2. Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebutuhan oksigen menurut Tarwoto dan
Wartonah (2003) antara lain :
a. Faktor fisiologi
1) Menurunnya kapasitas peningakatan oksigen ( misal: anemia).
2) Menurunnya konsentrasi oksigen oksigen yang diinspirasi.
3) Hipovolemia mengakibatkan transpor oksigen terganggu akibat tekanan
darah menurun.
4) Meningkatnya metabolisme seperti adanya infeksi, demam, ibu hamil,
luka dan lain – lain.
5) Kondisi yang mempengaruhi pergerakan dinding dada (kehamilan,
obesitas).
b. Faktor perkembangan
1) Bayi prematur: kurangnya pembentukan surfaktan.
2) Bayi dan toddler: akibat adanya infeksi saluran nafas.
3) Anak usia sekolah dan remaja: resiko infeksi saluran pernafasan dan
merokok.
4) Dewasa muda dan pertengahan: akibat diet yang tidak sehat, kurang
aktivitas, dan stres.
5) Dewasa tua: adanya penuaan yang mengakibatkan kemungkinan
arteoriklerosis dan ekspansi paru menurun.
c. Faktor perilaku
1) Nutrisi: penurunan ekspansi paru pada obesitas.
2) Exerase: meningkatkan kebutuhan oksigen.
3) Merokok: nikotin menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah.
4) Substanse abuse dan nikotin: menyebabkan intake nutrisi/Fe menurun
mengakibatkan penurunan Hb, alkohol menyebabkan depresi pernafasan.
d. Faktor lingkungan
1) Tempat kerja ( polusi ).
2) Suhu lingkungan.
3) Ketinggian tempat dari permukaan laut.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan klien mengalami gangguan
oksigenasi menurut Asmadi (2008), yaitu: hiperventilasi, hipoventilasi,
deformitas tulang dan dinding dada, nyeri,cemas, penurunan energy, kelelahan,
kerusakan neuromuscular, kerusakan muskoloskeletal, kerusakan kognitif/
persepsi, obesitas, posisi tubuh, imaturitas neurologis kelelahan otot pernafasan
dan adanya perubahan membrane kapiler-alveoli.
3. Faktor predisposisi
Faktor presipitasi atau pencetus dari adanya gangguan oksigenasi yaitu :
a. Gangguan jantung, meliputi : ketidakseimbangan jantung meliputi
ketidakseimbangan konduksi, kerusakan fungsi valvular, hipoksia miokard,
kondisi-kondisi kardiomiopati, dan hipoksia jaringan perifer.
b. Kapasitas darah untuk membawa oksigen.
c. Faktor perkembangan. Pada bayi premature berisiko terkena penyakit
membrane hialin karena belum matur dalam menghasilkan surfaktan. Bayi dan
toddler berisiko mengalami infeksi saluran pernafasan akut. Pada dewasa,
mudah terpapar faktor risiko kardiopulmoner. System pernafasan dan jantung
mengalami perubahan fungsi pada usia tua / lansia.
d. Perilaku atau gaya hidup. Nutrisi mempengaruhi fungsi kardiopilmonar.
Obesitas yang berat menyebabkan penurunan ekspansi paru. Latihan fisik
meningkatkan aktivitas fisik metabolisme tubuh dan kebutuhan oksigen. Gaya
hidup perokok dikaitkan dengan sejumlah penyakit termasuk penyakit jantung,
PPOK, dan kanker paru (Potter&Perry, 2006).
6. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Fungsi Paru
Untuk mengetahui kemampuan paru dalam melakukan pertukaran gas secara
efisien.
b. Pemeriksaan Gas Darah Arteri
Untuk memberikan informasi tentang difusi gas melalui membrane kapiler
alveolar dan keadekuatan oksigenasi.
c. Oksimetri
Untuk mengukur saturasi oksigen kapiler
d. Pemeriksaan Sinar X Dada
Untuk pemeriksaan adanya cairan, massa, fraktur, dan proses-proses abnormal.
e. Bronkoskopi
Untuk memperoleh sampel biopsy dan cairan atau sampel sputum/benda asing
yang menghambat jalan nafas.
f. Endoskopi
Untuk melihat lokasi kerusakan dan adanya lesi.
g. Fluoroskopi
Untuk mengetahui mekanisme radiopulmonal, misal: kerja jantung dan
kontraksi paru.
h. Ct-Scan
Untuk mengintifikasi adanya massa abnormal.
