Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN TUTORIAL

MODUL EMERGENSI

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2023
OLEH :
IVON AIMLEKIA PUTRI (20011101111)
FRANKY IMANUEL SA’PANG (20011101112)
PETRIA FERLYN GERALDINE (20011101113)
AGNES MONICA SILALAHI (20011101114)
ANGELLITA MIEKE IRENE (20011101115)
ELSHADAI TAMPI (20011101116)
KALISTA LUMENTE (20011101117)
SEPTIANA FIRDAUS (20011101118)
STHEVANUS N. MOE (20011101119)
ALDI L. T. BANDASO (20011101120)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat, rahmat
dan karunia-Nya, sehingga laporan tutorial dari skenario pada modul ini dapat diselesaikan
dengan baik dan tepat waktu.
Laporan tutorial ini merupakan salah satu tugas pembelajaran yang dikerjakan berkelompok
untuk Modul Kedokteran Emergensi, Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
Manado.
Dalam penulisan laporan tutorial ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr.Windy Mariane Virenia Wariki ,M.Sc ,Ph.D selaku tutor yang
membimbing kelompok kami dalam tutorial maupun penyusunan laporan. Penulis juga ingin
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan laporan
tutorial ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan tutorial ini, masih banyak kekurangan
yang ada. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan
dan perbaikan, sehingga akhirnya laporan tutorial ini dapat memberikan manfaat bagi bidang
pendidikan dan penerapan di lapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut.

Manado, 22 Mei 2023

Tim penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL............................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................................
DAFTAR ISI……………........................................................................................................
BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................................
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................
1.3 Tujuan ....................................................................................................................
1.4 Manfaat .................................................................................................................
BAB 2. ISI................................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Modul Kedokteran Emergensi adalah modul keempat pada semester 6 dari Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi. Pada kesempatan ini, dilaksanakan tutorial studi kasus Modul Kedokteran
Emergensi sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi situasi yang sebenarnya pada
waktu yang akan datang. Dalam laporan ini telah dipaparkan studi kasus oleh kelompok
tutorial 12.
B. Tujuan
○ Mendidik mahasiswa melalui proses belajar mengajar dengan menyelesaikan
satu kurikulum pendidikan sehingga lulusan mempunyai cukup pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku untuk melakukan profesi kedokteran dalam satu standar
kompetensi kedokteran sesuai kebijakan umum pemerintah yang berdasarkan
Pancasila.
○ Mengembangkan institusi sebagai pusat penelitian IPTEKDOK yang bertaraf
nasional maupun internasional dan mengaplikasikan ilmu kedokteran untuk
kepentingan masyarakat.
○ Tercapainya kolaborasi kerjasama dan kemitraan yang efektif dan efisien
untuk menunjang hasil pendidikan, penelitian, dan pengabdian yang maksimal.

BAB II
ISI
A. Kasus
Seorang perempuan 28 tahun, G1P0A0, hamil 28-29 minggu, dibawa ke Unit Gawat Darurat
dengan keluhan keluar darah dari jalan lahir. Penderita mengalami kejang saat sedang
berbelanja di pasar kemudian tersambar oleh sepeda motor sehingga penderita jatuh dengan
posisi terduduk. Setelah mengalami kecelakaan, penderita segera diantar oleh warga ke
rumah sakit karena terlihat ada darah yang keluar dari jalan lahir.
B. Kata Sulit
● Kejang
C. Kata Kunci
● G1P0A0,
● hamil 28-29 minggu
● Kluar darah dari jalan lahir
● Kejang
● Penderita jatuh dengan posisi duduk
D. Masalah Dasar
Seorang perempuan 28 tahun, G1P0A0, hamil 28-29 minggu, dibawa ke Unit Gawat Darurat
dengan keluhan darah keluar dari jalan lahir setelah jatuh dengan posisi terduduk dan ada
Riwayat kejang sbelumnya.
E. Identifikasi Masalah

LEARNING OBJECTIVE
1. Bagaimana primary dan secondary survey pada pasien(pemeriksaan fisik)?
2. Bagaimana anamnesis yang dilakukan untuk kasus tersebut?
3. Bagaimana pemeriksaan penunjang yang dilakukan ssuai scenario?
4. Apa DD dan Db Sesuai scenario?
5. Apa yg menyebabkan ibu tersebut alami kejang?
6. Bagaimana tatlaksana terhadap ibu yg dpat dilakukan pada kasuus tersebut?
7. Bagaimana Riwayat dan tatalakksana yang dapat dilakukan untuk janinnya ?
8. Apakah perluh dilakukan terminasi terhadap janin?
9. Bagaimana prognosis dan komplikasi yang dpt trjadi?
10. Bagaimana edukasi pada pasien?

1. Bagaimana primary dan secondary survey pada pasien(pemeriksaan fisik)?

Dokter yang merawat pasien trauma hamil harus ingat bahwa ada dua pasien: ibu dan
janin. Perawatan awal terbaik bagi janin adalah untuk memberikan resusitasi yang
optimal bagi ibu. Pastikan jalan napas paten, ventilasi yang memadai, oksigenasi baik,
dan volume sirkulasi yang efektif. Kompresi uterus ke vena cava dapat mengurangi
aliran balik vena ke jantung sehingga menurunkan curah jantung dan memperburuk
keadaan syokà menggeser rahim ke sisi kiri untuk mengurangi tekanan pada vena
kava inferior. Jika pasien memerlukan pembatasan gerak tulang belakang pada posisi
telentang à posisikan tubuh pasien ke kiri sekitar 15–30 derajat (yaitu, naikkan sisi
kanan 4–6 inci) dan pertahankan pembatasan gerak tulang belakang dan dekompresi
vena cava.

Jika memungkinkan, pasien harus dipantau sampai setelah pemeriksaan fisik.


Memantau status cairan pasien untuk mempertahankan hipervolemia relatif, serta
oksimetri nadi dan penentuan gas darah arteri. Ingat: bikarbonat ibu biasanya rendah
selama kehamilan untuk mengkompensasi alkalosis respiratorik.

Memantau detak jantung janin (normal denyut jantung janin adalah 120-160
denyut/menit. Detak jantung janin yang tidak normal, repetitive decelerations,
absence of accelerations or beat-to-beat variability dan aktivitas uterus yang sering
dapat menjadi tanda-tanda dekompensasi ibu dan/ atau janin (misalnya, hipoksia
dan/atau asidosis) dan harus segera dilakukan konsultasi kebidanan.

Primary Survey

Primary survey mencakup ABCDE untuk perawatan trauma dan mengidentifikasi


kondisi yang mengancam jiwa dengan mengikuti urutan ini:

1. Airway maintenance with restriction of cervical spine motion

2. Breathing and ventilation

3. Circulation with hemorrhage control


4. Disability (assessment of neurologic status)

5. Exposure/Environmental control

→ Mengidentifikasi: menanyakan nama pasien, dan menanyakan apa yang terjadi.


Respons yang sesuai menunjukkan bahwa tidak ada permasalan jalan napas yang
membahayakan (mis., kemampuan berbicara dengan jelas), pernapasan tidak parah
(yaitu, kemampuan untuk menghasilkan gerakan udara untuk mengizinkan berbicara)
dan tingkat kesadaran yang tidak menurun (yaitu, cukup waspada untuk menjelaskan
apa yang terjadi).

→ Kegagalan untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan ini menunjukkan kelainan


pada A, B, C, atau D

Selama primary survey, kondisi yang mengancam jiwa diidentifikasi dan


diperlakukan dalam urutan prioritas berdasarkan efek cedera pada pasien karena tidak
mungkin mengidentifikasi cedera anatomi tertentu. Terlepas dari cedera yang
menyebabkan masalah dalam jalan napas, tetap prioritas pertama adalah manajemen
jalan napas: membersihkan jalan napas, pengisapan, pemberian oksigen, dan
membuka dan mengamankan jalan napas. Karena urutan yang diprioritaskan
didasarkan pada tingkat ancaman hidup, kelainan yang menimbulkan ancaman
terbesar harus diurus dulu.

