Anda di halaman 1dari 174

BAHAN AJAR

HUKUM PAJAK

2 sks

JURUSAN ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022

i
VERIFIKASI BAHAN AJAR

Pada hari ini Selasa tanggal 1 bulan Februari tahun 2022 Bahan Ajar Mata Kuliah Hukum Pajak
Program Studi S1 Hukum Fakultas Hukum telah diverifikasi oleh Ketua Jurusan/ Ketua Program
Studi Hukum

Semarang, 1 Februari 2022

Ketua Jurusan/ Ketua Prodi Hukum Tim Penulis

Dr. Martitah, M.Hum Pratama Herry Herlambang, S.H., M.H.

NIP 196205171986012001 NIP. 198804242015041004

ii
PRAKATA

Bahasan mengenai hukum pajak dalam pengaruhnya dengan konsep welfare state yang
terus dikaji dengan berbagai macam pendekatan keilmuan. Pada dua dekade ini telah
banyak penelitian mengenai pajak dan juga fakta-fakta baru yang berkaitan dengan aspek
hukum administrasi negara. Temuan-temuan yang dihasilkan memberikan gambaran
baru mengenai hukum administrasi khususnya pajak, terutama berkaitan dengan
hubungan antara pajak, keuangan negara dan hukum administrasi.

Bahan ajar ini disusun untuk memberikan gambaran yang berkaitan dengan dasar-dasar
pengetahuan dan pemahaman mengenai pajak dalam kaitannya dengan ruang lingkup
kajian hukum. Diharapkan dengan bahan ajar ini dapat memberikan bekal dasar
mengenai kognisi dan aspek-aspek yang terdapat di dalamnya.

Bahan ajar ini tersusun dari 11 bab, yang masing-masing akan membahas topik yang
berbeda namun tetap saling berhubungan. Dimulai dengan bahasan mengenai konsep
pengantar hukum pajak, hukum pajak, Struktur Pajak di Indonesia; Sanksi Pajak; Utang
Pajak; Otonomi Daerah; Pajak Penghasilan; Pajak Pusat dan Daerah; Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah; BPHTB, PBB. Bahan
ajar ini juga bukan sebagai satu-satunya sumber dalam proses pembelajaran, sehingga
bahan lain terutama yang berkaitan dengan jurnal penelitian akan ditambahkan untuk
memperkaya konteks kajian hukum pajak.

Melalui buku ini diharapkan mahasiswa dapat muncul ketertarikan dalam memahami
hubungan hukum dan pajak, serta mengembangkannya dalam kajian keilmuan yang lebih
mendalam. Selanjutnya, masukan dan tanggapan terhadap bahan ajar ini akan sangat
membantu untuk mengembangkan dan menyempurnakan isi dalam bahan ajar ini.
Semoga bahan ajar ini dapat berguna bagi dosen maupun mahasiswa yang mempelajari
matakuliah hukum pajak

Selamat Membaca!
Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI
Lembar verifikasi ii
Prakata iii
Daftar Isi iv
Daftar Gambar v
Daftar Tabel vi
Bab I Pengantar Perpajakan 1
Deskripsi Singkat 1
Capaian pembelajaran pertemuan 1
A. Definisi dan Ruang Lingkup Perpajakan 1
B. Unsur-Unsur Perpajakan 3
C. Teori Pemungutan Pajak 5
D. Hubungan Pajak Dengan Hukum 7
Pertanyaan 10
Daftar Pustaka 11
Glosarium 12
Bab II Pajak Pusat dan Daerah Dst
Deskripsi Singkat
Capaian pembelajaran pertemuan
A. Struktur Pajak di Indonesia
B. Pajak Pusat dan Daerah
C. Retribusi Daerah
D. Sanksi Pajak
Pertanyaan
Daftar Pustaka
Glosarium

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar posisi pajak dalam hukum 1.1

v
DAFTAR TABEL

vi
BAB I
PENGANTAR PERPAJAKAN

Deskripsi Singkat
Bab ini membahas tentang konsep dasar pengantar perpajakan yang meliputi definisi, ruang
lingkup, sejarah singkat dan metode penelitian dalam pengantar perpajakan serta hubungan
pajak dengan ilmu hukum.

Capaian Pembelajaran Pertemuan (Sub-CPMK)


1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi dan ruang lingkup perpajakan
2. Mahasiswa mampu menjelaskan unsur-unsur perpajakan
3. Mahasiswa mampu menjelaskan teori pemungutan pajak
4. Mahasiswa mampu menjelaskan hubungan pajak dengan hukum

A. DEFINISI DAN RUANG LINGKUP PERPAJAKAN


Pajak (dari bahasa Latin taxo; "rate") adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan
undang-undang, sehingga dapat dipaksakan, dengan tidak mendapat balas jasa secara
langsung. Menurut Charles E.McLure, pajak adalah kewajiban finansial atau retribusi yang
dikenakan terhadap wajib pajak (orang pribadi atau Badan) oleh Negara atau institusi yang
fungsinya setara dengan negara yang digunakan untuk membiayai berbagai macam pengeluaran
publik. Pajak dipungut berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang
dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Penolakan untuk membayar,
penghindaran, atau perlawanan terhadap pajak pada umumnya termasuk pelanggaran hukum.
Pajak terdiri dari pajak langsung atau pajak tidak langsung dan dapat dibayarkan dengan uang
ataupun kerja yang nilainya setara. Beberapa negara sama sekali tidak mengenakan pajak,
misalnya Uni Emirat Arab. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara
di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat
jenderal yang ada di bawah naungan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Terdapat perbedaan pada definisi pajak secara hukum dan secara ekonomi dari pajak. Ahli
ekonomi meyakini bahwa tidak semua transfer finansial ke sektor publik dapat dikategorikan

1
sebagai pajak. Contohnya adalah, beberapa transfer ke sektor publik yang masih dipengaruhi
oleh harga. Hal ini misalnya, biaya kuliah pada universitas negeri dan biaya untuk
penyelenggaraan pelayanan pada pemerintah. Pemerintah juga memperoleh sumber daya
finansial dengan “menciptakan” uang (misalnya dengan mencetak uang), melalui hiba
(contohnya, kontribusi terhadap universitas dan museum negeri), dengan menetapkan sanksi
(seperti denda atas pelanggaran lalu lintas), dengan mengambil utang,dan dengan menyita
kekayaan. Dari sudut pandang ahli ekonomi, pajak adalah transfer sumber daya non denda dari
sektor swasta ke sektor publik yang dipungut dengan dasar yang ditetapkan sebelumnya dan
tanpa menyatakan manfaat yang akan diberikan.
Dalam sistem perpajakan modern, pemerintah memungut pajak dalam bentuk uang, tetapi
pembayaran secara natura maupun kerja atas pajak adalah karakteristik dari pajak tradisional
atau pre-kapitalis dan fungsinya setara. Sistem perpajakan dan pengeluaran pemerintah atas
pemasukan pajak menjadi topik yang sering diperdebatkan dalam konteks politik maupun
ekonomi. Pemungutan pajak dilakukan oleh institusi publik misalnya Direktorat Jenderal
Pajak di Indonesia, Canada Revenue Agency di Kanada, the Internal Revenue Service (IRS)
di Amerika Serikat, atau Her Majesty's Revenue and Customs (HMRC) di Inggris. Saat pajak
tidak dibayarkan, pemerintah dapat menetapkan sanksi hukum seperti denda, penyitaan aset,
dan bahkan penahanan kepada pihak yang terbukti melakukannya.
Berikut adalah definisi pajak dari para ahli:
 Leroy Beaulieu
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak yang dipaksakan oleh
kekuasaan publik dari penduduk atau dari barang, untuk menutup belanja pemerintah.
 P. J. A. Adriani
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.

 Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH

2
Pajak adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontra prestasi) yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum. Definisi tersebut
kemudian dikoreksinya yang berbunyi sebagai berikut: Pajak adalah peralihan kekayaan
dari pihak rakyat kepada Kas Negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya
digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public
investment.
 Ray M. Sommerfeld, Herschel M. Anderson, dan Horace R. Brock
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah, bukan
akibat pelanggaran hukum, namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang langsung dan proporsional, agar
pemerintah dapat melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan pemerintahan.

B. UNSUR-UNSUR PERPAJAKAN
Pajak dari perspektif ekonomi dipahami sebagai beralihnya sumber daya dari sektor
privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa adanya pajak
menyebabkan dua situasi menjadi berubah. Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam
menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa. Kedua, bertambahnya
kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan
kebutuhan masyarakat.
Sementara pemahaman pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro merupakan suatu
perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya
kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara,
negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan uang pajak tersebut harus dipergunakan untuk
penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini memperlihatkan bahwa pajak yang
dipungut harus berdsarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik
bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No. 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan
terakhir dengan UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan
adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

3
memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung
dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'' Dari
berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, baik pengertian secara ekonomis (pajak sebagai
pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah) atau pengertian secara yuridis
(pajak adalah iuran yang dapat dipaksakan) dapat ditarik kesimpulan tentang unsur-unsur yang
terdapat pada pengertian pajak, antara lain sebagai berikut:

1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Asas ini sesuai dengan perubahan ketiga
UUD 1945 pasal 23A yang menyatakan, "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dalam undang-undang."
2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat
ditunjukkan secara langsung. Misalnya, orang yang taat membayar pajak kendaraan
bermotor akan melalui jalan yang sama kualitasnya dengan orang yang tidak membayar
pajak kendaraan bermotor.
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam
rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan.
4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. Pajak dapat dipaksakan apabila wajib pajak tidak
memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan
perundang-undangan.
5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi Kas Negara/Anggaran
Negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan,
pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara
dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur / regulatif).

C. TEORI PEMUNGUTAN PAJAK


Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara

4
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Oleh sebab itu, maka dibutuhkan pemungutan pajak secara paksaan yang dilakukan oleh negara
kepada rakyatnya. Maka diperlukan teori-teori pemungutan pajak. Berikut teori pemungutan
pajak:
 Teori Asuransi
Menurut teori ini, negara mempunyai tugas untuk melindungi warganya dari segala
kepentingannya baik keselamatan jiwanya maupun keselamatan harta bendanya. Untuk
perlindungan tersebut diperlukan biaya seperti layaknya dalam perjanjian asuransi
diperlukan adanya pembayaran premi. Pembayaran pajak ini dianggap sebagai
pembayaran premi kepada negara. Teori ini banyak ditentang karena negara tidak boleh
disamakan dengan perusahaan asuransi.
 Teori Kepentingan
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya kepentingan dari masing-masing
warga negara. Termasuk kepentingan dalam perlindungan jiwa dan harta. Semakin tinggi
tingkat kepentingan perlindungan, maka semakin tinggi pula pajak yang harus dibayarkan.
Teori ini banyak yang menentang, karena pada kenyataannya bahwa tingkat kepentingan
perlindungan orang miskin lebih tinggi daripada orang yang kaya. Ada perlindungan jaminan
sosial, kesehatan, dan lain-lain. Bahkan orang yang miskin justru dibebaskan dari beban
pajak.
 Teori Gaya Pikul
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah terletak pada kemampuan (gaya pikul)
membayar pajak bagi wajib pajak. Pajak harus dibayar sesuai dengan gaya pikul
(kemampuan) seseorang. Untuk mengukur gaya pikul seseorang, perlu diketahui hal-hal
sebagai berikut.
a. Penghasilan
b. Kekayaan
c. Pengeluaran
d. Tanggungan keluarga
Semakin banyak tanggungan keluarga, maka akan semakin kecil kemampuan (gaya pikul)
seseorang untuk membayar pajak, sekalipun penghasilannya banyak.

 Teori Bakti
Menurut teori ini dasar pemungutan pajak terletak pada hubungan antara rakyat dengan
negara. Rakyat mempunyai kewajiban untuk membayar pajak kepada negara. Pembayaran

5
pajak dari rakya kepada negara merupakan bentuk ungkapan bakti rakyat kepada
negaranya, sehingga teori ini sering disebut sebagai teori kewajiban pajak mutlak.
 Teori Asas Gaya Beli
Menurut teori ini, dasar pemungutan pajak adalah adanya manfaat dari pajak. Yaitu pajak
yang dipungut dari rumah tangga yang ada di masyarakat masuk ke rumah tangga negara
kemudian disalurkan kembali ke masyarakat. Tujuannya untu meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Jadi, sudah sepantasnya negara sebagai penyelenggara kepentingan
masyarakat memungut pajak kepada masyarakat.

D. HUBUNGAN PAJAK DENGAN HUKUM


Hukum Pajak atau Hukum Fiskal adalah himpunan peraturan yang mengatur hubungan
hukum (hak dan kewajiban) antara pemerintah sebagai pihak yang mengurus penerimaan negara

6
(pengambil/pemungut pajak) dengan rakyatnya sebagai pembayar pajak. Kedudukan hukum
pajak terhadap hukum lainnya secara gamblang dapat digambarkan dalam skema berikut:

Gambar 1.1

Dalam skema tampak kedudukan hukum pajak berada dalam ranah hukum publik dan
berdiri sendiri seperti hukum tata negara, hukum administrasi dan hukum pidana. Akan tetapi,
ada pendapat lain (Santoso Brotodiharjo) yang menyatakan bahwa hukum pajak termasuk
kedalam kategori anak Hukum Administrasi. Walaupun demikian hukum pajak memiliki tugas
yang sifatnya berbeda dengan hukum adminsitrasi, hukum pajak juga memiliki tata tertib dan
istilah-istilah tersendiri dalam teknisnya. Sehingga, pantaslah jika hukum pajak berdiri sendiri
seperti hukum administrasi.

HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PERDATA


Dalam kaitannya dengan Hukum Perdata dapat dikategorikan menjadi dua hubungan yang erat
antara Hukum Pajak dengan Hukum Perdata, yaitu:

7
 segala kejadian, keadaan dan perbuatan dalam ranah hukum perdata menjadi dasar
kemungkinan pemungutan pajak. Contohnya adalah Pendapatan, Kekayaan dan
Perjanjian Penyerahan.
 hukum pajak dapat menjadi lex specialis dari hukum perdata, sebab berdasarkan suatu
ajaran (Prof. Mr. Paul Scholten) memandang bahwa hukum perdata merupakan hukum
umum yang meliputi segala-galanya kecuali jika hukum publik menentukan lain.
HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN HUKUM PIDANA

Hukum Pidana memberikan ketegasan pada hukum pajak dengan memberikan sanksi pidana.
Setiap wajib pajak yang melanggar ketentuan dalam hukum pajak diancam dengan pidana.
Misalnya, wajib pajak yang memindahtangankan pajak atau memindahkan hak atau merusak
barang yang telah disita karena tidak melunasi utang pajaknya akan diancam Pasal 231
KUHPidana.
SISTEMATIKA HUKUM PAJAK
Hukum Pajak dibagi menjadi dua, yaitu Hukum Pajak Formal dan Hukum Pajak Material:
 Hukum Pajak Formal adalah peraturan-peraturan hukum pajak yang memuart
ketentuan-ketentuan yang mendukung ketentuan hukum pajak material, untuk
menegakkan atau mempertahankan (melaksanakan) ketentuan hukum pajak material.
Contoh Hukum Pajak Formal : Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan
Pajak.
 Hukum Pajak Material adalah hukum pajak yang memuat tentang subjek pajak, wajib
pajak, objek pajak dan tarif pajak. Contohnya : Undang-Undang Nomor 21 tahun 1997
sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).

PERLAWANAN TERHADAP PAJAK


Perlawanan terhadap pajak dikategorikan dalam dua jenis, yakni perlawanan pasif dan
perlawanan aktif.:

8
 Perlawanan Pasif: Perlawanan pajak secara pasif tidak semata-mata dilakukan secara
sengaja dan sistematis, tetapi lebih dikarenakan oleh kebiasaan masyarakat.
Contohnya : Kebiaaan menyimpan uang dirumah atau dibelikan emas, ini bukan
merupakan cara menghindari pajak, tetapi masyarakat yang belum terbiasa dengan
perbankan.
 Perlawanan Aktif: Perlawanan pejak secara aktif merupakan serangkaian usaha yang
dilakukan wajib pajak untuk tidak membayar pajak atau mengurangi jumlah pajak yang
seharusnya dibayar.
Perlawanan Aktif ini dibagi dua yaitu:
Penghindaran Pajak (tax avoidance)
Penghindaran Pajak adalah usaha pengurangan pajak secara legal yang dilakukan dengan cara
memanfaatkan ketentuan-ketentuan di bidang perpajakan secara optimal seperti pengecualian-
pengecualian dan pemotongan-pemotongan yang diperkenankan maupun memanfaatkan hal-hal
yang belum diatur dan kelemahan-kelemahan yang ada dalam peraturan perpajakan yang
berlaku.
Penggelapan Pajak (tax evasion)
Penggelapan Pajak adalah pengurangan pajak yang dilakukan dengan melanggar peraturan-
peraturan perpajakan, seperti memberikan data-data palsu atau menyembunyikan data.

BAB II
TINDAKAN PEMERINTAH

9
A. Pengertian Pemerintah
Ilmu Hukum Administrasi Negara berkaitan dengan sejarah kemunculan negara
hukum (Rechtstaat) khususnya Eropa Kontinental yang berbeda dengan konsep Rule of Law
pada Anglo saxon. Pada umumnya Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari
hukum publik, yakni hukum yang mengatur tindakan pemerintah dan mengatur hubungan
antara pemerintah dengan warga negara atau hubungan organ pemerintah. [1]
Istilah ”pemerintah” digunakan dalam dua pengertian, Pertama dalam arti luas, adalah
kegiatan negara dalam melaksanakan kekuasaan politik dan, Kedua dalam arti sempit, adalah
meliputi kegiatan negara kecuali tugas pembuatan undang-undang dan peradilan.[2]
Pemerintah dalam arti sempit (bestuur) mempunyai pengertian sama dengan administrasi.
Istilah ”administrasi” dan ”pemerintah” sudah umum digunakan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat. Di Amerika Serikat digunakan istilah the administrasion untuk pengertian
keseluruhan pemerintahan, termasuk presiden.
Menurut Utrecht, dalam Hukum Administrasi Negara terkandung 2 (dua) aspek, yaitu:
a. Aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat perlengkapan
negara itu melakukan tugasnya, dan
b. Aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan hukum (rechtsbetreking) antara alat
perlengkapan administrasi atau pemerintah dengan para warganegaranya.
Salah satu prinsip dalam Negara Hukum adalah Wetmatigheid Van Bestuur atau
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan atau dengan kata lain setiap
tindakan hukum pemerintah, baik dalam menjalankan fungsi pengaturan maupun fungsi
pelayanan, harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-
undangan yang diberlakukan.
Dengan dikeluarkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986
yang diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara,[3] maka selain harus memperhatikan ketentuan perundang-

1 Hakim Pratama Muda sekaligus Humas Pengadilan Tata Usaha Negara Palu.
2 Bagian dari sistem pemerintahan ciptaan Montesquieu yang dituangkan dalam bukunya “L’esprit des lois” (jiwa
hukum), yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif atau biasa disebut Trias Politica.
3 Untuk selanjutnya diubah lagi dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata usaha Negara

10
undangan yang berlaku, pemerintah dalam melaksanakan tindakan hukum harus pula
memperhatikan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Apabila tindakan pemerintah yang diwujudkan dalam terbitnya suatu Keputusan Tata
Usaha Negara atau sikap diamnya, oleh masyarakat dianggap telah melanggar ketentuan
perundang-undangan diatas, maka pemerintah – oleh undang-undang tersebut selanjutnya
disebut Badan atau Pejabat tata Usaha Negara – dapat menggugat secara tertulis ke Peradilan
Tata Usaha Negara.
Tujuan dibentuknya peradilan tata usaha negara adalah sebagai pengendali yuridis
terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha negara, baik secara preventif maupun
secara represif. Secara preventif dimaksudkan adalah untuk mencegah terjadinya tindakan-
tindakan badan/pejabat tata usaha negara yang melawan hukum dan merugikan masyarakat,
sedangkan secara represif ditujukan terhadap tindakan-tindakan badan/pejabat tata usaha
negara yang melawan hukum dan merugikan masyarakat harus dijatuhi sanksi. Selain itu
tujuan peradilan tata usaha negara adalah juga untuk memberikan perlindungan hukum bagi
badan/pejabat tata usaha negara itu sendiri apabila telah bertindak benar sesuai dengan
peraturan hukum yang berlaku.
Akan tetapi tidak semua tindakan pemerintah dapat menjadi kompetensi Peradilan
Tata Usaha Negara. Tindakan pemerintah yang tidak masuk kompetensi Peradilan Tata Usaha
Negara selanjutnya akan menjadi kompetensi Peradilan Umum. Sehubungan dengan itu
mengundang pertanyaan apakah yang menjadi ukuran keabsahan suatu tindakan pemerintah
jika dihubungkan dengan ketentuan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal ini menjadi penting
bagi perumusan dan isi suatu keputusan yang akan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara sehingga keputusan atau tindakan Pejabat Tata Usaha Negara sah secara
hukum.

B. Kedudukan Pemerintah
Pemerintah atau Administrasi negara mempunyai kedudukan sebagai wakil dari
lembaga publik, dan sebagai wakil dari badan hukum privat.

C. Kewenangan Pemerintah

11
Sesuai asas legalitas bahwa pemerintah diatur oleh peraturan perundang-undangan
dalam kewenangannya. Penerapan asas ini menunjang berlakunya kepastian hukum dan
kesamaan perlakuan. Artinya asas legalitas dimaksudkan untuk memberikan jaminan
kedudukan hukum warga negara terhadap pemerintah.
Sumber dan cara memperoleh wewenang pemerintah bersumber dari undang-undang
dasar dan undang-undang. Secara teoretis kewenangan yang bersumber dari peraturan
perundangan-undangan tersebut di peroleh melalui 3 (tiga) cara yaitu Atribusi (Attributie),
Delegasi (Delegatie), dan Mandat (Mandaat).
1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat Undang-undang
kepada organ pemerintah. Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan
yang langsung bersumber pada undang-undang dalam arti materil.
2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintah
kepada organ pemerintah lainnya. Delegasi mengandung dua penyerahan yaitu
kewenangan yang telah diberikan oleh si pemberi delegasi selanjutnya menjadi
tanggung jawab penerima wewenang tersebut.[4]
Berikut ini syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam pemberian atau pelimbahan
wewenang, yaitu:
 Delegasi harus definit, artinya delegans tidak lagi menggunakan sendiri wewenang
yang telah dilimpahkan itu;
 Delegasi harus didasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan, delegasi
hanya dimungkinkan kala ada ketentuan didalam undang-undang;
 Delegasi tidak kepada bawahan, dalam hubungan hirarki kepegawaian tidak
diperkenankan adanya delegasi;
 Kewajiban memberikan keterangan (penjelasan), delegans berwenang meminta
penjelasan tentang pelaksanaan wewenang tersebut;
 Peraturan kebijakan, delegans memberikan instruksi tentang penggunaan
wewenang tersebut.[5]

4 Titik Triwulan Tutik, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2010) hal. 195

5 Ibid, hal 196

12
3. Mandat adalah terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya. Pejabat penerima mandat (mandataris) bertindak
untuk dan atas nama pemberi mandat (mandat). Pejabat yang memberi mandat menunjuk
pejabat lain untuk bertindak untuk dan atas namanya. Namun tanggung jawab masih
berada ditanggung jawab pemberi mandat.

D. Tindakan Pemerintah
Tindakan pemerintah (Bestuurshandeling) yang dimaksud adalah setiap tindakan atau
perbuatan yang dilakukan oleh alat perlengkapan dalam menjalankan pemerintahan (bestuurs
organ) dalam menjalankan fungsi pemerintahan (bestuurs functie). Ada 2 (dua)
bentuk tindakan pemerintah yakni:
a. Tindakan berdasarkan hukum (rechts handeling);dan
b. Tindakan berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada hukum (feitelijke
handeling).
Tindakan pemerintah berdasarkan hukum (rechts handeling) dapat dimaknai sebagai
tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu untuk
menciptakan suatu hak dan kewajiban. Tindakan ini lahir sebagai konsekuensi logis dalam
kedudukannya pemerintah sebagai subjek hukum, sehingga tindakan hukum yang dilakukan
menimbulkan akibat hukum.
Tindakan pemerintah berdasarkan fakta atau kenyataan dan bukan berdasarkan pada
hukum (feitelijke handeling) adalah tindakan yang tidak ada hubungan langsung dengan
kewenangannya dan tidak menimbulkan akibat hukum.
Bahwa tindakan hukum administrasi adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul
dan organ administrasi dalam keadaan khusus dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum dalam bidang hukum administrasi. Jadi dapat dikatakan tindakan hukum pemerintah
apabila tindakan yang dimaksud dilakukan organ pemerintah (bestuurs orgaan) dan
menimbulkan akibat hukum khususnya di bidang hukum administrasi.
Akibat hukum yang timbul tersebut dapat berupa penciptaan hubungan hukum yang
baru maupun perubahan atau pengakhiran hubungan hukum yang ada. Dengan demikian
tindakan hukum pemerintah di maksud memiliki unsur-unsur sebagai berikut:

13
a. Tindakan tersebut dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penguasa, maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurs-organen);
b. Tindakan dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
c. Tindakan yang dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat hukum
(rechtgevolgen) di bidang hukum administrasi;
d. Tindakan yang dilakukan dalam rangka pemeliharaan kepentingan umum;
e. Tindakan dilakukan berdasarkan norma wewenang pemerintah;
f. Tindakan tersebut berorientasi pada tujuan tertentu berdasarkan hukum; dan
g. Tindakan Hukum Pemerintah dapat berbentuk tindakan berdasarkan hukum publik dan
berdasarkan hukum privat.
Tindakan hukum publik adalah tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh
penguasa dalam menjalankan fungsi pemerintahan. Tindakan hukum publik ini dilakukan
berdasarkan kewenangan pemerintah yang bersifat hukum publik yang hanya dapat lahir dari
kewenangan yang bersifat hukum publik pula. Sedangkan tindakan hukum privat adalah
tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan. Tindakan Badan atau
Pejabat dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) bagian yakni:
1. Tindakan membuat Keputusan (beschikking)
Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, merumuskan:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
berdasarkan perundang-undangan yang berlaku yang bersifat konkrit, individual, dan
tindakan yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Perumusan ini mengandung arti bahwa suatu Keputusan Tata Usaha Negara,
yang memenuhi unsur-unsur tersebutlah sebagai syarat formal (kumulatif) yang dapat
dimohonkan penyelesaiannya di Peradilan Tata Usaha Negara.
Yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara yaitu Keputusan
Tata Usaha Negara yang tidak ada wujudnya tetapi merupakan suatu sikap diam atau tidak
mengeluarkan keputusan yang telah dimohonkan kepadanya sedangkan hal itu menjadi
kewajibannya. Terhadap sikap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dapat

14
dijadikan objek gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana dalam Pasal 3
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986. Hal ini disebut Keputusan
Fiktif Negatif.[6]
Dengan demikian kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai ciri-ciri:
a. Yang bersengketa adalah orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara.
b. Objek sengketa adalah Keputusan Tata Usaha Negara berupa penetapan tertulis,
termasuk yang dipersamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara, yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
c. Keputusan yang dijadikan objek sengketa bersifat konkrit, individual, final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
d. Bukan merupakan keputusan-keputusan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 dan 49
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara.

2. Tindakan membuat Peraturan (regeling)


Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum
tidak termasuk Keputusan Tata Usaha Negara dalam arti beschikking, yang berarti
terhadap perbuatan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan
yang bersifat umum tidak dapat digugat di Peradilan Tata Usaha Negara. Misalnya
Keputusan Menteri, Keputusan Walikota, dan lain-lain.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan bahwa
peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh Lembaga
Negara atau Pejabat berwenang dan mengikat secara umum.
Perlu dijelaskan bahwa dengan keluarnya Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 10 Tahun 2004 “Keputusan” tidak termasuk pada hierarkhi peraturan perundang-
undangan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7. Istilah keputusan diubah dengan

6 Pengecualian terhadap ketentuan Pasal 1 angka (9) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009
tentang perubahan kedua Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara juncto Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 diatas dapat dilihat pada Pasal 2
dan 49 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

15
sebutan ”Peraturan” misalnya Peraturan Menteri, Peraturan Gubernur, Peraturan
Walikota, Peraturan Bupati dan lain-lain.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004
menyebutkan bahwa jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden; dan
e. Peraturan Daerah.
Bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam
pasal 7 ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sesuai
Pasal 56 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2004 dapat diketahui
bahwa semua Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan
Bupati/Walikota atau Keputusan pejabat lainnya, harus dibaca sebagai peraturan
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor
15 Tahun 2006 tentang jenis dan bentuk produk hukum daerah menyebutkan jenis produk
hukum daerah terdiri atas:
a. Peraturan Daerah;
b. Peraturan Kepala Daerah;
c. Peraturan Bersama Kepala Daerah;
d. Keputusan Kepala Daerah;
e. Instruksi Kepala Daerah;
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum termasuk
perundang-undangan tidak merupakan bagian dari perbuatan keputusan (beschikking)
tetapi termasuk perbuatan tata usaha negara di bidang pembuatan peraturan (Reglement
Daad van De Administratie).

3. Tindakan Materiil (materiele daad)

16
Tindakan materiil adalah tindakan nyata yang tidak melahirkan akibat hukum
(Recht Gevolg) dari perbuatan pemerintah tersebut sedangkan tindakan hukum yaitu ada
maksud untuk melahirkan akibat hukum. Bentuk-bentuk konkrit dari tindakan materiil
dapat dicontohkan sebagai berikut:
a. Perbuatan nyata Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam fungsi pelayanan.
Dalam fungsi ini perbuatan nyata dilihat dari:
 Fungsi pelayanan jasa misalnya pelayanan jasa pos dan telekomunikasi,
pelayanan listrik dan penyediaan air minum, pelayanan jasa angkutan kereta api,
pelayanan jasa angkutan laut (PELNI).
 Fungsi pelayanan pemerintahan, misalnya :
 Pengukuran tanah oleh Badan Pertanahan.
 Pihak Kelurahan mewajibkan bagi setiap warga yang membuat KTP untuk
membuat pas photo (wajib photo).
b. Fungsi Pembangunan misalnya pembangunan jembatan dan gedung pemerintah.
c. Dalam rangka penegakan hukum misalnya tindakan pengosongan dan penyegelan.

E. Peradilan Tata Usaha Negara


1. Alat Ukur Keabsahan Tindakan Pemerintah
Di dalam membuat suatu keputusan (beschikking) pemerintah harus
memperhatikan ketentuan atau syarat-syarat tertentu apabila syarat tertentu dimaksud
tidak dipenuhi berakibat keputusan yang dibuat tidak sah. Oleh karena itu tidak sahnya
suatu keputusan yang dibuat pemerintah akan berakibat tidak sahnya tindakan
pemerintah. Tidak sahnya tindakan pemerintah tersebut pada akhirnya akan berakibat
keputusan yang dibuat batal demi hukum atau dapat dibatalkan.
Agar keputusan yang dibuat oleh pemerintah dapat berlaku sebagai keputusan
yang sah, maka harus memenuhi 4 (empat) syarat antara lain:
a. Keputusan harus dibuat oleh alat (organ) yang berkuasa membuatnya;
b. Oleh karena keputusan merupakan suatu pernyataan kehendak (wilsverklaring)
maka pembentukan kehendak tersebut tidak boleh memuat kekurangan yuridis;
c. Keputusan tersebut diberi bentuk (vorm) yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya
dan pembuatnya juga harus memperhatikan cara-cara (prosedure) membuat

17
ketetapan yang dimaksud, apabila cara yang dimaksud ditetapkan dengan
tegas dalam peraturan dasar tersebut; dan
d. Isi dan tujuan keputusan harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasar.
Cacat yuridis keputusan Tata Usaha Negara dan tindakan pemerintah menyangkut
3 (tiga) aspek utama yakni aspek Kewenangan, Prosedur; dan Substansi/Materi.
Tindakan pemerintahan dijalankan berdasarkan norma wewewang pemerintah
baik diperoleh secara atribusi, delegasi, maupun mandat. Dengan demikian suatu tindakan
pemerintah yang tidak didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan yang
memberikan wewenang untuk bertindak adalah sebagai tindakan yang melanggar hukum.
Oleh karena norma wewenang sebagai norma pemerintahan, maka untuk mengukur
keabsahan tindakan pemerintah dapat menggunakan 2 (dua) alat ukur yaitu:
a. Peraturan perundang-undangan, dan/atau
b. Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB).
Kedua alat ukur yang dimaksud diatur dalam Pasal 53 Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 yang diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Pasal 53 Undang-undang
dimaksud memuat alasan-alasan yang digunakan untuk menggugat pemerintah atas
dikeluarkanya Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan pihak yang terkena
Keputusan Tata Usaha Negara.
Secara lengkap bunyi Pasal 53 adalah sebagai berikut:
(1) Orang atau Badan Hukum yang merasa kepentingan dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang bewenang yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan yang dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
(2) Alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat
(1) adalah:
 Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
 Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-
asas Umum Pemerintahan yang Baik.

18
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, Keputusan dimaksud dapat diuji dari;
a. Aspek Kewenangan, yaitu meliputi hal berwenang, tidak berwenang atau
melanggar kewenangan;
b. Aspek Prosedural, yaitu apakah prosedur pengambilan keputusan Tata Usaha
Negara yang diisyaratkan oleh peraturan perundang–undangan dalam pelaksanaan
kewenangan tersebut telah ditempuh atau tidak; dan
c. Aspek Substansi/Materi, yaitu meliputi pelaksanaan atau penggunaan kewenangan
apakah secara materi/ substansi telah selesai dengan ketentuan–ketentuan hukum
atau peraturan perundang–undangan yang berlaku.
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan Asas-asas
Umum Pemerintahan yang Baik. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik dalam
bentuk tertulis menurut penjelasan Pasal 3 Undang-undang Republik Indonesia Nomor
28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.

19
BAB III
SUBJEK DAN OBJEK SENGKETA

A. Subjek Sengketa Tata Usaha Negara


Subjek sengketa Tata Usaha Negara adalah orang atau badan hukum perdata dan
badan atau pejabat tata usaha negara. Subjek sengketa tata usaha negara semula diatur dalam
pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
namun setelah dilakukan perubaha atas ketentuan tersebut maka kemudian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1986 tentang Peraturan Tata Usaha Negara dalam Pasal 1 angka 8.
Adapun sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha
negara, baik dipusat maupun didaerah, sebagai akibat dari dikeluarkannya keputusan tata
usaha negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang peradilan tata usaha negara.
Dalam penjelasan pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa istilah “sengketa” yang
dimaksudkan adalah mempunyai arti khusus sesuai dengan fungsi peradilan tata usaha negara,
yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum badan atau pejabat tata usaha
negara dalam mengambil keputusan pada dasarnya adalam mengemban kepentingan umum
dan masyarakat, tetapi dalam hal kasus tertentu dapat saja keputusan itu dirasakan
mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu, dalam asas hukum
tata usaha negara kepada bersangkutan harus diberikan kesempatan untuk mengajukan
gugatan ke pengadilan.
Hukum acara yang berlaku di peradilan umum berbeda dengan hukum acara yang
berlaku di Peradilan Tata Usaha Negara. Dipengadilan umum siapa saja boleh menjadi
tergugat, sebaiknya badan atau pejabat tata usaha negara boleh menjadi penggugat. Adapun
hukum acara yang berlaku di Pengadilan Tata Usaha Negara hanya badan atau pejabat tata
usaha negara saja yang dapat dijadikan tergugat, sedangkan yang menjadi penggugat adalah
orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan karena telah
dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara

20
yang bersangkutan. Berkaitan dengan hal ini, beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara tidak
dikenal adanya “gugat balik” (rekonvensi).
Selanjutnya ditegaskan dalam pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 51 tahun
2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara yang merumuskan bahwa tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha
negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpajkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Sengketa tata usaha negara ini berpangkal dari ditetapkannya suatu keputusan tata
usaha negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Oleh karena itu pada hakikatnya
sengketa tata usaha negara adalah sengketa tentang sah atau tidaknya suatu keputusan tata
usaha negara yang telah dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Berdasarkan
hal ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa : [ 7]
a. Yang dapat digugat dihadapan Peradilan Tata Usaha Negara hanyalah badan atau
pejabat tata usaha negara;
b. Sengketa yang dapat diadili oleh Peradilan Tata Usaha Negara adalah sengketa
mengenai sah atau tidaknya suatu keputusan tata usaha negara, bukan sengketa
mengenai kepentingan hak.
Untuk menilai mengenai sah atau tidaknya keputusan tata usaha negara yang
dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang disengketakan oleh seseorang atau
badan hukum perdata merupakan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara. Dan apabila hak-
hak seseorang atau badan hukum perdata merasa kepentingannya dirugikan olej adanya
keputusan badan atau pejabat tata usaha negara, maka menurut ketentuan tersebut dapat
dimungkinkan untuk diajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
Kepentingan yang dimaksudkan tersebut tidak selamanya merupakan kepentingan
langsung sebagaimana yang dimaksudkan pada ”asas point d’interest point d’action” (Tidak
ada kepentingan tidak ada gugatan) atau dengan kata lain bahwa yang diakui oleh badan
hukum yang memiliki kualitas atau hak berperkara atau menggugat di pengadilan adalah

7 Rozali Abdullah, S.H., Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999),
hal. 4.

21
orang yang termasuk didalamnya badan hukum perdata yang memiliki kepentingan
langsung.[8]
Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara merumuskan
bahwa orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
keputusan tata usaha negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang
berwenang yang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
direhabilitasi. Penjelasan pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara
tersebut menyatakan bahwa sebagai berikut:

a. Hanya orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subjek
hukum saja yang dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
untuk menggugat keputusan tata usaha negara.
b. Badan atau pejabat tata usaha negara yang tidak dapat mengajukan gugatan
kepengadilan tata usaha negara untuk menggugat keputusan tata usaha negara.
c. Hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena oleh akibat
hukum karena keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan, dan karenanya yang
bersangkutan merasa dirugikan dibolehkan menggugat keputusan tata usaha
negara.
d. Gugatan yang diajukan oleh orang atau badan hukum perdata disyaratkan dalam
bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan pengadilan dan para
pihak selama pemeriksaan.
e. Bagi mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dalam mengajukan
gugatan dapat meminta bantuan kepada panitera Pengadilan untuk merumuskan
gugatannya dalam bentuk tertulis.
f. Tuntutan di Pengadilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada satu macam
tuntutan pokok yang berupa agar keputusan tata usaha negara yang telah
merugikan kepentingan penggugat dinyatakan batal atau tidak sah.

