Anda di halaman 1dari 24

BAB I

LAPORAN KASUS

Identitas Pasien
Nama : Tn. B
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 46 tahun
Agama : Islam
Alamat : Asrama pancasila
Status : Menikah
Pekerjaan : TNI-AD
Tanggal Masuk : 25 Juli 2019

ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama :
Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke IGD Rumah Sakit Tk IV Pekanbaru dengan keluhan nyeri ulu hati
sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dirasakan seperti ditusuk-
tusuk, hilang timbul dan tidak menjalar. Pasien juga mengeluhkan pusing, mual dan
muntah satu kali berisi makanan dan tidak disertai darah dengan volume ± 1 gelas
aqua. BAB dan BAK dalam batas normal. Keluhan nyeri dada dan sesak nafas
disangkal pasien

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu.

Riwayat Penyakit Keluarga :


Pasien mengatakan ayahnya pernah menderita hipertensi.

1
Riwayat Kebiasaan :
Pasien mengaku sering mengkonsumsi makanan yang asin seperti ikan asin dan
jarang mengkonsumsi buah dan sayur serta jarang berolahraga. Makan teratur 3 kali
sehari. Pasien juga mengaku mengkonsumsi kopi 2 gelas perhari.

Riwayat Pengobatan :
Pasien mengatakan sudah pernah berobat dan meminum obat amlodipin tetapi tidak
minum obat teratur

Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Nadi : 90x/ menit
Pernafasan : 20x/ menit
Suhu : 37,2°C
Status Gizi : TB : 160cm BB : 55 kg BMI :19,5 (normal)

Kepala dan leher


- Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat, isokhor, reflex
cahaya (+/+)
- Mulut : Mukosa bibir pucat (-), mukosa bibir kering (-)
- Leher : Pembesaran KGB (-), JVP tidak meningkat

Thorax
Paru :
- Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris kanan dan kiri, tidak ada jejas
- Palpasi : vokal fremitus simetris kanan dan kiri
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : vesikuler (+/+), wheezing (-/-), ronki (-/-)

2
Jantung :
- Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
- Palpasi : iktus kordis tidak teraba
- Perkusi : batas-batas jantung
Batas jantung kanan : Linea sternalis dekstra SIC II & linea Sternalis dextra
SIC IV, Batas jantung kiri : Linea midclavicularis sinistra SIC V & SIC II
linea para sternalis sinistra.
- Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
- Inspeksi: perut tampak datar, venektasi (-), scar (-)
- Auskultasi: bising usus (+) normal dengan frekuensi 6 kali/menit
- Palpasi : nyeri tekan epigastrium (+), Nyeri lepas (-), Defans Muscular (-),
Hepar tidak teraba, Lien tidak teraba.
- Perkusi : timpani, shifting dullness (-)

Ekstremitas
- Akral hangat
- CRT < 2 detik
- Pitting oedem (-/-)

Pemeriksaan Penunjang
Hasil laboratorium tanggal 25 Juli 2019
Darah rutin
 Hb : 14 gr/dl
 Leukosit : 13.800/ul
 Eritrosit : 5,0 M/ul
 Trombosit : 160.000 /ul
 Ht : 42%

3
EKG

Interpretasi : irama reguler, Sinus ritme, axis normal, HR 78x/menit, tidak


ditemukan kelainan gelombang
Kesan : dalam batas normal

Resume
Tn. B, 46 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Tk IV Pekanbaru dengan keluhan
nyeri ulu hati sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati dirasakan
seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul dan tidak menjalar. Pasien juga mengeluhkan
pusing, mual dan muntah satu kali berisi makanan dan tidak disertai darah dengan
volume ± 1 gelas aqua. Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu, pasien tidak
teratur minum obat. Ayah pasien juga mengalami hipertensi. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang. Tekanan darah 150/90 mmHg, nadi
90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 37,2°C, BMI 19,5 (normal). Pada
pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium. Dari pemeriksaan
penunjang ditemukan leukosit meningkat yaitu 13.800 /ul

