Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH PENDIDIKAN BUDI PEKERTI

“PRINSIP-PRINSIP MORAL DASAR”


Dosen Pengampu: Sugianto, S.Pd., M.A.

Disusun Oleh :

Kelompok 6

Nama Anggota :

Karyn Hosana Sitompul (1193111041)


Ermicha Gracesela Saragih (1193111050)
Rhenata Eymenintha Sembiring (1193111052)
Monika Afriani Malau (1193111053)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKLUTAS ILMU PENDIDIKAN – UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

MARET 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan berkat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah kelompok yang berjudul “Prinsip-
prinsip Moral Dasar” tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Sugianto, S.Pd.,
M.A. pada mata kuliah pendidikan budi pekerti. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.

Penulis menyadari, makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan laporan ini.

Medan, Maret 2022

Penulis
KELOMPOK 6

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................................................... i

DAFTAR ISI.................................................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2

1.3 Tujuan Penulisan .............................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 3

2.1 Pengertian Prinsip Moral Dasar ....................................................................................... 3

2.2 Tiga Prinsip Moral Dasar ................................................................................................. 4

2.3 Prinsip-Prinsip Moral Dasar dalam Etika-Etika ............................................................... 8

2.4 Mengembangkan Prinsip-Prinsip Moral Dasar Menurut Kohlberg ............................... 11

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 15

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 15

3.2 Saran ............................................................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Moralitas merupakan suatu usaha untuk membimbing tindakan seseorang dengan akal.
Membimbing tindakan dengan akal yaitu melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya
memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan individu yang akan terkena oleh tindakan
itu. Hal ini merupakan gambaran tindakan pelaku moral yang sadar. Pelaku moral yang sadar
adalah seseorang yang mempunyai keprihatinan, tanpa pandang bulu terhadap kepentingan setiap
orang yang terkena oleh apa yang dilakukan beserta implikasinya. Tindakan tersebut didasarkan
pada prinsip-prinsip yang sehat (Rachels, 2004: 40-41). Moralitas merupakan bagian dari filsafat
moral. Driyarkara (2006: 508) menjelaskan filsafat moral atau kesusilaan ialah bagian dari
filsafat yang memandang perbuatan manusia serta hubungannya dengan baik dan buruk. Magnis-
Suseno (1987: 14) secara khusus menjelaskan bahwa ajaran moral adalah ajaran-ajaran,
wejangan- wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan, kumpulan peraturan dan ketetapan baik
lisan atau tertulis, tentang bagaimana manusia harus hidup dan bertindak agar menjadi manusia
yang baik. Sumber langsung ajaran moral adalah orang-orang dalam kedudukan yang berwenang
sebagai sumber ajaran moral, seperti orang tua dan guru, para pemuka masyarakat dan agama,
serta tulisan-tulisan para bijak seperti kitab Wulangreh karangan Sri Susuhunan Paku Buwana
IV. Ajaran-ajaran itu bersumber pada tradisi dan adat-istiadat, ajaran agama, atau ideologi
tertentu (Magnis-Suseno, 1987: 14).

Ajaran moral yang merupakan kebijaksanaan hidup agar menjadi manusia yang baik,
belum sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat. Bangsa Indonesia sampaisekarang masih
mengalami krisis moral. Media cetak dan media elektronik pun banyak memuat berita mengenai
krisis moral yang masih berkepanjangan. Krisis yang terjadi membuat manusia tidak lagi mampu
memahami perbedaan benar dan salah ataupun tingkah laku yang baik dan tidak baik.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang dapat dirumuskan yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan prinsip moral dasar?
2. Apa saja tiga prinsip moral dasar?
3. Bagaimana prinsip-prinsip moral dasar dalam etika-etika?
4. Bagaimana mengembangkan prinsip-prinsip moral dasar menurut Kohlberg?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui pengertian prinsip moral dasar
2. Mengetahui tiga prinsip moral dasar
3. Memahami prinsip-prinsip moral dasar dalam etika-etika
4. Memahami cara mengembangkan prinsip-prinip moral dasar menurut Kohlberg

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Prinsip Moral Dasar


Prinsip moral dasar merupakan norma atau aturan moral yang sangat kental dengan sisi
tindakan manusia. Dalam praksisnya, sebagaimana teori Magnis Suseno dalam Etika Dasar
(1987), manusia harus memiliki prinsip dasar moral terutama untuk bertindak, apalagi sumber
tindakan manusia adalah bukan hanya tindakan manusia tapi juga tindakan manusiawi.