8 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta : PT. Raja Grafisindo Persada, 2002), hal. 77.

22
g. Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara dibolehkan tuntutan tambahan hanya
berupa tuntutan ganti rugi, dan hanya dalam sengketa kepegawaian saja yang
dibolehkan adanya tuntutan tambahan lainnya yang berupa tuntutan rehabilitasi.
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha negara tidak menganut asas actio Popularis yang
menganut prinsip bahwa tidak semua orang dapat maju sendiri mengajukan gugatan ke
pengadilan. Pada prinsipnya bahwa hanya yang mempunyai kepentingan yang dapat maju
sebagai pihak penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Setiap orang yang mempunyai
hak dan ingin menuntut serta mempertahankan haknya atau membelanya, berwenang
bertindak selaku pihak disebut legitima persona standi juditio. Apa yang berlaku dalam
Hukum Acara Perdata dapat diterapkan disini, namun untuk hal tersebut dalam beberapa
literatur gukum yang tidak mampu berbuat dalam hukum dan harus diwakilkan yaitu:
a. Orang yang tidak dapat berbuat dalam hukum (onbekwam); dan
b. Badan hukum perdata yang tidak dapat berbuat dalam hukum seperti perseroan
terbatas dalam keadaan pailit yang sedang dilakukan pemberesan oleh seorang
atau beberapa kurator.
Badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai pihak dalam lingkup pengertian
Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara ialah badan atau perkumpulan atau organisasi
atau koperasi atau korporasi dan sebagainya didirikan menurut ketentuan hukum perdata yang
merupakan badan hukum (rechtspersson). Badan hukum perdata semacam ini diberikan hak
menggugat karena badan hukum itu ikut serta dalam pergaulan dan lalu lintas hukum dalam
masyarakat serta dianggap sebagai suatu subjek hukum.
Dalam konkretnya orang atau badan hukum perdata yang merasa dirugikan oleh
karena dikeluarkannya suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat digolongkan ke dalam 2
(dua) kelompok, yaitu :
a. Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu
keputusan Tata Usaha Negara.
b. Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut dengan pihak ketiga
yang berkepentingan.

23
Yurisprudensi AROB menyatakan bahwa untuk adanya suatu perkumpulan yang
dianggap sebagai badan hukum perdata dan berhak menggugat diperlukan 3 (tiga) syarat, yaitu
:[9]
a. Adanya lapisan anggota-anggota;
b. Merupakan suatu organisasi dengan suatu tujuan tertentu; dan
c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai suatu kesatuan.
Berdasarkan teori trias politika ada 3 (tiga) poros kekuasaan, yakni kekuasaan
eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan yang menyelenggarakan urusan pemerintah. Kekuasaan legislatif adalah
kekuasaan yang membentuk undang-undang. Sedangkan kekuasaan yudikatif adalah
kekuasaan yang menyelenggarakan peradilan. Dengan demikian yang dimaksud dengan
melaksanakan urusan pemerintahan adalah kekuasaan yang melaksanakan kegiatan yang
bersifat eksekutif diluar urusan atau kegiatan bersifat legislatif maupun yudikatif.[10]
Adapun peraturan perundang-undangan yang harus dilaksanakan hierarki-nya yang
diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan. Pasal 7 ayat 1 yang meliputi :
a. UUD 1945;
b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
c. Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Daerah Provinsi; dan
f. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam proses beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara bahwa untuk menentukan
siapa yang harus digugat, haruslah diketahui dahulu apakah wewenang tersebut bersifat
delegasi ataukah mandat, hal mana yang dapat diteliti sampai selesainya masa pemeriksaan
persiapan. Apabila bersifat mandat maka yang harus digugat ialah jabatan Tata Usaha Negara
yang memberikan mandat, dan apabila bersifat delegasi yang harus digugat ialah jabatan Tata
Usaha Negara yang menerima delegasi tersebut.[ 11]

9 W. Riawan Tjandra, Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2010).
Hal. 19
10 Zairin harahap, Op. Cit., hal 83-84
11 W. Riawan Tjandra, Op.cit., hal. 19.

24
Dalam hal yang digugat lembaga perdata (swasta) yang kebetulan oleh suatu
perundang-undangan/ hukum yang berlaku diberi fungsi melaksanakan urusan pemerintahan,
hal ini dapat dilihat terlebih dahulu ketentuan dalam peraturan dasarnya/ keputusan tata usaha
negara yang memberikan penugasan urusan pemerintah tersebut.
Indonesia sebagai negara kesatuan yang disertai sistem desentralisasi yang memiliki
susunan organisasi yang terdiri dari dua susunan utama, yaitu susunan organisasi tingkat pusat
dan tingkat daerah.
Sebagai konsekuensi sistem desentralisai, tidak semua urusan pemerintah
diselenggarakan sendiri oleh pemerintah pusat. Berbagai urusan pemerintahan dapat
diserahkan atau dilaksanakan atas bantuan satuan-satuan pemerintahan yang lebih rendah
dalam bentuk otonomi atau tugas perbantuan (medebewind). Urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada daerah menjadi urusan rumah tangga daerah. Dan terhadap urusan
pemerintahan yang diserahkan itu, daerah mempunyai kebebasan untuk mengatur dan
mengurus sendiri dengan pengawasan dari pemerintah pusat atau satuan pemerintah yang
lebih tinggi tingkatannya dari daerah yang bersangkutan. Dengan tetap adanya pengawasan,
kebebasan itu tidak mengandung arti adanya kemerdekaan (onafhankelijk).
Ketentuan hukum yang menjadi dasar dikeluarkannya keputusan yang disengketakan
itu mungkin menyebutkan dengan jelas bahwa badan atau pejabat tata usaha negara yang
diberi wewenang pemerintahan. Adapun dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindakan
hukum publik, yaitu adanya kewenangan yang berkaitan dengan suatu jabatan. Jadi dasar yang
demikian itu dinamakan bersifat atributuf yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-
undangan sendiri. Apabila badan atau pejabat tata usaha negara yang memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif itu mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang kemudian
dianggap disengketakan, maka yang harus digugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara
yang disebutkan dalam peraturan dasarnya itu, oleh karena itu telah memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif.
Adakalanya ketentuan dalam dasarnya menyebutkan bahwa pejabat yang mendapat
kewenangan atributif mendelegasikan wewenangnya kepada badan atau pejabat yang lain.
Apabila badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima pendelegasian ini mengeluarkan
keputusan tata usaha negara yang kemudian disengketakan, maka badan atau pejabat tata
usaha negara ini yang bertanggung jawab atas keluarnya keputusan tersebut sehingga badan

25
atau pejabat inilah yang menjadi tergugat. Selain cara pendelegasian wewenang pemerintahan
dapat terjadi dengan cara mandat, namun kalau mandat tidak terjadi pelimpahan kewenangan,
hanya ada hubungan intern.[12] Maka yang digugat tetap pemberi mandat.

B. Objek Sengketa Tata Usaha Negara


Sengketa yang timbul antara rakyat dan pemerintah harus diselesaikan melalui
Pengadilan Tata Usaha Negara. Sengketa tersebut muncul karena adanya objek yang berupa
keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh pejabat tata usaha negara yang dirasa merugikan
kepentingan rakyat. [13]

Berdasarkan pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 51 tahun 2009 menyatakan


bahwa:
“Sengketa tata usaha negara ialah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara
orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Keputusan Tata Usaha Negara Sendiri menurut pasal 1 ayat (9) Undang-Undang
Nomor 51 tahun 2009 adalah:
“Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
1. Objek Sengketa Yang Bersifat Positif
Objek sengketa dalam proses mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara telah ditentukan dalam pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 51 tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara. Dari ketentuan tersebut telah ditemukan unsur-unsurnya dalam penjelasan
sebagai berikut :
a. Penetapan tertulis

12A. Siti Soetami, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Bandung : PT. Refika Aditama, 2005), hal. 4.
13Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara Dan UU PTUN 2004, (Bogor: Ghalia
Indonesia, 2005) hal 23

26
Dalam penjelasan Undang-Undang No. 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang No. 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara tidak
ada penjelasan apa yang dimaksud dari penetapan tertulis tersebut, akan tetapi
pengertian tertulis telah dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang No. 5 tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Menurut pasal 1 angka 3 Undang-Undang No.5 tahun 1986, penetapan tertulis
(beschiking) itu dirumuskan sebagai keputusan tata usaha negara yang dikeluarkan
oleh badan atau pejabat tata usaha negara. Keputusan itu memang harus tertulis,
namun yang disyaratkan tertulis bukanlah dalam bentuk formalmya. Persyaratan
tertulis itu diharuskan untuk kemudahan segi pembuktian. Oleh karena itu, suatu
memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis dan akan merupakan suatu keputusan
badan atau pejabat Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang apabila :
 Badan atau pejabat Tata Usaha Negara mana yang mengeluarkannya.
 Maksud serta mengenai hak apa tulisan itu.
 Kepada siapa tulisan tersebut ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya.
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat dipusat
maupun didaerah yang melakukan kegiatan eksekutif.
c. Berisi Tindakan Hukum Tata Usaha Negara Berdasarkan Peraturan Perundang-
Undangan
Tindakan Hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum badan atau
pejabat tata usaha negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum tata usaha
negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada orang lain. Yang dimaksud
dengan peraturan perundang-undangan ialah semua pearturan yang bersifat mengikat
secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah,
baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah serta semua keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara.
d. Bersifat Konkret, Individual, dan Final (KIF)
Bersifat Konkret artinya objek yang diputuskan dalam keputusan tata usaha
negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu, atau dapat ditentukan.

27
Bersifat Individual artinya keputusan tata usaha negara tidak ditujukan untuk
umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih
dari seseorang, maka tiap-tiap nama orang yang terkena keputusan itu disebutkan.
Bersifat Final artinya sudah definitif dan karenanya dapat menimbulkan akibat
hukum. Keputusan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi
lain belum bersifat final, karena belum dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan.
e. Menimbulkan Akibat Hukum bagi Seseorang atau Badan Hukum Perdata
Menimbulkan akibat hukum artinyaperbuatan hukum yang diwujudkan dalam
perbuatan keputusan tata usaha negara oleh badan hukum atau pejabat tata usaha
negara itu dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada seseorang atau badan hukum
perdata.
Secara substansial keputusan tata usaha negara yang merupakan penetapan
tertulis harus jelas:
 Badan atau pejabat tata usaha negara mana yang mengeluarkannya.
 Maksud serta mengenai hal apa tulisan itu.
 Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
Persyaratan tertulis ditujukan untuk kemudahan segi pembuktian yang dapat
disimpulkan bahwa unsur-unsur keputusan tata usaha negara pada prinsipnya meliputi:
 Ditinjau dari segi pembuatannya : dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha
negara dalam rangka melaksanakan kegiatan yang bersifat eksekutif (urusan
pemerintahan).
 Ditinjau dari segi wujud materiil : berisi tindakan hukum tata usaha negara yaitu
tindakan administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik dari pusat maupin di daerah.
 Ditinjau dari segi sifatnya : Konkret, Individual, dan Final.
 Ditinjau dari segi akibatnya : menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata.
2. Objek Sengketa Tata Usaha Negara yang Bersifat Fiktif Negatif
Dalam penjelasan ketentuan pasal 3 ayat 2 menyatakan bahwa badan atau
pejabat tata usaha negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan

28
keputusan yang berisi penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang
ditetapkan telah lewat dan badan atau pejabat tata usaha negara itu bersikap diap, tidak
melayani permohonan yang telah diterimanya.
Setelah dimohonkan oleh seseorang atau badan hukum perdata agar badan atau
pejabat Tata Usaha Negara mengeluarkan keputusan, akan tetapi oleh badan atau pejabat
tata usaha negara tidak juga mengeluarkan keputusan yang dimohonkan oleh seseorang
atau badan hukum perdata dalam tenggang waktu yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan dan tenggang waktu yang ditentukan telah lewat, padahal
merupakan kewajibannya untuk mengeluarkan keputusan, maka sikap diap badan atau
pejabat tata usaha negara tersebut sama dengan telah mengeluarkan keputusan penolakan.
Jadi sebenarnya dalam hal ini hanya ada keputusan tata usaha negara yang fiktif dan
negatif sikapnya, karena badan atau pejabat tata usaha negara yang menerima
permohonan itu bersikap diap tidak berbuat apa-apa dan tidak mengeluarkan sesuatu
keputusan apapun tetapi oleh Undang-Undang dianggap telah mengeluarkan suatu
penetapan tertulis yang berisi tentang suatu penolakan atas suatu permohonan yang
diterimanya itu. Tentunya yang dimohonkan oleh orang atau badan hukum perdata
tersebut merupakan wewenang dan kewajiban dari badan atau pejabat tata usaha negara
yang menerima permohonan tersebut. Selanjutnya Indroharto menyatakan, bahwa hal
yang dimohon termasuk dalam wewenang badan atau pejabat tata usaha negara yang
menerima permohonan itu ia berkewajiban untuk melayani permohonan tersebut, maka
yang mempunyai arti penting yaitu penentuan tanggal diterimanya permohonan itu.[14]

C. Tidak Termasuk Objek Sengketa Tata Usaha Negara


Dalam beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara, hal yang harus diperhatikan
apakah objek sengketa yang akan digugat itu termasuk objek sengketa tata usaha negara atau
bukan? Artinya, bahwa dalam mengajukan gugatan ada yang dikecualikan sebagai objek
sengketa tata usaha negara sehingga tidak semua gugatan tata usaha negara dapat diterima
sebagai objek sengketa, tetapi objek sengketa tata usaha negara dibatasi hanya menyangkut
sah atau tidaknya keputusan badan atau pejabat tata usaha negara sebagaimana ditentuka

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Pustaka Sinar
14
Harapan, 1991), hal.125.

29
dalam pasal 1 angka 9 undang-undang No. 51 tahun 2009. Oleh karena itu, Hukum Acara di
Pengadilan Tata Usaha Negara mengenal adanya bukan sebagai Objek sengketa Tata Usaha
Negara, sehingga apabila dipaksakan tetap dipakai sebagai objek gugatan maka tidak menutup
kemungkinan bahwa gugatan yang diajukan itu oleh ketua pengadilan bisa dinyatakan tidak
dapat diterima pada waktu pemeriksaan dismissal, karena merupakan kewenangan peradilan
lain.
Menurut ketentuan pasal 2 Undang-Undang No. 9 tahun 2004 tentang perubahan
atas undang-undang no 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang dikecualikan
dari objek sengketa tata usaha negara yaitu:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan bersdasarkan KUHP dan KUHAP atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan
peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha Tentara Nasional Indonesia.
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil
pemilihan umum.

Pasal 49:
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa
yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.

30
BAB IV
ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAH YANG BAIK (AAUPB)

A. Istilah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik


Istilah ‘asas’ dalam Asas Umum Pemerintahan yang Baik, atau AAUPB, menurut
pendapat Bachsan Mustafa dimaksudkan sebagai ‘asas hukum’, yaitu suatu asas yang menjadi
dasar suatu kaidah hukum. Asas hukum adalah asas yang menjadi dasar pembentukan kaidah-
kaidah hukum, termasuk juga kaidah hukum tata pemerintahan. Kaidah atau norma adalah
ketentuan-ketentuan tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku dalam pergaulan
hidupnya dengan manusia lainnya.[15]
Ketentuan tentang tingkah laku dalam hubungan hukum dalam pembentukannya,
sekaligus penerapannya, didasarkan pada asas-asas hukum yang diberlakukan. Perlakuan asas
hukum dalam lapangan hukum tata pemerintahan sangat diperlukan, mengingat kekuasaan
aparatur pemerintah memiliki wewenang yang istimewa, lebih-lebih di dalam rangka
penyelenggaraan kesejahteraan dan kepentingan umum dalam fungsinya sebagai bestuurs.
Kata ‘umum’ berarti sesuatu yang bersifat menyeluruh dan mencakup hal-hal yang
bersifat mendasar dan diterima sebagai prinsip oleh masyarakat secara umum. Kata
‘pemerintahan’ disebut juga sebagai Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dirumuskan
dalam Pasal 1 angka 8 Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009, menyatakan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika kita
mendasarkan pada definisi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut, maka aparat
pemerintah dari tertinggi sampai dengan terendah mengemban 2 (dua) fungsi, yaitu:
1. Fungsi memerintah (bestuursfunctie)
Kalau fungsi memerintah (bestuursfunctie) tidak dilaksanakan, maka roda pemerintahan
akan macet.
2. Fungsi pelayanan (vervolgens functie)

15Cekli Setya Pratiwi, dkk, Penjelasan Hukum Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik (AAUPB) Hukum
Administrasi Negara, http://leip.or.id/wp-content/uploads/2016/05/Penjelasan-Hukum-Asas-Asas-Umum-
Pemerintahan-yang-Baik-Hukum-Administrasi-Negara.pdf (diakses pada tanggal 21 November 2016, 2016) hal, 36

31
Fungsi pelayanan adalah fungsi penunjang, kalau tidak dilaksanakan maka akan sulit
menyejahterakan masyarakat.
Dalam melaksanakan fungsinya, aparat pemerintah selain melaksanakan undang-
undang juga dapat melaksanakan perbuatan-perbuatan lain yang tidak diatur dalam undang-
undang.
Sedangkan kata “Baik” memiliki makna bahwa prinsip–prinsip yang berlaku umum
tersebut didasarkan pada hal-hal yang baik atau patut atau layak untuk dijadikan pedoman
dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagai syarat dalam pembentukan pemerintahan yang
bersih dan baik (clean and good governance).
Dari rumusan pengertian para pakar tentang AAUPB tersebut di atas, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
a. AAUPB merupakan norma hukum (tertulis) dan atau norma etik (tidak tertulis) yang
khusus berlaku di lingkungan administrasi negara;
b. AAUPB merupakan asas yang penting karena menjadi pedoman bagi Pejabat TUN dalam
menjalankan kewenangannya;
c. AAUPB sebagai prinsip-prinsip penting yang wajib diikuti oleh hakim, berfungsi sebagai
alat uji bagi Hakim Administrasi untuk sah atau tidaknya KTUN;
d. AAUPB sebagai dasar pengajuan gugatan bagi pihak penggugat;
e. AAUPB yang bersifat tidak tertulis berlaku mengikat manakala dijadikan dasar bagi Hakim
TUN dalam memutus perkara;
f. AAUPB salah satu fungsinya adalah sebagai arahan atau patokan bagi pelaksanaan
wewenang administrasi negara untuk memberikan dan menentukan batas-batas manakah
yang harus diperhatikan oleh suatu Pejabat TUN dalam bertindak;
g. AAUPB sebagai alat uji bagi Hakim di Peradilan TUN untuk menilai sah atau tidaknya
suatu KTUN.
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik dalam bahasa belanda dinamakan
sebagai algemene begiselen van behorlijk bestuur. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik ini mengandung dua unsure penting, yakni pertama asas tersebut mengandung asas-asas
yang sifatnya etis normatif dan kedua asas tersebut mengandung asas-asas yang sifatnya
menjelaskan. Bersifat etis normatif maksudnya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
dapat digunakan sebagai petunjuk melengkapi suatu sifat penting yang mengandung berbagai

32
pengertian hukum, seperti asas persamaan, asas kepastian hukum dan asas kepercayaan.
Makna dari sifat normative ini yakni bahwa Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
mengatur kadar etis di dalam hukum adminsitrasi penyelenggaraan pemerintahan. Sedangkan
makna dari sifatnya yang menjelaskan adalah Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
tersebut memiliki sifat menjelaskan terhadap sejumlah peraturan hukum[16]. Sebagai asas
hukum, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik adalah asas hukum yang bahanya
diturunkan dari susila (bahan hukum idiil) yang didasarkan pada moral. Moral berkatian
dengan etika, kesopanan, kepatutan, yang berdasarkan pada norma yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat yang baik dan sangat dipengaruhi oleh manusia. Karena Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik merupakan susila yang diturunkan dari moral, etika,
kesopanan dan kepatutan yang berdasarkan pada norma yang berlakku dalam kehidupan
masyarakat, maka Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai asas hukum juga
mempunyai kekuatan mengikat dan harus dipatuhi oleh pejabat administrasi sebagaimana
halnya dengan norma atau aturan hukum.[17]
Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang biasa digunakan di Indonesia
merupakan produk pemikiran dari Belanda, awal mula kelahiran asas-asas ini karena
ketakutan akan terjadinya over diskresi dari pemerintah yang berakibat pada pelanggaran
HAM. Oleh karena itu, pada tahun 1946 pemerintah Belanda membentuk komisi yang
dipimpin oleh de Monchy yang diberikan tugas untuk memikirkan dan meneliti beberapa
alternative tentang Verhoogde Rechtsbescherming (penigkatan perlindungan hukum bagi
rakyat dari tindakan administrasi Negara yang menyimpang), pada tahun 1950 komisi tersebut
melaporkan hasil penelitianya tentang Verhoogde Rechtsbescherming dalam bentuk algemene
beginselen van behoorlijk bestuur (asas-asas umum pemerintahan yang baik). Namun hasil
penelitian komisi ini tidak seluruhyna disetujui oleh pemerintah dan pada akhrinya komisi ini
dibubarkan, diganti dengan komisi Greenten. Komisi greenten yang bertugas sama dengan
komisi de monchy ternyata juga mengalami nasib yang sama karena ada bebrapa hal yang
tidak disetujui oleh pemrintah. Meskipun kedua komisi ini dibubarkan oleh pemerintah,

16 SF. Marbun, Eksistensi Asas-Asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Layak Dalam Menjelmakan Pem
erintahan Yang Baik dan Bersih Di Indonesia, Disertasi, tidak diterbitkan, program pasca sarjana fakultas hokum
Universitas Padjajaran Bandung, 2001. hal. 50
17 Ibid., hal 69

33
namun hasil penelitian mereka (khususnya dari komisi de Monchy) dipergunakan dalam
pertimbangan putusan-putusan Raad van State dalam perkara administrasi.[18]
Dalam yursprudensi awal mula diperkenalkanya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik yakni sejak berlakunya Amtenarenwet 1929 pada tanggal 1 maret 1933. Central raad van
boroep dalam putusanya tanggal 22 juni 1933 mengenai urusan pegawai negeri menyatakan
ia tidak akan membatasi diri pada gugatan yang diajukan atas dasar hukum tertulis dan
kerenana pemerintah seharusnya terikat kepada asas-asas hukum umum. Sedankang
yurisprudensi yang dibuat oleh hakim sipil memperkenalkan Asas-Asas Umum Pemerintahan
Yang Baik semenjak adanya putusan Hoge Raad yang dalam putusan tersbeut meunjukkan
dengan jelas adanya pelanggaran terhadap norma hukum tidak tertulis dalam melaksanakan
atau mengguanakan wewenang hukum publik, sehingga tindakan atau wewenang hukum
public dianggap tidak sesuai dengan pengertian hukum dalam pasal 1401 BW. Dalam
peraturan perundang-undangan, Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik diterima karena
refleksi dari yurisprudensi dan ilmu pengetahuan hukum adminsitrasi, sehingga Asas-Asas
Umum Pemerintahan Yang Baik diterima dalam peraturan perundang-undangan cukup lama
jika dibandingkan dalam yurisprudensi.[ 19]

B. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai Asas yang Terbuka


AAUPB diatur dalam Pasal 10 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan 2014, serta Penjelasannya. Pasal 10 ayat (1) memuat 8 asas AAUPB, yaitu asas
kepastian hukum, asas kemanfaatan, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan, asas tidak
menyalahgunakan kewenangan, asas keterbukaan, asas kepentingan umum, dan asas
pelayanan yang baik. Sedangkan Pasal 10 Ayat (2) mengisyaratkan bahwa asas–asas lain di
luar 8 asas tersebut dapat diakui sebagai AAUPB, sepanjang diterapkan oleh hakim dalam
memutus perkara dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Jika merujuk ketentuan Pasal
10 ayat (2), maka cakupan AAUPB sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) yang
terdiri dari 8 asas, tidak menutup kemungkinan bagi majelis hakim untuk mendasarkan
putusannya pada asas-asas lain di luar asas yang disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1), sepanjang

18 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Kedelapan, (Jakata: RajaGrafindo Persada, 2013),
hal 231-232.
19 SF. Marbun, Eksistensi….op, cit, hal. 149-150

34
asas–asas tersebut diterapkan oleh hakim dalam memutus perkara dan mempunyai kekuatan
hukum yang tetap.

C. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik sebagai Alat Penguji KTUN


Menurut Indroharto, AAUPB merupakan bagian dari asas-asas hukum yang umum
yang secara khusus berlaku dan penting artinya bagi perbuatan-perbuatan hukum
pemerintahan. Arti penting dari keberadaan AAUPB disebabkan oleh beberapa hal:
1. AAUPB merupakan bagian dari hukum positif yang berlaku;
2. AAUPB merupakan norma bagi perbuatan-perbuatan administrasi Negara, di samping
norma-norma dalam hukum tertulis dan tidak tertulis
3. AAUPB dapat dijadikan alasan untuk mengajukan gugatan, dan pada akhirnya AAUPB
dapat dijadikan “alat uji” oleh hakim administrasi, untuk menilai sah atau tidaknya,
atau batal atau tidaknya keputusan administrasi Negara.
Melihat praktik peradilan administrasi, sudah banyak putusan hakim yang menerapkan
AAUPB sebagai “alat uji”. Hakim administrasi dalam melakukan pengujian tidak saja
menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis, namun dapat
menggunakan juga alat ukur lain berupa kaidah hukum tidak tertulis.
Pendapat Philipus ini didukung oleh pendapat Indroharto, yang memerinci dasar-dasar
pertimbangan untuk menguji Keputusan Administrasi Negara yang dapat digugat, dengan
berdasarkan pada empat hal, yaitu:
1. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2. Melanggar larangan detournement de pouvoir;
3. Menyimpang dari nalar yang sehat (melanggar larangan willekeur);
4. Bertentangan dengan AAUPB.
Dengan demikian, urgensi keberadaan AAUPB di samping sebagai pedoman bagi
Administrasi Negara dalam menjalankan pelayanan publik (public service), juga merupakan
alat uji yang dapat digunakan oleh Hakim Administrasi. Oleh karena itu, penerapan AAUPB
merupakan salah satu syarat untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa
(clean and stable government). Didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme dan
didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan, kedua

35
Undang-Undang tersebut menyebutkan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Didalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 dalam pasal 3 menyebutkan asas-asas
penyelenggaraan negara dan didalam pasal 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 asas-
asas umum pemerintahan yang baik. Namun kedua undang-undang tersebut terdapat
perbedaan ada beberapa asas didalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 namun tidak
ada didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999. Asas-asas umum pemerintahan yang
baik didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum
2. Asas tertib penyelenggaraan negara
3. Asas kepentingan umum
4. Asas keterbukaan
5. Asas proporsionalitas
6. Asas profesionalitas
7. Asas akuntabilitas
Sedangkan asas-asas umum pemerintahan yang baik didalam Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2014, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum
2. Asas kepentingan umum
3. Asas keterbukaan
4. Asas kemanfaatan
5. Asas ketidakberpihakan
6. Asas kecermatan
7. Asas tidak menyalahgunakan kewenangan
8. Asas pelayanan yang baik

D. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik di Indonesia


Sebelum melangkah lebih jauh dalam pembahasan eksistensinya, terlebih dahulu
akan saya paparkan mengenai Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik yang berkembang
di Indonesia. Crincen de Roy merangkum sebelas butir Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik yang berasal dari algemene van behorlijk bestuur yang diterima di lingkungan hukum
adminsitrasi Belanda, kesebelas asas tersebut yaitu:

36
1. Asas kepastian hukum
2. Asas keseimbangan
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan
4. Asas bertindak cermat
5. Asas motivasi untuk setiap putusan
6. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan
7. Asas permainan yang layak
8. Asas keadilan dan kewajaran
9. Asas menanggapi penghargaan yang wajar
10. Asas meniadakan akibat keputusan yang batal
11. Asas perlindungan atas pandangan (cara) hidup pribadi
Asas-asas tersebut kemudian dikembangkan dan disebarluaskan oleh Kuntjoro
Purbopronoto dengan menambahkan dua asas, yaitu asas kebijaksanaan dan asas
penyelenggaraan kepentingan umum.

Eksistensi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik di Indoensia, secara tidak


langsung diakui dan dijamin dalam penjelasan UUD 1045 sebelum amandemen, dimana bunyi
penjelasanya sebagai berikut:[ 20]

“Undang-Undang Dasar suatu Negara ialah hanya sebagian dari hukumnya


dasar Negara itu. Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang
diosampingnya hukum dasar itu berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah
aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan
Negara, meskipun tidak tertulis”.

Selain dalam penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen, jaminan hukum tidak
tertulis juga ditemukan dalam berbagai peratuan perundang-undangan yang lain, seperti dalam
pasal 14 ayat 1 UU No 14 th 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman
yang diubah dengan undang-undang nomor 35 th 1999, bunyi dari salah satu pasal tersebut
adalah:[21]

20 Penjelasan UUD 1945


21 UU No 14 th 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok kekuasaan kehakiman

37
“Hakim sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. pencari keadilan
datang kepadanya untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum
tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutuskan berdasarkan sebagai
seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa,
diri sendiri, masyarakat, Bangsa dan Negara”.

Hal senada juga diemukan dalam beberapa ketetapan MPR, antara lain TAP MPR
No. II/MPR/1993 jo TAP MPR No II/MPR/1998 tentang Garis Besar Haluan Negara,
khususnya mengenai materi hukum, isi dari TAP MPR tersebut menyatakan bahwa meteri
hukum meliputi aturan hukum tertulis dan tidak tertulis, berlaku dan mengikat semua
penduduk dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian,
dapat ditegaskan bahwa penyelenggaraan Negara RI bertumpu pada dua pilar hukum dasar,
yakni hukum dasar tertulis dan hukum dasar tidak tertulis.[22]

Fungsi Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik sebagai patokan, pegangan,


arahan dan dasar bagi hakim peradilan administrasi dalam menilai atau membatalkan suatu
keputusan yang dikeluarkan oleh badan/pejabat administrasi Indonesia dalam JUKLAK MA
No 052/Td.TUN/III/1992 tanggal 24 Maret 1992 hanya dimungkinkan dimasukkan dalam
“pertimbangan hukum” suatu putusan, dengan menyebutkan asas mana dari AAUPB tersebut
yang dilanggar dan tidak boleh dimasukkan dalam “diktum putusan”.[23]

Pengaturan mengenai hukum adminsistrasi di Indonesia mengacu kepada UU No


5 th 1986 yang telah mengalami beberapa kali revisi. Revisi undag-undang tersebut banyak
membawa perubahan yang cukup penting dalam hukum acara PTUN, salah satunya berkaitan
dengan alasan gugatan dengan dimasukannya Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik
sebagai salah satu alasan yang dapat digunakan untuk menggugat keputusan tata usaha Negara
sebagaimana yang terdapat dalam pasal 53 ayat 2 (b). Sebelum perubahan pasal tersebut
berbunyi sebagai berikut:[ 24]

Pasal 53

22 Ibid., hal. 73-74


23 Ibid., hal. 134
24 UU No 5 th 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara

38
1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentinganya dirugikan oleh suatu
keputusan tata usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang
berwenang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau
rehabilitasi
2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
b. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 telah mengguanakan wewenangya untuk tujuan
lain dari maksud diberikanya wewenang tersebut
c. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut.

Bunyi revisi dari pasal tersebut sebagai berikut:[ 25]

Pasal 53

1) Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentinganya dirugikan oleh suatu
keputusan tata usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan
yang berwenang berisi tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi
2) Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku

25 UU No 9 th 2004 tentang perubahan atas undang-undang no 5 th 1986 tentang peradilan Tata Usaha Negara

39
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik

Meskipun dalam pasal 53 UU No 5 th 1986 tidak disebutkan secara eksplisit


tentang Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Baik, namun dalam praktiknya pasal 53 ayat 2
huruf c pada kata “semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu” ditafsirkan
sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik.[ 26] Dalam disertasinya, SF. Marbun juga
mengatakan[27]
Kedua asas yang dicantumakan dalam UU No 5 th 1986 tersebut adalah:
a. suatu keputusan yang dikeluarkan atas dasar penyalahgunaan kekuasaan (de
tournament de pouvoir)
b. suatu keputusan yang dikeluarkan atas dasar perbuatan sewenang-wenang (a bus de
droit willikeur)
Meskipun demikian, berkaitan dengan pasal 53 ayat 2 UU No 5 tahun 1986
ditemukan dalam penjelasanya isyarat mengenai AAUPL tersebut, utamanya sehubungan
dengan penggunaan kewenangan bebas (virj bestuur).
Dalam penjelasanya disebutkan sebagai berikut:
Dalam pemerintahan yang bebas Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan bertugas:
 mengumpulkan fakta yang relevan
 mempersiapkan, mengambil dan melaksanakan keputusan yang bersangkutan
dengan memperhatikan asas-asas hukum yang tidak tertulis; dan
 dengan penuh kelonggaran menentukan sendiri isi, cara menyusun dan saat
mengeluarkan peraturan itu.
Ketentuan yang menyebutkan dalam mempersiapkan, mengambil dan
melaksanakan keputusan yang bersangkutan dengan memperhtaikan “asas-asas hukum
yang tidak tertulis”, haruslah diartikan bahwa asas-asas hukum tidak tertulis dalam

26 Hazairin, Materi Kuliah Sistem Peradilan Aministrasi Negara, di Program Pasca Sarjaan Fakultas Hukum UII,
tanggal 12 Juli 2013.
27 SF. Marbun, Eksistensi…. op, cit, hal. 183.

40
penyelenggaraan pemerintahan maksudnya adalah AAUPL. Dengan demikian, secara
implicit eksistensi AAUPL diakui dalam pasal 53 UU No 5 tahun 1986.