7. Pathway oksigenasi
sebagai berikut :
a. Klien dengan kadar O2 arteri rendah dari hasil analisa gas darah
2. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan suplai oksigen
sekunder terhadap penurunan ventilasi alveolar sebagai akibat penyempitan
jalan napas.
b. Bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkospasme, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekret kental, penurunan
energi/kelemahan.
c. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan dispnea dan keterbatasan aliran
udara kronis
3. Intervensi Keperawatan
TTV normal (RR ; 12-20 kali/menit, N ; 60-100 kali/ menit , T ; 36,6oC - 37,2 oC ,
TD; 110-125/60-80 mmHg)
Bebas dari tanda-tanda distress pernafasan
Tidak ada sianosis dan dispnea (mampu mengeluarkan sputum, mampu bernafas dengan
mudah)
Intervensi (SIKI) Rasional
Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat Berguna dalam evaluasi derajat distres
penggunaan otot aksesori, nafas bibir, pernafasan dan kronisnya proses penyakit.
ketidakmampuan bicara/berbincang.
Auskultasi bunyi napas tiap 2-4 jam (pantau Bunyi nafas mungkin redup karena
penurunan dan bunyi tambahan), catat area penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
penurunan aliran udara dan/atau bunyi Adanya mengi mengindikasikan spasme
tambahan. bronkus atau tertahannya sekret.
Pantau hasil GDA dan nadi oksimetri. Mewaspadai penurunan PaO2 dan
peningkatan PaCO2 yang menandakan
ancaman pernapasan. PaCO2biasanya
meningkat (bronkitis, emfisema) dan
PaO2secara umum menurun, sehingga
hipoksia terjadi dengan derajat lebih kecil
atau lebih besar. Catatan :PaCO2“normal”
atau meningkat menandakan kegagalan
pernafasan yang akan datang selama asmatik.
Berikan O2 tambahan yang sesuai dengan Dapat memperbaiki atau memperbaiki atau
indikasi hasil GDA dan toleransi pasien. mencegah memburuknya hipoksia.
Kaji pasien untuk posisi yang nyaman Peninggian kepala tempat tidur
misalnya peninggian kepala tempat tidur, mempermudah fungsi pernafasan dengan
duduk pada sandaran tempat tidur. menggunakan gravitasi namun, pasien
dengan distres berat akan mencari posisi
yang paling mudah untuk bernafas. Sokongan
tangan/kaki dengan meja, bantal, dll
membantu menurunkan kelelemahan otot dan
dapat sebagai alat
Pertahankan polusi lingkungan minimum Pencetus tipe reaksi alergi pernafasan yang
misalnya debu, asap, dan bulu bantal yang dapat mentriger episode akut.
berhubungan dengan kondisi individu.
Dorong atau bantu latihan nafas abdomen Memberikan pasien beberapa cara untuk
atau bibir. mengatasi dan mengontrol dispnea dan
menurunkan jebakan udara.
Observasi karakteristik batuk misalnya Batuk dapat menetap tetapi tidak efektif,
menetap, batuk pendek, basah. Bantu khususnya bila pasien lansia, sakit akut, atau
tindakan untuk memperbaiki keefektifan kelemahan. Batuk paling efektif pada posisi
upaya batuk. duduk tinggi atau kepala di bawah setelah
perkusi dada.
Diagnosa (SDKI) 3: Pola napas tidak efektif berhubungan dengan dispnea dan
keterbatasan aliran udara kronis
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola napas tidak efektif dapat teratasi dengan kriteria
(SLKI) :
TTV normal (RR ; 12-20 kali/menit, N ; 60-100 kali/ menit , T ; 36,6oC - 37,2 oC , TD; 110-
125/60-80 mmHg)
Tidak ada dispnea
Perubahan kedalaman pernapasan menjadi normal
Tidak menggunakan otot bantu pernapasan
Tidak menggunakan pernapasan cuping hidung
Tidak adanya sianosis
Intervensi (SIKI) Rasional
Posisikan pasien untuk memaksimalkan Untuk mempermudah laju jalan nafas pasien
ventilasi : posisi fowler
Identifikasi pasien perlunya pemasangan Memenuhi kebutuhan oksigen pasien
alat jalan nafas buatan : nasal kanul atau
masker
Lakukan fisioterapi dada . Untuk melepaskan dan mengeluarkan sekret.
Auskultasi suara nafas, catat jika ada suara Untuk mengetahui adanya suara abnormal paru.
nafas tambahan.
Berikan bronkodilator sesuai. Untuk melebarkan bronkus agar jalan nafas
kembali normal.
Pertahankan jalan nafas yang paten Untuk memperlancar jalan masuknya udara.
Monitor aliran oksigen Untuk mengetahui aliran oksigen sesuai dengan
yang dibutuhkan
Observasi adanya tanda-tanda hipoventilasi. Untuk menghindari atau mencegah penurunan
frekunsi O2.
Monitor adanya kecemasan pasien terhadap Untuk melihat keadaan psikologis pasien.
oksigenasi
Identifikasi perubahan vital sign Untuk mengetahui penyebab dari perubahan vital
sign.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan aplikasi kebutuhan dasar
klien. Jakarta: Salemba Medika.