Anda di halaman 1dari 18

MODUL PENGANTAR ILMU HUKUM

(LAW 101)

MODUL 11
SIFAT KAIDAH HUKUM

DISUSUN OLEH
NIN YASMINE LISASIH S.H., M.H.

UNIVERSITAS ESA UNGGUL


2020

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
0 / 18
SIFAT KAIDAH HUKUM

A. Kemampuan Akhir Yang Diharapkan


Setelah mempelajari modul ini, diharapkan mahasiswa mampu :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Sifat Kaedah Hukum & Perumusan
Kaedah Hukum
2. Mampu Menguraikan Sifat Kaedah Hukum & Perumusan Kaedah
Hukum serta teori hubungan antara sebab dan akibat

B. Uraian dan Contoh

Norma hukum (rechtnormen, legal norm) sebagai pelembagaan nilai-


nilai dan sekaligus sebagai patokan atau standar, yang dikemukakan oleh
Jimly Asshiddiqie berisikan:
1. Kebolehan atau yang dalam bahasa Arab disebut ibadah, mubah
(permittere);
2. Anjuran positif untuk mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa
Arab disebut sunnah;
3. Anjuran negatif untuk bisa mengerjakan sesuatu atau dalam
bahasa Arab disebut makruh;
4. Perintah positif untuk melakukan sesuatu atau kewajiban
(obligattere);
5. Perintah negatif untuk tidak melakukan sesuatu atau yang dalam
bahasa Arab disebut haram atau larangan (prohibere).1

Pendapat lain menyatakan bahwa pada umumnya norma hukum berisikan:


1. Suruhan (gebod, obligattere), yaitu berisi apa yang harus
dilakukan oleh manusia, berupa suatu perintah untuk melakukan
sesuatu.

1
Jimly Asshiddiqie. 2006. Perihal Undang-Undang. Komstitusi Press Jakarta. hal.1-2.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
1 / 18
2. Larangan (verbod, prohibere), yaitu berisi apa yang tidak boleh
dilakukan.
3. Kebolehan (mogen, permittere), yaitu yang berisikan apa yang
diperbolehkan, artinya tidak dilarang dan tidak disuruh.

Mengenai sifat-sifat yang terkandung dalam norma hukum A. Hamid S.


Attamimi berpandapat bahwa norma hukum mengandung sifat:
1. Perintah (gebod);
2. Larangan (verbod);
3. Pengizinan (toestemming);
4. Pembebasan (vrijstelling).2

Mengenai sifat norma hukum, Amiroeddin Syarif mengemukakan bahwa


kaidah hukum memiliki sifat-sifat antara lain:
1. Imperatif, yaitu berupa perintah yang secara apriori harus ditaati,
baik berupa suruhan maupun larangan;
2. Fakultatif, yaitu tidak secara apriori mengikat atau wajib
dipatuhi.3

Norma hukum juga dibedakan antara norma umum (algemeen) dan


norma individual (individueel), serta norma yang abstrak dan norma yang
konkret. Pembedaan antara umum-individual didasarkan pada mereka yang
terkena aturan norma tersebut. Jika ditujukan kepada orang atau sekelompok
orang tertentu tergolong norma individual, dan jika ditujukan kepada orang
atau sekelompok orang yang tidak tertentu, tergolong norma umum.
Pembedaan antara abstrak-konkret didasarkan pada hal yang diatur dalam
norma hukum tersebut. Jika yang diaturnya adalah peristiwa-peristiwa yang
tidak tertentu tergolong norma abstrak, sebaliknya jika yang diaturnya adalah
peristiwa-peristiwa tertentu termasuk norma-norma konkret. Peraturan

3
Amiroeddin Syarif. 1987. Perundang-undangan; Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya.
Bina Aksara. Jakarta. hal. 4.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
2 / 18
perundang-undangan sebaiknya mengandung norma hukum yang umum
abstrak atau sekurang-kurangnya yang umum konkret.