41
BAB V
ALUR PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

A. PENGERTIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha
negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara
baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.[28] Jadi objek dari Sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan TUN. Adapun
yang dimaksud dengan Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual,
dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. [29]
Dengan melihat definisi tersebut diatas maka yang menjadi sengketa Tata Usaha
Negara adalah terbatas pada Keputusan tertulis Tata Usaha Negara. Tindakan-tindakan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara di Indonesia yang tanpa Keputusan Tata Usaha Negara tidak
menjadi obyek sengketa tata usaha negara. Menurut sistem hukum kita, kewenangan untuk
menilai perbuatan materiil dari badan atau pejabat TUN ini tidak termasuk kompetensi PTUN,
Kewenangan untuk menilai perbuatan ini diserahkan kepada Peradilan Umum atau perdata,
yang didasarkan penafsiran yang luas dari Pasal 1365 KUHPerdata (tentang onrechtmatig
daad). Keputusan TUN tersebut diatas dibatasi dengan pengurangan dalam pasal 2,
penambahan pada pasal 3 (1), dan limitasi pada pasal 49. Keputusan TUN yang bersifat
konkret, individual, dan final inilah yang dapat digugat ke PTUN yang
kemudian di putus oleh Hakim Tata Usaha Negara.
Alur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara itu sendiri ditempuh melalui dua cara
yaitu melalui peradilan dan melalui upaya administrasi dimana dalam upaya administrasi
tersebut dapat dilakukan banding administrasi dan keberatan. Dalam makalah ini akan dibahas

28 Pasal 1 Ayat (10) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
29 Pasal 1 Ayat (9) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

42
mengenai bentuk dan proses penyelesaian sengketa administrasi menurut Undang-Undang
Nomor 05 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah oleh
Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 09
tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1986 tentang peradilan
Tata Usaha Negara dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan
mengetahui proses penyelesaian sengketa administrasi maka kita memperoleh pengetahuan
dan dapat menjelaskan dengan tepat kapan suatu sengketa dapat diselesaikan melalui jalur
pengadilan, dan kapan suatu penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara melalui upaya
administratif terlebih dahulu.

B. ALUR PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA


Pada dasarnya, penyelesaian sengketa tata usaha negara memiliki dua cara. Yaitu
cara yang pertama melalui upaya administrasi yang kedua melalui upaya peradilan.
Dalam pasal 48 undang-undang no. 5 tahun 1986 tentang peradilan TUN
menyebutkan:
(1) Dalam suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan
peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata
usaha megara tertentu, maka sengketa tata usaha negara tersebut harus diselesaikan
melalui upaya administrasi yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha
negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang
bersangkutan telah digunakan.
Dari pasal tersebut dapat digambarkan penyelesaian sengketa tata usaha begara
sebagai berikut:

Upaya peradilan

Penyelesaian sengketa tata


usaha negara
Banding admintrasi
Upaya administratif
keberatan

43
Dari gambaran diatas, dapat dijelaskan terdapat dua cara penyelesaian sengketa Tata
Usaha Negara, yaitu :
a. Secara langsung yaitu melalui pengadilan
b. Secara tidak langsung yaitu melalui upaya administratif
Mengenai hak gugat yang dimiliki orang atau badan hukum perdata diatur dalam
pasal 53 ayat (1) undang-undang nomor 09 tahun 2004 yang menentukan bahwa: “orang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha
negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang, yang berisi
tuntutan agar keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak
sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi.

1. Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya Administratif


Upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 Undang-undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986
Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan bagian dari suatu sistem
peradilan administrasi, karena upaya administratif merupakan kombinasi atau komponen
khusus yang berkenaan dengan PTUN, yang sama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan
memelihara keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan perseorangan
dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum, sehingga tercipta hubungan
rukun antara pemerintah dan rakyat dalam merealisasikan masyarakat adil dan makmur
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Upaya administratif tersebut ialah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh
seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap keputusan TUN yang
dilaksanakan di lingkunagan pemerintahan itu sendiri. Upaya administraif sebagaimana
diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 terdiri atas dua macam prosedur :
a. Banding Administratif
Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan oleh
instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang
berangkutan. Banding administratif dilakukan dengan prosedur pengajuan surat
banding administratif yang ditujukan pada atasan pejabat atau instansi lain dan

44
badan/pejabat tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang
memeriksa ulang KTUN yang disengketakan (SEMA No.2 tahun 1991 tanggal 9 juli
1991). Dilihat dari Penjelasan Pasal 48 UU PTUN, terdapat dua kategori
lembaga/instansi yang berwenang untuk menangani adanya Banding Administratif
yaitu:
 Instansi atasan dari Pejabat yang mengeluarkan KTUN dan
 instansi lain yang berwenang.
Instansi atasan tersebut menunjukkan adanya hubunan heirarkhis baik
secara struktural ataupun koordinatif, sedangkan instansi lain menunjukkan tidak
adanya hubungan hirarki antara pembuat KTUN dengan instansi lain tersebut.
Sebagai contoh Banding Administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan, misalnya
Keputusan Bupati–Banding Administratifnya ke Gubernur, Keputusan Menteri
(terhadap kewenangan yang telah didelegasikan) Banding Administrasinya ke
Presiden. Sedangkan contoh Banding Administrasi yang dilakukan pada Instansi lain
yang berwenang, misalnya seorang Pegawai Negeri Sipil yang dipecat oleh Pejabat
Pembina Kepegawaian karena melanggar PP Nomor 30 Tahun 1980, dapat
mengajukan Banding Administrasi kepada Badan Pertimbangan Kepegawaian.[ 30]
b. Keberatan
Ialah penyelesaian sengketa TUN secara administratif yang dilakukan
sendiri oleh badan/ pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan itu. Keberatan
dilakukan dengan prosedur pengajuan surat keberatan yang ditujukan kepada badan
atau pejabat TUN yang mengeluarkan keputuan semula.[31]
Kriteria untuk membedakan penyelesaian ialah ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya KTUN atau tolok ukur
yuridis formal. Dari hal itu dapat diketahui, apakah dapat digunakan atau tidak upaya
administratif. Kriteria tersebut di atas dapat dilihat dengan mengkaitkan substansi
ketentuan Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 (sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004) dengan pasal 48 UU Nomor

30 Martitah, Hery Abduh S, Buku Ajar Hukum Acara PTUN, Hal.37


31 W.Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2005, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hal.38-
39

45
05 tahun 1986. Pasal 48 dapat digunakan sebagai tolok ukur yuridis manakala terjadi
sengketa Tata Usaha Negara yang menentukan efektivitas gugatan. Sebab, pasal 48
ayat (2) menegaskan bahwa upaya administratif yang disediakan oleh pasal 48
merupakan syarat imperatif yang wajib dilalui jika peraturan dasar dan KTUN
tersebut mengharuskan dilakukannya upaya administratif. Jadi jika dikaitkan dengan
obyek sengketa TUN, perlu dilakukan atau tidaknya upaya administratif harus dilihat
pada konsideran yuridis KTUN. [32]
Sebelum menggunakan ketentuan pasal 53 ayat 1 untuk menempuh prosedur
gugatan di PTUN terlebih dahulu harus dilihat ketentuan pasal 48 ayat 1 yang
menyatakan bahwa dalam hal suatu badan atau pejabat tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa TUN tertentu, maka sengketa TUN
tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia. Pasal 48 (1) itu
dapat diinterpretasikan :
a. Tidak setiap Keputusan Tata Usaha Negara dapat langsung diselesaikan di
Pengadilan Tata Usaha Negara;
b. Kewenangan bagi badan atau pejabat TUN untuk menyelesaikan secara
administratif sengketa TUN tertentu meliputi dua hal :
 Wewenang itu sifatnya diberikan kepada Badan atau Pejabat TUN sesuai
dengan lingkup tugas Badan atau pejabat TUN oleh peraturan perundang-
undangan (jadi wewenang itu baru diperoleh badan atau pejabat TUN
setelah secara formal diberikan oleh peraturan perundang-undangan).
 Wewenang itu memang sudah ada pada badan atau pejabat TUN
berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga
penggunaan wewenang itu hanya tinggal melihat pada peraturan perundang-
undangan yang mengatur masalah tersebut.
c. Penyelesaian sengketa TUN oleh badan atau pejabat TUN adalah penyelesaian
sengketa secara administratif sehingga penilaian dilakukan dengan

32 W.Riawan Tjandra, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, 2005, Universitas Atmajaya Yogyakarta, hal.37

46
memperhatikan aspek doelmatiegheid dan rechtsmatigheid (aspek hukum dan
kebijaksanaannya) atas KTUN itu.
d. Penyelesaian melalui upaya administratif yang tersedia merupakan ketentuan
yang bersifat imperatif, wajib harus dilakukan sebelum menggunakan upaya
melalui pasal 53. Hal itu berkaitan dengan pasal 48 ayat 2 yang menegaskan
bahwa pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaiakan
sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 jika seluruh upaya
administratif yang bersangkutan telah digunakan. Apabila seluruh prosedur dan
kesempatan tersebut pada penjelasan ayat 1 telah ditempuh dan pihak yang
bersangkutan masih tetap belum merasa puas, barulah persoalannya dapat
digugat dan diajukan ke pengadilan(penjelasan pasal 48 ayat 2).
Undang-Undang menentukan bahwa atas suatu Keputusan Tata Usaha Negara
yang tersedia prosedur upaya administratif, maka upaya administratif tersebut harus
dijalankan terlebih dahulu. Bila hasil upaya dirasa kurang memuaskan barulah
diajukan gugatan Tata Usaha Negara, langsung ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara sebagai Peradilan Tingkat Pertama, tanpa melalui Peradilan Tata Usaha
Negara.

2. Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Pengadilan


Proses Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan yaitu upaya yang
dilakukan melalui mengajukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Pengadilan
baru berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara jika seluruh upaya administratif sudah digunakan. Apabila peraturan
dasarnya hanya menentukan adanya upaya administratif berupa pengajuan surat
keberatan, maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan
diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun, jika peraturan dasarnya
menentukan adanya upaya administatif berupa pengajuan surat keberatan dan/atau
mewajibkan pengajuan surat banding administratif, maka gugatan terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus dalam tingkat banding
administratif diajukan langsung kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam
tingkat pertama yang berwenang.

47
Ketentuan Pengajuan Gugatan Pada Pengadilan Tata Usaha Negara yaitu
bahwa gugatan gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau
pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.
Sehingga yang menjadi tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata.
Sedangkan yang dimaksud dengan Keputusan Tata Usaha Negara, yang
menjadi objek sengketa, adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret,
individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata.
a. Prosedur Dismissal
Wewenang mutlak Ketua PTUN, berupa suatu proses utk meneliti apakah
gugatan yang diajukan Penggugat tersebut layak atau tidak dalam arti memenuhi
ketentuan Pasal 62 ayat (1) UU 5/86 atau tidak. Jika memenuhi salah satu saja
dari Pasal 62 ayat (1) maka tidak lolos dismissal, begitupun sebaliknya.
Setelah diajukan gugatan, maka akan dilakukan pemeriksaan dismissal atau
rapat permusyawaratan. Dalam rapat permusyawaratan ini, Ketua Pengadilan
berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak
diterima atau tidak berdasar, dalam hal:
- pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan;
- syarat-syarat gugatan tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah
diberi tahu dan diperingatkan;
- gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
- apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
- gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

48
Terhadap penetapan ini dapat diajukan Perlawanan kepada Pengadilan dalam
tenggang waktu empat belas hari setelah diucapkan. Dalam hal perlawanan
tersebut dibenarkan oleh Pengadilan, maka penetapan gugur demi hukum dan
pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
Terhadap putusan mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum.
b. Pemeriksaan Persiapan
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas.
Dalam pemeriksaan persiapan Hakim bertindak sesuai berikut ini:
- wajib memberi nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu tiga puluh
hari;
- dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang bersangkutan.
Apabila dalam jangka waktu 30 hari penggugat belum menyempurnakan
gugatan, maka Hakim menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat
diterima. Terhadap putusan ini tidak dapat digunakan upaya hukum, tetapi dapat
diajukan gugatan baru.
- Persidangan Terbuka Untuk Umum
Setelah dilakukan pemeriksaan persiapan maka akan dilakukan pemeriksaan
perkara untuk mendapatkan putusan dengan acara biasa maupun acara cepat
yang akan dibahas pada bab macam-macam acara yang ada di PTUN.
Terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dapat dimintakan
pemeriksaan banding oleh penggugat atau tergugat kepada Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara. Bahkan jika penggugat tidak juga puas dengan
putusan tersebut, dapat dilakukan upaya hukum kasasi hingga upaya hukum
luar biasa peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
PTUN bertugas dan berwenang untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa TUN di Tingkat pertama (Psl 50 UU 5/86). Orang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentinganya dirugikan dgn diterbitkannya

49
KTUN dapat mengajukan gugatan sengketa TUN di tempat kedudukan dari
Tergugatt (Psl 54 ayat (1) UU 5/86).
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan digunakan terhadap gugatan
dengan objeknya berupa Keputusan Tata Usaha Negara yang dalam peraturan
dasarnya tidak mengisyaratkan adanya penyelesaian sengketa melalui upaya
administratif terlebih dahulu, maka dapat digunakan prosedur gugatan langsung ke
Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam hal digunakan upaya peradilan, maka segi
penilaian Hakim terhadap Keputusan TUN didasarkan aspek rechtmatigheid (aspek
legalitasnya) saja.
Tahapan menggugat melalui Peradilan Tata Usaha Negara diawali pada saat
penggugat berniat memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Sudah
dari awal harus dipikirkan bahwa sebelum secara resmi gugatan tersebut akan
diperiksa di persidangan akan ada tiga tahap pemeriksaan pendahuluan atau tahap
pra pemeriksaan persidangan yang semuanya saling berkaitan yang harus dilalui,
yaitu pemeriksaan administratif oleh kepaniteraan, Rapat Permusyawaratan
(prosedur dismisal), dan Pemeriksaan Persiapan dengan spesifikasi kewenangan dan
prosedur untuk masing-masing tahap tersebut berbeda-beda. [33]
Penelitian Administrasi dilakukan oleh Kepaniteraan, merupakan tahap
pertama untuk memeriksa gugatan yang masuk dan telah didaftar serta mendapat
nomor register yaitu setelah Penggugat/kuasanya menyelesaikan administrasinya
dengan membayar uang panjar perkara. UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun
2004 tidak menentukan secara tegas pengaturan tentang penelitian segi administrasi
terhadap gugatan yang telah masuk dan didaftarkan dalam register perkara di
Pengadilan, akan tetapi dari ketentuan Pasal 62 ayat (1) huruf b UU No. 5 Tahun
1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 yang antara lain menyatakan, “Syarat-syarat gugatan
sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 56 tidak terpenuhi oleh penggugat sekalipun
ia telah diberitahukan dan diperingatkan”. [34]

33 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2005, hal.83
34 Yodi Martono Wahyunadi, Makalah dengan judul : Prosedur Beracara Di Tingkat Pengadilan Tata Usaha
Negara,hal.1

50
Setelah Penelitian Administrasi, Ketua melakukan proses dismissal, berupa
prosses untuk meneliti apakah gugatan yang diajukan penggugat layak dilanjutkan
atau tidak. Pemeriksaan Disimissal, dilakukan secara singkat dalam rapat
permusyawaratan oleh ketua dan ketua dapat menunjuk seorang hakim sebagai
reporteur (raportir). Dalam Prosedur Dismissal Ketua Pengadilan berwenang
memanggil dan mendengar keterangan para pihak sebelum menentukan penetapan
disimisal apabila dipandang perlu.Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan
suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan
yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasarkan dalam hal sebagai
berikut :
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi
oleh penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan
TUN yang digugat.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
f. Dalam hal adanya petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan,
maka kemungkinan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan
tersebut. Hal ini dalam praktek tidak pernah dilakukan karena adanya perbaikan
gugatan dalam pemeriksaan persiapan.
Terhadap penetapan dismissal dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan
dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah diucapkan. Proses perlawanan
dilakukan secara singkat, serta setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan maupun
Tergugat/Terlawan didengar dalam persidangan tersebut. Berdasarkan Surat MARI
No. 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 Perihal : Juklak, diatur mengenai
Prosedur perlawanan- Pemeriksaan terhadap perlawanan atas penetapan dismissal
(Pasal 62 ayat 3 sd. 6 UU No.5/1986) tidak perlu sampai memeriksa materi
gugatannya seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli, dsb. Sedangkan
penetapan dismissal harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.-

51
Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, akan tetapi pengucapan
putusannya harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.Terhadap
perlawanan yang dinyatakan benar maka dimulailah pemeriksaan terhadap pokok
perkaranya mulai dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya.Majelis yang
memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa
gugatan perlawanan tersebut tetapi dengan penetapan Ketua Pengadilan. Jadi tidak
dengan secara otomatis. Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh Pengadilan
maka penetapan dismissal itu gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa,
diputus, dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan mengenai
perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. Baik upaya hukum biasa
maupun upaya hukum luar biasa. Apabila pihak Pelawan mengajukan permohonan
banding atau upaya hukum lainnya, maka Panitera berkewajiban membuat akte
penolakan banding atau upaya hukum lainnya.[35]
Sebelum pemeriksaan pokok sengketa dimulai, Hakim wajib mengadakan
pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas. Tujuan
pemeriksaan persiapan adalah untuk mematangkan perkara. Segala sesuatu yang
akan dilakukan dari jalan pemeriksaan tersebut diserahkan kearifan dan
kebijaksanaan ketua majelis. Oleh karena itu dalam pemeriksaan persiapan
memanggil penggugat untuk menyempurnakan gugatan dan atau tergugat untuk
dimintai keterangan/ penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus
didengar secara terpisah. Pemeriksaan persiapan dilakukan di ruangan musyawarah
dalam sidang tertutup untuk umum, tidak harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula
dilakukan di dalam kamar kerja hakim tanpa toga. Pemeriksaan persiapan dapat pula
dilakukan oleh hakim anggota yang ditunjuk oleh ketua majelis sesuai dengan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh ketua majelis.
Tenggang waktu 30 hari untuk perbaikan gugatan dalam fase pemeriksaan
persiapan, janganlah diterapkan secara ketat sesuai bunyi penjelasan Pasal 63 ayat 3
UU No. 5 Tahun 1986. Tenggang waktu 30 hari tersebut tidak bersifat memaksa
maka hakim tentu akan berlaku bijaksana dengan tidak begitu saja menyatakan
bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima kalau penggugat baru satu kali diberi

35 Ibid, hal.4-5

52
kesempatan untuk memperbaiki gugatannya. (Penjelasan Pasal 63 ayat 3 UU No. 5
Tahun1986).Dalam pemeriksaan perkara dengan acara cepat tidak ada pemeriksaan
persiapan. Setelah ditunjuk Hakim tunggal, langsung para pihak dipanggil untuk
persidangan.
Dalam pemeriksaan persidangan ada dengan acara biasa dan acara cepat
(Pasal 98 dan 99 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004). Dalam
pemeriksaan dengan acara biasa, Pengadilan memeriksa dan memutus sengketa TUN
dengan tiga orang Hakim, sedangkan dengan acara cepat dengan Hakim Tunggal.
Apabila Majelis Hakim memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut
ketertiban umum atau keselamatan negara, persidangan dapat dinyatakan tertutup
untuk umum, namun putusan tetap diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk
umum. Peranan hakim ketua sidang dalam proses pemeriksaan sengketa TUN adalah
aktif dan menentukan serta memimpin jalannya persidangan agar pemeriksaan tidak
berlarut-larut. Oleh karena itu, cepat atau lambatnya penyelesaian sengketa tidak
semata-mata bergantung pada kehendak para pihak, melainkan Hakim harus selalu
memperhatikan kepentingan umum yang tidak boleh terlalu lama dihambat oleh
sengketa itu.Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian
beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-
kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim. Pasal 107 UU No.5 Tahun
1986 jo UU No. 9 Tahun 2004 mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan
kebenaran materil. Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan, kedua belah
pihak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa
kesimpulan masing-masing.
Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan, maka Hakim Ketua
Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk memberikan kesempatan kepada
Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan
segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.Putusan dalam musyawarah majelis
yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis merupakan hasil permufakatan bulat,
kecuali setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat dicapai
permufakataan bulat, putusan diambil dengan suara terbanyak. Apabila musyawarah
majelis tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai

53
musyawarah majelis berikutnya. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya
tidak dapat diambil suara terbanyak, maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang
menentukan.Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang
yang terbuka untuk umum atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahukan
kepada kedua belah pihak.Putusan Pengadilan harus diucapkan dalam sidang terbuka
untuk umum. Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak hadir pada waktu
putusan pengadilan diucapkan, atas perintah Hakim Ketua Sidang salinan putusan itu
disampaikan dengan surat tercatat kepada yang bersangkutan. Tidak diucapkannya
putusan dalam sidang terbuka untuk umum mengakibatkan putusan Pengadilan tidak
sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan pasal 97 ayat 7 Undang-
Undang nomor 5 tahun 1986, isi putusan TUN dapat berupa :
a. Gugatan ditolak
Putusan hakim Peradilan TUN yang menyatakan gugatan ditolak
adalah berupa penolakan terhadap gugatan penggugat, berarti memperkuat
KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. Pada
umumnya suatu gugatan ditolak oleh Majelis Hakim karena alat-alat bukti yang
diajukan pihak penggugat tidak dapat mendukung gugatannya, atau alat-alat
bukti yang diajukan pihak tergugat lebih kuat.
b. Gugatan dikabulkan
Gugatan dikabulkan bisa berarti pengabulan seluruhnya atau
pengabulan sebagian. Gugatan dikabulkan berarti paula pernyataan bahwa
KTUN yang digugat dinyatakan batal atau tidak sah.
c. Gugatan tidak dapat diterima
Putusan yang berupa gugatan tidak dapat diterima berarti bukan
putusan terhadap pokok perkara tetapi gugatan tersebut tidak memenuhi
persyaratan yang ditentukan. Persyaratan tersebut sebagaimana dimaksud dalam
prosedur dismissal dan/atau pemeriksaaan persiapan.
d. Gugatan Gugur
Putusan pengadilan yang menyatakan gugatan gugur dalam hal para
pihak atau kuasanya tidak hadir dalam persidangan yang telah ditentukan dan
mereka telah dipanggil secara patut, atau perbaikan gugatan yang diajukan oleh

54
pihak penggugat telah melampaui tenggang waktu yang ditentukan
(daluwarsa).[36]
Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan pengadilan dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 97 ayat (8) dapat disertai
pembebanan ganti rugi berupa :
a. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan atau
b. Pencabutan keputusan TUN yang bersangkutan dan penerbitan keputusan TUN
yang baru; atau
c. Penerbitan keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3 ayat
(10).
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan
ganti rugi. Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8)
menyangkut kepegawaian, maka disamping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam
(9) dan ayat (10) dapat disertai pemberian rehabilitasi.[37]
Bagi pihak yang tidak sependapat dengan Putusan PTUN dapat mengajukan
upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) dalam
tenggang waktu 14 hari setelah putusan PTUN diberitahukan secara sah. Mengenai
pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum
sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN.
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi
ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU
Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung. Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas
terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat

36 Zairin Harahap. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2007,Hal.149
37 Yodi Martono Wahyunadi,Makalah dengan judul : Prosedur beracara di Tingkat Pengadilan Tata Usaha Negara
, hal.12

55
ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung
RI.[38]
Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d
119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan
lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan
eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi
administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak
mau melaksanakan putusan Peratun.

C. PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI INDONESIA


Penyelesaian sengketa tata usaha negara di Indonesia menggunakan Proses
penyelesaian sengketa Administrasi. Bentuk penyelesaian sengketa administrasi atau sengketa
Tata Usaha Negara terdiri dari dua cara yaitu :
a. Secara Langsung yaitu melalui pengadilan
b. Secara Tidak langsung yaitu melalui upaya administratif
Mengenai hak gugat yang dimiliki orang atau badan hukum perdata diatur dalam
pasal 53 ayat (1) Undang-Undang nomor 09 tahun 2004 yang menentukan bahwa : “orang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata
Usaha Negara, dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang, yang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal
atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan / atau rehabilitasi.
Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar gugatan adalah :
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bertentangan dengan Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB)
Adapun yang dimaksud dengan AAUPB meliputi Azas-azas yang tercantum
dalam UU No 28 tahun 1999 tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari KKN
yaitu:
 Azas kepastian hukum

38 Subur MS (Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang), Artikel : Fungsi, Tugas, Wewenang Dan Mekanisme
Beracara Di Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun) diakses pada tanggal 7 November 2016

56
 Azas tertib penyelenggaran negara
 Azas keterbukaan
 Azas proporsionalitas
 Azas profesionalitas
 Azas akuntabilitas
Tuntutan utama gugatan di peradilan Tata Usaha Negara adalah pernyataan batal
atau tidak syah keputusan TUN yang digugat, meskipun dapat disertai tuntutan ganti rugi akan
tetapi menurut ketentuan pasal 3 PP No 43 tahun 1991 tentang ganti rugi dan tata cara
pelaksanaannya, maksimal hanya lima juta rupiah. [39]

Penyelesaian Sengketa Administrasi Di Indonesia masih terdapat beberapa


kelemahan-kelemahan khususnya dalam hal pengaturannya yaitu dalam peraturan
perundang-undangan antara lain :
a. Dalam Hal Tenggang Waktu pengajuan Gugatan
Tenggang waktu pengajuan gugatan diatur dalam Pasal 55 Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) dimana: “gugatan
dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Ketentuan tersebut harus direvisi kembali karena waktu daluarsanya sangat pendek dan
bila dikaitkan dengan upaya administrasi maka sisa tenggang waktu pengajuan gugatan
di pengadilan TUN menjadi lebih sedikit.
b. Dalam Hal Objek Sengketa TUN
Objek sengketa TUN terbatas pada Keputusan tertulis Tata Usaha Negara.
Tindakan-tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di Indonesia yang tanpa
Keputusan Tata Usaha Negara tidak menjadi obyek sengketa tata usaha negara.
Pengertian objek sengketa TUN tersebut menyimpang dari pengertian sengketa
administrasi negara secara luas yang secara teoritis mencakup seluruh perbuatan hukum
publik. Sengketa administrasi negara muncul jikalau seseorang atau badan hukum perdata

39 Ujang Abdullah, Makalah dengan judul : Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa, Disampaikan dalam
Bimbingan Teknis Peradilan Tata Usaha Negara Pemerintah Propinsi Lampung, 13-14 Juli 2005, hal.8

57
merasa dirugikan, sebagai akibat dikeluarkannya suatu keputusan. Sebagaimana
diketahui bahwa, pejabat administrasi negara dalam fungsi menyelenggarakan
kepentingan umum tidak terlepas dari tindakan mengeluarkan keputusan, sehingga tidak
menutup kemungkinan pula keputusan tadi menimbulkan kerugian. Selain berbentuk
keputusan tindakan pejabat tadi dapat berbentuk perbuatan materiil sepanjang dalam
rangka melaksanakan perbuatan hukum publik. Akan tetapi terhadap pelanggaran hukum
atas perbuatan hukum publik yang bersifat materiil (onrechmatige overheidsdaad)
sampai saat ini penyelesaian sengketanya bukan kewenangan pengadilan administrasi
negara (PTUN), karena undang-undang pengadilan administrasi negara (PTUN) saat ini
belum mengadopsi sebagaimana yang ada dalam sistem peradilan administrasi negara di
Prancis yang menjadi kiblat penyelesaian sengketa administrasi di dunia.[40]
c. Perihal yang didudukkan sebagai Tergugat
Berdasarkan Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 05 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara menyatakan bahwa : Tergugat adalah pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputuan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum.
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas maka badan atau pejabat tata usaha
negara yang secara atributif diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengeluarkan
keputusan TUN, atau yang oleh undang-undang ia mendapat limpahan wewenang
(delegasi) untuk mengeluarkan keputusan TUN. Konsekuensi Hukum dari pasal tersebut
adalah :
 Apabila wewenang atributnya masih dipegang oleh Badan/pejabat yang
bersangkutan maka tergugatnya adalah badan/pejabat tersebut
 Apabila wewenang atributnya telah didelegasikan kepada badan/pejabat yang lain,
maka tergugatnya adalah badan/pejabat yang menerima pendelegasian wewenang
tersebut.
 Dalam hal mandat, Tergugatnya tetap pada pemberi mandat (mandans) bukan
penerima mandat (mandataris)

40 http://piksi-unnes.com/ptun-semarang/artikel.html diakses tanggal 11 November 2016

58
Asas tersebut diatas harus dipahami dan dimengerti karena masih sering terjadi
kewenangan badan/pejabat telah beralih/dilimpahkan dalam bentuk delegasi wewenang
namun yang didudukan sebagai tergugat maih badan /pejabat yang
melimpahkan/mendelegasikanwewenang, bukan yang menerima delegasi wewenang.[ 41]
d. Pelaksanaan eksekusi pengadilan administrasi negara (PTUN) sebagaimana diatur dalam
Pasal 116 UU No.5 Tahun 1986 Jo UU No.9 Tahun 2004 belum ditindak lanjuti oleh
peraturan pelaksana sehingga tidak ada kejelasan mengenai prosedur dan penerapan
hukuman administrasi negaranya.
e. Banyaknya dibentuk lembaga-lembaga peradilan khusus akan tetapi wewenang
didalamnya ada yang meliputi penyelesaian sengketa administrasi sehingga menjadi
overlap dengan wewenang pengadilan administrasi negara (PTUN), seperti : penyelesaian
sengketa perburuhan yang berkaitan dengan keputusan depnakertrans, sengketa HAKI
yang bersifat administratif, sengketa pajak, dan lain-lain.[42]
f. Ganti rugi dalam sengketa TUN karena terdapat kerugian materiil yang diderita oleh
penggugat hanya didasarkan pada kerugian yang sifatnya materiil. Menurut Peraturan
Pemerintah No 43 tahun 1991, besarnya ganti rugi adalah minimal sejumlah Rp 250.000,-
(dua ratus lima puluh ribu Rupiah) dan maksimal sejumlah Rp 5.000.000 (Lima Juta
Rupiah). Permasalahan dalam pelaksanaan pemberian ganti rugi adalah lama dan
rumitnya prosedur yang harus ditempuh oleh Penggugat, disisi lain jumlah ganti rugi yang
diterima belum sesuai dengan kerugian yang diderita. Masalah lain dalam pemberian
ganti rugi bagi Penggugat adalah, secara hukum tidak dapat dipastikan waktunya kapan.

41 Paulus Effendi Lotulung (Tuada Uldiltun Mahkamah Agung RI), Meningkatkan Kualitas Peradilan TUN dengan
Persamaan Persepsi dalam Penerapan Hukum, Paparan Ketua Muda Mahkamah Agung RI Urusan Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara dalam Rapat Kerja Nasional di Palembang tanggal 06-10 Oktober 2009,Hal.5

42 http://piksi-unnes.com/ptun-semarang/artikel.html diakses tanggal 10 November 2016

59
BAB VI
JENIS-JENIS HUKUM ACARA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

Peradilan Hukum Tata Usah Negara berwenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata
usaha negara yang terbit dibidang tata usaha negara yaitu antara seseorang rakyat atau badan hum
perdata dengan badan tata usaha negara, termasuk perselisihan sengketa masyarakat terhadap:[43]
a. Pencemaran tata lingkungan
b. Kesehatan/perlindungan lingkungan
c. Lingkungan transnasional/internasional
d. Perselisihan lingkungan.
Hukum acara di Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki beberapa hukum acara yang dapat
dilakukan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara, yaitu sebagai berikut:
A. PEMERIKSAAN PERKARA DENGAN ACARA BIASA
A.) Pengajuan Gugatan
Pada saat Pasal 53 ayat (1) belum diadakan perubahan dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004,[44] dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2
Tahun 1991,[45] telah diberikan petunjuk lebih lanjut bahwa gugatan dapat juga diajukan
melalui pos. Dengan demikian, pengajuan gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
53 ayat (1), dapat dilakukan dengan cara gugatan diajukan langsung oleh Penggugat atau
gugatan diajukan melalui pos oleh Penggugat.
Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan “Pengadilan yang Berwenang”
dalam perumusan Pasal 53 ayat (1) tersebut, di samping harus memperhatikan ketentuan
tentang kompetensi relatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, juga harus memperhatikan ketentuan tentang sengketa Tata Usaha
Negara yang harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia.

1. Gugatan Diajukan Langsung oleh Penggugat

43 R. Soegito Tjakranegara, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, ( Jakarta: Sinar Grafika,
2008 ), hal 148
44 Perbedaan antara Pasal 53 ayat (1) sebelum dan sesudah diadakan perubahan dengan Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 adalah hanya kata seseorang diubah atau diganti dengan “orang” saja.
45 Lihat butir I angka 7 hurufb pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.

60
Gugatan yang diajukan langsung oleh Penggugat diterima oleh Panitera,
tetapi tidak langsung dimasukkan ke dalam daftar perkara, sebelum Penggugat
membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditafsir oleh Panitera (Pasal 59
ayat (1) jo. ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Melalui Surat Edaran
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1991, ditentukan biaya
perkara sekurang-kurangnya sebesar Rp50.000,- (lima puluh ribu rupiah).[46]
Penjelasan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “uang muka biaya perkara” adalah
biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai uang panjar oleh pihak Penggugat terhadap
perkiraan biaya yang diperlukan dalam proses berperkara seperti biaya kepaniteraan,
biaya materai, biaya saksi, biaya ahli, biaya alih bahasa, biaya pemeriksaan di tempat
lain dan ruang sidang, dan biaya lain yang diperlukan bagi pemutusan sengketa atas
perintah Hakim.
Setelah uang muka biaya perkara dibayar, gugatan dimasukkan dalam
daftar perkara untuk mendapatkan nomor perkara dan gugatan baru diproses untuk
selanjutnya.[47] Jadi, dalam menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara melalui
gugatan, pembayaran uang muka biaya perkara sifatnya adalah imperatif. Tanpa
adanya pembayaran uang muka biaya perkara, gugatan tidak akan diproses lebih
lanjut.

2. Gugatan Diajukan Melalui Pos oleh Penggugat


Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 1991 ditentukan, bahwa dalam hal gugatan diajukan melalui pos. Panitera
harus memberitahu pembayaran uang muka biaya perkara kepada Penggugat dengan
diberi waktu paling lama 6 (enam) bulan bagi Penggugat itu untuk memenuhinya dan
kemudian diterima di Kepaniteraan terhitung sejak tanggal dikirimnya surat
pemberitahuan tersebut.

46 Lihat butir I angka 7 huruf a pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.
47 Pasal 59 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

61
Setelah lewat tenggang waktu 6 (enam) bulan dan uang muka biaya
perkara belum diterima di Kepaniteraan, maka gugatan tidak akan didaftar. Gugatan
yang dikirim melalui pos yang belum dipenuhi pembayaran uang muka biaya
perkara, dianggap sebagai surat biasa. Namun jika sudah jelas merupakan suatu surat
gugatan, maka harus tetap disimpan di Panitera Muda Bidang Perkara dan harus
dicatat dalam Buku Pembantu Register dengan mendasarkan pada tanggal
diterimanya gugatan tersebut. Dengan demikian ketentuan tenggang waktu dalam
Pasal 55 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tidak terlampaui.
Gugatan yang diajukan melalui pos oleh Penggugat, seperti halnya
gugatan yang diajukan langsung oleh Penggugat baru diproses lebih lanjut, jika telah
dibayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditafsir oleh Panitera. Bagaimana
jika Penggugat tidak mampu untuk membayar uang muka biaya perkara?
Pasal 60 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan
bahwa:
”Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan untuk
bersengketa dengan cuma-cuma.”
Penjelasan Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan seseorang dianggap tidak mampu apabila penghasilannya sangat kecil,
sehingga tidak mampu membayar biaya perkara dan biaya pembelaan perkara di
pengadilan.
Permohonan untuk bersengketa dengan cuma-cuma (prodeo) oleh
Penggugat diajukan bersama-sama dengan surat gugatan kepada Ketua Pengadilan
dengan dilampirkan surat keterangan tidak mampu dan Kepala Desa atau Lurah di
tempat kediaman Penggugat.[48] Permohonan tersebut harus diperiksa dan ditetapkan
lebih dahulu oleh pengadilan sebelum pokok perkara diperiksa.[49]
Penetapan pengadilan terhadap permohonan yang dimaksud diambil di
tingkat pertama dan terakhir,[50] artinya tidak ada upaya hukum yang dapat
dipergunakan. Penetapan yang mengabulkan permohonan dan Penggugat untuk

48 Pasal 60 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.


49 Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
50 Pasal 61 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

62
bersengketa dengan cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding
dan kasasi.[51]

B.) Penelitian Administrarif


Ketentuan tentang penelitian administratif secara tegas tidak terdapat
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009. Akan tetapi dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 62 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat
diketahui bahwa perlu diadakan penelitian terhadap syarat-syarat gugatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Melalui Mahkamah Agung [ 52] telah diberikan beberapa petunjuk, bahwa
yang berwenang melakukan penelitian administratif adalah Panitera, Wakil Panitera
dan Panitera Muda Perkara sesuai dengan pembagian tugas yang diberikan.
Sedangkan yang menjadi objek penelitian administratif hanya segi formal saja,
misalnya segi formal dari surat kuasa atau segi formal tentang bentuk dan isi gugatan
apakah sudah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 56, tetapi tidak sampai
menyangkut segi materiil dari gugatan.
Dalam tahap penelitian administratif Panitera harus memberikan
petunjuk seperlunya dan dapat meminta kepada Penggugat untuk memperbaiki
gugatan yang dipandang perlu. Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara
dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan masalah gugatan.
Untuk memudahkan pemeriksaan perkara selanjutnya, maka setelah
perkara dimasukkan dalam daftar perkara dan memperoleh nomor perkara, oleh staf
Kepaniteraan membuat resume gugatan terlebih dahulu sebelum diajukan kepada
Ketua Pengadilan dengan bentuk formal yang isi pokoknya sebagai berikut:
a. Siapa subjek gugatan dan apakah Penggugat maju sendiri atau diwakili oleh
kuasa?