1) Airway maintenance with restriction of cervical spine motion

Menilai jalan napas untuk memastikan patensi. Periksa tanda-tanda obstruksi


jalan napas termasuk memeriksa benda asing; mengidentifikasi wajah, mandibula,
dan/atau fraktur trakea/laring dan cedera lain yang dapat mengakibatkan obstruksi
jalan napas; dan pengisapan untuk membersihkan akumulasi darah atau sekresi yang
dapat menyebabkan obstruksi jalan napas.

Jika pasien mampu berkomunikasi secara verbal, jalan napas tidak mungkin
dalam bahaya langsung; Namun, penilaian berulang dari patensi jalan napas adalah
bijaksana.

Awalnya, jaw-thrust atau head tilt-chin-lift manuver seringkali cukup sebagai


intervensi awal. Jika pasien tidak sadar dan tidak memiliki refleks muntah, itu
penempatan jalan napas orofaringeal dapat membantu untuk sementara. Buat jalan
napas definitif jika ada keraguan tentang kemampuan pasien untuk mempertahankan
integritas saluran napas.
Manuver chin-lift dilakukan dengan menempatkan jari satu tangan di bawah
mandibula dan kemudian angkat perlahan ke atas untuk membawa dagu ke depan.
Dengan ibu jari tangan yang sama, tekan perlahan bibir bawah untuk membuka mulut.
Jaw thrust pegang sudutnya mandibula dengan satu tangan di setiap sisi dan kemudian
menggeser mandibula ke depan.

2) Breathing and ventilation

Setelah menstabilkan airway, maka tindakan selanjutnya adalah menjamin


pernapasan adekuat. Penilaian gangguan breathing dapat dilakukan dengan
pemeriksaan:

1. Look : melihat gerakan nafas,pengembangan dada dan

adanya retraksi sela iga

2. Listen : mendengarkan bunyi nafas

3. Feel : merasakan adanya aliran udara pernafasan.

Untuk menilai kebutuhan oksigen sel dan jaringan yang paling akurat adala
dengan melakukan pengukuran saturasi oksigen menggunakan alat yang disebut
oximeter. Biasanya alat ini berfungsi sekaligus untuk mengukur frekuensi denyut
jantung (heart rate) oleh karena itu alat tersebut sering disebut pulse oximetry. Nilai
normal saturasi oksigen adalah 95%-100%

3) Circulation with hemorrhage control

Volume darah, curah jantung, dan pendarahan adalah masalah peredaran darah
utama yang perlu dipertimbangkan. Unsur-unsur dari pengamatan klinis yang
menghasilkan informasi penting dalam hitungan detik adalah tingkat kesadaran, kulit
perfusi, dan nadi.

● Tingkat Kesadaran—Saat volume peredaran darah berkurang, perfusi serebral


dapat mengalami gangguan kritis, mengakibatkan tingkat kesadaran yang
berubah.
● Perfusi Kulit—Tanda ini dapat membantu dalam mengevaluasi pasien
hipovolemik yang terluka. Pasien dengan kulit merah muda, terutama di wajah
dan ekstremitas, jarang mengalami hipovolemia kritis setelah cedera.
Sebaliknya, pasien dengan hipovolemia mungkin memiliki kulit wajah pucat
dan abu-abu dan ekstremitas pucat.
● Nadi—Nadi yang cepat biasanya adalah tanda hipovolemia. Kaji nadi sentral
(misalnya, arteri femoralis atau karotis) secara bilateral untuk kualitas, tingkat,
dan keteraturan.

Identifikasi sumber perdarahan sebagai eksternal atau internal.


Perdarahan eksternal diidentifikasi dan dikendalikan selama survei primer.
Kehilangan darah eksternal yang cepat dikelola dengan tekanan manual
langsung pada luka. Tourniquets efektif dalam exsanguination besar-besaran
dari ekstremitas tetapi membawa risiko cedera iskemik ke ekstremitas itu.

Pada ibu hamil dengan perdarahan antepartum dapat dilakukan


pemeriksaan inspekulo dan perabaan fornises. Pemeriksaan inspekulo
Perabaan fornises: bukan pemeriksaan dalam (masukkan jari ke ostium uteri
eksternum) Raba daerah forniks apakah ada bantalan ? harus presentasi kepala
(bantalan dasar keras).

Kontrol perdarahan yang pasti sangat penting, bersama dengan


penggantian volume intravaskular yang tepat. mulailah terapi cairan IV
dengan kristaloid. Semua larutan IV juga harus dihangatkan dengan
penyimpanan di lingkungan yang hangat (yaitu, 37 ° C hingga 40 ° C, atau
98,6°F hingga 104°F) atau diberikan melalui alat penghangat cairan. Bolus 1 L
larutan isotonic mungkin diperlukan untuk mencapai respons yang sesuai
dalam pasien dewasa. Jika pasien tidak responsif terhadap inisial terapi
kristaloid, dia harus menerima darah transfusi.

4) Disability (assessment of neurologic status)

Evaluasi neurologis yang cepat menetapkan tingkat kesadaran pasien dan


ukuran pupil dan reaksi; mengidentifikasi adanya lateralisasi tanda-tanda; dan
menentukan tingkat cedera tulang belakang, jika hadir. GCS adalah metode yang
cepat, sederhana, dan objektif untuk menentukan tingkat kesadaran. GCS (Glasgow
Coma Scale) adalah salah satu bentuk penilaian tingkat kesadaran dengan
menggunakan skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat kesadaran pasien
dengan menggunakan sistem skoring, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan
koma. Teknik penilaian dengan dengan GCS ini terdiri dari tiga penilaian terhadap
respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon
buka mata, respon motorik terbaik dan respon verbal. Langkah kedua yang dinilai
pada pengkajian disability adalah menilai pupil, perubahan pada pupil (anisokor)à
ukuran pupil berbeda kemungkinan menandakan adanya suatu lesi intra kranial
(perdarahan).

Penurunan dalam tingkat kesadaran pasien dapat menunjukkan penurunan


oksigenasi serebral dan/atau perfusi, atau mungkin disebabkan oleh cedera otak
langsung. Sebuah tingkat kesadaran yang berubah menunjukkan kebutuhan untuk
segera mengevaluasi kembali oksigenasi pasien, ventilasi, dan status perfusi.
Hipoglikemia, alkohol, narkotika, dan obat-obatan lain juga bisa berubah tingkat
kesadaran pasien. Sampai terbukti jika tidak, selalu menganggap bahwa perubahan
tingkat kesadaran adalah hasil dari sistem saraf pusat cedera.

5) Exposure/Environmental control

Setelah menyelesaikan penilaian, lindungi pasien dengan selimut hangat atau


perangkat penghangat eksternal mencegah dia dari mengembangkan hipotermia
karena hipotermia adalah komplikasi yang berpotensi mematikan pasien yang terluka,
mengambil langkah-langkah agresif untuk mencegah hilangnya panas tubuh dan
mengembalikan suhu tubuh menjadi normal.

Secondary Survey

Survei sekunder tidak dimulai sampai primer survei (ABCDE) selesai, aat
tambahan personil tersedia, bagian dari survei sekunder dapat dilakukan saat personel
lain hadir ke survei primer. Metode ini sama sekali tidak boleh mengganggu kinerja
survei primer, yang merupakan prioritas tertinggi.

evaluasi head-to-toe dari pasien trauma-yaitu, riwayat lengkap dan


pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang semua tanda vital. Setiap wilayah tubuh
sepenuhnya diperiksa. Potensi hilangnya cedera atau gagal untuk menghargai
pentingnya cedera hebat, terutama dalam keadaan tidak responsif atau tidak stabil.

History

→ AMPLE adalah

• Alergi

• Obat-obatan yang saat ini digunakan

• Penyakit/Kehamilan sebelumnya

• Makanan terakhir

• Peristiwa/Lingkungan yang berhubungan dengan cedera

Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera. Pengetahuan tentang


mekanisme cedera dapat meningkatkan pemahaman pasien keadaan fisiologis dan
memberikan petunjuk untuk diantisipasi cedera.
→Pemeriksaan Fisik

pemeriksaan fisik mengikuti urutan kepala, struktur maksilofasial, tulang belakang


leher dan leher, dada, perut dan panggul, perineum/rektum/vagina, sistem
muskuloskeletal, dan sistem saraf.