Diagnosis Kerja :
Hipertensi stage I + vomitus

Diagnosa Banding
- Gastritis

4
- Gerd
- Ulkus peptikum

Penatalaksanaan :
A. Terapi Medikamentosa :
 IVFD RL guyur250 cc dilanjutkan 20 tpm
 Inj. Ranitidin 1 amp / 12 jam
 Inj. Ondancentron 4 mg / 8 jam
 Inj. Ceftriaxon 1 gr / 24 jam
 Paracetamol 4x500 mg
 Antasida sirup 3x1
 Candesartan 1x8 mg
 Vitamin B complex 2x1
B. Terapi nonmedikamentosa :
 Diet MBRG
 Tirah baring

Follow Up
Tanggal S O A P
26/07/2019 Muntah (+) 1x, Keadaan umum : tampak Hipertensi - Diet MBRG
sakit kepala sakit sedang stage I + - Inj ranitidine 1
berdenyut, nyeri Kesadaran : Kompos vomitus amp / 12 jam
perut bawah Mentis - Inj.
Vital Sign : Ondancentron
TD : 140/90 mmhg 4mg / 8 jam
Nadi : 88 x/i - Inj. Ceftriaxone
RR : 20 x/i 1gr / 24 jam
T : 36,7 ℃ - Candesartan 1x8
Inspeksi : perut datar, mg
venektasi (-), scar (-) - Paracetamol
Palpasi : Nyeri tekan 4x500 mg
epigastrium (+), iliaca - B. complex 2x1

5
dextra (+), hypogastric - Antasida syrup
(+), iliaca sinistra (+) 3x1
Perkusi : tympani
Auskultasi : BU (+) N

27/07/2019 Nyeri kepala Keadaan umum : tampak Hipertensi - Diet MBRG


berkurang, mual sakit sedang stage I + - Inj ranitidine 1
(-), muntah (-) Kesadaran : kompos vomitus amp / 12 jam
mentis - Inj.
Vital Sign : Ondancentron
TD : 120/80 mmhg 4mg / 8 jam
Nadi : 80 x/i - Inj. Ceftriaxone
RR : 20 x/i 1gr / 24 jam
T : 36,6 ℃ - Candesartan 1x8
Inspeksi : perut datar, mg
venektasi (-), scar (-) - Paracetamol
Palpasi : Nyeri tekan 4x500 mg
hypogastric (+) - B. complex 2x1
Perkusi : tympani - Antasida syrup
Auskultasi : BU (+) N 3x1

28/07/2019 Nyeri kepala (-), Keadaan umum : tampak Hipertensi - Lansoprazole 2x1
nyeri perut bawah sakit sedang stage I + - Donperidone 3x1
(+), BAB belum Kesadaran : kompos vomitus - Antasida syrup
ada mentis 3x1
Vital Sign : - Candesartan 1x1
TD : 130/80 mmhg - Paracetamol 3x1
Nadi : 80 x/i - Pasien boleh
RR : 20 x/i pulang
T : 36,6 ℃
Inspeksi : perut datar,
venektasi (-), scar (-)
Palpasi : Nyeri tekan
hipogastric (+)
Perkusi : tympani
Auskultasi : BU (+) N

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HIPERTENSI
2.1.1 Definisi
Hampir semua consensus/pedoman utama baik dari dalam walaupun luar negeri,
menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki tekanan darah
sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg, pada pemeriksaan
yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan pengukuran utama yang menjadi
dasar penentuan diagnosis hipertensi.1

2.1.2 Faktor Resiko


Faktor resiko Hipertensi adalah umur, jenis kelamin, riwayat keluarga, genetik
(faktor resiko yang tidak dapat diubah/dikontrol), kebiasaan merokok, konsumsi
garam, konsumsi lemak jenuh, penggunaan jelantah, kebiasaan konsumsi minum-
minuman beralkohol, obesitas, kurang aktifitas fisik, stres, penggunaan estrogen.2

