplikasi
Statistical Package

8
Hasil Penelitian

Pada alat ukur skala pola makan didapatkan bahwa dari 16 aitem yang diuji terdapat
12 aitem sahih dan empat aitem gugur. Empat aitem yang harus dieliminasi tersebut karena
nilai corrected item-total lebih kecil dari nilai yang sudah ditentukan yaitu 0,25. Pada putaran
pertama dapat diketahui empat yang gugur yaitu aitem no 10,12,15 dan 16 dengan kisaran
nilai corrected item-total -0.014 – 0.821. Kemudian melakukan putaran kedua dan diketahui
tidak ada aitem yang gugur dengan kisaran nilai corrected item-total 0.463 – 0.798 yang
artinya sudah valid. Pada alat ukur Pola Makan didapatkan koefisien Alpha Cronbach sebesar
0.913 dengan range koefisien corrrected item-total 0.463 sampai 0.798 Menurut Azwar
(2012) suatu skala dinyatakan reliabel apabila hasil koefisien Alpha Cronbach lebih dari 0.7
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skala pola makan pada penelitian ini reliabel.
Pada alat ukur tingkat stres hasil uji validitas ini diketahui bahwa dari 30 aitem yang
diuji terdapat 29 aitem yang sahih dan satu aitem gugur dan harus dieliminasi. Satu aitem
yang harus dieliminasi tersebut karena nilai corrected item-total lebih kecil dari nilai yang
sudah ditentukan yaitu 0,25. Pada putaran pertama dapat diketahui satu aitem yang gugur
yaitu aitem nomor 25 dengan kisaran nilai corrected item-total 0,117 – 0,764. Kemudian
melakukan putaran kedua dan mendapatkan hasil bahwa tidak ada aitem yang gugur dengan
kisaran nilai 0,404 – 0,757 Hasil uji reliabilitas skala tingkat stres menunjukkan bahwa
koefisien reliabilitas Alpha Cronbach sebesar 0,949. Menurut Azwar (2012) suatu skala
dinyatakan reliabel apabila hasil koefisien Alpha Cronbach lebih dari 0,7 dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa skala tingkat stres pada penelitian ini reliabel.
Selanjutnya peneliti melakukan uji asumsi (normalitas dan linieritas). Uji normalitas
pada skala pola makan mendapat nilai sig (p) sebesar 0.012 (p<0.05) dan pada skala tingkat
stres juga mendapatkan nilai sig (p) sebesar 0.012 (p<0.05). Sehingga dapat dikatakan bahwa
data tersebut tidak terdistribusi dengan normal, maka peneliti menggunakan uji non
parametrik Spearman rho sebagai gantinya.
Uji Linieritas digunakan untuk mengetahui apakah variabel-variabel pada penelitian
yang dihubungkan mempunyai hubungan linier atau tidak secara signifikan. Uji linier antara
satu variabel bebas dan satu variabel terikat. Uji linieritas dilakukan dengan menggunakan test
for linierity dalam aplikasi Statistical Package for Social Sciences for Windows versi 19.0
(SPSS). Dua variabel dapat dikatakan linier apabila mempunyai hubungan yang linier

9
signifkasi (linierity) p < 0.05. Uji linieritas antara skala tingkat stres dengan pola makan
diperoleh nilai p <0.05 yaitu sebesar 0.000. Oleh karena itu uji linieritas terpenuhi.
Berdasarkan uji hipotesis yang telah dilakukan dengan menggunakan uji statistik non-
parametrik Spearman rho didapatkan hasil bahwa koefisien korelasi tingkat stres dengan pola
makan sebesar 0,537 dengan p < 0,05 maka dapat disimpulkan jika hipotesis dalam penelitian
ini diterima. Peneliti juga akan mencantumkan hasil kategorisasi variabel tingkat stres dan
variabel pola makan. Dibawah ini dapat diketahui bahwa remaja yang mengalami stres rendah
8 orang, stres sedang 64 orang dan stres tinggi 19 orang. Dan untuk variabel pola makan dapat
diketahui bahwa terdapat 12 remaja memiliki pola makan rendah saat mengalami stres rendah,
sebanyak 46 memiliki pola makan sedang dan 33 remaja memiliki pola makan tinggi.
Kategori Batasan Jumlah subjek persentase
Rendah X < 57 8 8,8%
Sedang 58≤ X86 64 70,3%
Tinggi 87 ≤ X 19 20,9%
Gambar 1: hasil kategorisasi variabel tingkat stres

