Anda di halaman 1dari 27

Bahan Seminar Proposal

Departemen Kimia

SINTESIS SELULOSA SULFAT DARI TANDAN KOSONG


KELAPA SAWIT MELALUI REAKSI SULFASI PADA
VARIASI MOL ASAM SULFAMAT : UREA
MENGGUNAKAN PELARUT DMSO

PROPOSAL

IRENE ANGGRIANI SITEPU


190802006

DEPARTEMEN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
SINTESIS SELULOSA SULFAT DARI TANDAN KOSONG
KELAPA SAWIT MELALUI REAKSI SULFASI PADA
VARIASI MOL ASAM SULFAMAT : UREA

MENGGUNAKAN PELARUT DMSO

DISUSUN OLEH:
IRENE ANGGRIANI SITEPU
NIM : 190802006

Diketahui/Disetujui Oleh
Departemen Kimia FMIPA USU
Ketua Prodi Pembimbing,

Dr. Sovia Lenny, S.Si., M.Si Dr. Indra Masmur, S.Si., M.Si
NIP : 197510182000032001 NIP: 197611052018041001

ii
A. Judul : SINTESIS SELULOSA SULFAT DARI
Penelitian TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT
MELALUI REAKSI SULFASI PADA
VARIASI MOL ASAM SULFAMAT :
UREA MENGGUNAKAN PELARUT
DMSO

B. Bidang Ilmu : Kimia Organik

C. Latar : Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) adalah


Belakang salah satu produk sampingan berupa padatan dari
industri pengolahan kelapa sawit. Usaha pemanfaatan
limbah kelapa sawit dapat dilakukan sebagai bentuk
optimalisasi pemanfaataan sumber daya lokal dan
untuk meminimalkan kerusakan lingkungan. Sebagai
limbah yang berlignoselulosa, tandan kosong kelapa
sawit (TKKS) memiliki kadar selulosa yang tinggi
yaitu, 67,88% hemiselulosa dan 38,76% alfa selulosa
dengan kadar serat sebanyak 72,67% dan kadar bukan
serat sebanyak 27,33% (Darnoko et al., 2002).

Salah satu bahan yang sangat penting dari


TKKS yang bisa dimanfaatkan menjadi produk lain
yang bernilai tinggi adalah selulosa. Selulosa adalah
senyawa organik yang paling banyak di alam dan
melimpah. Karena struktur bahan seluruh dunia
sebagian besar terdiri dari selulosa yang terdiri dari
atas suatu jaringan dan beberapa lapis serat. Selulosa
merupakan unsur utama penguat pada dinding sel
ditumbuhan yang mengandung serat-serat di
dalamnya, selulosa mengandung serat-serat yang
mempunyai kekuatan mekanik yang tinggi. Selulosa

1
yaitu suatu polimer yang mempunyai rantai lurus
terdiri dari unit-unit glukosa. Selulosa mempunyai
rumus empiris (C6H10O5) dan n berkisar dari 2000
sampai 3000 dan panjang rantainya berbeda-beda
tergantung dari jenis tumbuhan (Bahriar, 2015).

Selulosa dapat diproduksi secara masif dan


ramah lingkungan dengan biaya yang rendah dan
memiliki sedikit produk hasil samping Selulosa
memiliki beberapa sifat yang baik diantaranya seperti
keterbasahan yang sangat baik, porositas tinggi,
ringan, biodegradabilitas dan biokompatibilitas baik,
bahan berbasis selulosa akan memiliki aplikasi luas
dalam makanan tradisional, industri farmasi dan kimia,
misalnya, aditif makanan, pengental, eksipien farmasi,
pengemulsi dan film (Wu et al., 2019).

Untuk meningkatkan nilai gunanya peneliti


menggunakan sifat dasar pada kimia selulosa dimana
memiliki permukaan reaktif yang berasal dari gugus
hidroksil (Yakubu, 2011). Salah satu jenis turunan
selulosa yaitu selulosa sulfat yang cukup menjanjikan
karena dapat larut dalam air dan dapat diaplikasikan
pada bidang medis dan bioteknologi karena bersifat
biokompatibel dan biodegradable (Chen, 2013).

Selulosa sulfat dapat disintesis dengan proses


sulfasi langsung dimana selulosa alfa direaksikan
dengan H₂SO₄ sehingga menghasilkan bahan alfa
selulosa sulfat (Jumina et al., 2021). Selain dengan
asam sulfat, sulfur trioksida, dan asam klorosulfonat
banyak digunakan dalam reaksi sulfasi. Asam sulfamat
yang toksisitasnya rendah juga dapat menjadi agen
sulfasi dimana asam sulfamat merupakan padatan

2
kristalin yang stabil dan tidak higroskopis dan
keasamannya sebanding dengan asam sulfat. Sintesis
selulosa sulfat dengan asam sulfamat dengan adanya
urea yang berperan sebagai katalis basa menyebabkan
reaksi sulfasi lebih baik dan dengan pelarut DMF dan
DMSO sebagai media pelarut pada proses sulfasi
(Levdansky et al., 2014).