2.1.3 Klasifikasi
Ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi, diantaranya The
Seventh Report of The Joint National Committee on Preventon, Detection,
Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7), World Health
Organization (WHO), International Society of Hypertension (ISH), European Society
of Hypertension (ESH) dan European Society of Cardiology, British Hypertension
Society (BHS) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP).3
Berdasar pada JNC 7, klasifikasi tekanan darah adalah:3
Tabel 1 klasifikasi hipertensi berdasarkan JNC 7
Klasifikasi Tekanan sistolik Tekanan diastolik
Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
Pre-hipertensi 120-139 mmHg 80-89 mmHg.
Hipertensi Stage I 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Hipertensi Stage II ≥160 mmHg ≥100 mmHg

7
Selain itu, klasifikasi hipertensi terbagi menjadi:2
1. Berdasarkan penyebab :
a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial
Hipertensi yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik), walaupun
dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang bergerak
(inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar 90% penderita
hipertensi.
b. Hipertensi Sekunder/Hipertensi Non Esensial
Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10% penderita
hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%,
penyebabnya adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu
(misalnya pil KB).
2. Berdasarkan bentuk Hipertensi
 Hipertensi sistolik (isolated systolic hypertension)
 Hipertensi diastolik {diastolic hypertension}
 Hipertensi campuran (sistol dan diastol yang meninggi)

2.1.4 Patogenesis
Hipertensi primer merupakan penyakit yang bukan hanya disebabkan oleh satu
macam mekanisme, akan tetapi bersifat multifaktorial, yang timbul akibat dari
interaksi dari berbagai macam faktor resiko. Berbagai faktor dan mekanisme tersebut
antara lain:3
1. Faktor resiko tersebut antara lain: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas,
merokok dan genetik.
2. Mekanisme neural: aktifitas berlebih dari sistem saraf simpatis mempunyai
peranan yang penting pada awal terjadinya hipertensi primer. Pada awalnya
terjadi peningkatan denyut jantung, curah jantung, kadar norepinefrin (NE)
plasma dan urin, berlebihnya NE ditingkat regional, rangsangan saraf simpatis
post ganglon dan reseptor α-adrenergik menyebabkan vasokonstriksi di
sirkulasi perifer.

8
3. Mekanisme renal: Ginjal merupakan salah satu faktor yang ikut berperan
dalam patogenesis terjadinya hipertensi. Sebaliknya, hipertensi dapat
menyebabkan terjadinya kelainan pada ginjal. Dasar dari semua kelainan yang
ada pada hipertensi adalah menurunnya kemampuan ginjal untuk
mengekskresikan kelebihan natrium yang pada diet tinggi garam.
4. Mekanisme Vaskular: Perubahan struktur dan fungsi pembuluh darah kecil
dan besar memegang peranan penting saat mulai terjadinya dan progresifitas
hipertensi. Pada beberapa keadaan didapatkan peningkatan tahanan pembuluh
darah perifer dengan curah jantung yang normal. Terjadi gangguan
keseimbangan antara faktor yang menyebabkan terjadinya dilatasi dan
konstriksi pembuluh darah.
5. Mekanisme Hormonal: aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron
merupakan salah satu mekanisme penting, yang ikut berperan pada retensi
natrium oleh ginjal, disfungsi endotel, inflamasi dan remodeling pembuluh
darah, juga hipertensi.

9
Gambar 1 faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah
2.1.5 Diagnosis
Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan
pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik serta
pemeriksaan penunjang.3
Anamnesis meliputi:3
1. Lama menderita hipertensi dan derajat tekanan darah.
2. Indikasi adanya hipertensi sekunder :
- Keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik)
- Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian
obat-obat analgesik dan obat/bahan lain.
- Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokomositoma)
3. Faktor-faktor resiko
- Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga
pasien
- Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya
- Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya
- Kebiasaan merokok
- Pola makan
- Kegemukan, intensitas olahraga
- Kepribadian
4. Gejala kerusakan organ
- Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan, transient
ischemic attack, defisit sensoris atau motoris
- Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, kaki bengkak
- Ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri
- arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten
5. Pengobatan antihipertensi sebelumnya.
6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan

10
Pemeriksaan fisik selain memeriksa tekanan darah, juga untuk evaluasi adanya
penyakit-penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hipertensi
sekunder.
Pengukuran tekanan darah:
- Pengukuran rutin di kamar periksa dokter/rumah sakit
- Pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM)
- Pengukuran sendiri oleh penderita di rumah
Penderita harus bebas dari minuman yang mengandung alkohol, kafein dan
merokok paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan tekanan darah. Pengukuran di
kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah penderita istirahat selama
5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung.3
Pemeriksaan penunjang penderita hipertensi terdiri dari:
- Tes darah rutin
- Glukosa darah (sebaiknya puasa)
- Kolestrol total serum
- Kolestrol HDL dan LDL serum
- Trigliserida serum (puasa)
- Asam urat serum
- Kreatinin serum
- Kalium serum
- Hemoglobin dan hematokrit
- Urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)
- Elektrokardiogram
Evaluasi penderita hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit
penyerta sistemik, yaitu:
- Aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak)
- Diabetes (terutama pemeriksaan gula darah)
- Fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta
memperkirakan laju filtrasi glomerulus)

11
2.1.6 Penatalaksanaan
2.1.6.1 Penatalaksanaan Non Farmakologis2
Modifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan membatasi asupan garam tidak
lebih dari ¼ - ½ sendok teh (6 gram/hari), menurunkan berat badan, menghindari
minuman berkafein, rokok, dan minuman beralkohol. Olah raga juga dianjurkan bagi
penderita hipertensi, dapat berupa jalan, lari, jogging, bersepeda selama 20-25 menit
dengan frekuensi 3-5 x per minggu. Penting juga untuk cukup istirahat (6-8 jam) dan
mengendalikan stress. Ada pun makanan yang harus dihindari atau dibatasi oleh
penderita hipertensi adalah:
 Makanan yang berkadar lemakjenuh tinggi (otak, ginjal, paru, minyak
kelapa, gajih).
 Makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit,
crackers, keripik dan makanan kering yang asin).
 Makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, sayuran serta
buah-buahan dalam kaleng, soft drink).
 Makanan yang diawetkan (dendeng, asinan sayur/buah, abon, ikan asin,
pindang, udang kering, telur asin, selai kacang).
 Susu full cream, mentega, margarine, keju mayonnaise, serta sumber
protein hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah
(sapi/kambing), kuning telur, kulit ayam).
 Bumbu-bumbu seperti kecap, maggi, terasi, saus tomat, saus sambal, tauco
serta bumbu penyedap lain yang pada umumnya mengandunggaram
natrium.
 Alkohol dan makanan yang mengandung alkohol seperti durian, tape.

2.1.6.2 Penatalaksanaan Farmakologis


Secara umum, terapi farmakologi pada hipertensi dimulai bila pada pasien
hipertensi derajat 1 yang tidak mengalami penurunan tekanan darah setelah > 6 bulan
menjalani pola hidup sehat dan pada pasien dengan hipertensi derajat ≥ 2. Beberapa

12
prinsip dasar terapi farmakologi yang perlu diperhatikan untuk menjaga kepatuhan
dan meminimalisasi efek samping, yaitu:1
- Bila memungkinkan, berikan obat dosis tunggal
- Berikan obat generic (non-paten) bila sesuai dan dapat mengurangi biaya
- Berikan obat pada pasien usia lanjut ( diatas usia 80 tahun ) seperti pada usia
55 – 80 tahun, dengan memperhatikan faktor komorbid
- Jangan mengkombinasikan angiotensin converting enzyme inhibitor (ACE-i)
dengan angiotensin II receptor blockers (ARBs)
- Berikan edukasi yang menyeluruh kepada pasien mengenai terapi farmakologi
- Lakukan pemantauan efek samping obat secara teratur.

