Anda di halaman 1dari 25

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjat kan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
berkat dan rahmat-Nyalah sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Parasitologi Veteriner yang berjudul “Cestoda Pada Karnivora” .
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada mata
kuliah Parasitologi Veteriner. selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang “Cestoda Pada Karnivora” bagi para pembaca dan
juga penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibuk drh. Eliawardani, M.Si.
selaku dosen mata kuliah Parasitologi Veteriner yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang yang
saya tekuni.
Saya menyadari makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia
pendidikan.

Banda Aceh,
08 Mei 2023

Roliamy Saputri

i
2102101010174

DAFAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................2
1.3 tujuan ............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................4
2.1 Nomenklatur...................................................................................4
2.2 Morfologi.......................................................................................4
2.3 Siklus Hidup...................................................................................6
2.4 Patogenesa......................................................................................7
2.5 Gejala Klinis...................................................................................8
2.6 Diagnosa.........................................................................................11
2.7 Prognosa.........................................................................................16
2.8 Terapi.............................................................................................16
2.9 Preventive.......................................................................................17
2.10 Kerugian.........................................................................................17

BAB III PENUTUP.........................................................................................19


3.1 Kesimpulan.....................................................................................19
3.2 Saran...............................................................................................19

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................20
LAMPIRAN GAMBAR...........................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang

Beberapa parasit cestoda pada hewan ada yang bersifat zoonosis


dan salah satu diantaranya adalah genus Echinococcus. Echinococcus sp.
Adalah cacing kecil dengan panjang <1 cm yang siklus hidupnya
melibatkan dua jenis mamalia. Cacing dewasanya hidup dalam usus halus
hewan karnivora terutama pada anjing, sebagai induk semang
definitive/ISD, sedangkan pada stadium larvanya (hidratid) hidup dalam
tubuh hewan ungulate seperti domba, sapi, kuda, babi, dsb. sebagai host
intermediate. Echinococcus sp. Menghasilkan telur di usus dan akan
dikeluarkan bersama feses anjing sehing dapat mencemari tanah dan
rumput. Bila telur tersebut termakan oleh ISA, maka akan berkembang
dan membentuk kista yang menyerupai tumor dalam tubuh inangnya
terutama pada organ hati dan paru-paru.

Echinococcosis atau hidatidosis adalah penyakit akibat cacing pita


Echinococcus. Echinococcosis mempunyai empat spesies dari genus
Echinococcosis yang paling umum yaitu Echinococcus granulosus,
Echinococcus multicularis,, Echinococcus vogeli, dan Echinococcus
oligarthrus. Penyakit dari cestoda Echinococcosis mempunyai siklus
hidup yang melibatkan dua mamalia yaitu rubah sebagai pemangsa dan
tikus yang berperan sebagai prey. Penyakit Echinococcosis banyak
menyerang hewan liar dan merupakan penyakit zoonosis (Sandy, 2014).

Habitat cacing dewasa di usus halus hewan karnivora seperti anjing


dan kucing (hospes definitif). Larva hidatid hidup pada inang antara
(hospes perantara) hewan ungulata (domba, babi, kuda, sapi, dan kerbau).
Cacing dewasa menghasilkan telur di dalam usus dan akan dikeluarkan

iii
bersama fases sehingga mencemari tanah. Hospes perantara dapat
terinfeksi cacing ini karena termakan telur Echinoccocus spp. yang
mencemari rumput atau tanah. Manusia tertular secara insidental melalui
makanan yang tercemar telur Echinococcus spp infektif atau melalui
tangan yang tidak bersih pada saat makan.

Secara epidemiologi, Echinococcus granulosus ditemukan hampir


di seluruh daerah di dunia, dengan daerah endemik di Amerika bagian
selatan (Argentina, Brazil, Chili, Peru, Uruguay), Pantai Mediterania
(Bulgaria, Siprus, Prancis, Yunani, Italia, Portugal, Spanyol, Yugoslavia,
Rusia selatan) Asia barat daya (Irak, Turki, Iran), Afrika Utara (Aljazair,
Maroko, Tunisia), Australia, New Zealand, Kenya dan Uganda. Distribusi
geografis E. multilocularis ditemukan hanya di bumi bagian Utara yaitu
Eropa Timur, Turki, Irak, India Utara, Cina Tengah dan Jepang, Kanada,
Alaska, Amerika Utara (Montana sampai Ohio Tengah), Eropa bagian
kutub utara, Asia, daratan Amerika. Echinococcus oligarthrus dan E.
vogeli hanya terdapat di Amerika Selatan dan Amerika Tengah.