Levdansky et al (2014) telah melakukan


penelitian memodifikasi selulosa menjadi selulosa
sulfat dengan menggunakan asam sulfamat (3,40
gram) sebagai agen sulfasi dan urea (1,80 gram)
sebagai katalis basa serta DMF dan Diglym sebagai
media pelarut lalu di reflux selama 1 jam setelah
pelarut mendidih. Kemudian Levdansky pada tahun
2021 melakukan sulfasi pada arabinogalaktan dengan
asam sulfamat (1,5-3 gram) dan urea (2,4-4,9gram)
serta Dimetil sulfoksida (DMSO) sebagai media
pelarut.

Sirvio (2019) telah melakukan sulfasi pada


selulosa dengan menggunakan DES (Deep Eutectic
Solvent) campuran asam sulfamat sebagai agen sulfasi
dan urea sebagai katalis basa. Pembuatan DES dengan
mencampurkan asam sulfamat dengan urea pada suhu
80℃ dengan perbandingan rasio mol 1:2, 1:3, dan 1:4.
DES kemudian direaksikan dengan selulosa dan
direflux pada suhu 150℃ selama 1 jam. Hasil
penelitian ini menunjukkan optimasi sintesis selulosa
sulfat pada variasi perbandingan 1:2.

Berdasarkan latar belakang yang telah


dijabarkan dan adanya perbedaan pada penelitian
sebelumnya, maka peneliti tertarik untuk membuat

3
selulosa sulfat dengan menggunakan asam sulfamat
sebagai agen sulfasi dan urea sebagai katalis basa serta
dimetil sulfoksida (DMSO) sebagai pelarut yang
nantinya akan dianalisa dengan FTIR, SEM, PSA, dan
Uji kandungan sulfur untuk mengetahui nilai derajat
substitusi.

D. Permasalahan : 1. Bagaimana pembuatan selulosa sulfat dari tandan


kosong kelapa sawit melalui reaksi sulfasi
menggunakan rasio asam sulfamat terhadap urea
pada variasi mol 1:1, 1:2, dan 1:3?
2. Bagaimana pengaruh rasio asam sulfamat terhadap
urea pada variasi mol 1:1, 1:2, dan 1:3 pada
pembuatan selulosa sulfat dari tandan kosong
kelapa sawit melalui reaksi sulfasi?

E. Tujuan : 1. Untuk membuat selulosa sulfat dari tandan


Penelitian kosong kelapa sawit melalui reaksi sulfasi
menggunakan rasio asam sulfamat terhadap urea
pada variasi mol 1:1, 1:2, dan 1:3
2. Untuk mengetahui pengaruh rasio asam sulfamat
terhadap urea pada variasi mol 1:1, 1:2, dan 1:3
pada pembuatan selulosa sulfat dari tandan kosong
kelapa sawit melalui reaksi sulfasi

F. Manfaat : Penelitian ini diharapkan memberikan masukan dalam


Penelitian pembuatan selulosa sulfat melalui reaksi sulfasi
dengan pemanfaatan asam sulfamat sebagai agen
sulfasi dengan toksisitas rendah namun tingkat
keasaman yang kuat dan urea sebagai katalis basa serta
dimetil sulfoksida sebagai media pelarut.

4
G. Lokasi : Penelitian ini dilakukan di laboratorium Kimia
Penelitian Organik FMIPA-USU. Analisa spektrofotometer
Fourier Transform Infra Red (FT-IR) dan Analisa
Scanning Electron Microscopic (SEM) dilakukan di
Laboratorium Terpadu UNILA (Universitas Negeri
Lampung). Analisa Particle Size Analyzer (PSA)
dilakukan di Laboratorium Farmasi USU. Analisa
untuk kandungan Sulfur untuk mengetahui nilai derajat
substutusi di Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS)
Medan.
H. Metodologi : Penelitian ini bersifat eksperimen laboratorium dan
Penelitian sebagai objek penelitian adalah tandan kosong kelapa
sawit. Dimana diawali dengan preparasi sampel
kemudian diisolasi untuk mendapatkan α-selulosa.
Lalu selulosa disulfasi dengan cara membuat DES
(Deep Eutectic Solvent) dengan mencampurkan asam
sulfamat dengan urea pada rasio mol 1:1, 1:2, 1:3 pada
suhu 80℃, kemudian campuran DES direaksikan
dengan selulosa yang telah dilarutkan dengan media
pelarut Dimetil sulfoksida (DMSO) dengan cara
direflux pada suhu 150℃ selama 1 jam, kemudian
dicuci dengan menggunakan etanol 96% sampai pH
netral kemudian endapan disaring dan dikeringkan
pada suhu 30℃. Kemudian selulosa sulfat yang
diperoleh dikarakterisasi menggunakan
spektrofotometer FT-IR (Fourier Transform-Infra
Red), Kandungan sulfur, PSA (Particle Size Analyzer)
dan SEM (Scanning Electron Microscopic).
Berdasarkan kandungan sulfur dari selulosa sulfat
dapat ditentukan derajat subtitusinya untuk
mengetahui optimasi variasi mol asam sulfamat
terhadap urea.