Tabel 2 efek samping obat anti hipertensi

13
Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis antara lain sebagai berikut:3
Tabel 3 obat hipertensi oral

14
Algoritme tatalaksana hipertensi yang direkomendasikan berbagai guidelines
memiliki persamaan prinsip, dan dibawah ini adalah algoritme tatalaksana hipertensi
secara umum, yang disadur dari A Statement by the American Society of Hypertension
and the International Society of Hypertension2013;1

15
Gambar 2 algoritma tatalaksana hipertensi
2.2 DISPEPSIA
2.2.1 Definisi
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada ( heartburn) dan regurgitasi
asam lambung, kini tidak lagi termasuk dyspepsia.4
Pengertian tressc terbagi dua, yaitu:4
a. Dispepsia organik : apabila telah diketahui adanya kelainan organic sebagai
penyebabnya. Sindroma tressc tress terdapat keluhan yang nyata terhadap
organ tubuh misalnya tukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang
pancreas, radang empedu, dan lain – lain.
b. Dispepsia non-organik atau tressc fungsional, atau tressc non-ulkus (DNU) :
apabila tidak jelas penyebabnya. Dispepsia fungsional tanpa disertai kelainan
atau gangguan struktur organ berdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium,
radiologi, endoskopi (teropong saluran pencernaan).

2.2.2 Klasifikasi
2.2.2.1 Dispepsia Fungsional4
Terdapat bukti bahwa tressc fungsional berhubungan dengan ketidaknormalan
pergerakan usus (motilitas) dari saluran pencernaan bagian atas (tressc, lambung dan
usus halus bagian atas). Selain itu, bisa juga tressc jenis itu terjadi akibat gangguan
irama listrik dari lambung atau gangguan pergerakan (motilitas) tresscsal.
Beberapa kebiasaan yang bisa menyebabkan tressc adalah menelan terlalu banyak
udara. Misalnya, mereka yang mempunyai kebiasaan mengunyah secara salah
(dengan mulut terbuka atau tress berbicara). Atau mereka yang senang menelan
makanan tanpa dikunyah (biasanya konsistensi makanannya cair).
Keadaan itu bisa membuat lambung merasa penuh atau bersendawa terus.
Kebiasaan lain yang bisa menyebabkan dispesia adalah merokok, konsumsi kafein
(kopi), tress, atau minuman yang sudah dikarbonasi.

16
Mereka yang tressc atau alergi terhadap bahan makanan tertentu, bila
mengonsumsi makanan jenis tersebut, bisa menyebabkan gangguan pada saluran
cerna. Begitu juga dengan jenis obat-obatan tertentu, seperti Obat Anti-Inflamasi Non
Steroid (OAINS), Antibiotik makrolides, metronidazole), dan kortikosteroid. Obat-
obatan itu sering dihubungkan dengan keadaan dyspepsia, yang paling sering
dilupakan orang adalah tress tress/tekanan psikologis yang berlebihan.

2.2.4.1 Penyakit Refluks Asam/Organik4


Cukup sering ditemukan tressc akibat asam lambung yang meluap hingga ke
tressc (saluran antara mulut dan lambung). Karena saluran tressc tidak cukup kuat
menahan asam yang semestinya tidak tumpah, karena berbagai sebab, pada orang
tertentu asam lambung bisa tumpah ke tressc dan menyebabkan tressc. Dispepsia
jenis itu bisa menyebabkan nyeri pada daerah dada.