Diperlukan prinsip-prinsip moral dasar dalam kehidupan, dengan tujuan, supaya setiap
tindakan yang mungkin saja salah secara moral, bisa memiliki alat ukur. Jadi prinsip moral dasar
jadi alat ukurnya. Prinsip moral dasar menjadi penting juga karena dalam etika hedonisme
prinsip moral seorang subjek tidak memadai. Setiap individu bertindak bukan hanya demi
mencari kepuasan dan atau nikmat saja, tetapi melebihi itu, setiap tindakan harus memiliki
prinsip moral dasar.

Dalam etika pengembangan diri, nampak bahwa etika memuat sesuatu yang hakiki yakni
pengembangan diri yang merupakan tanggung jawab kita. Dengan kondisi yang fokus pada
pengembangan diri saja, orang tidak akan berkembang karena hanya berpusat pada dirinya.

Demikian juga dalam etika utilitarianisme, subjek melakukan sebuah tindakan demi
kegunaan tertentu dan jika sudah menyentuh kegunaan sebagaimana yang dituju, maka selesailah
etika itu. Dalam kondisi demikian, utilitarianisme mempunyai kekurangan yang fatal: ia tidak
dapat menjamin keadilan dan hormat terhadap hak-hak asasi manusia, termasuk tidak menjamin
martabat manusia yang hakiki.

Dari berbagai model etika di atas, yang dalam arti tertentu masih memiliki banyak
kekurangan, tentu kita butuh sebuah prinsip, atau kumpulan prinsip berkaitan dengan tindakan
etis atau moral manusia.

3
2.2 Tiga Prinsip Moral Dasar
1. Prinsip Sikap Baik
Kesadaran inti utilitarisme ialah bahwa kita hendaknya jangan merugikan siapa saja, jadi
bahwa sikap yang dituntut dari kita sebagai dasar dalam hubungan dengan siapa saja adalah
sikap yang positif dan baik. Prinsip utilitarisme, bahwa kita harus mengusahakan akibat-akibat
baik sebanyak mungkin dan mengusahakan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan
mengusahakan untuk sedapat-dapatnya mencegah akibat-akibat buruk dari tindakan kita bagi
siapa saja yang terkena olehnya memang hanya masuk akal, kalau sudah diandaikan bahwa kita,
kecuali ada alasan khusus, harus bersikap baik terhadap orang lain. Dengan demikian prinsip
moral dasar pertama dapat kita sebut prinsip sikap baik. Prinsip itu mendahului dan mendasari
semua prinsip moral lain. Baru atas dasar tuntutan itu semua tuntutan moral lain masuk akal.

Prinsip ini mempunyai arti yang amat besar bagi kehidupan manusia. Hanya karena
prinsip itu memang kita resapi dan rupa-rupanya mempunyai dasar dalam struktur psikis
manusia, kita dapat bertemu dengan orang yang belum kita kenal tanpa takut. Karena sikap dasar
itu kita dapat mengandaikan bahwa orang lain, kecuali mempunyai alasan khusus, tidak akan
langsung mengancam atau merugikan kita. Karena sikap dasar itu kita selalu mengandaikan
bahwa yang memerlukan alasan bukan sikap yang baik, melainkan sikap yang buruk. Jadi yang
biasa pada manusia bukan sikap memusuhi dan mau membunuh, melainkan sikap bersedia untuk
menerima baik dan membantu. Oleh karena itu berulang kali kita dapat mengalami bahwa orang
yang sama sekali tidak kita kenal, secara spontan membantu kita dalam kesusahan. Andaikata
tidak demikian, andaikata sikap dasar antarmanusia adalah negatif, maka siapa saja selalu harus
kita curigai, bahkan kita pandang sebagai ancaman. Hubungan antar manusia akan mati.