5
I. TinjauanPustaka : I.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit
Klasifikasi pohon kelapa sawit berdasarkan
taksonomi tanaman adalah :
Kerajaan : Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Familia : Arecacae
Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis

Gambar 1.1 Buah Kelapa Sawit

Perkebunan sawit di Indonesia sangat pesat,


pada tahun 1970an luas perkebunan kelapa sawit
hanya sekitar 130 ribu hektar, meningkat menjadi
sekitar 11.5 juta hektar pada tahun 2017. Peningkatan
tersebut hampir 20% per tahun, suatu peningkatan
jumlah yang sangat luar biasa. Perluasan areal yang
sangat pesat tersebut menyebabkan pilihan lahan
semakin terbatas ke wilayah yang tingkat
kesuburannya semakin rendah dengan tingkat
produktivitas yang menurun. Kelapa sawit dapat
menghasilkan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil
CPO) 3-4 ton per hektar per tahun. Produktivitas
tersebut 5 sampai 7 kali lipat dibanding komoditi

6
penghasil minyak nabati lainnya (Sudrajat, 2020).

Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada


tahun 2020 menunjukkan bahwa luas areal perkebunan
kelapa sawit mencapai 16,8 juta hektar yang tersebar
di 22 propinsi dengan produksi kelapa sawit sebesar
31.070.000 ton per tahun. Sebanyak 25-26% dari total
produksi kelapa sawit tersebut merupakan tandan
kosong yang menjadi produk samping. Baru sebanyak
10% dari TKKS tersebut yang sudah dimanfaatkan
untuk bahan bakar boiler maupun kompos, dan sisanya
masih menjadi limbah (Dewanti, 2018).

TKKS (Tandan Kosong Kelapa Sawit) di


Indonesia adalah limbah pabrik kelapa sawit yang
jumlahnya sangat melimpah. Pengolahan/pemanfaatan
TKKS oleh PKS masih sangat terbatas. Sebagian besar
pabrik kelapa sawit (PKS) di Indonesia masih
membakar TKKS dalam incinerator, meskipun cara
ini sudah dilarang oleh pemerintah. Tandan kosong
kelapa sawit merupakan limbah terbesar yang
dihasilkan oleh perkebunan kelapa sawit. Jumlah
tandan kosong mencapai 30-35 % dari berat tandan
buah segar setiap pemanenan. Namun hingga saat ini,
pemanfaatan limbah tandan kosong kelapa sawit
belum digunakan secara optimal (Hambali, 2007).

Komposisi zat penyusun TKKS dapat dilihat


pada tabel berikut:

Tabel I.1 Komposisi Tandan Kosong Kelapa Sawit

Komposisi Kadar (%)

Selulosa 45,95%

7
Hemiselulosa 22,48%
Lignin 16,49%
Minyak 2,41%
Abu 1,23%

(Sumber : Udi et al., 2016)

Tandan kosong kelapa sawit yang merupakan


limbah namun memiliki kualitas tinggi dapat
dimanfaatkan sebagai bahan organik. Salah satu
manfaatnya adalah sebagai sumber selulosa.

Gambar I.2 Tandan Kosong Kelapa Sawit

I.2 Selulosa
Selulosa adalah polimer glukosa yang
membentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan
β-1,4 glikosidik. Struktur yang linier menyebabkan
selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut.
Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia
maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa
berasosiasi dengan polisakarida lain seperti
hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama
dinding sel tumbuhan. Rantai selulosa terdiri dari
satuan glukosa anhidrida yang saling berikatan melalui
atom karbon pertama dan keempat. Ikatan yang terjadi
adalah ikatan ß-1,4-glikosidik (Osvaldo, 2012).

8
Dilihat dari strukturnya dikarenakan banyaknya
kandungan gugus hidroksi yang dapat membentuk
ikatan hidrogen dengan air. Diharapkan selulosa
memiliki atau mempunyai kelarutan yang besar dalam
air atau interaksi yang tinggi antara pelarut, akan tetapi
kenyataannya tidak demikian. Dimana selulosa tidak
larut dalam air melainkan juga dalam pelarut lain
(Cowd, 1991).

Gambar I.3 Struktur Selulosa

Menurut Sumada et al (2011) berdasarkan


derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam
senyawa natrium hidroksida (NaOH) 17,5%, selulosa
dapat dibagi tiga jenis, yaitu:
1. Selulosa α (Alpha cellulose) adalah selulosa
berantai panjang, tidak larut dalam larutan natrium
hidroksida 17,5% atau larutan basa kuat dengan
DP (Derajat Polimerisasi) 600-15000. Alfa
selulosa dipakai sebagai penduga dan atau penentu
tingkat kemurnian selulosa. Selulosa dengan
derajat kemurnian α > 92% memenuhi syarat untuk
bahan baku utama pembuatan propelan atau bahan
peledak. Sedangkan selulosa ikatan di bawahnya
digunakan sebagai bahan baku pada industry kertas
dan industri kain (serat rayon). Semakin tinggi
kadar alfa selulosa, maka semakin baik mutu
bahannya.

9
2. Selulosa β (Beta cellulose) adalah selulosa berantai
pendek, larut dalam larutan natrium hidroksida
17,5% atau basa kuat dengan DP (Derajat
Polimerisasi) 15-90, dapat mengendap bila
dinetralkan.