2. Bagaimana anamnesis yang dilakukan untuk kasus tersebut?

Anamnesis pada kasus emergency didasari dari kondisi pasien saat masuk rumah
sakit, apakah memungkinkan dalam melakukan anamnesis atau tidak. Dalam hal ini
apakah pasien sadar atau tidak, pasien balita, pasien bisu, atau beberapa pasien
dengan gangguan jiwa.
Dalam kondisi darurat, anamnesis tetap harus dijalankan bersamaan dengan
penanganan pasien (secondary survey).
Anamnesis terbagi menjadi 2 yaitu autoanamnesis (dengan pasien sendiri) dan
Heteroanamnesis/Alloanamnesis (dengan orang yang dianggap mengerti tentang
keadaan pasien) seperti keluarga, polisi, dan pendamping pasien.

Dalam kasus tidak disebutkan apakah pasien datang dengan keadaan sadar atau tidak.
Apabila pasien sadar, dapat dilakukan autoanamnesis dan apabila pasien tidak sadar,
dapat dilakukan alloanamnesis pada pendamping atau orang yang membawa pasien ke
layanan kesehatan, lalu dilanjutkan lakukan autoanamnesis jika pasien telah sadar
kembali.

● Identitas pengantar (nama, hubungan dengan pasien)


● Identitas pasien (nama, umur, usia kehamilan)
● Tanyakan kronologi terkait kondisi pasien (jelaskan mengapa hingga pasien
mengalami perdarahan)
● Tanyakan sudah berapa lama perdarahan, riwayat perdarahan pada kehamilan
sebelumnya, apakah pasien mendapat tindakan dilokasi atau langsung diantar
ke rumah sakit
● Tanyakan terkait kejang (sejak kapan mulai kejang, berapa kali mengalami
kejang, riwayat kejang pada kehamilan sebelumnya)
● Memastikan kehadiran dari keluarga pasien
● Jika keluarga pasien ada, dapat ditanyakan alergi pasien (obat, makanan),
riwayat penyakit, riwayat pengobatan (obat yang diminum), kejadian sebelum
sakit (sebelum perdarahan)
● Apabila keluarga atau pendamping pasien tidak mengetahui informasi yang
ditanyakan, maka dapat ditanyakan kepada pasien saat pasien telah sadar
● Jelaskan untuk tatalaksana yang akan dilakukan pada pasien
3. Bagaimana Pemeriksaan penunjang sesuai dengan kasus pada skenario?

1. Pemeriksaan Penunjang Perdarahan


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada perdarahan dari pasien yaitu
pemeriksaan USG, MRI, dan pemeriksaan darah.
A) USG
Penggunaan ultrasonografi dalam pengaturan kehamilan sangat luas dan telah
menjadi standar perawatan dalam evaluasi ibu hamil, penggunaan USG nyaman
dan tidak menyakitkan yang memberikan hasil langsung. Tujuan USG selama
perawatan prenatal rutin adalah untuk menentukan kelangsungan hidup,
menentukan usia kehamilan, dan menilai jumlah janin.
Pemeriksaan USG berguna untuk menentukan letak plasenta. Dapat dilakukan
USG abdomen dan juga USG trasvaginal. Penggunaan USG transvaginal lebih
direkomendasikan karena mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik
dibandingkan dengan USG transabdominal. Terdapat beberapa kekurangan USG
transabdominal yaitu visualisasi yang kurang baik pada plasenta letak posterior
dan segmen bawah rahim akibat terhalang kepala bayi, obesitas serta keadaan
kandung kemih yang kosong atau terlalu penuh.
Pemeriksaan USG juga berguna untuk mengeliminasi diagnosis plasenta previa.
Pada plasenta previa didapatkan jaringan plasenta ekogenik homogen di atas
ostium servikal internal pada trimester 2 atau 3. Pada solusio plasenta dideteksi
hematoma retroplasenta atau plasenta, ketebalan plasenta meningkat, penumpukan
cairan di korion atau marginal.
Namun, sensitivitas ultrasonografi dalam memvisualisasikan solusio plasenta
rendah. Selama fase akut solusio plasenta, perdarahan isoechoic atau mirip dengan
jaringan plasenta di sekitarnya. Oleh karena itu, visualisasi dan diferensiasi
perdarahan tersembunyi yang terkait dengan solusio plasenta dari jaringan
plasenta di sekitarnya menjadi sulit.

B) MRI
MRI adalah alat yang berguna untuk mengevaluasi berbagai kondisi kebidanan
dan non-kebidanan selama kehamilan karena memiliki resolusi spasial dan kontras
yang sangat baik, bebas dari radiasi pengion, dan hasil yang tidak bergantung pada
operator. Indikasi klinis paling umum untuk MRI darurat selama kehamilan
mencakup kondisi ibu dan janin. Dalam semua kasus USG biasanya merupakan
pilihan diagnostik pertama namun, jika USG tidak mengarah pada kepastian
diagnosis, maka digunakan MRI untuk menegakkan diagnosis yang pasti. Dimana
MRI dapat memberikan akurasi diagnostic dan visualisasi yang lebih besar pada
janin, plasenta dan rahim. Seperti visualisasi yang lebih baik dari area plasentasi
abnormal, mengidentifikasi hematoma dan membedakannya dari tumor. MRI
tidak mengakibatkan efek negatif terhadap janin, namun perlu diperhatikan bahwa
janin lebih sensitif terhadap kebisingan dan efek pemanasan yang dihasilkan oleh
mesin MRI.
Pencitraan MRI dapat secara akurat mendeteksi solusio plasenta dan harus
dipertimbangkan setelah temuan USG negative. Perdarahan akibat solusio muncul
sebagai area dengan intensitas sinyal sedang hingga tinggi pada T1 dan intensitas
sinyal tinggi pada T2 weighted image, terletak di antara plasenta dan dinding
rahim. Namun tidak dapat memberikan gambaran lokasi plasenta sebaik USG
transvaginal, selain itu MRI tidak tersedia pada semua pelayanan kesehatan.

C) Pemeriksaan Laboratorium
- Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan Kadar hemoglobin(hb) untuk mengetahui adanya anemia pada
ibu dan juga dapat dilakukan pemeriksaan jumlah leukosit untuk mengetahui
apakah ibu mengalami infeksi. Pemeriksaan darah lain sesuai indikasi seperti
malaria, HIV, Sifilis dan lain lain. Pemeriksaan golongan darah dan Rh
dibutuhkan jika transfusi darah diperlukan.
Pemeriksaan darah dapat membantu dalam menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan darah pada solusio plasenta dapat ditemukan proteinuria,
tandatanda koagulasi konsumtif seperti penurunan kadar fibrinogen (< 200
mg/dL), protrombin, faktor V dan VIII, serta trombosit (< 100.000).
Pemeriksaan golongan darah dan Rh dibutuhkan jika transfusi darah
diperlukan.
- Pemeriksaan Koagulasi (Fibrinogen, PT/aPTT, D-dimer)
Proses kehamilan akan meningkatkan aktivitas koagulasi dan bersifat
fisiologis karena merupakan usaha tubuh dalam menghentikan pendarahan,
namun jika aktivitas koagulasi terlalu meningkat, dapat mengganggu
kehamilan hingga kematian. Fibrinogen atau faktor I adalah protein plasma
yang berperan penting dalam pembekuan darah. Pemeriksaan fibrinogen
dilakukan untuk mengukur jumlah fibrinogen dalam darah, sedangkan
Pemeriksaan PT/aPTT dilakukan untuk menilai adanya gangguan pembekuan
darah. Pemeriksaan D-dimer yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk
diagnosis penyakit dan kondisi yang menyebabkan hiperkoagulabilitas; suatu
kecenderungan darah untuk membeku melebihi ukuran normal. Pemeriksaan
ini berperan penting dalam memprediksi kegawatan maupun proses
penyembuhan, contohnya pada kasus preeklampsia dan eklampsia
berhubungan dengan komplek abnormalitas koagulasi yang berkaitan dengan
peningkatan fungsi dari trombosit, aktivasi sistem fibrinolitik, formasi trombin
dan percepatan keadaan hiperkoagulasi. Preeklamsi dan eklamsi sering
menyebabkan kematian. Salah satu komplikasi yang ditakutkan dan
mengancam pada preeklampsia berat dan eklampsia adalah terjadinya
koagulopati atau DIC. Pada keadaan ini terjadi kelainan hematologi berupa
proses pembekuan bersamaan dengan terjadinya perdarahan karena
fibrinolisis.
2. Pemeriksaan Penunjang Kejang
A) EEG
EEG merupakan metode untuk merekam aktivitas elektris otak pada permukaan
kulit kepala. EEG merekam fluktuasi potensial elektris yang muncul sebagai
akibat dari aktivitas sel-sel otak. Jika hasil EEG menunjukkan adanya
gelombang epileptiform menunjukkan adanya aktivitas listrik otak yang tidak
normal. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil
pemeriksaan EEG akanmembantu dalam membuat diagnosis, mengklarifikasikan
jenis serangan kejang yang benar dan mengenali sindrom epilepsi.