Pada akalah ini penulis akan menjelaskan tentang morfolgi Cestoda


Echinococcus serta bagaimana siklus shidupnya dan akan membahas
penyakit yang disebabkan oleh Echinococcus yaitu Echinococcocis serta
tindakan atau pengobatan yang akan dilakukan agar dapat mencegah
penularan dan mengobati penyakit tersebut.

1. 2 Rumusan Masalah

1. Apa itu Echinococcus?

2. Bagaimana siklus hidup Echinococcus?

3. Bagaimana patogenesa penyakit Echinococcocis?

4. Bagaimana gejala klinis hewan yang terserang Echinococcocis?

iv
5. Bagaimana cara mendiagnosa penyakit Echinococcocis?

6. Bagaimana cara penobatan penyakit Echinococcocis?

7. Bagaimana cara pencegahan penyakit Echinococcocis?

1. 3 Tujuan

1. Menjelaskan apa itu Echinococcus?

2. Menjelaskan siklus hidup Echinococcus?

3. Menjelaskan patogenesa penyakit Echinococcocis?

4. Menjelaskan gejala klinis hewan yang terserang Echinococcocis?

5. Menjelaskan cara mendiagnosa penyakit Echinococcocis?

6. Menjelaskan cara penobatan penyakit Echinococcocis?

7. Menjelaskan cara pencegahan penyakit Echinococcocis?

v
BAB II
PEBAHASAN

2. 1 Nomenklatur

Kingdom : Animalia

Filum : Plathyelminthes

Kelas : Cestoda

Ordo : Cyclophyllidae

Famili : Taeidae

Genus : Echinococcus

Spesies : Echinococcus granulosus, Echinococcus multicularis,


Echinococcus vogeli, dan Echinococcus oligarthrus

2. 2 Morfologi

a. Telur

vi
 Telur berbentuk bulat dan mirip dengan telur Taenia

 Terdiri dari lapisan oncospere dengan enam kaitan yang


dikelilingi oleh embrio

 Ukuran 30-37 mikro meter

 Dingdinya terdiri dari dua lapis dan bersilia

1) E. granulosus eggs

The eggs are spherical in shape and have a diameter of


about 40–30 μm and are similar in appearance to the eggs of
other tapeworms, containing a hexacanth or oncosphere embryo
because the embryo has sixth-hooks lets. The eggs are
surrounded by clear coatings [8] and the eggs contain a sticky
layer that adheres to the fur of animals and other things, which
helps them to spread, as well as insects such as flies, beetles, and
birds that play the role of mechanical carrier of eggs, in case of
optimal conditions, the eggs remain viable for weeks or months
in pastures and gardens as well as they remain viable with the
right humidity and moderate temperatures, and the eggs are
found in water and wet sand for 3 weeks at 30°C and 225 days at
6°C and 32 days at 10–21°C, also the eggs remain for a short

vii
time when exposed to sunlight and dry conditions and kill eggs
when exposed to 3.75% of sodium hypochlorite for 10 minutes
as well as killed when frozen at −70°C for 4 days or −80°C for
2 days or by heat larger from 60°C for 3 minutes (Al-Khalidi et
al.,2014).

b. Cacing dewasa

 Berukuran 2.5-9 mm

 Memiliki scolex berbentuk bulat dengan rostellum yang


menonjol dengan dua baris pengait yang terdiri dari 30
hingga 60 kait dan mempunyai empat batil hisap

 Neck mempunyai strobili pnek dan tebal

 Proglotid terdiri dari tiga buah, progltid immature yaitu


proglotid yang belum matang, proglotid mature yaitu
proglotid yangsudah matang dan lengkap serta ukurannya

viii
lebih panjang daripada proglotid immature, dan proglotid
gravid dengan uterus yang berada di tengah dengan 12 – 15
cabang yang melebar yang terdiri dari sekitar 500 telur