3. Selulosa γ (Gamma cellulose) adalah selulosa


berantai pendek, larut dalam larutan natrium
hidroksida 17,5% atau basa kuat dan tidak
mengendap jika dinetralkan memiliki DP (Derajat
Polimerisasi) nya kurang dari 15, kandungan
utamanya adalah hemiselulosa.

I.3 Selulosa Sulfat


Selulosa sulfat (CS) adalah turunan dari
selulosa dengan gugus hidroksil ( posisi 2, 3 dan 6 )
yang disubstitusi oleh gugus sulfat sebagian atau
seluruhnya. Selulosa sulfat merupakan jenis turunan
selulosa yang cukup menjanjikan karena dapat larut
dalam air dan dapat diaplikasikan pada bidang medis
dan bioteknologi karena bersifat biokompatibel dan
biodegradable (Chen, 2013).

OSO3-
OH

O HO O
O
O
HO
OH
OSO3-

Gambar I.4 Struktur Selulosa sulfat

Selulosa sulfat dapat disintesis dengan proses


sulfasi langsung dimana selulosa alfa direaksikan
dengan H₂SO₄ sehingga menghasilkan bahan selulosa
sulfat (Jumina et al., 2021). Selulosa sulfat yang
dihasilkan memiliki sifat fisik dan kimia yang sangat

10
berbeda dari selulosa asli dan larut dalam berbagai
pelarut. Selulosa sulfat memiliki kelarutan dalam air
yang sangat baik pada tingkat derajat substitusi (DS)
serendah 0,25. Ini adalah tingkat DS terbaik di mana
tingkat kelarutan selulosa dalam air yang dicapai oleh
setiap turunan selulosa (Bhatt et al., 2008).

Selain dengan asam sulfat, selulosa sulfat dapat


dibuat dengan mereaksikan selulosa dengan agen
sulfasi seperti sulfur trioksida, asam klorosulfonat dan
juga dengan asam sulfamat yang merupakan padatan
kristalin yang stabil dan tidak higroskopis serta
keasamannya sebanding dengan asam sulfat.

I.4 Sulfasi
Sulfasi ialah reaksi yang melibatkan
pembentukan ikatan karbon-oksigen-sulfat. Ikatan
yang dihasilkan tidak stabil pada hidrolisis, kecuali
jika dinetralkan (Tobing, S., 2018). Menurut Gustian
(2016), sulfasi ialah proses penambahan gugus SO₃
pada suatu molekul senyawa organik melalui
hubungan antara sulfur dan karbon melalui suatu
jembatan oksigen.

Gambar I.5 Gugus fungsi sulfat


Sumber: Ortega, J., 2017

Proses sulfasi melibatkan penggabungan


molekul SO₃H ke atom oksigen dalam molekul

11
organik untuk membentuk ikatan C−OS dan gugus
sulfat. Meskipun proses sulfasi dan sulfonasi
digunakan secara industri untuk memperoleh berbagai
macam produk seperti pewarna rambut, pestisida, dan
zat antara organik, tetapi aplikasi utamanya adalah
memproduksi surfaktan anionik (Foster, 2004 dalam
Ortega, 2017).

Sulfasi oleh asam sulfamat telah digunakan


dalam pembuatan deterjen dari dodesil, oleil, dan
alkohol yang lebih tinggi lainnya. Ini juga digunakan
dalam sulfat fenol dan produk kondensasi fenol-etilen
oksida. Sekunder alkohol bereaksi dengan adanya
katalis amida, misalnya asetamida atau urea
(Yoshikubo, K dan Suzuki, M., 2000).

Dibandingkan dengan zat sulfasi lain seperti


asam sulfat, sulfasi dengan asam sulfamat tidak
memerlukan langkah netralisasi tambahan setelah
reaksi, karena garam amonium dari asam sulfonat
dihasilkan langsung setelah reaksi (Sirvio, 2018)

I.5 Deep Eutectic Solvent (DES)


Deep Eutectic Solvent (DES) adalah jenis kelas
campuran baru, yang memiliki titik leleh jauh lebih
rendah dari pada konstituen murninya. Bahan-bahan
ini menjanjikan untuk digunakan sebagai pelarut
dengan sifat fisikokimia yang terkontrol. DES
merupakan campuran dari dua atau lebih senyawa
yang secara konvensional berbentuk padat pada suhu
kamar, tetapi membentuk larutan cair jika
digabungkan dalam rasio molar tertentu yaitu, titik
leleh campuran tersebut menurun karena interaksi
antar molekul. Campuran ini biasanya dicirikan oleh

12
tekanan uap yang rendah dan akibatnya volatilitas
yang rendah (Kazachenko et al., 2021).
Potensi DES untuk digunakan sebagai pelarut
dan reagen baru untuk konversi biomassa menjadi
bahan kimia yang berharga telah terbukti. Pelarut
tersebut multifungsi dalam pelarutan, ekstraksi, dan
pembuatan produk bernilai tambah dari bahan
lignoselulosa. Arah yang menarik dan penting dalam
pemrosesan biomassa dengan DES adalah produksi
turunan tersulfasi dari polimer alami. Pelarut eutektik
dalam campuran asam sulfat-urea telah diselidiki
secara intensif dalam beberapa tahun terakhir sebagai
agen untuk mensulfasi bahan alami sebagai alternatif
dari kompleks beracun sulfur trioksida dengan basa
organik (Kazachenko et al., 2022).