B) Neuroimaging ( MRI kepala atau CT Scan)


Pemeriksaan utama neuroimaging pada pasien dengan kejang adalah magnetic
resonance imaging (MRI). Hal ini disebabkan oleh karena MRI lebih sensitif
mengevaluasi kondisi struktur otak secara mendetail dibandingkan dengan CT
scan.
MRI berfungsi untuk mendeteksi lesi epileptogenik di otak. Jika hasil MRI
menunjukkan tidak adanya fokus epileptogenik, artinya tidak ditemukan
gelombang yang mengarah pada epilepsi. Namun, ada kelainan/gangguan fungsi
pada korteks otak. Gangguan fungsi ini banyak penyebabnya, bisa karena trauma,
kekurangan oksigen saat lahir atau akibat hal lain, atau akibat ketidakseimbangan
ion-ion dalam otak.
Akan tetapi CT scan dapat dilakukan pada setting kegawatdaruratan jika ada
kecurigaan terhadap lesi patologis akut seperti perdarahan intrakranial, stroke non
hemoragik, space occupying lesion seperti tumor otak dengan tanda peningkatan
intrakranial, abses otak, dan traumatic brain injury. Hal ini karena CT scan lebih
banyak tersedia di rumah sakit.

4. Apa diagnosis dan diagnosis banding Sesuai skenario?


Diagnosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.

Berdasarkan skenario diketahui:


● Seorang perempuan 28 tahun G1P0A0
● Usia kehamilan pasien 28-29 minggu → trimester ketiga
● Keluhan keluar darah dari jalan lahir
● Riwayat: kejang kemudian tersambar sepeda motor hingga pasien jatuh
dengan posisi terduduk

ANAMNESIS:
Keluhan: keluar darah dari jalan lahir
Riwayat: kejang saat berbelanja di pasar lalu tersambar motor hingga posisi terduduk
Kemungkinan hal-hal lain:
- nyeri hebat pada perut akibat trauma yang dialami
- pencetus kejang: panas (saat berbelanja di pasar)

PEMERIKSAAN FISIK DAN PENUNJANG:


PF:
- Abdomen: (+) nyeri
- Warna darah yang keluar dari jalan lahir (hitam/merah cerah)
- TTV pasien: terutama pemeriksaan tekanan darah
PP:
- USG abdomen
- Hasil laboratorium

DIAGNOSIS:
Perdarahan antepartum et causa Solusio plasenta
Kejang et causa Eklampsia

Perdarahan antepartum → berdasarkan usia kehamilan


Solusio Plasenta → adanya riwayat trauma + kejang
Eklampsia → kejang pada periode antepartum

DIAGNOSIS BANDING:
PLASENTA PREVIA SOLUSIO PLASENTA

Pada Ibu: Pada Ibu:


● Perdarahan tanpa nyeri ● Perdarahan dengan nyeri
● Perdarahan berulang ● Perdarahan bisa disusul partus
● Perdarahan banyak ● Perdarahan sedikit
● Darah yang keluar cerah (tersembunyi/keluar)
● Perut tidak tegang ● Darah yang keluar gelap
● Tekanan darah bervariasi ● Perut tegang/nyeri
● Dapat ditemukan syok

Pada Janin: Pada Janin:


● Palpasi anak (+) ● Palpasi anak sulit
● BJA (+/-) ● BJA sulit dievaluasi
● Kepala anak tinggi/kelainan ● Normal
letak

Pada kehamilan, eklampsia merupakan pertimbangan penting di antara


kemungkinan penyebab kejang. Evaluasi kejang pada kehamilan harus dimulai
dengan pertimbangan eklampsia.

5. Apa yg menyebabkan ibu tersebut alami kejang?


Eklampsia didefinisikan sebagai kejadian kejang pada wanita dengan preeklampsia
yang ditandai dengan hipertensi yang tiba-tiba, proteinuria dan edema yang bukan
disebabkan oleh adanya koinsidensi penyakit neurologi.

Faktor Predisposisi Kejang


● Kekerasan fisik dan penelantaran
● Kekerasan seksual
● Komorbiditas medis dan komorbiditas psikiatri
● Kecemasan
● Depresi
● Gangguan bipolar

Penyebab Ibu mengalami Kejang

1. Inhibisi perkembangan uterovaskular


Terdapat banyak perubahan uterovaskular yang terjadi ketika seorang wanita hamil.
Pada pasien dengan eklampsia, perkembangangan arteri uteroplasenta terhambat.

2. Hambatan regulasi aliran darah serebral


Regulasi perfusi serebral dihambat, pembuluh darah mengalami dilatasi, dan
terjadilah edema serebral.

3. Disfungsi endotel
Ketidak seimbangan antara faktor-faktor relaksasi dan kontraksi, antara faktor-faktor
antikoagulan dan prokoagulan, antara faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan
dan proliferasi sel.