Philipus M. Hadjon, dkk menjelaskan sifat norma hukum dalam sebuah


konfigurasi segi empat sebagai berikut:4

Untuk Siapa Apa & Bagaimana

umum 2 abstrak
3

individual konkret

Gambar konfigurasi sifat norma hokum

Bagan segi empat tersebut menghasilkan empat macam sifat norma


hukum yaitu:
1. Norma umum-abstrak,
Norma hukum yang umum dan abstrak adalah suatu norma hukum
yang ditujukan untuk umum dan perbuatannya masih bersifat abstrak

4
Philipus m. Hadjon. Dkk. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia (Introduction
to the Indonesian administrative Law). Gadjah Mada University Press. Hal. 124-125.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
3 / 18
(belum konkret). Norma hukum umum dan bastrak ini dapat
dirumuskan sebagai berikut:
˗ Setiap warganegara dilarang mencuri;
˗ Setiap orang dilarang membunuh sesamanya;
˗ Setiap petani dilarang menebang pohon di hutan;

2. Norma umum-konkret;
Norma hukum yang umum konkret adalah suatu norma hukum yagn
ditujukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu (konkret).
Norma hukum umum dan konkret dapat dirumuskan sebagai berikut:
˗ Setiap orang dilarang mencuri motor merek Yamaha
berwarna merah yang diparkir di depan toko Berkah;
˗ Setiap orang dilarang membunuh si Badu dengan parang;
˗ Setiap orang dilarang menebang pohon mahoni di pinggir
Jalan Sudirman, depan Hotel Indonesia.

3. Norma individual-abstrak;
Norma hukum yang individual dan abstrak adalah suatu norma hukum
yang ditujukan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan
perbuatannya bersidat abstrak (belum konkret). Norma hukum
individual dan abstrak ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
˗ Si Badu yang bertempat tinggal di Jalan Mangga Nomor 15
Jakarta dilarang mencuri.
˗ Si Polan bin Ali penduduk dari kampung Pinggir RT 01, RW
008 dilarang membunuh.
4. Norma individual-konkret;
Norma hukum yang individual dan konkret adalah suatu norma hukum
yang ditujuan untuk seseorang atau orang-orang tertentu dan
perbuatannya bersifat konkret. Norma hukum individual dan konkret
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
˗ Saudara Syafei umur 25 tahun, alamat Jl. Flamboyan Nomor
12 Jakarta wajib memakai baju dinas.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
4 / 18
˗ Si Badu umur 21 Tahun dilarang merokok di kantor tempat
ia bekerja.

Uraian di atas terkait dengan lingkungan kuasa berlakunya norma hukum,


meliputi lingkungan kuasa orang (personengebeid) dan lingkungan kuasa
persoalan (zakengebeid).5 Menurut Amiroeddin Syarif bahwa lingkungan
berlakunya norma hukum (geldingsgebeid van het rechtnormen) meliputi:
1. Lingkungan kuasa tempat (ruintegebeid, territorial sphere) yang
menunjukkan tempat berlakunya norma hukum atau perundang-
undangan. Apakah berlaku pada seluruh wilayah negara atau
hanya pada sebagian wilayah negara.
2. Lingkungan kuasa persoalan (zaken gebeid, material sphere)
yang menyangkut masalah atau persoalan yang diatur; apakah
persoalan privat atau persoalan publik.
3. Lingkungan kuasa orang (personengebeid, personal sphere) yaitu
menyangkut orang yang diatur; apakah berlaku untuk setiap
penduduk atau pegawai negeri saja.
4. Lingkungan kuasa waktu (tijdgebeid, temporal sphere) yang
menunjukkan sejak kapan dan sampai kapan berlakunya sesuatu
ketentuan hukum atau peraturan perundang-undangan.6