Pasal 61 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.


51
Lihat butir I pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991 dan Surat Ketua Muda Mahkamah Agung
52
Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara tanggal 24 Maret 1992 Nomor 051/Td.TUN/III/1992.

63
b. Apa yang menjadi objek gugatan dan apakah objek gugatan tersebut termasuk
dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara yang memenuhi unsur Pasal 1
butir 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 9 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009)?
c. Apakah yang menjadi alasan gugatan dan apakah alasan memenuhi unsur Pasal
53 ayat (2) butir a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004?
d. Apakah yang menjadi petitum atau isi gugatan, apakah hanya pembatalan
Keputusan Tata Usaha Negara saja atau ditambah dengan tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi?
Untuk penelitian syarat-syarat formal gugatan, panitera atau staf
Kepaniteraan dapat memberikan catatan atas gugatan tersebut.

C.) Rapat Permusyawaratan


Setelah surat gugatan serta resume gugatan diterima Ketua Pengadilan
dan Panitera, maka oleh Ketua Pengadilan surat gugatan tersebut diperiksa dalam
rapat permusyawaratan. Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa dalam rapat permusyawaratan,
Ketua Pengadilan berwenang menentukan dengan suatu penetapan yang dilengkapi
dengan pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan dinyatakan tidak diterima atau
tidak berdasar dalam hal:
a. pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
pengadilan;
b. syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh
Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan;
c. gugatan tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
d. apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat;
e. gugatan yang diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.

64
Penjelasan Pasal 62 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 menyatakan bahwa yang dimaksud denganpokok gugatan adalah fakta yang
dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut, Penggugat mendalilkan adanya
suatu hubungan hukum tertentu dan oleh karenanya mengajukan tuntutannya.
Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang pemeriksaan surat gugatan
dalam rapat permusyawaratan, lebih dahulu perlu untuk dikemukakan bahwa
prosedur yang dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1), adalah prosedur penyelesaian yang
disederhanakan (vereenvoudigde behandeling, dismissal procedure). Ketua
Pengadilan diberikan wewenang untuk memutuskan dengan mengeluarkan
penetapan, yaitu penetapandismissal,dilengkapi dengan pertimbangan bahwa
gugatan yang diajukan ke pengadilan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.
Dismissal procedure hanya khusus ada di Hukum Acara Tata Usaha Negara dan tidak
terdapat di Hukum Acara Perdata.
Apa yang dimaksud dengan rapat permusyawaratan dalam perumusan
Pasal 62 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan pelaksanaannya, dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak dijelaskan. Pemeriksaan dalam rapat
permusyawaratan hanya terpusat pada apakah gugatan memenuhi salah satu atau
beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud huruf a, b, c, d, dan atau e
dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 saja, yaitu sebagai
berikut:
a. Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
pengadilan. Contoh: Gugatan yang diajukan bukan merupakan sengketa Tata
Usaha Negara, karena Keputusan Tata Usaha yang menimbulkan sengketa
adalah Keputusan Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun telah diberitahu
dan diperingatkan. Contoh: Pada waktu diadakan penelitian administratif oleh
staf Kepaniteraan, kepada Penggugat telah diberitahu dan diperingatkan agar hal

65
yang dituntut dalam surat gugatan diperbaiki dengan maksud supaya ada
kaitannya dengan dasar gugatan, tetapi ternyata Penggugat mengabaikan.
c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak. Contoh:
Gugatan yang dasar gugatannya tidak menjurus pada alasan gugatan seperti
dimaksud dalam Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004. Indroharto,memberikan contoh gugatan
yang [53] positanya hanya menggambarkan fiat iseng dan Penggugat.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat. Contoh: Seseorang mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara yang memohon agar keputusan Bupati Kepala
daerah tentang pembatalan Izin Mendirikan Bangunan yang telah diperolehnya
dinyatakan tidak sah. Sebelum gugatan diperiksa dalam rapat permusyawaratan,
keputusan pembatalan Izin Mendirikan Bangunan tersebut telah dicabut oleh
Bupati Kepala Daerah.
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya. Contoh:
Dengan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia, A telah dijatuhi hukuman
disiplin berupa pemberhentian tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri
Sipil. A tidak dapat menerima hukuman disiplin yang dijatuhkan oleh Jaksa
Agung Republik Indonesia tersebut dan mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara. Gugatan dan A ini dikatakan belum waktunya,
karena A harus mengajukan lebih dahulu banding administratif ke Badan
Pertimbangan Kepegawaian seperti yang ditentukan dalam Pasal 34 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010.
Apabila dipandang perlu waktu dilakukan pemeriksaan pada rapat
permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan
keterangan para pihak sebelum Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan dismissal.
Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera atas
pemerintah Ketua Pengadilan.[54] Dalam melakukan pemeriksaan, Ketua Pengadilan
agar tidak terlalu mudah menerapkan ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud

53 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II,...Op.cit , hal. 151.
54 Pasal 62 ayat (2) huruf b.

66
dalam pasal 2 ayat 1 Undang-undang nomor 5 tahun 1986, kecuali mengenai pasal
62 ayat 1 huruf a dan c.[55]
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan, menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi semua ketentuan
sebagaimana dimaksud oleh huruf a, b, c, d, dan atau e dan Pasal 62 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka Ketua Pengadilan mengeluarkan penetapan
yang menunjuk Hakim untuk memeriksa gugatan dengan acara biasa.[56]

D.) Pemeriksaan Persiapan


Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986, sebelum pemeriksaan pokok sengketa di muka umum
dimulai, Majelis Hakim yang telah ditetapkan oleh Ketua Pengadilan, wajib
mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas
atau untuk mematangkan perkara.[57]
Pemeriksaan persiapan ini dapat pula dilakukan oleh Hakim Anggota
yang ditunjuk oleh Ketua Majelis sesuai dengan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Ketua Majelis.[58] Oleh karena pemeriksaan persiapan dilakukan sebelum
pemeriksaan pokok sengketa dimuka umum dimulai, maka pemeriksaan persiapan
dapat dilakukan di ruangan musyawarah dalam sidang tertutup untuk umum, tidak
harus di ruangan sidang, bahkan dapat pula dilakukan didalam kamar kerja Hakim
tanpa memakai toga.[59]
Penjelasan Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa ketentuan yang terdapat dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986, adalah kekhususan dalam proses pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara.
Kepada Hakim diberi kemungkinan mengadakan pemeriksaan persiapan
sebelum memeriksa pokok sengketa. Dalam kesempatan ini Hakim dapat meminta

55 Lihat butir 11.1 huruf c pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nonior 2 Tahun 1991.
56 Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II,...Op.cit, hal. 91.
57 Lihat butir 111.1 pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.
58 Lihat butir 111.2 huruf b pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.
59 Lihat butir 111.2 huruf a pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.

67
penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan demi
lengkapnya data yang diperlukan untuk gugatan itu. Wewenang Hakim untuk
mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam
mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara mengingat Penggugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
kedudukannya tidak sama.
Penjelasan Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan bahwa dalam kenyataan Keputusan Tata Usaha Negara yang hendak
disengketakan, mungkin tidak ada dalam tangan Penggugat. Dalam hal keputusan
ada padanya, maka untuk kepentingan pembuktian, Penggugat harus
melampirkannya pada gugatan yang diajukan. Akan tetapi, baik Penggugat yang
tidak memiliki Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan maupun pihak
ketiga yang terkena akibat hukum keputusan tersebut, tentu tidak mungkin
melampirkan pada gugatan terhadap keputusan yang hendak disengketakan.
Dalam rangka pemeriksaan persiapan, Hakim selalu dapat meminta
kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk
mengirimkan Keputusan Tata Usaha Negara yang sedang disengketakan itu kepada
Pengadilan. Dengan kata sedapat mungkin dalam Pasal 56 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 ditampung semua kemungkinan, termasuk apabila tidak ada
keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986.
Untuk mencapai tujuan dan pemeriksaan persiapan, segala sesuatu yang
akan dilakukan untuk pemeriksaan persiapan tersebut diserahkan kepada kearifan
dan kebijaksanaan Ketua Majelis.[60]
Oleh karenanya dalam pemeriksaan persiapan, memanggil Penggugat
untuk menyempurnakan gugatan dan/atau Tergugat untuk dimintai keterangan atau
penjelasan tentang keputusan yang digugat, tidak selalu harus didengar secara
terpisah. Pemeriksaan persiapan terutama untuk menerima bukti dan surat yang
berkaitan dengan gugatan. Dalam hal ada tanggapan dari Tergugat, tidak dapat

60 Ibid., butir 11.1.

68
diartikan sebagai duplik. Jika sampai terjadi demikian, harus dibuat berita acara
pemeriksaan persiapan.
Menurut Indroharto,[61] dalam pemeriksaan persiapan dapat dilakukan
pemeriksaan setempat, pemeriksaan surat-surat yang disimpan oleh instansi-instansi
tertentu, atau pendengaran saksi-saksi yang dapat memberikan kejelasan mengenai
fakta-fakta yang berkaitan dengan perkara yang bersangkutan.
Dalam melakukan pemeriksaan setempat tidak perlu dilaksanakan oleh
Majelis Hakim yang 1engkap, cukup oleh salah seorang Hakim Anggota khusus
ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan setempat yang dituangkan dalam bentuk
penetapan.[62]
Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan,
dalam pemeriksaan persiapan Hakim:
a. wajib memberi nasihat kepada Penggugat untuk memperbaiki gugatan dan
melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari, serta
b. dapat meminta penjelasan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
bersangkutan.

B. PEMERIKSAAN PERKARA DENGAN ACARA SINGKAT


Sebagaimana telah dikemukakan tentang Acara Pemeriksaan Biasa, jika hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan dalam rapat permusyawaratan
menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi semua ketentuan seperti dimaksud huruf a, b,
c, d, dan/atau e dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka Ketua
Pengadilan mengeluarkan penetapan yang menunjuk Majelis Hakim untuk memeriksa
gugatan dengan acara biasa.
Sebaliknya bila dari hasil pemeriksaan yang dilakukan Ketua Pengadilan
menunjukkan bahwa gugatan memenuhi salah satu atau beberapa ataupun semua ketentuan

61 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, ...Op.cit , hal. 89.
62 Lihat butir III.3 huruf b pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.

69
seperti dimaksud pada huruf a, b, c, d, dan/atau e dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986, maka menunjuk pada ketentuan Pasal 62 ayat (1) pula, Ketua Pengadilan
mengeluarkan penetapan dilengkapi dengan pertimbangan yang menyatakan bahwa gugatan
tidak diterima atau tidak berdasar. Penetapan ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dan
Panitera Kepala atau Wakil Panitera (Wakil Ketua Pengadilan dapat pula menandatangani
penetapan dalam hal Ketua Pengadilan berhalangan).[ 63]
Sejalan dengan hal tersebut Martiman Prodjohamidjojo, mengemukakan sebagai
berikut:
a. Jika pokok gugatan nyata tidak termasuk dalam wewenang pengadilan, gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima atau niet onvankelijk verklaard (Pasal 62 ayat (1) huruf a Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986).
b. Jika syarat formil dalam Pasal 56 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tidak dipenuhi oleh Penggugat, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (nie
onvankeljk verklaard). Apabila syarat materiil Pasal 56 ayat (1) huruf c Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tidak dipenuhi, maka gugatan dinyatakan tidak berdasar atau
nietgegrond (Pasal 62 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).
c. Apabila gugatan tidak didasarkan pada alasan yang layak (Pasal 53 ayat (2) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986), gugatan dinyatakan tidak berdasar atau nietgegrond (Pasal
62 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).
d. Apabila apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi di dalam Keputusan
Tata Usaha Negara yang digugat, maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (Pasal 62
ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).
e. Apabila gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktu, gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima (Pasal 62 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).
Penetapan yang dikenal dengan penetapan dismissal, menurut Pasal 62 ayat (2)
huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, diucapkan dalam rapat permusyawaratan
sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua pihak untuk mendengarkan
penetapan tersebut. Penetapan dismissal di samping sebagai penetapan yang menyatakan
bahwa gugatan tidak diterima atau tidak berdasar, karena telah memenuhi salah satu atau

63 Lihat butir 11.3 pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.

70
beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud oleh huruf a, b, c, d dan atau e dan
Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, sesuai dengan petunjuk Mahkamah
Agung.[64] penetapan dismissal juga dimungkinkan dalam hal adanya bagian petitum gugatan
yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan.
Terhadap penetapan dismissal tersebut, menurut Pasal 62 ayat (3) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, Penggugat dapat mengajukan upaya hukum yang
berupa perlawanan ke Pengadilan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
penetapan dismissal diucapkan.
Apabila Penggugat mengajukan perlawanan, menurut Pasal 62 ayat (3) huruf b
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, per1awanan tersebut diajukan dengan mengikuti
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Dengan demikian Penggugat yang mengajukan perlawanan sama halnya dengan Penggugat
ketika mengajukan gugatan. Menurut Indroharto,[65] perlawanan yang diajukan oleh
Penggugat tersebut disebut gugatan perlawanan.
Dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 076/G/1993/
PEND/PTUN-JKT,[66] Penggugat yang mengajukan perlawanan disebut Pelawan, sedang
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta yang penetapan dismissal nya diajukan
perlawanan oleh Penggugat disebut sebagai Terlawan.
Selanjutnya mengenai perlawanan yang diajukan oleh Penggugat tersebut, oleh
Pasal 62 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ditentukan bahwa perlawanan yang
dimaksud diperiksa dan diputus dengan Acara Pemeriksaan Singkat. Sayang sekali dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009, tidak terdapat ketentuan yang harus diikuti oleh Pengadilan
dalam menyelesaikan gugatan perlawanan dengan Acara Pemeriksaan Singkat. Kecuali Pasal
62 ayat (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menentukan, terhadap putusan
mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum. Kemudian Mahkamah Agung
memberikan petunjuk sebagai berikut:

64 Lihat butir 11.4 pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991.
65 Indroharto, Usaha Memaharni Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II,.Op.cit , hal. 149.
66 Yurisprudensi Mahkamah Agung 1983, Penerbit Mahkamah Agung RI, hal.369.

71
a. Yang memeriksa gugatan perlawanan adalah Majelis Hakim.[ 67]
b. Pemeriksaan gugatan perlawanan oleh Majelis Hakim tanpa terlebih dahulu dilakukan
pemeriksaan persiapan.[68]
c. Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara tertutup, tetapi putusannya harus
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.[69]
d. Dalam memeriksa gugatan perlawanan, setidak-tidaknya baik Penggugat ataupun Tergugat
atau Terlawan didengar dalam persidangan memeriksa pokok gugatan seperti memeriksa
bukti-bukti, saksi, saksi ahli dan sebagainya.[ 70]
e. Terhadap putusan gugatan perlawanan tidak tersedia upaya hukum apava hukum biasa
maupun upaya hukum luar biasa.[71]
f. Dalam hal pihak Pelawan mengajukan permohonan banding atau upaya hukum lainnya,
maka panitera berkewajiban membuat akta penolakan banding.[ 72]
Jika setelah dilakukan pemeriksaan, ternyata perlawanan yang diajukan
tersebut dibenarkan oleh Hakim, maka Hakim menjatuhkan putusan bahwa perlawanan
diterima atau berdasar. Dengan adanya putusan tersebut, maka menurut Pasal 65 ayat (5)
Undang Nomor 5 Tahun 1986, penetapan dismissal yaitu penetapan yang dikeluarkan oleh
Ketua Pengadilan yang menyatakan gugatan yang diajukan Penggugat tidak diterima atau
tidak berdasar, menjadi gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan
diselesaikan menurut Acara Pemeriksaan biasa.
Sebaliknya, jika setelah dilakukan pemeriksaan ternyata perlawanan yang
diajukan Penggugat tersebut tidak dibenarkan oleh Hakim, maka Hakim menjatuhkan putusan
bahwa perlawanan tidak diterima atau tidak berdasar atau ditolak. Dengan adanya putusan
tersebut, maka penetapan dismissal, yaitu penetapan yang dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan
yang menyatakan gugatan Penggugat tidak diterima atau tdlak berdasar, lalu mempunyai

67 Lihat butir VII.1 huruf b pada Surat Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradiian Tata Usaha
Negara tanggai 14 Oktober 1993 Nomor 224/ Td/TUN/X/I993.
68 Ibid. pada butir V1I.1 huruf a.2.
69 Ibid . pada butir V1I.1 huruf c.
70 Lihat butir I.1 huruf b pada Surat Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradiian Tata Usaha Negara
tanggai 14 Oktober 1993 Nomor 222/Td/TUN/X/I993
71 Lihat butir I.2 huruf a pada Surat Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradiian Tata Usaha Negara
tanggai 14 Oktober 1993 Nomor 224/Td/TUN/X/I993
72 Ibid pada butir I.2 huruf b.

72
kekuatan hukum tetap, karena tidak ada upaya hukum yang dapat digunakan Penggugat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (5) Undang-Undang 5 Tahun 1986.
Menurut putusan Mahkamah Agung Nomor IPK/TUN/1991, [73] bahwa
lembaga peninjauan kembali termasuk dalam pengertian upaya hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 62 ayat (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Oleh karenanya
permohonan peninjauan kembali adalah tidak beralasan, sehingga harus dinyatakan tidak
dapat diterima.
Penetapan dismissal yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tersebut
dengan sendirinya berlaku pula untuk pokok sengketa Tata Usaha Negara yang disebutkan
dalam gugatan.[74] Bentuk akhir dan penyelesaian gugatan perlawanan terhadap penetapan
dismissal, disebutkan berupa putusan dan bukan penetapan. Pasal 62 ayat (6) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dengan tegas telah menentukan: Terhadap putusan mengenai
perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum. Apalagi ditambah adanya petunjuk
Mahkamah Agung yang menentukan: Pemeriksaan gugatan perlawanan dilakukan secara
tertutup, tetapi pengucapan putusannya harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.[75]
Berdasarkan praktik dapat disebutkan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta Nomor 076/1993/PEND/ PTUN-JKT,[76] yang menolak perlawanan
dan Drs R.J. Kapten Adisumarta, sebagai Pelawan terhadap Ketua Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta sebagai Terlawan. Akan tetapi dalam beberapa literatur tentang Hukum Acara
Tata Usaha Negara, [77] disebutkan bahwa bentuk akhir dari penyelesaian gugatan perlawanan
terhadap penetapan dismissal adalah berupa penetapan dan bukan putusan.
Berpegangan adanya penetapan dismissal yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap tersebut, apakah Penggugat masih dapat mengajukan gugatan lagi?. Penggugat
sudah tentu masih mempunyai kesempatan dapat mengajukan gugatan lagi, dengan dasar

73 Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Cetakan ke-I (Surabaya: Penerbit Airlangga
University, 1997), hal. 105.
74 Indroharto, Usaha Memaami Undang-Undang tentangPeradilan Tata Usaha Negara, Bukti II, ...Op.cit, hal. 163.
75 Lihat butir VII.1 huruf c pada Surat Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara tanggai 14 Oktober 1993 Nomor 224/Td/TUN/X/1993
76 Yurisprudensi Mahkamah Agung 1983, Penerbit Mahkamah Agung RI, hhn.369.
77 Misainya M. Nasir, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, (Jakarta: Penerbit Jambatan, Jakarta, 2003), hal.
137.

73
gugatan baru, berbeda dengan dasar gugatan pada gugatan yang telah mendapatkan penetapan
dismissal tersebut.

C. PEMERIKSAAN PERKARA DENGAN ACARA CEPAT


1. Pengajuan Gugatan
Pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan acara cepat adalah sama
dengan pengajuan gugatan dalam pemeriksaan dengan acara biasa. Perbedaannya terletak
bahwa di dalam gugatan yang diajukan Penggugat, harus disebutkan secara tegas adanya
alasan agar pemeriksaan terhadap sengketa Tata Usaha Negara dipercepat. Di dalam Pasal
98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:
Apabila terdapat kepentingan Penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat
disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya, penggugat dalam gugatannya
dapat memohon kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat.
Berdasarkan ketentuan Pasal 98 ayat (1) tersebut, dapat diketahui agar dapat
dilakukan pemeriksaan dengan acara cepat, pengajuan gugatan harus memenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Dalam surat gugatan harus sudah dimuat atau disebutkan alasan-alasan yang menjadi
dasar dan Penggugat untuk mengajukan permohonan agar pemeriksaan sengketa Tata
Usaha Negara dipercepat. Artinya alasan tersebut jangan sampai tidak dimuat atau
disebutkan dalam surat gugatan, tetapi oleh Penggugat baru dikemukakan pada waktu
Penggugat mengajukan replik. Apabila alasan Hukum alasan yang dimaksud tidak
sampai dimuat atau disebutkan dalam surat gugatan, Ketua Pengadilan sangat sulit
untuk menentukan apakah memang benar Penggugat mempunyai kepentingan yang
cukup mendesak, sehingga pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara perlu
dipercepat dan karenanya perlu mempergunakan Acara Pemberitaan Cepat.
b. Berdasarkan alasan yang dikemukakan Penggugat tersebut, dapat ditarik kesimpulan
adanya kepentingan dan Penggugat yang cukup mendesak bahwa pemeriksaan
terhadap sengketa Tata Usaha Negara tersebut memang perlu dipercepat.

74
Perlu mendapat perhatian bahwa alasan yang dikemukakan oleh Penggugat
tersebut, tidak hanya sekadar kepentingan dan Penggugat bahwa pemeriksaan terhadap
sengketa Tata Usaha Negara yang diajukan perlu dipercepat, tetapi kepentingan dan
Penggugat yang dimaksud harus merupakan kepentingan yang cukup mendesak.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak disebutkan apa yang
dimaksud dengan kepentingan penggugat yang cukup mendesak‖ dalam Pasal 98 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Penjelasan Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 hanya
menyebutkan bahwa kepentingan Penggugat dianggap cukup mendesak apabila
kepentingan itu menyangkut Keputusan Tata Usaha Negara yang berisikan misalnya
perintah pembongkaran bangunan atau rumah yang ditempati Penggugat .
Memperhatikan penjelasan Pasal 98 ayat (1) tersebut, maka apa yang dimaksud dengan
“kepentingan penggugat yang cukup mendesak” dalam Pasal 98 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 mempunyai sifat yang kasuistis, sehingga kepada Ketua Pengadilan
diberikan kebebasan untuk membuat penilaian terhadap alasan yang diajukan oleh
Penggugat dalam permohonannya agar sengketa Tata Usaha Negara dapat dipercepat
pemeriksaannya.

2. Penelitian Administrarif
Seperti halnya pada pemeriksaan dengan Acara Pemeriksaan Biasa, pada
pemeriksaan dengan Acara Pemeriksaan Cepat, Juga dilakukan penelitian administratif.
Penelitian administratif yang dilakukan pada pemeriksaan dengan Acara Pemeriksaan
Cepat sama dengan penelitian administratif yang dilakukan pada pemeriksaan dengan
Acara Pemeriksaan Biasa.

3. Rapat Permusyawaratan
Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa
Ketua Pengadilan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya
permohonan supaya pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat, mengeluarkan
penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan tersebut.

75
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 98 ayat (2) tersebut, dapat
diketahui bahwa yang mempunyai wewenang untuk mengabulkan atau tidak
mengabulkan permohonan supaya pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat
adalah Ketua Pengadilan, yang dituangkan dalam bentuk penetapan Ketua Pengadilan.
Selain oleh Ketua Pengadilan, penetapan tentang dapat dikabulkan atau tidak dapat
dikabulkannya permohonan supaya pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dipercepat,
dapat dikeluarkan pula oleh Hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan sebelum pokok
perkara diperiksa.[78] Penetapan Ketua Pengadilan tersebut dikeluarkan dalam jangka
waktu 14 (empat belas) hari setelah diterimanya permohonan supaya pemeriksaan
sengketa tata usaha negara dipercepat.
Permohonan supaya pemeriksaan perkara Tata Usaha Negara dipercepat
dimasukkan atau disebutkan dalam surat gugatan, maka praktis penetapan Ketua
Pengadilan yang dimaksud dikeluarkan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah
diterimanya surat gugatan oleh staf Kepaniteraan. Sebelum Ketua Pengadilan
mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkannya permohonan dari
Penggugat, sudah tentu Ketua Pengadilan akan melakukan pemeriksaan dalam rapat
permusyawaratan terhadap gugatan yang sudah diadakan penelitian administratif oleh
Staf Kepaniteraan.
Pemeriksaan didahului dengan pemeriksaan apakah gugatan memenuhi salah
satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud oleh huruf a, b, c, d, atau
e dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Apabila hasil dari
pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua Pengadilan menunjukkan bahwa gugatan
memenuhi salah satu atau beberapa atau semua ketentuan sebagaimana dimaksud oleh
huruf a, b, c, d, dan atau e dan Pasal 62 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
maka dengan menunjuk pada Pasal 62 ayat 91) pula, Ketua Pengadilan akan
mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan tidak diterima atau tidak
berdasar tanpa melakukan pemeriksaan terhadap alasan-alasan yang diajukan Penggugat
dalam permohonannya agar sengketa Tata Usaha Negara dipercepat pemeriksaannya.

78 Lihat butir 11.4 pada Surat Ketua Muda Mahkainah Agung Urusan Lingkungan Peradilai Tata Usaha Negara
tangga] 24 Maret 1992 Nomor 052/Td.TUN/11I/1992.

76
Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut, Penggugat dapat mengajukan
upaya hukum yang berupa perlawanan (Pasal 62 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986). Akan tetapi, jika hasil dan pemeriksaan yang dilakukan oleh Ketua
Pengadilan menunjukkan bahwa gugatan tidak memenuhi semua ketentuan sebagaimana
dimaksud di dalam huruf a, b, c, d dan e dan Pasal 62 (1), maka Ketua Pengadilan baru
memeriksa apakah dan alasan-alasan yang dimuat atau disebutkan dalam surat gugatan,
dapat ditarik kesimpulan bahwa memang terdapat kepentingan Penggugat yang cukup
mendesak untuk dikabulkan permohonan agar pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara
dipercepat.
Hasil dari pemeriksaan yang dilakukan Ketua Pengadilan tersebut, dapat
berupa permohonan dan Penggugat tidak dikabulkan atau permohonan dan Penggugat
dikabulkan.
a. Permohonan dari Penggugat tidak dikabulkan
Jika permohonan dari Penggugat tidak dikabulkan, maka Ketua
Pengadilan akan mengeluarkan penetapan bahwa permohonan dan Penggugat
tersebut ditolak atau tidak dikabulkan (Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 dan sekaligus diputuskan bahwa sengketa Tata Usaha Negara akan
diperiksa dengan Acara Biasa).[79] Terhadap penetapan Ketua Pengadilan tersebut,
tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 98 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986).
b. Pemohon dan Penggugat dikabulkan
Jika permohonan dari Penggugat dikabulkan, maka Ketua Pengadilan
akan mengeluarkan penetapan bahwa permohonan dari Penggugat diterima atau
dikabulkan (Pasal 98 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986). Dalam jangka
waktu 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya penetapan tersebut, Ketua Pengadilan
menentukan tentang hari, tempat dan waktu sidang tanpa melalui prosedur
pemeriksaan persiapan (Pasal 99 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).
Dengan penetapan, Ketua Pengadilan menunjuk Hakim Tunggal untuk melakukan

79 Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, ...Op.cit , hal.
162.

77
pemeriksaan dengan Acara Pemeriksaan Cepat (Pasal 99 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986).

78
BAB VII
GUGATAN DAN SURAT KUASA

A. GUGATAN
1. Gugatan dan Waktu Menggugat
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau pejabat
tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan (Pasal 1 angka
11). Sesuai penjelasan di bab sebelumnya, hanya subjek yang terkena atau yang dirugikan
oleh KTUN yang berhak menggugat atau mengajukan gugatan ke Peratun, atau organisasi
yang sesuai aturan AROB dan memenuhi syarat-syarat tertentu.
Gugatan juga dapat ditempuh dengan dua alur,yaitu langsung dan tidak
langsung, dimana surat gugatan dibuat secara tertulis dan disertai tuntutan ganti rugi
dan/atau rehabilitasi, sesuai isi Pasal 53 ayat (1).
Proses pengajuan gugatan di PTUN yang penting harus diperhatikan dengan
seksama adalah masalah tenggang waktu pengajuan gugatan. Gugatan dapat diajukan
hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau
diumumkannya Keputusan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara (pasal 55).
Konsekuensi yuridis akibat tidak dipenuhinya syarat limitatif mengenai tenggang waktu
tersebut, adalah gugatan oleh Ketua Pengadilan dapat dinyatakan tidak diterima karena
gugatan diajukan sebelum waktunya atau teliah lewat waktunya (pasal 62 ayat 1 huruf e).
Bagi penggugat, pengertian sejak saat diterimanya keputusan (beschikking) yang
bersangkutan itu perlu diteliti: Apakah keputusan TUN yang disampaikan memang
berupa suatu keputusan TUN yang positif telah dikeluarkan, ataukah merupakan
keputusan TUN fiktif menurut pasal 3 ayat 2 atau merupakan keputusan TUN yang
menurut pasal 3 ayat 3.
Hal tersebut, akan menentukan saat mulai dihitungnya tenggang waktu
sembilan puluh hari di atas. Metode penghitungan tenggang waktu sembilan puluh hari
untuk pengajuan gugatan (pasal 55 dan pasal 3) adalah meliputi sebagai berikut:[ 80]
1) Untuk keputusan positif (berwujud, pasal 1 angka 3) maka, saat mulai dihitungnya
90

80 W. Riawan Tjandra, Op.Cit. hal. 46.

79
2) Hari adalah menurut bunyi rumusan pasal 55 (lihat penjelasan), yaitu:
3) Sejak hari diterimanya KTUN yang digugat itu yang memuat nama penggugat.
4) Sejak hari pengumuman keputusan (beschikking) tersebut dalam hal peraturan
dasamya menentukan bahwa suatu keputusan itu harus diumumkan.
5) Untuk KTUN (beschikking) yang telah melewati upaya administratif (pasal 48),
tenggang waktu 90 hari dihitung sejak diterimanya KTUN yang diputus dari instansi
pemutus upaya administratif tersebut.
6) Untuk keputusan fiktif (pasal 3), penghitungan tenggang waktu 90 hari tersebut harus
dilihat apakah dalam peraturan dasarnya ditentukan mengenai batasan tenggang
waktu keharusan Badan atau Pejabat TUN mengadakan reaksi atas suatu
permohonan yang telah masuk. Sehingga, penghitungan tenggang waktu 90 hari
tersebut adalah sebagai berikut (pasal 3 ayat 2 dan ayat 3 serta penjelasan pasal 55):
Pasal 3 ayat (2) menyebutkan, jika ada ketentuan tenggang waktu harus
mengeluarkan keputusan, maka, tenggang waktu 90 hari dihitung sejak habisnya
kesempatan mengambil keputusan itu, yaitu setelah lewatnya tenggang waktu yang
ditentukan dalam peraturan dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan
yang bersangkutan. Jika tidak ada maka, tenggang waktu 90 hari dihitung setelah lewatnya
batas waktu empat bulan yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang
bersangkutan (pasal 3 ayat 3). Penghitungan tenggang waktu sebagaimana dimaksud pasal
55 terhenti/ditunda (geschors) pada waktu gugatan didaftarkan di Kepaniteraan PTUN
yang berwenang. Sehubungan dengan pasal 62 ayat 6 dan pasal 63 ayat 1, maka gugatan
baru hanya dapat diajukan dalam sisa waktu dari penghentian/penundaan penghitungan
tenggang waktu gugatan saat didaftarkan di Kepaniteraan PTUN yang berwenang tersebut
di atas.
Pada penjelasan Pasal 3 ayat (2) disebutkan Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang menerima permohonan dianggap telah mengeluarkan keputusan yang berisi
penolakan permohonan tersebut apabila tenggang waktu yang ditetapkan telah lewat dan
badan atau Pejabat Tata Usaha Negara itu bersikap diam, tidak melayani permohonan yang
telah diterimanya. Bagi mereka yang tidak dituju oleh suatu KTUN tetapi yang merasa
kepentingannya dirugikan maka tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam pasal 55

80
dihitung secara kasuistis sejak saat ia merasa kepentingannya dirugikan oleh KTUN dan
mengetahui adanya keputusan tersebut.
Ketentuan mengenai pembatasan tenggang waktu tersebut adalah berkaitan
dengan masalah kepastian hukum (rechtszekerheid) yang berkaitan dengan masalah
kekuatan berlakunya KTUN yang disengketakan serta menyangkut kewibawaan badan
atau pejabat TUN dalam mengeluarkan KTUN. Maka, tampak di sini Undang-undang
berusaha mengakomodir dua kepentingan yang berbeda, yaitu sisi kepentingan masyarakat
menyangkut masalah kepastian hukum berlakunya KTUN dan sisi kepentingan individual
dalam arti untuk melindungi hak-hak perseorangan yang terkena akibat hukum dari
dikeluarkannya atau tidak dikeluarkannya KTUN (lihat penjelasan umum angka 1, pasal 1
angka 3, pasal 3 dan pasal 49).
Perlindungan preventif dan represif terhadap hak-hak individual juga tampak
dengan dibukanya kesempatan untuk perbaikan gugatan dalam pemeriksaan persiapan
(pasal 63). Untuk tetap dapat melindungi hak-hak subyek hukum yang dikenai akibat
KTUN tanpa mengorbankan sisi kepastian hukum yang berkaitan dengan limitasi tenggang
waktu (pasal 55), maka, sebenarnya dimungkinkan penggugat mengajukan gugatan secara
sumir (pro forma) terlebih dahulu, yang nantinya dapat disempurnakan dalam pemeriksan
persiapan sejauh gugatan tersebut telah memenuhi persyaratan minimum, yaitu:[ 81]
a. Maksud pemohon untuk menggugat Badan atau Pejabat TUN tertentu;
b. Gugatan itu ditujukan terhadap suatu KTUN yang dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan
TUN tersebuta;
c. Gugatan itu diajukan oleh orang atau badan hukum perdata yang berhak mengajukan
gugatan.

b. Alasan Mengajukan Gugatan


Ada beberapa alasan seorang atau badan hukum perdata mengajukan gugatan,
hal ini tertuang dalam Pasal 53 ayat (2). Disana disebutkan alasan nya karena KTUN
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, badan atau pejabat TUN sewaktu
mengeluarkan putusan itu telah salah menggunakan kewenangannya dengan maksud dan
tujuan lain, seharusnya putusan itu tidak dikeluarkan mengingat dan mempertimbangkan