I.6 Asam Sulfamat ( H₂NSO₃H)


Asam sulfamat adalah asam kering yang
memiliki kristal ortorombik. Kristal murni tidak
mudah menguap, tidak higroskopis, tidak berwarna,
dan tidak berbau. Asam ini sangat stabil hingga titik
lelehnya dan dapat disimpan selama bertahun-tahun.
Asam sulfamat adalah asam yang relatif kuat, laju
korosi rendah dibandingkan dengan asam lainnya
(Yoshikubo, K dan Suzuki, M., 2000).

Pada pemanasan asam sulfamat akan bereaksi


dengan alkohol untuk membentuk organosulfat yang
sesuai. Ini lebih mahal dari pada reagen lain untuk
melakukan ini, seperti asam klorosulfonat atau oleum,
tetapi juga jauh lebih ringan dan tidak akan
mensulfonasi cincin aromatik. Reaksi tersebut dapat
dikatalisis oleh adanya urea. Tanpa adanya katalis,

13
asam sulfamat tidak akan bereaksi dengan alkohol
pada suhu di bawah 100°C.

ROH + H₂NSO₃H → ROSO₃¯+ 𝑁𝐻4+

I.7 Dimetil sulfoksida ((CH₃)₂SO)


DMSO (dimetil sulfoksida) adalah suatu pelarut
polar aprotik dan kurang toksik dibandingkan anggota
lain dari kelas ini, seperti dimetilformamida dan
HMPA. DMSO sering digunakan sebagai pelarut
untuk reaksi kimia yang melibatkan garam, terutama
reaksi Finkelstein dan substitusi nukleofilik lainnya.
Hal ini juga banyak digunakan sebagai ekstraktan
dalam biokimia dan biologi sel. Karena DMSO
hanyalah asam lemah, DMSO mentolerir basa yang
relatif kuat dan dengan demikian telah banyak
digunakan dalam studi karbanion. Serangkaian nilai
pKa non-berair (keasaman C-H, O-H, S-H dan N-H)
bagi ribuan senyawa organik telah ditentukan dalam
larutan DMSO.

Dalam bentuk terdeuterasi (DMSO-d6)


merupakan pelarut yang berguna dalam spektroskopi
NMR, kembali karena kemampuannya untuk
melarutkan berbagai analit, kesederhanaan
spektrumnya sendiri, dan kesesuaian untuk studi
spektroskopi NMR suhu tinggi. Kekurangan
penggunaan DMSO adalah viskositasnya yang tinggi.

I.8 FT-IR (Fourier Transform Infra Red)


Spektroskopi IR digunakan untuk
mengidentifikasi gugus fungsi, pemakaian
Spektroskopi IR sudah banyak digunakan untuk
identifikasi senyawa-senyawa organik. Prinsip

14
spektroskopi IR didasarkan pada prinsip interaksi
antara tingkat energi getaran. Vibrasi atau getaran
yang diberikan dalam molekul dengan mengadsorpsi
radiasi gelombang elektromagnetik IR (Bresnick,
2003). Spektoskopi IR merupakan alat penelitian
matang yang telah dinikmati dalam beberapa tahun
terakhir dikarenakan pengenalan teknik ini telah
ditingatkan dengan analisi oleh penyimpanan data
bantuan computer (Puviarasan, 2002).

Keanekaragaman penyerapan energi dapat


dipengaruhi oleh perubahan momen dipol. Penyerapan
energi lemah ketika ikatan bersifat nonpolar contohnya
ikatan C-C atau ikatan C-H, sedangkan absorpsinya
lebih kuat ketika ikatannya bersifat polar contohnya
seperti ikatan N-H, O-H dan juga ikatan C=O. Ikatan
dari molekul dapat mengalami vibrasi (bergetar) pada
tempatnya. Dan vibrasi terdapat dua tipe diantaranya
yaitu renggangan (stretching) dan vibrasi bengkok
(bending). Vibrasi bengkok terjadi pembesaran atau
pengecilan sudut ikatan sedangkan vibrasi renggangan
terjadi perpanjangan atau perpendekatan ikatan.
Penyerapan ikatan suatu molekul dapat menyerap
lebih dari satu panjang gelombang dimana tergantung
dari frekuensi penyerapan energi (Supratman, 2006).

I.9 SEM (Scannning Electron Microscopy)

SEM (Scannning Electron Microscopy) adalah


teknik yang sangat penting dan banyak digunakan di
seluruh komunitas ilmiah dan teknologi. Mikroskop
elektron atau pemindaian modern mampu mencitrakan
detail orde antara interaksi elektron. Munculnya SEM
memanfaatkan pembentukan gambar sekaligus

15
meyediakan stabilitasi muatan untuk spesimen secara
elektrik. Prinsip yang mendasari SEM adalah elektron
dan dalam SEM, digunakan sinyal elektron. Gambar
dibentuk sebagai hasil SEM dan varisasi intensitas
sinyal elektron yang dikumpulkan berupa elektron
beam dan dengan scan (Stokes, 2008).