Dalam kuasa tempat (ruintgebeid, territorial sphere) juga perlu


ditegaskan bahwa norma yang lebih luas wilayah berlakunya lebih tinggi
tingkatan hierarkinya daripada norma yang wilayah berlakunya lebih sempit.
Dari segi daya berlakunya norma hukum, maka norma hukum dapat
dibedakan antara norma hukum yang berlaku sekali selesai (enmahlig) dan
norma hukum yang berlaku terus menerus (dauerhaftig). Norma hukum yang
bersifat einmahlig berlakunya hanya sekali saja dan setelah itu selesai, hanya
bersifat menetapkan sehingga dengan adanya penetapan ini norma hukum
tersebut selesai. Sedangkan norma hukum yang bersifat dauerhaftig
berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, berlaku terus-menerus sampai norma
5
I Gde Pantja Astawa, Suprin Na’a. Op. cit. hal. 32.
6
Amiroeddin Syarif. Op. cit. hal. 82-83

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
5 / 18
tersebut dicabut atau diganti dengan norma hukum yang baru.7 Mengenai hal
tersebut dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Norma Hukum yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig)


Norma Hukum yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig) adalah
norma hukum yagn berlakunya tidak dibatasi oleh waktu, jadi
dapat berlaku kapan saja secara terus-menerus, sampai peraturan
itu dicabut atau diganti dengan peraturan yang baru.
Contoh norma hukum yang berlaku terus-menerus ini biasanya
terdapat di dalam suatu peraturan perundang-undangan, misalnya
ketentuan yang mengatur agar seseorang itu tidak merusak
lingkungan di sekitarnya, atau setiap warga negara dilarang
mencemari lingkungannya, adalah merupakan ketentuan-
ketentuan yang berlaku terus-menerus (dauerhaftig).

2. Norma Hukum yang berlaku sekali-selesai (einmahlig)


Norma Hukum yang berlaku sekali-selesai (einmahlig) adlah
norma hukum yang berlakunya hanya satu kali saja dan setelah
itu selesai, jadi sifatnya hanya menetapkan saja, sehingga dengan
adanya penetapan itu norma hukum tersebut selesai.
Contoh dari norma hukum yang bersifat sekali-selesai (einmahlig)
adalah penetapan bagi seseorang untuk membangun rumah, atau
keputusan mengenai penetapan seseorang sebagai Pegawai
Negeri Sipil.

C. Sistem Hukum dan Tradisi Hukum


Ilmu hukum tidak melihat hukum sebagai suatu chaos atau mass of rules,
tetapi melihatnya sebagai suatu structured whole atau sistem. Hukum itu
sendiri bukanlah sekadar kumpulan atau penjumlahan peraturan-peraturan

7
Soimin, Op.Cit., hlm. 28.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
6 / 18
yang masing-masing berdiri sendiri. Arti penting suatu peraturan hukum ialah
hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lain.8
Sebelum menjelaskan mengenai pengertian sistem hukum, perlu
dipaparkan terlebih dahulu beberapa pengertian sistem. Pada umumnya,
sistem sebagai satu kesatuan yang terdiri atas unsur-unsur dimana antara
unsur-unsur tersebut saling berhubungan dan mempengaruhi satu dengan
yang lainnya.
Bagi kebanyakan pemikir, sistem terkadang digambarkan dalam dua hal
yaitu9:
a. Sistem sebagai sesuatu wujud, atau entitas, yaitu sistem dipandang
sebagai suatu himpunan bagian yang saling berkaitan, yang
memebentuk satu keseluruhan yang rumit atau komplek tetapi
merupakan satu kesatuan;

b. Sistem mempunyai makna metodologik yang dikenal dengan pengertian


umum pendekatan sistem (system approach). Pendekatan ini merupakan
penerapan metode ilmiah di dalam usaha memecahkan masalah, atau
menerapkan kebiasaan berpikir atau beranggapan ada banyak sebab
terjadinya sesuatu, di dalam memandang atau menghadapi saling
keterkaitan.
Mengenai hal ini, Visser T. Hooft mengemukakan bahwa sistem adalah
sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur atau komponen yang selalu pengaruh
mempengaruhi dan terkait satu sama lain oleh satu atau beberapa asas.10
Selanjutnya, menurut Soerjono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka dalam
membicarakan masalah sistem, faktor-faktor yang relevan untuk dibahas
antara lain:
a. Elemen-elemen suatu sistem; artinya ada patokan tertentu yang
membedakan elemen-elemen suatu sistem ekonomi, politik dan sosial;

Ibid., hlm. 290-310.