2.2.5 Etiologi
Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai penyakit dan pola hidup. Menurut
Guyton (1997) berikut ini berbagai penyakit (kondisi medis) yang dapat
menyebabkan keluhan tressc :
a. Dispepsia fungsional (nonulcer dyspepsia). Dispepsia fungsional adalah rasa
tidak nyaman hingga nyeri di perut bagian atas yang setelah dilakukan
pemeriksaan menyeluruh tidak ditemukan penyebabnya secara pasti.
Dispepsia fungsional adalah penyebab maag yang paling sering.
b. Tukak lambung (stomach ulcers). Tukak lambung adalah adanya ulkus atau
luka  di lambung. Gejala yang paling umum adalah rasa sakit yang dirasakan
terus menerus, bersifat kronik (lama) dan semakin lama semakin berat.
c. Refluks tresscs (gastroesophageal reflux disease)
d. Pangkreatitis
e. Iritable bowel syndrome
f. Pemakaian obat penghilang nyeri secara terus menerus. Obat tressc anti
inflamasi nonsteroid (AINS) seperti aspirin, ibuprofen dan naproxen dapat

17
menyebabkan peradangan pada lambung. Jika pemakaian obat – obat tersebut
hanya sesekali maka kemungkinan terjadinya masalah lambung akan kecil.
Tapi jika pemakaiannya secara terus menerus atau pemakaian yang berlebihan
dapat mengakibatkan maag.
g. Stress fisik.
h. Malabsorbsi (gangguan penyerapan makanan)
i. Penyakit kandung empedu
j. Penyakit liver
k. Kanker lambung (jarang)

2.2.6 Patofisiologi
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
seperti nikotin dan tress serta adanya kondisi kejiwaan tress, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat
mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung,
kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan
merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan.5

Gambar 3 patofisiologi dispepsia

18
2.2.5 Manifestasi Klinis
Klasifikasi klinis praktis, didasarkan atas keluhan/gejala yang dominan, membagi
dyspepsia menjadi tiga tipe:6
1. Dyspepsia dengan keluhan seperti ulkus ( Ulkus – like dyspepsia ), dengan
gejala:
- Nyeri epigastrium terlokalisasi
- Nyeri hilang setelah makan atau peberian antacid
- Nyeri saat lapar
- Nyeri episodik
2. Dyspepsia dengan gejala seperti dismotilitas ( dismotility-like
dyspepsia), dengan gejala:
- Mudah kenyang
- Perut cepat terasa penuh saat makan
- Mual
- Muntah
- Upper abdominal bloating
- Rasa tak nyaman bertambah saat makan.
3. Dyspepsia nonspesifik (tidak ada gejala seperti kedua tipe di atas).
Pembagian akut dan kronik berdasarkan atas jangka waktu tiga bulan.

2.2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang harus bisa menyingkirkan kelainan serius, terutama
kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien
memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa
endoskopi. Menurut Schwartz, M William (2004) dan Wibawa (2006) berikut
merupakan pemeriksaan penunjang:
a. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan kelainan
serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter pylori menunjukkan ulkus
peptikum namun belum menyingkirkan keganasan saluran pencernaan.

19
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium Barret,
dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse untuk H.pylori (tes
CLO). Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan
kausa organic pada pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H.
pylori merupakan pendekatan bermanfaat pada penanganan kasus dispepsia
baru. Pemeriksaan endoskopi diindikasikan terutama pada pasien dengan
keluhan yang muncul pertama kali pada usia tua atau pasien dengan tanda
alarm seperti penurunan berat badan, muntah, disfagia, atau perdarahan yang
diduga sangat mungkin terdapat penyakit struktural. Pemeriksaan endoskopi
adalah aman pada usia lanjut dengan kemungkinan komplikasi serupa dengan
pasien muda. Menurut Tytgat GNJ, endoskopi direkomendasikan sebagai
investigasi pertama pada evaluasi penderita dispepsia dan sangat penting
untuk dapat mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia organik atau
fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa lambung.
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esofagitis
e. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung
darah lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan
pemeriksaan ovum dan parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau
pengeluaran darah lewat saluran cerna maka dianjurkan untuk melakukan
pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian atas.

2.2.7 Penatalaksanaan
2.2.7.1 Penatalaksanaan non farmakologi
Adapun penatalaksanaan non farmakologi yaitu :
1. Menghindari makanan yang dapat meningkatkan asam lambung
2. Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan yang peda, obat-obatan
yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres

20
3. Atur pola makan

2.2.7.2 Penatalaksanaan farmakologis


Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama dalam
mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross patofisiologinya
pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus DF reponsif terhadap
placebo.
Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung)
golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan prokinetik
(mencegah terjadinya muntah).