2. 3 Siklus hidup

Cacing Echinococcus dewasa yang hidup dalam lumen usus halus


anjing menghasilkan telur inektif yang kemudian akan keluar bersama
feses anjing mengenai tanah ataupun rumput disekitarannya. Rumput
yang sudah tercemar oleh feses yang mengandung telur tadi termakan
oleh hospes atau inang perantaranya yaitu kambing atau omba (bisa juga
babi, sapi, kuda, ataupun unta). Telur yang sudah termkan akan masuk ke
dalam organ pencernaan menuju usus halus, di usus halus telu kana
menetas dan aka melepaskan onkosfer yang kemudian akan beruaha
menembus dinding usus halus dan bermigrasi melalui sistem peredaram
darah ke berbagai organ dalam tubuh hewan tersebut terutama menuju
hati dan paru-paru. Onkosfer berkembang menjdi kista hidratid, kemudian
membesara secara bertahap dan menghasilkan protoscolices. Hospes
defenitis kemudian akan terinfeksi dengan menelan organ yang
mengandung kista hidratid, kemudian masuk ke organ pencernaan
menuju usus halus dan akn menempel pada mukosa usus, lalu akan
berkembang dan tumbuh menjdicacing dewasa dalam kurun waktu 32
hingga 80 hari. Cacing dewasa akan berkembang biak kembali dan akan
menghasilkan telur yang akan keluar bersama feses yang kemudian akan
melakukan siklus hidup kembali.

ix
2. 4 Patogenesa

Echinococcus dewasa yang hidup dalam usus kecil host definitive


(hewan karnivora) dan menghasilkan telur atau larva yang mengandung
oncisfer infektif. Segmen cestoda (proglotid) yag mengandung telur atau
telur dilepaskan secara bebas dari saluran usus halus menuju lingkungan
yang keluar bersama feses. Setelah telur termakan dan masuk melalui oral
oleh hewan yang berperan sebagai host intermediet kemudian menuju
saluran pencernaan berikutnya. Pada tahap larva, metacestoda akan
berkembang pada organ dalam tubuh. Metacestoda dewasa biasanya
banyak menghasilkan protoscolecess, san memiliku potensi masing-
masing untuk berkembang menjadi cestoda dewasa setelah dicerna oleh
host definitive yang tepat. Telur juga bisa tertelan oleh manusia secara
tidak sengaja sehingga host lain tidak ikut berperan dalan siklus alami ini.
Beberapa spectrum inang yang menyimpang dapat berupa host definitive
seperti anjing. Sedangkan infeksi pada hewan karnivora pada tahap usus
E. granulosus yang belum matang tidak menyebabkan morbiditas, invasi
pada berbagai organ teutma pada hati dan paru-paru dari host
intermediate atau menyimpang oleh metacestoda dapat menimbulkan
penyakit yang fatal (Echinococcocis).

2. 5 Gejala klinis

a. Definitive hosts

Echinococcus spp. tapeworms are usually carried


asymptomatically in their definitive hosts. Large numbers of
parasites may be able to cause enteritis and diarrhea, but this seems
to be rare; dogs and foxes can have thousands of tapeworms with no
clinical signs.

b. Intermediate hosts –cystic echinococcosis (Echinococcus granulosus


s. l.)

x
Clinical cases caused by E. granulosus s.l. have been reported
sporadically in diverse species including sheep, reindeer, nonhuman
primates, macropod marsupials (kangaroos, wallabies) and a cat, but
livestock are often slaughtered before the cysts become symptomatic.
If clinical signs are seen, they are those of a mass lesion and vary
with the organ affected. Most cysts occur in the liver or lungs. Cysts
in the liver can cause hepatic signs including abdominal distention
and discomfort/pain, ascites and jaundice, as well as nonspecific
signs such as poor growth, malaise or weakness. Cysts in the lungs
sometimes lead to respiratory signs including bronchopneumonia and
respiratory compromise. Cysts may be found occasionally at many
other sites such as the CNS, bone, heart or abdominal cavity, with
diverse signs including heart failure, abdominal distention or
lameness. Sudden death has been reported in some zoo animals
(Moro and schantz, 2009).

c. Intermediate hosts –cystic echinococcosis (Echinococcus granulosus


s. l.)