8

H.R. Otje Salman S, Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan,
9

dan Membuka Kembali), PT Refika Aditama, Bandung, hlm. 84.


10
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional. P.T.
Alumni. Bandung, hlm. 56.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
7 / 18
b. Pembagian dari sistem; artinya, suatu sistem terdiri dari bagian-bagian
yang merupakan aneka subsistem, misalnya, sistem hukum mencukup
subsistem hukum publik dan subsistem hukum perdata;
c. Konsistensi; artinya, tidak ada hal-hal yang berlawanan dalam suatu
sistem, misalnya: peraturan perundang-undangan dalam bidang
hukum pidana harus sinkron baik secara vertikal maupun horizontal;
d. Kelengkapan sistem tersebut;
e. Pengertian-pengertian dasar (grundbegrippen) dari sistem tersebut,
yaitu pengertian-pengertian yang menjadi sisi pengenal dari suatu
sistem.11
Hukum sebagai sebuah sistem berarti merupakan satu kesatuan utuh yang
terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang berkaitan erat satu sama lain.
Dalam konsepsi Harold J. Berman yang dikutip oleh Soetandyo
Wignjosoebroto, sistem hukum ialah keseluruhan aturan prosedur yang
spesifik, sehingga dapat dibedakan ciri-cirinya dari kaidah-kaidah sosial lain
pada umumnya, dan kemudian secara relatif konsisten diterapkan oleh suatu
struktur otoritas yang profesional guna mengontrol proses-proses sosial yang
terjadi dalam masyarakat.12
Perihal pendekatan sistem terhadap hukum sesungguhnya telah
distimulasi oleh Jeremy Bentham sejak tahun 1982 yang berpendapat bahwa:
Tanpa hukum, tidak ada rasa aman, dan tanpa rasa aman, nilai-nilai
kelangsungan hidup, kemakmuran, dan kesetaraan tidak akan dapat tercapai
melalui hukum. Dan rasa aman itu sendiri tercapai karena terpeliharanya
ekspektasi. Ekspektasi adalah firasat yang memberi kita kekuatan untuk
membentuk suatu rencana perilaku umum yang menjamin bahwa rangkaian
momen yang membentuk kehidupan bukan titik-titik yang saling terpisah dan

11
Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1989, Sendi-sendi Ilmu Hukum dan Tata
Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 39-40.
12
Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika
Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, hlm. 1.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
8 / 18
independen, melainkan menjadi bagian-bagian dari suatu keseluruhan yang
saling berhubungan.13
Lawrence M. Friedman menyebut tiga elemen dalam sistem hukum, yaitu
substance (substansi), structure (struktur), dan legal culture (budaya hukum).
Bagaimanapun baiknya norma hukum suatu undang-undang tanpa didukung
penegak hukum yang handal dan dipercaya serta budaya masyarakat, hukum
tidak akan efektif mencapai tujuannya.14
Di samping sistem hukum, dikenal juga apa yang disebut tradisi hukum
(legal tradition). Dalam pembelajaran ilmu hukum tentang sistem hukum
selama ini terdapat salah kaprah yang mencampuradukkan istilah sistem
hukum dengan tradisi hukum. Hal tersebut dapat dicontohkan dengan
penggunaan istilah Sistem Hukum Eropa Kontinental atau Sistem Hukum
Anglo Saksis, padahal istilah yang paling tepat digunakan dalam membahas
hal ini adalah tradisi yang kemudian disebut tradisi hukum.15
Tradisi hukum secara global dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian
besar yaitu tradisi hukum Eropa Kontinental (civil law tradition, modern
roman law tradition) dan tradisi hukum Anglo Saksis (common law
traditioan, states of English law tradition).16
Tradisi hukum didefinisikan sebagai sekumpulan ‘sikap yang telah
mengakar kuat dan terkondisikan secara historis terhadap hakikat hukum,
aturan hukum dalam masyarakat dan ideologi politik, oraganisasi serta
penyelenggaraan sistem hukum. Sementara sebuah sistem hukum merupakan
pengoperasian sekumpulan institusi, prosedur, dan peraturan hukum, tradisi
hukum menempatkan sistem hukum di dalam perspektif kultural.17
Ada dua konsep tentang negara hukum yaitu rechstaat dan rule of law.
Rechstaat bersumber dari tradisi hukum negara-negara Eropa Kontinental
yang berdasar pada civil law dan legisme yang menganggap hukum adalah