4. Stres oksidatif
Molekul leptin meningkat pada sirkulasi wanita, menginduksi stres oksidatif.

6. Bagaimana tatalaksana terhadap ibu yang dapat dilakukan pada kasus


tersebut?
TATALAKSANA PERDARAHAN ANTEPARTUM SOLUSIO PLASENTA
Penanganan kasus-kasus solusio plasenta didasarkan kepada berat atau ringannya
gejala klinis, yaitu:
a. Solusio plasenta ringan Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36
minggu dan bila ada perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus
tidak tegang, janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian
tunggu persalinan spontan. Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung
terus, gejala solusio plasenta makin jelas, pada pemantauan dengan USG
daerah solusio plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera
diakhiri. Bila janin hidup, lakukan seksio sesaria, bila janin mati lakukan
amniotomi disusul infus oksitosin untuk mempercepat persalinan.
b. Solusio plasenta sedang dan berat Apabila tanda dan gejala klinis solusio
plasenta jelas ditemukan, penanganan di rumah sakit meliputi transfusi darah,
amniotomi, infus oksitosin dan jika perlu seksio sesaria. Apabila diagnosis
solusio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan telah terjadi
sekurang-kurangnya 1000 ml. Maka transfusi darah harus segera diberikan.
Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan intrauterin.
Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari tempat
implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam sirkulasi ibu
yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor pembekuan dari hematom
subkhorionik dan terjadinya pembekuan intravaskuler dimana-mana.
Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infus oksitosin yang
bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uterus yang mungkin saja telah
mengalami gangguan. Gagal ginjal sering merupakan komplikasi solusio
plasenta. Biasanya yang terjadi adalah nekrosis tubuli ginjal mendadak yang
umumnya masih dapat tertolong dengan penanganan yang baik. Tetapi bila
telah terjadi nekrosis korteks ginjal, prognosisnya buruk sekali. Pada tahap
oliguria, keadaan umum penderita umumnya masih baik. Oleh karena itu
oliguria hanya dapat diketahui dengan pengukuran pengeluaran urin yang teliti
yang harus secara rutin dilakukan pada penderita solusio plasenta sedang dan
berat, apalagi yang disertai hipertensi menahun dan preeklamsia. Pencegahan
gagal ginjal meliputi penggantian darah yang hilang, pemberantasan infeksi
yang mungkin terjadi, mengatasi hipovolemia, menyelesaikan persalinan
secepat mungkin dan mengatasi kelainan pembekuan darah. Kemungkinan
kelainan pembekuan darah harus selalu diawasi dengan pengamatan
pembekuan darah. Pengobatan dengan fibrinogen tidak bebas dari bahaya
hepatitis, oleh karena itu pengobatan dengan fibrinogen hanya pada penderita
yang sangat memerlukan, dan bukan pengobatan rutin. Dengan melakukan
persalinan secepatnya dan transfusi darah dapat mencegah kelainan
pembekuan darah. Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak
berlangsungnya solusio plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan,
walaupun sudah dilakukan amniotomi dan infus oksitosin, maka satu-satunya
cara melakukan persalinan adalah seksio sesaria.
Apoplexi uteroplacenta (uterus couvelaire) tidak merupakan indikasi
histerektomi. Akan tetapi, jika perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah
dilakukan seksio sesaria maka tindakan histerektomi perlu dilakukan.
TATALAKSANA KEJANG EKLAMSIA
Adapun yang menjadi prinsip dasar dalam managemen eklampsia meliputi
terapi suportif, mengatasi airway, breathing, dan circulation, kontrol kesadaran
dan kualitas dan kuantitas koma dengan “GlasgowPittsburg Coma Scale”.
Pemilihan pemberian MgSo4 secara intravena untuk kontrol kejang karena
kerjanya di perifer dan tidak menimbulkan depresi sistem pernapasan yang
mana pemberiannya 24 jam hingga bebas kejang. Pemilihan obat
antihipertensi diberikan secara intermitten, untuk pilihan utama obatnya
adalah nifedipin. Penderita eklampsia juga dilakukan koreksi asidosis dan
hipoksemia, tidak harus menggunakan diuretik kecuali apabila terdapat edema
paru, oedem anasarka dan congestif heart failure, kurangi pemberian cairan
melalui intravena kecuali pada kasus kehilangan cairan berat seperti diare
yang berkepanjangan atau muntah berlebihan, tidak menggunakan
hiperosmotik, dan segera dilakukan terminasi kehamilan (Lestari et all, 2019).
TATALAKSANA PASIEN PADA SKENARIO
● Diskenario tidak dijelaskan apakah perdarahan yang dialami pasien
merupakan perdarahan berat atau ringan.(transfusi darah)-berat.
● Kehamilan pasien <34 minggu apabila perdarahan sedikit dan berhenti bisa
dilanjutkan dengan perawatan konservatif,dan apabila perdarahan tidak
berhenti maka tatalaksana selanjunya segera dilahirkan.
● Tatalaksana kejang pada skenario
Terapi suportif, mengatasi airway, breathing, dan circulation, kontrol
kesadaran dan kualitas dan kuantitas koma dengan “GlasgowPittsburg Coma
Scale”.

7. Bagaimana Riwayat dan tatalaksana yang dapat dilakukan untuk janinnya ?


Sasaran Tatalaksana
Untuk solusio ringan, tatalaksana bertujuan untuk memperpanjang kehamilan hingga
peningkatan maturitas janin (biasanya hingga usia kehamilan 37 minggu atau lebih)
Untuk solusio sedang hingga berat, capai stabilisasi hemodinamik ibu dan pelahiran
janin

Untuk usia kehamilan kurang dari 34 minggu


Pada Pasien dengan solusio ringan dan tidak ada tanda-tanda gawat ibu atau janin
- Memantau status ibu dan janin
- menunda persalinan
- Berikan steroid antenatal untuk meningkatkan maturitas paru janin, karena risiko
kelahiran prematur
- Penggunaan tokolitik ( kontroversi )

Wanita dengan solusio sedang atau berat dengan janin yang hidup
Dianggap darurat yang mengancam jiwa ibu dan janin mengoreksi hipovolemia,
anemia, dan hipoksia pada ibu dengan tujuan memulihkan dan mempertahankan
fungsi plasenta yang masih terimplantasi. Persalinan sesar darurat diindikasikan jika
janin tertekan (misalnya, bradikardia) atau ibu tidak stabil secara hemodinamik dan
persalinan tidak segera terjadi

Dalam kasus kematian janin


Bila keaadaan ibu stabil,disarankan persalinan pervaginam
Amniotomi dapat digunakan untuk mempercepat persalinan

Penilaian kesehatan janin

8. Apakah perluh dilakukan terminasi terhadap janin?


INDIKASI TERMINASI KEHAMILAN
Dunia kedokteran membenarkan pelaksanaan pengguguran kandungan, tetapi yang
berdasarkan indikasi medis (indikasi vital) artinya apabila dengan berlanjutnya
kehamilan akan membahayakan kesehatan ibu, sehingga sebaiknya diterminasi.
“Terminasi kehamilan”, adalah mengakhiri kehamilan dengan sengaja sehingga tidak
sampai ke kelahiran. baik janin dalam keadaan hidup atau mati. Biasanya terminasi
kehamilan dilakukan apabila beresikO untuk kehidupan ibunya, dan untuk Kesehatan
mental. Bila terminasi dilakukan lebih awal akan lebih aman.
Terminasi kehamilan diindikasikan pada keadaan ibu (penyakit ibu misalnya Diabetes
Mellitus, hipertensi dalam kehamilan), janin (misalnya Intra Uterine Growth
Restriction, Intra Uterine fetal Death, kelainan bawaan janin) dan waktu (kehamilan
serotinus).
Indikasi medis (vital), Beberapa indikasi medis yang menjadi pertimbangan terminasi
kehamilan, yaitu :
1. Ibu dengan penyakit (jantung yang berat, penyakit ginjal, penyakit hepar,
hiperemesis
gravidarum)
2. Kondisi kehamilan seperti :
❖ · Missed abortion
❖ · Telur kosong (Blighted Ovum)
❖ · Molahidatidosa
❖ · Abortus insipiens
❖ · Abortus incomplet
❖ · Kehamilan ektopik
❖ · Ketuban pecah dini
❖ · Kehamilan lewat waktu
❖ · Kematian janin dalam rahim
3. Indikasi berdasarkan hasil pemeriksaan janin (terdapat cacat bawaan yang berat,
terdapat penyakit keturunan)
KONTRAINDIKASI MEDIS UNTUK TERMINASI KEHAMILAN
Wanita dengan gagal ginjal atau asma berat dan pengobatan dengan glukokortikoid
jangka panjang sebaiknya tidak diberikan mifepristone dan prostaglandin. Obat ini
harus digunakaN dengan hati-hati pada wanita dengan komplikasi diabetes mellitus,
anemia berat, atau gangguan hemoragik dan pada wanita yang pengobatan dengan
antikoagulan. Penggunaa sulprostone dikontraindikasikan pada wanita di atas usia 35
tahun dengan obesitas, merokok, atau yang memiliki faktor risiko kardiovaskular lain,
karena obat tersebut dikaitkan dengan gagal jantung pada wanita. Tidak ada
pembatasan untuk gemeprost dan misoprostol. Wanita yang diberi methotrexate tidak
boleh meminum obat apapun yang mengandung folat, karena mungkin saja
mengganggu aksi methotrexate. Untuk kasus scenario, perlu observasi lebih lanjut
untuk melihat keberhasilan penanganan terhadap keadaan ibu dan janin sebelum
melakukan terminasi kehamilan.`

9. Bagaimana prognosis dan komplikasi yang dapat trjadi?

A. Eklampsia

1) Prognosis

Hasil tergantung pada tingkat keparahan penyakit, kondisi medis yang ada
bersamaan, dan usia kehamilan ketika kondisi berkembang.
● Outcome maternal dan perinatal menguntungkan pada pasien dengan
preeklampsia ringan yang mengembangkan penyakit setelah minggu ke-33
kehamilan.
● Tingkat morbiditas dan mortalitas ibu dan bayi lebih tinggi pada pasien yang
mengalami preeklampsia sebelum usia kehamilan 33 minggu, pasien dengan
kondisi medis yang sudah ada sebelumnya, dan pasien di negara berkembang.
Lima persen pasien dengan hipertensi mengalami preeklampsia berat, dan
sekitar 25% wanita dengan eklampsia mengalami hipertensi pada kehamilan
berikutnya. Sekitar 2% wanita dengan eklampsia berkembang menjadi
eclampsia pada kehamilan berikutnya. Wanita multipara dengan eklampsia
memiliki risiko lebih tinggi untuk berkembangnya hipertensi esensial; mereka
juga memiliki angka kematian yang lebih tinggi pada kehamilan berikutnya
daripada wanita primipara.