Jadi prinsip sikap baik bukan hanya sebuah prinsip yang kita pahami secara rasional,
melainkan juga mengungkapkan syukur alhamdulillah suatu kecondongan yang memang sudah
ada dalam watak manusia. Sebagai prinsip dasar etika prinsip sikap baik menyangkut sikap dasar
manusia yang harus meresapi segala sikap konkret, tindakan dan kelakuannya. Prinsip ini
mengatakan bahwa pada dasarnya, kecuali ada alasan yang khusus, kita harus mendekati siapa
saja dan apa saja dengan positif, dengan menghendaki yang baik bagi dia. Yang dimaksud bukan
semata-mata perbuatan baik dalam arti sempit, melainkan sikap hati positif terhadap orang lain,
kemauan baik terhadapnya. Bersikap baik berarti: memandang seseorang dan sesuatu tidak hanya

4
sejauh berguna bagi saya, melainkan: menghendalki, menyetujui, membenarkan, mendukung,
membela, membiarkan dan menunjang perkembangannya, mendukung kehidupan dan mencegah
kematiannya demia dia itu sendiri. Bagaimana sikap baik itu harus dinyatakan secara konkret
tergantung pada apa yang baik dalam situasi konkret itu. Maka prinsip ini menuntut suatu
pengetahuan tepat tentang realitas suapaya dapat diketahui apa yang masing-masing baik bagi
yang bersangkutan. Kalau itu sudah kita ketahui kita tahu juga bagaimana prinsip sikap baik
mesti kita terapkan dalam situasi itu. Prinsip sikap baik mendasari semua norma moral karena
hanya atas dasar prinsip itu masuk akal bahwa kita harus bersikap adil, atau jujur, atau setia
kepada orang lain.

2. Prinsip Keadilan
Adil pada hakikatnya berarti bahwa kita memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya. Dan karena pada hakikatnya semua orang sama nilainya sebagai manusia, maka tuntutan
bila dasariah keadilan ialah perlakuan yang sama terhadap semua orang, tentu dalam situasi yang
sama (kalau pemerintah membagikan beras di daerah kurang pangan, semua kepala keluarga
berhak atas bagian beras yang sama, dengan memperhitungkan jumlah warga keluarga, tetapi
penduduk yang cukup berada, jadi yang tidak membutuhkan bantuan, tidak berhak untuk dibantu
juga). Jadi prinsip keadilan mengungkapkan kewajiban untuk memberikan perlakuan yang sama
terhadap orang lain yang berada dalam situasi yang sama dan untuk menghormati hak semua
pihak yang bersangkutan. Suatu perlakuan yang tidak sama adalah tidak adil, kecuali dapat
diperlihatkan mengapa ketidaksamaan dapat dibenarkan (misalnya karena orang itu tidak dapat
membutuhkan bantuan). Suatu perlakuan yang tidak sama selalu perlu dibenarkan secara khusus,
sedangkan perlakuan yang sama dengan sendirinya betul kecuali terdapat alasan-alasan khusus.
Secara singkat keadilan menuntut agar kita jangan mau mencapai tujuan-tujuan, termasuk yang
baik, dengan melanggar hak seseorang.

3. Prinsip Hormat Terhadap Diri Sendiri


Prinsip ketiga ini mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu memperlakukan diri
sebagai sesuatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini berdasarkan paham bahwa manusia
adalah person, pusat berpengertian dan berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati,
makhluk berakal budi. Sebagai itu manusia tidak pernah boleh menganggap sebagai sarana
semata- mata demi suatu tujuan lebih lanjut. Ia adalah tujuan yang bernilai pada dirinya sendiri,

5
jadi nilainya bukan sekedar sebagai sarana untuk mencapai suatu maksud atau tujuan lebih jauh.
Hal itu juga berlaku bagi kita sendiri. Maka manusia juga wajib untuk memperlakukan dirinya
sendiri dengan hormat. Kita wajib menghormati martabat kita sendiri.

Prinsip ini mempunyai dua arah. Pertama dituntut agar kita tidak membiarkan diri
diperas, diperalat, diperkosa atau diperbudak. Perlakuan semacam itu tidak wajar untuk kedua
belah pihak, maka yang diperlakukan demikian jangan membiarkannya berlangsung begitu saja
apabila ia dapat melawan. Kita mempunyai harga diri. Dipaksa untuk melakukan atau
menyerahkan sesuatu tidak pernah wajar, karena berarti bahwa kehendak dan kebebasan
eksistensial kita dianggap sepi. Kita diperlakukan sama seperti batu atau binatang. Hal itu juga
berlaku apabila hubungan-hubungan pemerasan dan perbudakan dilakukan atas nama cinta kasih,
oleh orang yang dekat dengan kita, seperti oleh orang tua atau suami. Kita berhak untuk menolak
hubungan pemerasan, paksaan, pemerkosaan yang tidak pantas. Misalnya ada orang didatangi
orang yang mengancam bahwa ia akan membunuh diri apabila dia itu tidak mau kawin
dengannya, maka menurut hemat saya sebaiknya diberi jawaban ”silahkan”! dengan resiko
bahwa ia memang akan melakukannya (secara psikologis itu sangat tidak perlu dikhawatirkan;
orang yang sungguh-sungguh condong untuk membunuh diri biasanya tidak agresif). Adalah
tidak wajar dan secara moral kurang tepat untuk membiarkan diri diperas, juga kalau kita mau
diperas atas nama kebaikan kita sendiri.