Struktur morfologi film dianalisis menggunakan


SEM, sampel dipotong dengan ukuran yang kecil dan
diletakkan pada karbon tape. Hasil analisa SEM juga
memperlihatkan penyebaran partikel pengisi pada
matriks sehingga dapat diketahui distribusi partikel
pengisi pada matriks tersebar dengan merata atau tidak
(Ardiyansyah, 2011).

Pada dasarnya SEM dibagi menjadi dua jenis


yaitu SEM konvensional dan SEM lingkungan. Dalam
SEM konvensional interaksi berkas elektron dengan
spesimen terjadi dalam vakum tinggi yaitu 10-6 torr
dimana toor merupakan satuan ukuran tekanan,
dengan demikian elektron sekunder berenergi rendah
akan dipancarkan dari sampel dengan minimum
tumbukan molekul gas didalam ruangan sedangkan
tipe SEM lingkungan ini interaksi antara berkas
elektron dan spesimen terjadi pada tekanan tinggi hal
ini memiliki efek positif dan negatif (Mohammed,
2018).

I.10 PSA (Particle Size Analizer)

PSA (Particle Size Analizer) dapat menganalisis


suatu sampel yang bertujuan menentukan ukuran
partikel dan distribusinya dari sampel representative.
Distribusi ukuran partikel dapat diketahui melalui
gambar yang dihasilkan. Ukuran tersebut dinyatakan

16
dalam jari-jari untuk partikel yang berbentuk bola.
Penentuan ukuran dan distribusi partikel menggunakan
PSA dapat dilakukan dengan :
a. Difraksi sinar laser untuk partikel dari ukuran
submicron sampai dengan milimeter.
b. Coulter principle untuk mengkur dan menghitung
partikel yang berukuran micron sampai dengan
milimeter.
c. Penghamburan sinar untuk mengukur partikel yang
berukuran micron sampai dengan nanometer
(Eztler, 2004).

I.11 Penentuan Derajat Substitusi

Tujuan analisis unsur pada selulosa sulfat yaitu


untuk menentukan kandungan sulfur disetiap
monomer selulosa untuk mengetahui nilai Derajat
Substitusi. Derajat Substitusi dapat dihitung
menggunakan persamaan :

𝑆 × 162,15
DS = 3206 − (𝑆 × 97,10)

Dimana S adalah kandungan sulfur sebesar


162.15 mmol/g dari berat molekul unit anhidroglukosa
dan 97.10 mmol/g adalah berat molekul gugus
amonium sulfat (Sirvio et al., 2019).

Selulosa sulfat memiliki kelarutan dalam air


yang sangat baik pada tingkat derajat substitusi (DS)
serendah 0,25. Ini adalah tingkat DS terbaik di mana
tingkat kelarutan selulosa dalam air yang dicapai oleh
setiap turunan selulosa (Bhatt et al., 2008).

17
J. Prosedur : J.1 Pembuatan Pereaksi
Penelitian
J.1.1 Pembuatan HNO₃ 3,5%

Dipipet HNO₃ 65% sebanyak 53,8 mL,


kemudian diencerkan dengan aquadest dalam labu
takar 1000 mL hingga garis batas atas, dihomogenkan.

J.1.2 Pembuatan Larutan NaOH 2%

Ditimbang NaOH pellet sebanyak 20 gram,


kemudian dilarutkan dengan aquadest dalam labu takar
1000 mL hingga garis batas atas, dihomogenkan.

J.1.3 Pembuatan Larutan Na₂SO₃ 2%

Ditimbang Na2SO₃ sebanyak 10 gram dan


dilarutkan dengan aquadest dalam labu takar 500 mL
hingga garis batas atas, dihomogenkan.

J.1.4 Pembuatan Larutan NaOCL 1,75%

Dipipet NaOCl 12,5% sebanyak 70 mL,


kemudian diencerkan dengan aquadest dalam labu
takar 500 mL hingga garis batas atas, dihomogenkan.

J.1.5 Pembuatan Larutan NaOH 17,5%

Ditimbang NaOH pellet sebanyak 87,5 gram,


kemudian dilarutkan dengan aquadest dalam labu takar
500mL hingga garis batas atas, dihomogenkan.

J.1.6 Pembuatan Larutan H₂O₂ 10%

Dipipet H2O2 30% sebanyak 167 mL, kemudian


diencerkan dengan aquadest dalam labu takar 500
mL hingga garis batas atas, dihomogenkan.

18
J.2 Preparasi Sampel

Tandan kosong kelapa sawit yang telah diambil


dicuci dengan air bersih. Tandan kosong kelapa sawit
kemudian dipotong-potong dengan ukuran ± 3 cm.
Dikeringkan pada suhu kamar ± 7 hari. Kemudian
diblender menjadi serbuk lalu ditimbang.