Clinical cases caused by E. granulosus s.l. have been reported


sporadically in diverse species including sheep, reindeer, nonhuman
primates, macropod marsupials (kangaroos, wallabies) and a cat, but
livestock are often slaughtered before the cysts become symptomatic.
If clinical signs are seen, they are those of a mass lesion and vary
with the organ affected. Most cysts occur in the liver or lungs. Cysts
in the liver can cause hepatic signs including abdominal distention
and discomfort/pain, ascites and jaundice, as well as nonspecific
signs such as poor growth, malaise or weakness. Cysts in the lungs
sometimes lead to respiratory signs including bronchopneumonia and
respiratory compromise. Cysts may be found occasionally at many
other sites such as the CNS, bone, heart or abdominal cavity, with
diverse signs including heart failure, abdominal distention or

xi
lameness. Sudden death has been reported in some zoo animals.

d. Intermediate hosts – polycystic echinococcosis (Echinococcus vogeli


and E. oligarthrus

At least two outbreaks caused by E. vogeli, one affecting nutrias


and the other in nonhuman primates, have been reported in zoos.
Orangutans (Pongo abelii) and gorillas (Gorilla gorilla) developed
severe clinical signs including abdominal distension, and a number of
animals died or had to be euthanized. E. vogeli does not seem to be
symptomatic in pacas, the natural host, unless the cysts become very
large. E. oligarthrus localizes in the internal organs, subcutaneous
tissues and muscles of its normal intermediate hosts. It has not been
documented in domestic animals.

e. Post Mortem Lesions

Tapeworms are found in the small intestine of the definitive host


but they are not usually accompanied by significant lesions. Adult E.
multilocularis are typically around 1-4 mm, E. oligarthrus
approximately 2-3 mm, E. granulosus 2-11 mm and E. vogeli 4-6
mm. Most species have five or fewer segments, but some individual
specimens may have up to seven. E. granulosus s.l. larvae usually
form individual fluidfilled cysts, surrounded by a fibrous wall, in
their intermediate hosts. Multilocular cysts have been reported
occasionally. The cysts are generally most common in the liver,
followed by the lungs and, less often, other organs or tissues
including the bones. They are usually around 1-7 cm in diameter, but
some can become much bigger. Some cysts may be calcified,
necrotic or infected. Early lesions appear as small white nodules and
are easily missed. Cysts that are not visible can sometimes be
detected by palpation or found when the target organs are incised.

xii
E. multilocularis usually develops initially in the liver, though
there are rare reports of single lesions at other sites (e.g., the
omentum, subcutaneous tissues). Disseminated disease can affect
many organs and tissues, particularly the lung and CNS. E.
multilocularis forms multilocular cysts with a semisolid matrix that
often infiltrates the tissues and can resemble a malignant tumor. The
mass may be firm and lobulated or contain viscous yellowish fluid,
and can have many scattered transparent or whitish cysts a few
millimeters to centimeters in diameter.. Large necrotic cavities are
sometimes present in its interior. Fibrosis is prominent in the lesions
of some (but not all) aberrant intermediate hosts such as dogs or
gorillas, but not the usual small mammal hosts. Damage to the liver
can result in various lesions including granulomatous inflammation,
icterus or signs of peritonitis. In pigs, which are relatively resistant to
this organism, E. multilocularis lesions may appear as sharply
demarcated, dense white foci, approximately 1-20 mm in diameter. In
their natural hosts, the cysts of E. vogeli and E. oligarthrus can occur
singly or as aggregates. E. vogeli lesions in aberrant intermediate
hosts can resemble E. multilocularis (Aiello et al., 2016).

2. 6 Diagnosa

a. Pemeriksaan hematologi darah

xiii
Dilakukan pemeriksaan hematolgi darah hewan dengan melihat
jumlah eosinofil dan dilihat presentase sel darah putih (eosinfil) pada
pemeriksaan ini. Eosinofilia sering berkisar antara 20-25% dari
jumlah leuosit pada kasus infeksi Echinococcus granulosus namun
tidak terlalu memiliki arti serius.

b. Serologi test

1) Tes serologi merupakan test yang sensitif untuk mendeteksi


antibodi di dalam serum pasien infeksi kista hidatid, sensitifitas
bervarisiantara 60% hingga 90%, tergantung karakteristik dari
kista hydatidnya. Sensitifitas ini dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu:

 Jenis organ tubuh yang terinfeksi Kista di dalam jaringan hati


lebih memberikan respon imunitas dibanding kista di paru-
paru. Kista memproduksi antigeni stimulasi dengan titer
rendah, namun jika hampir 5 sampai 10% kista di hati sudah
menimbulkan tes serologi positif, tetapi kista di paru-paru jika
hampir 50% masih menghasilkan tes serologi negative.