Yang kedua, kita jangan membiarkan diri terlantar. Kita mempunyai kewajiban bukan
hanya terhadap orang lain, melainkan juga terhadap diri kita sendiri. Kita wajib untuk
mengembangkan diri. Membiarkan diri terlantar berarti bahwa kita menyia-nyiakan bakat-bakat
dan kemampuan-kemampuan yang dipercayakan kepada kita. Sekaligus kita dengan demikian
menolak untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat yang boleh diharapkannya dari kita.

Meskipun tuntutan untuk menghormati diri sebagai person merupakan salah satu dari tiga
prinsip moral dasar, namun berbeda dengan dua prinsip lainnya, prinsip hormat terhadap diri
sendiri jarang dibicarakan, padahal tak kalah pentingnya. Oleh karena itu barangkali ada
baiknya, kalau kita masih sedikit melanjutkan pembahasannya. Bahwa manusia juga mempunyai
kewajiban terhadap dirinya sendiri berarti bahwa kewajibannya terhadap orang lain diimbangi
oleh perhatian yang wajar terhadap dirinya sendiri. Jadi kita jangan cepat-cepat berteriak ”egois”
kalau seseorang juga memperhatikan dirinya sendiri. Kita tidak dapat mencintai sesama kalau

6
kita tidak mencintai diri kita sendiri. Kemampuan untuk berkomunikasi, untuk menerima orang
lain seadanya, untuk menghargainya, untuk bersikap baik terhadapnya biasanya sama besar atau
kecilnya dengan kemampuan kita untuk menerima kita sendiri, untuk merasa mantap dan
gembira dengan diri kita. Jadi ada hubungan timbal balik.

Oleh karena itu sikap altruisme (altruisme adalah lawannya egoisme, sikap orang yang
seakan-akan sama sekali tidak memikirkan dirinya sendiri, melainkan melakukan segala apa bagi
orang lain) secara psikologis sebenarnya mencurigakan. Berlebihan mau melayani orang lain
dapat menunjukkan ego yang lemah, kurang percaya diri, berlebihkan membutuhkan pengakuan
dari orang lain. Apalagi, itulah tragisnya, sikap altruisme jarang dihargai dan lebih jarang lagi
dihormati orang, namun seringkali disalahgunakan. Pelayanan setengah mati seseorang yang
seakan-akan mengorbankan diri demi kita, diterima dengan senang karena tentu saja enak kalau
kita dilayani, tetapi orangnya sendiri malah tidak dihargai. Sebenarnya dia itu ingin dicintai,
tetapi dengan cara itu ia justru tidak akan berhasil.

Hanya orang yang kepribadiannya sangat kuat dan mantap dapat mengorbankan diri
seluruhnya bagi orang lain, tanpa kehilangan harga diri. Kita yang biasa- biasa saja sekali-sekali
harus beristirahat dari berbuat baik dan mengambil waktu bagi diri kita sendiri, bagi apa yang
kita senangi. Hal itu terutama perlu dikatakan kepada mereka yang bekerja dalam bidang-bidang
yang banyak menuntut pengorbanan, misalnya menjadi perawat, pekerja sosial dan sebagainya.
Orang-orang itu tidak jarang merasa bersalah apabila mereka memikirkan kesenangan mereka
sendiri (berlainan sekali dari kebanyakan kita yang terlalu banyak sibuk dengan kesenangan kita
dan jarang bersedia untuk memberikan waktu dan perhatian pada orang yang sebenarnya
membutuhkan kita). Perasaan itu tidak perlu, malah tidak tepat. Dengan rendah hati kita harus
mengakui bahwa kita juga mempunyai kebutuhan. Mekipun ada jutaan orang kelaparan, itu tidak
berarti bahwa kita tidak kadang-kadang boleh mengeluarkan biaya ekstra untuk makan enak.

Sebagai rangkuman dapat dikatakan bahwa kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan
kepada orang lain, perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai
makhluk yang bernilai pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad
untuk bersikap adil, tetapi tidak dengan membuang diri.