81 Ibid, hal.47.

81
semua kepentingan tidak harus dikeluarkan. Terhadap alasan yang dikemukakan dalam
pengajuan gugatan, pengujian (toetsingsgronden) hanya meliputi aspek penerapan
hukumnya untuk menguji keabsahan KTUN (beschikking) (pasal 53 ayat 1, surat edaran
MA No. 2 tahun 1991 tanggal 9 Juli 1991, dan Juklak MA No. 052/Td/TUN/III/1992
tanggal 24 Maret 1992).
Sesorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang, yang berisi tuntutan agar keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti
rugi (Pasal 53) Ayat 1). Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, sebagaimana
yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 2 adalah (UU No 9 Tahun 2004) :
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundangundangan yang berlaku;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik (sesuai dengan UU no 28 Tahun 1999 Tentang
Penyelenggaraan Negara yang bersih danbebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan apabila keputusan yang bersangkutan itu :
a. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam per-aturan perundang-undangan
yang bersifat prosedural/formal. Misalnya sebelum keputusan pemberhentian
dikeluarkan, seharusnya pegawai yang bersangkutan diberi kesempatan untuk
membelah diri;
b. Bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undagan yang
bersifat materiel/substansial. Misalnya Keputusan pada tingkat banding administartif,
yang telah salah menyatakan gugatan penggugat diterima atau tidak;
c. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang,
misalnya peraturan dasarnya telah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk
mengambil keputusan.
Pengujian dari segi hukum yang dilakukan Pengadilan terhadap Keputusan
Tata Usaha Negara hanya terbatas pada penelitian (pasal 53 ayat 2):

82
a. Apakah semua fakta yang relevan itu telah dikumpulkan untuk diper-timbangkan
dalam Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan;
b. Apakah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata
Usaha Negara yang bersangkutan pada waktu mempersiap-kan, memutuskan dan
melaksanakannya, telah memperhatikan asas-asas yang berlaku;
c. Apakah keputusan yang diambil juga akan sama dengan keputusan yang sedang
digugat kalau hal-hal tersebut pada angka 1 dan 2 telah diperhatikan;
d. Dengan demikian, pengujian dari segi hukum keputusan yang dikeluarkan dilakukan
dengan metode (pasal 53 ayat 2):
 Melihat fakta yang relevan yang telah dikumpulkan, serta
 Mencocokkannya dengan rumusan dalam peraturan dasarnya.

a. Surat Gugatan dalam Sengketa Tata Usaha Negara


Pengaturan tentang pembuatan isi surat gugatan bisa dilihat pada Pasal 56 UU
No. 5 tahun 1986, penjabarannya secara substanstif dan lain-lain sesuai penjelasan yang
ada pada buku philipus M. Hadjon dkk, serta penjelasan pada beberapa buku tentang
peradilan TUN dan Hukum administrasi negara, hal tersebut dijabarkan sebagai berikut:
a. Secara substantif, gugatan haras memuat (pasal 56 ayat 1):
 Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
 Nama jabatan, tempat kedudukan tergugat.
 Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan (pasal 53
ayat 1).
b. Keabsahan perwakilan (pasal 56 ayat 2): Jika gugatan dibuat dan ditanda tangani oleh
seorang kuasa penggugat hams disertai surat kuasa yang sah.
c. Bukti obyek gugatan (pasal 56 ayat 3)
Gugatan "sedapat mungkin" juga disertai Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan oleh penggugat. Dengan kata "sedapat mungkin" tersebut ditampung semua
kemungkinan termasuk apabila tidak ada keputusan yang dikeluarkan menurut ketentuan
pasal 3. Persoalan yang mungkin timbul, adalah jika Badan atau Pejabat TUN menolak
untuk memenuhi permintaan pengadilan untuk mengirimkan KTUN yang sedang
disengketakan, atau dalam hal diminta hadir dalam rangka pemeriksaan persiapan

83
berkaitan dengan kemungkinan pasal 3, tetapi Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak
bersedia untuk hadir, sanksi apa yang akan diberikan oleh Pengadilan tidak diatur dalam
undang-undang.
Pasal 72 ayat 1 hanya mengatur perihal bilamana tergugat atau kuasanya tidak
hadir di persidangan dua kali sidang berturut-turut dan atau tidak menanggapi gugatan
tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan meskipun setiap kali telah dipanggil
dengan patut, maka Hakim Ketua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat
memerintahkan tergugat hadir dan atau menanggapi gugatan. Jadi, tidak ditegaskan
mengenai wujud sanksi perihal tidak mau hadirnya Pejabat TUN, namun, tindakan
Pengadilan adalah dengan mengeluarkan penetapan seperti tersebut di atas dan tindakan
selanjutnya diserahkan pada urusan intern instansi Pemerintahan.
Tindakan Pengadilan semacam itu lebih menyerahkan pada sikap moral aparat
dan hal ini belum menampakkan kekuatan memaksa agar Badan atau Pejabat TUN bersedia
hadir dan memenuhi permintaan tersebut di atas. Elemen-elemen yang terdapat dalam surat
gugatan, seperti yang termuat dalam buku W. Riawan Tjandra halaman 59 adalah:
b. Identitas para pihak
 Identitas penggugat:
 Nama lengkap
 Umur/tempat tanggal lahir
 Pekerjaan
 Alamat atau domosili
Apabila penggugatnya adalah badan hukum perdata, harus disebutkan secara tegas
siapa yang berhak mewakili menurut anggaran dasar atau peraturan relevan yang
berlaku. Dalam hal diwakili oleh seorang kuasa, harus disebutkan:
 Nama penerima kuasa
 Profesi/status praktek
 Alamat kantor
Penyebutan bahwa berdasarkan surat kuasa dari pemberi kuasa mewakili pemberi
kuasa tersebut di atas dalam menandatangani dan mengajukan gugatan.
 Identitas tergugat:

84
Jabatan Pejabat yang mengeluarkan keputusan (beschikking). Kedudukan hukum
Badan atau Pejabat TUN.
 Posita (Fundamentum Petendi)
Ialah dalil-dalil faktuil yang bersifat konkret yang menjelaskan mengenai hubungan
hukum yang menjadi dasar dan alasan-alasan tuntutan (middelen van den eis).
Posita harus dapat memberikan gambaran tentang kejadian materiil (materiele
gebeuren) yang merupakan alasan layak untuk dijadikan dasar tuntutan penggugat.
Menurut Sudikno Mertokusumo, dasar tuntutan terdiri dari dua bagian:
 Bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwa yang
menjelaskan mengenai duduknya perkara.
 Bagian yang menguraikan tentang hukum, yaitu uraian tentang adanya hak atau
hubungan hukum yang menjadi dasar dari tuntutan. Uraian yuridis ini bukanlah
merupakan penyebutan peraturan-peraturan hukum yang dijadikan dasar
tuntutan.
 Tuntutan (Petition)
Ialah kesimpulan dari keseluruhan substansi gugatan yang berisi hal-hal yang
dimohonkan untuk diputuskan oleh Pengadilan. Menurut Sudikno Mertokusumo,
petitum itu akan mendapatkan jawabannya di dalam dictum atau amat putusan.
Maka oleh karena itu penggugat harus merumuskan petitum dengan jelas dan tegas
("een duidelijke en bepaalde conclusie". ps. 8). Petitum atau tuntutan (eis) terdiri
dari dua macam (penjelasan pasal 53 UU No. 5 tahun 1986 dan Juklak Mahkamah
Agung RI No. 052/Td.TUN/III/1992);

c. Syarat-syarat Gugatan
Ada syarat formil dan syarat materiil pembuatan gugatan pada peradilan TUN
yang telah dijabarkan Martiman Prodjohamidjojo yang dapat dilihat pada buku W. Riawan
Tjandra pada halaman 60. Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. Syarat Formil Gugatan harus memuat:
 nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat maupun
kuasanya.
 nama jabatan, dan tempat kedudukan tergugat.

85
Syarat formil tersebut, meliputi identitas pihak-pihak. Jika ada kekeliruan pada syarat
formil, misalnya dalam penyebutan nama, jabatan, atau alamat tergugat
mengakibatkan:
 eror in persona
 gugatan tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard, pasal 62 ayat 1 sub
b, pasal 63 ayat 1 sub a, dan pasal 97 ayat 7 sub c UU No. 5 tahun 1986).
b. Syarat materiil Gugatan harus memuat:
 Dasar gugatan: yaitu kejadian-kejadian atau hal-hal yang merupakan dasar
tuntutan, jadi merupakan alasan adanya tuntutan itu (Posita atau fundamentum
petendi).
 Tuntutan: yaitu apa yang dituntut berupa: tuntutan pokok dan tuntutan ganti rugi
dan atau rehabilitasi.

d. Pembuatan Gugatan
Ketentuan pembuatan dari surat gugatan bisa di lihat dibeberapa Pasal dalam UU
Peratun, keterangan lebih lanjut sesuai kutipan pada buku W. Riawan Tjandra halaman 61.
a. Harus diperhatikan syarat-syarat pengajuan gugatan yang meliputi:
 Adanya beschikking (pasal 1 angka 3, pasal 3)
 Adanya kepentingan/hak yang dilanggar sebagai akibat dikeluarkannya
 Beschikking tersebut (pasal 53 ayat 1).
 Adanya alasan yang kuat untuk menggugat (pasal 53 ayat 2).
 Penggugat harus subyek hukum yang berhak (pasal 1 angka 3, pasal 48,
 dan pasal 53 ayat 1).
 Gugatan yang diajukan harus memenuhi limitasi tenggang waktu (ps. 55, ps. 3).
b. Gugatan dibuat dengan memenuhi persyaratan formil dan materiil (ps. 56 ayat 1).
Sehubungan dengan hal tersebut, harus diperhatikan metode pembuatan posita dan
petitum gugatan yang benar dan efektif yakni:
 Merumuskan Posita (fundamentum petendi):
 Didasarkan pada kejadian materiil (materiele gebeuren) sehingga memenuhi
syarat kelayakan untuk menjadi dasar tuntutan.

86
 Diuraikan mengenai akibat hukum yang berupa terjadinya kerugian sebagai
akibat dikeluarkannya (ps. 53 ayat 1) atau tidak dikeluarkannya (ps. 3) KTUN
(beschikking).
 Dalil-dalil harus mengarah pada tuntutan dinyatakan batal atau tidak sah
KTUN yang disengketakan.
 Kualifikasi perbuatan tergugat dalam membuat KTUN harus dinyatakan
secara tegas dengan didasarkan pada fakta-fakta akibat hukum seperti
misalnya: detournement de pouvoir (pasal 53 ayat 2 sub b), willekeur (ps. 53
ayat 2 sub c), bertentangan dengan asasasas umum pemerintah yang baik
(algemene beginselen van berhoorlijk bestuur), dan Iainlain.
 Dalam menguraikan fundamentum petendi harus diuraikan secara cermat,
jelas dan teliti feitelijke dan rechterlijke berweringen secara kronologis-logis.
 Merumuskan Petitum (eis):
 Petitum tidak boleh bertentangan dengan posita, karena posita adalah dasar
membuat petitum.
 Petitum hanya meliputi dua hal (pasal 53 ayat 1)
Tuntutan Pokok: agar Keputusan Tata Usaha Negara yang merugikan
kepentingan Penggugat dinyatakan batal atau tidak sah.
Tuntutan Tambahan: Ganti rugi dan atau rehabilitasi (dalam sengketa
kepegawaian).
c. Gugatan sedapat mungkin disertai dengan Keputusan Tata Usaha Negara yang
disengketakan (pasal 56 ayat 3)

B.SURAT KUASA
1. Pengertian Surat Kuasa
Pengaturan tentang surat kuasa dan semua yang berhubungan dengan surat kuasa
diambil aturan yang ada pada aturan hukum perdata, dalam peradilan TUN tidak perlu
diatur kembali karena akan mubazir. Masalah surat kuasa dalam KUHPer diatur mulai
dari Pasal 1792 sampai 1819. Pasal 1792 KUH Perdarta mendefinisikan pemberian
kuasa ialah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada
seorang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

87
Kuasa adalah persetujuan (baik lisan maupun tulisan) dimana seseorang bertindak
sebagai pemberi kuasa dan pihak lain bertindak sebagai penerima kuasa dan atas nama
pemberi kuasa melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Bila seseorang hendak
mengajukan tuntutan hukum di muka pengadilan karena merasa haknya dilanggar oleh
pihak lain dapat diwakili oleh Kuasa.
Dalam prakteknya, banyak sarjana hukum yang menerjemahkan surat kuasa
sebagai pemberian kuasa. Akan tetapi dalam perkembangan hukum di negeri Belanda
melalui Pasal 3:60 ayat (1) Nieuw Burgerlijk Wetboek, sebuah kitab revisi KUHPerdata
Belanda, telah diatur pengertian tentang kuasa (volmacht) dan pemberian kuasa
(lastgeving). Pada prinsipnya, volmacht berbeda dengan lastgeving. Kuasa (volmacht)
merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada penerima kuasa
untuk mewakili pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu (Hoge
Raad 24 Juni 1938 NJ 19939, 337). Tindakan hukum sepihak adalah tindakan hukum
yang timbul sebagai akibat dari perbuatan satu pihak saja, misalnya pengakuan anak dan
pembuatan wasiat. Sedangkan Lastgeving adalah suatu perjanjian pemberian beban
perintah di mana penerima beban perintah (lasthebber) mengikatkan dirinya kepada
pemberi beban perintah (lastgever) untuk melakukan satu atau lebih tindakan hukum guna
kepentingan lastgever. Lastgeving merupakan suatu persetujuan sepihak, di mana
kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak. Dari sini dapat
ditarik kesimpulan bahwa Pasal 1792 KUHPerdata merupakan lastgeving dan pada
dasarnya pemberian kuasa ini bersifat cuma-cuma (Pasal 1794 KUHPerdata).[82]
Lastgeving merupakan perjanjian pembebanan perintah yang menimbulkan
kewajiban bagi si penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa, sedangkan volmacht
merupakan kewenangan mewakili tanpa menimbulkan kewajiban bagi si penerima kuasa
untuk melaksanakan kuasa. Suatu pemberian kuasa (lastgeving) tidak selalu memberikan
wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Dalam lastgeving dimungkinkan adanya
wewenang mewakili (volmacht), akan tetapi tidak selalu volmacht merupakan bagian dari
lastgeving. Apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan persetujuan pemberian

82 Rachmad Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa, (Jakarta: Tatanusa, 2005) hal. 111

88
kuasa, maka akan terjadi perwakilan yang bersumber dari persetujuan. Pada Negara
common law maupun anglo saxon, pemberian kuasa (Power of Attorney) yang muncul
juga merupakan perbuatan sepihak. Cirinya adalah penerima menyebut suatu nama
pemberi kuasa pada waktu melakukan tindakan hukum yang disebut perwakilan
langsung. Namun diakui juga adanya perwakilan tidak langsung yakni apabila penerima
kuasa bertindak untuk dirinya sendiri seperti makelar.
Pada umumnya kuasa diberikan secara sepihak, dan hanya menimbulkan
wewenang bagi penerima kuasa (substitutor), tapi tidak menimbulkan kewajiban bagi
penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa itu sehingga tidak memerlukan tindakan
penerimaan dari penerima surat kuasa, akan tetapi hal ini masih menjadi perdebatan. Hal
ini dapat dilihat dari banyaknya kejadian seputar surat kuasa yang menimpa
advokat/penasihat hukum di pengadilan. Bahkan sebagian hakim masih menjalankan
rutinitas memeriksa kelengkapan surat kuasa yang digunakan advokat/penasihat hukum
ketika bersidang, khususnya tentang kewajiban para pihak menandatangani surat kuasa
untuk menyatakan sahnya surat kuasa tersebut.
Pemberian kuasa (lastgeving) yang terdapat dalam Pasal 1792 KUHPerdata itu
mengandung unsur:
a. persetujuan;
b. memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan;
c. atas nama pemberi kuasa.
Unsur persetujuan ini harus memenuhi syarat-syarat persetujuan sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata:
a. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu; dan
d. suatu sebab yang halal.
Unsur memberikan kekuasaan untuk menyelenggarakan suatu urusan adalah
sesuai dengan yang telah disetujui oleh para pihak, baik yang dirumuskan secara umum
maupun dinyatakan dengan kata-kata yang tegas. Unsur atas nama pemberi kuasa berari
bahwa penerima kuasa diberi wewenang untuk mewakili pemberi kuasa. Akibatnya

89
tindakan hukum yang dilakukan oleh penerima kuasa merupakan tindakan hukum dari
pemberi kuasa.
Adapun Cara pemberian kuasa, meliputi (isi pasal 1793 KUH Perdata):
a. Diberikan dan diterima melalui:
 suatu akta umum;
 Suatu tulisan di bawah tangan;
 Sepucuk surat;
 Secara lisan.
b. Dilakukan secara diam-diam yang disimpulkan dari pelaksanaan kuasa oleh
penerima kuasa.

Bentuk dari pemberian kuasa ialah (isi pasal 1795 KUH Perdata):
a. Pemberian kuasa secara khusus (melalui surat kuasa khusus), yaitu hanya mengenai
suatu kepentingan tertentu saja;
b. Pemberian kuasa secara umum, yaitu untuk mengurus semua kepentingan pemberi
kuasa.
Gugatan dapat diajukan penggugat dengan menyerahkan kuasa kepada penasehat
hukum. Dalam prakteknya, untuk mewakili kepentingan para pihak dalam suatu sengketa
di Pengadilan haruslah dilakukan dengan surat kuasa khusus. Dengan surat kuasa khusus,
maka, penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan sesuatu apa pun yang melampaui
kuasa yang diberikan kepadanya (pasal 1797 KUH Perdata). Tindakan penerima kuasa
hanya terbatas pada hal-hal yang dikuasakan kepadanya.
Jenis pemberian kuasa ditinjau dari sifatnya ialah (pasal 1794):
a. Pemberian kuasa yang terjadi dengan Cuma-cuma. Di sini penerima kuasa secara
suka rela tanpa meminta imbalan menguruskan kepentingan pemberi kuasa;
b. Pemberian kuasa yang terjadi dengan upah (harus diperjanjikan). Pelaksanaan
pemberian meminta upah melebihi dari yang ditentukan dalam pasal 411 KUH
Perdata untuk wali, yaitu meliputi:
 Upahnya dapat ditentukan dengan tegas (ditentukan jumlahnya melalui
perjanjian);

90
 Upahnya tidak ditentukan secara tegas. Di sini bagi penerima kuasa tidak boleh
meminta upah melebihi dari yang ditentukan dalam pasal 411 KUH Perdata
untuk wali, yaitu meliputi:
 3% dari segala penerimaan;
 2% dari segala pengeluaran;
 1 ½ % dari jumlah uang modal yang diterima.

2. Macam-Macam Kuasa
a.) Kuasa Khusus
Suatu kuasa yang diperuntukkan untuk di Pengadilan. Syarat-syaratnya adalah:
 Harus berbentuk tertulis;
 Dapat dibuat secara dibawah tangan, dapat dibuat oleh Panitera Pengadilan yang
kemudian dilegalisir oleh Ketua Pengadilan Negeri atau Hakim dan dapat pula
berbentuk akta autentik yang dibuat dihadapan Notaris;
 Harus menyebut Identitas para pihak yang berperkara;
 Menegaskan objek dan kasus yang diperkarakan
 Dalam perkara pidana, harus menyebutkan identitas Terdakwa dan Penasihat
Hukum serta menyebutkan pasal-pasal yang diduga/didakwakan.
Surat kuasa khusus ini diberikan kepada advokat/penasihat hukum untuk
mewakili (dalam perkara perdata) atau mendampingi (dalam perkara pidana) pihak
yang memberikan kuasa kepadanya dalam suatu perkara baik di dalam maupun di luar
pengadilan. Surat kuasa khusus ini yang akan digunakan sebagai alat bukti di muka
pengadilan, harus dibubuhi materai untuk memenuhi ketentuan UU No. 13 Tahun
1985 tentang Bea Materai dan PP No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Bea Tarif
Materai dan Besarnya Batas Pengenaan tentang Nominal yang Dikenakan Bea
Meterai. Selain itu surat kuasa khusus ini harus memenuhi ketentuan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) RI No. 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus, yang
menyatakan:
 Surat kuasa harus bersifat khusus dan menurut Undang-Undang harus
dicantumkan dengan jelas bahwa surat kuasa itu hanya dipergunakan untuk
keperluan tertentu, misalnya:

91
 dalam perkara perdata harus dengan jelas disebut antara A sebagai Penggugat
dan B sebagai Tergugat, misalnya dalam perkara waris atau hutang piutang
tertentu dan sebagainya.
 dalam perkara pidana harus dengan jelas dan lengkap menyebut pasal-pasal
KUHP yang didakwakan kepada terdakwa.
 Apabila dalam surat kuasa khusus disebutkan bahwa kuasa tersebut mencakup
pula pemeriksaan pada tingkat banding dan kasasi maka surat kuasa khusus
tersebut tetap sah berlaku hingga pemeriksaan pada tingkat kasasi tanpa
diperlukan surat kuasa khusus yang baru. Akan tetapi bilamana surat kuasa khusus
tersebut hanya mencakup pemeriksaan pada tingkat pertama, harus dibuatkan
kembali surat kuasa khusus untuk pemeriksaan pada tingkat kasasi. Hal ini terlihat
dalam salah satu putusan MA bernomor 51 K/Pdt/1991: “yang mengajukan kasasi
ialah Ansori berdasar surat kuasa tanggal 8 Maret 1990. Akan tetapi surat kuasa
tersebut hanya dipergunakan dalam pemeriksaan tingkat pertama sedang menurut
Pasal 44 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 untuk mengajukan kasasi dalam perkara
perdata oleh seorang kuasa HARUS SECARA KHUSUS dikuasakan untuk
melakukan pekerjaan itu”.
Surat kuasa khusus ini pada pokoknya harus memenuhi syarat formil sebagai
berikut:
 Menyebutkan identitas para pihak yakni Pihak Pemberi Kuasa dan Pihak
Penerima Kuasa yang harus disebutkan dengan jelas;
 Menyebutkan obyek masalah yang harus ditangani oleh penerima kuasa yang
disebutkan secara jelas dan benar. Tidak disebutkannya atau terdapatnya
kekeliruan penyebutan obyek gugatan menyebabkan surat kuasa khusus tersebut
menjadi tidak sah. Hal ini terlihat dalam salah satu putusan MARI Nomor: 288
K/Pdt/1986 yang menyatakan: surat kuasa khusus yang tidak menyebut atau keliru
menyebut objek gugatan menyebabkan surat kuasa Tidak Sah; dan
 Menyebutkan kompetensi absolut dan kompetensi relatif dimana surat kuasa
khusus tersebut akan digunakan.
Tidak terpenuhinya syarat formil surat kuasa khusus tersebut, khususnya dalam
perkara perdata dan tata usaha negara, dapat menyebabkan perkara tidak dapat

92
diterima. Sehingga walaupun tidak ada bentuk tertentu surat kuasa yang dianggap
terbaik dan sempurna, namun surat kuasa pada pokoknya terdiri dari:
 identitas pemberi kuasa;
 identitas penerima kuasa;
 hal yang dikuasakan, disebutkan secara khusus dan rinci, tidak boleh mempunyai
arti ganda;
 waktu pemberian kuasa;
 tanda tangan pemberi dan penerima kuasa.

b.) Kuasa Istimewa


Bentuk kuasa ini harus memenuhi syarat-syarat berikut:
 Berbentuk akta autentik;
 Limitatif;
 Kata-kata tegas, misalnya untuk mengatakan pengakuan, membuat perdamaian,
untuk mengucapkan sumpah, untuk memindah tangankan, untuk hipotek, dan
sebagainya.

c.) Kuasa Mutlak


Diluar Pengadilan, mungkin didalam lalu lintas perdagangan, ada yang dikenal
sebagai kuasa mutlak. Misalnya dalam hal penjualan tanah, kuasa tersebut berisikan:
kuasa tidak dapat dicabut, dengan matinya pemberi kuasa tidak diikuti dengan
pengakhiran kuasa.

d.) Kuasa Lisan


Kuasa lisan terjadi karena atau diangkat oleh salah satu pihak yang berperkara
di Pengadilan. Berarti pemberian kuasa lisan terlaksana di depan hakim. Jika
penggugat tidak pandai membaca dan menulis sehingga tidak dapat membuat surat
gugat, maka ketika penggugat memohon gugatan lisan kepada Ketua Pengadilan, maka
seraya itu dia menunjuk kuasanya. Dapat pula kuasa tersebut disampaikan secara lisan
didepan persidangan.

93
e.) Kuasa yang ditunjuk dalam Surat Gugatan
Dalam surat gugat, penggugat sekaligus menunjuk dengan mencantumkan nama
penerima kuasa, secara jelas dan terang, agar dia bertindak sebagai kuasa dalam proses
pemeriksaan perkara.

f.) Kuasa Pengganti/Limpahan (Subtitusi)


Kuasa demikian diberikan oleh penerima kuasa, agar dapat mewakili penerima
kuasa dalam melakukan tindakan. Kuasa pengganti ini dapat diberikan bilamana kuasa
dari prinsipal berisi pula wewenang untuk mengalihkan kuasa tersebut baik secara
sebagian maupun keseluruhan.

g.) Kuasa Perantara


Kuasa demikian lazim digunakan dalam dunia perdagangan. Orang
menyebutnya Perwakilan atau Agen untuk melakukan sesuatu atau Commercial
Agency atau Makelar.

h.) Kuasa Pendamping


Lembaga ini tumbuh karena kekhawatiran pemberi kuasa, maka dia perlu
seorang ahli hukum yang mendampingi dalam proses persidangan. Jadi selama proses
persidangan berlangsung pemberi kuasa tetap hadir dan didampingi seorang ahli guna
dimintai pendapat yang diperlukan. Kuasa Pendamping diberikan secara lisan maupun
tertulis dan pemberi kuasa memberitahukannya kepada Hakim.

3. Surat Kuasa Perkara Tata Usaha Negara


Pada prinsipnya yang bersengketa di pengadilan tata usaha negara adalah para
pihak itu sendiri, akan tetapi sesuai dengan ketentuan Pasal 57 UU No. 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara maka para pihak masing-masing dapat didampingi
oleh seseorang atau beberapa orang kuasanya. Konsekuensi dari ketentuan diatas dapat
dilakukan dengan surat kuasa khusus maupun secara lisan di persidangan. Pemberian
kuasa secara lisan harus dilakukan dihadapan majelis hakim dalam persidangan oleh

94
pemberi kuasa kepada penerima kuasa yang ditunjuk kemudian segera dicatatkan oleh
panitera di dalam berita acara persidangan.
Surat kuasa yang dibuat diluar negeri bentuknya harus memenuhi persyaratan di
negara yang bersangkutan dan diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara
tersebut, serta kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh penerjemah
resmi.

4. Kewajiban Penerima Kuasa


Kewajiban penerima kuasa sebagaimana diatur dalam pasal 1800 sampai
dengan pasal 1806 KUH Perdata, ialah:
a. Melaksanakan kuasanya (selama kuasa yang dilimpahkan masih secara sah melekat
kepadanya):
 Menanggung segala biaya;
 Menanggung kerugian;
 Menanggung segala bunga yang dapat timbul karena tidak dilaksana-kannya
kuasa itu.
b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa
meninggal;
c. Bertanggung jawab terhadap perbuatanperbuatan yang dilakukan dengan sengaja;
d. Bertanggung jawab terhadap kelalaiankelalaian yang dilakukan dalam menjalankan
kuasanya;
e. Memberi laporan tentang apa yang telah diperbuatnya;
f. Memberikan perhitungan kepada pemberi kuasa tentang segala apa yang telah
diterimanya berdasarkan kuasa (termasuk apa yang diterimanya itu tidak seharusnya
dibayar kepada si pemberi kuasa);
g. Bertanggung jawab untuk kuasa substitusinya:
 Jika ia tidak diberikan kekuasaan untuk menunjuk substitusinya.
 Jika kekuasaan itu telah diberikan kepadanya tanpa penyebutan seorang tertentu,
sedangkan orang yang dipilihnya itu ternyata seorang yang tidak cakap atau tidak
mampu. Si pemberi kuasa dapat secara langsung meminta orang yang ditunjuk
oleh penerima kuasa sebagai pengganti-nya itu;

95
h. Dalam hal penerima kuasa lebih dari satu orang, maka mereka tidak tanggung
menanggung;
i. Membayar bunga atau uang-uang pokok yang dipakainya guna keperluan sendiri;
j. Tidak bertanggung jawab terhadap apa yang terjadi di luar batas kuasa itu, kecuali
jika ia secara pribadi telah mengikatkan diri untuk itu.

5. Kewajiban Pemberi Kuasa


Kewajiban pemberi kuasa sebagaimana diatur dalam pasal 1807-1812 KUH
Perdata meliputi sebagai berikut:
a. Memenuhi perikatan-perikatan yang dibuat oleh penerima kuasa menurut kuasa yang
telah dilimpahkan kepadanya;
b. Terikat dengan apa yang dilakukan oleh penerima kuasa di luar yang dikuasakan
kepadanya, sepanjang mengenai hal tersebut telah disetujuinya secara tegas atau
secaradiam-diam;
c. Mengembalikan kepada penerima kuasa persekot-persekot dan biaya-biaya yang
telah dikeluarkan oleh penerima kuasa untuk menjalankan kuasa yang dilimpahkan
kepadanya;
d. Membayar upah penerima kuasa yang telah diperjanjikan;
e. Memberi ganti rugi kepada penerima kuasa tentang kerugian-kerugian yang diderita
penerima kuasa selama menjalankan kuasanya;
f. Membayar bunga atau persekot-persekot yang telah dikeluarkan oleh penerima
kuasa, terhitung mulai hari dikeluarkannya persekot-persekot itu;
g. Dalam pemberian kuasa dilakukan secara kolektif oleh para pemberi kuasa, maka
masing-masing pemberi kuasa bertanggung jawab untuk seluruhnya terhadap
penerima kuasa mengenai segala akibat dari pemberian kuasa itu (tanggung renteng);
h. Penerima kuasa berhak menahan segala apa yang menjadi kepunyaan pemberi kuasa
yang berada di tangannya, sampai dibayar lunas segala hak-hak penerima kuasa (hak
retensi).

6. Pengaturan Pemberian Kuasa dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha


Negara

96
Segala sesuatu tentang surat kuasa dan lain-lain yang telah ada dalam
KUHPer tidak diatur dalam UU Peratun, tetapi ada sesuatu yang khusus dan diatur lebih
lanjut dalam UU Peratun. Mengenai masalah pemberian kuasa di dalam UU No. 5 tahun
1986 diatur sebagai berikut:
7. Pada pihak yang bersengketa masing-masing dapat didampingi atau diwakili oleh
seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57 ayat 1). Dari ketentuan tersebut dapat
disimpulkan bahwa:
 Pemberian kuasa untuk berperkara dalam sengketa TUN sifatnya tidak wajib.
 Fungsi pemberian kuasa adalah secara alternatif meliputi:
 mendampingi dalam sengketa (mungkin sifatnya hanya secara konsultatif
dalam memberikan advis hukum mengenai sengketa TUN);
 Mewakili dalam sengketa (jadi penerima kuasa sepenuhnya bertindak untuk
dan atas nama pemberi kuasa sejauh menyangkut wewenang yang secara
limitatif dilimpahkan kepadanya dalam surat kuasa khusus);
 Penerima kuasa dapat terdiri dari seorang atau lebih.

8. Cara pemberian kuasa tersebut dapat dilakukan: (pasal 57 ayat 2):


 Melalui surat kuasa khusus;
 Secara lisan di persidangan;

c. Surat kuasa diperbolehkan dibuat di luar negeri dengan syarat (pasal 57 ayat 3):
 Bentuknya harus memenuhi persyaratan di negara yang bersangkutan, yaitu
harus dibuat sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di negara tempat surat
kuasa tersebut dibuat;
 Diketahui oleh Perwakilan Republik Indonesia di negara tempat surat kuasa
tersebut dibuat;
 Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah resmi.

d. Sekalipun sudah diwakili oleh seorang kuasa, apabila dipandang perlu Hakim
berwenang memerintahkan kedua belah pihak yang bersengketa datang menghadap
sendiri ke persidangan. Hal ini berkaitan dengan fungsi Hakim melalui pemeriksaan

97
persiapan untuk mempermudah mendapatkan informasi perihal sengketa TUN (pasal
62), spesifikasi karakteristik hukum acara PTUN (penjelasan umum angka 5) dan
kebebasan Hakim dalam proses pembuktian (pasal 107 dan pasal 100).

e. Kewajiban untuk melampirkan surat kuasa yang sah dalam hal gugatan dibuat dan
ditandatangani oleh seorang kuasa penggugat (pasal 56 ayat 2).

f. Apabila dalam persidangan seorang kuasa melakukan tindakan yang melampaui


batas wewenangnya pemberi kuasa dapat mengajukan sangkalan secara tertulis
disertai tuntutan agar tindakan kuasa tersebut dinyatakan batal oleh Pengadilan (pasal
84 ayat 1). Selanjutnya tindakan Pengadilan atas sangkalan itu (pasal 84 ayat 2 dan
ayat 3):
1) Apabila sangkalan tersebut dikabulkan, maka Hakim wajib menetapkan dalam
putusan yang dimuat dalam berita acara sidang bahwa:
 tindakan kuasa itu dinyatakan batal
 tindakan kuasa itu selanjutnya dihapus dari berita acara pemeriksaan.
2) Putusan tersebut dibacakan dan atau diberitahukan kepada para pihak yang
bersangkutan.

1. Elemen-Elemen Surat Kuasa


Surat kuasa khusus untuk mendampingi atau mewakili dalam sengketa TUN
terdiri dari:
2. Formatnya
 Kepalanya disebutkan "Surat Kuasa".
 Disebutkan bentuk surat kuasa di tengah-tengah dengan kata "khusus".
 Tanda tangan pihak pemberi kuasa dan penerima kuasa pada bagian akhir surat
kuasa.
3. Substansinya:
 Identitas pemberi kuasa:
 nama
 umur

98
 pekerjaan
 alamat tempat tinggal
Kalau pemberi kuasa adalah Badan Hukum Perdata, maka dalam kuasa harus
isebutkan dulu nama badan hukumnya, lalu identitas orang yang berwenang
memberi kuasa menurut anggaran dasar/ peraturan yang berlaku.
 Identitas penerima kuasa :
 Nama
 Profesi/status praktek
 Alamat kantor
 Pihak yang digugat (Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan/
beschikking).
 Obyek sengketa TUN (KTUN).
 Kompetensi relatif.
 Kewenangan penerima kuasa disebutkan secara limitatif.
 Hak upah (honorarium).
 Hak retensi.
 Hak substitusi

4. Berakhirnya Surat Kuasa


Mengenai berakhimya surat kuasa kembali mengacu pada aturan di KUHPer
sebagaimana diatur dalam pasal 1813-1819 adalah sebagai berikut:
a. Melalui penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa.
b. Dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa.
c. Dengan meninggal, pengampuan, atau pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa.
d. Pengangkatan kuasa baru untuk mengurus hal yang sama, menyebabkan ditariknya
kuasa pertama.

5. Syarat bertindak sebagai Kuasa


Sedangkan syarat bertindak sebagai kuasa yang menjadi acuan adalah :
a. Harus mempunyai surat kuasa khusus
b. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam surat gugat.

99
c. Ditunjuk sebagai kuasa atau wakil dalam catatan gugatan apabila gugatan diajukan
secara lisan.
d. Ditunjuk oleh Penggugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan.
Lebih lanjut syarat untuk dapat bertindak sebagai kuasa atau wakil dari
tergugat ialah :
a. Harus mempunyai surat kuasa khusus.
b. Ditunjuk oleh tergugat sebagai kuasa atau wakil dalam persidangan.
Sedangkan yang dapat bertindak sebagai kuasa atau wakil dari Negara atau
pemerintah adalah:
a. Pengacara Negara yang diangkat oleh Pemerintah.
b. Jaksa.
c. Orang-orang atau pejabat-pejabat yang diangkat/ditunjuk.
Untuk mensubstitusikan suatu surat kuasa tidak dapat hanya dilakukan secara
lisan, tetapi harus dilakukan melalui pembuatan surat kuasa substitusi. Mengenai
pencabutan surat kuasa, untuk asli pencabutannya disampai-kan kepada penerima kuasa
dan tembusannya disampaikan kepada Pengadilan dan lawan berperkara.