 Permukaan kista hidatid

 Permukaan yang kasar dari kista umumnya menentukan


titer antigen. Bentuk permukaan dan kerusakan pada
jaringan yang terinfeksi dapat meningkatkan antibodi.
Untuk mendapatkan hasil pemeriksaan serologi yang
lebih akurat digunakan kombinasi teknik pemeriksaan,
yaitu teknik EIA dan IHA yang biasanya digunakan
sebagai tes skrining untuk semua spesimen, kemudian
reaksi positif dikonfirmasikan dengan tes immunoblot

xiv
assay atau gel difusion assay yang menunjukkan hasil
echinococcal “Arc 5". Kekurangan dari tes ini yaitu
menghasilkan reaksi positif palsu sekitar 5% - 25% pada
penderita neurocysticercosis, sehingga secara klinis dan
presentase epidemiologi kasus pasien neurocysticercosis
sering terjadi kerancuan dengan kasus kista hidatid.
Namun untuk konfirmasi yang lebih spesifik atau reaktif
terhadap serum dapat dilakukan dengan teknik
imunoelektroforesis untuk mendeteksi diagnosa dan
membedakan di dalam serum secara elektroforesis.

 Respon antibodi dapat juga dimonitor untuk


mengevaluasi hasil dari terapi, tapi dengan hasil yang
bervarisi. Tergantung keberhasilan dari terapi misalnya
keberhasilan suatu pembedahan, maka titer antibodi juga
menurun dan bahkan hilang, namun titer akan naik lagi
jika kista sekunder berkembang. Tes untuk Arc 5 atau
antibodi IgE tampak mencerminkan kemerosotan
antibodi selama yang pertama 24 bulan setelah
pembedahan, sedangkan IHA dan test lain masih positif
paling tidak selama 4 tahun. Keberhasilan pembedahan
untuk mengeluarkan kista hidatid akan diikuti penurunan
titer antibodi sampai beberapa tahun setelah pembedahan
tapi hal ini memerlukan tes spesimen secara berkala.
Kemoterapi tidak mengikuti kemerosotan titer yang
konsisten di dalam serum. Sehingga manfaat dari
pemeriksaan serologi untuk memonitor perjalanan
penyakit terbatas yang juga tergantung dari kondisi
pasien.

2) Antibodi pasien terhadap Echinococcus granulosus yang terdapat


dalam serum dapat dideteksi dengan pemeriksaan serologi yang

xv
meliputi IHA (Indirect hemagglutination), IFA (indirect fluorescent
antibody), ELISA, CF, LA (latex aglutinasi), IE
(immunoelektoforesis) ID, dan Indirek hemaaglutination.

c. Tes Kulit (tes intradermal)

 Tes kulit atau tes intradermal berhubungan erat dengan tes serologi,
yaitu menggunakan antigen tes kulit Casoni yang merupakan antigen
yang bersal dari cairan kista hydatid, tes ini mempunyai banyak
keuntungan karena kesederhanaannya dan sebanding dengan tes
serologi, namun kelemahan tes kulit adalah kurang spesifik. Ini
dikarenakan tes kulit belum terstandarisasi secara baik sehingga
sering terlihat adanya kekurangan dari spesifitas dan sensitifitasnya.
TesCasoni merupakan salah satu cara untuk mengetahui pemaparan
dari penyakit hidatid namun kendala utamanya yaitu kurangnya
spesifitas. Pada pasien yang mengandung kista hyalin maupun kista
yang utuh, sentifitas diagnostiknya terbatas. Respon imun lebih
sering dideteksi pada pasien dengan kista hati dibanding kista paru-
paru.

 Tes kulit telah digunakan untuk penunjang pembuktian infeksi


secara tidak langsung, apabila tidak ada tes serologi diagnostik
yang tidak dapat dipercaya. Banyak dari tes kulit terutama
digunakan untuk kepentingan penelitian dan epidemiologi. Namun
banyak kasus, antigen yang digunakan sulit didapat dan tidak
terdapat di pasaran.