7
2.3 Prinsip-Prinsip Moral Dasar dalam Etika-Etika
Etika adalah peraturan yang dapat dijadikan sebagai acuan perilaku seseorang yang
berkaitan dengan sifat yang baik atau buruk, serta sebagai suatu kewajiban dan tanggung jawab
atas nilai moral. Memahami persoalan etika pada dasarnya akan setara dengan filsafat moral,
yaitu sebuah disiplin yang berkaitan dengan apa yang baik secara moral dan buruk serta secara
moral benar dan salah. Istilah ini biasa juga diterapkan pada sistem teori nilai sosial ataupun
prinsip moral apapun yang biasanya berhubungan dengan bentuk etika yang diterapkan pada
manusia.

Oleh sebab itu, etika akan senantiasa berupaya menyelesaikan persoalan tentang
moralitas manusia dengan mendefinisikan konsep-konsep seperti yang baik dan yang jahat, benar
dan salah, kebajikan dan kejahatan, keadilan dan kecurangan. Sebagai bidang penyelidikan
intelektual, filsafat moral juga terkait dengan bidang psikologi moral, etika deskriptif, dan teori
nilai.

1. Etika Umum
Etika umum merupakan jenis etika yang berkaitan dengan keadaan dasar tentang
tindakan manusia secara etis. Etika umum juga berkaitan dengan cara-cara yang dilakukan oleh
manusia dalam mengambil keputusan etis dan teori-teori dalam etika serta prinsip moral dasar
yang dijadikan sebagai pegangan manusia dalam berbuat.

2. Etika Khusus
Etika khusus merupakan jenis etika berupa penerapan konsep moral standar dalam situasi
kehidupan yang khusus. Etika khusus dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
- Etika individual, yaitu bentuk etika yang menyangkut kewajiban dan sikap manusia
terhadap dirinya sendiri.
- Etika sosial, yaitu bentuk etika berfokus pada kewajiban, sikap dan pola perilaku manusia
sebagai anggota masyarakat.

3. Etika Deskriptif
Etika deskriptif merupakan macam-macam etika yang akan berupaya untuk membidik
secara kritis dan rasional tingkah laku dan perilaku manusia serta apa yang dicari oleh manusia

8
dalam kehidupan sebagai sesuatu yang dianggap mempunyai nilai-nilai untuk diterapkan dalam
kehidupan.

4. Etika Normative
Macam-macam etika yang selanjutnya adalah etika normatif. Etika normatif merupakan
jenis etika yang berusaha menetapkan berbagai tingkah laku dan pola perilaku baik yang
seharusnya dimiliki oleh manusia dalam kehidupan sebagai sesuatu yang mempunyai nilai moral
untuk dianggap dalam suatu kelompok masyarakat.

5. Etika Profesionalisme
Etika profesional merupakan jenis etika yang dikenakan pada karyawan di perusahaan,
atau sebagai anggota profesi. Misalnya, jurnalis, dokter, pengacara, dan lain-lain. Jenis Etika
yang satu ini dapat bersifat dipaksakan ketika seseorang adalah bagian dari lingkungan
profesional atau ketika seseorang sedang dilatih atau dididik untuk bekerja untuk profesi tertentu.
Apabila etika profesional tidak dipatuhi, maka dapat merusak reputasi profesional orang yang
tidak patuh tersebut.

6. Etika Bisnis
Macam-macam etika yang berikutnya adalah etika bisnis. Etika ini dapat didefinisikan
sebagai blueprint prinsip dan nilai yang mengatur keputusan dan tindakan dalam perusahaan.
Dalam dunia bisnis, arti budaya organisasi menetapkan standar untuk memastikan perbedaan
antara pengambilan keputusan dan perilaku yang baik dan buruk. Definisi etika bisnis bermula
dari mengetahui perbedaan antara benar dan salah dan memilih untuk melakukan apa yang benar.
Ungkapan „etika bisnis‟ dapat digunakan untuk menggambarkan bentuk tindakan sosial individu
dalam suatu organisasi sosial secara keseluruhan.

7. Etika Teknik
Etika teknik bukan tentang memberitakan kebajikan, melainkan bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan seseorang sebagai insinyur untuk secara bertanggung jawab
menghadapi masalah moral yang diangkat oleh aktivitas teknologi.