13
Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan; Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum
Perdata dan Hukum Pidana, Terjemahan oleh Nurhadi, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hlm.
15-16.
14
I Gde Pantja Astawa, Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu Perundang-
Undangan Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung, hlm.43-44.
15
Ibid., hlm.47.
16
Loc.Cit.
17
Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law, dan
Socialist Law, terjemahan oleh Narulita Yusron, Nusa Media, Bandung, hlm. 46.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
9 / 18
hukum tertulis. The rule of law berkembang dalam tradisi hukum negara-
negara Anglo Saxon yang mengembangkan common law (hukum tak
tertulis).18
Dari kedua konsep tersebut perumusan kaidah hukum merupakan salah
satu unsur yang sangat penting. Terlebih pada konsep negara hukum
rechstaat yang menganggap hukum adalah huum yang tertulis. Dalam konsep
rechstaat dimana lebih mementingkan hukum yang tertulis, maka perumusan
kaidah hukum dalam bentuk perturan perundang-undangan harus jelas dan
rinci sehingga tidak menimbulkan ketidakpastian hukum

D. Perumusan Kaidah Hukum


Ilmu Hukum bertujuan untuk memahami perikelakuan manusia,
sepanjang perikelakuan tersebut merupakan isi taa kaidah hukum. Ilmu
hukum ini membuat deskripsi tata kaidah hukum yang diciptakan oleh
perbuatan manusia, yang harus diterapkan dan ditaati oelh perbuatan itu.
Rumsan yang dihasilkan berbentuk hypothetical judgements. Maksud
dari rumusan kaidah hukum berbentuk hypothetical judgements adalah bahwa
akibat/konsekuensi tertentu harus terjadi sesuai dengan tata kaidah tertentu
atau bisa disebut dengan imputasi (pertanggungjawaban). Contoahnya:
apabila seseorang melakukan perbuatan maka dia mungkin dapat dihukum
untuk perilaku tertentu. Sebaliknya seseorang juga tidak dapat
memeprtanggungjawabkan perikelakuannya, dan dia tidak dapat dihukum,
misalnya karena menderita sakit ingatan.
Hubungan antara sebab dan akibat (hypothetical judgements) dirumuskan
dalam pandangan Rules of Law dan pandangan dalil alam. Perbedaan diantara
keduanya adalah sebagai berikut:

1. Pada dalil alam apabila terjadi sesuatu (sebagai sebab), akan diikuti
kejadian lain yang merupakan akibat (Prinsip Sebab Akibat).

18
Moh. Mahfud MD. 2006. Membangun Politik Hukum Menegakkan Konstitusi. Pustaka
LP3ES Indonesia. Jakarta. hal.25.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
10 / 18
2. Pada kaidah hukum, apabila terjadi perikelakuan orang tertentu,
maka orang lain harus berperilaku menurut cara tertentu (Prinsip
Imputasi).
3. Pada dalil alam tidak da campur tangan manusia, sedangkan pada
kaidah hukum, hubungan normatif diciptakan oleh manusia.
4. Hubungan sebab akibat pada dalil alam merupakan mata rantai tanpa
batas, sedang pada kaidah hukum prinsip imputasi ada batasnya.