21
BAB III
PEMBAHASAN

Seorang laki-laki usia 46 tahun datang ke IGD Rumah Sakit Tk IV Pekanbaru


dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri ulu hati
dirasakan seperti ditusuk-tusuk, hilang timbul dan tidak menjalar. Pasien juga
mengeluhkan pusing, mual dan muntah satu kali berisi makanan dan tidak disertai
darah dengan volume ± 1 gelas aqua. Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu,
pasien tidak teratur minum obat. Ayah pasien juga mengalami hipertensi. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang. Tekanan darah
150/90 mmHg, nadi 90 x/menit, pernafasan 20 x/menit, suhu 37,2°C, BMI 19,5
(normal). Pada pemeriksaan abdomen didapatkan nyeri tekan epigastrium. Dari
pemeriksaan penunjang ditemukan leukosit meningkat yaitu 13.800 /ul.
Pasien didiagnosis dengan hipertensi dan vomitus karena didapatkan tekanan
darah pasien 150/90 mmhg dengan gejala-gejala seperti pusing, nyeri ulu hati dan
disertai dengan muntah. Diagnosis banding GERD dapat disingkirkan karena tidak
ada rasa sensasi rasa terbakar pada dada pasien, sulit menelan dan tidak ada
mengkonsumsi alcohol dalam waktu yang lama. Diagnosis banding Gastritis dapat
disingkirkan karena gastritis inflamasi pada gaster dan dibuktikan dengan
pemeriksaan endoskopi dan pada pasien tidak ada mengkonsumsi OAINS ataupun
jamu-jamuan, muntah berdarah dan BAB hitam. Diagnosis banding ulkus peptikum
dapat disingkirkan karena pada pasien tidak didapatkan gejala khas ulkus peptikum
seperti nyeri timbul ketika setelah makan (ulkus gaster), nyeri ketika perut kosong-
makan – hilang (ulkus duodenum).
Penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan memperbaiki kualitas hidup
pasien dan tekanan darah pasien serta mencegah komplikasi dan membantu
mengendalikan tekanan darah pasien. Adapun tatalaksana non farmakologi berupa
diet makan biasa rendah garam untuk mengatur keseimbangan natrium alami yang
ada pada tubuh. Kadar natrium dalam tubuh bisa meningkat , sehingga menyebabkan

22
retensi natrium , kemudian hal ini dapat meningkatkan tekanan yang diberikan oleh
aliran darah terhadap dinding pembuluh darah, yang akhirnya terjadilah hipertensi.
Adapun indikasi pemberian candesartan pada pasien ini adalah obat ini
sebagai penghambat reseptor angiotensin II (ARB) yang bermanfaat untuk
menurunkan tekanan darah. Dengan turunnya tekanan darah maka komplikasi
hipertensi seperti stroke, serangan jantung dan gagal ginjal dapat dicegah.
Angiotensin II (ARB) merupakan zat yang membuat pembuluh darah menyempit.
Obat ini bekerja dengan menghambat efek dari zat tersebut. Saat angiotensinII
dihambat, pembuluh darah akan lemas dan melebar sehingga aliram darah menjadi
lebih lancer dan tekanan darah turun.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. PERKI. 2015. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit


Kardiovaskular. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular
Indonesia.
2. INFODATIN. 2014. Hipertensi. Jakarta: Pusat Data dan Informasi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
3. Setiati, Siti, et all. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid II.
Jakarta: Interna Publishing
4. Manjoer, A, et al. 2000.  Kapita selekta kedokteran edisi 3, Jakarta: Medika
aeusculapeus
5. Suryono Slamet, et al. 2001.  buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 2. Jakarta:
FKUI.
6. Warpadji Sarwono, et al. 1996.  Ilmu penyakit dalam. Jakarta: FKUI.

24

Anda mungkin juga menyukai