Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PENYEDIAAN JAMBAN KELUARGA

DOSEN:
Abdul Rahim Sya’ban, SKM, M.Sc

DISUSUN OLEH KELOMPOK II:


1. Miranda (K202201007)
2. Sinta Fasardiani ( K202201010)
3. Niluh Melinda Putri (K202201018)
4. Dewi Sinta ( K202201029)
5. Wa Ode Sarnia (K202201031)
6. Wulan Sari (K202201043)
7. Siti Nuraeni (K202201039)
8. Ines Pramuswira Ilyas (K202201046)
9. Rusjianto Sena (K202201023)

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat-Nya
yang telah diberikan pada kami, sehingga makalah “Penyediaan Jamban Keluarga” Ini
dapat disusun dengan cermat dan dapat diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula,
dalam kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang
membantu penyusunan makalah ini dan terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen
fasilitator yang telah memberikan kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini agar
presentasi dapat dilakukan dengan optimal nantinya.

Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak jauh dari kesalahan
serta kekurangan, dan kami akan berusaha memperbaikinya untuk proses pembelajaran
kami.Dan tentunya, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar kami
dapat memperbaiki kekurangan dan dapat lebih baik dalam menyusun makalah
selanjutnya.

Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat
dimanfaatkan dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses
pembelajaran.

Kendari, Mei 2023

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA
PENGANTAR ..........................................................................................................i

DAFTAR ISI .......................................................................................................................ii

BAB I. PENDAHULUAN

1. Latar
Belakang ........................................................................................................1
2. Rumusan
Masalah ...................................................................................................2
3. Tujuan ………………………………………….………………………….
……...3
4. Manfaat .………………………….……………….……….…………..
………….3

BAB II. PEMBAHASAN

1. Pengertian jamban keluarga……………….……..


………………………………..7
2. Kerugian tidak memiliki jamban ………………….……….……………….
…......8
3. Kriteria jamban sehat ……………………………….…...……………...….…..…
9
4. Syarat membuat jamban sehat…………….……………………………………..10

BAB III. PENUTUP


1. Kesimpulan …....…………………………….…….…………………….
……....12
2. Saran.……….….……….….…….………………………………………………12

DAFTAR PUSTAKA …..……………………………….……………..


………………...13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan
pemerintah dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula
istilah itu dalam tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana
undang-undang(RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus,
WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi
di Indonesia.

Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak
disebutkan adanya istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah nomor 534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal
disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan komunal berupa jamban beserta MCK-
nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman untuk
RPIJM 2007disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga. Di
dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah
1998 dari Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan
atas yang antara lain terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll. tetapi tidak
termasuk bangunan bawahnya.

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional


Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas
pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di
dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 715/2003 tentang Persyaratan Hygiene
Sanitasi Jasa Boga disebutkan bahwa usaha jasa boga harus menyediakan WC Umum
dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.

Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional


nomor 24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya
fasilitas jamban yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar
dan/atau air kecil. Jamban harus mempunyai dinding, atap, dst. yang disediakan untuk
peserta didik pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah Standar Toilet umum
Indonesia dari Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang justru
tidak menyebutkan sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air
besar (WC) dan ruang buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup
pembuangan dan pengolahan limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat
(off-site). Tidak kalah menariknya adalah istilah tempat buang air besar (bukan jamban)
yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik di dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) guna mendapatkan informasi tentang kepemilikan dan kualitas fasilitas
BAB tersebut.

Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu
proses masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini
sangat menggambarkan ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya
pelayanan publik tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri.
Kepemilikan tempat buang air besar secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru
59,86%. Dari 59,86% itu pun yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di
dalam laporan tersebut tidak disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat
buang air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86% itu pun baru 49,13% yang memiliki
tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki
septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut Laporan Indonesian Sanitation Sector
Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa masyarakat Indonesia yang
masih melakukan buang air besar sembarangan masih lebih dari 40%. PBB pun
menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia yang tidak punya
akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja
menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk
itu tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian tentang jamban atau apapun tentang
kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas
tentang ini agar kerugian yang hingga Rp 56 triliun/tahun karena sanitasi yang buruk ini
dapat segera diselesaikan.

Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai


67,3%.Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat
bakteriologis.Sedangkan penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%.
Itulah sebabnya penyakit diare sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air
masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000
penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan
nomor 3 bagi bayi serta nomor5 bagi semua umur.

1.2. Tujuan

1. Dapat mengetahui konsep dasar jamban sehat


2. Untuk mengetahui kerugian tidak memiliki jamban
3. Untuk mengetahui kriteria jamban sehat
4. Untuk mengetahui syarat membuat jamban sehat

1.3. Rumusan Masalah

1. Apa itu jamban keluarga


2. Apa kerugian tidak memiliki jamban
3. Bagaimana kriteria jamban sehat
4. Apa syarat membuat jamban sehat

1.4. Manfaat
1. Kotoran tidak berserakan disembarang tempat sehingga tidak akan mengotori sumber
air bersih.

2.Lingkungan kita menjadi bersih, sehat dan bebas dari bau.

3. Mudah dan aman digunakan setiap saat.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Jamban Keluarga

Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk


tempat membuang dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim
disebut kakus atau WC, sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu
tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab atau penyebar penyakit dan
mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang dibuang dalam
praktek sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia
tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu
pengolahan kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan
pada dasarnya sama dengan syarat pembuangan air limbah (Depkes RI, 1985).

Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam
dokumen Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini
buang air besar disebut sebagai sanitasi yang antara lain meliputi jenis
pemakaian atau penggunaan tempat buang air besar, jenis kloset yang
digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan MDGs
2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas
tempat BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis
latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau
sarana pembuangan air limbah atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan
Joint Monitoring Program (JMP) WHO-UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam
empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproveddan open defecation.
Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan
kotorannya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya
tangki septik atau SPAL.

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada


penyebaran penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai
penularan ini harus dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut
berhasil, akses masyarakat pada jamban(sehat) harus mencapai 100% pada
seluruh komunitas. Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari
Buang Air Besar Sembarangan, pada tahap pasca ODF diharapkan akan
mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total.

Banyak orang menyindir, bahwa sementara di banyak negara masalah


sanitasi dan kesehatan lingkungan sudah berkutat pada upaya intens
menurunkan dan mengadaptasi dampak rumah kaca, sementara kita masih
sibuk mengurusi jamban. Akses pada sanitasi khususnya pada penggunaan
jamban sehat, saat ini memang masih menjadi masalah serius di banyak
negara berkembang, seperti Indonesia. Masih tingginya angka buang air besar
pada sebarang tempat atau open defecation, menjadi salah satu indikator
rendahnya akses ini.

Dampak serius yang ditimbulkan kondisi diatas sangat diyakini banyak


pihak, berpengaruh baik secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat.
Menurut studi yang dilakukan Wordl Bank, Indonesia kehilangan lebih dari
Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp265.000 per orang per tahun karena
sanitasi yang buruk. Dan sebagai akibat dari sanitasi yang buruk ini,
diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak 121.100 kejadian
dan mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya. Sebuah fakta
yang seharusnya mampu menyengat kita para pemerhati dan praktisi
kesehatan masyarakat.

2.2 Kerugian Tidak Memiliki Jamban

Dengan masih adanya masyarakat di suatu wilayah yang BAB


sembarangan, maka wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular
yang berbasis lingkungan diantaranya : Penyakit Cacingan, Cholera
(muntaber),Diare, Typus, Disentri, Paratypus,Polio, Hepatitis B, dan masih
banyak penyakit lainnya. Semakin besar presentasi yang BAB sembarangan
maka ancaman penyakit itu semakin tinggi intensitasnya. Keadaan ini sama
halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit pada
suatu waktu cepat atau lambat.

Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan


demikian wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut.
Dengan BAB di jamban banyak penyakit berbasis lingkungan yang dapat
dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Kalau membahas
soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana air besar untuk
menunjang keberlangsungan pemanfaatan jamban.

2.3 Kriteria Jamban Sehat


Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau syarat Sanitasi adalah
sebagai berikut :

1.Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti :


Kecoa, tikus, lalat dll.

2.Tidak menimbulkan bau

3.Kotoran ditempatkan di suatu tempat, tidak menyebar ke mana mana

4.Tidak mencemari sumber air bersih

5.Tidak mengganggu pemandangan/estetika

6. Aman digunakan .

Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat,
bisa lubang jamban atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan
kebutuhan atau jumlah pemakai. Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan
kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana pada leher angsa akan tergenang air untuk
mencegah bau yang timbul dari lubang jamban atau septic tank, dan mencegah
masuknya binatang binatang seperti lalat,kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi
syarat no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic tank
atau lobang resapan dibuat sejauh mungkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur
Galidsbnya, atau setidaknya tidak kurang dari 10meter jarak antara sumur dan lobang
jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5 dan 6 ,hendaknya jamban dibuat
dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun konstruksinya dibuat
sedemikian rupa agar kelihatan indah dan rapi.

Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya


membersihkan dan menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar
dari penyakit Demam Berdarah Dengue, siram kloset dengan air secukupnya setelah
digunakan, tidak membuang sampah, puntung rokok, pembalut wanita, air sabun,
lisol kedalam kloset.

2.4 Syarat Membuat Jamban Sehat


Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada
tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1.Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak
mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar
lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

a) Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter


b) Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari
lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
c) Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang,
danau, sungai, dan laut

2.Tidakemari tanah permukaan

a) Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,
dekat mata air, atau pinggir jalan.
b) Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau
dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

a) Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap
minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah
b) Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang
nyamuk.
c) Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi
sarang kecoa atau serangga lainnya
d) Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
e) Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup

4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

a) Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai
digunakan
b) Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup
rapat oleh air
c) Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk
membuang bau dari dalam lubang kotoran
d) Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus
dilakukan secara periodik

5. Aman digunakan oleh pemakainya

a) Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran
dengan pasangan batuan atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai
yang terdapat di daerah setempat

6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

a) Lantai jamban rata dan miring kearah saluran lubang kotoran


b) Jangan membuang plastik, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran
karena dapat menyumbat saluran
c) angan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan
cepat penuh
d) Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa
berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100

7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

a) Jamban harus berdinding dan berpintu


b) Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari
kehujanan dan kepanasan.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah
dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam
tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-
undang(RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet,
atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di
Indonesia. Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB
sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis
penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban.
Hanya saja harus diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak
menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.

3.2 Saran

1. Dalam satu Kepala Keluarga minimal harus memiliki satu Jamban di Rumah.

2.Dalam membuat jamban sebaiknya memperhatikan tempat pembangunan agar tidak


mencemari air atau tanah di permukaan.

3.Dalam membuat Jamban juga perlu di perhatikan ruangan yang mempunyai atap agar
tidak terkena hujan atau panas matahari.

DAFTAR PUSTAKA
Susmiatun, et al. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Komunitas. Jakarta : EGC

.http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-
jamban-sehat&catid=2:berita&Itemid=35

http://stbmindonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428

http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/

http://abahjack.com/jamban.html#more-463

Anda mungkin juga menyukai