Rumusan kaidah hukum tidak selalu berbentuk Hypothetical Judgements,


bentuk yang lainnya adalah Cathegorical Judgements. Pada Cathegorical
Judgements, tidak terlihat adanya hubungan antara kondisi dan konsekuensi.
Contohnya pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa pada azasnya dalam suatu perkawinan, seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang isteri hanya boleh mempunyai
seorang suami.
Dari contoh di atas terbukti bahwa tidak selalu erumusan Undang-
Undang menggambarkan suatu pandangan hipotesis/bersyarat. Namun dalam
pemikiran yuridisnya, Hans Kelsen mengatakan bahwa pandangan hipotesis
adalah hakekat dari kaidah hukum individuil yang memuat pandangan
kategoris.
Rules of Law harus dibedakan dari legal norms yang diciptakan oleh
pejabat hukum. Sebab perbedaan antara keduanya merupakan perwujudan
dari perbedaan antara pemahaman hukum, dengan fungsi pejabat hukum.
Ilmu Hukum harus mengetahui hukum dan merumuskannya dengan suatu
deskripsi, sedangkan pejabat hukum harus menciptakan hukum agar dapat
dipahami oleh ilmu hukum.
Kaidah hukum sebagai bagian dari tata kaedah yang mengatur aspek
hidup antar pribadi bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama.
Seperti halnya dengan kaedah-kaedah yang lain, kaedah hukum juga
mematoki atau memberi pedoman, di samping sifat membatasi, perilaku/sikap
tindak pribadi dalam hubungannya dengan pribadi lain. Supaya pedoman
tersebut dapat dimengerti, maka kaedah hukum perlu dirumuskan sedemikian

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
11 / 18
rupa sehingga dengan rumusan-rumusan tersebut selanjutnya dapat dijadikan
pedoman bersama.
Perumusan kaidah hukum dalam aturan hukum diungkapkan dengan
berbagai macam cara yang berbeda-beda.kaidah hukum tidak hanya
memainkan peranan dalam hubungan antara pemberi perintah (pembentuk
Undang-Undang) dan penerima perintah (justisiabel), tetapi juga mempunyai
jangkauan yang lebih luas.
Aturan hukum harus disusun (dirumuskan) dalam bentuk sintaksis yang
tepat. Akan tetapi kaidah hukum dalam artiannya sebagai aturan hukum
dibentuk oleh konteks bahasa maupun lua konteks bahasa. Berikut dalah
beberapa contoh dari uraian yang dimaksud:
1. Perintah-perintah: dinyatakan dengan bantuan kata kerja
“mengharuskan”, “terikat untuk”, atau “berkewajiban untuk”.
2. Larangan: menggunakan kata-kata “tidak boleh” atau “ada larangan”
3. Izin : menggunakan ungkapan “boleh”, “mempunyai hak untuk”,
“dapat”, “berwenang untuk”.
4. Dispensasi: menggunakan istilah “tidak berkewajiban untuk”, “tidak
terikat untuk”
Pembuat undang-undang harus merumuskan kaidah hukum dalam
undang-undang secara jelas dan rinci tanpa samar-samar sehingga tidak ada
perumusan yang ambigu. Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa.
Rumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya memunculkan
ketidakpastian hukum. Dalam praktek tidak selamanya pembuat-
undangundang dapat memenuhi persyaratan itu, sehingga lebih banyak
menggunkan metode penafsiran dalam hukum pidana atau menggali sumber
hukum lainnya melalui yurisprudensi, doktrin dan sebagainya.
Suatu norma hukum dapat merupakan suatu norma hukum tunggal dan
dapat juga berwujud norma hukum yang berpasangan. Mengenai hal tersebut
dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Norma Hukum Tunggal