Kategori Batasan Jumlah subjek Persentase


Rendah X < 23 12 13,2%
Sedang 24 ≤ X 35 46 50,5 %
Tinggi 36 ≤ X 33 36,3%
Gambar 2 :kategorisasi variabel pola makan

Kemudian peneliti juga mencatumkan cross tabulation atau tabulasi silang dengan hasil
bahwa saat mengalami stres tinggi pola makan rendah hanya terdapat pada 1 subjek saja, saat
mengalami stres tinggi terdapat 10 subjek memiliki pola makan sedang. Terdapat 11 subjek
saat mengalami stres tinggi pola makan tinggi, terdapat 11 subjek yang mengalami stres
sedang dan pola makannya rendah, 27 subjek mengalami stres sedang pola makan juga
sedang, dan 22 subjek saat mengalami stres sedang memiliki pola makan tinggi. Terdapat 9
subjek saat mengalami stres rendah pola makannya sedang. Lebih jelasnya dengan gambar
dibawah ini:

TINGKAT STRES
POLMAK Rendah Sedang Tinggi Grand Total
Rendah 0 11 1 12
Sedang 9 27 10 46
Tinggi 0 22 11 33
Grand Total 9 60 22 91
Gambar 3: Cross Tabulation variabel tingkat stres dengan variabel pola makan
10
Diskusi
Pada penelitian ini dapat diketahui bahwa terdapat hubungan tingkat stres dengan pola
makan pada remaja. hal ini terbukti dari hasil uji hipotesis yang menujukkan nilai koefisien
korelasi sebesar 0.537 dan nilai sig sebesar 0.000 (p<0.05). Namun arah korelasi pada
penelitian ini positif. Korelasi positif menurut Sudijono (2010) artinya bahwa variabel tingkat
stres dengan pola makan memiliki hubungan atau berkolerasi namun sifat korelasi yang
positif. Korelasi yang positif artinya antara variabel X dengan variabel Y berjalan pararel atau
kedua variabel menunjukkan arah yang sama. Penyebab bisa terjadi korelasi yang positif
karena ada faktor lain yang menyebabkan hubungan dalam penelitian ini positif seperti
adanya faktor eksternal misalnya pola asuh orangtua dan budaya yang berada disana sehingga
membuat partisipan ketika mengalami stres pola makan sedikit berubah.
Dari hasil pengkategorian tingkat stres pada gambar 3 dapat diketahui bahwa dari
91 responden terdapat 8 subjek (8,8%) termasuk dalam kategori stres rendah seperti gugup
berlebihan, ketika bangun pagi tidak semangat dan mulai mengalami gangguan sistem
pencernaan (Amberg, dalam Sunaryo 2004). Sebanyak 64 subjek (70,3%) termasuk dalam
kategori stres sedang seperti gangguan pencernaan sering terjadi, badan lemas dan pola makan
mulai terganggu (Amberg, dalam Sunaryo 2004). Dan 19 subjek (20,9%) termasuk kategori
tinggi seperti konsentrasi menurun tajam, mulai mengalami gangguan tidur dan mulai
mengabaikan makan. Dari pengkategorian ini dapat disimpulkan bahwa dari 91 subjek
sebagian besar memiliki tingkat stres yang sedang, tidak rendah maupun tidak tinggi yang
artinya mulai terjadi ganggauan pencernaan, badan lemas dan pola makan mulai terganggu.
Jika stres berlanjut atau bertahan, kelenjar adrenal melepaskan hormon lain yang disebut
kortisol, dan hormon ini yang akan memiliki efek untuk meningkatkan nafsu makan dan juga
meningkatkan motivasi secara keseluruhan, termasuk motivasi untuk makan (Stopller, 2017).
Dari hasil pengkategorian pola makan pada gambar 2 dapat diketahui bahwa dari 91
responden terdapat 12 subjek (13,2%) termasuk dalam kategori rendah atau pola makan tidak
bernutrisi, jumlah porsi sedikit dan tidak teratur porsi karbohidrat yang lebih banyak dalam
satu piring dan tidak lengkap juga protein dan vitamin dalam satu piring (Fitriana,2013).
Sebanyak 46 subjek (50,5%) termasuk dalam kategori sedang atau pola makan sedikit
bernutrisi, karena dalam satu piring agak banyak karbohidrat, agak banyak vitamin dan
protein sehingga tidak seimbang (Fitriana, 2013). Dan sebanyak 33 subjek (36,3%) termasuk
kategori tinggi, yang didalamnya bernutrisi sangat lengkap dan seimbang, dalam satu
piringnya terdapat ½ sayur dan buah-buahan sebagai sumber vitamin, ¼ diisi protein baik dari
11
hewani maupun nabati dan ¼ diisi oleh karbohidrat. Dalam pola makan tinggi jumlah porsi,
jenis dan frekuensi sangat seimbang dan teratur sehingga menghasilkan energi yang optimal