Preeklampsia dan eklampsia menyebabkan sekitar 50.000 kematian ibu di seluruh


dunia setiap tahunnya.

● Eklampsia terkait dengan risiko kematian ibu yang meningkat di


negara-negara maju (0%-1,8%) dan tingkat kematian hingga 15% di
negara-negara berkembang.

Ada bukti bahwa preeklampsia terkait dengan risiko peningkatan jangka panjang
terhadap penyakit serebrovaskular dan kardiovaskular (bertambah pada kasus
yang berat atau dengan onset dini).

2) Komplikasi bagi Ibu


Komplikasi potensial lain dari eklamsia meliputi hal berikut:

● Kerusakan neurologis permanen akibat kejang berulang atau


perdarahan intrakranial.
Pada preeklampsia, kematian yang tiba-tiba terjadi bersamaan dengan
kejang atau segera setelahnya sebagai akibat perdarahan otak yang hebat.
Kondisi ini merupakan komplikasi maternal yang paling signifikan dengan
angka mortalitas 8-36%.

Sindrom ensefalopati reversibel posterior (PRES), suatu kondisi


neurologis, adalah komplikasi lain yang dapat menyebabkan pasien
dengan eklampsia. Pasien dengan PRES dapat memiliki berbagai gejala,
termasuk sakit kepala, kejang, perubahan status mental, kebutaan kortikal,
dan kelainan visual lainnya. Sebagian besar kasus PRES akan sembuh
dalam beberapa minggu jika tekanan darah dan faktor pemicu lainnya
dikontrol; namun, selalu ada risiko bahwa pasien akan mengalami edema
serebral dan komplikasi fatal lainnya.
● Mata
Kebutaan dapat terjadi setelah kejang atau dapat terjadi spontan bersama
dengan preeklampsia. Sebanyak 56% pasien dengan eklampsia mungkin
mengalami gangguan sementara, termasuk kebutaan kortikal. Namun,
studi-studi gagal menunjukkan bukti adanya gangguan neurologis yang
persisten setelah kejang eklamptik tanpa komplikasi selama periode
pemantauan. Kebutaan ini dapat diakibatkan oleh ablasio retina dan
iskemia atau infark pada lobus oksipitalis
● Paru
Edema paru adalah tanda prognostik yang buruk yang menyertai
eklampsia. Faktor penyebab atau sumber terjadinya edema adalah : (1)
pneumonitis aspirasi setelah inhalasi isi lambung jika terjadi muntah pada
saat kejang; (2) kegagalan fungsi jantung yang mungkin sebagai akibat
hipertensi akibat berat dan pemberian cairan intravena yang berlebihan.
● Kardiovaskuker
Dapat terjadi Cardiac arrest, acute decompensatio cordis, spasme vaskuler
menurun, tahanan pembuluh darah tepi meningkat, indeks kerja ventrikel
kiri naik, tekanan vena sentral menurun, tekanan paru menurun. Studi
menunjukkan bahwa terdapat risiko yang meningkat untuk kejadian
cerebrovascular accident (CVA) dan penyakit arteri koroner (CAD) pada
ibu yang pernah mengalami eklampsia di kemudian hari.
● Ginjal
Insufisiensi ginjal dan gagal ginjal akut
● Perubahan pada janin
IUGR (Intrauterine Growth Retardation), pelepasan plasenta yang
tiba-tiba, oligohidramnion
● Hati
Kerusakan hati (Nekrosis periportal, gangguan sel liver, perdarahan
subkapsuler) dan dalam kasus yang jarang terjadi, pecahnya hati
● Gangguan hematologis
Dapat terjadi plasma darah menurun, viskositas darah meningkat,
hemokonsentrasi, gangguan pembekuan darah, Disseminated intravascular
coagulation (DIC), sindroma HELLP (Hemolisis, Elevated Liver Enzymes
Low Platelet).
● Perubahan Metabolisme Umum
Asidosis metabolic, gangguan pernapasan maternal
● Uterus
Solusio plasenta yang dapat menyebabkan perdarahan pascapartum dan
DIC. Eklampsia merupakan faktor predisposisi terjadinya solusio plasenta
walaupun lebih banyak terjadi pada kasus hipertensi kronik.
● Risiko meningkat untuk menderita preeklampsia/eklamsia berulang
pada kehamilan berikutnya
● Perdarahan antepartum
Pada eklampsia sering didapat adanya hemokonsentrasi atau tidak
terjadinya hipervolemia seperti pada kehamilan normal. Hal tersebut
membuat ibu hamil pada kasus eklampsia jauh lebih rentan terhadap
kehilangan darah dibandingkan ibu normotensive.
● Kematian maternal
Eklampsia dikaitkan dengan sekitar 13% dari kematian ibu di seluruh
dunia. Kematian maternal pada eklampsia disebabkan karena beberapa hal
antara lain karena perdarahan otak, kelainan perfusi otak, infeksi,
perdarahan dan sindroma HELLP.

3) Komplikasi bagi Janin

● Abruptio plasenta/ Solusio Plasenta


● Persalinan Prematur
Partus prematuritas sering terjadi pada ibu dengan eklampsia karena
terjadi kenaikan tonus uterus dan kepekaan terhadap rangsangan yang
meningkat
● Dismaturitas (bayi baru lahir yang berat badan lahirnya tidak sesuai
dengan berat badan seharusnya untuk masa gestasi)
○ Pada preeklampsia atau eklampsia terdapat spasmus arteriola
spiralis desidua dengan akibat menurunnya aliran darah ke
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama pertumbuhan janin
terganggu sehingga menimbulkan dismaturitas, sedangkan pada
hipertensi yang lebih pendek terjadi gawat janin sampai
kematiannya karena kekurangan oksigenasi
○ Komplikasi Dismaturitas: Sindrom aspirasi mekonium,
Hipoglikemia simptomatik, Asfiksia neonatorum, Penyakit
membran hialin, Hiperbilirubinemia.
● Intrauterine growth retardation (IUGR)
● Sindroma Distress Respirasi
Yoon (1980) melaporkan insidens sindrom distres respirasi pada bayi
yang dilahirkan dari ibu preeklampsia-eklampsia sebanyak
26,1-40,8%. Beberapa faktor yang berperan terjadinya gangguan ini
adalah hipovolemik, asfiksia, dan aspirasi mekonium
● Trombositopenia
Trombositopenia pada bayi baru lahir dapat merupakan penyakit
sistemik primer sistem hemopoetik atau suatu transfer faktor-faktor
yang abnormal ibu. Kurang lebih 25-50% bayi yang dilahirkan dari ibu
dengan trombositopenia juga mempunyai jumlah trombosit kurang dari
150.000/mm3 pada waktu lahir, tapi jumlah ini dapat segera menjadi
normal.
● Hipermagnesemia
Hal ini dapat terjadi pada bayi baru lahir dari ibu eklampsia dengan
pengobatan magnesium. Pada keadaan ini dapat terjadi depresi susunan
saraf pusat, paralisis otot-otot skeletal sehingga memerlukan
pernapasan buatan.
● Neutropenia
Bayi yang dilahirkan dari ibu dengan preeklampsia dan terutama
dengan sindroma HELLP dapat ditemukan neutropenia. Penyebabnya
tidak jelas, mungkin mempunyai hubungan dengan agen yang
menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah ibu melewati
plasenta janin.
● Kematian janin dan kematian neonatal
Kematian perinatal terjadi karena asfiksia neonatorum berat, trauma
saat kejang intrapartum, dismaturitas yang berat. Beberapa kasus
ditemukan bayi meninggal intrauterin

B. Abruptio Plasenta/ Solusio Plasenta

1) Prognosis

Solusio plasenta mempunyai prognosis yang buruk baik bagi ibu hamil dan
lebih buruk lagi bagi janin jika dibandingkan dengan plasenta previa. Solusio
plasenta ringan masih mempunyai prognosis yang baik bagi ibu dan janin
karena tidak ada kematian dan morbiditasnya rendah. Solusio plasenta sedang
mempunyai prognosis yang lebih buruk terutama terhadap janinnya karena
mortalitas dan morbiditas perinatal yang tinggi di samping morbiditas ibu,
yang lebih berat. Solusio plasenta berat mempunyai prognosis paling buruk
baik terhadap ibu lebih-lebih terhadap janinnya. Umumnya pada keadaan yang
demikian janin telah mati dan mortalitas maternal meningkat akibat salah satu
komplikasi. Pada solusio plasenta sedang dan berat prognosisnya juga
bergantung pada kecepatan dan ketepatan bantuan medik yang diperoleh
pasien. Transfusi darah yang banyak dengan segera dan terminasi kehamilan
tepat waktu sangat menurunkan morbiditas dan mortalitas maternal dan
perinatal.