 Reaksi positif palsu juga pernah dilaporkan pada pasien nonparasit


dan penyakit parasit lainnya. Antigen casoni juga dapat
mensinsitisasi pasien sehingga memproduksi antibodi dan juga
pernah dilaporkan terjadinya reaksi anafilaktik.

d. Radiologi test

xvi
 Kista-kista asimptomatik ditemukan pada pemeriksaan radiologis.
Kista biasanya memiliki batas yang jelas dan terkadang terlihat
tanda batas cairan (fluid level). Pemeriksaan ini juga dapat
membantu diagnosis kelainan pada tulang. Scan juga juga dapat
menunjukkan lesi desak ruang (space occupying lesion) terutama
di dalam hati. Apabila kistanya besar dan lokasinya di abdomen,
kadang-kadang dapat dideteksi gelombangnya.

 X-ray dapat menunjukkan kista hidatid di dalam paru-paru dan


jantung. Kista yang tidak terkalsifikasi di tempat lain mungkin
terdeteksi pemindahan atau pembesaran organ dengan Ultrasound
dan CT scan, sehingga hasil dapat ditunjukkan kista pada hati,
otak, ginjal, atau jaringan lainnya. Kista yang terkalsifikasi dapat
ditemukan dimana saja. Namun kista di paru-paru jarang terjadi
kalsifikasi.

e. Pemerikssan Urin

Pemeriksaan urin dilakukan untuk memastikan adanya infeksi


hydatid yang menginfeksi ginjal, sehingga cairan kista akan
dikeluarkan juga melalui urin. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
menemukan hydatid sand pada urin.

f. Mikroskopik Jaringan

Pemeriksaan kista hidatid secara mikroskopik pada jaringan


diperiksa ketika pasien dengan adanya masa pada abdomen dan tidak
diketahui diagnosisnya secara pasti. Pemeriksaan ini dilakukan
dengan mengambil sampel dari pembedahan untuk mengambil
jaringan hati, tulang, paru-paru dan jaringan lainnya lalu dibuat
penampang melintang misalnya jaringan tulang lalu dibuat preparat
histologi jaringan dan diwarnai dengan hematoxilyn dan eosin.

xvii
g. Pemeriksaan sputum

 Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan adanyan infeksi


hydatid yang menginfeksi organ paru-paru. Sehingga
pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan hydatid sand pada
sputum.

 Apabila skoleks masih tetap utuh pada pemeriksaan


mikroskopik, maka dari cairan sentrifuge dijadikan sediaan
basah untuk memastikan diagnosis ditemukannya skoleks.
Apabila tidak ditemukan hydatid sand dan skoleks, diagnosis
dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan histologi dari dinding
kista pada jaringan.

2. 7 Prognosa

Penyembuha dapat dilakukan dengan melakukan pengobatan


jangka panjang serta mengurangi gejala-gejalanya peluang hidup bisa 10-
20 tahun dengan keberhasilan pengobatan 80%. Jika tidak dilakukan
pengobatan bisa berdampak fatal. Penyakit ini termasuk pada kategori
Dubius (50)%.

2. 8 Terapi

a. Bedah penghapusan kista hidatidosa

1) Efetif namun beresiko, tergantung pada lokasi organ yang


terserang, ukuran dan fase kista

2) Perlu dilakukan kemoterapi untuk mencegah terjadinya


recurrence

b. Kemoterapi Albendazole

1) Dengan dosis 10mg/kg BB setiap hari atau 2x400 mg/ selama 4

xviii
minggu dan pengobatan dilakukan selama 12x.

2) Sengn dosis tubuh sehari-hari berat 40mg/kg sebanyak 3xsehari


selama 3-6 bulan

c. PAIR pengobatan

1) Penusukan, injeksi, aspirasi, dan respirasi.

2) Menginjeksikan zat protoscolicidal nebjadi kista.

d. Pemberian obat-obatan

1) Arecoline hydrobromide peroral dengan dosis 1-2 mg/kg BB

2) Adecoline acetarsol peroral dengan dosis 1 mg/kg BB

3) Dichlorophen peroral dengan dosis 200 mg/kg BB

4) Yomesen peoral dengan dosis 50 mg/kg BB

e. Herbal (Tumbuh-tumbuhan)

Pengobatan echinococcosis yang efektif dapat dilakukan


dengan pembedahan dan mengonsumsi obat-obatan kimia,
disamping itu dapat juga dilakukan dengan pengobatan herbal
dengan cara rutin mengonsumsi jus sayuran mentah seperti jus
wortel, brokoli, lobak dan bawang. Sayuran-sayuran tersebut dapat
juga membantu pengobatan echinococcosis.