bagi tubuh (Fitriana, 2013).
Berdasarkan hasil cross tabulation pada gambar 3 dapat diketahui bahwa saat
mengalami stres tinggi pola makan rendah hanya terdapat pada 1 subjek saja, yang artinya
pola makan sangat tidak teratur dalam hal jenis, jumlah dan frekuensi karna tidak imbangnya
dalam satu piring antara karbohidrat, protein dan vitamin (Fitriana, 2013). Saat mengalami
stres tinggi terdapat 10 subjek memiliki pola makan sedang atau artinya memiliki sedikit
nutrisi karena dalam satu piring terdapat agak banyak karbohidrat, agak banyak protein dan
vitamin (Aryani, 2013). Terdapat 11 subjek saat mengalami strestinggi pola makan tinggi,
yang artinya nutrisi tercukupi dan sangat lengkap serta sangat seimbang, karena dalam satu
piring terdapat ½ sayur dan buah, ¼ protein dan ¼ karbohidrat serta jumlah porsi, jenis dan
frekuensi teratur (Fitriana, 2013). Terdapat 11 subjek yang mengalami stres sedang dan pola
makannya rendah, 27 subjek mengalami stres sedang pola makan juga sedang, dan 22 subjek
saat mengalami stres sedang memiliki pola makan tinggi. Terdapat 9 subjek saat mengakamu
stres rendah pola makannya sedang.
Hasil penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh wirdah
(2012) tentang hubungan stres dengan pola makan, dalam penelitian tersebut mengatakan
bahwa tidak semua orang yang stres mengalami perubahan nafsu makan. Namun dalam
penelitian ini pola makan yang dialami remaja saat mengalami stres cenderung mengalami
perubahan sedikit sehingga saat mengalami stress pola makan remaja menjadi sedang.
Menurut Fitriana (2013) pola makan sedang merupakan pola makan yang berada diantara pola
makan tinggi dan pola makan rendah, karena berada ditengah-tengah maka dalam hal porsi,
jenis dan frekuensi makan dalam satu piring pola makan yang sedang terdapat makanan yang
mengandung agak banyak karbohidrat agak banyak protein dan vitamin, sehingga tidak bisa
seimbang dan tubuh tidak bisa memberikan energi yang maksimal untuk kita beraktivitas
sehari-hari atau bisa dikatakan artinya pola makan yang dialami remaja cenderung sedikit
terjadi perubahan saat mengalami stres. Namun penelitian ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Maike (2018) yang menyatakan bahwa pola makan pada dasarnya dipengaruhi
oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang dialami oleh remaja pasti
berbeda satu dengan remaja lainnya, misal faktor internal yaitu berupa emosi, emosi disini
bisa berupa emosi positif dan negatif. Emosi negatif seperti marah, sedih dan kecewa, emosi-
emosi negatif ini kemudian menekan para remaja sehingga menyebabkan remaja cenderung
12
mengalami stres sehingga akan menggangu pola makan. Sementara faktor eksternal yaitu
berupa perilaku yang didapat dari emosi yang sedang dirasakan oleh remaja, bisa berupa
faktor yang berasal dari luar remaja seperti segi ekonomi, dan ketersediaan bahan pangan.
Faktor lain disebutkan oleh Nasution (2007) yang menyatakan bahwa stres yang dialami
remaja juga disebabkan karena tuntutan dari orangtua dan orang disekitar atau lingkungan
sekitarnya. Faktor lainnya juga bisa berasal dari pola asuh orangtua itu sendiri terutama pola
asuh yang cenderung otoriter sehingga menekan keadaan subjek dan faktor budaya atau
lingkungannya seperti misalnya saat berada di rumah dalam keadaan stres ataupun tidak tetap
disuruh untuk makan, beda dengan saat berada di perantauan atau di tempat yang jauh dengan
orangtua, pola makan cenderung semaunya sendiri.

Kesimpulan
Hipotesis dalam penelitian ini diterima, bahwa ada hubungan tingkat stres dengan pola makan
pada remaja, namun arah hubungan penelitian ini cenderung positif. Dari 91 partisipan yang
terlibat dalam penelitian ini sebanyak 70,3% ( atau sebanyak 64 partisipan) mengalami stres
sedang dengan pola makan yang sedang juga. Hal ini bisa terjadi karena adanya faktor lain
atau faktor diluar penelitian seperti pola asuh orangtua dan budaya yang berada disana.