Selain itu, Angka kekambuhan pada kehamilan berikutnya adalah 11% setelah
satu episode dan 25% setelah dua episode. Risiko jangka panjang bagi bayi
baru lahir terkait dengan paparan hipoksia di dalam rahim; cerebral palsy
adalah komplikasi yang paling sering terjadi.

2) Komplikasi bagi Ibu


Komplikasi terutama bergantung pada tingkat keparahan penyakit

● Risiko komplikasi maternal meningkat dengan kematian janin


akibat perdarahan dari tempat plasenta menempel.
● Syok
Kehilangan darah maternal dengan hipovolemia dapat mengakibatkan
metabolisme anaerobik dengan asidosis, menyebabkan kegagalan
ventrikel kiri dan syok ireversibel.
● Koagulopati konsumtif
Pada sekitar sepertiga perempuan yang mengalami solusio plasenta,
yang cukup berat untuk mematikan janin, terdapat perubahan yang
dapat diukur pada faktor koagulasi. Secara spesifik,
hipofibrinogenemia yang bermakna secara klinis (kadar plasma < 150
mg/dL) ditemukan. Temuan ini disertai dengan peningkatan produk
degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-dimer, yang merupakan produk
pemecahan spesifik fibrin. Faktor koagulasi lain yang menurun secara
bervariasi. Koagulopati konsumtif lebih mungkin terjadi pada solusio
yang terselubung pada kondisi seperti ini tekanan intrauteri lebih tinggi
sehingga mendorong lebih banyak tromboplastin untuk memasuki
sistem vena ibu. Pada kasus-kasus dengan janin yang selamat, defek
koagulasi berat lebih jarang ditemukan. Pada solusio plasenta yang
cukup berat sehingga menyebabkan kematian janin, selalu terdapat
kadar patologis produk degradasi fibrinogen-fibrin dan/atau D-Dimer
dalam serum ibu.
● Koagulasi intravaskular tersebar/Disseminated intravascular
coagulation (DIC)
Koagulasi intravaskular tersebar lebih umum terjadi pada kasus
kematian janin dan dapat membaik setelah pengiriman janin dan
plasenta.
● Perdarahan pasca persalinan
Perdarahan pasca persalinan sering disebabkan oleh koagulasi
intravaskular tersebar (DIC) atau uterus Couvelaire (perdarahan ke
dalam miometrium). Kestabilan hemodinamik memburuk dengan cepat
ketika kehilangan darah melebihi 25% dari total volume.
● Sindrom Sheehan
Perdarahan intrapartum atau pasca partum dini yang berat dapat diikuti
oleh kegagalan hipofisis atau sindroma Sheehan. Sindrom ini ditandai
dengan kegagalan laktasi, amenorea, atrofi payudara, rontoknya
rambut pubis dan aksila, hipotiroidisme dan insufisiensi korteks
adrenal. Patogenesis sindrom ini belum dipahami benar dan kelainan
endokrin semacam ini jarang timbul, bahkan pada perempuan yang
mengalami perdarahan berat. Pada beberapa kasus tapi tidak semua,
kasus Sindrom Sheehan mungkin terdapat nekrosis hipofisis dalam
derajat yang bervariasi dan gangguan sekresi satu atau lebih hormon
tropik. Diagnosisnya menggunakan MRI
● Gagal Ginjal Akut
Nekrosis tubular akut dan nekrosis kortikal akut dapat terjadi akibat
hipovolemia dan koagulopati, menyebabkan gagal ginjal. Gagal ginjal
akut lebih sering terjadi jika terapi hipovolemia diberikan lambat atau
tidak lengkap.
● Risiko peningkatan emboli cairan ketuban maternal
● Kematian Maternal
Kematian maternal adalah konsekuensi yang jarang terjadi (1% dari
pasien).
● Wanita yang mengalami ablasi plasenta memiliki risiko kematian
kardiovaskular prematur 3 hingga 4 kali lipat.

3) Komplikasi bagi Janin


Komplikasi ini terjadi pada 67% pasien. Komplikasi terutama bergantung pada
tingkat keparahan penyakit dan usia kehamilan janin

● Persalinan prematur
Sekitar 40% hingga 60% kasus terkait dengan persalinan prematur
● Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
● Asfiksia perinatal
● Kematian perinatal
Kematian janin masih terjadi dalam sebagian besar kasus ketika
plasenta terpisah lebih dari 50%. Kematian neonatal terutama terkait
dengan persalinan prematur (lebih dari 50% kasus). Pengiriman segera
janin melalui operasi caesar dapat menghasilkan tingkat kelangsungan
hidup sebesar 75%. Keterlambatan dalam mengidentifikasi kondisi
janin yang terancam telah terkait dengan 60% kematian perinatal yang
dapat dicegah dalam kasus ablasi plasenta.

10. Bagaimana edukasi pada pasien?

Dalam melakukan edukasi pada pasien, jelaskan lebih dahulu kondisi pasien dan
bayinya. Beritahukan Tindakan apa yang telah dilakukan dan komplikasi serta
prognosis pada ibu dan bayi misalnya sebagai berikut :

Ibu dengan kondisi eklampsia harus mengonsumsi beberapa jenis obat, keluarga dan
orang terdekat sebaiknya mengingatkan untuk mengonsumsi obat
● Stabilisasi tekanan darah
● Pencegahan kejang (MgSO4)
● Steroid agar janin matur < 34 minggu
○ Dapat mencegah :
■ Respiratory distress syndrome
■ Perdarahan intracranial
■ Necrotizing enterocolitis
Serta edukasi kepada keluarga pasien bahwa pasien memerlukan fasilitas kesehatan
dengan NICU dalam persalinannya jika kurang dari 32 minggu.
Kematian Pada bayi yang lahir prematur, orang tua perlu diedukasi mengenai
Tindakan apa saja yang harus dilakukan oleh orang tua sang bayi. Tim medis harus
sensitif terhadap berbagai kemampuan atau kemauan keluarga untuk berbagi dalam
perawatan bayi mereka dengan tetap menjaga tingkah laku untuk tidak menghakimi
keluarga. Selain itu, perbedaan budaya, norma, dan latar belakang keluarga harus
dihormati. Tujuan utama edukasi orang tua adalah untuk memperkuat perasaan orang
tua akan kompetensi dirinya dan memperkuat interaksi antara orang tua dan bayi.
Edukasi menurut WHO sebagai berikut :

● Semua bayi perlu dilindungi dari infeksi: semua orang yang menyentuh ibu
atau bayi harus memiliki tangan yang bersih. Pemeriksaan medis dan prosedur
harus dilakukan hanya jika diperlukan.
● Semua bayi perlu tetap hangat: segera setelah lahir, bayi harus dikeringkan
dengan baik dan ditempatkan di perut ibunya. Jika mereka bernapas normal,
dan setelah tali pusar dipotong, mereka harus diletakkan di dada ibunya,
dengan kontak kulit dengan kulit, hingga setelah pemberian ASI pertama.
Mereka tidak boleh langsung dimandikan.
● Sebagian besar bayi akan bernapas normal setelah dikeringkan dengan baik.
Mereka yang tidak mulai bernapas sendiri membutuhkan bantuan: ventilasi
dengan kantong dan masker biasanya akan membantu mereka.
● ASI adalah yang terbaik: seperti bayi yang lahir pada waktu yang tepat, ASI
adalah nutrisi terbaik untuk bayi prematur. Bayi sebaiknya diberi ASI secepat
mungkin setelah lahir. Sebagian besar bayi prematur yang tidak mampu
mengkoordinasikan refleks menyedot dan menelan dapat diberi ASI ibu yang
diekspresikan melalui cangkir, sendok, atau tabung nasogastrik.