2. 9 Preventive

Pecegahan penyakit akibat larva (metasestoda) dapat dilakukan


dengan cara memutus siklus hidup Echinococcus spp melalui kontrol
hewan peliharaan, seperti mencegah anjing memakan bagian visera
hewan ungulate (Abusari et al., 2021). Pajanan telur Echinococcus spp
dari hewan liar ke bahan makanan sulit dicegah, diperlukan perilaku

xix
higienis dan keamanan bahan makanan. Sayuran dan buah-buahan
terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan telur Echinococcus spp. Area
perkebunan sayur atau buah dipagari untuk mencegah akses anjing atau
kucing buang feses. Biasakan mencuci tangan setelah memegang hewan
peliharaan, dari kebun, sebelum menyiapkan makanan, dan sebelum
makan.

2. 10 Kerugian

Banyak kerugian yag disebabkan oleh penyakit Echinococcocis,


baik itu kerugian ekonomi maupun kesehatan, kerugian ekonomi terjadi
pada ternak akibat terjadinya penurunan produksi, penurunan kondisi
badan ternak, kematian ternak dan pemusnahan bagian tubuh yang
mengandung kista di Rumah Potong Hewan. Di daerah endemik 50 %
anjing terinfeksi oleh cacing dewasa, dan dapat mencapai 90 % pada
domba dan sapi,100 % pada unta, serta sekitar 20% pada manusia.
(Pudjiatmoko, 2014). Echinococcosis merupakan zoonosis masih menjadi
problem kesehatan di beberapa negara endemik di dunia. Kasus cystic
echinococcosis (CS), alveolar echinococcosis (AV) dan polycystic
echinococcosis (PE) sering ditemukan pada manusia dan hewan ternak
sehingga dapat memiliki dampak social dan ekonomi (Abusari et al.,
2021).

xx
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpula

Cestoda adalah cacing yang berbentuk pipih seperti pita yang merupakan
endoparasit dan dikenal sebagai cacing pita. Cacing dalam kelas cestoda disebut
sebagai cacing pita, hal ini karena bentuk tubuh cacing tersebut yang panjang dan
pipih menyerupai pita. Cacing ini tidak mempunyai saluran pencernaan ataupun
pembuluh darah. Tubuhnya memanjang dan terbagi atas segmen-segmen yang
disebut proglotida dan segmen ini bila sudah dewasa akan berisi alat reproduksi
jantan dan betina. Infeksi cacing pita bisa disebut juga dengan Taeniasis. Ciri
Semua anggota cestoda memiliki struktur yang pipih dan tertutup oleh kutikula,
Cestoda juga disebut sebagai cacing pita karena bentuknya pipih panjang seperti
pita. Morfologi Umum Cestoda ukuran cacing dewasa pada Cestoda bervariasi
dari yang panjangnya hanya 40 mm sampai yang panjangnya 10-12 meter. Siklus
Hidup Umumcacing pita merupakan hermafrodit, mereka memiliki sistem
reproduksi baik jantan maupun betina dalam tubuh mereka. Sistem reproduksinya

xxi
terdiri dari satu testis atau banyak, cirrus, vas deferens dan vesikula seminalis
sebagai organ reproduksi jantan, dan ovarium lobed atau unlobed tunggal yang
menghubungkan saluran telur dan rahim sebagai organ reproduksi betina

3.2 Saran

Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penyusun


mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abusari, M., Nugroho, T. A. E. dan Datau, F. (2021). Prevalensi cestodiasis


saluran pencernaan pada kambing. Jambur Journal Of Animal Science,
4(1): 60-65.

Aiello, S. E., Moses, M. A. and Editors. (2016). Schinococcocis. Journal


Collage Of Veterinary Medicine, 6(1): 1-14.

Al-Khalidi, K. A. H., Al-Abodi, H. R., Jabbar, H. K. and Hmood, B. A. (2014).


Echinococcus granulosus. Journal Of Veterinery Medicine, 10(1): 1-13.

Moro, P. and Schantz, M. (2009). Echinococcocis: a review. International


Journal Of Infectious Disease, 13(1): 125-133.
Sandy, S. (2014). Kajian aspek epidemiologi Echinococcocis. Journal Of CDK, 264-
267.

xxii
LAMPIRAN GAMBAR

1. Kasus-kasus echinococcosis

xxiii
2.

cestoda Echinococcus

xxiv
3. Organ Normal

4.

Organ Terinfeksi

xxv

Anda mungkin juga menyukai