9
8. Etika dengan Berbasis Manusia
Jenis etika juga dikenal sebagai “antroposentrisme”. Keyakinan antroposentris adalah
bahwa manusia adalah satu-satunya pembawa nilai intrinsik atau memiliki nilai intrinsik yang
lebih besar daripada sifat non-manusia. Keterlibatan manusia dalam etika memainkan peran yang
sangat penting sehingga bisa dikatakan mengatakan bahwa antroposentrisme berfokus pada etika
manusia.

9. Etika Berbasis Ilmiah


Macam-macam etika yang berikutnya adalah etika dengan berbasis ilmiah. Istilah etika
ilmiah dapat merujuk pada etika dalam sains. Etika ilmiah adalah cabang etika terapan. Etika
ilmiah adalah bagian dari etika profesional, aturan perilaku khusus yang dipatuhi oleh orang-
orang yang terlibat dalam pengejaran yang disebut profesi. Ini berbeda dari, tetapi konsisten
dengan, baik moralitas biasa maupun teori moral.

10. Etika Biosentris


Etika biosentris mengacu pada teori apa pun yang memandang semua kehidupan
memiliki nilai intrinsik yang dikenal sebagai etika bio-sentris. Etika bio-sentris mewakili
penyimpangan yang signifikan dari pemikiran etis klasik dan tradisional, yaitu berfokus pada
sikap dan karakter daripada nilai-nilai moral.

11. Etika Esosentris


Istilah etika ekosentris dikemukakan oleh “Aldo Leopold‟s“, yang menekankan pada
keutuhan ekologis. Etika ekosentris adalah etika holistik daripada etika individualistis. Etika
ekosentris mempertimbangkan ekologi dengan satu atau lain cara untuk membantu dalam
menjelaskan dan mempertahankan kesimpulannya.

12. Etika Agama


Dalam penerapan lainnya jenis etika juga dikenal dalam lembaga agama yang ada di
seluruh dunia. Peranan ini dilakukan agar manusia dapat mempertanggung jawaban atas
kehidupan yang dijalani.

10
2.4 Mengembangkan Prinsip-Prinsip Moral Dasar Menurut Kohlberg
Bagaimana cara menumbuhkan kemauan seseorang untuk mampu bersikap moral?
Bagaimana sampai seseorang meyakini dan memilih prinsip-prinsip moral yang baik dan
memadai? Menurut Lawrence Kohlberg, prinsip-prinsip dasar moral manusia tidak muncul
dengan sendirinya, melainkan sangat dipengaruhi oleh tahap-tahap perkembangan moral
seseorang. Prinsip-prinsip dasar moral bukanlah sesuatu yang pertama-tama dipelajari dan
dimengerti, tetapi muncul secara natural sebagai bagian dari perkembangan moral manusia.
Menurutnya, kesadaran moral manusia mengalami perkembangan dari taraf yang sifatnya anak
ke perkembangan dewasa.

Kohlberg tidak berbicara tentang prinsip-prinsip dasar moral tertentu melainkan ia


meneliti bagaimana seseorang mampu menginternalisasi dan mengembangkan kemampuannya
untuk memilih dan menjalankan prinsip-prinsip dasar moral. Misalnya, seseorang mencontek
dikelas dan beberapa berpendapat. Pendapat yang menyatakan bahwa mencontek tidak boleh
karena nanti dihukum dan mencontek tidak boleh karena melukai kejujuran memiliki bobot
yang berbeda. Kohlberg berpendapat bahwa kompetensi penilaian moral itulah yang menentukan
prinsip- prinsip dasar moral seseorang.

Kohlberg menyatakan adanya enam tahap perkembangan/kesadaran moral. Menurut


Kohlberg, enam tahap (stages) dalam perkembangan moral dapat dikaitkan satu sama lain dalam
tiga tingkat (levels) demikian rupa sehingga setiap tingkat meliputi dua tahap. Tiga tingkat itu
berturut-turut adalah tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat
pascakonvensional.

1. Tingkat Prakonvensional
Pada tingkat ini si anak mengakui adanya aturan-aturan dan baik serta buruk mulai
mempunyai arti baginya, tapi hal itu semata-mata dihubungkan dengan reaksi orang lain.
Penilaian tentang baik buruknya perbuatan hanya ditentukan oleh faktor-faktro dari luar.
Motivasi untuk penilaian moral terhadap perbuatan hanya didasarkan atas akibat atau
konsekuensi yang dibawakan oleh perilaku si anak: hukuman atau ganjaran, hal yang pahit atau
hal yang menyenangkan. Yang mencolok ialah bahwa motif-motif ini bersifat lahiriah saja dan