100
BAB VIII
PEMBUKTIAN

A. Pengertian Pembuktian Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara


Yang dimaksud dengan hukum pembuktian adalah hukum yang mengatur tentang
tata cara untuk menetapkan terbuktinya fakta yang menjadi dasar hukum dari pertimbangan
dalam menjatuhkan suatu putusan. Menurut Indroharto fakta tersebut terdiri fakta berikut :
a. Fakta hukum, yaitu kejadian atau keadaan yang eksistensinya (keberadaannya)
tergantung dan penerapan suatu peraturan perundang-undangan.[83] Misalnya X, seorang
Pegawai Negeri Sipil dalam Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979) yang dibuat oleh atasan langsungnya, untuk unsur
prestasi kerja mendapat nilai amat baik, karena telah menciptakan suatu program di
bidang komputer yang sangat berguna dalam pelaksanaan tugas. Yang merupakan fakta
hukum adalah unsur prestasi kerja dengan nilai amat baik, karena penilaian prestasi kerja
tersebut merupakan penerapan dari Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1979
b. Fakta biasa, yaitu kejadian atau keadaan-keadaan yang juga ikut menentukan adanya
fakta hukum tertentu,[84] misalnya program komputer yang telah diciptakan oleh X
seperti di atas.
Pasal 100 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa
kejadian yang telah diketahui umum, tidak perlu dibuktikan. Dari ketentuan tersebut dapat
diketahui bahwa fakta yang telah diketahui oleh umum, jika dijadikan dasar pertimbangan dan
Hakim dalam menjatuhkan putusannya, fakta yang dimaksud tidak perlu dibuktikan. Di
samping fakta yang telah diketahui umum, oleh Indroharto disebutkan adanya fakta yang juga
dapat menjadi dasar pertimbangan dan Hakim dalam menjatuhkan putusannya yang tidak
perlu dibuktikan, yaitu:
a. hal-hal yang menurut pengalaman umum selalu terjadi;
b. fakta-fakta prosesual yang terjadi selama pemeriksaan; dan
c. eksistensi hukum.

83 Indroharto, Usaha Memahami Undang- Undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara, Buku II,...Op.cit, hal. 185.
84 Indroharto 1993. Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Penerbit
Pustaka Sinar Harapan , Jakarta Cetakan I.

101
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan, bahwa:
”... hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan
dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara perdata, dengan
beberapa perbedaan antara lain:
a. pada Peradilan Tata Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan
guna memperoleh kebenaran materiil dan untuk itu undang-undang mengarah pada ajaran
pembuktian bebas;
b. ... dan seterusnya. Berdasarkan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
antara lain dapat diketahui bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
adalah ajaran pembuktian bebas. Ajaran pembuktian bebas atau teori pembuktian bebas adalah
ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-ketentuan yang mengikat Hakim,
sehingga sejauh mana pembuktian dilakukan diserahkan kepada Hakim. Apa sebab yang
diikuti adalah ajaran pembuktian bebas, karena proses pemeriksaan di sidang Pengadilan
terhadap Sengketa Tata Usaha Negara yang diatur dan ditentukan oleh Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang- Undang Nomor
51 Tahun 2009, menurut pembuat undang-undang dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran
materiil dan bukan kebenaran formil.

B. Alat-Alat Bukti dalam Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara


Ketentuan-ketentuan tentang alat bukti dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara
sedikit sekali (Pasal 100 sampai dengan 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986) jika
dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Perdata sebagai akibat
diikutinya ajaran pembuktian bebas, yang tidak dikehendaki adanya ketentuan yang mengikat
Hakim dalam memilih alat-alat bukti yang dipergunakan dalam pembuktian.[85] Oleh karena
itu tidak mengherankan jika di dalam Undang-Undang, Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, misalnya tidak

85 Suparto Wijoyo,Karakteristik Hukum Acara Peradilan Admiinistrasi, ...Op.cit, hal. 121.

102
terdapat ketentuan tentang kekuatan pembuktian dan suatu alat bukti, tidak seperti halnya di
dalam Hukum Acara Perdata. Pasal 100 ayat (1) menentukan bahwa alat bukti adalah surat
atau tulisan, keterangan ahli, keterangan saksi, pengakuan para pihak, dan pengetahuan
Hakim.
Dengan adanya ketentuan tersebut, maka dapat diketahui bahwa alat bukti yang
dapat dipergunakan dalam memeriksa dan memutus Sengketa Tata Usaha Negara sifatnya
adalah terbatas, karena sudah ditentukan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 alat bukti
apa saja yang dapat dipergunakan.
Oleh karena itu dengan ditambah alasan bahwa untuk sahnya pembuktian
diperlukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim. Indroharto,
mengemukakan bahwa ajaran pembuktian yang diikuti oleh pembuat undang-undang bukan
ajaran pembuktian bebas, tetapi ajaran pembuktian bebas terbatas.
Menurut Philipus M. Hadjon dkk[86] dan Suparto Wijoyo, ketentuan Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 100 dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, merupakan
ketentuan yang lazim terdapat dalam Hukum Acara Perdata. Seyogianya tidak perlu terdapat
dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, karena yang dipersoalkan dalam penyelesaian
Sengketa Tata Usaha Negara adalah sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara. Untuk menentukan tentang sah atau tidak sahnya suatu Keputusan Tata Usaha
Negara, tolok ukurnya adalah bukan alat bukti, tetapi adalah peraturan perundang-undangan
dan atau asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pengaturan tentang alat-alat bukti dalam Hukum Acara peradilan Tata Usaha
Negara diatur dalam Pasal 100 sampai pasal 107 UUPTUN. Menurut Pasal 100 ayat (1)
UUPTUN alat bukti adalah:
1) Surat atau tulisan
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang- Undang
Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, tidak ada ketentuan
yang memberi arti apa yang dimaksud dengan alat bukti yang berupa surat atau
tulisan.

86 Philipus M. Hadjon dkk.,Pengantar Hukum Administrasi Indonesia,...Op.cit, 330.

103
Menururt Sudikno Mertokusumo, yang dimaksud dengan surat atau
tulisan adalah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan
untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan
dipergunakan sebagai pembuktian.[87]
Pasal 101 UU No. 5 tahun1986 Surat sebagai alat bukti terdiri atas 3 jenis
yaitu :[88]
a. Akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum
yang menurut peraturan perundangundangan berwenang membuat surat yang
dimaksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa
hukum yang tercantum di dalamnya.
b. Akta dibawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditanda tangan oleh pihak yang
bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentan
peristiwa atau peristiwa hukum yang tercamtum di dalamnya.
c. Surat-surat lain yang bukan akta. Menurut Indroharto, termasuk dalam
pengertian surat atau tulisan adalah hasil dari pemeriksaan persiapan guna
mematangkan perkara yang bersangkuatan dalam pemeriksaan dimuka sidang.

2) keterangan ahli
Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan
bahwa keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal apa yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya.

Alat bukti ini diatur dalam Pasal 102 UU No. 5 Tahun 1986 :
Ayat (1) , yang menentukan, keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan
dibawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut
pengalaman dan pengetahuannnya.
Ayat (2) Seseorang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak
boleh memberikan keterangan ahli.

87 Sudikno Marto Kusumo. 2006, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Ke Tujuh Penerbit Liberty Yogyakarta.
88 Indroharto 1993. Usaha memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II, Penerbit
Pustaka Sinar Harapan , Jakarta Cetakan I

104
Orang yang tidak boleh membeikan kesaksian dalam persidangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 yaitu :
a. keluarga sedarah atau semenda menurit garis keturunan lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa
b. istri atau suami dari pihak yang bersengketa.
c. anak yang belum berusia tujuh belas tahun
d. orang yang sakit ingatan
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 103 ayat (1 dan 2), atas permintaan
kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya, Hakim ketua sidang
dapat menunjuk seorang atau beberapa orang saksi ahli, Dan ahli yang memberikan
keterangan dalam persidangan harus memberikan keterangan, baik dengan surat
maupun dengan lisan yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran
sepanjang pengetahuan sebaik-baiknya.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas bahwa saksi ahli tidak mutlak
dimunculkan dalam persidangan, saksi ini muncul apabila diajukan oleh para pihak
atau menurut hakim memang diperlukan saksi ahli.
Sebagaimana yang diatur dalam pasal 103 ini bahwa seorang ahli dalam
persidangan memberikan keterangan tidak hanya berbentuk lisan tetapi juga bisa
berbentuk tulisan. Menurut pendapat penulis bahwa yang diutamakan adalah yang
berbentuk lisan karena makna dari kata didengar keterangannya, sesuai dengan
pegetahuan dan pengalaman lebih mengarah kepada lisan, dan tulisan untuk
menguatkan keterangan lisan sebagai alat bukti dari kerengan ahli unntuk meyakinkan
hakim dan kedua belah pihak.
Indroharto mengemukakan, bahwa seorang ahli dapat dipanggil dimuka
persidangan untuk memberikan keterangan di bawah sumpah tentang penegetahuanya
mengenai suatu fakta. Maksudnya bahwa seseorang yang dihadapkan di persidangan
sebagai saksi ahli adalah orang yang memberikan keterangan sesuai dengan keahlian
yang dimililkinya. Dalam praktiknya nanti, cara tersebut akan kurang dilakukan bila
dibanding dengan keterangan ahli yang diberikan secara tertulis yang kemudian
diajukan para pihak atau oleh Hakim‘. Jadi menurut Indroharto pada pemeriksaan
sidang Pengadilan, keterangan ahli dapat juga diberikan dalam bentuk tertulis.

105
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang- Undang
Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak ada ketentuan
yang memberikan arti apa yang dimaksud dengan ahli. Akan tetapi, dan ketentuan
yang terdapat dalam Pasal 102 ayat (1) dan Pasal 103 ayat (2) Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa ahli adalah orang yang dapat memberikan
keterangan menurut pendapatnya tentang sesuatu hal berdasarkan pengalaman dan
pengetahuannya dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan.

Sampai sejauh mana seseorang adalah ahli yang dapat memberikan


keterangan ahli di muka pemeriksaan sidang Pengadilan, adalah tergantung dan
penilaian Hakim, harena dalam hukum pembuktian yang berlaku, Hakim yang
menentukan sendiri tentang kekuatan pembuktian dan suatu alat bukti. Pasal 103 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:

“Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya,
Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli”.
Berangkat dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 103 ayat (1) tersebut,
dapat diketahui bahwa agar seseorang atau beberapa orang ahli dapat didengar
keterangan ahlinya sebagai alat bukti, perlu adanya penunjukan dan Hakim Ketua
Sidang. Sudah tentu penunjukan oleh Hakim Ketua Sidang tersebut dituangkan dalam
bentuk penetapan.
Dengan adanya kata “dapat” dalam Pasal 103 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 5 Tahun 1986, maka Hakim Ketua Sidang tidak harus mengabulkan
permintaan dan Penggugat dan atau Tergugat untuk menunjuk seseorang atau beberapa
orang ahli. Sebagai ketentuan yang perlu mendapat perhatian mengenai alat bukti
berupa keterangan ahli adalah Pasal 102 ayat (2) Undang- Undang Nomor 5 Tahun
1986 yang menentukan bahwa seseorang yang tidak boleh didengar Sebagai saksi,
tidak boleh memberikan keterangan ahli.

3) keterangan saksi
Pasal 104 UU No. 5 tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, menentukan keterangan saksi
dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami,

106
dilihat, atau didengar oleh saksi. Namun ada beberapa pengecualian yang dapat
dihadirkan sebagai saksi untuk memberikan keterangan, orang-orang yang tidak dapat
menjadi saksi dalam persidangan yaitu tersebut dalam Dalam pasal 88 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyebutkan bahwa, yang tidak boleh didengar
sebagai saksi adalah:
a. Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus ke atas atau
kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa.
b. Istri atau suami salah seorang pihak yang bersengketa meskipun sudah bercerai.
c. Anak yang berusia tujuh belas tahun.
d. Orang sakit ingatan.
Seorang saksi wajib mengucapkan sumpah dan didengar dalam
persidangan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa. Terhadap saksi yang
tidak dapat hadir dalam persidangan karena suatu alasan yang dibenarkan, maka hakim
dibantu panitera datang ketempat kediaman saksi untuk diambil sumpahnya dan untuk
didengar keterangannya.
Dari ketentuan yang terdapat dalam dalam Pasal 104 tersebut dapat
diketahui bahwa saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang
sesuatu hal yang dialaminya, dilihat atau didengarnya tentang sengketa yang diperiksa
dipengadilan.
Dalam memberikan keterangan di muka persidangan tidak semua orang
yang bisa dihadapkan sebagai saksi. Hal ini diatur dalam Pasal 88 dan 89 UU No. 5
Tahun 1986 siapa saja yang tidak boleh dihadirkan sebagai saksi dalam pemeriksaan
sengketa tata usaha negara. Oleh Indroharto yang dimaksud dengan keterangan saksi
itu adalah keterangan yang didengar oleh hakim selama pemeriksaan perkara
dilakukan.

4) pengakuan para pihak


Pasal 105 , menentukan Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali
kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diteriam oleh hakim.
Menurut Wiyono (2013) pengakuan yang diberikan oleh pihak
penggugat atau tergugat belum tentu menunjukan kebenaran materil yang berkaitan

107
dengan terjadinya sengketa tata usaha negara, oleh karena itu meskipun penggugat atau
tergugat telah memberikan pengakuan, tetapi hakim masih mempunyai wewenang
untuk meneliti lebih lanjut terhadap pengakuan yang diberikan para pihak.
Pengakuan dimuka hakim dalam persidangan (gerechtelijke bekentenis)
merupakan keterangan sepihak, baik tertulis maupun lisan yang tegas dan dinyatakan
oleh salah satu pihak dalam perkara persidangan, yang membenarkan baik seluruhnya
atau sebagian dari suatu peristiwa. Hak atau hubungan hukum yang diajukan oleh
lawannya, yang mengakibatkan pemeriksaan lebih lanjut oleh hakim tidak perlu
lagi.[89]
Suatu pengakuan harus diterima secara keseluruhan, hakim tidak
diperkenankan hanya menerima sebagian dari pengakuan dan menolak sebagian yang
lain. Dan juga keterangan para pihak tidak dapat ditarik kembali seperti yang telah
disebutkan Dalam pasal 105 Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 menyebutkann
bahwa “pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan
yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim”.

5) pengetahuan Hakim
Pasal 106 UU PTUN, menentukan bahwa yang dimaksudkan dengan
pengetahuan hakim adalah hal olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.
Pengetahuan hakim tersebut adalah pengetahuan dari hakim yang
diperoleh selama pemeriksaan dalam persidangan yang berlangsung. Menurut Wijono
yang termasuk pemeriksaan di sidang pengadilan adalah pemeriksaan setempat (
gerechtelijke plaatselijk onderzoek ), karena hanya tempat sidang saja yang pindah,
tidak lagi dikantor Peradilan Tata Usaha Negara, tetapi misalnya di kantor Tergugat.
Menurut Wirjono Prodjodikoro yang dimaksud dengan pengetahuan
hakim adalah hal yang dialami oleh hakim sendiri selama pemeriksaan perkara dalam
sidang, misalya jika salah satu pihak mengajukan suatu bukti atau hakim melihat
keadaan yang menjadi soal perselisihan.[90]

89 Zairin Harahap, Hukum Acara Tata Usaha Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hal 155
90 Ibid, hal 156

108
Pengetahuan hakim harus bersifat objektif, sehingga pengetahuan hakim
terswbut dipergunakan oleh hakim untuk kepentingan semua pihak dengan
berdasarkan alat bukti pengetahuan hakim. Pengetahuan hakim juga tidak boleh
mengesampingkan alat-alat bukti yang lainnya.

C. Asas Pemeriksaan Alat-Alat Bukti Dalam Pemeriksaan Sengketa Tata Usaha Negara.
Menurut Subekti dikutip Rozali Abdullah (1992) Suatu masalah yang sangat
penting dalam hukum pembuktian adalah masalah beban pembuktian, pembagian beban
pembuktian ini harus dilakukan dengan adil dan tidak berat sebelah karena suatu
pembagian beban pembuktian yang berat sebelah berarti menjerumuskan pihak yang
menerima beban yang terlampau berat dalam jurang kekalahan.
Penjelasan Umum UU No. 5 Tahun 1986, menyatakan bahwa Hukum Acara
yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum
acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara pidana: Pada peradilan Tata
Usaha Negara, Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh
kebenaran materil dan untuk itu undang-undang mengarah pada pembuktian bebas sebagai
mana yang diatur dalam pasal 107 UU No. 5 tahun 1986.
Menurut Sudikno dikutip Wiyono, ajaran pembuktian bebas atau teori
pembuktian bebas adalah ajaran atau teori yang tidak menghendaki adanya ketentuan-
ketentuan yang mengikat hakim, sehinggga sejauhmana pembuktian dilakukan diserahkan
kepada hakim.
Apa sebab yang diikuti adalah ajaran pembuktian bebas, karena proses
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap sengketa tata usaha negara yang diatur dalam
UU N0.5 tahun 1986 jo UU No.9 Tahun 2004 jo. UU no.51 Tahun 2009 menurut pembuat
undang-undang dimaksudkan untuk memperoleh kebenaran materil dan bukan kebenaran
formil.
Pasal 107, UU No. 5 tahun 1986, menyatakan Hakim menentukan apa yang
harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa pasal ini merupakan ketentuan
dalam rangka usaha menemukan kebenaran materil. sama dengan system Hukum

109
Pembuktian dalam HukumAcara Pidana , maka dengan memperhatikan segala sesuatu
yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh
para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menentukan sendiri :
a. Apa yang harus dibuktikan
Penjelasan pasal 107 Undang-undang No. 5 Tahun1986 menyatakan dalam
proses pemeriksaan di sidang Pengadilan Hakim tidak tergantung atau tidak terikat
pada fakta dan hal yang diajukan Penggugat atau Tergugat.
Pada pemeriksaan di sidang Pengadilan, Hakim dapat saja mengesampingkan
fakta dan hal yang diajukan oleh Penggugat atau Tergugat, demikian pula Hakim dapat
saja memeriksa lebih lanjut tentang fakta dan hal yang tidak disangkal atau tidak cukup
dibantah, apabila fakta dan hal tersebut mempunyai arti yang relevan untuk dijadikan
dasar pertimbangan dan Hakim dalam menjatuhkan putusan yang pada saat
pemeriksaan di sidang Pengadilan belum cukup pasti keadaannya.

Jika para pihak di sidang pengadilan berharap fakta dan hal yang diajukan
dapat memperoleh perhatian hakim maka fakta tersebut harus dibuktikan
kebenarannya.

b. Siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh
pihak yang berpekara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim
sendiri
Siapa yang harus dibebani pembuktian, Penggugat atau Tergugat adalah
masalah pembagian beban pembuktian. Yang dimaksud dengan beban pembuktian
adalah kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang
menjadi dasar pertimbangan dan Hakim dalam menjatuhkan putusannya.
Menurut Wijono (2013) yang dimaksud dengan beban pembuktian adalah
kewajiban yang dibebankan kepada suatu pihak untuk membuktikan fakta yang
menjadi dasar pertimbangan dari hakim dalam menjatuhkan putusannya.
Dalam UU No. 5 Tahun 1986 tidak ada mengatur tentang dalil pembuktian,
hal menarik untuk diperhatikan mengenai ketentuan tentang beban pembuktian yang
disebutkan dalam Pasal 107 hanya menyebutkan hakim menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian dan untuk sahnya

110
pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan
hakim. Artinya Hakim dapat meletakkan beban pembuktian pada diri Hakim sendiri
terhadap suatu fakta yang ditemukan selama pemeriksaan di sidang Pengadilan.
Indroharto, mengemukakan bahwa kewajiban untuk membuktikan itu tidak
ada pada pihak-pihak, tetapi barang siapa diberi beban untuk membuktikan sesuatu
dan tidak melakukannya, akanmenanggung suatu risiko bahwa beberapa fakta yang
mendukung positanya akan dikesampingkan dan dianggap tidak terbukti. Jadi, beban
pembuktian itu mengandung risiko pembuktian. Dalam kepustakaan dikenal adanya
beberapa teori beban pembuktian dalam Hukum Acara Perdata,[91] sebagai berikut:
a. Teori beban pembuktian afirmatif atau teori pembuktian yang bersifat
menguatkan belaka (bloot affirmatieve). Menurut teori ini beban pembuktian
diletakkan hanya kepada pihak yang mendalilkan atau yang mengemukakan
sesuatu saja. Teori beban pembuktian afirmatif pada saat sekarang sudah tidak
pernah diterapkan lagi.
b. Teori hukum subjektif.
Menurut teori ini beban pembuktian diletakkan kepada pihak yang
meminta kepada Hakim agar hak subjektifnya yang didalilkan diakui. Akan tetapi,
jika pihak lain yang mengemukakan bahwa fakta-fakta yang menjadi dasar
tuntutan hak subjektif yang dimaksud sebenarnya telah hapus, maka pihak lain
tersebut harus membuktikan bahwa fakta-fakta yang dikemukakan tersebut
memang demikian.
Teori ini dapat memberi jawaban apabila gugatan didasarkan atas hukum
subjektif, padahal gugatan dapat saja didasarkan tidak atas hukum subjektif,
misalnya gugatan mengenai perceraian.
Di samping itu, teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak
memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam
sengketa yang bersifat prosesuil.

c. Teori hukum objektif.

91Indroharto,UsahaMemahami Undang- Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II,...Op.cit,hal. 193-
194. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,...Op.cit, hal. 111—114.

111
Menurut teori ini, beban pembuktian diletakkan kepada pihak yang
meminta kepada Hakim agar melaksanakan ketentuan- ketentuan tentang hukum
objektif yang berlaku atas fakta yang diajukan atau dituntut. Hakim hanya
menerapkan ketentuan tentang hukum objektif pada fakta yang diajukan atau
dituntut jika unsur-unsur yang berkaitan dengan fakta tersebut terdapat dalam
ketentuan tentang hukum objektif yang dimaksud. Teori hukum ini sudah tentu
tidak akan dapat 1 menjawab persoalan- persoalan yang tidak diatur oleh undang-
undang.
d. Teori keadilan.
Menurut teori ini, beban pembuktian diletakkan pada pihak yang paling
sedikit menanggung beban pembuktian atau yang paling sedikit jika disuruh
membuktikan. Dengan demikian, setiap kali Hakim akan membebankan
pembuktian kepada Penggugat atau Tergugat, terlebih dahulu Hakim akan
memperhatikan keadaan-keadaan secara konkret selama pemeriksaan di siding
Pengadilan berlangsung dan atas dasar keadaan tersebut. Hakim menentukan
kepada siapa beban pembuktian itu diletakkan.

Berdasarkan beberapa teori beban pembuktian tersebut, menurut


Indroharto, sedikit banyak mempunyai arti dalam proses hukum Tata Usaha
Negara, karena dalam teori tersebut diajukan macam- macam pilihan yang dapat
dipilih oleh Hakim Tata Usaha Negara.

Sebagai akibat dari Hakim mempunyai kebebasan atau dapat menentukan


sendiri siapa yang harus dibebani pembuktian, menurut Suparto Wijoyo, Hakim
dapat menerapkan beban pembuktian terbalik atau pembagian beban yang
seimbang sesuai dengan kearifan hakim.

c. Alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian
Mengenai apa yang harus dibuktikan, hal ini sudah ditentukan dalam Pasal
100 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1985 tentang- jenis alat bukti. Menurut Indroharto alat-
alat bukti yang diatur dalam pasal tersebut mempunyai derajat bobot yang sama,
artinya tidak ada tingkatan mengenai kekuatan pembuktian dari masing-masing alat

112
bukti tersebut atau tidak ada perbedaan kekuatan pembuktian antara alat bukti yang
satu dengan yang lainnya.
Apabila dihubungkan dengan Pasal 107, dalam memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usahga negara hakim mempunyai wewenang untuk
memilih alat bukti tertentu diantara alat-alat bukti sebagaimana ditentukan dalam Pasal
100 ayat (1) untuk memberikan penilaian tentang kekuatan pembuktian dari alat bukti
tersebut untuk dipergunakan dalam pembuktian.
Maksud dari penjelasan Pasal 107 tersebut adalah dalam memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara, Hakim mempunyai
wewenang untuk memilih alat bukti tertentu di antara alat-alat bukti seperti ditentukan
dalam Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan memberikan
penilaian tentang kekuatan pembuktian dan alat bukti tersebut untuk dipergunakan
dalam pembuktian.

d. Kekuatan pembuktian yang telah diajukan


Mengenai kekuatan pembuktian yang diajukan, dalam Pasal 107 sudah jelas
jelas disebutkan bahwa hakim dapat menentukan sendiri kekuatan pembuktian.
Maksudnya bahwa hakim mempunyai kewenangan untuk memberikan penilaian
terhadap hasil pembuktian ,hanya saja untuk memberikan penilaian terhadap hasil
pembuktian hakim harus memperhatikan pembatasan sebagaimana ditentukan dalam
Pasal 107, yaitu untuk sahnya pembuktian diperlukan sekuran-kurang dua alat bukti
berdasarkan keyakinan hakim.

113
BAB IX
PUTUSAN

A. JENIS PUTUSAN
Putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat negara
diberi wewenang untuk itu, diucapakan dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri
suatu perkara antara para pihak didalam persidangan. Putusan tidak memiliki kekuatan
sebagai putusan apabila tidak diucapkan didalam persidangan (uitspraak) oleh hakim.
Putusan yang diucapkan tidak boleh berbeda dengan apa yang tertulis (vonnis). Yang
dimaksud dengan vonis adalah putusan yang belum memiliki kekuatan hukum yang pasti.
Dalam hukum acara PTUN putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah
sebagai berikut:
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dimintakan upaya banding.
2. Putusan pengadilan tinggi yang tidak dimintakan kasasi.
3. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diatur dalam pasal 97 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, yaitu sebagai berikut:
1. Dalam hal pemeriksaan sengketa sudah selesai, kedua belah pihak diberi kesempatan
untuk mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan masing-masing.
2. Setelah kedua belah pihak mengemukakan kesimpulan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), maka Hakim Ketua Sidang menyatakan bahwa sidang ditunda untuk
memeberikan kesempatan kepada Majelis Hakim bermusyawarah dalam ruangan
tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut.
3. Putusan dalam musyawarah majelis yang dipimpin oleh Hakim Ketua Majelis
merupakan hasil permufakatan bulat, kecuali jika setelah diusahakan dengan sungguh-
sungguh tidak dapat dicapai permufakatan bulat, putusan diambil dengan suara
terbanyak.
4. Apabila musyawarah majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak dapat
menghasilkan putusan, permusyawaratan ditunda sampai musyawarah majelis
berikutnya.

114
5. Apabila dalam musyawarah majelis berikutnya tidak dapat diambil suara terbanyak,
maka suara terakhir Hakim Ketua Majelis yang menentukan.
6. Putusan Pengadilan dapat dijatuhkan pada hari itu juga dalam sidang yang terbuka
untuk umum, atau ditunda pada hari lain yang harus diberitahuka kepada kedua belah
pihak.
7. Putusan Pengadilan dapt berupa:
a. Gugatan ditolak;
b. Gugatan dikabulkan;
c. Gugatan tidak diterima;
d. gugatan gugur.
8. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan Pengadilan tersebut dapat
ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
9. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) berupa :
a. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan; atau
b. pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
c. penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal
3.
10. Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti
rugi.
11. Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut
kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dan
ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Ketentuan pasal tersebut memuat prosedur pengambilan putusan yang harus
diambil dengan musyawarah diantara majelis hakim, putusan yang diambil dengan suara
terbanyak baru dikatakan apabila musyawarah untuk mencapai kesepakatan bulat
mengalami jslsn buntu, apabila pengambilan keputusan dengan dengan suara terbanyak
tersebut juga mengalami kemacetan, maka barulah putusan dapat diambil oleh Ketua
Majelis. Menurut pasal tersebut diatas juga memuat prosedur pengambilan putusan, yang

115
memuat syarat bahwa sahnya suatu putusan apabila dinyatakan dalam sidang yang terbuka
untuk umum.
Putusan sela dalam hukum acara PTUN dimungkinkan dalam hal putusan untuk
menunda pelaksanaan KTUN , putusan permohonan beracara dengan cuma-cuma, atau
kematian salah satu kuasa hukum para pihak.
Dalam Hukum Acara Perdata, dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara juga
dikenal adanya:
a. putusan yang bukan putusan akhir, dan
b. putusan akhir.
Adanya putusan yang disebut putusan yang bukan putusan akhir tersebut, dapat
disimpulkan dan perumusan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan: Putusan
Pengadilan yang bukan putusan akhir, meskipun diucapkan dalam sidang tidak dibuat
sebagai putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang.
b. Pasal 124 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan: Putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara yang bukan putusan terakhir, hanya dapat dimohonkan
pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir. mDengan adanya putusan
yang bukan putusan akhir, maka sudah tentu dikenal pula adanya putusan akhir,
bahkan pada perumusan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan
bersama-sama dengan putusan akhir.
Dengan adanya putusan yang bukan putusan akhir, maka sudah tentu dikenal
pula adanya putusan akhir, bahkan pada perumusan Pasal 124 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 disebutkan “bersama-sama dengan putusan akhir”.
1. Putusan yang bukan Putusan Akhir
Putusan yang bukan putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh
Hakim sebelum pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dinyatakan selesai. Tujuan
dari dijatuhkannya putusan yang bukan putusan akhir adalah untuk memungkinkan
atau mempermudah pelanjutan pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara di sidang
pengadilan. Dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara yang termasuk putusan yang
bukan putusan akhir, contohnya adalah:

116
a. putusan Hakim yang memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk
datang menghadap sendiri ke pemeriksaan sidang pengadilan, meskipun sudah
diwakili oleh seorang kuasa (Pasal 58) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986;
b. putusan Hakim Ketua Sidang yang mengangkat seorang ahli alih bahasa atau
seorang yang pandai bergaul dengan Penggugat atau saksi sebagain Juru bahasa
(Pasal 91 ayat (1) dan Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986);
c. putusan Hakim Ketua Sidang yang menunjuk seseorang atau beberap orang ahli
atas permintaan Penggugat dan Tergugat atau Penggugat atau Tergugat atau
karena jabatannya (Pasal 103 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986);
Putusan Hakim mengenai beban pembuktian (Pasal 107) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986. Dalam perpustakaan Hukum Acara Perdata, [92] contoh putusan
yang bukan putusan akhir pada butir a dan b dinamakan putusan praeparatoir , yaitu
putusan yang dijatuhkan Hakim untuk mempersiapkan dan mengatur mengenai
pemeriksaan perkara. Putusan Hakim mi tidak sampai akan mempengaruhi putusan
terhadap pokok perkara. Menurut M. Yahya Harahap, pada saat sekarang putusan [93]
praeparatoir ini tidak pernah lagi dipraktikkan.
Sedangkan contoh putusan yang bukan putusan akhir pada butir c dan d,
dinamakan putusan interlocutoir , yaitu putusan yang dijatuhkan Hakim yang isinya
memerintahkan pembuktian. Putusan Hakim ini dapat mempengaruhi putusan
terhadap pokok perkara. Menurut M. Yahya Harahap, pada saat sekarang putusan
interlocutoir sudah [94] jarang dipraktikkan. Wirjono Prodjodikoro,[95]
mengemukakan bahwa dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan, jika Hakim
memerintahkan kepada Penggugat atau Tergugat untuk membuktikan sesuatu hal,
perintah Hakim seperti itu sebetulnya tidak perlu disusun secara surat keputusan
melainkan cukup diucapkan oleh Hakim secara lisan saja. Apakah dalam Hukum
Acara Tata Usaha Negara, penerapan dan putusan yang bukan putusan akhir yang

92 Lihat misalnya Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia , ... Op. cit , hal. 183-185; Lilik Mulyadi,
Hukum Acara Perdata Menurut Teori dan Praktek Peradilan Indonesia, (Jakarta: Penerbit Jambatan, 1998), hal.
211-212; Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Penerbit Sumur, 1961), hal. 99.
93 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata Peradilan Indonesia , (Medan: Pener- bit CV. Zahir Trading Co, 1997),
him. 99.
94 Ibid, hal 308.
95 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata Indonesia , ...Op.cit, hal 99.

117
dalam kepustakaan Hukum Acara Perdata dinamakan putusan praeparatoir dan
putusan in- terlocutoir , praktiknya sama dengan apa yang telah dikemukakan oleh M.
Yahya Harahap?
Karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 baru berlaku efektif sejak
tanggal 14 Januari 1991, maka adalah terlalu dini dan memerlukan penelitian untuk
menentukan apakah dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara, penerapan putusan yang
bukan putusan akhir yang dalam kepustakaan Hukum Acara Perdata dinamakan
putusan praeparatoir dan putusan interlocutoir. Pada praktiknya adalah sama dengan
apa yang telah dikemukakan oleh M. Yahya Harahap seperti di atas. Akan tetapi, jelas
dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 terdapat ketentuan yang dapat
dijadikan dasar hukum dari Hakim untuk menjatuhkan putusan yang bukan putusan
akhir yang dalam kepustakaan Hukum Acara Perdata dinamakan putusan
praeparatoir dan putusan interlocutoir.
Oleh karena itu menurut R. Wiyono, [96]tidak benar jika Martiman
Prodjohamidjojo,[97] sampai mengemukakan pendapat bahwa dalam Hukum Acara
Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya putusan praeparatoir dan putusan
interlocutoir, apalagi yang dipergunakan sebagai alasan adalah karena gugatan tidak
menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Gugatan
tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
merupakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.
Apa sebab sampai gugatan tidak menunda pelaksanaan Keputusan Tata Usaha
Negara, karena dalam Hukum Tata Usaha Negara dikenal adanya asas praduga
rechtmatig (het ver moeden van rechtmatigheid-praesumptio iustae causa) [98]
terhadap semua tindakan dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, termasuk
Keputusan TataUsaha Negara yang telah dikeluarkannya.

96 R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, ...Loc.cit.


97 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara ,.. Loc. cit
98 Suparto Wi,joyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi , Cetakan ke-I (Surabaya: Penerbit Airlangga
University Press, 1997), hIm. 54.

118
Berdasarkan asas tersebut, maka dalam Hukum Acara Tata Usaha Negara tidak
dikenal adanya putusan yang bukan putusan akhir yang dalam kepustakaan Hukum
Acara Perdata dinamakan putusan provisionil, yaitu putusan Hakim [99] (karena ada
hubungannya dengan pokok perkara) yang menetapkan untuk melakukan tindakan
sementara bagi kepentingan salah satu pihak yang berperkara, misalnya dalam perkara
perceraian, putusan yang memerintahkan kepada suami untuk tetap membayar nafkah
untuk istrinyaselama perkara sidang diperiksa.
Apa sebab sampai dalam Hukum Acara Tata usaha Negara tidak dikenal
adanya putusan provisionil , karena Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
telah menentukan bahwa hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap yang dapat dilaksanakan, sedang putusan provisionil adalah putusan yang
belum mempunyai kekuatan hukum tetap. Dengan demikian alasan yang digunakan
Martiman Prodjohamidjojo sebagai dasar untuk tidak dikenal adanya putusan dalam
kepustakaan Hukum Acara Perdata dinamakan putusan praeparatoir dan putusan
interlocutoir. Hal tersebut adalah alasan yang tidak ada kaitannya dengan kedua
putusan tersebut, tetapi ada kitan dengan putusan yang dalam kepustakaan Hukum
Acara Perdata dinamakan putusan provisionil.
Mengenai bentuk dan putusan yang bukan putusan akhir, sebagaimana
ditentukan oleh Pasal 113 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5Tahun 1986, putusan
tidak dibuat sebagai putusan tersendiri, melainkan hanya dicantumkan dalam berita
acara sidang. Dengan demikian bentuk dan putusan yang bukan putusan akhir, tidak
dibuat seperti halnya putusan akhir yang merupakan surat atau dokumen tersendiri
yang terlepas dan berita acara sidang.
Barang siapa yang mempunyai kepentingan dengan putusan yang bukan
putusan akhir, yang bersangkutan dapat meminta salinan autentik dan berita acara
sidang yang memuat putusan tersebut kepada Panitera. Terdapat beberapa putusan
yang bukan putusan akhir yang perlu mendapat perhatian, yaitu:
a. putusan Hakim yang dijatuhkan karena jabatannya yang menyatakan tidak
mempunyai kewenangan absolut;

99 Ibid ., hal. 107-11.

119
b. putusan Hakim yang mengabulkan eksepsi tentang kewenangan absolut yang
diajukan oleh Tergugat (Pasal 77 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986);
c. putusan Hakim yang mengabulkan eksepsi tentang kewenangan relatif yang
diajukan oleh Tergugat (Pasal 77 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986).
Ketiga putusan Hakim tersebut dijatuhkan sebelum pokok perkara diperiksa.
Jika Tergugat keberatan terhadap ketiga putusan Hakim yang dimaksud, dengan
sendirinya langsung dapat diajukan permohonan pemeriksaan banding yang
menyimpang dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986. Dengan demikian, meskipun ketiga keputusan Hakim yang
dimaksud adalah putusan yang bukan putusan akhir, tetapi ketiga putusan tersebut
dianggap sebagai putusan akhir, sama seperti yang berlaku dalam Hukum Acara
Perdata. [100]
2. Putusan Akhir
Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh Hakim setelah pemeriksaan
sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat
pengadilan tertentu. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (7), dapat
diketahui bahwa putusan akhir dapat berupa antara lain sebagai berikut:
a. Gugatan ditolak
Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan
bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha
Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau
sah. Dengan demikian, putusan yang berupa gugatan ditolak baru dijatuhkan oleh
Hakim setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkara.
b. Gugatan dikabulkan
Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang
menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa
Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha yang dinyatakan batal atau tidak
sah. Oleh Pasal 97 ayat (8) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ditentukan
bahwa dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam putusan tersebut dapat

100 Soeparmono, Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi , (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2000), hal. 124.