Norma hukum tunggal adalah suatu norma hukum yang berdiri
sendiri dan dan tidak diikuti oleh suatu norma hukum lainnya, jadi

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
12 / 18
isinya hanya merupakan suatu keharusan (das sollen) tentang
bagaimana seseorang hendaknya bertindak atau bertingkah laku.
Contoh perumusan suatu norma hukum tunggal adalah sebau
berikut:
˗ Hendanknya engkau berperikemanusiaan.
˗ Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama
lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali. (Pasal 7
UUD 1945 sebelum perubahan)
˗ Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi(Pasal 14 UUD 1945 sebelum perubahan).

2. Norma Hukum Berpasangan


Norma hukum berpasangan adalah norma hukum yang terdiri
atas dua norma hukum. Dua norma hukum yang dimaksud yaitu
norma hukum primer dan norma hukum sekunder. Lebih lanjut
mengenai norma hukum primer dan norma hukum sekunder
dijelaskan sebagai berikut:

a. Norma hukum primer


Norma hukum primer adlah norma hukum yang berisi
aturan/patokan bagaimana cara seseorang berperilaku di dalam
masyarakat. Norma hukum primer ini juga merupakan ‘das
sollen’ dan biasanya dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:
˗ Hendaknya engkau tidak mencuri
˗ Hendaknya engkau tidak menghilangkan nyawa orang lain.
˗ Hendaknya engaku tidak menganiaya orang lain.

b. Norma hukum sekunder


Norma hukum sekunder dalah morma hukum yang berisi tata
cara penanggulangannya apanila norma primer itu tidak dipenuhi,
atau tidak dpatuhi. Norma hukum sekunder ini memberikan
pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila suatu

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
13 / 18
norma hukum primer itu tidak dipatuhi, dan norma hukum
sekunder ini mengandung sanksi bagi seseorang yagn tidak
memenuhi suatu ketentuan norma hukum primer. Norma Hukum
sekunder ini juga merupakan ‘das sollen’ yang biasanya
dirumuskan dengan kalimat sebagai berikut:
˗ ....... hendaknya engkau yang mencuri dihukum.
˗ ....... hendaknya engkau yang membunuh dihukum paling
lama 15 tahun penjara.
˗ ........ hendaknya engkau yang menganiaya orang lain
dihukum lama 10 tahun penjara.

Di dalam suatu peraturan perundang-undangan, perumusan


norma hukum primer dan norma hukum sekunder seringkali
dirumuskan dalam suatu ketentuan (norma) secara berhimpitan,
sehingga seseoran mengalami kesulitan untuk membedakan antara
norma hukum primer dan norma hukum sekunder.
Perumusan norma hukum primer dan norma hukum sekunder
yang berhimpitan ini biasanya dirumuskan dalam peraturan
perundang-undangan dengan kalimat sebagai berikut:
a. Barang siapa mencuri dihukum.
b. Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain dihukum
paling lama 15 tahun penjara.
Perumusan norma-norma yang demikian itu dapat diuraikan
menjadi norma hukum primer dan norma hukum sekunder sebagai
berikut:
1. Barang siapa mencuri dihukum
˗ Norma hukum primernya adalah : ‘Hendaknya
seseorang tidak mencuri’.
˗ Norma Hukum sekundernya adalah: ‘Hendaknya
seseorang yang mencuri dihukum’.
2. Barangsiapa menghilangkan nyawa orang lain dihukum
paling lama 15 tahun penjara.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
14 / 18
˗ Norma hukum primernya adalah ‘Hendaknya
seseorang tidak menghilangkan nyawa orang lain’.
˗ Norma Hukum sekundernya adalah: ‘Hendaknya
seseorang yang menghilangkan nyawa orang lain
dihukum paling lama 15 tahun penjara’.
Aturan hukum merupakan lambang-lambang yang digunakan untuk
menyampaikan norma hukum. Lambang yang paling umum, dalam bentuk
aturan tertulis, meskipun bisa juga dalam bentuk tanda-tanda lain seperti
lukisan, gerakan badan, dan sebagainya semuanya ini bisa musnah tanpa
menghapuskan norma hukumnya.