J.3 Isolasi Selulosa Dari Tandan Kosong Kelapa


Sawit

Sebanyak 75 gram tandan kosong kelapa sawit


yang sudah dihaluskan dimasukkan kedalam beaker
glass 5 L. Kemudian ditambahkan 2 L campuran
HNO3 3,5%, lalu dipanaskan di atas hotplate pada
suhu 900C sambil diaduk dengan stirrer selama 2 jam,
dan ditutup dengan aluminium foil. Kemudian disaring
dan dicuci dengan aquadest hingga filtrat netral.
Kemudian residunya dimasukkan kedalam beaker
glass 2000 ml, ditambahkan dengan 1 L larutan yang
mengandung NaOH 2% dan larutan Na₂SO₃ 2% dan
dipanaskan di atas hotplate pada suhu 500C sambil
diaduk dengan stirrer selama 1 jam, kemudian disaring
dan dicuci dengan aquadest hingga filtrat netral.
Selanjutnya residunya dimasukkan kedalam beaker
glass 2000 ml, ditambahkan 500 ml larutan NaOCl
1,75% dan dipanaskan di atas hotplate pada suhu 700C
sambil diaduk dengan stirrer selama 30 menit,
kemudian disaring dan dicuci dengan aquadest hingga
filtrat netral. Kemudian residunya dimasukkan
kedalam beaker glass 2000 ml, ditambahkan 500 ml
larutan NaOH 17,5% dan dipanaskan di atas hotplate
pada suhu 800C sambil diaduk dengan stirrer selama

19
30 menit, kemudian disaring dan dicuci dengan
aquadest hingga filtrat netral. Kemudian residunya
dimasukkan ke dalam gelas beaker 2000 ml,
ditambahkan 500 ml larutan H2O2 10% dan
dipanaskan diatas hotplate pada suhu 60oC sambil
diaduk dengan stirrer selama 15 menit. Lalu disaring
dan dicuci dengan aquadest hingga filtrat netral dan
dikeringkan pada suhu 60oC di dalam oven. Kemudian
disimpan dalam desikator. Selanjutnya dikarakterisasi
dengan analisa FT-IR (Fourier Transform Infra Red),
SEM (Scanning Electron Microscopy), dan PSA
(Particle Size Analyzer).

J.4 Sintesis Selulosa Sulfat

Sebanyak 1,62 gram selulosa dari tandan


kosong kelapa sawit dimasukkan ke dalam labu leher
3, ditambahkan 30 ml dimetil sufoksida, direflux pada
suhu 75℃ selama 45 menit. Dicampurkan 3 gram
asam sulfamat dan 1,86 gram urea untuk membentuk
DES (Deep Eutectic Solvent) di dalam cawan
kemudian dileburkan di dalam oven pada suhu 80℃.
Dimasukkan leburan DES kedalam campuran selulosa
dan dimetil sulfoksida, direfluks pada suhu 150℃
selama 2 jam. Didinginkan campuran sampai
terbentuk endapan, kemudian didekantasi filtrat dari
endapan, diukur pH endapan dan dicuci hingga pH = 7
dengan etanol 96% sebanyak 100 ml sebanyak 3 kali.
Disaring dengan kertas saring whattman no.42.
Dikeringkan hasil pada suhu 30℃ selama 2 jam, diuji
kelarutannya di dalam air dan disimpan di dalam
desikator. Hasil yang diperoleh dikarakterisasi dengan
FT – IR, SEM, PSA dan diuji kandungan sulfur untuk

20
mengetahui derajat substitusi. Dilakukan prosedur
yang sama pada variasi asam sulfamat : urea dengan
perbandingan 1:2 dan 1:3.

21
K. Jadwal Penelitian
Kegiatan I II III IV V

Persiapan

Pelaksanaan

Analisa data

PenulisanLaporan

L.Organisasi Penelitian
1. Pelaksana Penelitian
Nama : Irene Anggriani Sitepu
NIM : 190802006

2. Pembimbing Penelitian
Nama : Dr. Indra Masmur, S.Si, M.Si
NIP : 197611052018041001

22
DAFTAR PUSTAKA

Ardiyansyah, R. (2011). Pemanfaatan Pati Umbi Garut untuk Pembuatan Plastik


Biodegradable. UniversitasIndonesia. Depok
Bahriar. (2015). Pembuatan Pulp dari Batang Pisang. Universitas Malikussaleh.
Lhokseumawe.
Bhatt, N., Gupta, P. K., & Naithani, S. (2008). Preparation of cellulose sulfate
from α-cellulose isolated from Lantana camara by the direct esterification
method. Journal of Applied Polymer Science, 108(5), 2895–2901.
https://doi.org/10.1002/app.27773
Bresnick dan Stephen. (2003). Kimia Umum. Hipokrates. Jakarta
Chen, G., Zhang, B., Zhao, J., & Chen, H. (2013). Improved process for the
production of cellulose sulfate using sulfuric acid/ethanol solution.
Carbohydrate Polymers, 95(1), 332–337.
https://doi.org/10.1016/j.carbpol.2013.03.003
Darnoko, Z., Poeloengan, dan Anas. I. (1993). Pembuatan Pupuk Organik Dari
Tandan Kosong Kelapa Sawit. Buletin PPKS(1).
Dewanti. (2018). Potensi Selulosa dari Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit
untuk Bahan Baku Bioplastik Ramah Lingkungan. Jurnal Teknologi
Lingkungan Vol. 19, No 1.
Etzler. (2014). The AAPS Journal: 6 (3) Articles 20.
Gustian, I., Asdim, & Maryanti, E. (2016). Pengantar Sintesis dan Karakterisasi
Membran Sel Bahan Bakar Berbasiskan Polimer. Bengkulu: Badan
Penerbitan Fakultas Pertanian UNIB.
Hambali, E., S. Mujdalipah, A.H. Tambunan, A.W Pattiwiri, dan R. Hendroko.,
(2007). Teknologi Bioenergi. Agramomedia pustaka, Jakarta.
Hettrich, K., Wagenknecht, W., Volkert, B., & Fischer, S. (2008). New
Possibilities Of The Acetosulfation Of Cellulose. Macromolecular
Symposia, 262(1), 162–169. https://doi.org/10.1002/masy.200850216
Jumina, Yasodhara, Y., Triono, S., Kurniawan, Y. S., Priastomo, Y., Chawla, H.
M., & Kumar, N. (2021). Preparation and evaluation of alpha-cellulose
sulfate based new heterogeneous catalyst for production of biodiesel.