Keterbatasan dan Saran


Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu penelitian ini memiliki dua skala yaitu skala tingkat
stres dan skala pola makan, jumlah aitemnya ada yang terlalu banyak dan sedikit, sehingga
tidak seimbang, serta kurangnya data pendukung diawal, sehingga data yang didapat kurang
maksima dan kurang tergali dengan dalam. penelitian ini dilakukan ketika adanya pandemi
COVID-19 yang sedang terjadi di seluruh dunia, sehingga membuat peneliti tidak bisa
bertemu langsung dengan responden dan peneliti tidak memperhatikan faktor pola asuh
orangtua dan kondisi sosial budaya di lokasi penelitian, sehingga menimbulkan hubungan
yang positif. Untuk penelitian selanjutnya agar peneliti lebih baik dalam memastikan alat ukur
yang akan diberikan, menjalankan try-out terlebih dahulu sebelum menyebarkan data agar
hasil yang akan didapat akan sesuai dan agar tidak terjadi hubungan korelasi yang cenderung
positif. Penelitian selajutnya juga diharapkan untuk lebih ekstra dalam memperhatikan situasi
dan kondisi disana. Saat melakukan observasi dan wawancara juga harus dilengkapi dengan
survey terlebih dahulu agar data yang didapatkan lebih tepat dan akurat.

13
Daftar Pustaka
Arden, J. B. (2006). Bekerja Tanpa Stres. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer

Arikunto, S. (2010). Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Jakarta:Rineka Cipta.

Aryani, F. (2016). Stres Belajar Suatu Pendekatan Dan Intervensi Konseling. Makassar:
Edukasi Mitra Grafika.

Azwar, S. (2012). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Baldwin, R.D. (2002). Stress and illnes in Adolescende: Issue of Race and Gender.
http://www.fidarticles.com

Baliwati, F. (2004). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Penebar Swadaya.

Carolin. (2013). Tingkat Stres Manusia. Jakarta : EGC.

Chaput J.P. & Tremblay, A. (2007). Acute effects of knowledge-based work on feeding
behavior and energy intake. Physiology & Behavior, 90,66-72

Fitriana. (2013). Faktor yang Behubungan dengan Kejadian Gizi Lebih pada Remaja Di
Perkotaan. Unnes Journal of Public Health, 2(1), 2-8.

Maike, M. (2018). Hubungan Tingkat Stres dengan Pola Makan Anak Usia Sekolah.Skripsi

McGrath, J., & Welham, J. (2006) . Strss dalam collage mental health pratice. Editor: Paul A.

Musbikin, I. (2004). Kiat-Kiat Sukses Melawan Stres. Surabaya: Jawara

Nasution,. (2007). Stres Pada Remaja.Skripsi

Potter, P. A & Perry, A.G. (2005). Fundamental Keperawatan, edisi 4. Jakarta:


Buku Kedokteran EGC.kripsi skripsi skripsi

Robiah, R. S. (2012). Hubungan Tingkat Stres dengan Pola Makan pada


Mahasiswa Tingkat Akhir di Salah Satu Fakultas Rumpun Sains dan Teknologi
Universitas Indonesia. Diunduh tanggal 16 Oktober 2020 dari http://www.ui.ac.id

Santrok, J.W. (2007). Perkembangan Anak Jilid 1 edisi kesebelas. Jakarta: PT Erlangga

Sediaoetama. (2000). Ilmu Gizi untuk Masyarakat & Profesi Jilid 1. Jakarta: PT

Dian Raya.
14
Slamet & Markam. (2008). Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta; UI Press

Sudijono. (2010). Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada

Sugiyono. (2007). metodologi penelitian kuantitatif dan R&D. Bandung: CV alfabeta

Sunaryo. (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC

Surilena & Agus, D .(2006). Faktor-faktor yang mempengaruhi depresi pada lansia.
Yogyakarta: Permata Pustaka

Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi Kesehatan Ibu dan Anak.Yogyakarta: Graha Ilmu

Stopller, M. (2017). Stress, Hormones, and Weight. Available from: NY

Walker, J. (2002). Teens in Distress Series Adolescent Stress and Depressions.


htpp://www.etension.umnedu/distribution/youthdevelopment/DA3083.html

Wirdah. (2012).Hubungan Stress Dengan Perubahan Nafsu Makan Pada Mahasiswa Program
Studi Pendidikan dokter Fakultas Kedokteran Universitas syiyah Kuala. Diakses
pada 29 Desember 2020. http://etd.unsyiah.ac.id

Yosep, I.(2009). Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

15

Anda mungkin juga menyukai