Setelah bayi stabil secara medis, keluarga harus mulai berpartisipasi sejauh mungkin
dan sesuai dengan yang diinginkan dalam perawatan bayi mereka. Beberapa jenis
kegiatan untuk mendukung keterlibatan keluarga adalah:

a. Informasi mengenai perawatan dasar bayi prematur,


terminologi dan perawatan medis, dan perawatan serta penggunaan
peralatan. Bagaimana memonitor kebutuhan unik bayi mereka, seperti
keunikan tahap perkembangan bayi prematur

b. Menentukan tingkat perawatan jangka panjang dengan tindak


lanjut oleh profesi

c. Mendukung pelayanan bagi keluarga seperti kelompok


dukungan orang tua, kelompok bermain orang tua – bayi, penitipan
anak, dan pelayanan sosial lain.

Kehati-hatian harus dimasukkan ke dalam instruksi teknik penanganan dan


positioning terapeutik. Teknik penanganan dan positioning terapeutik dapat
dimasukkan ke dalam aktivitas mengurus bayi sehari-hari. Orang tua juga perlu
diberitahukan mengenai postur yang tepat dan tidak tepat. Tim rehabilitasi medik
dapat memfasilitasi implementasi berbagai teknik terapeutik kepada orang tua
sehingga orang tua dapat menjadi kreatif dan dapat menemukan kebutuhan motorik
bayinya serta dapat memenuhinya. Selain itu, bila pada teknik-teknik tertentu, postur
bayi ke arah yang tidak diinginkan, orang tua dapat mengubah postur tersebut menjadi
postur yang tepat karena orang tua memiliki pemahaman mengenai postur yang
diharapkan.

Program intervensi dini terbukti dapat menurunkan tingkat stres orang tua yaitu ayah
dan ibu bayi prematur hingga menyamai pasangan yang memiliki bayi lahir cukup
bulan. Deater-Deckard dan Bulkley menemukan bahwa terdapat pola efek positif yang
konsisten terhadap adaptasi maternal, interaksi orang tua-anak, dan aspek yang lebih
luas di lingkungan rumah.
Referensi :

Mochtar R. Sinopsis obstetri: obstetri fisiologi, obstetri patologi. Edisi ke-3. Jakarta: EGC;
2012.

Giordano JC, Parpinelli MA, Cecatti JG, Haddad SM, Costa ML, Surita FG, et al. The
burden of eclampsia: results from a multicenter study on surveillance of severe
maternal morbidity in Brazil. PLoS ONE. 2014; 9(5):1-10.

Fong A, Chau CT, Pan D, Ogunyemi DA. Clinical morbidities, trends, and demographics of
eclampsia: a populationbased study. Am J Obstet Gynecol. 2013; 209(3):1-13.

Akbar, MIA, Manggala PW, Jimmy YA, Ernawati D, Penatalaksanaan Kegawatdaruratan


Hipertensi Dalam Kehamilan. Gawat Darurat Medis dan Bedah. Surabaya: Universitas
Airlangga. 2018

Herman, S, Hermanto TJ. Buku Acuan Persalinan Kurang Bulan. Kendari: Yayassan
Avicenna Kendari. 2020.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


:https://p2ptm.kemkes.go.id/preview/infografhic/skrining-apa-saja-yang-biasanya-dilakukan-
pada-bayi-baru-lahir

WHO. Newborn health: Caring for preterm babies . 2013 (diakses 21 Mei 2023 dari :
https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/newborn-health-caring-for-prete
rm-babies)

Mol BW et al. Pre-eclampsia. Lancet. 387(10022):999-1011, 2016. Available from :


https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26342729/ [cited 2023 Mei 21]

Brand JS et al. Association between hypertensive disorders of pregnancy and


neurodevelopmental outcomes among offspring. JAMA Pediatr. 175(6):577-85, 2021.
Available from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/33749704/ [cited 2023 Mei 21]

Kuklina EV et al. Hypertensive disorders and severe obstetric morbidity in the United States.
Obstet Gynecol. 113(6):1299-306, 2009. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19461426/ [cited 2023 Mei 21]

Ghulmiyyah L et al: Maternal mortality from preeclampsia/eclampsia. Semin Perinatol.


36(1):56-9, 2012. Available from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/22280867/ [cited 2023
Mei 21]

Wu P et al: Preeclampsia and future cardiovascular health: a systematic review and


meta-analysis. Circ Cardiovasc Qual Outcomes. 10(2):e003497, 2017. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28228456/ [cited 2023 Mei 21]
Miller EC: Preeclampsia and cerebrovascular disease. Hypertension. 74(1):5-13, 2019.
Available from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/31055951/ [cited 2023 Mei 21]

Ross MG. Eclampsia. Medscape. 2022. Available from :


https://emedicine.medscape.com/article/253960-overview?reg=1#a20 [cited 2023 Mei 21]

Ross MG. Eclampsia. Medscape. 2022. Available from :


https://emedicine.medscape.com/article/253960-overview?reg=1#a19 [cited 2023 Mei 21]

Gill P, Tamirisa AP, Van Hook JW. Acute Eclampsia. [Updated 2023 Feb 27]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459193/ [cited 2023 Mei 21]

Magley M, Hinson MR. Eclampsia. [Updated 2023 Jan 30]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554392/ [cited 2023 Mei 21]

Anggraeni W, Pramono BA. 2013. Analisis Faktor Risiko Terhadap Luaran Maternal dan
Perinatal pada Kasus Eklampsia di RSUP Dr. Kariadi Tahun 2011-2012. [Tesis]. Semarang:
Faculty of Medicine Diponegoro University; 2013. Available from :
http://eprints.undip.ac.id/44202/ [cited 2023 Mei 16]

Hall DR. Abruptio placentae and disseminated intravascular coagulopathy. Semin Perinatol.
33(3):189-95, 2009. Available from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/19464510/ [cited 2023
Mei 21]

Jain V et al. Guidelines for the management of a pregnant trauma patient. J Obstet Gynaecol
Can. 37(6):553-74, 2015. Available from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26334607/ [cited
2023 Mei 21]

Oyelese Y et al. Placental abruption. Obstet Gynecol. 108(4):1005-16, 2006. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17012465/ [cited 2023 Mei 21]

Ananth CV et al. An international contrast of rates of placental abruption: an


age-period-cohort analysis. PLoS One. 10(5):e0125246, 2015. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/26018653/ [cited 2023 Mei 21]

Downes KL et al: Maternal, labor, delivery, and perinatal outcomes associated with placental
abruption: a systematic review. Am J Perinatol. 34(10):935-57, 2017. Available from :
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/28329897/ [cited 2023 Mei 21]

Pitaphrom A et al: Pregnancy outcomes in placental abruption. J Med Assoc Thai.


89(10):1572-8, 2006. Available from : https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/17128829/ [cited
2023 Mei 21]

Sirait BI. Perdarahan Antepartum. Jakarta: Universitas Kristen Indonesia; 2021. Available
from :
http://repository.uki.ac.id/9627/1/PerdarahanAntepartumTahunAkademik2021sampai2022.pd
f [cited 2023 Mei 16]

Hariyono, Bahrudin, Afif. Modul Pembelajaran Keperawatan Gadar. Jombang : Icme Press ;
2019.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal


Neonatal ; 2019.

Setyawan FEB. Komunikasi Medis : Hubungan Dokter Pasien. Universitas Muhammadiyah,


Malang ; 2017.

Anda mungkin juga menyukai