120
ditetapkan kewajiban yang harus ditentukan da lam Pasal 97 ayat (9) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang berupa:
 pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan,
 pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau
 penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara dalam hal gugatan didasarkan pada
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Penjelasan Pasal 97 ayat (9) huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 menyebutkan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara ini dikeluarkan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku pada saat itu. Oleh Pasal
97 ayat (10) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 ditentukan bahwa kewajiban
yang harus dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat disertai pembebanan
ganti rugi. Adapun yang dimaksud dengan ganti rugi adalah pembayaran sejumlah
uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha
Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negarakarena adanya
kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat.[ 101]
Selanjutnya oleh Pasal 97 ayat (11) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 ditentukan bahwa dalam hal putusan yang berupa gugatan dikabulkan
menyangkut kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 97 ayat (9) dan ayat (10) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1986,
dapat disertai pemberian rehabilitasi. Yang dimaksud dengan rehabilitasi adalah
memulihkan hak Penggugat dalam kemampuan dan kedudukan, serta harkat dan
martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula sebelum ada putusan
mengenai Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan. Seperti halnya pada
putusan yang berupa gugatan ditolak, putusan yang berupa gugatan dikabulkan,
baru dijatuhkan oleh Hakim setelah dilakukan pemeriksaan terhadap pokok
perkara.
c. Gugatan tidak diterima

101 Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991.

121
Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang
menyatakan bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh
gugatan yang diajukan oleh Penggugat. Diktum pada putusan tersebut Sebenarnya
bersifat deklaratoir, yang tidak membawa perubahan apa-apa dalam hubungan
hukum yang ada antara Penggugat dengan Tergugat.[102]
d. Gugatan gugur
Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan
Hakim karena Penggugat tidak pernah hadir dalam beberapa kali sidang,
meskipun telah dipanggil dengan patut atau Penggugat telah meninggal dunia.

Susunan isi putusan itu sendiri terdapat didalam pasal 109 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 yaitu sebagai berikut:
(1) Putusan Pengadilan harus memuat :
a. Kepala putusan yang berbunyi:
"DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para
pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa;
e. alasan hukum yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera, serta keterangan
tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
(2) Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
menyebabkan batalnya putusan Pengadilan.
(3) Selambat-lambatnya tiga puluh hari sesudah putusan Pengadilan diucapkan, putusan
itu harus ditandatangani oleh Hakim yang memutus dan Panitera yang turut
bersidang.

102 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku II ,.. Loc.cit .

122
(4) Apabila Hakim Ketua Majelis atau dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat Hakim
Ketua Sidang berhalangan menandatangani, maka putusan Pengadilan
ditandatangani oleh Ketua Pengadilan dengan menyatakan berhalangannya Hakim
Ketua Majelis atau Hakim Ketua Sidang tersebut.
(5) Apabila Hakim Anggota Majelis berhalangan menandatangani, maka putusan
Pangadilan ditandatangani oleh Hakim Ketua Majelis dengan menyatakan
berhalangannya Hakim Anggota Majelis tersebut.
Dalam pasal 109 ayat (1) huruf f tersebut, disebutkan tentang pencantuman
perincian biaya perkara sebagai salah satu bagian yang harus dimuat dalam putusan
yang dicantumkan dalam amar putusan. Seluruh biaya perkara dibebankan kepada
pihak yang dikalahkan ( kecuali apabila penggugat kalah dan telah mengajukan acara
cuma - cuma).
Dalam Pasal 111 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, biaya perkara terdiri
dari:
a. biaya kepaniteraan dan biaya meterai;
b. biaya saksi, ahli, dan alih bahasa dengan catatan bahwa pihak yang meminta
pemeriksaan lebih dari lima orang saksi harus membayar biaya untuk saksi yang
lebih itu meskipun pihak tersebut dimenangkan;
c. biaya pemeriksaan di tempat lain dari ruangan sidang dan biaya lain yang diperlukan
bagi pemutusan sengketa atas perintah Hakim Ketua Sidang.

B. MATERI / ISI PUTUSAN


Mengenai isi dan suatu putusan oleh Pasal 109 ayat (1) Undang- Undang Nomor
5 Tahun 1986 ditentukan harus memuat:
a. kepala putusan harus berbunyi: Demi Keadilan Berdasar-kan Ketuhanan Yang Maha
Esa‖;
b. nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman para pihak yang bersengketa;
c. ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas;
d. pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam
persidangan selama sengketa itu diperiksa;

123
e. alasan hakim yang menjadi dasar putusan;
f. amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara;
g. hari, tanggal putusan, nama Hakim yang memutus, nama Panitera serta keterangan
tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.
Selanjutnya Pasal 109 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menentukan, bahwa:
“Tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1)
dapat menyebabkan batalnya putusan Pengadilan. “
Dengan digunakannya kata dapat‖ dalam perumusan Pasal 109 ayat (2) tersebut,
maka dapat diketahui bahwa tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dengan sendirinya dapat menjadi alasan batalnya putusan.
Agar suatu putusan menjadi batal, harus ada permohonan dan pihak yang berkepentingan,
misalnya jika Penggugat mempunyai kehendak agar putusan menjadi batal, maka dalam
memori banding atau memori kasasi harus dimuat dengan tegas agar putusan dibatalkan,
karena tidak dipenuhinya salah satu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109 ayat
(1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986. Akan tetapi oleh Indroharto [103] dikemukakan
kalau syarat yang tersebut di atas : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa atau tidak disebutkan amar putusannya” atau pertimbangan hukumnya atau tidak
disebutkan tama pihak-pihak yang bersengketa umpamanya, maka sudah tentu putusan
demikian itu menjadi batal demi hukum. Yang dimaksud oleh Indroharto adalah putusan
tersebut bagi hukum tidak mempunyai akibat hukum tanpa diperlukan adanya putusan lagi
untuk menyatakan batalnya putusan yang dimaksud. Pendapat Indroharto tersebut sejalan
dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 197 ayat (2) KUHAP.

C. SISTEMATIKA PUTUSAN
Mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 109 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986,[104] dalam praktik bagian-bagian dari satu putusan adalah:
1. Pembukaan;
Pada Pembukaan secara berturut-turut disebutkan:

103 Ibid, hal 130.


104 Ibid, hal 130.

124
a. kata putusan atau penetapan;
b. nomor perkara;
c. irah-irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa‖;
d. pengadilan yang menjatuhkan putusan atau yang mengeluarkan penetapan;
e. identitas penggugat dan tergugat, dengan kuasa hukumnya.
Irah-irah tersebut mengingatkan kepada Hakim akan sumpah jabatannya,
bahwa Hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, din send in, dan rakyat,
tetapi juga bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2. tentang duduknya perkara;
Mengenai bagian putusan yang menyebutkan tentang duduknya perkara, diisi
dengan uraian singkat yang berasal dan gugatan, jawaban, replik dan duplik, serta alat-
alat buktinya. Meskipun berupa uraian singkat, tetapi uraian singkat tersebut harus
jelas dan terang serta dapat menggambarkan duduknya perkara yang diperiksa dan
diputus oleh Hakim.
3. tentang pertimbangan hukumnya;
Mengenai bagian putusan yang menyebutkan tentang pertimbangan hukum,
diisi dengan uraian tentang pertimbangan hukum terhadap duduknya perkara. Dalam
bagian putusan ini diadakan penilaian mengenai alat- alat bukti terhadap fakta-fakta
yang diajukan atau yang dibantah oleh Penggugat dan atau Tergugat. Pertimbangan
hukum dalam suatu putusan adalah sangat penting dan menentukan karena
pertimbangan hukum yang tidak cukup akan menjadi alasan untuk membatalkan
putusan tersebut dalam pemeriksaan tingkat kasasi.
4. kesimpulan;
Kesimpulan di samping merupakan penilaian akhir, juga merupakan penutup
dan pertimbangan hukum yang disebutkan dalam suatu putusan.
5. diktum atau amar;
Diktum adalah apa yang diputuskan secara final oleh pengadilan dan
merupakan titik akhir yang terpenting bagi Penggugat atau Tergugat. Pasal 97 ayat (7)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah memberi pedomanmengenai diktum yang
dapat dijatuhkan oleh Hakim, yaitu:
a. gugatan ditolak,

125
b. gugatan dikabulkan,
c. gugatan tidak diterima, dan
d. gugatan gugur.
Menurut Indroharto, [105] keempat dikta tersebut adalah dikta pokok mengenai
pokok gugatan yang dalam praktik rumusannya secara lengkap tentunya selalu diikuti
dengan rumusan dikta yang merupakan tidak lanjut sesudah dikta pokok tersebut.
Sebagai contoh dapat dikemukakan dikta dan putusan Pengadilan Tata Usaha
Negara Jakarta Nomor 094/G/1994/1J/PTUN.JKT tanggal 3 Mei 1995 mengenai
pokok perkara sebagai berikut:
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
b. Menyatakan batal Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia
Nomor 123IKEP/MENPEN/1994 tanggal 21 Juni 1994 tentang Pembatalan Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Mingguan Tempo dengan segala
akibat hukumnya.
c. Memerintahkan Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Menteri Penerangan
Republik Indonesia Nomor 123/KEP/ MENPEN/1994 tanggal 21 Juni 1994
tentang Pembatalan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Majalah Mingguan
Tempo dengan segala akibat hukumnya.
d. Memerintahkan Tergugat untuk menerbitkan Surat Keputusan tentang Pemberian
Surat Izin untuk menerbitkan Majalah Berita Mingguan Tempo yang baru kepada
PT. Grafiti Pers sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
e. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara yang besarnya Rp50.000,-
(lima puluh ribu rupiah).
Diktum adalah jawaban atau tanggapan dan petitum. Diktum untuk
penyelesaian sengketa perdata, yang menentukan bahwa Hakim wajib menjatuhkan
putusan terhadap semua petitum dan dilarang menjatuhkan putusan di luar atau
melebihi petitum. Dalam kepustakaan ilmu hukum, menjatuhkan putusan di luar atau
melebihi petitum atau menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut
disebut ultra petita.

105 Ibid, hal 135.

126
Untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tidak terdapat ketentuan seperti Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR
atau Pasal 198 ayat (2) dan (3) RBg.
Timbul pertanyaan apakah untuk penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara
juga terdapat perkembangan seperti yang terjadi untuk penyelesaian sengketa perdata?
Ternyata dan putusan Mahkamah Agung Nomor 5 K/TUN/1992 tangga 6 Februari
1993, dapat diketahui bahwa untuk penyelesaian [106] sengketa Tata Usaha Negara,
Hakim dapat memutuskan ultra petita.Untuk jelasnya secara garis besar kasusnya
dapat dikemukakan sebagai berikut:
Ny. D bt A dkk. sebagai Penggugat telah mengajukan gugatan ke Pengadilan
Tata Usaha Negara Jakarta dan sebagai Tergugat adalah Kepala Badan Pertanahan
Nasional DKI Jakarta. Sebagai petitum dari gugatannya adalah agar dinyatakan tidak
sah: Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 116 dan Sertifikat Hak Guna Bangunan
Nomor 136, karena tanah yang disebutkan dalam kedua sertifikat tersebut adalah
miliknya berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1523K/Sip/1982 tanggal 28
Februari 1983. Pada petitum dan gugatan tidak dimohonkan untuk dinyatakan tidak
sah:
a. akta jual beli Nomor 25/JB/III/1983 tanggal 21 Maret 1983 yang dibuat di
hadapan Notaris atau PPAT YP, S.H., yang menjadi dasar dikeluarkannya
Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 116;
b. akta jual beli Nomor 26/JB/III/1983 tanggal 21 Maret 1983 yang dibuat di
hadapan Notaris atau PPAT YP, S.H., yang menjadi dasar dikeluarkannya
Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 136.
Dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No.
010/G/1991/PTUN, tanggal 17 Oktober 1991, gugatan dikabulkan, tetapi dengan
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 13/B/199 1/PTTUN,
tanggal 27 Januari 1992, putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dibatalkan.
Dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 5K/TUN/1992 tanggal 6 Februari 1993,

106 Gema Peratun, Tahun I Nomor 2 - Agustus 1993, hal. 61-87.

127
dinyatakan tidak sah, balk kedua Sertifikat maupun kedua akta jual beli tanah yang
menjadi dasar clibuatnya kedua Sertifikat tersebut. Dari putusan Mahkamah Agung
tersebut jelas dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung telah menjatuhkan putusan
melebihi atau di luar petitum yang diajukan oleh Penggugat. Apa sebab sampai
Mahkamah Agung memutus ultra petita, dapat diikuti pertimbangannya sebagai
berikut :
a. Walaupun pihak Penggugat-Penggugat asal tidak mengajukannya dalam petitum,
Mahkamah Agung dapat mempertimbangkan dan mengadili Semua keputusan
atau penetapan-penetapan yang bertentangan dengan tatanan yang adayaitu
putusan Mahkamah Agung Nomor l52K/Sip/1982.
b. Adalah tidak dapat dibenarkan bila hakim memberikan keputusan-keputusan
dan/atau penetapan-penetapan yang bertentangan dengan tatanan hukum yang ada
tersebut berlanjut hanya berdasarkan pertimbangan karena pihak-pihak dalam
perkara tidak mengajukan pertentangan yang ada tersebut di persidangan, lagi
pula adalah tidak pada tempatnya bila hak menguji Hakim hanya dibatasi pada
objek sengketa yang telah diajukan oleh pihak-pihak, karena sering objek
sengketa tersebut harus dinilai dan dipertimbangkan dalam kaitannya dengan
bagian-bagian penetapan-penetapan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
tidak disengketakan antara kedua belah pihak ( ultra petita ).
Dalam catatannya terhadap putusan Mahkamah Agung tersebut, Olden Bidara
[107] mengemukakan bahwa sebagai konsekuensi dan penerapan lembaga hukum ultra
petita ini, yakni penambahan objek sengketa yang diajukan oleh para pihak, dapat pula
menjurus kepada reformatio in peius , yakni Hakim dan Peradilan Tata Usaha Negara
justru memberi putusan yang merugikan atau mengurangi kedudukan atau kepentingan
hukum Penggugat, dalam anti dengan putusan Hakim dan Peradilan Tata Usaha
Negara, Penggugat akan dibawa ke dalam situasi yang lebih merugikan baginya
daripada sebelum ia mengajukan gugatan inlite (lihat kuliah Prof. Mr. B.WN. de Ward
di Utrecht pada tanggal 2 November 1989). Demikian pula seperti yang dikemukakan
oleh Suparto Widjojo.[108]

107Ibid,
hal 84.
108Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi , Op.cit, hal. 149..

128
6. penutup.

D. KEKUATAN HUKUM DARI PUTUSAN


Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang- Undang Nomor 9
Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tidak ada ketentuan yang mengatur
tentang kekuatan hukum dan putusan Hakim. [109] Meskipun demikian dari kepustakaan
Hukum Acara Tata Usaha Negara, dikenal adanya beberapa kekuatan hukum dan putusan
Hakim di lingkung Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu kekuatan pembuktian, kekuatan
mengikat, dan kekuatan eksekutorial. Kekuatan hukum dan putusan Hakim yang
sedemikian ini dikenal pula ada di kepustakaan Hukum Acara Perdata.[110]
1. Kekuatan Pembuktian
Yang dimaksud dengan kekuatan pembuktian dari putusan Hakim adalah
kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan Hakim bahwa 1 dengan putusan
tersebut telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu. Putusan Hakim adalah
merupakan akta autentik, sehingga putusan Hakim tersebut mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna (Pasal 1868 jo. Pasal 1870 KUH Perdata). Oleh karena itu,
putusan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai kekuatan
pembuktian yang sempurna untuk pengadilan di lingkungan Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
2. Kekuatan Mengikat
Yang dimaksud dengan kekuatan mengikat dan putusan Hakim adalah
kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan Hakim bahwa putusan tersebut
mengikat yang berkepentingan untuk menaati atau melaksanakan. Siapakah yang
dimaksud dengan yang berkepentingan dalam hal ini? Yang dimaksud dengan yang
berkepentingan dalam Hukum Acara Perdata adalah para pihak yang terdiri dari:
a. Penggugat dan Tergugat;
b. pihak ketiga yang ikut serta dalam suatu sengketa antara Penggugat dan Tergugat,
baik dengan jalan intervensi maupun pembebasan (vrijwaring) atau mereka yang
diwakili dalam proses;

109 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentangPeradilan Tata Usaha Negara, Buku II..Loc.cit.
110 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia,...Loc.cit .

129
c. seorang yang kemudian mendapat hak dan pihak yang kalah. [ 111]
Berbeda dengan dalam Hukum Acara Perdata, dalam Hukum Acara Tata
Usaha Negara, yang dimaksud dengan yang berkepentingan tersebut adalah semua
orang dan atau semua badan hukum, baik badan hukum perdata maupun badan hukum
publik, karena putusan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara mengikuti
asas erga omnes, artinya putusan berlaku bagi semua orang. [112]
Jadi, kekuatan mengikat dan suatu putusan Hakim di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara tidak hanya terbatas pada para pihak sebagaimana yang dimaksud
dalam putusan Hakim di lingkungan Peradilan umum c.q. Perdata saja. Dengan
demikian, semua orang dan atau badan hukum, baik badan hukum perdata maupun
badan hukum publik harus menaati atau melaksanakan putusan yang dijatuhkan oleh
Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Sebagai akibat dan diikutinya asas
erga omnes pada putusan Hakim di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
a. tidak perlu adanya diktum putusan Hakim yang menyatakan agar pihak-pihak
tertentu, baik yang diikutsertakan pada salah satu pihak maupun yang tidak
menaati putusan pengadilan yang bersangkutan;
b. intervensi tidak mutlak terjadi (adanya) karena putusan Hakim di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara yang in kracht van gewijsde berlaku bagi semua
orang. [113]
3. Kekuatan Eksekutorial
Adapun yang dimaksud dengan kekuatan eksekutonial dari putusan Hakim
adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan Hakim bahwa putusan
Hakim tersebut dapat dilaksanakan. Sebagai syarat bahwa suatu putusan Hakim
memperoleh kekuatan eksekutorial adalah dicantumkannya irah-irah Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa pada putusan Hakim tersebut. [114]

111 Ibid. Hal 6


112 Suparto Wijoyo, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi ,.. Op.cit , hIm. 75.
113 Ibid. hal 6

114 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Penerbit Liberty; Yogyakarta, Edisi Ketiga, Cetakan ke-
I, 1988, him. 177.

130
131
BAB X
UPAYA HUKUM DAN EKSEKUSI

A.) Upaya Hukum


Dari sebuah putusan pengadilan harus diupayakan pelaksanaannya. Dalam pasal 115
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa hanya putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetaplah yang dapat dilakanakan. Putusan yang belum
memiliki kekuatan hukum tetap tidak dapat dimintakan eksekusinya. Memilikiupaya hukum
tetap berarti masih ada upaya hukum lebih lanjut terhadap suatu putusan.
Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa
TUN, baik terhadap putusan pengadilan yang belum mempunyai kekuatan huk tetap maupun
terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Upaya hukum yang dapat dilakukan adalah perlawanan, banding dan kasasi yang
dikenal dengan sebutan upaya hukum biasa. Sedangkan upaya hukum yang dapat ditempuh
terhadap putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap adalah peninjauan
kembali dan perlawanan pihak ketiga, yang dikenal dengan sebutan upaya hukum istimewa
atau upaya hukum luar biasa. Dalam hukum acara PTUN putusan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap adalah sebagai berikut:
1. Putusan pengadilan tingkat pertama yang sudah tidak dapat dimintakan upaya
banding.
2. Putusan pengadilan tinggi yang tidak dimintakan kasasi.
3. Putusan mahkamah agung dalam tingkat kasasi.
Terhadap sengketa Tata Usaha Negara yang diperiksa oleh Hakim, pada akhirnya
Hakim harus menjatuhkan putusan. Akan tetapi, karena pemangku jabatan Hakim adalah
manusia biasa yang tidak luput dan kesalahan, maka pada putusan tersebut, dapat saja terjadi
adanya kekeliruan.
Untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada putusan, maka perlu alat atau sarana
hukum untuk dapat memperbaiki putusan tersebut, yaitu yang dinamakan upaya hukum. Jadi,
upaya hukum adalah alat atau sarana hukum untuk memperbaiki adanya kekeliruan pada
putusan Pengadilan. Upaya hukum yang dimaksud adalah:
1. Upaya Hukum biasa, yang terdiri dari :

132
a. Perlawanan terhadap penetapan dismissal;
b. Banding; dan
c. Kasasi
2. Upaya Hukum luar biasa, yang terdiri dari :
a. Peninjauan Kembali; dan
b. Kasasi demi kepentingan hukum.
Istilah “upaya hukum biasa‖ dan “ upaya hukum luar biasa” tidak dipergunakan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009. Kedua istilah tersebut dipinjam dari istilah yang digunakan
dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
A. Perlawanan Terhadap Penetapan Dismissal
Perlawanan (verzet) merupakan upaya hukum terhadap penetapan yang
diputusakan oleh ketua pengadilan dalam rapat permusyawaratan (prosediure dismisal).
Perlawanan tersebut pada dasarnya membantah alasan-alasan yang digunakan
ketua pengadilan. Perlawanan diperiksa dan diputus oleh pengadilan dengan acara
singkat. Dalam hal perlawanan dibenarkan oleh pengadilan, maka penetapan ketua
pengadilan tersebut diatas menjadi gugur demi hukum dan pokok gugatan akan deperiksa,
diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Sebaliknya apabila perlawanan ditolak,
maka penetapan hakim yang diputus dalam rapat permusyawaratan menjadi tetap berlaku.
Dengan demikian gugatan tetap dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar.

B. Banding
Menurut Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang dapat
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding ke Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara adalah:
 Penggugat, dan/atau
 Tergugat.
Pihak ketiga yang masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara dan dikabulkan
permohonannya oleh Pengadilan sebagai Penggugat Intervensi, menurut Pasal 83 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dapat juga mengajukan permohonan pemeriksaan
di tingkat banding.

133
1. Putusan Pengadilan yang Dapat Diperiksa di Tingkat Banding
Menurut Pasal 122 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 putusan yang dapat
diperiksa di tingkat banding adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara‘ Yang
dimaksud dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara‖ tersebut adalah baik putusan
akhir maupun bukan putusan akhir. Hanya saja jika bukan putusan akhir, Pasal 124
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 telah menentukan bahwa permohonan
pemeriksaan di tingkat banding tersebut hanya dapat diajukan bersama-sama dengan
putusan akhir.
2. Tenggang Waktu
Menurut Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
permohonan pemeriksaan di tingkat banding harus diajukan dalam tenggang Tata
waktu tempat belas‖ hari setelah putusan Pengadilan Usaha Negara diberitahukan
secara sah kepada Penggugat dari Tergugat. Penjelasan Pasal 123 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan empat
belas hari adalah empat belas‖ hari menurut tanggal kalender. Apakah yang
dimaksudkan dengan diberitahukan secara sah kepada penggugat dan Tergugat dalam
rumusan Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986? Jika Penggugat
dan atau Tergugat hadir pada waktu Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan
putusannya, maka pada waktu itu secara langsung Penggugat dan atau Tergugat telah
diberitahu secara sah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut meskipun baru
kemudian salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara diterima. Dengan demikian,
jika Penggugat dan atau Tergugat hadir pada waktu Pengadilan Tata Usaha Negara
menjatuhkan putusannya, permohonan pemeriksaan. di tingkat banding harus
diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah Pengadilan Tata Usaha
Negara menjatuhkan putusannya. Akan tetapi, jika Penggugat dan atau Tergugat tidak
hadir pada waktu Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusannya, maka
Penggugat dan/atau Tergugat baru diberitahu secara sah putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara tersebut, jika atas perintah Ketua sidang, salinan putusan Pengadilan

134
Tata Usaha Negara yang dimaksud, oleh Panitera telah disampaikan dengan surat
tercatat kepada Penggugat dan atau Tergugat. [115]
Dengan demikian, jika Penggugat dan atau Tergugat tidak hadir pada waktu
Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan, permohonan pemeriksaan di
tingkat banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
Panitera menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan surat
tercatat kepada Penggugat atau Tergugat. Artinya setelah Penggugat dan atau
Tergugat menerima salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang dikirimkan
dengan surat tercatat oleh Panitera.
3. Tata Cara
Permohonan pemeriksaan di tingkat banding diajukan secara tertulis kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara yang menjatuhkan putusan yang dimohonkan
pemeriksaan di tingkat banding. [116] Dalam praktik jika Penggugat dan/atau Tergugat
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, Penggugat dan/atau
Tergugat mengisi formulir yang telah disediakan oleh Panitera. Mungkin demi
mempermudah pembuktian tentang dipenuhi atau tidak dipenuhinya tenggang waktu
permohonan pemeriksaan di tingkat banding, permohonan tersebut harus dinyatakan
secara tertulis. Untuk mengajukan permohonan di tingkat banding, pemohon harus
terlebih dahulu membayar uang muka biaya perkara yang besarnya ditafsir oleh
Panitera. [117] Setelah membayar uang muka biaya perkara, permohonan pemeriksaan
di tingkat banding dicatat oleh Panitera dalam daftar perkara. [118]
Selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan di
tingkat banding dicatat, Panitera memberitahukan Penggugat dan Tergugat bahwa
mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha Negara dalam
tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
[119] Para pihak dapat menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding
serta surat keterangan dan bukti kepada Panit- era Pengadilan Tata Usaha Negara

115 Pasal 108 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.


116 Pasal 123 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
117 Pasal 123 ayat (2) Undang-Undang Nomor S Tahun 1986.
118 Pasal 125 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
119 Pasal 126 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

135
dengan ketentuan bahwa salinan memori dan atau kontra memori diberikan kepada
pihak lainnya dengan perantaraan Panitera Pengadilan. [ 120]
Penyerahan memori banding kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara
tersebut bukan bersifat imperatif, tetapi meskipun demikian sebaiknya pemohon yang
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding menyerahkan memori
banding, karena dengan menyerahkan memori banding tersebut, Pengadilan tingkat
banding dapat mengetahui dengan jelas apa yang menjadi alasan sebenarnya dan
pemohon yang mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding. Selanjutnya
selambat-lambatuya 60 (enam puluh) hari setelah pernyataan permohonan
pemeriksaan di tingkat banding, salinan putusan, berita acara dan surat lain yang
bersangkutan dengan berkas perkara, oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara
harus dikirim kepada Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. [ 121]
4. Pemeriksaan
Pasal 127 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara memeriksa dan memutus perkara banding
dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim. Dengan demikian, susunan Majelis
Hakim yang memeriksa dan memutus perkara banding dapat terdiri lebih dari 3 (tiga)
Hakim, berbeda dengan susunan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus
perkara pada Pengadilan Tingkat Pertama yang tidak lebih dari 3 (tiga) Hakim. [ 122]
Menurut Indroharto, pemeriksaan di tingkat banding sifat devolutif, artinya seluruh
pemeriksaan perkara dipindahkan dan d Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pemeriksaan dilakukan baik tentang duduk perkaranya atau fakta-fakta maupun
tentang penerapan hukumnya atau pertimbangan hukumnya. Dalam praktik sering
terjadi karena disetujui oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara penerapan hukum
atau pertimbangan hukum dalam putusan Pengadilan Tata, Usaha Negara diambil alih
oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam putusannya, misalnya dalam

120 Pasal 126 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.


121 Pasal 126 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
122 Indroharto, Usaha Mernahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara,...Op.cit, hIm. 223.

136
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
15/B/1991/PT.TUN.JKT tanggal 28 Januari 1992.[123]
Adapun yang diperiksa dalam pemeriksaan tingkat banding hanya berkas
perkara, yang dikirim oleh Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara, berupa surat
gugatan, jawaban, replik, duplik, kesimpulan, memori banding dan/atau kontra
memorh. banding, alat-alat bukti, salinan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara,
berita acara sidang, serta surat-surat lain yang bersangkutan dengan berkas perkara.
Akan tetapi, meskipun demikian:
a. apabila Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat bahwa pemeriksaan
Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara tersebut da- pat mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan
pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang
bersangkutan melaksanakan pemeriksaan tambahan tersebut. [124]
b. terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang menyatakan tidak
berwenang memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, sedang Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara berpendapat lain, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
tersebut dapat memeriksa dan memutus sendiri perkara itu atau memerintahkan
Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan memeriksa dan memutuskan.
[125]
5. Putusan
Sebelum permohonan pemeriksaan banding diputus Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara, permohonan tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon dan dalam
hal permohonan pemeriksaan di tingkat banding telah dicabut, tidak dapat diajukan
lagi meskipun jangka waktu untuk mengajukan pemeriksaan di tingkat banding belum
lampau? [126] Setelah Pengadilan Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan terhadap
perkara yang diajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding, dalam waktu 30
(tiga puluh) hari setelah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjatuhkan putusan,
Panitera Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara mengirimkan salinan putusan

123 Gema Peratun, Tahun I Nomor 2, Agustus 1993, hal. 158.


124 Pasal 127 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
125 Pasal 127 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
126 Pasal 129 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

137
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara beserta berkas perkaranya kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama. [127]

C. Kasasi
Upaya kasasi diatur dalam pasal 131 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menyebutkan sebagai berikut:
1. Terhadap putusan tingkat terakhir Pengadilan dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung.
2. Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) Undang Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
Tenggang waktu dalam mengajukan upay hukum kasasi tidak disebutkan dalam
pasal diatas karena acara kasasi PTUN disesuaikan dengan Undang-Undang Mahkamah
Agung. Apabila selama jangka waktu yang telah ditentukan tidak ada upaya untuk
menagjukan upaya hukum lagi makan putusan kasasi tersebut berkekuatan hukm tetap
dan dapat dijalankan putusan tersebut.
Mengenai ketentuan tentang pemeriksaan di tingkat kasasi, Pasal 131 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menunjuk pada Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985, artinya bahwa pemeriksaan di tingkat kasasi untuk perkara yang
diputus oleh pengadilan di Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut
Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Oleh karena ketentuan tentang
pemeriksaan di tingkat kasasi yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009
hanya ketentuan tentang pemeriksaan di tingkat kasasi untuk perkara perdata yang
diputus oleh pengadilan di lingkungan [128] Peradilan Umum saja, maka dengan
sendirinya pemeriksaan di ting kat kasasi untuk perkara yang diputus oleh pengadilan di
lingkungan Peradilan Umum diberlakukan ketentuan tentang pemeriksaan di tingkat
kasasi untuk perkara perdata yang diputus oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara.

127 Pasal 127 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.


128 Pasal 46 sampai dengan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

138
1. Pemohon
Mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) huruf A
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, maka dapat diketahui bahwa yang dapat
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi adalah:
a. Penggugat atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu, dan
b. Tergugat atau wakilnya yang secara khusus dikuasakan untuk itu.
Pengertian “Penggugat” termasuk pula Penggugat Intervensi dalam
pemeriksaan di tingkat banding. Untuk dapat mengajukan permohonan pemeriksaan
di tingkat kasasi, Pasal 43 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1985 menentukan
bahwa permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya
telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-
undang. Dalam praktik ketentuan tersebut ditafsirkan bahwa permohonan kasasi
dapat juga diajukan, meskipun pemohon belum pernah menggunakan upaya hukum
banding, asal perkaranya telah diputus di tingkat banding atas permohonan banding
dari pihak lawannya. [129]

2. Putusan Pengadilan yang Dapat Diperiksa di Tingkat Kasasi


Menurut Pasal 131 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
putusan yang dapat diperiksa di tingkat kasasi adalah putusan tingkat terakhir
Pengadilan. Yang dimaksud dengan putusan tingkat terakhir [130] Pengadilan
tersebut adalah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, karena di lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara. Demikian pula di semua lingkungan Peradilan di
Indonesia, hanya dikenal 2 (dua) tingkatan pengadilan, yaitu Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagai Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara sebagai Pengadilan Tingkat Banding. Sedangkan [ 131] Mahkamah Agung
bukan Pengadilan Tingkat Banding Kedua.[132]

129 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ...Op.cit, hal. 229.
130 Perhatikan bukan putusan akhir lihat Bab 5 tentang Putusan.
131 Pasal 44 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung..
132 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, ...Lo.cit

139
Menurut Pasal 45 A ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 ditentukan bahwa putusan terhadap
sengketa atas perkara Tata Usaha Negara yang objek gugatannya berupa putusan
pejabat daerah yang jangkauan putusannya berlaku di wilayah daerah yang
bersangkutan, dikecualikan dan putusan yang dapat diajukan permohonan
pemeriksaan di tingkat kasasi.

3. Tenggang Waktu
Menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,
permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi harus diajukan dalam tenggang waktu 14
(empat belas) hari setelah putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang waktu 14 (empat belas) hari
tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak yang ber
perkara, maka menurut Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
ditentukan bahwa pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan.
Dalam penjelasan Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985,
tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan 14 (empat belas) hari tersebut. Oleh
karena kasasi adalah juga merupakan upaya hukum biasa seperti halnya banding,
maka kiranya dapat diterima. Jika apa yang dimaksud dengan 14 (empat belas) hari
tersebut adalah seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 123, yaitu 14 (empat
belas) hari menurut tanggal kalender. Sejak kapan perhitungan 14 (empat belas) hari
itu dilakukan? Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 menentukan
bahwa tenggang waktu 14 (empat belas) hari tersebut dilakukan setelah putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara diberitahukan kepada pemohon. Oleh karena
pemberitahuan adanya putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara itu dilakukan
dengan menyampaikan salinan putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dengan surat tercatat oleh Panitera kepada Penggugat atau Tergugat, maka
perhitungan 14 (empat belas) hari itu dimulai esok harinya setelah Penggugat atau
Tergugat menerima surat tercatat yang dikirim oleh Panitera yang isinya salinan
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.