Aturan hukum tertulis merupakan lambang yang paling umum digunakan


untuk menyatakan kaidah hukum. Aturan hukum merupakan rumusan verbal
dari kaidah hukum. Dirumuskan secara in abstracto apa yang harus dilakukan;
dilarang; hak; kewajiban subyek hukum dalam hubungannya dengan subyek
hukum lainnya. Aturan hukum menggunakan berbagai kategori sarana untuk
menampilkan kaidah hukum sehingga dapat ditangkap oleh masyarakat, yang
mekanismenya:

1. Disusun dalam rangkaian kata-kata yang membentuk suatu kalimat


‘bahasa hukum’, yaitu bahsa yang terukur, eksaks, dan tepat (bukan
basha sehari-hari).

2. Menggunakan pengertian-pengertian atau konsep-konsep yag


merupakan abstraksi dari hal-hal yang konkret. Contoh: kendaraan,
perusahaan, penganiayaan, ganti rugi, dan sebagainya.

E. Latihan True or False

1. Anjuran negatif untuk bisa mengerjakan sesuatu atau dalam bahasa Arab
disebut Mubah
2. pada umumnya norma hukum berisikan suruhan dan larangan
3. Mengenai sifat-sifat yang terkandung dalam norma hukum A. Hamid S.
Attamimi berpandapat bahwa norma hukum mengandung sifat-sifat
Pengizinan dan Pembebasan

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
15 / 18
4. Setiap warganegara dilarang mencuri, merupakan contoh norma Umum-
abstrak
5. Si Badu yang bertempat tinggal di Jalan Mangga Nomor 15 Jakarta
dilarang mencuri., merupakan contoh norma Individual konkret

F. Kunci Jawaban

1. F
2. T
3. T
4. F
5. F

G. Daftar Pustaka

Amiroeddin Syarif. 1987. Perundang-undangan; Dasar, Jenis dan Teknik


Membuatnya. Bina Aksara. Jakarta.
Bentham, Jeremy, 2006, Teori Perundang-Undangan; Prinsip-Prinsip
Legislasi, Hukum Perdata dan Hukum Pidana, Terjemahan oleh
Nurhadi, Nusamedia dan Nuansa, Bandung.
C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional. P.T. Alumni. Bandung.
H.R. Otje Salman S, Anton F. Susanto, 2007, Teori Hukum (Mengingat,
Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), PT Refika Aditama,
Bandung.
I Gde Pantja Astawa, Suprin Na’a, 2008, Dinamika Hukum dan Ilmu
Perundang-Undangan Di Indonesia, PT. Alumni, Bandung.
Jimly Asshiddiqie. 2006. Perihal Undang-Undang. Konstitusi Press Jakarta.
Moh. Mahfud MD. 2006. Membangun Politik Hukum Menegakkan
Konstitusi. Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta.
Peter de Cruz, 2010, Perbandingan Sistem Hukum, Civil Law, Common Law,
dan Socialist Law, terjemahan oleh Narulita Yusron, Nusa Media,
Bandung.
Philipus m. Hadjon. Dkk. 1993. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia
(Introduction to the Indonesian administrative Law). Gadjah Mada
University Press.
Soejono Soekanto dan Purnadi Purbacaraka, 1989, Sendi-sendi Ilmu Hukum
dan Tata Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
16 / 18
Soetandyo Wignjosoebroto, 1994, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional;
Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia,
Rajawali Press, Jakarta.

Universitas Esa Unggul


http://esaunggul.ac.id
17 / 18

Anda mungkin juga menyukai