11
bisa mengalami banyak perubahan. Pada tingkat prakonvensional ini dapat dibedakan dalam dua
tahap:

Tahap 1 : Orientasi hukuman dan kepatuhan. Anak mendasarkan perbuatannya atas


otoritas konkret (orangtua, guru) dan atas hukuman yang akan menyusul, bila ia tidak
patuh. Anak kecil tidak memukul adiknya, karena hal itu dilarang oleh ibu dan karena
melanggar kemauan ibu dan akan membawa hukuman. Perspektif si anak semata-mata
egosentris. Ia membatasi diri pada kepentingannya sendiri dan belum memandang
kepentingan orang lain. Ketakutan untuk akibat perbuatan adalah perasaan dominan yang
menyertai motivasi moral ini.
Tahap 2 : Orientasi relativis-instrumental. Perbuatan adalah baik, jika ibarat instrumen
(alat) dapat memenuhi kebutuhan sendiri dan kadang-kadang juga kebutuhan orang lain.
Anak mulai menyadari kepentingan orang lain juga, tapi hubungan antara manusia
dianggapnya seperti hubungan orang di pasar: tukarmenukar. Hubungan timbal-balik
antara manusia adalah soal “jika kamu melakukan sesuatu untuk saya, maka saya akan
melakukan sesuatu untuk kamu” (do ut des), bukannya soal loyalitas (kesetiaan), rasa
terima kasih atau keadilan.

2. Tingkat Konvensional
Penelitian Kohlberg menunjukkan bahwa biasanya (tapi tidak selalu) anak mulai beralih
ke tingkat ini antara umur sepuluh dan tiga belas tahun. Di sini perbuatanperbuatan mulai dinilai
atas dasar norma-norma umum dan kewajiban serta otoritas dijunjung tinggi. Tingkat ini oleh
Kohlberg disebut “konvensional”, karena di sini anak mulai menyesuaikan (bahasa
Latin:convenire) penilaian dan perilakunya dengan harapan orang lain atau kode yang berlaku
dalam kelompok sosialnya. Memenuhi harapan keluarga, kelompok atau bangsa dianggap
sebagai sesuatu yang berharga pada dirinya sendiri, terlepas dari konsekuensi atau akibatnya.
Dalam sikapnya si anak tidak hanya menyesuaikan diri dengan harapan orang-orang tertentu atau
dengan ketertiban sosial, melainkan juga menaruh loyalitas kepadanya dan secara aktif
menunjang serta membenarkan ketertiban yang berlaku. Singkatnya, anak mengidentifikasi diri
dengan kelompok sosialnya beserta normanormanya. Tingkat kedua ini mencakup juga dua
tahap:

12
Tahap 3 : Penyesuaian dengan kelompok atau orientasi menjadi “anak manis”. Anak
cenderung mengarahkan diri kepada keinginan serta harapan dari para anggota keluarga
atau kelompok lain (sekolah di sini tentu penting). Perilaku yang baik adalah perilaku
yang menyenangkan dan membantu orang lain serta disetujui oleh mereka. Anak
mengambil sikap: saya adalah “anak manis” (good boy-nice girl), artinya ia adalah
sebagaimana diharapkan oleh orangtua, guru dan sebagainya. Ia ingin bertingkah laku
secara “wajar”, artinya menurut norma-norma yang berlaku. Jika ia menyimpang dari
norma-norma kelompoknya, ia merasa malu dan bersalah. Dalam hal ini untuk pertama
kali si anak mulai memperhatikan pentingnya maksud perbuatan. Perbuatan adalah baik,
asal maksudnya baik. Misalnya, waktu ia membantu ibunya di dapur dengan mencuci
piring, ada gelas pecah. Dulu perbuatan itu dinilai secara moral moral buruk, karena bisa
mendatangkan hukuman. Dalam tahap ketiga perbuatan itu dianggap baik, karena di
baliknya ada maksud baik.
Tahap 4 : Orientasi hukum dan ketertiban (law and order). Paham “kelompok” dengan
mana anak harus menyesuaikan diri di sini diperluas: dari kelompok akrab (artinya,
orang-orang yang dikenal oleh anak secara pribadi) ke kelompok yang lebih abstrak,
seperti suku bangsa, negara, agama. Tekanan diberikan pada aturan-aturan tetap, otoritas
dan pertahanan ketertiban sosial. Perilaku yang baik adalah melakukan kewajibannya,
menghormati otoritas dan mempertahankan ketertiban sosial yang berlaku demi
ketertiban itu sendiri. Orang yang melanggar aturan-aturan tradisional atau menyimpang
dari ketertiban sosial, jelas bersalah. Peribahasa Inggris right or wrong, my control adalah
contoh spesifik tentang sikap orang dalam tahap 3 ini.