140
4. Alasan
Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 2004 menentukan bahwa Mahkamah Agung dalam tingkat
kasasi membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dan semua
lingkungan Peradilan, karena:
a. tidak berwenang atau melampaui batas wewenang;
b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku;
c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-
undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang
bersangkutan.
Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan di tingkat kasasi
terbatas sekali. Pemeriksaan di tingkat kasasi yang dinilai hanya masalah hukumnya
saja. Sedangkan masalah faktanya tidak dinilai dan tetap seperti yang terdapat dalam
putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang dimohonkan pemeriksaan di
tingkat kasasi. Terhadap alasan-alasan yang dapat dipergunakan untuk pemeriksaan
di tingkat kasasi tersebut, Indroharto mengemukakan bahwa [133] dalam praktik
peradilan kasasi sekarang mi, masing-masing alasan kasasi telah dikembangkan dan
ditafsirkan oleh Hakim kasasin sedemikian rupa, sehingga kadang-kadang sulit bagi
yang berperkara untuk dapat menangkap alasan kasasi mana yang sebenarnya
digunakan sebagai dasar pembatalan putusan pengadilan tingkat banding yang
dimohonkan kasasi tersebut.
Permohonan kasasi diajukan secara tertulis kepada Mahkamah Agung
melalui Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memutus perkaranya.
Dalam praktik jika Penggugat atau Tergugat [134] mengajukan permohonan di tingkat
kasasi, Penggugat atau Tergugat mengisi formulir yang telah disediakan oleh
Panitera. Mungkin demi untuk mempermudah pembuktian tentang dipenuhi atau
tidak dipenuhinya tenggang waktu permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi,
permohonan tersebut harus dinyatakan secara tertulis. Untuk mengajukan

133 Ibid. 4-5


134 Pasai 46 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

141
permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, pemohon harus terlebih dahulu
membayar biaya perkara.
Setelah membayar biaya perkara permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi
dicatat Panitera dalam daftar perkara.[135] Selambat-lambatnya dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera memberitahukan secara
tertulis mengenai permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi tersebut kepada pihak
lawan dan pemohon.[136]
Dalam pengajuan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi, pemohon wajib
mengajukan pula memori kasasi dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah
permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi dicatat dalam buku daftar perkara.
Pengajuan memori kasasi [137] adalah bersifat imperatif dan karenanya merupakan
salah satu syarat formal untuk mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat
kasasi. Dalam memori kasasi harus disebutkan atau dicantumkan alasan-alasan
untuk mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi sebagaimana telah
ditentukan secara terbatas atau limitatif dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004. Setelah Panitera
menerima memori kasasi dan pemohon, maka selanjutnya Panitera mengirimkan
salinan memori kasasi kepada pihak lawan dari pemohon. [138]

5. Tata Cara
Pihak lawan dan pemohon mempunyai hak untuk mengajukan surat jawaban
atau kontra memori kasasi kepada Panitera dalam tenggang waktu 14 (empat belas)
hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi. Selanjutnya setelah menerima
memori kasasi dan kontra memori kasasi,[ 139] Panitera mengirimkan permohonan
pemeriksaan di tingkat kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi beserta berkas
perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat -lambatnya 30 (tiga

135 Pasai 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.


136 Pasal 46 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
137 Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
138 Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
139 Pasal 47 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

142
puluh) hari. [140] Jika sebelum berkas perkara dikirimkan ke Mahkamah Agung,
permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi dicabut, maka berkas perkara tidak perlu
diteruskan ke Mahkamah Agung. [ 141]

6. Pemeriksaan
Mahkamah Agung memeriksa dan memutus perkara sengketa Tata Usaha
Negara di tingkat kasasi dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang Hakim. [142]
Pemeriksaan di tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung berdasarkan surat-
surat atau berkas perkara saja dan hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung
mengambil tindakan sebagai berikut:
a. Mendengar sendiri para pihak atau para saksi.
b. Memerintahkan Pengadilan Tingkat Pertama atau Pengadilan Tingkat Banding
yang memutus perkara tersebut mendengar para pihak atau para saksi. [143]
Apabila Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan dan
mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku
bagi Pengadilan Tingkat Pertama. Dalam hal [ 144] Mahkamah Agung mengabulkan
permohonan kasasi atas dasar alasan seperti dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) huruf
a Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004,
maka Mahkamah Agung menyerahkan perkara tersebut kepada Pengadilan lain yang
berwenang memeriksa dan memutusnya. [ 145]
Dalam sidang permusyawaratan, setiap Hakim Agung wajib
menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang
diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan. Dalam hal sidang
musyawarah tidak dapat dicapai mufakat bulat, [146]pendapat Hakim Agung yang
berbeda wajib dimuat dalam putusan. Sebagai contoh adalah putusan [ 147]

140 Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.


141 Pasal 49 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
142 Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
143 Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
144 Pasal 50 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
145 Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
146 Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004
147 Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004.

143
Mahkamah Agung Nomor S72K/Pid/2003 tanggal 12 Februari 2004 atas nama
terdakwa Ir. A.T. dkk. yang disertai dissenting opinion , yaitu pendapat salah satu
Hakim Agung berbeda dengan pendapat Hakim Agung yang lain. [ 148]

7. Putusan
Sebelum permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi diputus, permohonan
tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon dan jika telah dicabut, maka pemohon
tidak dapat lagi mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi dalam
perkara itu, meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau. [ 149] Dalam mengambil
putusan, Pasal 52 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 menentukan bahwa
Mahkamah Agung tidak terikat pada alasan-alasan yang diajukan pemohon kasasi
dan dapat memakai alasan-alasan hukum lain. Yang dimaksud dengan alasan-alasan
hukum lain adalah alasan hukum yang tidak digunakan sebagai dasar hukum dalam
mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat kasasi oleh pemohon seperti yang
terdapat dalam memori kasasinya, tetapi masih tetap terbatas pada alasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985. Setelah Mahkamah Agung menjatuhkan putusan terhadap permohonan
pemeriksaan di tingkat kasasi yang diajukan oleh pemohon, maka salinan putusan
Mahkamah Agung dikirim kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang memutus
perkara. Selanjutnya putusan [150] Mahkamah Agung oleh Pengadilan Tingkat
pertama diberitahukan kepada kedua belah pihak selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari setelah putusan dan berkas perkara diterima oleh Pengadilan Tingkat
pertama tersebut. [151]

D. Peninjauan Kembali
Yang diatur didalam pasal 132 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986,
menyebutkan bahwa:

148 Varia Peradilan, Tahun XIX Nomor 223, April 2004, hal. 121-126.
149 Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
150 Pasai 53 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.
151 Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985.

144
1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat
diajukan permohonan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
2. Acara pemeriksaan peninjauan kembah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan menurut ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Alasan- alasan untuk melakukan upaya hukum Peninjauan kembali yaitu:


- Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkara diputus.
- Apabila perkara telah diputus, kemudian ditemukannya surat – surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada saat persidangan tidak dapat ditemukan.
- Apabila telah dikabulkan suatu hal tidak dituntut atau tidak lebih dari apa yang
dituntut.
- Apabila sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa mempertimbangkan
sebab-sebabnya .
- Apabila antara pihak-pihak yang sama atas dasar yang sama mengenal suatu soal
yang sama tingktanya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang
lain.
- Apabila dalam surat putusan terhadap kekhilafan hakim atau keseluruan atau suatu
kekeliruan yang nyata.

Didalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tenggang waktu mengajukan


permohonanpeninjauan kembali adalah 180 hari hanya cara melakukan perhitungan
bebrbedabeda sesuai dengan alasan mana yang dugunakan pemohon. Yang dapat
melakukan permohonan peninjauan kembali adalah para pihak yang berperkara atau ahli
warisnya atau wakil kuasanya. Apabila selama proses peninjauan kembali pemohon
meninggal maka dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya. Permohonan dilakukan secara
tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dapat dijadikan dasar
permohonan.
Pengaturan pelaksanaan putusan pengadilan diatur didalam pasal 116 Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009, yang menyebutkan bahwa:

145
1. Salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh panitera pengadilan
setempat atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama
selambatlambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja.
2. Apabila setelah 60 (enam puluh) hari kerja putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterima
tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf a, keputusan tata usaha negara yang disengketakan itu tidak
mempunyai kekuatan hukum lagi.
3. Dalam hal tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 90
(sembilan puluh) hari kerja ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, maka
penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), agar pengadilan memerintahkan tergugat melaksanakan
putusan pengadilan tersebut.
4. Dalam hal tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan
upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
5. Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak
terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
6. Di samping diumumkan pada media massa cetak setempat sebagaimana dimaksud
pada ayat (5), ketua pengadilan harus mengajukan hal ini kepada Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi untuk memerintahkan pejabat tersebut
melaksanakan putusan pengadilan, dan kepada lembaga perwakilan rakyat untuk
menjalankan fungsi pengawasan.
7. Ketentuan mengenai besaran uang paksa, jenis sanksi administratif, dan tata cara
pelaksanaan pembayaran uang paksa dan/atau sanksi administratif diatur dengan
peraturan perundang-undangan.

146
Menurut Paulus Effendi Lotulung ada dua jenis eksekusi yang ada di Peradilan Tata
Usaha Negara yaitu[152]:
a. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yangb berisi kewajiban sebagaimana yang
dimuat dalam pasal 97 ayat (9) huruf a, yaitu kewajiban berupa pencabutan KTUN
yang bersangkutan.
b. Eksekusi terhadap putusan pengadilan yang berisi kewajiban sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 97 ayat (9) huruf b dan c.

Ketentuan-ketentuan pelaksanaan putusan dalam undang-undang tersebut juga


menjadikan sebuah kekurangan, karena peraturan tidak cukup hanya dicantumkan.
Terkadang didalam suatu ketentuan undang-undang tidak sama dengan praktik pelaksanaan
di lapangan, dalam hal ini masih saja banyak pejabat TUN tidak melaksanakan putusan
pengadilan yang telah diputuskan kepada pejabat TUN itu sendiri.
Memang ada aturan yang mengatur mengenai pemberian sanksi administratif kepada
pejabat TUN yang tidak mematuhi dan memenuhi kewajibannya, namun sanksi tersebut
dilukan secara limitatif hanya yang berkaitan dengan karena kelalaiannya mengakibatkan
negara membayarkan ganti kerugian. Jadi, tidak ada kaitannya dengan pejabat TUN yang
tidak mau menjalankan putusan pengadilan.
Pelaksanaan putusan pengadilan dibidang kepegawaian yang berkaitan dengan
kewajiban tergugat untuk melakukan rehabilitasi dan membayar sejumlah uang atau
konpensasi lain, apabila tergugat tidak melakukan dengan baik disebabkan oleh berubahnya
keadaan dalam pasal 117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yaitu sebagai berikut:
1. Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (11)
apabila tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna malaksanakan putusan
Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya
keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan/atau memperoleh
kekautan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua Pengadilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan penggugat.
2. Dalam waktu tiga puluh hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan

152Zairin Harahap, Hukum Acara Tata Usaha Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), Hal 175

147
yang telah mengirimkan putusan. Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap tersebut agar tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain yang diinginkannya.
3. Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) memerintahkan memanggil kedua belah pihak untuk mengusahakan tercapainya
persetujuan tentang jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada
tergugat.
4. Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan tetatapi tidak dapat diperoleh
kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan
dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang
atau kompensasi lain yang dimaksud.
5. Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan baik
oleh penggugat maupun oleh tergugat kepada Mahkamah Agung untuk ditetapkan
kembali.
6. Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati kedua
belah pihak.

Pelaksanaan putusan hakim setelah adanya upaya hukum tetap. Dikatakan


berkekuatan hukum tetap apabila sudah tidak ada upaya hukum lagi yang dilakukan oleh
para pihak.

B. EKSEKUSI PUTUSAN PENGADILAN


1. Putusan Yang Dapat Di Eksekusi
Mengenai putusan yang dapat dieksekusi, Pasal 115 Undang- Undang Nomor
5 Tahun 1986 menentukan, bahwa hanya putusan Pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.
Sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 7 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 (Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009), yang dimaksud dengan kata Pengadilan dalam
perumusan Pasal 115 tersebut adalah Pengadilan Tata Usaha Negara dan atau Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

148
Dengan demikian, yang dapat dieksekusi hanya putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap saja, yaitu jika:
a. Penggugat dan Tergugat telah menyatakan menerima terhadap putusan Pengadilan,
padahal Penggugat dan Tergugat mempunyai hak untuk mengajukan permohonan
pemeriksaan di tingkat banding;
b. sampai lewatnya tenggang waktu yang telah ditentukan, Penggugat dan Tergugat
tidak mengajukan permohonan pemeriksaan di tingkat banding atau kasasi.
Sedangkan mengenai putusan yang telah dijatuhkan oleh Mahkamah Agung
dalam pemeriksaan tingkat kasasi, oleh pembuat undang-undang tidak perlu diatur.
Alasannya dengan sendiri telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan dapat
dilaksanakan seperti terhadap putusan pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara.
Setelah rnemperoleh kekuatan hukum tetap, Pasal 116 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009 menentukan bahwa salinan putusan Pengadilan dikirim
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah
Ketua Pengadilan yang rnengadilinya. Pada tingkat pertama selambat-lambatnya dalam
waktu 14 (empat belas) hari yang oleh penjelasan Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 disebutkan dihitung sejak saat putusan Pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan penjelasan Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
juga disebutkan, meskipun putusan Pengadilan belum memperoleh kekuatan hukum
tetap, para pihak yang berperkara dapat memperoleh salinan putusan yang dibubuhi
catatan Panitera bahwa putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap.

2. Cara Eksekusi Putusan


Diktum putusan Pengadilan yang perlu pelaksanaan lebih lanjut adalah
diktum gugatan dikabulkan (Pasal 97 ayat (7) huruf b Undang-Undang Nomor 5 Tahun

149
1986). Diktum yang menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang
menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara dan menetapkan kewajiban yang harus
dilakukan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang menge1uarkan Keputusan
Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (8), ayat (9), ayat (10)
dan ayat (11) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Berdasarkan ketentuan di dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009
dapat diketahui ada 2 (dua) cara pelaksanaan putusan Pengadilan di lingkungan Peradilan
Tata Usaha Negara, yaitu:
a. Pelaksanaan putusan Pengadilan seperti dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu di samping menyatakan batal atau tidak
sah Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara,
juga menetapkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut harus mencabut Keputusan Tata Usaha
Negara yang dimaksud.
b. Pelaksanaan putusan Pengadilan yang terdiri dari:
 Pelaksanaan putusan Pengadilan seperti dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf
b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, di samping menyatakan batal atau
tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha
Negara. Juga menetapkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara harus mencabut Keputusan Tata
Usaha Negara dan mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru.
Untuk pelaksanaan putusan Pengadilan tersebut, berdasarkan Pasal 116
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 dapat diketahui bahwa
dalam tenggang waktu 60 (enam puluh) hari kerja setelah putusan Pengadilan
diterima Tergugat, Tergugat harus mencabut Keputusan Tata Usaha Negara
yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara. Jika Tergugat tidak atau belum
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara tersebut, maka Keputusan Tata Usaha
Negara yang dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum lagi. Dengan
demikian, tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari Pengadilan, misalnya

150
adanya surat peringatan dan sebagainya. Cara pelaksanaan putusan Pengadilan
tersebut oleh Paulus Effendi Lotulung disebut eksekusi otomatis.[ 153]
Perlu diperhatikan bahwa yang menjadi ukuran dimulainya tenggang
waktu adalah 60 (enam puluh) hari kerja bukan setelah putusan Pengadilan
dikirim oleh Panitera tetapi setelah putusan Pengadilan yang dikirim oleh
Panitera diterima oleh Tergugat.
Mengenai pelaksanaan putusan Pengadilan ini oleh Paulus Effendi
Lotulung,[154] dikemukakan adanya masalah, yaitu bagaimana khalayak ramai
atau pihak ketiga yang tidak menjadi pihak dalam sengketa Tata Usaha Negara
dapat mengetahui, misalnya suatu sertifikat tanah yang telah dijadikan agunan
kredit tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.

 Pelaksanaan putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)


huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 yang menyatakan bahwa Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara harus menerbitkan Keputusan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986.
Untuk pelaksanaan putusan Pengadilan ini diatur sebagai berikut.
Setelah 90 (sembilan puluh) hari kerja sejak Tergugat menerima salinan putusan
Pengadilan dan Tergugat tetap tidak melaksanakan kewajiban untuk
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, maka Penggugat mengajukan
permohonan kepada Ketua Pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama,
agar memerintahkan kepada Tergugat melaksanakan kewajiban untuk
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.[155]
Dengan menggunakan pedoman sebagaimana disebutkan dalam penjelasan
Pasal 116 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, dapat dimengerti dan

153 Effendi Lotulung, Ibid., hal 269.


154 Effendi Lotulung, Ibid., hal 270.
155 Pasal 116 ayat (3)

151
diterima jika tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja tersebut adalah tidak
bersifat mengikat.
Menurut Paulus Effendi Lotulung,[ 156] perintah dari Ketua Pengadilan berupa
surat perintah. Menurut R.Wiyono [ 157] yang di maksud oleh Effendi Lotulung adalah
surat perintah yang dituangkan dalam bentuk penetapan. Jika Ketua Pengadilan telah
memerintahkan kepada Tergugat dan Tergugat tetap tidak mau melaksanakan
kewajiban untuk menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara, Pasal 116 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004).
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, menentukan terhadap pejabat yang
bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa
dan/atau sanksi administratif. Terhadap Tergugat yang tidak bersedia melaksanakan
putusan Pengadilan yang berupa kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97
ayat (9) huruf b dan huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dikenakan sanksi:
a. Pembayaran sejumlah uang paksa
Penjelasan Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun
2009 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan pejabat yang bersangkutan
dikenakan uang paksa‖ dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 adalah pembebanan berupa pembayaran sejumlah uang yang
ditetapkan oleh Hakim karena jabatannya yang dicantumkan dalam amar putusan
pada saat memutuskan mengabulkan gugatan dan Penggugat.
Berdasarkan penjelasan Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tersebut, dapat diketahui
bahwa agar putusan Pengadilan dapat dieksekusi dengan uang paksa, maka
diperlukan beberapa syarat sebagai berikut :
1.) Pembebanan uang paksa harus dicantumkan dalam amar putusan Pengadilan
yang mengabulkan gugatan.

156 Effendi Lotulung, Lo.cit .


157 R.Wiyono, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara...Op.cit,

152
Adanya ketentuan dalam Pasal 116 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-
Undang Nomor 51 Tahun 2009, dapat diperkirakan bahwa putusan
Pengadilan yang memberikan kewajiban kepada Tergugat untuk
melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9)
huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, akan selalu
mencantumkan adanya uang paksa, jika kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan.
Apabila putusan Pengadilan tidak mencantumkan ada uang paksa,
sedang Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan, berupa
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, maka jalan keluarnya adalah
mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri dengan alasan Penggugat telah
melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata), yaitu telah
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya
sendiri. Tegasnya tidak melakukan perbuatan yang menjadi kewajibannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986.

2.) Uang paksa ditetapkan oleh Hakim karena jabatannya. Meskipun di dalam
gugatan Penggugat tidak mencantumkan adanya uang paksa yang harus
dibebankan kepada Tergugat, dalam amar putusannya dapat saja Hakim
mencantumkan adanya uang paksa tersebut.

3.) Uang paksa baru dapat dilaksanakan pembebannya kepada Tergugat yang
tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang berupa kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986, jika putusan pengadilan tersebut telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.

b. Sanksi Administratif

153
Yang dimaksud dengan sanksi administratif adalah sanksi yang
dijatuhkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mempunyai
wewenang untuk menjatuhkan sanksi tersebut. Sanksi administratif tidak hanya
sanksi berupa hukuman disiplin sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 7
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 saja, tetapi dapat berupa sanksi yang
lain, misalnya alih tugas jabatan yang semula jabatannya adalah Pimpinan,
kemudian dialihkan menjadi staf.
Selain dikenakan sanksi berupa pembebanan uang paksa dan/ atau sanksi
administratif selanjutnya Pasal 116 ayat (5) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 menentukan bahwa Tergugat tersebut diumumkan pada media massa
cetak setempat oleh Panitera sejak tidak dilaksanakannya kewajiban Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986.

3. Ganti Rugi
Pasal 97 ayat (10) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9) dapat disertai pembebanan ganti rugi.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (10) tersebut, dapat diketahui
bahwa putusan Pengadilan yang disertai pembebanan ganti ruugi tidak hanya terbatas
pada putusan Pengadilan yang menyangkut kepegawaian yang berisi kewajiban
melaksanakan rehabilitasi saja. Dengan kata lain pembebanan ganti rugi dapat disertakan
pada setiap putusan Pengadilan, termasuk putusan Pengadilan yang tidak menyangkut
kepegawaian yang berisi kewajiban melaksanakan rehabilitasi.
Pasal 120 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa
salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti rugi dikirimkan
kepada Penggugat dan Tergugat dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan Pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Ketentuan yang terdapat dalam Pasal 120 ayat (1) tersebut adalah ketentuan
khusus dan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51

154
Tahun 2009, karena jika putusan Pengadilan berisi kewajiban membayar ganti rugi, maka
pengiriman salinan putusan Pengadilan tersebut kepada Penggugat dan Tergugat
dilakukan dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum
tetap. Namun jika putusan Pengadilan tidak berisi kewajiban membayar ganti rugi, maka
pengiriman putusan Pengadilan tersebut kepada Penggugat dari Tergugat dapat dilakukan
dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap.
Selanjutnya Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
menentukan bahwa salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban membayar ganti
rugi, dikirimkan pula oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari setelah
putusan Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2)
tersebut, dapat diketahui bahwa salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban
membayar ganti rugi dikirimkan kepada Penggugat, Tergugat, dan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi. Pasal 120 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan, bahwa besarnya ganti rugi beserta
tata cara pelaksanaan putusan Pengadilan yang disertai pembebanan ganti rugi diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan Pemerintah yang dimaksud pada saat sekarang sudah ada, yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara
Pelaksanaannya pada Peradilan Tata Usaha Negara. Terhadap ketentuan-ketentuan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991, terlebih dahulu perlu diberikan catatan
sebagai berikut. Pada perumusan beberapa Pasal dan Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1991 disebutkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 1 angka 1 dan 2,
Pasal 3 ayat (1), Pasal 6 ayat (1), Pasal 9 ayat (1) dan Pasal 17) yang maksudnya adalah
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dan
disebutkan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13
ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 15 ayat (1)) yang maksudnya adalah
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara atau Ketua Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
karena menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dimungkinkan adanya putusan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai pengadilan tingkat pertama yang disertai

155
pembebanan ganti rugi dan atau pemberian rehabilitasi, misalnya putusan mengenai
sengketa Tata Usaha Negara di bidang kepegawaian yang sebelumnya telah diputus
banding administratifnya.
Sebenarnya cukup disebut dengan putusan Pengadilan atau Ketua Pengadilan
saja, asal dengan memberikan tambahan pengertian pada Pasal 1 Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991 bahwa yang dimaksud dengan Pengadilan ialah Pengadilan Tata
Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 terdapat ketentuan tentang
Badan Tata Usaha Negara yang bertanggung jawab atas pembayaran ganti rugi dan
anggaran yang dibebani ganti rugi sebagai berikut:
a. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1991 menentukan : “Ganti
Rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)” Mengenai tata cara
pembayaran ganti rugi in Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
1991 menentukan: “Tata Cara pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan”.
Sebagai pelaksanaan dan ketentuan tersebut, telah dikeluarkan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 1129/KKM/1991 tentang Tata Cara Pembayaran Ganti
Rugi Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 tidak ada ketentuan yang menyebutkan apa yang dimaksud
dengan ganti rugi tetapi dan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun
1991, dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan ganti rugi adalah pembayaran
sejumlah uang kepada orang atau badan hukum perdata atas beban Badan Tata Usaha
Negara berdasarkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara.
Menurut ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 43 Tahun 1991, besarnya ganti rugi yang dapat diperoleh Penggugat, paling
sedikit Rp250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000,- (lima juta rupiah) dengan memperhatikan keadaan yang nyata. Jika
ganti rugi dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, maka apa
yang dimaksud dengan “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara” pada perumusan

156
Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah “Badan Tata Usaha
Negara Pusat” pada perumusan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1991. Akan tetapi, apa yang dimaksud dengan “Badan Tata Usaha Negara
Pusat” sendiri dalam ketentuan tersebut tidak dijelaskan.
Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1129/KKM/1991 menentukan: “Dengan melampirkan putusan Pengadilan, Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara setempat atas permohonan yang berhak, mengajukan
permohonan penyediaan dana kepada Menteri c.q. Sekretaris Jenderal atau Ketua
Lembaga bersangkutan yang dikenakan ganti rugi”.
Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 1 129/KKMI1991 tersebut baru dapat
diketahui bahwa apa yang dimaksud dengan “Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara” pada perumusan Pasal 120 ayat (2) atau “Badan Tata Usaha Pusat” pada
perumusan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 adalah
Departemen atau Lembaga Pemerintah Non Departemen.
b. Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: “Ganti
Rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”. Penjelasan Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Badan Tata Usaha Negara Daerah adalah Badan yang mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara atas nama Pemerintah Daerah.
Mengenai tata cara pembayaran ganti rugi, Pasal 4 ayat (2) Peraturan
Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: “Tata Cara pembayaran ganti rugi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri Dalam
Negeri. Sampai sekarang Menteri Dalam Negeri belum mengeluarkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang pembayaran ganti rugi yang
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

c. Pasal 2 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menentukan: “Ganti
Rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara di luar ketentuan ayat
(1) dan ayat (2), menjadi beban keuangan yang dikelola oleh Badan itu

157
sendiri”.Dengan demikian, ganti rugi yang dibebankan pada keuangan yang dikelola
oleh Badan Tata Usaha Negara yang bukan Badan Tata Usaha Negara Pusat atau
Badan Tata Usaha Negara Daerah, menjadi tanggung jawab Badan tersebut.
Penjelasan Pasal 2 ayat (3) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan
Badan Tata Usaha Negara, dalam hal ini adalah Badan Tata Usaha Negara yang
mengelola keuangan secara tersendiri. Mengenai tata cara pembayaran ganti rugi,
Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 1991 menentukan: “Pelaksanaan
pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (3) dilakukan oleh
masing-masing pimpinan Badan yang bersangkuta”
Penjelasan Pasal 5 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991menyebutkan
yang dimaksud dengan “pimpinan” adalah pejabat yang berwenang membenahi
keuangan.
Sebagai kesimpulan dapat dikemukakan bahwa siapa yang dimaksud dengan
“Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi”,
pada perumusan Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah
tergantung dari jawaban atas pertanyaan dibebankan kepada anggaran apa kewajiban
membayar ganti rugi tersebut:
a. Jika kewajiban membayar ganti rugi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara, maka yang dimaksud dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi” pada perumusan Pasal 120 ayat (2)
tersebut adalah Departemen atau Lembaga Pemerintah nondepartemen.
b. Jika kewajiban membayar ganti rugi dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, maka sambil menunggu peraturan lebih lanjut dan Menteri Dalam
Negeri, maka yang dimaksud dengan ”Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
dibebani kewajiban membayar ganti rugi” dalam Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 adalah Badan yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
atas nama Pemerintah Daerah.
c. Jika kewajiban membayar ganti rugi dibebankan pada keuangan yang dikelola oleh
Badan Tata Usaha Negara yang bukan Badan Tata Usaha Negara Pusat (Departemen
atau Lembaga Pemerintah Nondepartemen) atau bukan Badan Tata Usaha Negara
Daerah (Badan yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara atas nama

158
Pemerintah Daerah), maka yang dimaksud dengan “Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang dibebani kewajiban membayar ganti rugi” dalam Pasal 120 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 adalah Badan Tata Usaha Negara yang
mengelola keuangan secara tersendiri.
Perlu mendapat perhatian bahwa terhadap pihak yang dibebani kewajiban
membayar ganti rugi, jika pada perumusan Pasal 120 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 menggunakan kalimat “Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara” pada
perumusan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 menggunakan
kalimat “Badan Tata Usaha Negara” saja.

4. Rehabilitasi
Pasal 97 ayat (11) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan:
Dalam hal putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) menyangkut
kepegawaian, maka di samping kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (9)
dan ayat (10), dapat disertai pemberian rehabilitasi.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 97 ayat (11) tersebut, dapat
diketahui bahwa putusan Pengadilan yang disertai dengan pemberian rehabilitasi, hanya
terbatas pada putusan Pengadilan yang menyangkut kepegawaian saja. Artinya putusan
Pengadilan yang dijatuhkan hanya terbatas pada putusan Pengadilan terhadap sengketa
kepegawaian saja.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, tidak ada ketentuan yang
menyebutkan apa yang dimaksud dengan rehabilitasi. Namun dari penjelasan Pasal 121
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
dimaksud dengan rehabilitasi adalah memulihkan hak Penggugat dalam kemampuan dan
kedudukan, harkat dan martabatnya sebagai pegawai negeri seperti semula sebelum ada
Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan.
Pasal 121 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa
dalam hal gugatan yang berkaitan dengan bidang kepegawaian dikabulkan, salinan
putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi, dikirimkan kepada

159
Penggugat dan Tergugat dalam waktu tiga hari setelah putusan memperoleh kekuatan
hukum tetap.
Ketentuan tersebut adalah ketentuan khusus dari ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, karena jika dalam putusan
Pengadilan disertai pemberian rehabilitasi, maka pengiriman salinan putusan Pengadilan
tersebut kepada Penggugat dan Tergugat dilakukan dalam waktu 3 (tiga) hari setelah
putusan itu memperoleh kekuatan hukum tetap. Namun bila dalam putusan Pengadilan
tidak disertai pemberian rehabilitasi, maka pengiriman putusan Pengadilan kepada
Penggugat dan Tergugat dapat dilakukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
putusan tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap.
Tenggang waktu seperti dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dapat dimengerti, sebab putusan Pengadilan yang disertai
pemberian rehabilitasi adalah mempunyai arti yang sangat penting bagi Penggugat.
Selanjutnya Pasal 121 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan bahwa
salinan putusan Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan pula
oleh Pengadilan kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
melaksanakan rehabilitasi tersebut dalam waktu 3 (tiga) hari setelah putusan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 121 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dapat diketahui bahwa salinan putusan
Pengadilan yang berisi kewajiban tentang rehabilitasi dikirimkan kepada Penggugat,
Tergugat dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
melaksanakan rehabilitasi. Adapun yang menjadi masalah adalah bagaimana jika Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi,
tidak man melaksanakan kewajiban tersebut. Tidak sampai menimbulkan masalah jika
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan
rehabilitasi sama dengan Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang kemudian dinyatakan batal atau tidak sah, karena
eksekusinya mengikuti ketentuan yang terdapat dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009.

160
Apabila Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban
melaksanakan rehabilitasi, berbeda dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang kemudian dinyatakan batal atau tidak
sah, baru menimbulkan masalah tentang eksekusinya. Ketentuan yang terdapat dalam
Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, hanya ditujukan kepada Tergugat, yaitu
jika Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan
rehabilitasi adalah sama dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal atau tidak sah.
Untuk memecahkan adanya masalah tersebut, jalan keluarnya adalah
berpedoman pada sifat dan putusan pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha
Negara, yaitu erga omnes. Adanya sifat erga omnes pada putusan pengadilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, maka meskipun Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara yang dibebani kewajiban melaksanakan rehabilitasi bukan atau tidak menjadi
Tergugat, putusan pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang dimaksud
diberlakukan pula kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dibebani
kewajiban melaksanakan rehabilitasi. Sehingga Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
harus melaksanakan kewajibannya untuk memberikan rehabilitasi kepada Penggugat.
Bagaimana jika kemudian ternyata beban kewajiban melaksanakan rehabilitasi,
tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna dipenuhi oleh Tergugat? Jika sampai terjadi
keadaan demikian, Pasal 117 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menentukan sebagai
berikut:
a. Sepanjang mengenai kewajiban sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat
(11) apabila Tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap disebabkan oleh
berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau
memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukan hal itu kepada Ketua
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) dan Penggugat.
b. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah menerima pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan yang telah mengirimkan putusan Pengadilan yang telah memperoleh

161
kekuatan hukum tetap, agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang
atau kompensasi lain yang diinginkannya.
c. Ketua Pengadilan setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2), memerintahkan memanggil kedua pihak untuk mengusahakan tercapainya
persetujuan jumlah uang atau kompensasi lain yang harus dibebankan kepada
Tergugat.
d. Apabila setelah diusahakan untuk mencapai persetujuan, tetapi tidak dapat diperoleh
kata sepakat mengenai jumlah uang atau kompensasi lain tersebut, Ketua Pengadilan
dengan penetapan yang disertai pertimbangan yang cukup menentukan jumlah uang
atau kompensasi lain yang dimaksud.
e. Penetapan Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat diajukan,
baik oleh Penggugat maupun oleh Tergugat kepada Mahkamah Agung untuk
ditetapkan kembali.
f. Putusan Mahkamah Agung sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), wajib ditaati
kedua belah pihak.
Terhadap ketentuan yang terdapat dalam Pasal 117 tersebut, dapat diberikan
catatan. Jika Tergugat tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan
Pengadilan yang disertai rehabilitasi, Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 menentukan: ”agar Tergugat dibebani kewajiban membayar sejumlah uang atau
kompensasi lain yang diinginkannya, tetapi Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 43
Tahun 1991 menentukan: “ agar Tergugat dibebani kewajiban untuk membayar
kompensasi”.
Antara ketentuan yang terdapat dalam Pasal 117 ayat (2) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dengan yang terdapat dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor
43 Tahun 1991 terdapat perbedaan. Apabila ketentuan yang terdapat dalam Pasal 117 ayat
(2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 masih memberikan pilihan kepada Tergugat,
yaitu membayar sejumlah uang atau memberikan kompensasi lain sesuai yang diinginkan,
ketentuan yang terdapat dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 tidak
memberikan pilihan kepada Tergugat, yaitu hanya membayar kompensasi saja.
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 9
Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009, tidak ada ketentuan yang

162
menyebutkan apa yang dimaksud dengan kompensasi. Namun dari ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 dapat diketahui bahwa
yang dimaksud dengan kompensasi, adalah pembayaran sejumlah uang kepada orang atas
beban Badan Tata Usaha Negara oleh karena putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di
bidang kepegawaian tidak dapat atau sempurna dilaksanakan oleh Badan Tata Usaha
Negara.
Dengan demikian, ternyata yang diatur lebih lanjut jika Tergugat tidak dapat atau
tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang disertai pemberian
rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1986 hanya kompensasi yang berupa pembayaran sejumlah uang dan tidak sampai
diatur lebih lanjut kompensasi yang berupa kompensasi lain yang diinginkan Tergugat.
Oleh Pasal 14 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991 ditentukan bahwa
besarnya kompensasi paling sedikit Rp100.000,- (seratus ribu rupiah) dan paling banyak
Rp2.000.000.000,- (dua juta rupiah).

5. Pengawasan Eksekusi Putusan


Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 119 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa yang diberikan kewajiban untuk mengawasi
eksekusi putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah Ketua
Pengadilan. Yang dimaksud dengan Ketua Pengadilan, sudah tentu adalah Ketua
Pengadilan yang mengadili sengketa Tata Usaha Negara pada Tingkat Pertama. Oleh
karenanya dapat dimengerti, jika kepada Ketua Pengadilan diberikan beberapa wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (4), ayat (5), ayat (6) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 jo. Undang-Undang
Nomor 51 Tahun 2009 dan Pasal 117 ayat (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986.

163
Pertanyaan/Diskusi
1. Apakah definisi hukum pajak?
2. Apakah unsur-unsur perpajakan?
3. Apakah teori pemungutan pajak?
4. Bagaimana hubungan pajak dengan hukum?

164
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah, Ali. 2015. Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca
Amandeman. Jakarta: Prenadamedia Group.
Abdullah, Rozali. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Grafindo
Persada.
Arto, Mukti. 2001. Konsepsi Ideal Mahkamah Agung. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Asshiddiqie, Jimmly. 2005. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Cetakan ke-I.
Jakarta: Penerbit Konstitusi Press.
Azhary, Muhammad Tahir. 2003. Negara Hukum: Suatu Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat
dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini.
Jakarta: Prenada Media.
Fachruddin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakkan
Pemerintah.Cetakan ke-I. Bandung: Penerbit Alumni.
Gofar, Abdullah. 2014. Teori Dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Palembang: Tunggal Mandiri.
Harahap, Krisna. 2004. Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi.
Bandung: Grafiti Budi Utami.
Harahap, Zairin. 2002. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Raja Grafisindo
Persada.
Harahap, Zairin. 2007. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha, Edisi Revisi. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Indroharto. 1991. Usaha Memahami Tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.
Kusumo, Sudikno Marto. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ke Tujuh. Yogyakarta:
Liberty.
Malian, Sobirin. 2001. Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945. Yogyakarta: UII
Press.
Marbun, S.F. 2014. Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang Layak. Yogyakarta: UII Press.

165
Mustafa, Bachsan. 2001. Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia. Bandung: Penerbit
PT. Citra Aditya Bakti.
Mustamin Daeng Matutu dkk. 2004. Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di
Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Nasir, M. 2003. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Penerbit Jambatan.
Prodjohamidjojo, Martiman. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dan Undang-
Undang Peradilan Tata Usaha Negara 2004. Bogor: Ghalia Indonesia.
Ridwan H.R. 2013. Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Cetakan Kedelapan. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Sinamo, Nomensen. 2016. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: Jala Permata
Aksara.
Soeparmono. 2000. Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung: Mandar Maju.
Soetami, Siti. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung: PT. Refika Aditama.
Thalib, Dahlan. 2000. Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi. Yogyakarta: Liberty.
Tjandra, Riawan. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya.
Tjandra, Riawan. 2010. Teori dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara. Yogyakarta: Universitas
Atma Jaya.
Wiyono,R. 2014. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta: PT. Sinar Grafika.
Yanto, Nur. 2014. Hukum Acara dan Praktik Peradilan Tata Usaha Negara (Teori dan Praktik
Pengadilan Tata Usaha Negara) di Indonesia. Jakarta: Mitra Wacana Media.

Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1991
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009

166
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004
Surat Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Nomor
222/Td/TUN/X/1993

Glossarium

Lex specialis : Undang-Undang yang bersifat khusus

Tax Avoidance : Penghindaran Pajak

Tax Evasion : Penggelapan Pajak

167
168

Anda mungkin juga menyukai