23
Journal of Applied Polymer Science, 138(2).
https://doi.org/10.1002/app.49658
Kazachenko, A., Akman, F., Medimagh, M., Issaoui, N., Vasilieva, N., Malyar,
Y.N., Sudakova, I.G., Karacharov, A., Miroshnikova, A., Al-Dossary,
O.M., (2021). Sulfation of Diethylaminoethyl-Cellulose : QTAIM
Topological Analysis and Experimental and DFT Studies of the Properties.
ACS Omega 6, 22603–22615. https://doi.org/10.1021/acsomega.1c02570
Levdansky, A. v., Vasilyeva, N. Y., Kondrasenko, A. A., Levdansky, V. A.,
Malyar, Y. N., Kazachenko, A. S., & Kuznetsov, B. N. (2021). Sulfation
Of Arabinogalactan With Sulfamic Acid Under Homogeneous Conditions
In Dimethylsulfoxide Medium. Wood Science and Technology, 55(6),
1725–1744. https://doi.org/10.1007/s00226-021-01341-2
Levdansky, V. A., Kondracenko, A. S., Levdansky, A. v, Kuznetsov, B. N.,
Djakovitch, L., & Pinel, C. (2014). Sulfation of Microcrystalline Cellulose
with Sulfamic Acid in N,N-Dimethylformamide and Diglyme. In Journal
of Siberian Federal University. Chemistry (Vol. 2, Issue 7).
Mohammed A, Avin A, 2018. Scanning Electron Microscopy (SEM) : a review.
University of Sulaimani.Iraq.77
Ortega, J. (2017). Sulfonation/Sulfation Processing Technology for Anionic
Surfactant Manufacture. Colombia: Universidad de La Salle.
Osvaldo, Z.S, Panca. P. (2012). Pengaruh Konsentrasi Asam dan Waktu pada
Proses Hidrolisis dan Fermentasi Pembuatan Bioetanol dari Alang-Alang.
Teknik Kimia Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. 53-54.
Puviarasan N, Arjunan, Mohan. (2002). FT-IR and FT-Raman Studies on 3
Aminophthalhydrazide and N-Aminophthalimide. Pondicherry University,
Pondicherry. INDIA.323
Sirviö, J. A., Ukkola, J., & Liimatainen, H. (2019). Direct sulfation of cellulose
fibers using a reactive deep eutectic solvent to produce highly charged
cellulose nanofibers. Cellulose, 26(4), 2303–2316.
https://doi.org/10.1007/s10570-019-02257-8
Stokes, J. D. (2008). Principle and Practice of Variable Pressure/Environmental
Scannting Electron Microsvopy. John Willey and Son.

24
Sudrajat. (2020). Kelapa Sawit. Prospek Pengembangan dan Produktivitas. Bogor
: IPB Press
Sumada K, Tamara PE, Alqani F. (2011). Isolation Study Of Efficient α –
Cellulose From Waste PlantStem Manihot Esculenta
Supratman dan Unang. (2006). Elusidasi Struktur Senyawa Organik. Universitas
Padjajaran. Bandung
Tobing, S. (2018). Sintesis Galaktomanan Sulfat Dari Asam Klorosulfonat
Dengan Galaktomanan Dari Biji Lamtoro (Leucaena leucocephala)
Sebagai Anti Bakteri. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Udi, S.T., Limbah, P., Kelapa, P., Efendi, S. (2016). Pembuatan Pupuk Organik
Dari Limbah Tandan Kosong Kelapa Sawit. J. Akad. Kim. 5, 8–15.
Wu, Q. X., Guan, Y. X., & Yao, S. J. (2019). Sodium Cellulose Sulfate: A
Promising Biomaterial Used For Microcarriers’ Designing. In Frontiers of
Chemical Science and Engineering (Vol. 13, Issue 1, pp. 46–58). Higher
Education Press. https://doi.org/10.1007/s11705-018-1723-x
Yakubu, A., Tanko, M., Umar., Sani., Moha mmed, S.D. (2011). Chemical
Modification of Microcrystaline Cellulose: Improvement of Barrier
Surface Propertiesto nhance Surface Interaction with some synthetic
polymers for Biodegradable Packaging Material Processing and
Applications in Textile, Food and Pharmaceutical Industry.Advances in
Applied Science Research, 2 (6):532-540
Yoshikubo, K., Suzuki, M. (2000). Asam Sulfamat dan Sulfamat. Ensiklopedia
Teknologi Kimia Kirk Othmer.

25

Anda mungkin juga menyukai