3. Tingkat Pascakonvensional
Oleh Kohlberg tingkat ketiga ini disebut juga dengan “tingkat otonom” atau “tingkat
berprinsip” (principled level). Pada tingkat ini hidup moral dipandang sebagai penerimaan
tanggung jawab pribadi atas dasar prinsip-prinsip yang dianut dalam batin. Norma-norma yang
ditemukan dalam masyarakat tidak dengan sendirinya berlaku, tapi harus dinilai atas dasar
prinsip-prinsip yang mekar dari kebebasan pribadi. Orang muda mulai menyadari bahwa
kelompoknya tidak selamanya benar. Menjadi anggota suatu kelompok tidak menghindari bahwa

13
kadang kala ia harus berani mengambil sikapnya sendiri. Tingkat ketiga ini pun mempunyai dua
tahap:

Tahap 5 : Orientasi kontrak-sosial legalistis. Di sini disadari relativisme nilainilai dan


pendapat-pendapat pribadi dan kebutuhan akan usaha-usaha untuk mencapai konsensus.
Di samping apa yang disetujui dengan cara demokratis, baik buruknya tergantung pada
nilai-nilai dan pendapat-pendapat pribadi. Segi hukum ditekankan, tapi diperhatikan
secara khusus kemungkinan untuk mengubah hukum, asal hal itu terjadi demi kegunaan
sosial (berbeda dengan pandangan kaku tentang law and order dalam tahap 4). Selain
bidang hukum, persetujuan bebas dan perjanjian adalah unsur pengikat bagi kewajiban.
Suatu janji harus ditepati juga kalau berkembang menjadi merugikan, karena berasal dari
persetujuan bebas.
Tahap 6 : Orientasi prinsip etika yang universal. Di sini orang mengatur tingkah laku
dan penilaian moralnya berdasarkan hati nurani pribadi. Yang mencolok adalah bahwa
prinsip-prinsip etis dan hati nurani berlaku secara universal. Pada dasarnya prinsip-
prinsip ini menyangkut keadilan, kesediaan membantu satu sama lain, persamaan hak
manusia dan hormat untuk martabat manusia sebagai pribadi. Orang yang melanggar
prinsip-prinsip hati nurani ini akan mengalami penyesalan yang mendalam (remorse). Ia
mengutuk dirinya, karena tidak mengikuti keyakinan moralnya sendiri. Menurut
Kohlberg, penelitiannya telah menunjukkan bahwa hanya sedikit orang mencapai tahap
keenam ini.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prinsip moral dasar memiliki 3 prinsip yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan, prinsip
hormat terhadap diri sendiri yang mana ketiganya saling melengkapi satu sama lain dan tak dapat
dipisahkan. Ketiganya mempunyai tujuan yang saling melengkapi satu sama lain. Sebagai
rangkuman dapat dikatakan bahwa kebaikan dan keadilan yang kita tunjukkan kepada orang lain,
perlu diimbangi dengan sikap yang menghormati diri kita sendiri sebagai makhluk yang bernilai
pada dirinya sendiri. Kita mau berbaik kepada orang lain dan bertekad untuk bersikap adil, tetapi
tidak dengan membuang diri.

3.2 Saran
Perlunya ketiga prinsip moral dasar dalam kehidupan sehari-hari, karena menjadi
kekinian, dan sangat „up date‟ karena sangat menyentuh kehidupan setiap individusubjek di
dunia kini.

15
DAFTAR PUSTAKA

Etika, M. K. Tahap Perkembangan Kesadaran Moral Menurut Lawrence Kohlberg.

https://eprints.uny.ac.id/22863/1/Lap.pdf

Loho, A. M., & Diniafiat, D. (2020). Etika Upanisad Dan Prinsip Moral Dasar: Landasan
Tindakan Sosial. Paradigma: Jurnal Filsafat, Sains, Teknologi, dan Sosial
Budaya, 26(1), 38-47.

Merdeka.com. 2020. 12 Macam-Macam Etika Beserta Contohnya, Jaga Sikap dan Perbuatan.
Diakses pada 22 Maret 2022, dari https://today.line.me/id/v2/article/NRjKDG

16

Anda mungkin juga menyukai